Kepemimpinan Transformatif

"Ketika para manajer repot dengan kebijakan, para bos dengan kuasa-kuasa, para pelatih dengan proses, dan para tokoh kharismatis dengan peristiwa-peristiwa besar, semestinya para pemimpin repot dengan urusan menolong orang menemukan makna hidup yang terdalam." (Ken Callahan dalam Pulpit Digest tahun 1990)


Alas kata
Sebutkan seorang tokoh yang pantas "ditahtakan" sebagai pemimpin NTT saat ini! Perasaan Anda mungkin sama dengan saya yaitu ragu-ragu. Tidak tahu harus menyebut siapa. Ya, kita kekurangan figur pemimpin. Bahkan kita menjalani hidup tanpa bimbingan pemimpin sejati. Pemimpin idaman. Tidak sempurna, tetapi dia sungguh menolong kita keluar dari persoalan hidup.
Siapakah pemimpin itu? Banyak definisi yang bisa menjadi acuan. Jumlahnya begitu banyak, mendekati 1.000 definisi. Pada era tahun 1990-an ada lebih dari 850 definisi tentang kepemimpinan. Sekarang pasti lebih gemuk lagi.


Warren Bennis, misalnya, menganggap inti kepemimpinan adalah melakukan hal yang benar. Ahli lain, McGregor Burns mengganggap kepemimpinan adalah memuaskan dan menumbuhkan pengikut yaitu motivasi dan potensinya. Dan, Tom Peters menekankan bahwa pemimpin adalah orang yang menangani paradoks-paradoks dan menjelaskan maknanya.


Pemimpin sejati
Dari sekian banyak definisi kepemimpinan, kita dapat menyederhanakannya. Seorang pemimpin sejati mampu menggerakkan orang lain selain dirinya. Mereka menciptakan keadaan, suasana dan semangat. Sebagai pengikut, Anda merasa impianmu bertumbuh, dipertajam dan meraih hasil nyata.
Pemimpin ideal membuat potensi atau hal-hal yang terbaik dari diri kita muncul ke permukaan. Dengan kata lain, lain, seorang pemimpin merumuskan visi bersama, menggerakkan orang bersamanya dan menghasilkan transformasi.
Bagi kita orang Kristen, pemimpin adalah seorang yang memobilisasi dan menghasilkan transformasi agar dirinya dan komunitasnya berada dalam posisi atau kondisi yang Tuhan kehendaki. Membangun tata dunia baru. Menghadirkan Kerajaan Allah di bumi ini. Hal-hal seperti itulah yang membedakan seorang pemimpin sejati dari pemimpin karbitan, atau seorang pengelola serta birokrat saja.
Pertanyaan penting bagi Anda, anggota PMKRI, apakah Anda memahami bagaimana menimbulkan pergerakan atau transformasi? Sudahkah Anda merumuskan visi pribadi Anda sesuai dengan visi organisasi? Bila belum, silakan merumuskannya agar keterlibatan Anda dalam wadah PMKRI sungguh bermanfaat. Ada goal yang hendak dicapai. Kalau tidak punya visi, lebih baik ucapkan sayonara kepada PMKRI. Selamat tinggal Margasiswa.

Kepemimpinan Transformatif
Dalam dunia usaha ada adagium ini: Generasi pertama bertugas membangun, generasi kedua mempertahankan, sedangkan generasi ketiga meruntuhkan (menghancurkan).
Maka model kepemimpinan tranformatif merupakan suatu kebutuhan. Tidak bisa tidak! Pemimpin yang mampu membawa perubahan. Kepemimpinan transformatif merupakan pendekatan untuk mendobrak. Dobrak gaya kepemimpinan tradisional. Dobrak pola pikir lama yang memandang bahwa hubungan antara pemimpin dan karyawan (leadership and followership) semata berlandaskan reward yang diberikan.
Dengan kata lain, faktor utama yang mendorong karyawan untuk bekerja hanya karena dibayar. Dalam pola kepemimpinan tradisional, kontrol atas proses kerja terpusat di tangan sang pemimpin. Dalam konteks PMKRI, ketua presidium menjadi figur sentral.
Kepemimpinan transformatif mendelegasikan wewenang kepada karyawan atau bawahannya, mempercayai, dan memberikan kesempatan kepada bawahan untuk melakukan pekerjaan kreatif dan dinamis. Dengan demikian, karyawan tidak hanya bekerja dengan semangat business as usual, melainkan berorientasi pada apa yang terbaik bagi perusahaan atau organisasi sejalan dengan talenta yang dimilikinya.


Ada empat pola perilaku kepepemimpinan transformatif.
Pertama, memiliki pengaruh. Seorang pemimpin memiliki pengaruh yang besar terhadap karyawannya. Ia memiliki semacam kharisma dan menjadi model positif (panutan) bagi karyawan atau bawahannya.

Kedua, memberi inspirasi (inspirational motivation). Pemimpin mengedepankan nilai-nilai budaya perusahaan, termasuk di dalamnya menanamkan visi yang inspiratif. Upaya-upaya pembumian budaya tersebut dapat dilakukan melalui simbol atau lambang. Pemimpin berperan sebagai pembangkit semangat teamwork, antusiasme, dan optimisme di antara sesama rekan kerja.

Ketiga, memberi arah, suluh, pedoman. Dia laksana seorang guru yang mengajar dengan baik, mampu memberi dorongan bagi para pengikutnya untuk bekerja mencapai tujuan bersama.

Keempat, cerdas secara intelektual dan emosi. Dia dapat mempengaruhi para pengikutnya untuk memandang permasalahan dengan perspektif dan kesadaran yang jernih. Bawahan mampu berpikir positif, berpikir tentang solusi.

Bagaimana melakukannya?
Berikut beberapa tips bagi para pemimpin dunia usaha dalam menerapkan pendekatan kepemimpinan transformatif sebagaimana dikemukakan Kevin Kalloway dan Julian Barling (2001). Tips ini pun dapat diimplementasikan dalam organisasi lainnya.

a). Mengambil keputusan secara transparan dan konsisten. Cara ini akan mendorong terciptanya rasa hormat dan kepercayaan.

b). Menunjukkan serta mendorong sikap antusias dan optimis, sehingga karyawan (bawahan) lebih percaya diri dan terinspirasi untuk berbuat yang lebih baik.

c). Mengkondisikan dan mengajak karyawan untuk selalu melihat permasalahan dalam lingkungan kerja dengan perspektif yang jernih, sehingga mendorong partisipasi karyawan dalam pengambilan keputusan.

d). Luangkan waktu untuk memberikan perhatian pada karyawan, misalnya dengan memberikan penghargaan kepada karyawan melalui forum-forum pertemuan internal (syukuran kecil atas kenaikan laba tahunan) atau semisal kartu ucapan selamat atas prestasi yang dicapainya.

Kata Akhir
Demikianlah beberapa pokok pikiran yang dapat saya berikan kepada peserta LKK PMKRI Cabang Kupang. Mohon maaf jika kurang berkenan. Saya selalu ingat pesan para guru jurnalistik, jika mau menjadi pemimpin Anda jangan pernah mengharapkan ucapan Terima Kasih. **

Kupang, 28 April 2008

*) Bahan pengantar diskusi dalam Forum Latihan Kepemimpinan Kader (LKK) PMKRI Cabang Kupang, St. Fransiskus Xaverius di Aula Sanlima-Kupang, Selasa 29 April 2008.

Diam-diam sa...

SEBUAH kado istimewa telah tersedia bagi Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) terpilih periode 2008-2012. Kado yang sama bakal dinikmati Bupati Sikka terpilih, Bupati TTS, Belu, Rote Ndao, Kupang, Nagekeo, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, Alor, Ende dan seluruh gugus pelayanan publik di daerah ini. Khusus bagi bupati, walikota, wakil bupati dan wakil walikota yang sedang memimpin, kado itu otomatis mereka cicipi.

Apa kadonya? Bukan uang tetapi undang-undang yaitu Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang disahkan DPR RI, 3 April 2008. Beta melukiskannya sebagai kado istimewa karena proses kelahiran UU ini selama 8 tahun, rekor baru dalam secara legislasi di Indonesia!

Koalisi untuk Kebebasan Informasi dalam pernyataan sikap yang dikeluarkan di Jakarta, 8 April 2008 menyebut lima capaian positif UU KIP. Pertama, UU KIP adalah undang-undang pertama yang secara komprehensif menjamin hak-hak publik atas informasi. Sebelumnya sudah ada beberapa UU sektoral yang telah mengakui hak publik atas informasi. Namun, hanya mengakui hak, tidak mengatur mekanisme pelaksanaan hak. Tidak mengatur kewajiban badan-badan publik untuk memberi akses informasi berikut sanksi-sanksinya. 


Kedua, secara komprehensif UU KIP telah mengatur kewajiban badan/pejabat publik untuk memberikan akses informasi terbuka dan efisien kepada publik. Melalui UU KIP, kewajiban memberikan informasi, dokumen dan data diintegrasikan sebagai bagian inheren dari fungsi birokrasi pemerintahan, diperkuat dengan sanksi-sanksi yang tegas bagi pelanggarannya.

Ketiga, UU KIP mengatur klasifikasi informasi sedemikian rupa sehingga memberi kepastian hukum tentang informasi apa saja yang wajib dibuka kepada publik, dan informasi apa saja yang bisa dikecualikan dalam periode tertentu. Secara teoritis UU KIP memberikan solusi bagi kalangan jurnalis, peneliti dan masyarakat awam yang selama ini selalu menghadapi klaim rahasia negara, rahasia instansi atau rahasia jabatan ketika mengakses dokumen-dokumen di badan publik.

Keempat, UU KIP telah melembagakan Komisi Informasi sebagai lembaga negara independen yang berperan sebagai lembaga penyelesaian sengketa akses informasi dan lembaga regulator di bawah undang-undang. Kelima, UU KIP melengkapi perangkat hukum pemberantasan korupsi yang telah ada: UU Anti Korupsi, UU KPK, UU Perlindungan Saksi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (http://www.ajiindonesia.org/).

***
BEBERAPA hari lalu ada informasi yang "tidak mengejutkan". Informasi pertama, selama tahun 2007 dana miliaran rupiah untuk koperasi di NTT tidak terserap. Tidak terserap artinya kembali ke kas negara. Dan, kita sudah tahu pemerintah akan dengan bangga menyebut diri mampu menghemat.

Informasi kedua, Anggaran yang Berkeadilan Gender (ABG) di NTT jumlahnya tidak sampai Rp 1 miliar. Suatu kebijakan yang menimbulkan pertanyaan, apakah eksekutif dan legislatif di daerah ini belum tahu Pengarusutamaan Gender? Apakah gender itu isu langka sehingga tidak masuk dalam otak dan hati pengambil kebijakan ketika menyusun anggaran?

Tidak mengagetkan karena pemerintah memang suka menjalankan roda pemerintahan secara diam-diam. Memakai bahasa Kupang, dong karja diam-diam sa... Bukan kewajiban mereka memberitahu publik tentang rencana kerja serta hasilnya.

Hari-hari ini DPRD NTT sedang menindaklanjuti amanat Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Masyarakat NTT tidak tahu apa usul pemerintah kepada DPRD dan apa yang bakal diputuskan para wakil rakyat yang terhormat. Draf rancangan Organisasi Perangkat Daerah seolah cukup diketahui eksekutif-legislatif. Rakyat di luar sana tak herhak tahu, cukup menatap hasilnya setelah palu diketuk Dewan.
 

Seharusnya jaring asmara (menjaring aspirasi masyarakat) dulu. Bikin public hearing. Buka draf rancangan itu kepada publik guna menjaring pandangan dan usul. Siapa tahu pandangan publik lebih sesuai kebutuhan daerah ketimbang apa yang dipikirkan pemerintah dan DPRD.

Jangan berharap terlalu tinggi setelah 3 April 2008. Mengubah kultur birokrasi bukan perkara mudah. Tidak enteng mengubah cara pandang dan tindakan pemerintah yang seabad lebih mempratekkan kerja diam-diam itu. Dibutuhkan kesabaran dan upaya terus-menerus untuk mengetuk dan mengingatkan. 


Inilah PR bagi organisasi massa, LSM, akademisi, para jurnalis guna mengawal pelaksanaan UU KIP agar hak publik untuk tahu (right to know) sungguh membumi di rumah induk Flobamora. Tidak cuma di beranda, tetapi masuk sampai ke kamar-kamar birokrasi terkecil agar transparansi demi clean government tak sekadar pemanis bibir. (email:dionbata@gmail.com) **

Rubrik BERANDA KITA Pos Kupang edisi Senin, 28 April 2008, halaman 1.

Yang Cantik, Yang Menjual

"Ikal diluruskan, keriting dilicinkan!"

Oleh Dion DB Putra

NAIF kalau pengelola media massa (wartawan) bersembunyi dari gugatan mengeksploitasi perempuan. Dibutuhkan kejujuran pengelola media massa bahwa kecenderungan itu cukup signifikan dan telah berlangsung lama. Bahkan pada hari ini ketika kita berdiskusi tentang tema ini -- kekerasan tersebut sedang girang menyengat. Gairah mencubit dan melukai.
Perhatikan produk media setiap hari. Adakah tanpa sosok perempuan dalam berita maupun iklan? Dari iklan sabun, peralatan rumah tangga sampai gedung dan mobil mewah, perempuan menjadi daya tarik utama. So pasti perempuan yang cantik, sedap dipandang, memikat hati. Prinsip media massa: "Yang Cantik, Yang Menjual". Yang tidak cantik tersingkir- terpinggirkan.

Kita sedang berkubang dalam zaman keemasan konsutivisme. Kita tidak segera sadar bahwa eksploitasi terhadap perempuan itu sisi buruk dari ideologi kapitalisme. Perempuan menjadi alat produksi semata. Citra kecantikan kemudian tergantung siapa yang menguasai pasar. Yang cantik adalah perempuan berkulit putih dan langsing. Perempuan dengan rambut lurus, lembut dan jatuh terurai. Penggambarannya dalam aneka rupa dan wujud baik melalui iklan shampo, sabun mandi, alat-alat kosmetika dan lainnya yang hadir setiap saat di televisi, radio, koran dan majalah. Mengalir bagai air bah. Merasuk pikiran, mengubah cara pandang dan tindak.
Adakah hari ini yang merasa heran melihat perempuan di Kota Kupang dan berbagai tempat di NTT dengan rambut rebonding? Juga rambut berwarna-warni? Mereka itu bukan orang lain. Mereka adalah istrimu, saudari, kekasih, teman sekolah, rekan kerja, bibi, kakak atau nenek kita sendiri. Kita suka melihat penampilan mereka sehingga lupa menggugat jangan-jangan mereka "korban" pencitraan yang keliru lewat media massa. Penggambaran yang merusak mindset. Cantik harus rambut lurus sehingga putri-putri Flobamora yang dari sononya sudah anggun dengan rambut keriting asli, keriting ikal atau keriting kribo, rame-rame ke salon demi Meluruskan yang ikal, Melicinkan yang Keriting.
Demikianlah "kekerasan" yang kerap dipandang remeh, tak terasa menyayat kalbu masyarakat yang mengklaim diri melek informasi dan tidak ketinggalan zaman. Masyarakat yang sudah lupa untuk retret sejenak. Menarik diri sesaat guna menengok dengan pikiran lebih jernih.
Tidak jauhlah bedanya dengan produk berita yang membanjiri masyarakat detik demi detik. Sebagian besar media massa, baik media cetak, elektronik maupun online (multimedia) khusus menyiapkan rubrik yang menonjolkan daya tarik perempuan.
Beragam nama sekadar pilihan pengelola agar terbedakan dengan yang lain. Menunya hampir serumpun dan sebangun. Bijak bagi pengelola media massa jika berani melakukan otokritik. Introspeksi demi transformasi. Juga penting bagi setiap jurnalis untuk memahami bahwa persepsi yang keliru atau salah kaprah akan menghasilkan karya jurnalistik yang justru mengekspoitasi perempuan. Menjauhkan perempuan dari perlindungan yang memadai yang merupakan hak dasar mereka.
Mengapa otokritik? Karena media massa merupakan representasi simbolis norma dan nilai-nilai dalam masyarakat.

Stereotipe
Sosok perempuan di media massa seringkali mengusik akal sehat. Saya coba mengangkat kembali hasil penelitian Kartini Network di Indonesia bekerja sama dengan Pusat Studi Jender dan Seksualitas FISIP UI, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI). Hasil penelitian itu dipresentasikan di Jakarta, 28 September 2005.
Penelitian kualitatif dilakukan terhadap dua majalah dengan sasaran pembaca laki-laki, satu di antaranya dengan pembaca terbanyak dibandingkan media sejenis lainnya; satu koran kuning pendatang baru; dan satu tabloid perempuan. Yang diteliti adalah bagaimana media menggambarkan seksualitas perempuan, terutama dari kelompok marjinal yaitu janda, pekerja seks komersial (PSK) dan lesbian.
Hasil penelitian ini memperlihatkan, citra tentang perempuan janda, misalnya, adalah pencuri suami orang, penggoda dan sensual, pelaku kekerasan terhadap perempuan lain, lelaki tidak melakukan dosa, sebagai penjual cinta, janda itu sensitif (pencemburu), kehidupannya misterius dan mudah kawin-cerai.
Penggambaran tentang PSK adalah penyakit masyarakat, pekerjaan tersebut kriminal, PSK merasa kotor sebab sebelum menjadi PSK sudah tidak perawan lagi karena ditipu pacar, PSK adalah pemuas kebutuhan seksual laki-laki, korban kemiskinan, ditinggal suami atau korban perkosaan dan mereka juga ingin diperlakukan dengan patut sebagai manusia.
Sementara citra perempuan lesbian adalah penderita sakit jiwa, mengalami kelainan, melakukan dosa, jadi lesbian karena tertular dari lesbian lain, korban konflik keluarga serta membutuhkan penyembuhan. Hasil penelitian itu menunjukkan media massa membentuk stereotipe yang merugikan kaum perempuan (lebih jauh baca: Ninuk Mardiana Pambudy, Wajah Perempuan di Media Massa, Kompas 1 Oktober 2005).
Dalam perkara lain, liputan media massa tentang kasus kekerasan seksual atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kurang memberi perlindungan terhadap perempuan. Pemberitaan media cenderung memojokkan ketimbang membangkitkan harapan dan daya hidup. Sebagai misal kasus kekerasan seksual (perkosaan). Atas nama prinsip jurnalistik bahwa "fakta itu suci" wartawan menulis berita perkosaan sedemikian rinci. Dari awal hingga akhir. Menyebut nama, alamat dan keluarga korban dengan jelas. Wartawan tidak mempertimbangkan dampak psikologis korban dan keluarganya. Oleh pemberitaan yang bias seperti itu, korban dan keluarganya menderita dua kali bahkan berkali-kali dan media ikut menyumbang kontribusi.
Kasus Indonesia menarik perhatian. Masih banyak pekerjaan rumah bangsa ini dalam konteks pengarusutamaan gender. Ketika perempuan (dan anak-anak) dipojokkan media massa, belum cukup regulasi yang memberi ruang kepada mereka melakukan perlawanan. Kita sudah memiliki produk hukum yang melindungi perempuan dan anak dengan diberlakukannya
Undang-Undang (UU) No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No.23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Walau demikian, tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam rumah tangga masih tinggi. Dan, media massa belum mengambil peran yang dibutuhkan untuk mendorong penegakan hukum itu secara benar.
Media massa malah membungkam hak perempuan dan anak karena kebebasan pers dimaknai secara salah. Atas nama kebebasan pers, media "menjual" sensualitas perempuan dengan menonjolkan kemolekan tubuh, menampilkan pose dalam pakaian minim (pornografi). Bahkan ada media massa mengiklankan ajakan kencan. Kiranya kutipan ini boleh menjadi bahan refleksi insan pers nasional: SEKALI MERDEKA, MERDEKA SEKALI!

Wartawan = skeptis
Bentuk perlindungan yang dapat dilakukan media massa tentu saja bukan perlindungan fisik. Perlindungan media massa adalah memberi gambaran nyata tentang realitas perempuan. Tidak dalam konteks kisah para janda, wanita PSK atau lesbian sebagaimana hasil penelitian di atas.
Gambaran-gambaran stereotipe yang memojokkan, tidak menggali realitas perempuan dan mengobyekkan perempuan harus diminimalisir media massa. Sudah pasti komitmen itu harus tertanam dalam diri setiap reporter yang bertugas melaporkan fakta dari lapangan sampai level editor di ruang redaksi yang mengolah bahan berita sebelum dipublikasikan. Sikap dasar yang harus dimiliki seorang wartawan adalah skeptis bukan sinis, prasangka atau apriori.
Skeptis adalah tentang bertanya, meragukan, waspada, tidak mudah ditipu, tidak menelan begitu saja setiap data atau informasi yang diperoleh. Jelas beda dengan orang sinis yang merasa sudah mempunyai jawaban tentang seseorang atau peristiwa yang dihadapinya.
Dengan sikap skeptis, seorang reporter bakal melaporkan realitas bahwa janda tidak selalu dicitrakan sebagai penggoda suami orang, sensual dan bisa menjerumuskan orang lain. Wanita PSK tidak dipersepsikan sebagai wanita jalang, kotor dan warga kelas dua. Toh kalau ditelusuri lebih jauh ada banyak ragam motif seseorang menjadi PSK.
Kalau digali lebih dalam, banyak janda yang hidupnya luhur dan mulia. Layak menjadi panutan. Mereka menjadi single parent (orangtua tunggal) yang mampu menghidupi dan mendidik anak-anaknya menjadi orang yang berhasil di tengah masyarakat.
Ketika memberitakan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), media harus berimbang. Tidak memojokkan kaum perempuan atau sebaliknya. Ini menyangkut pilihan sudut pandang (angle). Kecenderungan umum wartawan adalah mengungkap motif di permukaan saja. Mereka tidak menggali lebih jauh akar masalah dan terutama dampak dari KDRT itu terhadap istri, suami dan juga anak-anak mereka. Dibutuhkan empati dalam melaporkan peristiwa sosial semacam ini.
Untuk konteks Nusa Tenggara Timur, masih banyak media massa yang bias ketika melaporkan peristiwa perkosaan. Peristiwa perkosaan dilukiskan sedemikian detail dan rinci. Wartawan tidak membayangkan bagaimana kalau berita itu dibaca anak-anak dan remaja yang belum cukup filter. Bagaimana perasaan korban dan keluarganya. Liputan bijak dalam kasus perkosaan adalah "memihak atau melindungi korban" dan "menghukum pelakunya". Di lingkungan SKH Pos Kupang, sikap itu dipraktekkan dengan batasan yang jelas dan tegas. Nama dan alamat korban tidak ditulis lengkap, termasuk lembaga terkait dengan korban seperti sekolah atau lainnya.

Perempuan tangguh
Setiap wartawan sejati harus menyangsikan pandangan umum bahwa perempuan adalah makhluk lemah dan butuh dilindungi.
Siapa bilang perempuan lemah? Jawabannya tidak. Dalam kehidupan sehari-hari kita menemukan banyak perempuan tangguh, ulet, pekerja keras yang cerdas dan produktif. Pergulatan hidup mereka tidak hanya menarik tetapi penting untuk diungkap kepada publik. Suara dan pengalaman perempuan seperti itu tidak boleh dibungkam oleh media. Paradigma baru bagi media adalah menempatkan perempuan sebagai subyek, sumber utama berita bukan dimunculkan sebagai obyek, dikonstruksikan sebagai korban yang perlu dikasihani. Wartawan perlu mengambil peran untuk mengubah konstruksi sosial yang tidak pro perempuan.Adalah juga tugas media massa untuk mengungkap kekayaan tradisi yang menempatkan perempuan pada posisi terhormat. Tidak selamanya budaya kita membelenggu perempuan. Ada sisi-sisi positif yang belum digali.
Tidak proporsional pula jika media massa cuma mendapat cap buruk yaitu mengeksploitasi perempuan. Banyak media massa yang memberi tempat istimewa, memberi perlindungan yang memadai untuk perempuan. Harus diakui media massa nasional memberi sumbangan berharga sampai lahirnya UU No.23/2002 dan UU No.23/2004. Sumbangan media melalui liputan yang luas tentang kekerasan terhadap anak dan perempuan. Media bahu-membahu dengan LSM dan semua stake holder terkait hingga melahirkan regulasi tersebut.
Salah satu peristiwa monumental adalah kasus Marsinah (1993). Marsinah, kelahiran 10 April 1969. Wafat 9 Mei 1993. Makamnya di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur masih ramai dikunjungi para buruh setiap awal bulan Mei. Marsinah, buruh PT Catur Putra Surya (CPS), Sidoarjo, ditemukan tewas di tepi sawah di Desa Wilangan, Kabupaten Nganjuk, pada tanggal 9 Mei 1993.
Pembunuhan aktivis buruh itu diduga terencana secara matang dan melibatkan sejumlah personel militer, polisi, dan aparat hukum lain. Tindakan itu dinilai banyak pihak untuk menakut-nakuti para pekerja yang berminat membentuk serikat pekerja dan memperjuangkan nasib mereka secara langsung. Pembunuhan Marsinah yang semula ditutup-tutupi akhirnya terkuak. Media massa nasional pada masa itu (Orde Baru) memberi liputan yang sangat besar terhadap kasus ini. Meskipun penegakan hukum dalama kasus Marsinah tidak mememuhi rasa keadilan masyarakat, namun kasus tersebut membuka cakrawala baru, memberi inspirasi tentang perlindungan terhadap buruh atau pekerja.
Tahun 1993 Marsinah mendapat piagam penghargaan Yap Thiam Hien, piagam penobatan sebagai pahlawan pekerja Indonesia oleh SPSI dan piagam penghargaan Pemerintah Kabupaten Nganjuk. Inspirasi terpenting dari kasus Marsinah adalah lahirnya produk UU di bidang ketegakerjaaan yang pro pekerja, pro hak-hak perempuan. Bagi pekerja media massa, kasus Marsinah memberi pelajaran penting yaitu keberpihakan yang nyata bagi yang tertindas.
Apakah itu cukup? Tuntutan dan aspirasi masyarakat berubah amat lekas. Mutlak bagi media massa untuk peka dan tanggap. Maka tak ada jalan pintas bagi wartawan. Tabu untuk berpuas diri. Harus selalu dan selalu menggugat kembali peran sosialnya. **

Kupang, 25 April 2008.

-------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebagai bahan pengantar diskusi workshop "Media Massa dan Perlindungan Perempuan" yang diselenggarakan Forum Wartawan Peduli Gender (FWPG) Propinsi NTT bekerja sama dengan Pemprop NTT Cq Biro Pemberdayaan Perempuan Setda NTT di Aula RRI Kupang, Sabtu 26 April 2008.


Valens dan Julius, tokoh visioner

Keluarga Valens Doy dan Julius Siyaranamual pose
bersama usai doa di Pos Kupang hari Sabtu 7 Juli 2005.


DUA orang tokoh pers nasional yang juga sesepuh Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang, Valens Goa Doy dan Julius Siyaranamual adalah tokoh visioner. Pemikiran kedua tokoh yang bersahabat karib tersebut selalu jauh ke depan, sehingga kadang sulit diterima mereka menyampaikan pandangang-pandangannya.

Demikian Pemimpin Umum SKH Pos Kupang, Damyan Godho dalam sambutannya pada acara syukuran 40 hari wafatnya kedua tokoh tersebut di halaman parkir Kantor SKH Pos Kupang di Jl. Kenari No. 1 Kupang, Sabtu (2/7/2005) malam.

Acara tersebut diawali ibadat syukur yang dipimpin Pater Yan Bele, SVD. Hadir dalam acara bertema "Valens Goa Doy dan Julius Siyaranamual: Menjadi Lilin Bagi Sesama" itu sanak keluarga kedua almarhum di antaranya Jack K Iki, Eveline Iki Siyaranamual, Margaretha Berhimo Siyaranamual dan beberapa kerabat. Hadir pula para murid, anak asuh kedua alamarhum dan mantan wartawan Pos Kupang antara lain, Yos Lema, Evie Harzufri Pello, Lidya Chandriani, Lily Dano, Paul Bolla, Pius Rengka dan Nyonya Rossy Rengka serta segenap wartawan dan karyawan Pos Kupang.

Valens Goa Doy meninggal dunia di RS Sanglah, Denpasar Bali pada tanggal 3 Mei 2005. Julius R Siyaranamual meninggal dunia dua puluh hari kemudian, tepatnya tanggal 23 Mei 2005 di Tangerang.
 

"Mereka berdua seperti sudah janjian," kata Damyan Godho. Lebih lanjut, Damyan Godho menjelaskan bahwa pandangan visioner kedua tokoh tersebut tidak sekadar diucapkan tetapi dipratekkan. "Valens memiliki gagasan visioner. Ia berpikir untuk 10 hingga 15 tahun kedepan yang orang lain belum membayangkannya," jelas Damyan.
 

Beberapa hal yang disampaikan Valens antara lain memikirkan untuk mendirikan stasiun penyiaran televisi swasta di Kota Kupang. Selain itu, Valens juga mengharapkan agar semua kabupaten di NTT memiliki koran sendiri. "Valens pernah mempunyai ide agar di Kupang ada satasiun televisi swasta yang didirikan Pos Kupang, saya berpikir dari mana kita membiauai televisi ini? Pada saat itu keuangan sangat sulit," kata Damyan Godho.
 

Sampai akhir hayatnya, lanjut Damyan, Valens Doy masih membuat gebrakan yang visioner, dimana dalam surat wasiatnya ia meminta agar jenazahnya dikremasi. Menurut Damyan, wasiat itu visioner karena seorang Valens berpikir untuk kondisi 10 hingga 20 tahun ke depan. "Kremasi berarti hemat tempat atau lokasi pekuburan. Sekarang mungkin terasa aneh, tetapi suatu waktu nanti kremasi bisa jadi suatu kebutuhan," katanya.
 

Julius Siyaranamual, kata Damyan Godho, juga seorang tokoh visioner, sama dengan Valens Doy, teman seangkatannya di SMAK Syuradikara Ende dan sama-sama terjun di dunia jurnalistik. Damyan Godho antara lain, mengisahkan saat ia menyampaikan rencana menerbitkan Pos Kupang kepada Julius pada bulan November 1992, hal itu langsung ditanggapi dengan gembira. Julius menyatakan siap membantu sepenuhnya. Bagi Julius, lanjut Damyan, nama Pos Kupang bukan hal baru karena pada tahun 1962, Julius bersama almarhum Kanis Pari (Bung Kanis) mendirikan mingguan stensilan dengan nama Pos Kupang.
 

Pada kesempatan yang sama, mantan wartawan Pos Kupang, Yos Lema mengungkapkan kesan-kesannya tentang Valens Doy dan Julius Siyaranamual. Khusus pribadi Valens yang lebih dikenalnya, Yos Lema mengatakan, ada dua hal dalam diri Valens Doy yaitu jenius di bidang media massa dan organisatoris. Jenius pers dalam arti Valens memiliki kelebihan yang lebih dibandingkan dengan pihak lain. Jadi wajar bila ia merupakan guru yang melahirkan banyak wartawan. Valens juga ahli dalam dalam memimpin.
 

Sebelumnya, dalam renungannya pada ibadat syukur mengenang Valens dan Julius, Pater Yan Bele, SVD mengatakan, Valens Goa Doy dan Julius R Siyaranamual telah menjadi lilin untuk menerangani kegelapan. "Kita jangan hanya mengutuk kegelapan. Dengan memasang lilin, kegelapan itu menjadi tidak berarti. Kedua tokoh ini (Valens dan Julius) telah menjadi lilin dalam kegelapan itu. Inilah warisan keduanya bagi Pos Kupang," kata Yan Bele yang juga Rektor Universitas Widya Mandira Kupang itu.
 

Dalam acara tersebut, Pemimpin Redaksi SKH Pos Kupang, Dion DB Putra memberikan bingkisan berupa buku sederhana berisi kumpulan tulisan mengenang Valens Goa Doy dan Julius R Siyaranamual dengan judul Menjadi Lilin Bagi Sesama. 

Buku setebal 76 halaman yang dihimpun Dion DB Putra dan Setya MR tersebut diserahkan kepada keluarga Julius Siyaranamual dan Valens Goa Doy. Juga diberikan kepada Pemimpin Umu SKH Pos Kupang, Damyan Godho, Wakil Pemimpin Umum, Marcel Weter Gobang, Pemimpin Perusahaan PT Timor Media Grafika, Daud Sutikno dan kepada para murid Valens Doy dan Julius. Acara tersebut tersebut diakhiri dengan makan bersama. (alfred dama)
 

Pos Kupang, Minggu 3 Juli 2005

Selamat jalan Ba'i Jembatang!

(Mengenang 40 hari Bung Julius Siyaranamual)

Oleh : Aris Tanone*

"Bermula dari mula itu ada mulanya".

SEJAK menerima berita duka itu, lalu ada permintaan dari Bung Damyan Godho untuk menulis catatan singkat mengenang 40 harinya Bung Julius, kalimat di atas terus berputar di otak. Soalnya, kalimat itu membangkitkan kenangan akan Bung Lius. Bayangan tentang tawa dan wajah Bung Lius saat berusaha menjelaskan tentang pentingnya kalimat pembuka sebuah cerpen, seakan tertayang kembali dalam film layar hitam putih. Dari pembicaraan tentang tulisan Bung Julius yang mendapat penghargaan Zainal Zakse di Bandung, akhirnya membawa Bung Julius ke urusan kalimat pembuka sebuah cerpen.
Kalimat pendek seperti yang banyak dipakai dalam Alkitab, kata Bung Lius. Sayang, saya tidak bisa ingat persis lagi kalimat itu selain sepotong kalimat di atas; sedangkan waktu dan jarak tidak memungkinkan untuk mengecek lebih jauh apakah betul begitu bunyi kalimatnya.
Pertama kali mendengar nama Bung Lius, mungkin dari almarhum Dady Tanggela yang kemudian menjadi iparnya Bung Julius. Dady dan saya ketemu di tahun terakhir SMA di Kupang. Dia bercita-cita menjadi pelaut dan berniat masuk AIP karena ada familinya yaitu Bung Julius yang tinggal di Jakarta.


Kedua kali mendengar nama Bung Lius dari Asmara Nababan, di Pesta Urakannya WS Rendra di Parangtritis di awal tahun 1970-an. Asmara datang bersama Arief Budiman. Ketika beliau tahu saya dari Timor, beliau terus bilang bahwa Bung Julius adalah teman kerjanya di majalah anak-anak Kawanku. Beliau malah kenal dengan Dady yang juga sudah kerja di sana. Ketiga kalinya mendengar nama Bung Lius dari Satyagraha Hoerip, redaktur harian Sinar Harapan. Waktu itu saya ke Kantor Sinar Harapan di Jakarta membawa naskah cerpen. Lagi-lagi waktu dengar saya dari Timor, beliau bilang kalau Bung Julius adalah pengasuh rubrik Sinar Remaja. "Nanti jam tiga baru dia akan masuk kantor. Tunggu atau kembali saja jam tiga nanti."
Detail pertemuan sudah tidak ingat sama sekali, tetapi dialog berikut ini tak bakal terlupakan.
"Lu tenga di mana?" tanya Bung Lius.
"Di Balai Budaya!"
"Oh, kalau lu bisa tenga di Balai Budaya, ayo nanti pulang botong singgah ame lu pung barang, tarus lu pi buka tikar deng Dady di rumah sa," ajak Bung Lius.
Tentu saja ajakan itu tidak saya tolak. Paling tidak ada Dady untuk mengobrol ketimbang mendengar batuknya Nashar dari bilik kecilnya waktu saya tidur sendiri di kursi tamu panjang di Balai Budaya.
Waktu itu saya ke Jakarta cuma berbekal mesin tik portable. Ada pergolakan batin apakah saya mau jadi fisikus atau jadi pengarang begitu menginjak tahun kedua di Yogyakarta. Karena tinggal di Asrama Timor, saya kenal akrab dengan penyair dan kini Prof. Bakdi Soemanto dari FS UGM yang menjadi tetangga. Dari ceritera-ceritera pengalaman beliaulah, saya pun akhirnya nekad ke Jakarta tanpa uang di kantong selain bekal mesin tik dan satu naskah cerpen. Kalau dipikir-pikir lagi, rasanya cerpen saya itu tidak bakal lolos ke rubrik Sinar Remaja. Tapi sekarang saya merasa seperti semua itu ada kaitan dengan kalimat-kalimat singkat Pengkhotbah yang Bung Lius kutip saat menjelaskan urusan kalimat pembukaan sebuah cerpen.
Saya tak ingat lagi berapa honornya, tetapi cukup untuk bisa beli tiket bis malam pulang ke Yogya, sekalian bisa beberapa kali ikut Bung Julius putar-putar keliling kota. Yang saya masih ingat antara lain kami pernah mampir ke rumah penulis atau pelukis bernama Fadli Rasyid, lalu ketemu dengan Bung Gerson Poyk. Pernah juga nongkrong minum di warung entah di mana di daerah Jatinegara lewat tengah malam. Paling tidak, itulah saat saya mencicipi hidup ala seniman di Jakarta dan terus terang agak menakutkan juga, apalagi sebelum itu pernah dikejar tukang-tukang copet di Lapangan Banteng sehabis turun dari bus gara-gara saya kembalikan hasil copetan mereka yang jatuh ke teman kuliah saya yang kebetulan ketemu di bus dan kena copet hari itu.
Tapi pengaruh terbesar Bung Julius dalam hidup saya adalah ajakan "buka tikar" di rumahnya itu. Karena waktu menginap di situ itu, saya disuruh melihat contoh karya berupa cerpen dan sajak yang dikirim buat rubrik Sinar Remaja. Ada dua tumpukan tinggi di lantai, masing-masing sekitar setengah meter. Dari tumpukan itulah, diam-diam saya mengingat nama dan alamat seorang penulis remaja dari Pekalongan, setelah sempat juga membaca naskahnya. Setahun kemudian ketika saya membaca sajak penulis remaja tadi di rubrik remaja harian Berita Buana, terus teringat alamat itu, dan saya menulis surat kepadanya.
Gayung bersambut, surat pun saling susul-menyusul. Sayangnya, ketika acara perkawinan kami setelah saya lulus kuliah di akhir tahun 1976, saking sibuknya saya sampai tidak ingat untuk mengirim undangan kepada Bung Lius. Itu suatu ganjalan di hati. Apalagi setelah menikah, kami selalu saja berpindah. Belum lagi karena kami sudah begitu lama di rantau, sampai saat ini istri saya belum pernah ketemu dengan keluarga Bung Julius, selain dengan Dady yang pernah mampir waktu kami masih tinggal di Salatiga.
Terakhir kali ketemu Bung Lius waktu saya di kampus Salemba sekitar tahun 1983-84. Saat itu saya sempat bergurau. "Pertama kali ketemu, Amy (putri Bung Julius) baru lahir. Kedua kali ketemu Amy sudah SMP. Mungkin ketiga kali ketemu Bung Julius sudah jadi kakek." Beberapa tahun lalu, gara-gara melihat namanya di susunan Redaksi Pos Kupang lewat internet, saya sempat telepon cari Bung Julius ke sana. Kebetulan Bung Julius sedang berada di Pos Kupang dan saya tidak ingat lagi apa yang kita bicarakan. Itu juga pertama kali Bung Lius kenalkan saya pada Bung Damyan.
Lalu dari Bung Lius saya mendapat nomor telepon rumahnya di Jakarta, dan saya pernah telepon dan bicara dengan ibu Theresa beberapa bulan setelahnya. Dari sana saya mendapat nomor telepon di Surabaya lalu sempat bicara satu kali lagi dengan Bung Lius.
Waktu saya beritahu kalau Bung Julius meninggal, istri saya hanya melongo. Setelah kembali dari rasa terkejutnya, istri saya sempat tanya.
"Masih muda kan?"
"Enampuluh satu," kata saya.
"Enampuluh satu kan belum tua, enampuluh satu kan sudah menunggu kita di ujung situ."
"Iya, sayang. Kalau di sini enampuluh satu memang terhitung muda. Di sana, selain mereka makannya sembarangan, tidak peduli urusan kolesterol, atau kandungan lemak, mereka juga belum tentu bisa periksa kesehatan dengan fasilitas seperti yang ada di sini, apalagi itu asap rokok dan minumam keras," lalu kami pun tenggelam ke dalam lamunan masing-masing.
Malam itu istri saya mengajak saya ke kapela, khusus untuk berdoa buat Bung Julius dan keluarganya. Setelah telepon sana sini selama dua hari, akhirnya saya bisa bicara dengan ibu Theresa, Amy dan adik-adik Bung Lius di Jakarta.
Dibandingkan dengan pembaca lain, kehadiran Bung Julius dalam hidup saya singkat sekali. Tapi dalam pertemuan yang begitu singkat, Jembatang - kata orang Kupang - atau mak comblang tidak langsung ini tentu saja menentukan sekali dalam seluruh perjalanan hidup saya. Mungkinkah itulah makna bahwa segala sesuatu di bawah langit ada waktunya, seperti yang Bung Julius sempat kutip waktu menjelaskan kalimat-kalimat pendek Pengkhotbah? Walahualam. Dari jauh, saya hanya bisa bilang, selamat jalan Bung Lius, selamat jalan Ba'i Jembatang!

* Aris dan istrinya Winnie Aloisa Tanone,
kini tinggal di Amerika Serikat.

Pos Kupang, 2 Juli 2005

Sastrawan yang Asing di Kampung Sendiri

* Mengenang Julius R Siyaranmual

Oleh Even Edomeko*

ADAKAH sastrawan dari NTT? Maka seorang guru sastra SMP Seminari Yohanes XXIII Lela (1983) menjawab kepada penulis : Gerson Poyk dan Julius R Siyaranamual. Hanya begitu. Begitu saja! Lalu ia cepat-cepat membicarakan nama lain yang tertulis dalam buku pelajaran sastra terbitan Tiga Serangkai Solo.
Siapakah Julius? Jawaban atas pertanyaan ini baru penulis peroleh ketika "merusak kerapian" perpustakaan SMA Seminari Yohanes Berchmans Mataloko (1985/1986), langsung dari "mulut" Om Julius sendiri melalui kisah kepengarangannya yang ia juduli Menolak Kebetulan, sebagaimana termuat dalam buku Pamusuk Eneste (editor) : Proses Kreatif (Gramedia, Jakarta, 1983). Dalam buku ini, "Sastrawan leu-leu" itu bersaksi dan men-sharing-kan pengalamannya tentang mengapa dan bagaimana saya mengarang, bersama dengan sepuluh sastrawan senior seperti "ST Alisjahbana, Trisno Yuwono, Budi Darma, Nh. Dini, Putu Wijaya, Arswendo Atmowiloto, dll. Berkali-kali penulis membacanya, dan setiap kali membaca, selalu saja berkibar perasaan sangat bangga bahwa ternyata dari daerah bencana ini, dari propinsi busung lapar ini, ada sastrawan ternama!


Namun perkenalan yang "lebih intens" dengan Om Julius dan sastrawan NTT lainnya baru terjadi di Malang (1991/1995), saat penulis jadi mahasiswa dan aktif dalam Kelompok Penulis Nusa Nipa (bersama Anthony Tonggo, Tonce Tolentino, Timo Teweng, Marthen Golo, serta Drs. Gaspar Asal dan Drs. Gerardus Uda - dua nama terakhir adalah dosen Undana yang sedang studi S2 di IKIP Malang). Kami mengumpulkan karya-karya pengarang NTT dan mendiskusikannya. "Luar biasa dahsyat para pengarang NTT!" kata Profesor Hasyim Amir, budayawan dan ahli sastra IKIP Malang, yang sering kami mintai komentarnya terhadap karya pengarang NTT.
Di rumah beliau yang sederhana dan artistik, sambil lesehan, kami sempat bergurau dengan dan menikmati Eka Budianta bersyair, Emha Ainun Nadjib berseloroh dan Gerson Poyk bikin cerita "porno". Kami jadi akrab dengan sastrawati Ratna Indraswari Ibrahim, yang hanya duduk di kursi roda, tetapi selalu dikunjungi Ignas Kleden saat ngelencer ke Malang. Sayang, Om Julius yang kala itu tinggal dekat- dekat di Surabaya sebagai redaktur Harian Surya tidak pernah bisa kami jumpai. Saat ke Surya mengambil honorarium tulisan dan menanyakan Om Julius, Kae Jacobus Embu Lato biasa menjawab, "Wah dia sudah ke..." Namun dari mulut para sastrawan dan budayawan itu, kami lebih mengenal para sastrawan NTT, termasuk keunikan-keunikan yang pasti tidak bakal dimuat di media massa. Kami pun mengenal : Umbu Landu Paranggi, John Dami Mukese, Maria Matildis Banda...
Gesekan dan pergaulan itu mendorong penulis untuk coba bikin cerpen sendiri dan -syukur-alhamdulilah-deo-gratias- dimuat di beberapa media terbitan Jakarta, Nusa Tenggara dan Jatim, di antaranya di Harian Sore Surabaya Post, di kolom yang pernah memuat karya Gerson Poyk (seperti cerbung Negeri Lintasan Petir, Budi Darma, Beni Setia dan Emha Ainub Nadjib.

***
Dengan kisah di atas, penulis mau mengatakan bahwa ternyata NTT memiliki sastrawan kaliber nasional dan bahkan dibicarakan di luar negeri, dan bahwa karya dan hidup mereka mampu membangkitkan minat dan menodorong kreativitas "generasi ade-ade"-nya, tetapi sayangnya mereka kurang dikenal di antara "anak-anak tanah". Sastrawan NTT adalah orang asing di kampungnya sendiri.
Ketika Pos Kupang (25/5/2005) mengabarkan Om Julius telah meninggal dunia, penulis bertanya kepada para siswa SMU di Maumere: "Kenal sastrawan Julis R Siyaranamual?" Mereka malah bertanya, "Siapa dia?" Bahkan seorang guru bahasa dan sastra di sebuah sekolah ternama di Maumere mengaku hanya tahu serba sedikit nama itu dari buku pelajaran sastra, dan belum pernah membaca karya-karyanya!
Pemerintah daerah pun sama saja. Dalam Pos Kupang edisi 26 dan 27 Mei 2005 tidak pernah ada "tanda-tanda budaya' (istilah penulis) yang mensinyalkan adanya perhatian dan kepedulian dari Pemda NTT - baik pemimpin eksekutifnya maupun legislatifnya - tentang telah mangkatnya seorang tokoh besar NTT. Sama sekali tidak ada! Yang ada justru ikan-iklan besar yang beri ucapan selamat ulang tahun kepada Bapak Piet A Tallo, Gubernur NTT. Om Julius, seperti Om Valens Goa Doy yang meninggal beberapa hari sebelumnya (3 Mei 2005), memang telah memilih jalan seni, sebuah jalan yang sepi, yang senyap dari aplaus dan sunyi dari apresiasi, lebih-lebih di kampung sendiri.
Apakah artinya ini? Ini berarti, para pemimpin kita, eksekutif, dan legislatif, tidak menaruh hormat atas jasa para pahlawan sastra dan budaya NTT. Padahal mereka telah mengharumkan nama NTT, tidak saja di jagat sastra nasional, tapi juga internasional. Hidup bagi mereka, seolah-olah, hanya politik yang riuh dan ekonomi yang hinggar. Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada peringatan Harkitnas 20 Mei 2005, di Istana Negara, menulis sebuah puisi yang dibacakan penyair Bandung Imam S, dan menitipkan salam untuk semua seniman dan sastrawan Indonesia dengan ucapan : "Hidup itu tidak hanya politik dan ekonomi. Hidup baru jadi kaya bila diisi dengan seni dan budaya" (TVRI, 2 Mei 2005, jam 20.00-22.00 Witeng). (Kiranya politikus-ekonom Ame Frans Seda tidak berkeberatan dengan hal ini).
Semua ini mengingatkan kita akan gugatan Gerson Poyk, Taufiq Ismail, Jamal D Rahman dan Agus R Sarjono, tiga tahun lalu, yang mengeluh bahwa : "Sekarang Indonesia umumnya, dan NTT khususnya, miskin sastrawan pelapis". Keluhan ini dilontarkan dalam dialog "Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya" bersama para siswwa SMA di Kupang (Pos Kupang, 29 Juli 2002). Gerson bahkan menuding Pemda NTT hanya peduli membangun gedung-gedung besar dan rumah-rumah mewah, semua yang fisikal belaka. Itu tidak buruk. Tetapi, melupakan pembangunan rohani, spiritual, dan emosi, lewat sastra dan budaya, hanya membuat manusia NTT yang besar badannya tetapi kerdil jiwanya.

***
Mungkin prihatin akan itu, Om Julius bercita-cita pulang kampung dan mendirikan sanggar belajar sastra bagi kaum muda NTT (Pos Kupang, 25/5/2005). Sayang, ia keburu mangkat sebelum angannya terwujud. Maka, hari-hari duka mengenang kepergiannya kini mesti jadi momentum untuk membergairahkan minat kaum muda NTT akan sastra. Bukan sekadar untuk memenuhi cita-cita Julius, tidak hanya demi melahirkan sastrawan pelapis dari NTT yang diangankan Gerson Poyk, tetapi terutama untuk membentuk kebeningan budi dan keindahan jiwa kaum muda kita.
Untuk itu barangkali strategi berikut kita direnungkan untuk dipertimbangkan. Pertama, media massa. Media massa kita, elektronik dan terutama cetak, akan menjadi tonggak pertama dan sangat penting dalam menyebarluaskan karya-karya dan kisah hidup para sastrawan lokal kita. Jangan tunggu mereka mati dulu baru menulis berhalaman- halaman tentang mereka. Ulasan tentang karya-karya mereka, baik karya yang meraih penghargaan maupun belum, dan wawancara tentang proses kreatif mereka sebagai pengarang atau aktivitas kesehariannya, akan senantiasa penting dan menarik disimak, dipelajari, diarsipkan, diajarkan, dan pada gilirannya merangsang minat banyak "anak tanah" untuk tidak saja mengenal dan mencintai para sastrawannya, tetapi juga mengikuti jejaknya.
Di sisi lain, demi mengemangkan minat pada sastra, koran-koran perlu menyiapkan ruang khusus yang mempublikasikan karya para kawula muda (seperti Pos Kupang Minggu), dan alangkah baiknya jika disediakan pula honorarium yang merangsang. Bersamaan dengan itu, kehadiran Maria Matildis Banda, Frans M Parera dan Gerson Poyk (selaku redaktur khusus) bisa lebih menggairahkan para "calon sastrawan pelapis" itu dengan memberikan penilaian, kritik dan apresiasi terhadap karya-karya mereka, sebagaimana dulu DA Peransi terhadap R Siyaranamual atau HB Jassin terhadap Chairil Anwar, dll.
Kedua, sekolah-sekolah. Sistem pendidikan bahasa dan sastra yang selama ini menitikberatkan gramatika perlu diperkaya dengan belajar sastra dan mengarang. Adalah baik, jika para guru mulai memasukkan ujian mengarang sebagai bagian dengan bobot lebih dalam ujian Bahasa Indonesia. Siswa harus diajari menulis dan mengarang lebih serius daripada sekadar bikin clipping. Rasa-rasanya ahli gramatika seperti Bapak Goris Keraf dan Romo Bone Rampung setuju dengan saran ini.
Ketiga, masyarakat. Kelompok masyarakat seperti pengusaha, LMS dan stasiun-stasiun radio bisa mengambil bagian dalam menumbuhkan semangat berkebudayaan ini, misalnya dengan menyelenggarakan lomba mengarang dan/atau membaca karya sastra (seperti dulu pernah ada lomba baca Tapaleuk). Jangan dulu bangga jika hanya mampu menyelenggarakan pertandingan sepak bola, invitasi bola voli, turnamen tinju, kejuaraan berkelahi (taekwondo, karate, kungfu, gulat, silat, dll). Jangan hanya bikin pemilihan Puteri Ayu, Puteri Seksi, Puteri Pantai. Jangan dulu bertepuk dada karena sukses bikin lomba nyanyi, lomba joget, lomba poco-poco, lomba rokatenda, atau lomba gawi dan lomba tari ja'i. Tetapi berbanggalah, beranilah bertepuk dadalah dengan menyelenggarakan sayembara mengarang. Rasanya Dr. Daniel Dhakidae dan Dr. Paulus Budi Kleden tidak akan menolak menjadi juri tanpa dibayar.
Upaya Flobamora Mall yang mengadakan lomba baca puisi baru-baru ini di Kupang penting diikuti pengusaha lainnya. Era otonomi daerah adalah era inisiatif rakyat diberi dan mengambil peran. Dan jangan lupa, jika mungkin, rangsanglah peserta dengan hadiah uang yang menggiurkan. Sekadar contoh, para pengarang/penulis di Malaysia, jika memenangi suatu sayembara mengarang, bisa membawa pulang uang ribuan ringgit (=jutaan rupiah). Maka, tidak heran, jika di negeri tetangga kita itu, kehidupan sastranya jauh lebih maju dari pada kita di sini.
Keempat, pemerintah. Di atas telah diuraikan kritik Gerson Poyk. Di sini, penulis hendak mengimbau agar pemda mulai berani memaknai OTDA dengan mengembangkan kurikulum pendidikan muatan lokal, yang berisikan pelajaran dan pembelajaran tentang sastra dan sastrawan NTT. Siapa lagi yang akan menghargai mereka jika bukan kita?
Setelah melengkapi kurikulum tersebut, langkah selanjutnya pemda perlu menyiapkan "media" untuk para muda itu berkreasi. Misalnya: menyelenggarakan lomba mengarang kisah kepahlawan dari para pahlawan daerah kita pada Hardiknas 2 Mei, Harkitnas 20 Mei, atau perayaan Kemerdekaan 17 Agustus. Jangan hanya bikin pertandingan makan kerupuk dan lomba panjat pinang doang! Bung Karno dan Bung Hatta memperjuangkan kemerdekaan negara ini dengan banyak menyebarkan tulisan di media massa nasional dan internasional. Bukan dengan memanjat pinang atau makan kerupuk.
Semoga permenungan ini menggedor kesadaran kita bersama untuk melahirkan Julius-Julius baru, Gerson-Gerson muda, sebuah angkatan sastrawan NTT yang baru, yang -insya Allah- mengharumkan NTT dan menyejajarkan Indonesia dengan Rusia (dengan Dostoyevsky-nya) atau Inggris (dengan Shakespeare-nya) atau Jerman (dengan Karl May-nya) atau Denmark (dengan Hans Christian 'Louk', eh, Anderson-nya), dll. Memang, jalan itu masih panjang. Namun, berusaha selalu lebih baik daripada berdiam diri. **

* Penulis, pemerhati kearifan lokal
dan pencinta sastra, tinggal di Maumere

Pos Kupang, 15 Juni 2005

Manusia dan Belenggu Bahasa

* Mengenang Kakakku Julius Sijaranamual

Oleh Jacobus E. Lato

Manusia belum mengetahui apakah dia itu, namun melalui alienasi dari diri sendiri, ia dapat mengetahui apa yang pasti bukan merupakan dirinya dan karenanya ia tidak mau atau sekurang-kurangnya seharusnya ia tidak mau tetap tingggal dalam kepalsuan.
Kata-kata Ernest Block, filsuf Marxis kenamaan ini mengingatkan saya pada Julius Sijaranamual. Pada perspektif tertentu, karena kedekatan personal kami yang bersumberkan kekayaan normatif kebudayaan Sumba dan Flores, saya menempatkannya sebagai kakak, namun perspektif lain memposisikan kami sebagai dua lawan yang tak bisa dipertemukan. Tulisan ini dengan demikian mendeskripsikan keberjarakan dan ketidakmampuan manusiawi untuk saling memahami manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

Manusia adalah mahluk historis; tumbuh dari pergulatan hidupnya sendiri mewarnai kejasmanian dirinya seperti diuraikan Sigmund Freud berintikan kesadaran dan ketidaksadaran; lingkungan dan relasinya dengan Allah dalam dimensi waktu yang selalu mengkini. Dengan statemen ini saya ingin mengatakan bahwa pengakuan terhadap manusia sebagai mahluk historis tetap tidak bisa memberikan validasi atas pemahaman masa lampau seseorang. Kita tetap membuka diri terhadap kenyataan bahwa manusia adalah mahluk nyata hari ini; mengkini, yang sama sekali tidak bisa sepenuhnya dipertautkan dengan masa lampaunya. Dinamika manusia dengan demikian mengekspresikan kompleks rumit masa lampaunya sekaligus orientasi, harapan dan ekspektasi masa depannya.
Fenomena itu menyebabkan saya tidak bisa dibenarkan mengatakan rekan saya, seorang doktor yang meraih gelar secara gemilang dari sebuah universitas kenamaan yang membuatku ngiler dengan keistimewaan itu, sering terkantuk-kantuk di meja belajar dalam buaian udara dingin Mataloko tempo dulu untuk melakukan character assault atasnya. Saya pun pantas digebuk dengan pukulan karate ala Bruce Lee jika mengatakan rekan-rekan yang kini menjaga gawang dan mewujudkan kebijakan pemerintah pada berbagai kantor di NTT yang kini tercabut dari budaya jalan kaki mereka serta mengendarai mobil ke mana-mana, dulu seringkali mengencangkan perut karena kiriman wesel orangtua terlambat, karena para orangtua itu lebih dulu mengencangkan ikat pinggang mereka demi perwujudan pembangunan monumen anak mereka yang belajar di rantau.
Keunikan dinamika manusia menyebabkan kesibukan para seniman, mahluk yang berada di atas angin angan, sekaligus yang menjalani setiap jalan keras kehidupan tidak berhenti berkreasi. Mahluk rasional ini menjadi sumber inspirasi yang terus-menerus harus ditulis ulang. Menjadi kesibukan pencarian yang tidak pernah mampu terpagari oleh eksistensi manusia sehingga kematian pun tidak mampu mematikan keabadiannya. Tidak juga oleh bahasa. Pengalaman sebagai remaja kecil yang membuatnya selalu dikelompokkan sebagai orang buangan untuk tim sepakbola kelasnya atau jenis olahraga lainnya diekspresikan Julius dalam berbagai novel kanak-kanak seperti Anak-anak Laut (1971), Menaklukkan Dunia Baru (1972), Tuhan Jatuh Hati (1972) dan Dalam Enam Jam.
Dalam novelnya Theo si Cilik (1972), salah satu penulis terbaik yang pernah dihasilkan NTT itu menemukan bahwa ketidakmampuan menandingi rekan-rekannya yang berbadan subur bisa dikanalisasi dalam bentuk lain. Dalam ekspisme psikologis konstruktif tanpa terjebak dalam hingar bingar kebencian yang mempertentangkan diri dengan manusia lain yang kini nampak mulai menghilang dari batin kalangan muda kita. Pengakuan pribadinya kepada saya yang selama tiga tahun hidup satu kos dan bersama-sama menangani kolom Opini, harian Surya di Surabaya; yang termasuk Theo si Cilik dalam dunia nyatanya adalah Valens Goa Doy, rekan sekelasnya yang meninggalkan kita beberapa waktu lalu (lihat essay saya, Valens tidak bisa dikuburkan dengan kata-katanya).
Dalam novel terbitan Nusa Indah yang saya baca pada tahun tahun 1993 itu, Julius membuktikan bahwa karya sastra estetik bisa menjadi semacam tension release, pelepasan ketegangan berekspresi yang mampu menutupi hubungan timpang dalam kekerasan kehidupan sosial. Theo, anak nelayan kecil diindividuasikannya mampu mengalahkan rekan-rekannya yang kelebihan bobot yang ketika itu menyimbolkan kemampuan ekonomi keluarga karena keunggulannya memancing dan memasuki got-got kecil di sekitar kampungnya. Perbedaan-perbedaan kharakter dan kemampuan memetakan manusia dalam berbagai kelompok, tetapi kehidupan sosial mempertautkan mereka dalam satu kesatuan yang utuh agar manusia tumbuh seimbang nampak ingin dimaknakannya dalam berbagai novel anak-anaknya..
Kekayaan dan keasyikan permainan anak-anak kemudian secara jeli dituangkannya kembali dalam cerpennya, Ancaman-ancaman, yang menjadi bagian dari antologi Prosa Indonesia Modern, oleh penulis Pengakuan Pariyem, Linus Suryadi A.G. Dalam cerpen yang dituliskannya ketika pesona teologi membiusnya sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, kemapanan berpikir kolektif yang bergerak dari norma-norma yang pada akhirnya membelenggu manusia dipertanyakan. Semua norma termasuk agama dipertanyakan dalam semangat mencari kemungkinan konsepsional alternatif yang mengakomodasi ketidakmampuan manusia memahami manusia itu sendiri sehingga hidup tidak terjebak dalam keinginan menjadi Tuhan bagi orang lain. Dikisahkannya, ada murid sekolah dasar yang senang mengganggu pendetanya yang menghabiskan waktu senggangnya dengan berkebun. Setiap kali melewati rumah sang pendeta yang penuh bunga-bunga dan kerimbunan pohon buah-buahan, sang aku melempari bunga-bunga dan mangga. Kebiasaan mengganggu itu ternyata lahir dari keinginan sang aku untuk mendengarkan penjaga gawang norma yang selalu mengkotbahkan cinta dan kerahiman Tuhan itu mengancam anak-anak dengan dosa, neraka dan Tuhan.
Keasyikannya pada anak-anak dan laut ditunjukkan Julius yang sudah mulai mematangkan konsep kepengarangannya dalam cerpen lain, Rembuan mati yang memperlihatkan betapa kebudayaan dalam hal ini mungkin Sumba membelenggu manusia sehingga fatalisme kematian pun bisa dipilih sebagai pelarian. Belenggu itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang merugikan tetapi humor
yang memungkinkan siapapun melihat tradisi nenek moyang itu dalam perspektif baru; keseimbangan menjaga relasi manusia dan alam serta Tuhan. Cerpen itu, berkisah tentang dua bakal besan yang terjebak dalam kebanggaan etnis dan prestise sosial bersitegang tentang mas kawin. Tidak ada pihak mau mengalah menggampangkan anak mereka yang kasmaran menempuh perkawinan. Ketika kebuntuan terjadi keduanya melihat bertanding sebagai alternatif, untuk menunjukkan keunggulan dan prestise diri. Bentuknya bukan berhadap-hadapan ala Caci di Manggarai atau Etu di Ngada, tetapi memancing, yang justru dilakukan ketika rembulan sedang mati. Setelah sekian lama memancing, kedua bakal besan itu merasakan pancing mereka bergoyang. Dan ketika pancing diangkat, kedua calon kakek itu terperangah. Bukannya ikan yang mereka peroleh tetapi mayat anak-anak mereka sendiri.
Arswendo Atmowiloto salah seorang rekannya mengagumi Julius sebagai pengarang yang berhasil menyajikan setting NTT dalam kancah dunia sastra nasional yang berorientasi Jakarta. Pengarang nyeleneh yang pernah dipenjarakan karena sikap skeptisnya itu menilai Julius tidak termasuk pengarang produktif. Hingga tahun 1980, penyuka kopi yang bisa menghabiskan lima bungkus rokok perhati itu hanya menulis sekitar 11 cerpen.
Saya sendiri beruntung pernah membaca sekitar 6 cerpen dan dua novelnya; Theo si Cilik dan Saat Untuk Menaruh Dendam dan Saat Untuk Menaburkan Cinta serta satu novel yang konon diupayakan penerbitannya sebelum stroke melemahkan tubuhnya. Berbagai karya itu terasa mengental utuh dalam kehidupan Bohemiannya yang tidak berhenti mempertanyakan semua fenomena yang ada di sekitarnya. Akibat intensitas pergaulan kami dan latar belakang pendidikan filsafat serta psikologi sosial saya, hidup dan pesona pemenang Zakze Prize sebagai penulis mahasiswa terbaik Indonesia untuk bidang sosial budaya itu merepresentasikan sebuah cerpen atau novel absurd yang sampai kapan tidak pernah diselesaikannya.
Pemberontakan terhadap kemapanan sosial dan keinginan aspek mencari sisi lain dari kegetiran hidup terasa kental dalam setiap gerak hidupnya. Sebagai putra Timor, begitu dia lebih suka mengakuinya, dia keluar dari batasan-batasan sosialnya sejak remaja. Keberanian itu diungkapkannya sejak SMA, setelah menamatkan SMP di kota karang, Kupang. Sebagai drop out SMA elit NTT itu, yang kebetulan sama-sama mengelola ruang Opini harian Surya, kami saling menyegarkan ingatan kepada sekolah asuhan para pastor Serikat Sabda Allah yang menurut penulis NTT lainnya, Gerson Poyk, memiliki panggung drama yang sama baiknya seperti yang dimiliki East West Center di Hawai, Amerika Serikat pada era tahun 1970-an.
Kembara Julius berlanjut. Setelah menamatkan SMA Syuradikara, yang mungkin kini kehilangan panggung sekaliber East West Center sesudah bencana Tsunami tahun 1992, dan bekerja bersama tokoh dan orator Partai Katolik di NTT, Kanis Pari, dia melanjutkan pendidikannya ke STT Jakarta. Selain bertemu dengan rekan-rekannya, seperti Pendeta Yewangoe yang kini menjadi Ketua PGI, di sana, dia bertemu Theresa S. Jansen, mahasiswi Sastra Jerman UI asal Manado, Sulawesi Utara yang dinikahinya dan memberikannya empat putera; tiga perempuan dan satu laki-laki.
Mengenai kisah cintanya itu, Kak Thres, begitu saya biasanya menyapa, berkisah; Ketika mau menikah, dia (Julius) , membawa saya ke Kupang. Bapak dan mama saya tidak tahu. Pakaian pengantin terpaksa saya jahit sendiri dengan tangan. Pakaian itulah yang saya kenakan pada hari pernikahan kami.
Karya sastra berkembang seiring pergulatan hidup pengarang yang ditempa dalam waktu yang panjang. Proses ini menjadi niat yang terus menerus diperjuangkan sehingga kekayaan pengalaman dan pengetahuan dieskpresikan dalam karya-karya yang selalu lebih baik dari sebelumnya. Gejolak dunia anak-anaknya dan remaja Julius dituangkan dalam berbagai tulisan yang sekilas saya singgung di atas. Ketika dewasa, yang menurut psikolog kenamaan Kohler didahului sikap skeptis untuk mempertanyakan nilai-nilai, Julius pun mempertanyakan nilai-nilai cinta dan perkawinan.
Dalam Saat Untuk Menaruh Dendam dan Saat Untuk Menaburkan Cinta (1992), dia melukiskan misteri manusia yang cenderung memetakan cinta sekalipun secara platonis tanpa terjebak hanyutan psikologis; sebaliknya membiarkan masing-masing pihak tumbuh sebagai pribadi.
Bahar, mahasiswa daerah yang terkurung tembok asrama terjebak keinginan menyelamatkan Eri yang terlanjur hamil karena saya membutuhkan seorang sahabat, sebab itu yang tidak pernah saya miliki, dengan cara hidup bersama wanita itu. Kehidupan Eri yang bebas, perbedaan prinsip yang kerap berujung pada konflik menyebabkan pria 23 tahun itu ingin membalas dendam; wanita cantik mahasiswi sebuah akademi sekretaris itu telah memberikan cinta dan dirinya kepada kekasihnya yang entah ke mana, namun kini mengharapkan kerelaannya menanggung malu. Meski demikian, Bahar, tanpa mengutipkan alasan moralistis yang secara sederhana dan hitam putih memetakan manusia juga melihat perkawinan sebagai persoalan manusia yang harus diperjuangkan keutuhan dan kelanggengannya.
Bahasa bagi Julius, adalah raket di tangan Liem Swie King itulah yang sering dikatakannya ketika kami bersama-sama memberikan pelatihan kepada mahasiswa, pada awal 1990-an. Kemahirannya menggunakan keluaran kemampuan berpikir manusia itu mencengangkan. Setiap kata disadarinya dan dirumuskannya hati-hati. Ia khawatir, ketidakmampuan mengungkapkan setiap detil kekayaan konsep berpikir seperti dikandung benaknya membiaskan maksudnya. Tulisan-tulisannya merupakan cermin panjang refleksi keseharian yang dimatangkan bahasanya. Ketidakmampuan merumuskan utuh konsep yang selalu terjadi pada perspektif tertentu harus dikembalikan kepada ketidakmampuan dasar abstraksi manusia dan bahasa pada pihak lain. Karena itu, selain belenggu ketidakmampuan diri, manusia pun dikendalai oleh ketidakmampuan bahasa. Tulisan ini tidak berpretensi menjelaskan Julius Sijaranamual, seperti juga kekayaan pengalamanku bertemu dia. Untuk memahami serba sedikit kekayaan kemampuan Julius mengungkapkan dinamika psikologis manusia, saya kutipkan bagian akhir buku Saat Untuk Menaruh Dendam dan Saat Untuk Menaburkan Cinta (hal. 134-135).
Tetapi ketika melihat wajah ayah Eri yang seakan-akan siap untuk menelan isri dan anaknya, saya segera melanjutkannya; Ketika mula-mula menikah, saya dan Eri memang sependapat bahwa hanya untuk mengatasi persoalan yang bakal dihadapi Eri karena ia hamil. Tetapi persoalannya sekarang sudah agak berbeda. Kenyataan yang saya hadapi pun sudah mampu membuat saya mengambil keputusan untuk tetap meneruskan hubungan yang ada dengan Eri sebagai suami istri.
Lalu sang ayah menanyakan kesungguhan hati saya dan saya katakan bahwa saya dibesarkan dalam tradisi keluarga yang hanya mengenal satu kali perkawinan sebagai hal yang sempurna, dan terutama karena kami telah mempunyai anak dan saya kira persoalan tidak ada sebagai saya juga sudah bekerja baik-baik, bahkan akan kuliah kembali karena dibantu oleh kantor.
Malam itu memang kedua orangtua itu tidak jadi menginap di rumah kami, tetapi mereka juga tidak perlu repot membawa pulang anak mereka. Eri sendiri tidak berbicara sama sekali, ia berdiam diri saja.
Di atas tempat tidur saya berkata, Kau tahu Anwar sekantor dengan saya. Kata Eri: Saya tahu. Waktu saya mau melahirkan, saya dengan taksi lewat di situ. Maksud saya mau memberitahukan kau, tahu-tahu saya lihat Anwar berdiri di depan. Jadi saya suruh taksi terus saja.
Kata saya: Dia menceritakan segalanya, dan saya kira saya bukan seseorang yang tidak membuktikan hal-hal yang saya kira patut saya kerjakan, walaupun seluruh dunia ini akan mengatakan salah. Kata Eri: Lalu apa sebenarnya yang mendorong kau untuk meneruskan hidup bersama saya?
Kata saya: Tidak ada. Kita sudah hidup bersama dan justru saya lihat kemungkinan untuk sebaliknya yang akan aneh. Apalagi kita sudah punya anak sekarang. Dan persoalan pertama yang kita hadapi adalah bagaimana memberikan nama yang bagus untuknya. Eri diam saja. Saya juga sebab saat untuk tidur sudah hampir.*




Kutu Buku yang Pandai Menulis

* Mengenang sastrawan Julius R Siyaranamual (2)

Oleh Maria Matildis Banda

BERITA meninggalnya Julius Syaranamual cukup mengejutkan Agustinus Beu Mude, mantan guru sastra Indonesia-nya di SMAK Syuradikara Ende. "Julius anak yang cerdas dan tahu berterima kasih," demikian spontanitas Pak Agus berbicara tentang Julius.
"Gampang diingat sebab beliau paling kecil, bercelana pendek sepanjang sekolah sampai tamat SMA, pintar, dan terutama kutu buku! Soal kutu buku Julius sama dengan Valens Goa Doi. Keduanya sekelas, dua orang yang sangat saya ingat," demikian Pak Agus.
Bukan hanya itu saja, setelah tamat SMAK Syuradikara, Julius Siyaranamual tetap diingat karena profesinya. Tidak hanya wartawan tetapi secara khusus sebagai penulis sastra. "Sulit mencari pengganti mereka." Di kalangan alumni Syuradikara Ende, sekolah swasta pertama dan tertua (52 tahun) ternyata sangat sukar mencari "Julius Siyaranamual dan Valens Doy" yang baru. Orang-orang yang memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap dunia kewartawanan dan dunia tulis-menulis umumnya bahkan sampai akhir hidupnya.

Memang tidak sedikit anak Syuradikara yang menjadi wartawan atau anak NTT yang menjadi terkenal dan hidup dari profesinya sebagai penulis. Tetapi Julius dan Valens berada dalam catatan khusus. Keduanya sangat peduli untuk membawa perubahan bagi NTT. Sebagaimana dicatat Pos Kupang tentang peran Valens dan Julius menempah para calon wartawan pada awal lahirnya SKH Pos Kupang. Valens yang jeli dan peka terhadap hal-hal kecil dan ketajamannya membuat calon wartawan terkejut dan membuka mata. Juga Julius yang dikenal dengan kajian deskritif dalam dunia kewartawanan. Kita patut bangga sebab jelas tercatat "kewartawanan" gaya Valens dan Julius meninggalkan banyak penerus. Tetapi bagaimana dengan "kepengarangan" gaya Julius?
Kenangan terhadap seorang penulis sastra (pengarang) ibarat pepatah. Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan budi. Bagaimana kalau pengarang meninggal dunia? Tentu saja beliau meninggalkan hasil karyanya. Di antaranya Julius R Syaranamual, salah satu pengarang asal bumi NTT yang "kering" penulis. Beliau pergi tetapi karya-karyanya tetap hadir dan tercatat dalam khazanah sastra Indonesia. Selain memukau kalangan peminat sastra melalui novel Saat untuk Menaruh Dendam dan Saat untuk Menaburkan Cinta (1978), Julius juga dikenal sebagai pengarang khusus. Beliau dijuluki "pengarang dunia kanak-kanak" karena perhatiannya mengangkat masalah anak, dan menuliskan cerita khas anak-anak seperti Anak-anak Laut (1971), Menaklukan Dunia Baru (1971), Tuhan Jatuh Hati (1971), Teo Si Cilik (1972), dan Sekamar dengan Koko. Dalam tulisannya, Julius sangat memperhatikan bagaimana manusia dibentuk sejak anak-anak. Kesadaran pada masa kanak-kanak yang bebas, riang, dan terarah dalam tradisi keluarga saleh, membangun komitmennya dalam menulis. Beliau sadar bahwa tulisan adalah salah satu jalan baginya untuk bersaksi. Termasuk kesaksiannya pada masa lalu sekaligus masa depan anak-anak Indonesia. Tidaklah mengherankan jika tiga buah karyanya tersebar merata ke seluruh negeri melalui Inpres, masing-masing Sekamar dengan Koko, Anak-Anak Laut, dan Menaklukkan Dunia Baru. Keberhasilannya ini juga dilengkapi dengan peran istrinya yang juga seorang pengarang cerita anak-anak.
Kecintaannya pada dunia anak diungkapkan juga melalui kepedulian untuk ikut membidani lahirnya majalah anak-anak Kawanku dan menjadi pemimpin redaksinya (1970-1989). Sekarang majalah Kawanku tampil dengan lebih gagah, gaya, dan gaul. Barangkali tidak ada seorangpun anak-anak dan remaja NTT yang tahu bahwa Om Julius Siyaranamual adalah orang yang berada di belakang Kawanku. Untuk mengenal saja begitu sulit bagaimana dengan regenerasi? Julius pergi, siapa penerusnya?
Menurut Agustinus Beu, setahunya - paling tidak - untuk lingkup Syuradikara, regenerasi sangat kering, jaraknya jauh sekali. Menurut pak Agus Beu, setelah Valens Goa Doi dan Julius Syaranamual, muncul beberapa nama penulis yang bukunya diterbitkan seperti Aloysius Liliweri dan Maria Matildis Banda. Wartawan cukup banyak, namun yang menerbitkan buku sangat minim. Regenerasi cenderung lambat. Apalagi untuk anak-anak NTT zaman reformasi yang cenderung pragmatis, generasi instan yang malas berpikir dan lebih puas menelan.
Apa sebenarnya yang membuat Julius (juga Valens Goa Doi dan kawan-kawan wartawan) begitu interes pada dunia tulis-menulis? Sebagai guru bahasa Indonesia yang syarat pengalaman, Pak Agus Beu segera menjawab. "Baca!" Dalam ingatannya Julius itu kutu buku yang cerdas. "Dia tidak terlampau pintar tetapi dia tekun dalam membaca. Di kalangan anak dan guru-guru Syuradikara dulu, Julius dikenal sebagai si kecil kutu buku." Bacaan membuka cakrawala, membangun kreativitas dan mampu menghapus batas. Hal inilah yang tidak dimiliki anak-anak sekarang. Budaya lisan begitu kuat membelenggu meskipun dunia tulis-menulis, kewartawanan, dan arus informasi berkembang pesat. Bahkan keengganan membaca justru muncul setelah tawaran dunia informasi memaksa pikiran anak-anak terjebak hanya pada konteks melihat dan mendengar.
Kepergiaan Julius mudah-mudahan menjadi catatan penting bagi bagi dunia tulis-menulis di NTT. Ada banyak nama pengarang baru yang penuh bakat dan karya mereka "diam" dalam Pos Kupang. Tercatat nama-nama seperti Sipri Senda, Pr, Siprianus Atok, Usman D Ganggang, Freddy Kedang, Charles Lakapu, Steph Tupeng Witin, Tilde Menge, Mezra Pellondow, Jefri Klau, dan masih banyak yang karyanya pernah diterbitkan Pos Kupang. Jika tidak ingin berhenti hanya pada segelintir pengarang, pemerintah NTT harus melakukan kerja nyata. Misalnya usaha membangun budaya baca dengan menerbitkan karya-karya pengarang. Selain untuk tujuan motivasi bagi pengarang, usaha ini juga sebagai salah satu bentuk toleransi pemerintah terhadap berkembangnya sastra Indonesia di tingkat nasional maupun internasional. Agar dunia sastra kita tidak hanya mencatat Julius Siyaranamual, Gerson Poyk, atau segelintir nama lain. Tetapi ada generasi baru disamping Julius.
Pengarang dan wartawan itu sudah wafat. Namun tulisannya menetap di dunia fana ini. Si kutu buku yang pandai menulis adalah dua sisi yang tak terpisahkan. Meskipun penciptanya telah wafat berkalang tanah tetapi pandangan dunianya mengembara kemana-mana, diam, dan mengendap pada setiap kepala dan setiap hati yang mau membaca. Selamat jalan Om Julius. Sebagai pengarang engkau dikenal dengan nama Julius Reinhard Siyaranamual.
Sebagai Redaktur Khusus Pos Kupang engkau disapa Om Julius oleh anak-anak didikmu. Walaupun kita tak pernah bertatap muka, namun sesungguhnya kita sudah bertemu berkali-kali melalui berbagai buku dan tulisan-tulisanmu. Ternyata benar tulisan menembus nuansa tempat, ruang dan waktu, meskipun penciptanya sudah pergi begitu jauh. (habis).

Pos Kupang, 28 Mei 2005

Antara Dendam dan Cinta

* Mengenang sastrawan Julius R Siyaranamual (1)

Oleh Maria Matildis Banda

PERJUANGAN mengalahkan dendam berjalan bersama kegigihan menaburkan cinta. Itulah dua hal yang paling meninggalkan kesan mendalam tentang Julius Reinhard Siyaranamual sebagai seorang sastrawan. Dalam kehidupan nyata cinta dan dendam ibarat mata uang. Katakanlah uang itu senilai lima puluh ribu rupiah. Manakah halaman depan dan mana pula halaman belakang? Apakah yang bergambar pengerek bendera siap menaikkan bendera, ataukah wajah tampan Wage Rudolf Soepratman. Mana pula yang lebih penting?
Kedua sisinya saling memunggung tetapi tak terpisahkan. Mungkin analogi ini kurang tepat untuk menunjukkan betapa dendam dan cinta memiliki kekuatan yang sulit dipahami. Apalagi jika dikaitkan dengan harga diri dan integritas seorang laki-laki Timor yang dibesarkan dalam tradisi Kristen yang amat kuat. Sudah dapat diduga mana yang dikalahkan, mana yang diutamakan, dan bagaimana dua hal ini membayangi detak-detik perjalanan waktu.


Demikianlah Julius R Syaranamual mendeskripsikan prinsip hidupnya melalui novel terkenal Saat untuk Menaruh Dendam dan Saat untuk Menaburkan Cinta (disingkat SMDSMC). Sebelum lahir sebagai buku, novel ini terbit bersambung di Harian Kompas bulan April 1978. Tidak banyak sesama warga NTT yang membaca karyanya. Mungkin hanya segelintir guru yang kagum dan mencatatnya dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Keberhasilan Julius sebagai pengarang memang hanya dikenal generasi sebelum 1980-an.
SMDSMC menarasikan dua tokoh utama Bahar (laki-laki) dan Eri (perempuan). Eri berusia 20 tahun, karyawati juga mahasiswi Akademi Sekretaris yang sangat binal. Kehidupan cintanya dilukiskan sangat liar dan bebas. Lukisan karakter fisik, psikis dan sosial (salah satu poin penting dalam estetika prosa) dibangun dalam kemasan konflik yang membuat pembaca tidak akan berhenti membaca sebelum selesai. Dia naik ranjang dengan semua laki-laki yang pernah menjadi pacarnya. Tercatat banyak nama dan yang terakhir ternyata sudah beristri. Sedangkan Bahar adalah mahasiswa Teologi yang hidup di asrama dengan tata krama sosial budaya yang sudah dibangun dalam kesepadanan teori dan praktek. Bahar adalah sahabat Eri, pendengar yang sangat menawan yang selalu dengan setia menampung semua kisah dan keluhan Eri tentang sebagian besar laki-laki yang pernah tidur dengan dia. Pendek kata Bahar adalah laki-laki yang siap-sedia memberi nasehat dan jalan keluar dari problem sahabat karibnya itu.
Sampai suatu saat terjadilah bencana itu. Tanpa diduga, Bahar jatuh juga dalam pelukan Eri dan celakanya satu kali saja memakan "buah terlarang" telah menyebabkan Eri hamil. Bahar perlu meyakinkan dirinya apakah benar dia laki-laki terakhir dan apakah betul dialah ayah anak yang kandung Eri. Tapi Eri memilih Bahar untuk mau bertanggung jawab, sekedar menutup malu. Pernikahan Bahar (23 tahun) dan Eri (20 tahun) berlangsung dalam sebuah perjanjian cerai setelah anak mereka lahir.
Eri tahu dirinya tidak pernah mencintai Bahar dan sangat naif jika memaksa Bahar untuk bertanggung jawab. Rumah tangga berjalan dengan konflik tajam untuk saling menyakiti terutama setelah Bahar tanpa sengaja membaca buku harian Eri yang menulis detail malam pertamanya dengan "D". "Bukan main pengalaman malam pertamamu," demikian Bahar menikam Eri dengan kata-kata sekaligus membuka aib yang telah terkubur satu persatu dalam kenangan catatan harian. Tanpa sadar dendam di hati dan pikiran Bahar bertumbuh subur bersamaan dengan keluasan Eri berpeluk dengan mantan-mantannya dan membesarnya kandungan ibu muda itu bulan demi bulan.
Puncaknya ketika Bahar akhirnya tahu bahwa Anwar, sahabat karibnya sekaligus rekan kerja di sebuah majalah, bercerita tentang bagaimana malam percintaannya dengan Eri. Anwar tidak pernah tahu bahwa perempuan yang dikisahkan itu adalah istri Bahar. Pada puncak kemarahan itulah Eri melahirkan bayi laki-laki. Entah kenapa Bahar merasa perlu untuk mendampinginya dengan rasa kasih dan maaf yang sukar dikatakan sebab lahir bersama dendam yang tak juga hilang.
Dua minggu setelah melahirkan, Eri cukup tahu diri untuk segera pergi. Sambil berlinang air mata dia memohon pamit. "Saya tidak tahu cara yang paling tepat untuk mengatakan terima kasih saya," ujar Eri. "Tapi kau tahu, saya sangat berhutang budi padamu. Terima kasih. Tapi saya kira kita tidak begitu sepadan untuk hidup bersama. Kita selalu cenderung untuk saling menyiksa." Di luar perkiraan Eri, ternyata Bahar tidak mengizinkannya pergi dengan alasan, "Kalau saya menahan kau bukan karena kasihan. Itu jelas, karena saya kira hal itu tidak begitu baik untuk kita berdua. Tapi Negara ini sudah terlalu penuh dengan penderitaan. Kita tidak punya hak untuk menambahnya, kalau seandainya kita bisa menghindarkannya." Ada alasan yang lebih mendasar dari itu, Bahar dibesarkan dalam tradisi keluarga yang hanya mengenal satu kali perkawinan sebagai hal yang sempurna. Dengan prinsip iman inilah dia kalahkan dendam dan berjuang membangun cinta bersama Eri dan anaknya.
Berbagai pikiran yang dituangkan dalam SMDSMC syarat makna. Novel ini ditampilkan dalam teknik dan komposisi cerita dalam cerita (cerita berbingkai). Alur bergerak maju dalam latar Jakarta yang padat masalah. Sangat tepat bisa ditelaah dari teori strukturalisme genetik yang menggarisbawahi pandangan dunia pengarang. Lucian Goldmann adalah salah satu pengembang teori ini (Baca: Sosiologi Sastra, tulisan Umar Yunus). Intinya menggarisbawahi cara berpikir, wawasan dan sikap hidup pengarang yang dituangkan dalam karya sastra. Struktur novel dibedah sesuai estetika alur, perwatakan, dan latar. Pandangan dunia pengarang akan terungkap melalui estetika itu. Pertanyaan seperti siapakah mengarang, apa alasan dan tujuan, dan makna apa yang ingin dikedepankan melalui karyanya, menjadi bagian dari usaha kritikus untuk menempatkan posisi karya sastra. SMDSMC secara tajam menampilkan sebuah ekspresi dari prinsip iman pengarangnya. Bahwa meskipun pahit pil realitas hidup yang mesti ditelan, segalanya akan menjadi lebih mudah jika seseorang berjalan pada prinsip.
Catatan kenangan yang ditinggalkan Julius Siyaranamual tidak berhenti pada solusi iman. Melalui SMDSMC beliau juga memberi pesan bahwa kerumitan problem hidup tidak dapat berubah hanya dalam sekejab membalikkan telapak tangan. Butuh waktu dan usaha terus- menerus untuk berapresiasi dengan kesediaan memberi. Itulah Julius R Siyaranamual, laki-laki kelahiran Sumba Barat. Salah satu pengarang asal daerah NTT yang miskin penulis dan begitu lama kehilangan jejak regenerasi. "Sebab seseorang yang berada di tempat saya akan merasa betapa sialnya hidup bercinta dan terjerat oleh nasib, karena ia sempat mengetahui bahwa banyak orang lain dengan pasti telah menggauli habis-habisan perempuan yang menjadi istrinya," itulah pandangan dunia Julius melalui tokoh Bahar.
Dalam keadaan hampir putus asa dia kembali ke dalam Gereja. "Saya memasukinya dengan perasaan tak menentu. Memang saya tidak juga memperoleh kedamaian di situ, tetapi saya bisa menyanyi dengan seluruh jiwa saya." Pengarang "menggiring" pembaca pada akhir yang menyesakkan jika diukur dari sudut pandang manusia. Namun, bukan tanpa alasan ketika di ujung kemelut tokoh utamanya diantar ke Gereja dengan kata-kata padat makna, "Sudah saatnya saya memperbaiki hubungan saya dengan Tuhan." Sejak Julius wafat 23 Mei 2005, beliau tidak saja memperbaiki hubungan dengan Tuhan tetapi beliau pergi ke sana dan tak pernah kembali lagi ke Negara yang katanya terlalu dipenuhi oleh penderitaan. (Bersambung)

Pos Kupang, 27 Mei 2005

Selamat jalan Ama Tobo

Oleh Paul Bolla

SAAT menghadiri ibadah syukur mengenang Om Julius Siyaranamual di Kantor Surat Kabar Harian Pos Kupang kemarin (25 Mei 2005) siang, saya diminta oleh Pemimpin Redaksi Pos Kupang, Dion DB Putra, untuk membuat sebuah tulisan mengenai Om Julius.
"Pokoknya, katong tunggu tulisan To'o (begitu Dion biasa menyapa saya) untuk rubrik opini," pinta Dion. "Opini masih kosong ya," kata Dion kepada Tony Kleden, pengasuh halaman opini, agak bersekongkol. Dan, diiyakan oleh Tony.
"Masih wartawan to, pokoknya katong tunggu sebentar untuk edisi besok," ulang Dion dengan pemaksaan halus, saat ibadah selesai dan hendak berpisah sekitar pukul 14.15 Wita. Deadline tulisan tidak diberitahu. Hanya deadline "pokoknya".

Dalam waktu yang mepet, saya memenuhi permintaan eja asal Ende itu. Karena saya tahu, jika mendekati deadline dan tulisan yang diharapkan belum ada, pasti mereka akan stres. Dan dengan kecewa segera mengganti dengan tulisan lain. Nah, tulisan ini merupakan pengembangan dari apa yang sudah saya ungkapkan sebagian saat diminta memimpin ibadah syukur mengenang Om Julius Siyaranamual, kemarin.
Ada banyak predikat yang diberikan pada Om Julius. Dia seorang wartawan, penulis, sastrawan, budayawan, aktivis LSM, guru, sahabat, pendeta, ayah, dan sebagainya. Saya memilih dua predikat: guru dan penulis. Sebagai guru, Om Julius mengajari saya menulis yang baik.
Dalam banyak ilmu yang dia ajarkan sejak ikut mendirikan Pos Kupang, topik deskripsi adalah yang paling berkesan pada saya. Mengapa? Karena ketika itu topik itu sangat menelanjangi kita wartawan Pos Kupang angkatan pertama dan sudah senior. Mereka yang tadinya bergaya sebagai wartawan senior, ternyata sama saja dengan para pemula. Lemah dalam membuat deskripsi. Om Julius mencap kita semua "bodok".
Jerih lelahnya agar kita bisa membuat tulisan deskripsi yang benar, tak banyak memberi hasil. Sehingga ungkapan berikut ini keluar begitu saja: "Saya telah memberi mutiara kepada babi-babi." Semua yang ikut pelatihan terdiam. Sonde ada yang barani angka muka. Muka merah semua. Bagi wartawan pemula wajarlah, tapi yang sudah terlanjur bergaya wartawan besar, betul-betul tidak berkutik. Karena hanya untuk membuat deskripsi ternyata tidak ada yang benar.
Sejujurnya, apa yang diminta Om Julius itu berat. Kemampuan yang didapat om Julius, terutama saat menulis feature yang menuntut deskripsi yang kuat, pasti tidak dalam seminggu pelatihan. Tetapi Om Julius meminta kita harus cepat bisa. Di kemudian hari baru saya mengerti tuntutan Om Julius itu. Ternyata deskripsi yang benar adalah sesuatu yang sangat mendasar bagi seorang wartawan. Sebuah fakta kerap berubah menjadi penilaian atau opini di tangan wartawan. Itu bukan semata-mata karena wartawan ingin beropini, tetapi sumbernya dari sang wartawan memang lemah dalam membuat deskripsi atas peristiwa yang dia laporkan.
Nah, suka atau tidak, kita sudah dicap 'bodok'. Itulah Om Julius. Apa yang ada di pikirannya keluar begitu saja. Dia ungkapkan lurus, apa adanya, dan langsung. Dia ungkapkan sesuatu yang obyektif. Jujur. Bagi yang tidak mengenal karakternya, tentu akan sangat tersinggung. Namun penilaian obyektif ini tidak terbawa dalam hubungan pribadi. Dia tetap seorang teman, memperlakukan kita dengan baik, meski baru saja dia mengatakan kita 'bodok' atau 'babi'.

***
Pada acara syukur di Kantor SKH Pos Kupang, Om Damyan Godho, Om Marcel Gobang, Om Hans Louk dan Ana Djukana, sudah mengisahkan pengalaman kebersamaan mereka dengan Om Julius Siyaranamual. Saya sudah mengawali kisah pengalaman dengan Om Julius dalam renungan singkat yang didasarkan dari kitab Mazmur 90: 12 demikian "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana."
Mengingat Om Julius adalah alumnus Sekolah Tinggi Theologia Jakarta, saya menyampaikan renungan diawali dengan cerita tentang penciptaan manusia. Dalam Kitab Kejadian 1-2, jelas disebutkan bahwa alam semesta dan segala isinya diciptakan lebih dahulu. Manusia diciptakan kemudian. Artinya dalam hubungan senioritas, manusia yunior dibanding ciptaan lainnya. Namun, manusia mengabaikan kesenioritas ini dan mengeksploitasi alam hingga akhirnya mencelakakan diri sendiri.
Dalam kisah penciptaan, martabat manusia tidak lepas dari ciptaan lain. Mulianya manusia selalu berkaitan dengan konteks. Konteks menyediakan semua yang manusia butuhkan. Konteks di mana Tuhan menempatkan manusia di tengah semua yang diciptakan adalah baik adanya. Sebaliknya konteks tidak bisa menyembunyikan dan melindungi manusia jika manusia mengabaikannya.
Menurut hemat saya, di situlah tempat Om Julius Siyaranamual. Dia adalah penulis yang memperhatikan pentingnya konteks, sehingga sebuah tulisan bisa bertutur dengan jujur dan apa adanya. Alasannya, tulisan harus menghadirkan suasana. Sesuatu yang hidup, berbicara dan semua yang ada dalam konteks memiliki peran terhadap yang lain. Sesuatu itu menjadi bermakna karena letaknya dalam konteks yang tepat. Jika sesuatu diabaikan atau dimarjinalkan perannya, maka yang lainnya akan berbeda pula maknanya. Tulisan yang mengabaikan konteks akan menyesatkan orang yang membacanya.
Penulis yang peduli pada konteks adalah bekal bagi wartawan yang jujur. Sebuah peristiwa yang dia lapor dengan kualitas deskripsi yang baik akan memberi gambaran jelas kepada pembaca bagaimana dan di mana sebuah peristiwa terjadi. Sebab deskripsi yang baik, menjadikan penulis sebagai mata, telinga dan indera perasa bagi pembaca. Sebuah tulisan dengan deskripsi yang baik sama seperti kita menghadirkan atau menyajikan tulisan sebagai suatu dunia ril, yang terbuka untuk dimasuki para pembaca.
Kepergian Om Julius Siyaranamual adalah suatu kehilangan seorang jago deskripsi. Saya kira Om Julius pergi dengan sakit hati. Sebagai orang Kupang -- rumahnya di Fontein Bawah dekat Suembak --- pasti Om Julius akan sedih sekali membaca tulisan-tulisan di koran-koran, terutama yang terbit di Kupang. Wartawan hingga editornya tidak mempunyai cukup bekal kemampuan deskripsi, sehingga banyak orang disakiti oleh tulisan mereka.
Rendahnya kemampuan deskripsi, diperparah dengan miskinnya perbendaharaan kata, membuat wartawan mengambil jalan pintas untuk mengungkapkan sesuatu yang disajikan kepada pembaca. Dalam banyak kasus tentang insiden perkelahian, wartawan mudah jatuh dalam kata- kata menyesatkan 'korban babak belur.' Ternyata yang dimaksud 'babak belur' itu bukan 'babonte balau' seperti ungkapan orang Kupang, tetapi hanya memar ringan. Kita telah diberi gambaran yang menyesatkan.
Mereka yang pernah membaca rubrik 'Bakatumu di Paklaru' pada tahun pertama kehadiran Pos Kupang, bisa menikmati kuatnya deskripsi. Rubrik ini merupakan rubrik Om Julius yang ditulis dalam bahasa Kupang. Tulisannya tentang aktivitas orang di Paklaru, membuat kita ikut membayangkan aktivitas di dalam paklaru. Ada dedegu, laru, se'i bakar, dan Ama Tobo yang pulang jual ikan selalu singgah di paklaru.
Rubrik 'Bakatumu di Paklaru' kemudian dipercayakan kepada saya. Saya menambahkan tokoh baru sebagai pemilik paklaru, yakni Aduba'i, nama asli suku Rote. Om Julius meminta saya mempertahankan tokoh Ama Tobo, tokoh rekaan asli dari Om Julius. Dengan kemampuan yang terbatas, saya mencoba menjaga setting, plot, karakter rubrik itu sesuai permintaan Om Julius hingga rubrik itu ditiadakan saat saya bertugas di Maumere.
Suatu hari di awal saya dipercayakan menulis rubrik Bakatumu di Paklaru, Om Julius bertanya: "Kanapa beta minta lu pertahankan tokoh Ama Tobo?" tanya Om Julius dalam aksen Kupang. Saya menjawab tidak tahu.
"Lu tau arti Ama Tobo?" tanya Om Julius lagi.
"Apa artinya?" Saya balik bertanya.
"Ama Tobo artinya To-lo Bo-a," Jawab Om Julius ringan sonde pake pele-pele. Saya hanya bisa melongo, tapi tidak merasa heran.
"Maksudnya, Ama Tobo adalah figur orang yang selalu jadi korban pembangunan, sasaran makian. Dia hanya bisa datang berterus terang tentang nasibnya dengan mengunjungi Paklaru Aduba'i yang dia anggap sebagai kantor DPR." Om Julius memberi penjelasan setelah melihat saya melongo.
"Nah, pakailah rubrik Bakatumu di Paklaru untuk membela Ama Tobo-Ama Tobo di mana pun." Inilah pesan terakhir Om Julius saat mengkhotbahi saya.
Kini Om Julius, bapaknya Ama Tobo menyusul rubrik "Bakatumu di Paklaru" yang sudah lebih dahulu almarhum sejak tahun 1996. Selamat jalan Ama Tobo!!!

* Penulis, seorang wartawan, tinggal di Kupang

Pos Kupang, 26 Mei 2005


Berpihak pada yang tertindas

In memoriam Julius Siyaranamual

Oleh Ana Djukana

TAHUN 1995 lalu, saat menjadi wartawan magang di Harian Umum Pos Kupang, penulis dan beberapa wartawan senior pada pukul 15.00 Wita setiap hari sepulang dari lapangan mendapatkan materi penyegaran dari wartawan senior. Salah satu wartawan senior yang memberikan materi saat itu, Almarhum Om Julius Siyaranamual. Penulis dan hampir semua wartawan sering menyapa almarhum dan almarhum Valens Doy, Damyan Godho, Marcel Gobang, Wens Rumung, Pius Rengka, Hans Louk, Dion Putra, Beny Dasman, Paul Bolla dan senior lainnya dengan panggilan Om.



Tak ada alasan yang tepat mengapa harus menyapa Om dan bukan Pak. Semua itu, hanya masalah kebiasaan dan lebih enak untuk bantingan lidah. Karena itu, terasa janggal bagi kami menyapa Om Damyan Godho dengan Pak Damyan. Karena kebiasaan itu, panggilan om pun dibangun menjadi alasan prinsipil untuk menegaskan dalam dunia pers tak ada birokrasi. Panggilan boleh om, tetapi dalam struktur kami menghormati mereka sebagai pimpinan dan senior. Bukan karena panggilan om lantas menjustifikasi kami harus tidak menghormati mereka. Tetapi pada sisi yang lain, kami bebas berdebat soal idiologi. Sesuatu yang tidak haram di dunia pers.
Kembali ke almarhum Julius Siyaranamual, dengan penampilannya yang nyentrik rambut dikucir, mengenakan jins dan kemeja lengan panjang, merokok dengan secangkir kopi ia memberikan penyegaran kepada kami wartawan.
Untuk mengetahui idiologi apa yang dibangun seorang wartawan dalam bekerja, di ruang rapat Dewan Redaksi, kepada kami diajukan pertanyaan. Sebagai seorang wartawan, jika menulis berita wartawan berpihak pada orang miskin, tertindas ataukah pada kebenaran.
Yang menjawab pertama, senior penulis Om Ben Seran. Ia mengatakan akan berpihak kepada kebenaran. Selanjutnya Om Julius meminta penulis komentar. Penulis memberikan alasan berpihak pada mereka yang tertindas. Dengan membangun kerangka pikir advokasi, penulis selalu melihat korban sebagai orang yang harus dibela dan diberi perhatian.
Setelah itu, Om Julius mengemukakan mestinya wartawan berpihak pada mereka yang miskin dan tertindas. Jawaban Om Julius dibantah Om Ben Seran. Menurut Om Ben, bagaimana mungkin wartawan diminta berpihak kepada orang miskin kalau orang miskin itu mencuri, malas, menipu.
Om Julius kembali bertanya, apakah di dunia ada kebenaran?. Baginya kebenaran itu ada dalam diri orang yang tertindas, orang miskin dan tercecer. Orang menjadi miskin karena kemiskinan yang terstruktur, korupsi yang merajalela dan ketidakadilan.
Selanjutnya mantan Pemimpin Redaksi Majalah Anak-Anak Kawanku ini memberikan kuliah teologia panjang lebar untuk meyakinkan argumentasi yang disampaiaknnya kepada kami. Mengutip Injil, Om Julius menyampaikan bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan memberi Engkau makan atau haus dan memberikan Engkau minum ? Bilamanakah kami melihat melihat Engkau seorang asing dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan memberikan Engkau pakaian? Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau? Aku berkata kepadaMu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina, kamu telah melakukannya untuk Aku.
Baginya pesan Tuhan Yesus menjadi pesan kenabian yang menjadi spirit dalam melaksanakan kerja-kerja kemanusiaan melalui profesi wartawan. Wartawan tidak boleh netral dan pasif terhadap rezim saat itu.
Dalam bekerja, ujar Om Julius wartawan mesti bertindak profesional artinya dalam menulis berita harus berimbang, cek, recek tetapi dalam idiologi harus berpihak kepada mereka yang lapar, haus, korban ketidakadilan, termarginalisasi.
Pada lain kesempatan saat isu HIV/AIDS belum diketahui di NTT, Om Julius yang menangani hotline HIV/AIDS di koran Surya datang dan mensosialisasikannya melalui Harian Umum Pos Kupang, membuat lokakarya.
Om Julius jauh-jauh hari sudah mengingatkan wartawan agar dalam menulis berita HIV/ADIS tidak diskriminasi terhadap ODHA, melihat OHDA sebagai sesama yang patut diberi perhatian.
Ia pun mengajarkan kepada kami wartawan muda untuk menjaga nilai dalam menjalani profesi. Wartawan sekali-kali jangan mapan. Jika mapan wartawan tidak akan peka dan cenderung membela kekuasaan. Wartawan katanya harus belajar, membaca dan berdiskusi. Menjadi wartawan tak cukup dengan memahami 5 W dan 1 H.
Meski ia meminta wartawan menjaga jarak kritis dengan kekuasaan tetapi wartawan tetap harus mempunyai kasih dalam hati. Dengan kasih wartawan tidak menjadikan berita bagi pembacanya candu tetapi menjanjikan jalan keluar.
Ajarannya tentang nilai tidak sekedar omong-omong tetapi dipraktekannya dalam sikap hidup. Meski bicaranya sering nyelekit (judes bahasa Kupang), tetapi hatinya baik.
Penulis bertemu terakhir dengan almarhum, ketika Harian Independen NTT Ekspres baru terbit beberapa bulan. Setiap malam dari rumahnya di Fontein ia selalu datang memberikan motivasi kepada penulis, Om Hans Louk, Paul Bolla dan Dani Ratu.
Kini Om Julius telah dipanggil Tuhan kembali. Airmata kita jatuh lagi, kenapa orang-orang baik begitu lekas dipanggil pulang. Guru, penyair, wartawan, ayah kita Julius Siyaranamual telah berpulang. Itulah kiriman pesan pendek Pemred Pos Kupang, Om Dion Putra kepada penulis. Selamat jalan Om Julius, nilai-nilai yang kau ajarkan menjadi suluh bagi kerja-kerja kemanusiaan melalui profesi wartawan. *

Wartawan atau tukang cat?

MEMBAHAS seorang Julius Siyaranamual tak cukup hanya dengan menulis in memoriam. Ia tidak hanya wartawan, tetapi juga guru, sastrawan. Ia kaya ide. Berada dekatnya, kita selalu merasa bodoh. Bersama keluarga besar Harian Umum Pos Kupang, Rabu (25/5/2005), kami beberapa anak didik Om Julius yang sudah tidak lagi mengabdi di Pos Kupang diundang Pemred Pos Kupang, Om Dion Putra berdoa bersama. Di sana ada Om Hans Louk, Om Asis Tokan, Om Paul Bolla, Ibu Evie Pello dan saya sendiri yang pernah mengabdi dan dibesarkan di koran tersebut.
Doa bersama tersebut dipimpin Paul Bolla. Dalam refleksi khotbahnya Om Paul menyinggung Om Julius Siyaranamual mengajar calon wartawan Pos Kupang bagaimana mendeskripsikan fakta sehingga pembaca merasa hadir dalam sebuah peristiwa dengan membaca tulisan wartawan.
Yang dikritik Om Julius, selama ini wartawan menulis features sangat kering. Artinya konteks tidak dihadirkan dalam sebuah tulisan. Membaca features yang kering, pembaca tidak mendapatkan apa-apa dari tulisan tersebut. Karena itu, jangan heran kalau hasil liputan yang dibuat features dan diperiksa Om Julius tak ada yang baik menurutnya.
Menurut Paul, Om Julius berbeda dengan Om Valens. Kepada wartawan yang bersusah payah mengejar objek liputan dan berhasil membuat berita yang baik diberi apresiasi. Hal itu tak pernah dirasakan dari Om Julius. Di hadapan Om Yulius semua orang bodoh.
Membaca hasil-hasil karya wartawan yang diajarkannya dan tidak ada perubahan, Om Julius pernah marah. Ia mengatakan apa yang disampaikannya ibarat membuang mutiara ke mulut babi-babi. Setelah itu ia meninggalkan wartawan dan keluar.
Dipandu Tony Kleden, memberikan kesempatan kepada kami untuk memberikan komentar tentang Om Julius. Om Damyan Godho mempunyai kesan yang spesifik terhadap Om Yulius. Di mata Om Damyan, Om Julius orang yang sangat toleran. Saat pertama mendirikan Pos Kupang, Om Julius rela meninggalkan keluarga dan semuanya memilih bergabung dengan Om Damy dan teman-teman untuk mendirikan Pos Kupang. Semua itu dilakukannya karena tantangan Om Damy, kalau merasa orang Kupang pulang dan buat koran di Kupang.
Meski Om Julius suka mengeluarkan kata jorok kata Om Damy, dan jarang ke gereja, tetapi sikap hidupnya sangat religius.
Dirinya pernah dinasehati Om Julius saat ia datang ke rumahnya dan melihat lilin yang sementara dinyalakan. Om Julius memintanya untuk hidup seperti lilin yang menerangi orang lain tetapi lebur. Sebenarnya nasehat itu juga adalah cerminan hidup Om Julius sendiri. Karena Om Julius orang yang sibuk mempersoalkan dan menggugat kemiskinan, ketidakadilan, orang-orang yang tercecer tetapi hidupnya menderita.
Sementara Om Marsel Gobang menilai Om Julius adalah inspirator. Ide-idenya cerdas dan cemerlang. Dia diberikan Tuhan lima talenta.
Sewaktu masih di Surabaya, mereka sering makan dan tidur bersama sehingga menjadi akrab. Kedekatannya dengan Om Julius karena almarhum Valens Doy. Jika kehabisan uang untuk membeli makan, Om Julius akan berterus terang, begitupun rokok. Hal yang sama pun dilakukannya terhadap Om Julius. "Banyak hal yang tak bisa diungkapkan biar semua itu menjadi kenangan," katanya.
Om Hans Louk mempunyai kesan seperti Paul Bolla. Berkenalan dengan Om Yulius kata bodoh pertama yang diterimanya dari mulut Om Julius. Tetapi ajaran Om Julius soal deskripsi membuat tulisannya tentang tetangganya yang meninggal terbakar menjadi acuan polisi untuk membongkar kasus tersebut. Satu hal yang tak bisa ditirunya dari Om Julius mengajar berjam-jam dengan rokok di bibir.
Pengalaman kami dengan Om Julius oleh Pemred Pos Kupang, Om Dion Putra minta ditulis dan dikirim ke Pos Kupang. Paul Bolla didaulat pertama untuk menulisnya. Siapapun yang pernah berteman, dididik Om Yulius mempunyai kesan tersendiri terhadapnya. Yang pasti semua tahu Om Yulius tak pernah senyum meski selera humor tinggi, suka mengeluarkan kata-kata yang judes, pelit pujian, baju selalu diluar. Pokoknya dia sosok yang unik.
Jika seseorang ingin menjadi wartawan hanya karena mengisi waktu luang sebelum mendapat pekerjaan di tempat lain dan bertemu dengan Om Julius, pasti dia berpikir dua kali lagi untuk menjadi wartawan.
Awal kedekatan saya dengan Om Julius, saat menjadi wartawan magang. Seorang teman diutus meliput festival Lasiana. Namun sepulang dari festival ia tak membuat berita (sesuatu yang fatal bagi seorang wartawan sebenarnya). Padahal berita tersebut telah diproyeksi dalam rapat Dewan Redaksi sore hari untuk berita halaman I. Pukul 22.00 Wita, penulis dipanggil Om Hans Louk (redpel saat itu) dengan Om Julius dan menugaskan meliput diantar mobil sedan Pos Kupang. Pukul 12.00 Wita, kembali dan membuat berita yang diturunkan halaman I.
Sejak saat itu, mungkin karena ia melihat saya mempunyai tampang disuruh atau penurut dalam beberapa hal saya sering ditugaskan atau diajak diskusi. Termasuk saat sosialisasi HIV/AIDS di Kupang.
Hal yang tak pernah terlupakan saat mendidik kami wartawan baru. Om Julius paling benci terhadap orang yang malas berpikir dan tidak disiplin. Seorang teman perempuan saya datang terlambat dari lapangan padahal Om Julius sementara mengajar. Teman saya itu datang mengenakan celana ketelpak (celana kode) yang saat itu lagi mode. "Ana ini tukang cat dari mana?" tanya Om Julius dan menghadap ke Ana. Teman saya itu tertawa. Om Julius mengatakan tak ada yang lucu karena kamu seperti badut seraya bertanya sinis, "Ini wartawan atau tukang cat?"
Saat itu saya benar-benar ketakutan. Teman saya itu salah tingkah tetapi Om Julius seakan tak peduli perasaan teman saya dan melanjutkan mengajar. Dalam hati, saya catat Om Julius orang yang disiplin, keras dan komit terhadap profesi. Karenanya selama ia mengajar, saya berusaha tidak terlambat dan menuruti semua penugasan yang diberikannya. Om Julius memang unik, guru, wartawan, sastrawan. Mungkinkah ada generasi baru pengganti Om Julius? (ana djukana)

Sumber Harian Kursor, 25 Mei 2005
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes