Semua usung perspektif gender

GENDER -- Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTT, dari kiri, Ibrahim
A Medah, Gaspar Ehok, Julius Bobo, Frans Lebu Raya dan Esthon Foenay.
Mereka memaparkan visi dan misi dalam Dialog Publik tentang
Peningkatan Kualitas Pemberdayaan Perempuan
yang diselenggarakan Forum Komunikasi Pemerhati
dan Perjuangan Hak-hak Perempuan (Forkom P2HP)
NTT di Aula EL Tari Kupang, Senin (26/5/2008).

PAKET Fren (Frans Lebu Raya - Esthon Foenay), Gaul (Gaspar P Ehok- Julius Bobo) dan Paket Tulus (Ibrahim A Medah-Paulus Moa) mengaku berperspektif gender. Ketiga paket ini mengatakan, apabila mereka terpilih menjadi Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2008-2013, mereka akan membuat kebijakan anggaran yang berperspektif gender.

Paket Fren, Gaul dan Tulus menyampaikan itu dalam Dialog Publik tentang Peningkatan Kualitas Pemberdayaan Perempuan di Bidang Pendidikan, Kesehatan Ibu dan Anak serta Bidang Ekonomi, yang diselenggarakan Forum Komunikasi (Forkom) Pemerhati dan Perjuangan Hak-hak Perempuan (P2HP) NTT di Aula EL Tari-Kupang, Senin (26/5/2008). Dialog Publik yang diakhiri dengan penandatanganan Deklarasi ini merupakan yang kedua kalinya. Pekan lalu, para calon pemimpin NTT diajak dialog tentang masalah kesehatan.

Lebu Raya yang hadir bersama Esthon mendapat kesempatan pertama untuk berbicara dalam acara ini., disusul Gaspar yang juga hadir didampingi Julius Bobo. Kesempatan ketiga diberikan kepada Medah yang saat ini hadir tanpa didampingi Paulus Moa.

Bertindak selaku panelis, Dr. Yanuarius Koli Bau, dr. Hironimus Fernandez, Rm. Leo Mali, Pr dan Prof. Dr. Mien Ratoe Oedjoe.
"APBD kita sangat terbatas, sekitar 1 triliun 50 miliar rupiah. Akan dibicarakan agar anggaran berspektif gender. Akan dikembangkan paradigma anggaran "Anggur Merah" yaitu Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera, diantaranya untuk kepentingan perlindungan perempuan dan anak," kata Lebu Raya.

Dia mengatakan, agenda pemberdayaan perempuan dan anak adalah peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan serta kesehjateraan anak yang mencakup peningkatan pemberdayaan perempuan untuk menjelmakan keadilan dan kesetaraan gender, meningkatkan pendapatan perempuan, meningkatkan pemahaman dan aplikasi pengarusutamaan gender serta peningkatan perlindungan hukum bagi perempuan terhadap segala bentuk eksploitasi dan kekerasan, serta meningkatkan jaminan kesejahteraan dan perlindungan hukum bagi anak.

"Akan dibangun kerjasama/kemitraan dengan LSM lokal dan internasional serta bupati/walikota untuk pemberdayaan perempuan dan anak. Perempuan dan laki-laki ibarat dua sayap seekor burung. Saling mendukung," katanya.

Gaspar Ehok mengatakan, perempuan yang memiliki posisi penting dalam masyarakat harus diberi porsi yang besar dalam pembangunan. Selama ini, pendidikan dan kesehatan perempuan di NTT sangat rendah. Perlu kebijakan anggaran yang responsif gender.

Gaspar berjanji akan mendorong peningkatan ekonomi masyarakat dan meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik. "Program kami diantaranya pemberdayaan ekonomi rakyat. Agar ekonomi kuat maka perlu pemberdayaan ekonomi formal lewat rumah tangga. Program ini dimanfaatkan oleh ibu rumah tangga," kata Gaul.

Ibrahim Medah mengatakan, akan memperkuat peranan masyarakat, khususnya perempuan dan anak agar bisa bersama membangun NTT.
"Khusus perempuan kami akan membuat regulasi agar semua SKPD memprogramkan pengarusutamaan gender. Selama ini birokrasi belum beri ruang kepada perempuan. Oleh karena itu, perlu ada kebijakan anggaran yang responsif gender," kata Medah.

Dia juga mengatakan akan memperkuat kelembagaan perempuan dalam struktur pemerintah daerah serta merespon sesegera mungkin berbagai persoalan sosial yang menimpa perempuan dan anak. Selain itu, memberi akses pelayanan pendidikan dan kesehatan yang mudah kepada perempuan dan anak.

Kegiatan dialog publik ini ditutup dengan penandatangan "kontrak" oleh calon gubernur, para panelis, Ketua Forkom P2HP NTT, Ny. Dra. Mien Pattymangoe, Ny. Inche DP Sayuna, SH, M.Hum dan unsur pers yang diwakili Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang NTT, Dion DB Putra. (aca)

Pos Kupang edisi Selasa, 27 Mei 2008, halaman 8

"Pemimpin Gila"

"DIBUTUHKAN pemimpin gila untuk sedikit mengubah keadaaan sekarang. Jangan salah paham, maksud saya adalah pemimpin yang mampu melahirkan ide gila untuk membangun Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia juga berani memikul resiko, bahkan 'cuek bebek' saja dicap gila karena melawan arus."
Demikian isi salah satu surat yang masuk ke alamatku beberapa hari lalu. Surat elektronik dari seorang sahabat. Dia anak NTT yang sedang menimba ilmu di luar Kupang. Dari sisi usia dan pengalaman, dia anak kemarin sore. Masih hijaulah.

Namun, suratnya inspiratif. Caranya menyentil patut direnungi. Malah lebih cocok disebut provokasi. Dia memprovokasi cara berpikir untuk "menemukan" pemimpin gila, berani pikul resiko dan mau melawan arus umum. Wah, sulit bung!

Pemimpin gila, apa relevansinya dengan rumah Flobamora hari ini? Bukankah dalam sejarahnya yang panjang, NTT memiliki pemimpin dengan ide gila dan berani ambil resiko? Bukankah Flobamora tidak kekurangan orang-orang berani? Tidak cuma berani, tetapi cakap dan mampu merealisasikan "ide gila"guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Siapakah dia -- tak mesti disebut dalam ruang terbatas ini!

Ide gila tentu maksudnya gagasan yang tidak biasa. Langkah gila artinya tindakan tak lazim. Tak latah mengikuti arus umum. Pemimpin yang memiliki ide gila niscaya rakyat akan tergila-gila padanya. Kita agaknya butuh pemimpin dengan kapasitas semacam itu. Dalam lima tahun ke depan, NTT butuh pemimpin dengan "program gila" yang dapat menekan sekecil mungkin anak NTT yang menderita busung lapar dan gizi buruk. Keterlaluan kalau setiap tahun kita jatuh ke lubang yang sama terus. Jatuh dan jatuh lagi. Malu kita.

Guna mengatasi pengangguran yang bikin pening kepala para orangtua di NTT, kita dambakan pemimpin yang berani buat gebrakan. Misalnya, program stop kirim TKI bermodal otot! Saatnya NTT kirim TKI berotak. Kerjanya tidak semata jaga ladang majikan, petik sawit, buruh bangunan atau memasak, seterika dan rawat anak tuan dan nyonya di Malaysia, Singapura, Hongkong.

Sudah waktunya NTT kirim TKI yang lebih berkelas semisal perawat, guru, sopir, koki, pemandu wisata, tukang las, operator mesin atau tenaga IT ke Australia, Belanda, Timur Tengah, Korea, Taiwan, Cina, Timor Leste atau negara mana pun yang butuh. Untuk jangka panjang, NTT kirim para manajer high class seperti sukses diperlihatkan India dan Filipina, dua negara Asia yang sama miskinnya dengan Indonesia. Maka si pemimpin membuat program imajiner: "Dalam lima tahun mencetak satu juta anak NTT cakap berbahasa Inggris". Bila perlu ditambah mahir bahasa Mandarin mengingat pemakai dua bahasa itu terbanyak di dunia. Bahasa internasional.

Saban tahun dia mengalihkan sebagian APBD untuk program bahasa Inggris- Mandarin bagi lulusan SMK, Poltekes, dan lain-lain. Setiap tahun pemimpin itu menggunting pita, simbolis mengirim 500-1.000 TKI berotak ke Australia, Belanda. Dia tidak lagi bangga sekadar menghadiri panen perdana ini dan itu. Dia berprinsip baik adanya mencetak tenaga kerja NTT berkompetensi internasional ketimbang APBD hanya dipakai untuk studi banding yang hasilnya remang-remang saja.

Kita juga butuh pemimpin dengan "ide gila" guna mengalihkan perhatian rakyat ke laut. Dua pertiga wilayah NTT adalah laut yang kaya-raya, tetapi rakyat lebih suka daratan yang kurus, kering dan terbatas. Kekayaan laut menjadi sumber kemakmuran orang lain. Kalau rakyat tetap malas, sesekali pakai sedikit tangan besi. Toh pembangunan bukan tanpa resiko dan korban. Yang perlu dikawal adalah meninimalisir korban. Singapura maju justru karena demokrasi ala Lee Kuan Yew bergaya "tangan besi". Maka hidup mereka makmur-sentosa. Teratur, taat hukum, disiplin dan jadi negara papan atas dunia.

Di Kota Kupang pekan lalu sudah ada semacam kontrak hitam putih di bidang kesehatan. Ada deklarasi moral dengan para calon pemimpin. Dalam pekan ini akan muncul deklarasi dalam bidang lain, misalnya ekonomi, sosial budaya dan politik. Mudah-mudahan deklarasi itu akan melahirkan pemimpin yang tidak marah dicap "gila" saat dia mundur di tengah jalan karena merasa gagal merealisasikan janji. Dia gagal memenuhi butir-butir deklarasi yang telah ditandatangani.

Di negeri ini, pemimpin publik yang berani mundur karena gagal adalah manusia super langka. NTT akan tercatat dalam sejarah bangsa kalau berani menjadi yang pertama.

Tahun 2008 belum setengah jalan. Masih ada 11 pesta demokrasi memilih pemimpin daerah. Akan muncul 22 tokoh terpilih. Boleh jadi, Anda dan beta sungguh memilih "pemimpin yang gila". Tapi mereka ternyata gila kekuasaan dan harta. Wah... celaka sembilanbelas! (email: dionbata@poskupang.co.id)

Rubrik BERANDA KITA (BETA) Pos Kupang edisi Senin, 26 Mei 2008, halaman 1

Selamatkan PT Semen Kupang

TIDAK mengejutkan ketika hari-hari ini media massa lokal maupun nasional memberitakan PT Semen Kupang (PT SK) berhenti beroperasi karena ketiadaan daya listrik. PT SK berhenti mengepulkan asap pabrik sejak pertengahan April 2008 dan warta nestapa itu bukan berita besar. Kalah menarik dan dianggap penting dibandingkan dengan berita tentang proses Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur (Pilgub) Nusa Tenggara Timur (NTT) periode 2008-2013.

Kita sebut tidak mengejutkan karena masyarakat sudah mengetahui kiprah perusahaan industri satu-satunya di Propinsi NTT tersebut. Dalam satu dasawarsa terakhir, PT SK selalu dibelit masalah yang tak kunjung berakhir. Satu masalah teratasi, muncul lagi masalah baru. Masalah terkini kembali menyangkut utang- piutang. PT Sewatama Jakarta yang memasok listrik sejak tahun 2002 memutuskan pasokannya karena PT SK belum membayar utang sekitar Rp 25 miliar.

Indikator paling sederhana untuk mengetahui sehat-tidaknya sebuah pabrik semen adalah pasar. Harus diakui dalam kurun waktu lima atau enam tahun terakhir, produksi PT Semen Kupang kalah bersaing dengan semen asal Pulau Jawa dan Sulawesi. Dengan harga bersaing, konsumen memilih semen produksi luar daerah ketimbang produksi sendiri. Tentu tidak salah menurut hukum pasar. Konsumen akan mencari produk sesuai selera dan kebutuhannya. Kualitas menjadi jaminan.

Persoalan sekarang jauh lebih pelik. Sejak PT Semen Kupang berhenti beroperasi bulan lalu, harga semen di pasaran NTT merangkak naik berkisar antara 20-25 persen. Konsumen sudah menjerit. Hari-hari mendatang persentase kenaikan akan semakin besar bersamaan dengan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang akan diumumkan pemerintah akhir Mei 2008.

Daya beli masyarakat NTT otomatis anjlok ke titik terendah. Bila kita tiada henti bertutur tentang kehidupan masyarakat yang semakin susah -- itu bukan teriakan kosong. Itulah kenyataan NTT hari ini. NTT yang segera merayakan pesta emas. Berusia 50 tahun sebagai propinsi.

Sedih dan memprihatinkan. Kita memasuki usia emas dengan kado kolapsnya salah satu ikon kebanggaan daerah di bidang industri, PT Semen Kupang yang berdiri sejak 17 Desember 1980. Argumentasi apapun yang disodorkan untuk membela situasi ini sulit diterima begitu saja. Sebagai satu-satunya pabrik di NTT yang memproduksi kebutuhan vital masyarakat seharusnya kita rawat, kita jaga dan kembangkan dengan sepenuh hati. Yang terjadi sebaliknya. Satu-satunya industri tersebut bahkan tidak mampu kita tegakkan di bumi Flobamora. Kita sebagai generasi baru NTT ternyata tidak sanggup melanjutkan karya para pendahulu. Karya para perintis yang dengan susah payah telah menghadirkan pabrik itu.

Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kewenangan terbagi ada pada pemerintah pusat dan daerah. Kalaupun ada kelemahan di pusat karena kinerja pemerintah secara umum memang memprihatinkan, seharusnya daerah tidak berpangku tangan. Tahun lalu DPRD dan pemerintah menyetujui dukungan dana Rp 50 miliar kepada PT SK. Boleh jadi dana sebesar itu tidak cukup mempertahankan roda PT SK tetap berputar. Tetapi, dibutuhkan pertanggungjawaban. Demi transparansi audit keuangan PT SK merupakan jalan yang harus ditempuh. Jika ada indikasi penyimpangan, misalnya, biarkan proses hukum berlaku dengan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah.

Apa yang sedang dikerjakan sekarang? Kita belum melihat geliat para pemangku kepentingan di daerah ini untuk menyelamatkan PT Semen Kupang.
Tidak dapat dikatakan pemerintahan dalam masa transisi karena suksesi. Bahwa proses Pilgub NTT masih bergulir dan menyisakan banyak pertanyaan, namun lembaga pemerintahan daerah tidak sedang vakum. Pemerintah daerah sebagai institusi hendaknya bergerak cepat untuk menyelamatkan aset itu.

DPRD Propinsi NTT, mana sikap dan tindakanmu? Jangan-jangan seluruh energi tersedot dengan urusan Pilgub semata. Pesona kekuasaan jauh lebih memikat ketimbang mengurus kepentingan rakyat. Hari-hari ini ada 400-an karyawan yang sedang gundah-gulana.

Sejak bulan Februari 2008, Kementerian BUMN memastikan bahwa PT Semen Kupang (Persero) merupakan salah satu di antara 44 perusahaan BUMN yang terkena privatisasi (dijual) ke pihak lain dalam tahun ini oleh pemerintah. Privatisasi mungkin salah satu solusi untuk menyelamatkan PT SK. Bagaimana progresnya sekarang? Adakah tim daerah yang bekerja untuk itu? Lagi-lagi pertanyaan yang membentur tembok. Tak tahu siapa yang akan menjawab. **

Salam Pos Kupang edisi Kamis, 22 Mei 2008, halaman 14

Mencari Jam Tangan

Seorang tukang gergaji yang sedang bekerja kehilangan jam tangannya ketika sedang bekerja. Dia segera menghentikan pekerjaannya dan mencari jam tangannya diantara serbuk gergaji yang banyak sekali.

Diaduk-aduknya serbuk gergaji itu dengan tangan tetapi jam itu tidak ditemukannya. Teman-temannya segera membantunya, beramai-ramai mereka mengaduk-aduk serbuk gergaji itu. Tetapi jam tangan itu tetap tidak ditemukan.

Setelah satu jam lebih akhirnya mereka memutuskan menyerah dan berhenti. Mereka meninggalkan tempat penggergajian itu dan beristirahat di dekatnya.

Seorang anak kecil yang sedari tadi melihat kesibukan para tukang itu mendekat ke tempat penggergajian itu. Dia diam, mendekatkan kepalanya ke serbuk gergaji itu dan lima menit kemudian, tangannya mengais serbuk gergaji itu dan jam tangan itu sudah ada ditangannya.

Para tukang yang melihat hal itu terkejut dan bertanya : "Nak, bagaimana kau bisa menemukan jam itu? Kami sudah menghabiskan satu jam untuk mencarinya?"
Jawab anak itu : "Gampang saja, aku hanya mencari bunyi jam itu saja.

Begitu aku dengar suara tik-tak-tik- tak, aku langsung tahu dimana letak jam itu."


Kadangkala dalam menyelesaikan suatu masalah bukan
dengan saling berdebat, memberikan berbagai solusi.
Tetapi mendengar dengan hati-hati dan menganalisis
sehingga ditemukan solusi yang tepat.



(Many thanks for Maliki, my mentor of CIV IASTP 2007).

Saya Diajak Valens Goa Doy

"Akhirnya saya ketahuan orang tua sewaktu menjadi wartawan lepas di Kompas diajak Valens G. Doy. Waktu itu saya masih kelas 3 SMP. Saya menulis hampir setiap hari menggunakan nama Reza". (Radhar Panca Dahana)

Anda pasti sudah sering melihat, mendengar, dan membaca karya Radhar Panca Dahana. Dia yang mengaku peternak ikan dan pengemar yang indah-indah ini adalah dosen di jurusan Sosiologi Universitas Indonesia dan lebih dikenal masyarakat sebagai seorang budayawan. Radhar Panca Dahana sudah hidup dalam budaya Indonesia sejak umur 5 tahun. Di usia tersebut dia sudah mulai punya sikap, menulis, menghilang dari rumah, dan sebagainya.

Kendati demikian Radhar mengatakan sampai saat ini masih mencari identitas diri, termasuk bangsa Indonesia pun masih terus mencari identitasnya. Banyaknya konflik saat ini antara lain karena proses identifikasi diri tersebut. Puncak dari ketidakjelasan identitas adalah tindakan terorisme seperti bom bunuh diri. Itu karena mereka disoriented, tidak mampu mengidentifikasi sesuatu secara riil, nyata, dan benar. Dinas intelejen sangat terbiasa memanfaatkan orang-orang frustasi yang sudah sangat disoriented itu.

Berikut wawancara Wimar Witoelar dengan Radhar Panca Dahana.


Apa yang terjadi pada Anda sewaktu kecil ?

Saya anak terkecil dari 7 bersaudara. Saya selalu mendapat tekanan dari saudara-saudara saya yang semuanya relatif otoriter karena mengikuti jejak Bapak yang jebolan Taman Siswa. Ditambah lagi dengan kemiskinan yang kami alami. Sampai akhirnya saya mencoba mengekspresikan diri sendiri melalui cara yang lain namun hal tersebut tidak dikehendaki oleh keluarga terutama orang tua saya.

Apa saluran ekspresinya?

Melalui kesenian. Sejak awal saya ditolak untuk melakukan kreatifitas kesenian sehingga pada periode akhir 1970-an dan awal 1980-an saya menggunakan nama samaran Reza Mortafilini. Ini karena takut ketahuan oleh orang tua saya. Orang-orang seperti Rendra, Arifin, Teguh Karya, Jajang sampai sekarang masih memanggil saya Reza.


Sewaktu Anda menjadi Reza Mortafilini, Apakah Anda sudah dikenal oleh orang-orang itu?

Ya, kami sudah saling mengenal dengan baik. Saya memulainya di dunia jurnalistik.

Berapa usia Anda saat itu?

Saya mulai sejak kelas dua SMP. Namun akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke nama asli saya. Perselisihan dengan orang tua mengenai karir di jalur kesenian inilah yang akhirnya mendorong saya, saat itu masih duduk di kelas dua SMP, keluar dari rumah. Saya masih ingat kalimat terakhir yang saya ucapkan dengan mulut masih berdarah, "Tidak ada demokrasi di sini." Sebenarnya saya tidak mengerti arti kalimat itu. Saya hanya terpengaruh bacaan saja.

Apakah dengan keluar dari rumah membuat Anda keluar dari sekolah juga?

Tidak, saya tetap bersekolah. Saat itu saya bekerja di majalah Hai yang masih dipegang oleh Mas Arswendo. Saat itu majalah Hai punya sisipan yang namanya "Koma", Koran Remaja. Di sana, selain sebagai wartawan saya juga menjadi penata artistik. Sebagai wartawan saya menggunakan nama Reza sedangkan sebagai penata artistik saya menggunakan nama Radar. Honornya pada saat itu sekitar Rp 2.500 per bulan. Dengan honor tersebut kadang-kadang saya tidak makan 2 - 3 hari. Namun hal itu tidak membuat saya berhenti sekolah.

Mengapa Anda kabur dari rumah? Apakah orang di rumah Anda tidak ada yang mengapresiasi kegiatan-kegiatan yang Anda lakukan?

Akhirnya saya ketahuan orang tua sewaktu menjadi wartawan lepas di Kompas diajak Valens G. Doy. Waktu itu saya masih kelas 3 SMP. Saya menulis hampir setiap hari menggunakan nama Reza. Suatu hari ada yang menghubungi kantor redakur Kompas dan mengatakan, "Yang namanya Reza itu anak saya, dia tidak boleh ikut-ikutan." Ternyata yang menelpon adalah ayah saya.

Bagaimana sikap keluarga Anda sekarang?

Saat ini mereka mau tidak mau harus menerima manusia seperti saya ini.

Anda sudah punya identitas dan mereka menemukannya sekarang. Masalah identitas ini banyak ditanyakan kepada Anda termasuk kalau kita pindah tema dalam lingkup masyarakat luas seperti identitas manusia Indonesia terutama dalam masa 5 tahun terakhir. Apa komentar Anda mengenai yang terjadi pada manusia Indonesia sekarang ini?

Saya tidak khawatir. Saya juga belum menemukan identitas saya. Jika Bapak atau Ibu saya menemukan identitas saya, maka identitas itu adalah identitas yang mereka perkirakan. Bagi mereka, Radhar adalah bentuk eksistensi seperti ini yang barangkali mereka idealisir melalui pemahaman-pemahaman tradisional mereka. Saya pribadi merasa belum menemukan identitas saya.

Tapi Anda sudah memiliki identitas sebagai seorang yang kreatif, bisa menulis, dan sebagainya.

Itu bukan identitas. Semua orang bisa memilikinya.

Apakah itu berarti semua orang tidak memiliki identitas?

Identitas pertama yang ditemukan oleh seseorang adalah secara geografis. Ini ditunjukan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kedua, dia menamakan dirinya orang Jawa, orang Indonesia, dan lain-lain. Tapi apa itu orang jawa dan orang Indonesia? Untuk yang pertama, saya punya KTP, NPWP. Tapi untuk yang kedua, saya tidak bisa menjelaskan apapun. Bapak dan Ibu saya Jawa tapi saya lahir dan dibesarkan di Jakarta. Apa arti Jawa buat saya? Apa arti Indonesia buat saya?

Jadi dalam kehidupan sehari-hari, dimana kelemahannya kalau orang tidak punya identitas?

Jika orang tidak punya identitas maka dia tidak tahu ada di mana, dia tidak tahu dari mana, dan dia tidak tahu ke mana.

Apa itu produk dari masyarakat atau sangat pribadi sifatnya?

Ini adalah produk masyarakat. Kita ini memang korban. Untuk orang seperti saya yang identitas kulturalnya tidak jelas maka saya mencari ibu kultural ke mana-mana seperti di pantai, hutan, buku-buku, atau tempat-tempat lain. Sedangkan untuk bapak kultural, saya mencari di diskotik, ruang parlemen, di mana saja. Jadi saya tidak jelas manusia Indonesia itu seperti apa. Orang yang berasal dari kultur yang jelas seperti orang Padang, Madura atau Jawa akan mengalami situasi yang sama ketika ke-Padang-an, ke-Madura-annya, atau ke-Jawa-annya itu tidak bisa diekspresikan secara tuntas dan optimal dalam situasi sekarang.

Apakah Anda bahagia tidak punya identitas, atau ingin punya identitas, atau it doesn't matter?

Saya kira semua orang menginginkan identitas itu. Hal itu adalah roots atau akar kita. Kerinduan semacam itu yang membuat pencarian-pencarian saya mengenai makna Indonesia, diri sendiri, dan manusia terus berjalan.

Apa pencarian identitas ini dipersulit karena Indonesia heterogen dan plural?

Pertama, saya kira karena kita tidak memahami itu dengan baik. Kedua, ketika orang memahaminya, mereka tidak bisa menerimanya dengan baik. Bentuk penerimaan itu, misalnya, pemahaman bahwa kita bukan satu sosok yang utuh. Jawa itu bukan sosok yang utuh tapi merupakan serakan-serakan atau mozaik yang bisa saja satu persatu pecah dan kapan saja bisa disusun lagi. Tapi dalam bayangan ideologis dan tradisi, kita selalu membayangkan diri kita satu yang utuh. Bahkan sangat dipaksakan secara ideologis. Itu membuat kita lupa terhadap kenyataan kita sendiri.


Jadi menurut Anda, apakah nasionalisme dan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) justru menyulitkan atau memperjelas dalam proses pembentukan identitas?

Itu justru sangat menyulitkan karena kita tidak bisa memahami dengan baik. Belum ada konsensus mengenai hal itu. Kalaupun ada konsensus itu sifatnya dipaksakan dari kekuasaaan. Sementara secara menyeluruh, sementara rakyat belum memiliki pemahaman yang benar.


Apakah perlu ada sebuah identitas nasional atau silahkan saja cari sendiri-sendiri?

Kalau mau membentuk identitas nasional, kita membutuhkan sebuah konsensus yang luar biasa. Itu perjalanan yang sangat panjang. Kita akan menuju atau ke sana atau tidak, saya tidak perduli.

Apakah bagus atau tidak melupakan negara kita?

Saya kira persoalannya bukan bagus atau tidak bagus tapi seberapa jauh indentifikasi itu memberi kesempatan kita untuk mengoptimilisasi atau mengaktualisasi kemampuan-kemampuan kita yang terbaik.

Dan Anda melihat itu dari perspektif kemampuan individu bukan dari kegunaannya bagi masyarakat?

Pada akhirnya optimalisasi kebaikan kita sebagai individu itu hablum minallah, hablum minannas. Artinya, menyebar juga. Kalau hanya untuk kepentingan yang sifatnya personal saya kira itu tidak aktual sebagai manusia, tidak optimal sebagai manusia. Jadi manusia pada hakikatnya makhluk sosial.


Jadi orang yang cuek seperti Anda masih juga sosial ?

Saya sangat sosial karena saya selalu berbuat untuk orang lain. Apakah batasannya itu cukup wilayah Pamulang saja, Jakarta, Indonesia, atau regional itu merupakan pilihan masing-masing orang.

Anda malah tidak memberikan definisi pada diri sendiri?

Saya kira bila saya berbuat lebih banyak dan lebih luas itu jauh lebih baik. Jadi itu tidak ada batasannya.

Jadi kita boleh berguna walaupun tidak bisa mendefinisikan diri kita sendiri?

Kita sama-sama mencari karena tidak ada satu orang pun bisa mengklaim bahwa dirinya jelas. Itu sama saja dengan orang tidak bisa mengklaim bahwa dirinya Indonesia. Sebab, ketika dia menetapkan dirinya Indonesia dan bertemu dengan Indonesia yang lain masih ada konflik karena pemahamannya sangat berbeda diantara kita.


Anda bicara mengenai konflik yang ada sekarang itu sebagai sesuatu yang berasal dari identifikasi itu?

Iya, itu antara lainnya. Dalam mengidentifikasi diri, mengidentifikasi situasi, masa depan, masa lalu, dan segalanya.

Kalau teroris dan pelaku bom bunuh diri, apakah berarti jelas identitasnya?

Kalau teroris itu disoriented

Bukankah dia tajam sekali karena dirinya benar dan yang lain salah maka dibom saja?

Tidak, itu puncak dari ketidakjelasan. Itu ada pada terorisme karena dia tidak mampu mengidentifikasi sesuatu secara riil, nyata, dan benar buat dia.


Saya ingat pada sekitar tahun 2000-an sewaktu ada bom pertama di Kedutaan Besar Philipina di Jakarta. Ketika itu Indonesia sudah mulai kacau dan setelah itu jadi banyak pemboman. Menurut Anda, mengapa keadaannya berubah sehingga Indonesia sekarang dicap sebagai negara teroris?

Saya memiliki dua cara untuk melihat itu. Kedua-duanya saya gunakan walaupun bertentangan. Satu secara akademik dan satu lagi secara spekulasi. Kalau secara akademik, salah satu yang paling menarik adalah yang mengatakan citra Islam yang 90% dimiliki Indonesia sudah ditangkap secara salah oleh manusia-manusia atau kelompok lain di luar Islam.
Kini di Amerika ada satu trend baru untuk mempromosikan Islam lewat komedi. Jadi anak-anak muda muncul dengan one man show-nya dengan standing up komedinya.

Apakah komedi yang bersimpati atau melecehkan?

Tidak. Orang-orang Islam ini mencoba mencitrakan Islam dengan cara yang berbeda. Misalnya, muncul seorang bernama Hasan di sebuah panggung di New York dan mengatakan, "Saya menyesali di Arab Saudi dan negara Arab lainnya pemerintahan atau kekuasaan diwariskan berdasarkan keturunan. Bagaimana mungkin pada Abad 21 ini masih ada kejadian abad 15 yaitu orang menjadi presiden hanya karena keturunan."

Dia berbicara itu di Amerika. Artinya, ada pengubahan citra. Itu adalah satu terminologi atau satu perspektif yang diambil secara akademik. Kalau yang bertentangan dengan itu ada satu gerakan konspiratif yang buat saya ini spekulatif dan itu perlu diperhitungkan juga.


Konspirasi siapa dan terhadap siapa?

Konspirasi dari satu kekuatan terutama ekonomi dan politik dan di belakang ini ada militer dan kekuatan global untuk menguasi dunia dan mempertahankan dominasi mereka yang selama ini ada.


Apakah itu untuk minyak dan sebagainya?

Dan sebagainya. Jadi lebih luas dari itu. Terorisme dan yang lain itu adalah sebagian bentuk dari rekayasa itu, dari perencanaan-perencanaan itu. Ketika Amerika menjadi negara No.1 tapi kehilangan satu hal yang menjadi motivasi bagi bangsanya untuk bergerak maju.


Apa itu?

Enemy. Ketika Rusia sudah hancur dan Cina bekerja sama dengan yang lainnya, maka common enemy (red: musuh bersama) ini yang digembar-gemborkan.


Mengapa harus menciptakan konspirasi karena mereka sudah dominan?

Mereka harus mempertahankannya karena ada gerakan-gerakan kuat terutama di lapisan bawah dan menengah yang begitu kuat pressure-nya sehingga akan bisa menjatuhkan mereka juga.


Tapi gerakan kuat melawan mereka, apakah itu dari teroris atau dari orang biasa?

Kalau teroris itu ciptaan mereka dalam teori konspirasi ini. Kalau ini dari gerakan-gerakan masyarakat sipil dari akar rumput, bukan yang rekayasa seperti green peace. Tapi ini yang riil dari masyarakat yang tidak puas, yang frustrasi, dan lainnya.

Jadi mereka mau menyibukkan orang lain saja supaya ada alasan mereka pegang kekuasaan?

Iya betul untuk mengalihkan perhatian dan itu sering terjadi. Misalnya di Eropa Timur sewaktu keluar dari Uni Soviet. Mereka tidak menggunakan kata terorisme tapi menggunakan kata korupsi. Korupsi di wilayah Eropa Timur itu menjadi kesibukan luar biasa buat orang-orang sehingga lupa pada esensi persoalan-persoalan ekonomi, politik dan kultural yang sebenarnya.

Menarik. Di Indonesia juga ada gejala mengalihkan perhatian. Apakah ini proyek lokal atau bagian dari konspirasi global?

Pertanyaan itu tidak selayaknya Anda jawab atau saya jawab karena sudah ada yang bisa menjawab.

Saat ini suka ada isu muncul yang membuat orang sibuk dan kacau pikiran kemudian melupakan segalanya. Misalnya, sebentar lagi tarif telepon naik 100%, Tarif Dasar Listrik (TDL) naik 40%. Luar biasa yang dilakukan kabinet sekarang ini. Kabinet pemerintahan mana pun akan hancur karena kebijakan seperti itu.


Mengapa yang sekarang tidak hancur?

Tidak hancur karena lebih canggih. Mereka belajar di pemerintahan sebelumnya.


Apakah demokratisasi dan gerakan transparansi buah reformasi? Apakah itu bukan penyelamat bangsa.

Itu bukan buah reformasi, itu hanya lip service semata. Saya kira itu hanya suatu kedok yang cantik dari wajah yang buruk.

Ini agar kesimpulannya benar. Jadi ada konspirasi orang-orang kuat di dunia untuk untuk mengalihkan perhatian orang sehingga kekuasaaan itu bisa bertahan terus. Tapi kekuasaan itu tidak tahu berskala internasional atau nasional, blok Barat atau timur.

Semua terlibat dengan para cooperator. Tidak ada blok, tidak ada jurusan, tidak ada mata angin, tidak ada maju atau belakang. Semua elit terlibat langsung atau tidak langsung


Apakah ada orang atau kekuatan yang bisa diharapkan?

Rakyat itu kekuatan sesungguhnya. Yang kurang dari kita adalah memahami rakyat dan potensi-potensi apa yang padanya.

Tapi rakyat mengerti mengenai ini. Buktinya, Anda diundang ke mana-mana dan tidak dianggap orang gila.


Tidak tahu juga.


Untuk jangka pendek, apa yang sedang Anda lakukan?

Survive dalam hidup. Survive untuk bisa berbuat lebih. Itu saja.


Saya menangkap itu sebagai ucapan pesimis.


Tidak. Dalam tekanan luar biasa dari berbagai bidang ekonomi, politik, sosial, budaya seperti sekarang, kita perlu survive dulu. Lalu setelahnya baru berpikir berbuat lebih dari itu. Pada saat sekarang survive sebagai suatu prestasi untuk kita sebagai rakyat.

Tadi Anda mengatakan pada saat sekarang, apakah pernah ada saat yang lebih bagus dari saat ini?

Kita tidak mau romantis untuk seperti itu. Membayangkan hal di masa lalu tidak akan memberikan apa-apa di masa depan.

Edisi 517 06 Feb 2006
http://www.perspektifbaru.com/wawancara/517

Om Valens dan Sindrome Napoleon

Oleh Hadi Suprapto

Tawang, 16 Maret
Pagi yang cerah itu, seorang bocah kecil berdiri sebuah peron Stasiun Tawang. Menunggu Fajar Utama, sebuah angkutan rakyat jurusan Semarang-Jakarta. Ia datang 30 menit lebih awal, sebelum kereta berangkat, jam delapan pagi. Hiruk pikuk stasiun itu tidak membuatnya gerang. Ia santai, lebih pada kekosongan pikiran.

Mengenakan kaos hitam dipadu celana cokelat muda, anak itu duduk. Sebuah ko-ran lokal yang sedang memberitakan akuisisi perusahaan rokok di Surabaya dipegangnya. Namun, terlihat bocah cilik itu tidak serius dalam membacanya. Pandangannya kosong. Kegembiraan, kesedihan, dan bimbang, bercampur menjadi satu.

Dua hari yang lalu, dalam sebuah prosesi pemakaman, bocah cilik itu menerima telepon dari sebuah kantor majalah di Jakarta. Alamat yang diberi tidak dicatatnya sebab tidak memungkinkan. Hanya tetpon konfirmasinya saja yang ia ingat-ingat, 021 314 2557.

Dengan modal informasi telepon dari kantor tersebut, ia berangkat. Membulatkan tekad dalam citanya, menjadi waratawan. Anak lugu itu dengan pede-nya ke Jakarta tanpa alamat. Ia hanya punya telepon konfirmasinya, itu saja. Itupun sedari kemarin su-dah dicoba dihubunginya, tapi belum satu pun tersambung. Namun bocah kecil itu tidak berhenti di situ. Ia tetap ngotot ke Jakarta.
 

Di kereta pun ia bimbang, apalagi satu-satunya alamat yang ia punya itu, belum bisa dihubungi. Hanya mesin penjawab saja yang terdengar. Berlahan ia coba terus den-gan HP yang super gedenya. Rupanya Tuhan tidak tega melihat makhluknya berjalan tanpa tujuan. Di tengah perjalanan, kantor itu berhasil ia hubungi, dan alamat pun ia dapatkan.

***

Bocah cilik itu sudah merasakan Jakarta. Cita-citanya sebagai wartawan di am-bang pintu. Bersama 10 anak lainnya, ia masuk di salah satu ruangan kantor majalah Prospektif. Di situ ia ditempa selama dua minggu oleh tiga wartawan senior. Entah siapa mereka, hari pertama bocah itu belum mengenalnya.

Mungkin ini penempaan jurnalis yang paling membekas. Bocah cilik itu di tanyai oleh satu di antara tiga trainers itu "apa itu berita?" Itu awal kali dialognya. Setelah be-berapa patah kata keluar darinya, bocah kecil yang belum tahu Jakarta itu disuruh turun ke lapangan. "Lihatlah apa yang terjadi di TIM, you tuliskan, you deskripsikan secara detail," perintahnya. Hingga sore, bocah itu di lapangan tanpa tahu arah. Ia hanya bisa merenungi, mengingat apa yang dilihatnya, tanpa tahu apa yang akan ditulisnya, nanti.

Namun, di hari kedua bocah lugu itu sudah mulai ngerti. Laki-laki paruh baya itu tidak lain adalah Valens Goa Doy. Seorang jurnalis terkenal, jebolan Kompas. Dialah yang menjadikan Kompas eksklusif di berita olahraganya, sekiran tahun 80-an.
Sapanya akrab, membuat bocah kecil itu merasa terlindungi. Om Valens, laki-laki itu sering disapa.

Hari demi hari Om Valens mengajar dengan sabar bocah kecil itu. Om Valens memberi tahu konsep berita komprehensif, dan bagaimana cara penerapannya. Sungguh jelas apa yang disampaikan Om Valens. Meski penjelasannya sangat cepat, Om Valens bisa memberikan gambaran pada wartawan pemula untuk memulai tugas kewartawanan-nya, seperti bocah kecil itu.

Om Valens bisa dibilang sebagai guru jurnalis yang favorit. Sebab Om Valens memiliki sifat lain, menghargai anak didik. Selain itu, Om Valens juga jago meyakinkan orang untuk bisa melakukan sesuatu. Meyakinkan bocah kecil untuk bisa menulis apa yang dia lihat, dia rasakan indra, dan dia alami.

Rabu, 27 April

Om Valens entah dari mana. Hanya satu yang bocah kecil tahu, Om terlihat lelah. Tapi rasa lelah itu rupanya tidak menjadikan Om Valens lupa menyapa anak Semarang itu. Bocah kecil itu memang sering disapa "Anak Semarang". Mungkin karena dia satu-satunya anak didik satu angkatan yang datang dari Semarang. Dengan mengenakan pa-kaian khasnya, kaos putih berkerah dipadu dengan celana gelap berkalung handuk putih itu menyapa melalui senyum.

Saat menunggu lift, Om Valens sudah memunculkan sikap sumehnya. Ia me-nepuk-nepuk bahu bocah kecil yang kumal itu, "Hai.." Om Valens menyapanya dulu. "Sore Om, gimana kabarnya?" tanya bocah kecil yang waktu itu habis liputan. "Baik, you gimana?" percakapan itu pun berlanjut, hingga bocah kecil itu minta beberapa tulisan Om Valens untuk dibacanya. "Om sudah tua lah, capai tubuh ini." Jawabnya kepada bocah kecil itu.

Menepuk bahu bukanlah kebiasaan asing bagi Om Valens ketika bertemu anak didiknya. Mungkin ini salah satu yang menjadikan Om Valens terlihat lebih akrab dengan anak didiknya. Bukan hanya itu, lelaki yang masih setia dengan HP Nokia 3315 itu juga sebagai sosok manusia "pekerja keras". Om Valens tidak pernah mengeluh. Apalagi sampai mengucapkan hal seperti itu. Sebuah kalimat yang bocah kecil dengar dari mulut Om Valens.

Namun, bukan Om Valens jika berhenti menulis. Meski Om Valens pernah bilang dirinya telah lelah, Om Valens masih tetap menulis. Lima hari berikutnya, bocah kecil itu bisa membaca tulisan Om Valens. Dengan titel Probo75, ia ingin mengungkapkan selamat ulang tahun untuk pengusaha pribumi, Probo Sutedjo.

Di usianya yang mendekati senja, tidak menjadi halangan bagi Om Valens untuk berbuat terbaik. Keyakinan yang dimiliki itu diakuinya sebagai semangat bagi Om Va-lens. Entah, mungkin Om Valens hanya menyemangati si Bocah kecil itu atau memang benar-benar terjadi.

Keyakinan untuk selalu bisa dan tidak mau kalah dengan orang lain itu menjadikan Om Valens sebagai seorang pekerja yang totalitas. Makanya, tidak heran jika minggu itu Om Valens masih sering terlihat bermalam di kantor. Atau, paling tidak sering pulang larut malam. Lihat saja, kisah-kisah Om Valens yang pernah ditulis kawan-kawannya. Om Valens terlihat sebagai sosok pekerja yang tidak pernah menyerah.

***

Kini, baru 40 hari bocah kecil itu, yang tidak lain adalah aku, Hadi, baru men-genalnya, di saat itu juga Om Valens meninggalkannya. Om sebagai guru dan ayahku telah tiada. Namun, hatiku akan selalu ada ruang untuk mengenang namamu, Om Valens.

Om, istirahat dengan tenang. Aku di sini akan selalu berusaha untuk menjadi wartawan yang seperti Om inginkan. Dan.. kan selalu ku ingat pesan Om, "you juga punya Sindrome Napoleon,* hati-hati itu," ucapnya, lirih.

***

* Sindrome Napoleon hanyalah sebutan dan kiasan sifat seseorang terhadap sifat sombong. Sindrome ini menyerang dengan meracuni pikiran "bahwa aku lebih mampu dari yang lain". Anehnya, penyakit ini ser-ing meracuni orang-orang yang bertubuh kecil, seperti Napoleon Bonaperte, seorang prajurit biasa yang berhasil menjadi Raja Prancis dan terobsesi menaklukkan seluruh daratan Eropa.
Jul 23, '05 5:37 AM

Sumber http://hadisuprapto.multiply.com/journal/item/2/_Om_Valens_dan_Sindrome_Napoleon

Dicari, Wartawan yang Dapat Dipercaya

(Catatan yang tercecer dari Dili)

Oleh JB Kleden *

TERUS terang saja karena berbagai kesibukan, artikel yang sebenarnya diperuntukkan sebagai catatan pada peringatan Hari Pers, 9 Pebruari lalu baru diturunkan pada kesempatan ini. Artikel ini mengambil posisi dari sudut pandang pembaca yang menginginkan media massa kita tumbuh menjadi media massa berkualitas dan dicari-cari pembaca, bukan media massa mencari pembaca.

Kepada beberapa orang rekan dosen Sekolah Tinggi Pastoral Keuskupan Agung Kupang dan beberapa orangtua/wali murid TK/SD Assumpta yang setiap pagi suka membaca koran di halaman Gereja St. Maria Assumpta, saya pernah bertanya pikiran apakah yang paling menggugat saudara ketika membaca koran. "Saya ingin agar berita yang ditulis di koran ini dapat dipercaya kebenarannya," jawab pak Dolar salah seorang wali murid, tanpa memalingkan matanya dari headline Pos Kupang pagi itu, "Sembilan Parpol dukung Adoe-Hurek" (PK 13/3). Sebagai orang yang masih suka menulis sebagai free-lance, saya menjadi terpana. Berita yang dapat dipercaya?

NOT just for sentimental reason. Tidak semata hanya untuk sebuah kenangan cengeng jika dalam nuansa peringatan Hari Pers 2007 ini saya mengutip sebuah memori yang kendati surut ke belakang dengan rentang masa 10 tahun, namun masih segar dalam hard disk pikiran saya. Memori itu merekam kejadian suatu hari di bulan Februari 1995 di Dili Timor Timur, ketika saya melaksanakan tugas sebagai wartawan Harian Suara Timor Timur (STT) di bumi Loro Sae itu. Ketika itu bersama Yos Lema (Redpel STT) dan Om Marcel Weter Gobang (Persda Kompas yang ditugaskan untuk membackup STT), kami dipanggil menghadap Danrem 164/WD Dili, Kol (Inf) Kiki Syahnakri di ruang kerjanya terkait artikel saya "The Death in Liquica" yang muncul di Fokus Harian Umum Suara Timor Timur, Sabtu (18/2/1995). Artikel itu berkisah tentang insiden penembakan enam warga sipil di Gariana, Liquica 12 Januari 1995 yang oleh militer Indonesia diidentifikasi sebagai GPK Fretilin. Di samping Danrem Kiki Syahnakri, ada Wagub Timtim Brigjen J Haribowo, Wadanrem Kol Inf Glenny Khairupan, juga Dan Satgaspenrem Mayor Drs. Laeden L Simbolon serta sejumlah pejabat Korem 164/WD lainnya.

Pagi hari itu, ketika hendak berangkat menuju Markas Korem 161/WD di Caicoli, pesawat 22824 si ruang redaksi berdering. "Hai, om," suara Aderito Hugo, Koordinator Peliputan STT, terdengar seperti berteriak. Kemudian ia menyerahkan gagang telepon kepada saya. "Dari Jakarta, om Valdo!". Om Valdo adalah sapaankhas kami untuk Valens Goa Doy (alm) yang ketika itu mengemudikan STT selaku Pemred dari markasnya di Jakarta.

"Jack, sudah siap menghadap Danrem? Pergi saja, tak perlu cemas. Setelah om mempelejari artikelmu, tidak ada yang keluar dari asas jurnalisme, juga tidak melenceng dari fakta lapangan hasil investigsi Tim Komnas HAM yang turun ke Liquica yang dipimpin langsung ketuanya, Ali Said. Masa depan STT tidak ditentukan oleh militer di Timtim, kendati kita tidak bisa menafikan semua itu. Masa depan STT ada di tangan Anda sendiri dan seluruh wartawan di situ. Bukan di tangan om atau Om Marcel. Dan itu bisa akan terwujud jika Anda sebagai wartawan dapat dipercayai. Jika Anda dapat dipercayai, maka STT akan dihormati. Go a head, om mendoakanmu, salam untuk Yos dan Om Marcel," setelah itu Om Valdo langsung menutup telponnya tanpa memberikan jedah sedikitpun kepada saya untuk mengomentarinya

Peristiwa itu sudah lama berselang. Mungkin ada yang bertanya, untuk apa menghadirkan sebuah peristiwa masa lalu sementara hidup menderas maju. Saya sadar, menyajikan cerita tersebut kembali setelah kurun waktu lebih dari satu dasawarsa, akan ternyata, bukan saja sudah tidak ada kaitan urgensi dan proporsinya, tetapi bahkan sangat boleh jadi sudah kehilangan idenya, sejak yang bernama ide selalu mengalami perubahan nuansa dan problema sesuai kebutuhan zaman. Lagi pula sebuah cerita masa lalu, seperti kata para ahli sejarah, tidak seluruhnya dapat dipercaya karena ia selalu merupakan cerita kepahlawanan.

Tetapi berkenaan dengan peringatan hari pers dan keinginan pembaca untuk mendapatkan berita yang dapat dipercaya, nasehat sang maestro Persda Kompas, tersebut terdengar getir. Maka dalam kerendahan hati catatan kecil yang tercecer dari Dili tersebut dihadirkan kembali dalam artikel ini dengan asumsi bahwa betapapun subyektifnya ia dapat selalu digunakan sebagai titik tolak dan sumber inspirasi hari ini bagi rekan-rekan kawula kuli tinta (yang sesuai dengan perkembangan teknologi nomen klaturnya menjadi kawula kuli flash-disket) yang dengan jujur dan sungguh-sungguh senantiasa ingin menghadirkan berita yang sungguh dapat dipercaya.

****

SECARA umum, fungsi media massa adalah mengenali dan menyajikan informasi tentang kenyataan; memilih dan menafsirkan kenyataan; menyajikan dan meneruskan nilai-nilai sosial budaya kepada generasi penerus serta memberikan hiburan. Terkait dengan itu fungsi pengasuh media (baca: wartawan) adalah mengumpulkan informasi tentang kenyataan sebagai bahan berita, mengolah dan menyunting bahan tersebut dan selanjutnya menyajikannya sebagai news kepada publik. Ada juga tajuk rencana dan catatan by line sebagai wujud dari tugas wartawan menafsirkan kenyataan.

Berita dan analisis tersebut dihadirkan dengan minimal memenuhi kriteria aktualitas, manfaat, urgensi dan kelayakannya untuk dimuat (fit to print). Kriteria fit to print dikembangkan terutama di negara yang menganut paham tanggung jawab sosial (social responsibility system). Pers yang menganut sistem ini disebut juga pers yang bebas dan bertanggung jawab. Pers Indonesia menganut paham ini (kendati ada media kepentingan yang dengan sengaja mengabaikannya). Secara substansial, berita yang dipublikasikan media adalah fakta mengenai kejadian (event), kecenderungan (trend), atau berita tentang hal-hal yang akan terjadi (estimasi) dan konteks yang terus berproses (proceeding contex).

Masalah yang dihadapi pengelola media adalah keterbatasan waktu dan ruang, mengakibatkan kenyataan yang tersebar di tengah masyarakat tidak dapat disiarkan secara menyeluruh. Ada yang dengan sengaja tidak dipublikasikan karena tidak memenuhi kriteria media yang bersangkutan. Dengan demikian gambaran kenyataan yang dipublikasikan media massa tentu saja sudah merupakan kenyataan dan kebenaran menurut versi media. Jadi sebenarnya berita-berita media (fakta media/realitas media) sesungguhnya tidak pernah secara hakiki dapat mewakili kenyataan asli (pure reality) secara penuh. Mengapa demikian?

Ada banyak alasan, tetapi yang terpokok adalah urusan praktis. Industri media tidak mau rugi. Artikel Henry B Priyono, seorang peneliti tentang voyeurisme media dari STFK Driyarkara (Kompas, 1 Oktober 2003), memberikan jawabannya. Dalam bisnis media, pembaca atau pemirsa tv bukan tujuan. Tetapi pembaca menjadi tambang emas bagi media massa. Target utamanya bukan lagi to inform, to educate, dan to entertain, tetapi bagaimana menciptakan tambang laba dari pembaca/pemirsa. Jalan pintasnya adalah memainkan kawasan basic instink manusia yang bersifat libidinal. Dan sebagaimana kita pelajari dari psikologi, tidak ada batas pada libido manusia. Inilah kawasan yang terus menerus dieksplorasi dan juga dieksploitasi para pengelola media. Apa yang menjadi tujuan utama berita bukan lagi mengungkap fakta di balik realitas seperti yang dikumandangkan, tetapi bagaimana fakta itu relevan dalam memenuhi hasrat libidinal manusia. Jadi jangan heran kalau berita perselingkuhan, gaya hidup, kriminalitas, kekerasan meraup lebih dari 50 persen halaman koran atau jam tayang televisi kita.

Kendati demikian, dalam pandangan masyarakat media massa masih tetap mempunyai pengaruh yang begitu besar dan kuat bahkan dianggap sebagai salah satu pilar penting dalam penciptaaan demokrasi. Pandangan masyarakat yang sedemikian tingginya mengenai media mengakibatkan ketergantungan yang melahirkan anggapan bahwa berita media sebagai kebenaran, apalagi kalau berita itu seragam dan monolitik (kalau pembaca cukup jeli, sesungguhnya berita seperti ini dikutip dari kantor berita atau wartawan freelance yang sama). Berita yangseragam tidak saja berperan membentuk pendapat khalayak (publik opinion) tetapi cukup berpotensi membentuk pendapat umum (general opinion).

Terbentuknya pendapat umum bukanlah sesuatu yang buruk jika ia bertumpu pada berita yang sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya (pure reality). Tetapi akan menjadi persoalan serius jika landasan terbentuknya pendapat umum adalah "realitas media" yang tidak sesuai dengan pure reality. Inilah dilema yang dihadapi media massa dan wartawan idealis yang ingin jujur dengan fakta yang ingin ditampilkan. Mereka sadar bahwa telah meracuni pikiran masyarakat secara salah, namun mereka juga tidak bisa mengelak dari tanggung jawab untuk membuat medianya menjadi media yang laris manis.

****

JIKA kita membaca tulisan by line Pos Kupang mengenai `Wajah pers kita' yang merupakan hasil refleksi para wartawan mengenai jati diri mereka berkenaan dengan peringatan Hari Pers 2007, kita akan segera menemukan benang merah hubungannya. Ternyata harapan pembaca yang saya buat secara random, agar media massa di Kupang menjadi media massa yang dapat dipercaya bukan mengada-ada.

Betapa tidak, sekadar contoh saja, jika masyarakat menginginkan demokrasi ala pilkada langsung yang mengandaikan khalayak well informed, kita akan gigit jari karena halaman media massa kita semakin banyak dibeli para calon guna menyuarakan segala urusan berkenaan `payudara asmatis' alias tetek bengek mereka mulai dari poling SMS, sampai head-line news perdamaian mereka dengan para mantan isteri mereka sekadar menunjukkan kepada publik bahwa perceraian bukan kasus amoral dan tak perlu diributkan publik.

Kalau kita bertanya kepada pengelola media, mengapa kebenaran media bisa melorot menjadi obsesi ngintip dan nggosip pada lingkup personal seperti itu, jawabannya adalah mainstream : untuk itulah kami telah dibayar. Dan di situlah koran kami laku keras. Dengan demikian kita nantinya jangan heran bila pilkada justeru akan mengantar para badut, koruptor, preman, dan tukang jagal, terpilih sebagai pejabat di Propinsi Nusa Teramat Tandus ini. Tragis memang. Juga menyedihkan karena media massa ikut punya andil mengantar mereka ke singgasana korupsi! Jadi tampaknya pendapat masyarakat bahwa media massa sebagai pilar utama demokrasi tampaknya menjadi asumsi yang terlalu mulia.

****

MAKA sebagai catatan penutup kembali saya mengajak rekan-rekan wartawan untuk menyimak nasehat Om Valdo kepada saya di atas. Perhatikan, betapa pesan singkat dan padat Om Valdo itu bermakna klausal: Jika wartawan... dan karena itu pers...". Artinya kualitas pers ditentukan oleh kualitas wartawan. Pers yang dapatdipercayai tidak akan ditentukan oleh pakar atau pasar, tetapi oleh gabungan tindakan-tindakan yang tak terbilang banyaknya yang diambil wartawan di sini dan sekarang. Jika wartawannya dapat dipercaya, maka beritanya juga dapat dipercaya, dan pers akan kembali dihormati dan dicari pelanggannya.

Perhatikan penekannya pada fakta "jika wartawannya dapat dipercaya" bukan jika wartawannya disegani atau dihormati. Kalau disegani atau dihormati di dalamnya masih ada ruang untuk dibuat-buat. Tetapi kalau dipercaya di dalamnya tidak ada ruang untuk dibuat-buat. Wartawan yang dapat dipercaya merupakan aset media yang tak lekang oleh gegap gempita perubahan karena ia merupakan resultat dari karakter, integritas dan kemampuan profesional. Dan disitulah terletak masa depan pers yang sebenanya. Karena itu, memang dicari wartawan yang dapat dipercaya.
* Penulis PNS Kanwil Departemen Agama NTT

Piala Sudirman dan Valens Doy

Oleh Ignatius Sunito
Turnamen bulutangkis Piala Sudirman untuk ke-9 kalinya dimulai hari ini (10/5/05) di Beijing RRC berlangsung sampai dengan tanggal 15 Mei 2005. Indonesia baru pertama kalinya juara pada turnamen pertama kalinya di Jakarta tahun 1989, dan sesudah itu tak pernah membawa kembali piala yang dipersembahkan untuk mengenang tokoh bulutangkis kita itu.

Demikian juga di turnamen ini sekarang, tim Indonesia yang dimotori oleh pemegang medali emas Olimpiade Athena, Taufik Hidayat, juga di atas kertas tak mempunyai peluang. Maka, tidak heran Indonesia merupakan tim yang tidak diunggulkan. Regu Indonesia menjadi "kartu mati" ketika harus berbicara di sektor putri, karena setiap kali maju ke arena sudah pasti kehilangan dua point terlebih dahulu. Yaitu di tunggal serta ganda putri, dari tiga partai lainnya, tunggal dan ganda putra serta ganda campuran.

Tidak saja menjelang Piala Sudirman 2005, namun jauh sebelum itu setiap kali ada peristiwa besar maupun rutinitas bulutangkis, berita-beritanya selalu menghiasi koran-koran di Tanah Air. Namun, saya sudah seperti kehilangan gairah untuk mengikutinya. Lho,kok bisa? Ini karena sang "super" spesialis bulutangkis, Valens Goa Doy, rekan wartawan OR sudah lama meninggalkan gelanggang.

Ditambah, Valens secara mendadak dipanggil ke Rumah Bapa pekan lalu (3/5) akibat penyakit jantung dan meninggal di RS Sanglah, Bali, dalam usia 61 tahun. Mungkin, seandainya ia masih ada dan mau menuliskan persiapan tim Indonesia ke Piala Sudirman 2005, sekalipun tanpa pengharapan, saya yakin, buah penanya akan meliuk-liuk. Hasilnya ? Pasti sebuah tulisan yang sangat enak, enak dibaca.

Meskipun masih menang sedikit dalam senioritas, tetapi kalau sudah soal bulutangkis, wah, dia jagonya. Itu sudah terjadi dalam awal permulaan karir sebagai wartawan olahraga yang dimasukinya tahun 1973. Begitu ia mulai menjamah bulutangkis, bak seorang penulis ensiklopedi dari A s/d Z bulutangkis ia obrak-abrik. Sehingga kami, rekan-rekannya satu kantor di Redaksi OR SK KOMPAS, meskipun sudah terlebih dahulu menggeluti cabang bulutangkis harus mencari "ladang lain".

Beruntung kita menjadi satu tim yang kompak di bawah satu komando Th.A. Budisusilo, yang mengarahkan kami kepada "subyektivitas" masing-masing. Sejak itu dunia olahraga Indonesia seperti menemukan ikon baru, terlebih-lebih dunia bulutangkis Indonesia yang sejak tahun 1958 dengan direbutnya Piala Thomas, merupakan olahraga kebanggaan nasional dari ukuran prestasi.

Valens sudah melibatkan diri secara total dalam dunianya, tidak saja di dunia bulutangkis tetapi OR secara keseluruhan karena tanggung jawab tugasnya ketika menjadi redaktur OR KOMPAS. Ketika tahun 1983, kami berpisah meskipun masih dalam satu grup perusahaan, saya bersama Sumohadi Marsis membawa tabloid BOLA. Beberapa pengamat dan pecinta rubrik OR KOMPAS sangat menyayangkan.

Antara lain DR. Daniel Dakidae, yang waktu itu tengah menyelesaikan disertasinya di Cornel University, AS, yang juga membahas tentang dunia pers Indonesia. Ia menyatakan, dengan perpisahan para pilar OR KOMPAS, untuk membangunnya kembali perlu waktu lama. Malahan ia waktu itu berani menyatakan sampai akhir abad ke-20, rubrik OR KOMPAS akan kehilangan "roh" nya.

Pandangan Daniel ini seperti menambah semangat kami untuk memajukan tabloid OR BOLA, dan sekaligus menjadi modal untuk memprovokasi Valens agar ia membuat ramai dunia OR Indonesia melalui rubrik asuhannya. Dengan harapan, BOLA akan melengkapi atau paling tidak berita lebih lanjut dari apa yang sudah ditulis oleh KOMPAS.

Memang, harapan tinggal harapan karena Valens juga harus meninggalkan rubrik asuhannya, dengan menerima tugas baru mengembangkan pers daerah milik grup KKG, Kelompok KOMPAS Gramedia. Karena harus bersinggungan dengan manajemen bisnisnya, sudah bisa diduga bahwa pekerjaan ini sangat membosankan bagi seorang wartawan. Tugas ini benar-benar "merusak" masa depannya. Ia menjadi frustrasi jika sudah berhadapan dengan jalur birokrasi perusahaan.

Dalam karirnya sebagai wartawan, Valens mulai dari dunia pendidikan anak-anak, OR yang membesarkan namanya, kemudian diserahi sebagai Redaktur Pelaksana, dan kepala proyek pengembangan pers daerah. Sepertinya demikian banyak universitas atau fakultas yang dijelajahinya dan ia selesaikan dengan lulus secara cum laude. Demikian juga dengan banyak bidang pengalaman sudah dilalui, tetapi ia tetap saja terus meragu di mana letak lobang kuncinya.

Sementara kuncinya ia bawa kian kemari. Kunci itu adalah ide-ide, kemauan, harapan dan cita-citanya. Semakin mencari di mana letak lobang kuncinya, semakin lobang itu lari menjauh. Seperti ketika perjumpaan kami terakhir satu tahun lalu, sempat saya tanya, apa sebenarnya yang kamu cari? Seperti biasa ia tersenyum lebar, senyum yang hangat.

Karena perjumpaan itu di RSCM, Jakarta, ia malahan mengalihkan pertanyaan kepada saya, ngapain Anda malam-malam begini di RSCM ? Ketika saya tunjuk anak perempuan saya yang memakai seragam dokter, kontan wajahnya berseri-seri, isteri saya langsung diberi ucapan selamat hangat. "Anda begitu bahagia, cita-cita Anda yang kandas bisa diteruskan anak," katanya juga sambil menepuk nepuk bahu saya. Memang, karena kawin dengan wartawan, isteri saya gagal menjadi dokter. Maklum, wartawan kan tidak berduit.

Ternyata perjumpaan terakhir dengan Valens juga di sebuah rumah sakit. Kali ini di kamar jenazah RS Sanglah, Bali. Wajahnya masih menanggung suatu pencarian, yang kita sahabatnya sampai sekarang tidak tahu, apa sebenarnya yang dicari.
Kembali seorang ikon olahraga telah pergi. Selamat jalan sahabat!

Sumber http://www.bolanews.com/sunito/10367.php


Selasa, 10 Mei 2005 pukul 13:56:36 WIB

Tantangan dari Valens Doy

Oleh Achmad Subechi

PUASA sebentar lagi akan berakhir. Di bulan suci seperti ini saya teringat sebuah tantangan besar yang diberikan guru jurnalistik saya. Namanya Valens Doy. Dia mantan wartawan senior Harian Kompas. Kejadiannya sekitar akhir tahun 2002.

WAKTU itu mendekati Pemilu 2004, mantan KSAD sekaligus Menpen Jenderal R Hartono mendirikan sebuah partai bersama tokoh Golkar Ary Mardjono. Namanya Partai Karya Peduli Bangsa, berdiri 9 September 2002.

Om Valens -biasa saya memanggil dia-yang ketika itu ditunjuk menjadi konsultan Harian Surya meminta saya agar mengerahkan semua kekuatan (wartawan) di Biro Jakarta agar melakukan wawancara khusus dengan R Hartono. "Saya sediakan dua halaman dan wawancara dibuat tanya jawab. Besok sudah harus ada," pesan Om Valens.

Hari itu juga saya panggil Erik, wartawan Persda. Dia saya perintahkan segera menghubungi R Hartono. Lagi-lagi ia kesulitan mencari kontak personnya. Selanjutnya ia saya suruh mencari alamat rumah R Hartono melalui jaringan wartawan lain. Akhirnya alamat rumah di kawasan Kebayoran Baru ditemukan juga.

Malam itu juga Erik bergegas mendatangi rumah R Hartono. Sesampainya di sana ia bertemu dengan sejumlah petugas TNI yang selama ini menjadi ajudan R Hartono. "Bapak masih ke Bandung. Trus saya harus kemana lagi?" tanya Erik kepada saya melalui telepon. "Tongkrongi sampai pagi. Tunggu beliau pulang dari Bandung," kata saya.

Sekitar pukul 08.00 pagi, Erik telepon kembali. Ia mengabarkan bahwa R Hartono belum pulang. "Apakah saya harus cabut?" "Okey silakan. " Selanjutnya saya kirim satu reporter lagi sebagai pengganti Erik. Hasilnya sama saja. Sementara Om Valens sudah krang. kring. ke Biro Surya di Jakarta.

Kepada Om Valens saya katakan bahwa kita sudah tempatkan dua reporter sejak semalam di rumah R Hartono. Tapi beliau masih ke Bandung dan sampai saat ini belum ketemu. "Mas Bec.Boleh tanya enggak? Jarak dari Jakarta ke Bandung jauh tidak? Berapa jam? Lalu naik apa kesana? Masak enggak bisa kirim orang." Saya katakan, perintah siapppp... dilaksanakan komandan!

Persoalannya dimana posisi R Hartono di Bandung? Itu yang menjadi PR kedua. Semua ajudannya bungkam. Alamatnya juga tak terendus. Saya lagi-lagi telepon ke Om Valens melaporkan perkembangannya. Om Valens tetap tidak mau mendengarkan alasan saya. "Kalian wartawan. pakai akal dong. Masak mencari satu orang saja enggak bisa? Om dulu ketika muda juga begitu. Pokoknya, jika dua hari lagi Om buka koran lalu enggak ada foto dan hasil wawancara dengan R Hartono di Harian Surya, you... saya copot jadi Kepala Biro Surya. Enggak usah jadi bos di Jakarta. Pulang saja ke Surabaya," ancamnya.

Tantangan itu sudah di depan mata. Persoalannya bukan karena takut dicopot atau tidak. Ini adalah tanggungjawab saya sebagai pimpinan sekaligus wartawan. Seberat apapun tugas, saya tidak boleh setengah-setengah. Semuanya harus tercapai, kalau kita ingin profesional di bidang jurnalistik.

Sejak itu, saya harus memutar otak lagi. Ehm.... Bagaimana ya caranya bisa melakukan wawancara khusus dengan R Hartono? Pikirku, dalam hati. Sejumlah wartawan yang biasa ngepos di Istana Presiden, saya kontak satu persatu. Siapa tahu mereka masih menyimpan kontak personnya. Alhamdulillah, salah seorang wartawan yang biasa dekat dengan Mbak Tutut memberikan kontak personnya. Dia wanti-wanti kepada saya agar tidak menyebutkan namanya kalau R Hartono tanya dari siapa saya mendapatkan nomor handphonenya.

Saya coba mengontak dia. Lagi-lagi HP tidak diangkat. Saya merenung sejenak. mencari ide atau siasat bagaimana caranya sang jenderal mau mengangkat telepon saya. Sambil merokok di ruangan kerja seorang diri. muncul ide baru. "R Hartono harus dikirimi SMS."
Persoalannya kalau isi SMS-nya hanya meminta wawancara, belum tentu ia bersedia meladeninya. Maklum, selain berbintang empat dia juga Ketua Umum PKPB. Untuk itu butuh siasat atau trik yang benar-benar kena. Saya terus mencari akal. bagaimana caranya misi yang akan kami jalankan bisa tembus.

Ehmmm. Tuhan rupanya memberikan ide brilian lengkap dengan kata-kata yang harus saya kirim. Kira-kira begini isi SMS-nya. "Assalamualaikum Wr Wb. Saya selalu berdoa agar Pak Hartono dan keluarga dilindungi Tuhan, diberi kesehatan, diberi umur panjang. Saya bersyukur di era reformasi ini bapak selamat dari fitnah. Banyak tokoh Orde Baru yang kena fitnah." Di bawah SMS itu saya tulis identitas saya. Tanpa rasa takut, saya tendang SMS itu ke HP sang jenderal.

Setengah jam kemudian HP saya berdering. Rupanya sang jenderal merespon balik. Ia tanya identitas saya. "Anda dapat nonor saya dari mana?" tanyanya. Saya katakan bahwa saya adalah orang yang pernah mengenal Anda ketika Anda menduduki jabatan sebagai Pangdam V Brawijaya, Jawa Timur. Memang dulu ketika ia jadi Pangdam saya sering bertemu dia dalam berbagai kesempatan untuk wawancara. Saya akui, saya kenal nama dan wajah dia, tapi dia belum tentu kenal saya. He..he..he..

"Anda dapat nomer telepon saya darimana?" tanyanya berulangkali. "Lho. saya kan cukup lama bertugas menjadi wartawan di Istana Presiden. Dulu ketika bapak jadi Menpen, saya sering melakukan wawancara dengan bapak. Mungkin bapak lupa dengan wajah saya," kata saya berbohong.

"Apa maksud kamu kirim SMS?" "Begini Pak. Bapak mestinya bersyukur lho dijauhkan dari fitnah. Selain itu saya mau melakukan wawancara khusus soal partai yang bapak dirikan. Apa ada waktu?" "Okey kalau begitu selesai shalat Jumat kamu datang ke rumah. Tahu alamatnya kan? Saya tunggu ya.... Kantor kamu dimana? Oh. dekat dengan rumah saya."

Esoknya, saya ajak Dahlan, wartawan Harian Surya di Biro Jakarta. Karena yang didatangi orang besar, kami terpaksa jaga gengsi. Kami berdua rencananya pinjam mobil inventaris kantor. Usai shalat Jumat di Masjid di dekat Harian Kompas, saya kembali menuju ke kantor. Di tengah perjalanan, R Hartono tiba-tiba telepon. "Posisi kamu dimana? Janjian sama jenderal seenaknya. Kemarin kamu kan bilang selesai Jumatan. Kok sekarang belum datang juga?" teriaknya.

"Siap jenderal. saya masih di kantor dan akan meluncur." "Berapa lama?" "Siap jenderal kira-kira setengah jam." Selanutnya saya dan Dahlan meluncur ke rumah R Hartono di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta. Sesampainya di jalan yang dituju, saya berhenti tepat di depan sebuah rumah nomor 6. "Lan... silakan turun dan tanya apakah benar itu rumah R Hartono?" Ketika Dahlan --kini menjadi Wapemred Harian Tribun Timur-- turun dari mobil, hati saya sedikit bertanya, "Masak seorang jenderal kok rumahnya biasa-biasa saja? Ah kagak mungkin. Pasti keliru dah."

Setelah bertemu dengan penghuni rumah Dahlan melapor ke saya bahwa rumah R Hartono ada di seberang jalan. "Okey Kak Lan. sampean jalan kaki saja, saya muter dulu kesana." Saya lihat dari kaca spion, Dahlan berjalan melewati jalur hijau dan nyeberang menuju ke rumah Hartono.
 

Di samping pintu pagar rumahnya ada pos penjagaan. Sejumlah anggota TNI terlihat berjaga-jaga.. Ketika saya turun dari mobil, saya lihat Dahlan sedang adu mulut dengan beberapa anggota TNI. Tentara itu sempat membentak-bentak Dahlan. Saya dengarkan inti persoalannya, lalu saya potong. "Maaf. kami sedang puasa. Kami datang kesini atas perintah Jenderal R Hartono." Para ajudan R Hartono mau memahami ucapan saya, tapi ada jua tentara wanita masih ngomel, mengerutu. Ada kemungkinan, Dahlan slonong boy. alias kurang basa-basi sedikit ketika berhadapan dengan anggota militer.

Baru semenit di depan R Hartono, telepon di penjagaan berbunyi. Rupanya sang tuan rumah memerintahkan kami untuk masuk ke dalam rumah. Selanjutnya kami disuruh masuk ke ruang tamu. Ruang tamunya cukup luas dengan berbagai macam lukisan yang terpajang di dinding ruangan. "Assalamualikum Pak. Apa kabar?" sapaku kepada R Hartono ketika ia masuk ke ruangan tamu lengkap mengenakan peci warna putih dan baju koko (muslim).

"Sebelum Anda wawancara, saya mau tanya. Siapa yang memberi nomer saya kepada kalian ?" Saya jawab seperti semula. "Di Istana Presiden dulu, saya dekat dengan Mbak Tutut Pak. Kami sering melakukan wawancara." R Hartono terdiam. Ia lalu meminta saya untuk mengajukan pertanyaan. Dua tape recorder -satu sebagai cadangan seandainya kaset rekaman tidak sempurna-saya letakkan di atas meja. Wawancara berlangsung cukup lama, sekitar 1,5 jam.

Setelah itu kami pulang kembali ke kantor. Hasil wawancara itu saya transkrip dengan Dahlan. Side A saya yang mengerjakan, side B Dahlan yang mentranskrip. Selesai menuliskan hasil wawancara, naskah saya tending via FTP ke Harian Surya. Besok, wawancara kami dimuat di halaman dalam satu halaman bersambung. Esoknya lagi, ada satu tulisan lagi di halaman yang sama. Erik, wartawan kami yang membaca tulisan itu terheran. heran. 


"Kok bisa ya?" Jawab saya pendek. « wartawan kerja bukan dengan dengkul, tapi dengan otak..." Kata-kata itu saya kutip dari H Agil Ali, Pemimpin Umum Harian Memorandum. Saya dulu penah bekerja disana bersama Basuki Subianto, mantan Redpel Harian Surya dan Pemred Banjarmasin Post.

Sekarang Basuki menjadi pengusaha dan sudah menerbitkan sejumlah buku diantaranya berjudul : Mengubah Tidak Mungkin Menjadi Mungkin : Pengalaman Berbisnis dengan Sandaran Al-Quran. Bagaimana dengan Om Valens? Dia merasa puas dengan hasil kerja kita, hasil kerja murid-muridnya yang berguru sejak tahun 1989 di Surabaya.... Kini om Valens telah tiada. Ia pergi meninggalkan ilmu dan nama besar di mata murid-muridnya. Terima kasih Om...

(Achmad Subechi, salah seorang murid Valens Doy. Kini Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim, ,salah satu koran daerah Kompas Gramedia Group)

Mengapa Xanana mundur

Oleh Valens Doy
BAGI 11 wartawan Indonesia yang mengunjungi Timor Lorosae awal Februari 2001, pengunduran diri Xanana "Kay Rala" Gusmao dari jabatan Ketua Dewan Nasional Timor Lorosae (DNTL)-semacam DPR Transisi sampai terbentuknya DPR hasil Pemilu 30 Agustus mendatang-sama sekali tidak mengejutkan. Apalagi pernyataannya untuk tidak akan mencalonkan diri menjadi presiden.

Tanggal 8 Februari 2001, di press room yang amat sederhana di kantornya di Dili, kepada 11 wartawan Indonesia yang disebutnya sebagai sahabat terdekat dan disambutnya dengan amat hangat itu, Xanana dengan sangat gamblang mengemukakan dua argumennya, mengapa ia
harus segera mundur dari peran sebagai bintang utama di panggung politik Timor Lorosae.


Pertama, bagi Xanana, semua pemimpin harus tunduk pada peran sejarahnya. Peran Xanana ialah memimpin bangsa Timor Lorosae dalam perjuangan menuju gerbang kemerdekaan. Dan kini, setelah perjuangan itu berhasil, bangsa Timor Lorosae membutuhkan pemimpin baru yang
lebih muda, lebih dinamik, lebih intelektual, agar dapat memimpin bangsanya membangun hari depan baru. Dan ia yakin, Timor Lorosae mempunyai sejumlah pemimpin yang memenuhi kualifikasi itu.

Kedua, Xanana juga berpendapat, dalam tahap perjuangan bangsa Timor Lorosae sekarang ini untuk membangun kemerdekaannya, kehadiran seorang pemimpin karismatis seperti dirinya, akan lebih merugikan daripada menguntungkan Timor Lorosae. Karena, demikian Xanana, kehadiran seorang pemimpin karismatis yang terlalu kuat, akan menghambat proses terbentuknya suatu sistem politik yang lebih sehat. Suatu sistem politik yang tidak tergantung pada orang, tetapi pada tata-nilai yang disepakati. "Karena itu, pengunduran diri saya adalah yang terbaik bagi Timor Lorosae," ujar Xanana.

Meski pernyataan Xanana itu amat logis dan strategis, banyak pihak di Timor Lorosae tidak setuju dengan pendapatnya, dan masih mengharapkan Xanana menjadi presiden mereka yang pertama kelak. "Xanana benar bahwa ada banyak pemimpin yang berkualitas di sini. Tetapi, hanya ada satu pemimpin berkualitas yang mempunyai legitimasi publik begitu kuat, yakni Xanana," kata Maria Pacao, Kepala Distrik (semacam bupati) Aileu, bupati wanita pertama dan satu-satunya di Timor Lorosae.

***

Xanana amat konsisten dengan pilihan sikapnya itu. Ia pertama kali mengutarakan sikapnya untuk mundur dari peran sebagai pemain utama itu tanggal 30 Agustus 2000, pada sidang nasional Dewan Nasional Perlawanan Timor Leste (CNRT) yang sengaja diadakan pada HUT pertama referendum, sebuah sidang yang memberi kerangka dasar pertama bagi masa depan Timor Lorosae. Kali kedua ia kemukakan lagi sikapnya itu hanya seminggu sebelum bertemu dengan wartawan Indonesia, pada acara yang amat krusial dalam sejarah Timor Lorosae, yakni pembubaran Falintil, pasukan gerilawan bersenjata yang pernah 24 tahun penuh berperang merebut kemerdekaan.

Rencana pembubaran Falintil dan digantikan dengan Forsa Defesa Timor Lorosae atau Angkatan Beladiri Timor Lorosae (FDTL)-walaupun FDTL juga menampung sebagian bekas prajurit Falintil melalui seleksi khusus-sempat menimbulkan pro-kontra yang sangat meluas sebelumnya. Banyak pihak menilai pembubaran Falintil yang telah sangat berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Timor Lorosae itu tidak saja mengingkari sejarah, tetapi juga suatu ketidakadilan atau bahkan pengkhianatan terhadap kemerdekaan. Mereka berpendapat, kalaupun dibentuk FDTL sebagai pasukan yang lebih modern, seharusnya seluruh eks-anggota Falintil ditampung.

Akan tetapi, Xanana bersama pemerintahan transisi PBB (UNTAET) berpendapat, seleksi Falintil itu mutlak, karena FDTL yang akan dibentuk tidak saja akan berbeda secara hakiki dalam konsep militernya dibandingkan dengan Falintil, tetapi juga konsep politiknya. Di negara
baru Timor Lorosae yang dibentuk dengan komitmen kuat pada civil society sejak awal, militer secara tegas tidak berpolitik dan harus tunduk penuh pada pemerintahan sipil. Untuk itu diperlukan anggota militer yang tidak saja mahir dalam perang, tetapi juga stabil emosinya, dan harus menghayati betul makna tunduk pada hukum.

Dalam sambutannya yang simbolistis dan plastis ketika membubarkan Falintil yang dipimpinnya itu, Xanana mengibaratkan dengan dirinya sendiri. Setelah mengambil peran penting dalam perjuangan mengantarkan Timor Lorosae ke gerbang kemerdekaan, kini saatnyalah bagi dirinya untuk mundur dan memberikan tempat kepada para pemimpin baru Timor Lorosae yang lebih muda dan memenuhi tuntutan kepemimpinan modern.
"Perjalanan sejarah itu pula yang sedang ditempuh oleh Falintil. Setelah perjuangan yang begitu penuh pengorbanan dan penderitaan ke arah kemerdekaan, kini Falintil juga dibubarkan untuk memberi jalan lagi terbentuknya sebuah Angkatan Beladiri yang akan mengawal kemerdekaan Timor Lorosae ke depan," kata Xanana.

***

PERISTIWA pengunduran diri Xanana itu sendiri "berbicara" sangat jelas tentang sikap politik Xanana. Kasus itu muncul ketika rancangan konstitusi hendak disahkan di Dewan, 28 Maret lalu. Rancangan konstitusi itu sendiri disusun melalui suatu panel ahli yang melibatkan juga sejumlah ahli hukum internasional bersama Dewan.

Meskipun secara teoretis, rancangan konstitusi itu mestinya sangat bisa dipertanggungjawabkan, Xanana menginginkan agar sebelum disahkan oleh Dewan, rancangan konstitusi yang sangat fundamental bagi masa depan Timor Lorosae itu harus dibicarakan dulu dengan semacam Komisi Konstitusi Nasional yang melibatkan banyak pemimpin rakyat lainnya di luar Dewan, termasuk dengan sejumlah profesional muda baru yang kini bermunculan pesat di Timor Lorosae. Alasan Xanana, Dewan yang dibentuk bukan berdasarkan pemilu, tetapi ditunjuk semata-mata berdasarkan kesepakatan CNRT dan UNTAET itu, baru bersifat representatif secara politik, tetapi belum representatif secara demokratik. Tetapi, keinginan Xanana itu justru diblok oleh para anggota Dewan dari Partai Fretilin, partainya Xanana sendiri.

Karena keberpihakannya yang sangat kuat pada rakyat inilah, antara bulan Januari-Februari 2001 lalu, sampai dua kali Xanana secara terbuka mengingatkan para pemimpin politik Timor Lorosae akan dua ancaman baru bagi bangsa Timor Lorosae. Pertama, adanya kecenderungan
para pemimpin politik yang mulai semakin terkotak-kotak pada kepentingan politik pribadi dan kelompok, sehingga melupakan komitmen-komitmen besar yang telah disepakati sejak
awal bagi bangsa secara keseluruhan. Termasuk di dalamnya kepentingan-kepentingan jangka pendek dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang. Kedua, adanya kecenderungan sejumlah pemimpin politik yang mulai menuntut bagiannya sebagai imbalan atas kontribusinya dalam perjuangan kemerdekaan, dengan melupakan kenyataan bahwa seluruh rakyat Timor Lorosae telah memberikan pengorbanan yang sangat besar dalam jalan menuju kemerdekaan.

Peringatan Xanana itu sekaligus juga memperkuat indikasi di banyak negara baru demokrasi, di mana para politisi selalu lebih merupakan persoalan daripada solusi di masa transisi bangsanya menuju demokrasi sejati. Hal yang juga sedikit banyak menggejala pada kehidupan politik Indonesia belakangan ini.

Selain mengingatkan para politisi, Xanana juga mengingatkan pemerintahan transisi Timor Lorosae (ETTA dan UNTAET) tentang mutlaknya segera dibangun berbagai fasilitas pendidikan kejuruan dan profesional bagi kaum muda, agar mereka tidak terlalu lama menjadi
penonton dalam proses pembangunan Timor Lorosae sekarang ini, karena di tangan merekalah hari depan Timor Lorosae berada.

Dalam kunjungan ke setiap desa dan kecamatan, Xanana selalu memerlukan berjumpa langsung dengan rakyat, berbicara dengan mereka, meminta kesabaran mereka, mendorong kepercayaan diri mereka, dan mengimbau mereka untuk aktif dalam proses pembangunan negara baru Timor Lorosae. Dengan cara ini, selain memelihara api komitmennya pada rakyat banyak, Xanana juga dapat sekaligus menetralisasi sebuah keluhan yang semakin meluas di kalangan masyarakat dan pemimpin pemerintahan tingkat bawah belakangan ini, tentang semakin sulitnya birokrasi untuk bertemu dengan Xanana dan para pejabat Kabinet Bayangan Timor Lorosae (ETTA, East Timor Transition Administrator).

***

ADALAH keliru jika kita menafsir "insiden" pengunduran diri Xanana ini sebagai pertanda tentang masa transisi Timor Lorosae yang akan semakin sulit. Justru mundurnya Xanana akan membuka suatu situasi di mana transisi ke arah kemerdekaan, serta transformasi ke arah masyarakat demokrasi akan berlangsung lebih dinamik dan berwarna.

Apakah proses transisi dan transformasi secara lebih dinamik dan lebih berwarna itu akan terancam diiringi pula oleh rangkaian kekerasan yang pernah menjadi ciri yang gelap dari sejarah Timor Lorosae? Kemungkin itu tetap ada, mengingat watak temperamental orang Timor, serta telah begitu mengakarnya budaya gangsterisme yang tumbuh di tengah kehadiran
militer Indonesia yang begitu masif selama 24 tahun.

Akan tetapi, satu hal akan sangat jelas berbeda, kata Xanana. Kekerasan yang muncul di antara orang Timor sendiri, murni karena faktor-faktor internal mereka, menurut Xanana, betapa pun parahnya akan cepat dapat teratasi dan dengan dampak lanjutan yang sangat minim. Xanana menegaskan, kekerasan yang pernah terjadi di Timor Lorosae, hanya bisa akut dan laten kalau ada campur tangan pihak ketiga, seperti yang terjadi tahun 1975 maupun 1999.

Senin, 9 April mendatang, DNTL akan bersidang untuk memilih pengganti Xanana sebagai ketua, setelah Fretilin menghadap Xanana untuk memohon maaf, tetapi tidak berhasil membujuk Xanana untuk kembali. Ramos Horta, salah seorang pemimpin CNRT yang juga Menlu dalam Kabinet Bayangan ETTA, telah disebut-sebut sebagai calon kuat penggantinya.

Ramos Horta bukanlah tokoh yang berakar ke massa, tetapi dia mempunyai legitimasi yang sangat besar di dunia internasional. Seperti Xanana, ia juga mempunyai komitmen yang sangat kuat untuk memulihkan hubungan politik dengan Indonesia, dan membangun hari depan Timor Lorosae dalam keluarga besar ASEAN. Dan justru tampilnya Ramos Horta yang kurang
memiliki basis massa itu, akan mengurangi ketegangan persaingan di kalangan elite politik dalam membidik kursi presiden jika benar kemudian Xanana tetap menolak desakan rakyat.

Selain Gereja Katolik, pengikat terkuat persatuan rakyat Timor Lorosae sekarang ini masih tetap Xanana dan CNRT yang ia pimpin. Konflik Xanana dengan partainya, Fretilin, memang akan membuka kemungkinan-kemungkinan baru pada peta politik Timor Lorosae
mendatang.

Jika konflik ini berlanjut, besar kemungkinan Partai Fretilin yang kini merupakan partai terbesar di Timor Lorosae itu akan menyurut pamornya di kalangan masyarakat. Apalagi Gereja Katolik, bahkan juga masyarakat internasional, karena alasan-alasan yang sangat stereotip tentang citra Fretilin sebagai partai dengan ideologi sosialis kiri, telah memberi sinyal kurang dapat menerima andaikata pemerintahan pertama di negara Timor Lorosae merdeka nanti adalah pemerintahannya Fretilin.

Dalam konteks ini, mundurnya Xanana dari jabatan Ketua Dewan Nasional Timor Lorosae, barangkali justru akan membuka alternatif-alternatif perkembangan baru dalam peta politik Timor Lorosae, demi perimbangan-perimbangan baru yang lebih diterima oleh gereja, oleh
rakyat Timor Lorosae maupun dunia internasional. Xanana memang mundur, tetapi ia tetap seorang pemimpin. Yang berbeda mungkin hanya perannya.

* Valens Doy, wartawan.

Hari Kebangkitan NTT

GEMA gaungnya merebak di banyak tempat. Menggeliat dalam beragam cara, rupa dan wujud. Munculkan inspirasi, lahirkan harapan baru. Tetapi juga kegetiran. Getir mencumbui kenyataan hidup sebagai anak bangsa yang rapuh dilindas zaman. Mengapa sebuah negeri tidur terlalu lama sampai hampir kehilangan segalanya?
 
Dan, kita baru saja kehilangan Sophan Sophiaan dua hari lalu. Tokoh besar itu mati di saat merayakan hari bersejarah bangsanya, Seratus Tahun Kebangkitan Nasional. Sophan yang menggagas dan memimpin tour motor gede keliling Jawa berlabel "Jalur Kebangkitan" Merah Putih mengalami kecelakaan akibat motor besar Harley Davidson melindas jalan berlubang di perbatasan Sragen (Jawa Tengah) dengan Ngawi (Jawa Timur), Sabtu (17/5/2008) pagi.

Kematian Sophan, putra pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI), Manai Sophiaan itu kaya makna dan kental pesan simbolik. Mati di kala menggelorakan kembali semangat Kebangkitan Nasional. Republik kehilangan tokoh panutan. Dialah satu-satunya anggota DPR masa reformasi yang mundur karena tidak mau ikut politik dagang kambing di Senayan. Sophan berani mempertahankan sikap yang berbeda haluan dengan pimpinan partai (PDI Perjuangan).

Sebagai aktor, ia aktor terkemuka dengan karakter adekuat. Sebagai selebritis, ia selebriti yang baik, setidaknya dalam kehidupan rumah tangga. Tidak gonta-ganti pasangan hidup alias kawin-cerai sebagaimana diperlihatkan dengan tanpa rasa malu oleh sebagian besar selebriti Indonesia sekarang. Sebagai manusia, Sophan tentu memiliki keterbatasan. Namun, Sophan Sophiaan adalah sebuah nama. Nama besar di antara gunung-gemunung Nusantara. Nama harum di antara lembah dan ngarai Indonesia. Dia salah seorang putra terbaik Ibu Pertiwi.

"Kita sangat kehilangan. Almarhum tengah melakukan upaya terpuji dalam Peringatan 1 Abad Kebangkitan Nasional. Semangat dan rasa kebangsaan beliau harus dikembangkan," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat melayat di rumah duka, Sabtu malam. Selamat jalan Sophan Sophiaan.

***
SOPHIAAN mati di saat menggelorakan Kebangkitan Nasional. Apa hubungannya dengan kita di sini? Memang tidak. Alih-alih omong Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), acara kecil pun belum tercium baunya. Aroma seabad berdirinya organisasi Boedi Oetomo tak terdengar riang di sini, seolah kita bukan bagian dari rumah agung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Yah, kita maklum. Harkitnas tenggelam-rebah dalam riuhnya urusan memilih mosalaki (pemimpin, Red) yang ribet dan ribut melulu. Belum selesai-selesai juga! Masih menggantung dan bikin bingung karena semua mau dan ada maunya.


Maka lupakan keganjilan ini. Mari bermimpi saja. Memimpikan pencanangan 20 Mei 2008 sebagai "Hari Kebangkitan NTT". Pencanangan yang tampan karena momentumnya pas dengan peringatan Setengah Abad Flobamora sebagai propinsi yang puncaknya jatuh pada 20 Desember mendatang.

NTT Bangkit. Bangkit untuk siapa dan dalam hal apa? Tidak perlu ambisius karena kita menyadari virus pelapukan. Lapuk untuk cendana Timor yang tinggal nama. Flobamora bukan lagi gudang ternak yang menembus pasar Taiwan. Barusan kita "kehilangan" aset bergengsi. PT Semen Kupang tak lagi mengepulkan asap. Berhenti produksi saat NTT memasuki pesta emas. Nasib 400-an karyawan- karyawati kini menyisakan teka-teki. Ada apa dengan Flobamora? Bijak jika ada yang merasa salah mengurus rumah ini. Tapi, siapa yang berani?

Jadi lebih baik bermimpi soal kedaulatan perut. Rakyat NTT berdaulat atas pangan karena di lumbungnya ada jagung, ubi kayu dan talas hingga mengurangi warta nestapa tahunan tentang gizi buruk, busung lapar dan ketergantungan pada beras yang kebablasan. Galakkan program Rakyat Flobamora kembali ke tradisi nenek moyang.

Segarkan memori bahwa 80 persen dari kita adalah anak petani-nelayan yang dibesarkan dengan singkong, disehatkan oleh jagung, dikuat-kekarkan pisang bakar dan "otak berisi" karena makan ikan. Jadi, tanamlah ubi, jagung dan kacang sebanyak mungkin. Lawan keganasan alam dengan kerja keras dan kerja cerdas. Pilih ubi asli bukan impor karena belum tentu cocok dan bisa langsung dimakan. Ajaklah keluarga Flobamora mengajari anak-anak mereka makan ubi, jagung atau pisang biar mengimbangi kegandrungan berlebih pada mi instan, roti dan bakso.

Bangkit dalam hal apa lagi? NTT tak perlu bangkit dalam segala bidang karena diktum itu sungguh mengibuli. Mau semua toh akhirnya tak satupun yang berhasil guna. Mau raba semua, pegang semua, makan semua, sampai tega memakan keluarga sendiri, sahabat sendiri lalu bingung dan linglung sendiri.

Indah nian jika misalnya produksi ubi nuabosi dan jagung titi menjulang dunia. Beli beranga di mall Jakarta bukan angan-angan. Jeruk SoE tembus pasar mancanegara dalam jumlah berlimpah. Kenapa tidak? Propinsi "kemarin sore" Gorontalo tak banyak program. Tidak pakai pilar ini dan itu. Gorontalo merasa cukup tanam jagung saja dan sekarang mereka penghasil jagung nomor satu di Indonesia. NTT nomor satu dalam hal apa? Selamat berlibur sambil merayakan Satu Abad Kebangkitan Nasional. (email: dionbata@poskupang.co.id)

Rubrik Beranda Kita (BETA) Pos Kupang edisi Senin, 19 Mei 2008, halaman 1.

Lihat dan Dengarlah Sendiri

Perjalanan ke
Nusa Kenari (1)

"Keindahan alam Alor membungkam bibir

karena dia sungguh memanjakan mata.

Kami menyusuri Teluk Mutiara

yang tenang-membiru"

PULAU Pura menyambut kami pagi itu dengan senyum. Senyum polos murid-murid SD GMIT No. 018 Limarahing berseragam putih merah-merah putih. Sebagian memakai sepatu, sandal, terbanyak justru bertelanjang kaki. Apa adanya.
Mereka tampak bergerombol. Bukan di halaman sekolah yang berdiri sejak 1 Agustus 1923 -- jauh sebelum Indonesia merdeka, tapi di bibir pantai sekitar 30 meter dari dermaga kecil tempat perahu motor kami ditambatkan. Sebagian berlari ke sana-kemari. Yang lainnya menyambut kami dengan sapaan hormat dan santun, syaloom...

Di bawah rindangan pohon asam, seorang ibu sedang melatih murid-murid perempuan menari. Anak-anak itu melenggak- lenggok, menirukan sang ibu yang berdiri tanpa alas kaki dan masih dengan sisir di rambutnya. Mereka seolah tak terusik dengan kilatan blitz bertubi-tubi dan mata kamera televisi yang merekamnya.

Limarahing, ibu kota Kecamatan Pulau Pura, Kabupaten Alor. Inilah tempat pertama persinggahan kami hari itu, Selasa, 1 Agustus 2006. Tepat pada hari ulang tahun ke-83 SD GMIT Limarahing. Hari pertama perjalanan jurnalistik kami bersama General Manager PT PLN (Persero) Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), Manerep Pasaribu.

Sebanyak 17 wartawan media cetak dan elektronik memenuhi undangan PLN Wilayah NTT mengikuti perjalanan jurnalistik selama tiga hari itu. Ada wartawan senior Adhie Malehere dari Harian Suara Pembaruan, Ana Djukana (Harian Kursor), Polce Amalo (Media Indonesia), John (Rote Ndao Pos), Hyronimus Bifel (Fajar Bali), Anwar Maga (LKBN Antara Biro Kupang), Martha Kotepa (RRI Cabang Muda Kupang), Alex Dimoe (Mingguan Surya NTT), Anthon Sialana (Mingguan NTT Pos), Dany Ratu (Metro TV), James Ratu (TPI), Didimus P Dore (SCTV), Ely Ballo (Trans TV), Fery Hartono (TV7), Maksi Lalolongkoe (Anteve) dan Iskandar (RCTI).

Dari PT PLN (Persero) Wilayah NTT, menemani Manerep Pasaribu dalam perjalanan itu Pimpinan Proyek Lisdes (Listrik Pedesaan) NTT, Untung Haryanto, Deputi Manajer Komunikasi dan Hukum PLN Wilayah NTT, Buce Lioe, Asisten Manajer Pelayanan Pelanggan PLN Cabang Kupang, Tige B Kale, Manajer Cabang PLN Ranting Kalabahi, John Djari dan Humas PLN NTT, Paul Bolla.

Hadir juga tokoh dari Pulau Pantar, Dion Waang. Terakhir namun paling penting adalah ibu-ibu dari PLN Ranting Kalabahi yang setia melayani kami dalam urusan "kampung tengah" berupa makanan dan minuman sepanjang hari itu.

***

TAK banyak cakap dan bincang tentang PLN sejak kami berangkat dari Kupang dengan pesawat Trans Nusa Air Service, mendarat mulus di Bandara Mali, menumpang bus ke Kalabahi kemudian melanjutkan perjalanan dengan kapal motor sewaan menuju Pulau Pura melewati indahnya Teluk Mutiara.

Paul Bolla yang biasanya "cerewet" justru lebih banyak bercerita tentang hal-hal lain. Demikian juga Buce Lioe, pejabat PLN berpembawaan tenang itu. General Manager PT PLN (Persero) Wilayah NTT, Manerep Pasaribu yang menyambut kami di Pelabuhan Kalabahi lalu bergabung dalam kapal motor menuju Pulau Pura dan Pantar ketika itu pun sama saja. Pak Manerep bahkan bertindak bagaikan pemandu wisata. Ia menceritakan secuil keindahan alam bawah laut perairan Alor yang pernah dinikmatinya.

"Saya suka bertualang, saya senang bepergian ke tempat-tempat seperti ini. Alam NTT sungguh kaya dan indah," katanya.Keindahan alam Alor memang membungkam bibir karena dia sungguh memanjakan mata. Kami menyusuri Teluk Mutiara yang tenang-membiru. Perahu motor bergerak dengan kecepatan sedang hingga ujung Alor Kecil. Perahu kemudian putar haluan ke kanan memasuki kawasan segitiga Pulau Alor, Pulau Kepa dan Pura.

Di depan mata, Pulau Ternate dan Buaya nampak anggun bermahkotakan awan komulus -- dipermainkan laut biru dengan latar belakang Pulau Pantar yang kokoh kelabu. "Ini layaknya perjalanan wisata," komentar Anwar Maga. Satu setengah jam tak terasa berlalu. Kami sudah jauh meninggalkan Kalabahi, Nusa Kenari, Kabupaten Alor.

Kini kami telah tiba di Limarahing, kota Kecamatan Pulau Pura yang baru terbentuk menjadi kecamatan sendiri bulan Februari 2006. Sekitar 200 meter dari dermaga, terpampang papan nama: PT PLN (Persero) Wilayah NTT, Cabang Kupang, Ranting Kalabahi, Sub Ranting Pura. Ada tenda kecil di sana dan kursi- kursi berbaris rapi. Beberapa orang sudah menanti.

Kami disambut Djemi D Liha, pimpinan sub ranting itu, Sekretaris Kecamatan Pulau Pura, Habel Lalangpuling dan beberapa tokoh masyarakat. Tujuhbelas wartawan langsung beraksi. Meneliti setiap sudut sub ranting itu, mengamati mesin pembangkit listrik, mencatat yang perlu, melontarkan pertanyaan beragam dan mengabadikannya.

Sekitar 20 menit berlalu, sambil menikmati minuman dan makanan ringan di bawah tenda, Manerep Pasaribu akhirnya buka suara, menyapa rombongan wartawan dari Kupang. "Saya ucapkan terima kasih kepada Bapak-Bapak dan Ibu-ibu yang memenuhi undangan kami untuk berkunjung ke sini. Silakan melihat dan mendengar sendiri keluhan masyarakat tentang baik-buruknya pelayanan PLN. Kami tidak meminta Bapak-Ibu menulis atau melaporkan hal-hal yang bagus tentang pelayanan PLN. Silakan tulis sesuai kenyataan yang Bapak-Ibu lihat dan dengar dari masyarakat di sini," kata Manerep Pasaribu.

Manerep Pasaribu, Buce Lioe, John Djari sungguh memenuhi janji. Hanya hal-hal umum yang disampaikan selama perjalanan itu. Selebihnya kami mendengar dan melihat sendiri tentang sulitnya transportasi, komunikasi, tentang drum-drum solar yang penyok dihantam karang, tentang "muka pucat-pasi" kala melawan badai, tentang air mata ibu pendeta, tentang petugas PLN yang dipukul dan seribu satu kisah yang tak seluruhnya indah menawan hati. *(Dion DB Putra, dipublikasikan Pos Kupang, 22-25 Agustus 2006).

Saya ke Sini karena Bapa Dorang...

Perjalanan ke Nusa Kenari (2)

JARUM waktu menjelang pukul 11.00 Wita ketika Limarahing harus kami tinggalkan. Kami mesti berlayar lagi karena perjalanan di hari pertama bulan Agustus 2006 itu masih panjang. "Sekarang kita ke Nule. Perjalanan ke sana cukup lama," kata John Djari membuka obrolan saat perahu motor mulai bergerak ke timur.

Kami pergi diiringi lambaian tangan puluhan warga Pura, pulau gersang namun eksotik yang telah melahirkan banyak putra terbaik negeri ini. Salah seorang yang bisa disebut adalah tokoh pendidik, mantan Rektor Universitas Nusa Cendana Kupang, Prof. Dr. Mozes R Toelihere.Sudah diusahakan sekuat mungkin agar tidak mengantuk, namun semilir angin mengalahkan mata kami. Beberapa wartawan rebahan di atas tikar.

Perahu bergerak stabil membelah ombak, menyusuri selat sempit antara Pulau Pura dan Pantar. Laut tenang. Udara cerah. Langit biru. Semua kembali larut menikmati indahnya alam. Ke kiri mata menangkap sisi lain Pulau Pura dengan pemukiman penduduk di lereng bukit yang terpisah dalam radius satu sampai dua kilometer. Di tengah perkampungan sana berdiri megah gereja dan masjid.

Pemandangan yang mirip terlihat di sisi kanan. Kami menikmati wajah Pantar, pulau terbesar kedua di Kabupaten Alor. Perahu agak bergetar saat hendak meninggalkan selat Pura-Pantar. Pulau Tereweng hadir di depan mata. Kami memasuki perairan Mulut Kumbang yang terkenal deras pusaran arusnya. Tapi perahu kami menyisir pantai Pulau Pantar sehingga tak merasakan goyangan arus Mulut Kumbang yang kesohor di kalangan para pelaut itu.Benar kata-kata John Djari, Manajer Cabang PLN Ranting Kalabahi.

Perjalanan ke Nule, Kecamatan Pantar Timur menelan waktu hampir dua jam, nyaris sama dengan jarak Kalabahi-Limarahing. Ini perjalanan normal kala cuaca cerah dan ramah. Saat laut tenang dan angin cuma sepoi-sepoi. Tak terbayangkan bila hujan badai melanda dalam periode November-Maret saban tahun. "Oh kalau masa seperti itu, Kalabahi ke Nule bisa makan waktu tujuh sampai delapan jam," jelas John Djari.Jika Limarahing menawarkan kemurahan hati dan tawa, Nule menyapa kami lewat keangkuhan pantainya yang berbatu-batu. Batu cadas dan ganasnya ombak.

Canda-tawa sontak menguap tatkala perahu motor berhenti bergerak, membuang sauh, melempar tali penambat ke darat. "Kita sudah sampai di Nule. Ayo, siap turun satu-satu dengan perahu kecil itu," teriak Paul Bolla dari buritan. Perahu motor sewaan kami memang tidak bisa berlabuh di pinggir pantai yang sedang pasang naik. Nule tak memiliki dermaga seperti Limarahing. Tiga perahu kecil merapat ke kapal motor untuk "mengevakuasi" kami ke darat. Satu perahu paling banyak memuat dua orang. Terbukalah kedok wartawan yang tahu berenang dan tidak, takut laut atau mencintainya, anak gunung atau anak pulau.

"Aih, muka pucat ko.." nyeletuk Dany Ratu (Metro TV) menggoda Hyeronimus Bifel yang badannya paling tambun. Tercipta sedikit "keributan" di atas perahu motor kami karena tak ada yang berani jadi orang pertama "dievakuasi" kendati putra Pantar, Dion Waang sudah menunjuk jalan. Dion begitu sigap naik ke perahu dan tiba selamat di pantai Nule.

Seolah membaca perasaaan sebagian wartawan yang "pucat" wajahnya menatap riak gelombang dan biduk yang begitu kecil, General Manager PT PLN (Persero) Wilayah Nusa Tenggara Timur, Manerep Pasaribu menggulung ujung celana panjangnya kemudian turun ke perahu kecil. Dia ditemani Untung Haryanto. Perahu dipermainkan gelombang. Berputar-putar tapi menyentuh bibir pantai dengan aman. Kecekatan anak-anak Nule luar biasa. Semua 23 anggota rombongan berhasil "dievakuasi" ke darat.

Prosesi menegangkan itu berlangsung sekitar 30 menit. Tanpa sandal dan sepatu (karena harus ditinggalkan di atas perahu motor) kami menuju kantor Sub Ranting Nule, sekitar 100 meter dari pantai. Kami disambut hangat PJ Sub Ranting Nule, Lorens Misa dan keluarganya.

***

SEMBILAN drum solar di sisi bangunan utama mesin pembangkit listrik Sub Ranting Nule adalah obyek pertama yang menarik perhatian kami siang itu. Menarik karena kondisinya tak lazim, bopeng, lecet di sana-sini dan penyok. Tulisan "Pertamina" di bagian tengah drum-drum itu tak lagi lengkap.

Umumnya sudah terkelupas bahkan dua tiga drum nampak menghitam. Apakah itu drum bekas? Ternyata bukan. Drum- drum itu masih ada isinya, bahan bakar solar yang merupakan "menu utama" mesin diesel yang setiap malam melayani 218 pelanggan PLN di sub ranting yang berdiri sejak tahun 1988 itu. "Modelnya jadi begini karena kami guling drum-drum itu dari pantai berbatu tadi," ujar Misa, pria asal Timor Tengah Selatan sambil tersipu malu.

Mengertilah kami mengapa drum solar itu buruk rupa. Penyok. Mana mungkin tetap mulus jika diguling dan didorong sejauh 100 meter!Terbayang beratnya pekerjaan para petugas PLN di daerah terpencil seperti Nule itu mendatangkan bahan bakar minyak untuk kebutuhan rutin mesin. Bagaimana mereka mengatur stok solar agar selalu ada sepanjang waktu karena listrik harus menyala sesuai jadwal yang dipatok.

Harga seliter solar (untuk kebutuhan industri) pun tidak cuma Rp 6.500,00. Nilainya otomatis membengkak, bisa dua kali lipat karena ditambah ongkos angkut dengan perahu motor dari Kalabahi serta ongkos guling dari bibir pantai.

"Masuk akal kalau PLN selalu terbuka mengumumkan kerugian mereka," kata Ana Djukana. Biaya tinggi itu mendera semua sub ranting PLN di daerah kepulauan seperti Alor. Di kabupaten ini terdapat sembilan unit sub ranting PLN dan satu kantor jaga yaitu Nule, Kabir, Adang, Probur, Bukapiting, Baranusa, Pura, Maritaing, Alor Kecil dan Moru.

Ketika kami tiba tak banyak orang berkumpul di kantor sub ranting Nule siang itu. Suasana nampak lengang. Tapi berubah amat lekas begitu mereka tahu rombongan dari Kupang sudah tiba. Satu demi satu warga Nule berdatangan. Kembali tercipta dialog dengan Manerep Pasaribu, Buce Lioe, John Jari, Untung Haryanto dan Lorens Misa di bawah rindangan pohon jambu. Tenda biru yang sudah disiapkan tuan rumah seolah tak berguna karena matahari yang amat terik.

Maklum, jarum waktu hampir setengah dua siang. "Saya tidak diundang kepala PLN. Saya datang sendiri ke sini karena dengar Bapa dorang datang dari Kupang," kata Soleman Waang membuka pembicaraan siang itu. Soleman adalah seorang tokoh masyarakat Bunga Bali, desa tetangga Nule, Pantar Timur."Saya mewakili masyarakat Bunga Bali. Saya mau tanya Bapa dorang, kenapa listrik belum bisa masuk ke desa kami? Padahal Bunga Bali dekat saja dari Nule ini dan kami juga bisa bayar rekening tiap bulan," ujar Soleman Waang.

Para pejabat PT PLN (Persero) Wilayah NTT memang memberi kesempatan seluas-luasnya kepada semua yang hadir saat itu mengungkapkan aspirasinya, curahan hati, keluh-kesah dan uneg-uneg mereka. Semua bernada dasar sama, betapa masyarakat begitu merindukan pelayanan PLN. Mereka selalu memulai tanya dengan kata mengapa.

Mengapa pelayanan PLN Sub Ranting Nule sangat terbatas? Mengapa PLN tidak menambah jaringan? Tidak menambah mesin baru. Takut rugikah? Kenapa sampai sekarang desa-desa lainnya di Pulau Pantar belum dijamah. Belum dilayani Perusahaan Listrik Negara? *(Dion DB Putra, dipublikasikan Pos Kupang, 22-25 Agustus 2006).
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes