Le Kebote

Oleh Yosep Sudarso

MENYEBUT le kebote, pikiranku langsung terbawa ke sosok Ema Bewa yang dengan busur di tangan, ia terus berlari-lari menghindari lemparan anak-anak yang mengejarnya. Dengan cara apa pun, perempuan dengan tinggi semampai itu berjuang agar tak satu pun lemparan mengenai dirinya. Bukan karena ia takut terluka atau benjol, tetapi karena pemali apabila sampai terkena lemparan.

Maklumlah, ketika dikejar dan dilempar anak-anak, Ema Bewa sebetulnya mewakili perjuangan hidup seorang bayi lelaki yang ari-arinya baru ia gantungkan di sebuah pohon di lewo oking (kampung lama/kampung induk). Walaupun mengakui bahwa nafas kehidupan tergantung pada lera wulan tana ekan (pencipta dan penyelenggara kehidupan), perjuangan mengisi hidup adalah tugas dan tanggung jawab atadiken (anak manusia).

Ema Bewa. Perempuan itu sudah lama meninggal. Sepanjang hidupnya dihabiskan di desa asalnya, Lamika, Kecamatan Demong Pagong, Flores Timur. Dan, selama belasan tahun ia berperan sebagai pembawa ari-ari bayi laki-laki maupun perempuan di desa itu untuk digantung pada pohon agar tidak sampai dimakan binatang.

Le kebote (tradisi gantung ari-ari pada pohon) memang sudah menjadi tradisi di Lamika. Desa yang jaraknya sekitar 30 km dari Larantuka ini awalnya terdiri dari tiga dusun, yakni Lewomikel (Dusun I), Lewonuha (Dusun II) dan Lewomuda (Dusun III). Namun setelah gempa tektonik 12 Desember 1992 yang meluluhlantakkan sebagian Pulau Flores, 60 KK dari sekitar 300 KK di desa itu mengikuti program pemerintah dengan berpindah ke lokasi baru di pinggir jalan raya utama Larantuka-Maumere. Pemukiman baru ini sekarang membentuk dusun sendiri dengan nama Lewowuung (kampung baru).

Seperti desa tetangga lain, yaitu Lewokluok, Wolo, Kawalelo, Blepanawa dan Bama (beberapa desa ini dulu termasuk kompeks Wolo), hampir semua penduduk Desa Lamika bermata pencaharian petani dengan pola berpindah-pindah ladang. Dahulu, sebuah mang/netak (areal ladang) dikerjakan selama dua tahun sekali. Namun sekitar 15 tahun lalu mulai terjadi pergeseran pola berladang.

Sejak petani mengenal tanaman kepayuk (jambu mete) sebagai tanaman komoditi yang potensial, ladang tidak lagi menjadi milik bersama. Sebelumnya, hampir tidak ada ladang yang dikerjakan sendirian, tetapi selalu kneu (bersama-sama) maksimal tiga kepala keluarga. Kini, sejak ladang dipenuhi jambu mete, mau tidak mau, ladang harus dibagi. Mang/netak menjadi milik pribadi. Salah satu dampaknya adalah potensi konflik terbuka lebar terutama ketika para perantau (umumnya di Malaysia) yang belum punya ladang kembali menetap di kampung halaman.

Selain itu, bila dahulu tanah digarap paling lama dua tahun dan baru digarap lagi delapan tahun kemudian (setelahnya pepohonan mulai besar dan tanah sudah berhumus), kini ladang yang sama digarap setiap tahun. Kalau hasilnya seperti beras dan jagung tidak lagi mencukupi, biasanya dibuka lagi lahan baru tetapi lahan lama tetap dibersihkan.

Selain bergantung pada padi dan jagung, penduduk Desa Lamika juga menyuling arak dari pohon lontar. Dahulu, hampir semua pria dewasa mengiris tuak kemudian menyulingnya menjadi arak untuk selanjutnya dijual ke Pasar Boru (ibukota Kecamatan Wulanggitang). Namun beberapa tahun terakhir, jumlah keluarga yang mengiris tuak dan menyuling arak bisa dihitung dengan jari.

Banyak hal berubah. Nilai-nilai sosial budaya bergeser skalanya. Dari yang "serba bersama-sama" ke "urus sendiri-sendiri". Suku memang masih dan akan tetap ada, tetapi perannya dalam kehidupan setiap keluarga mulai berkurang.

Di titik ini, barangkali tradisi le kebote yang menurut Kepala Desa Lamika, Vincent Openg, masih tetap dipelihara, bisa menjembatani fenomena degradasi nilai-nilai warisan leluhur. Setidaknya dapat meredam perilaku dan pola hidup generasi muda yang menggelisahkan banyak tetua adat dan sesepuh kampung. Judi, mabuk-mabukan dan mencuri bukan lagi cerita di tempat lain.

Semoga tradisi le kebote (terutama pada bayi lelaki) yang mengisyaratkan perjuangan hidup, daya juang dan kerja keras dalam kebersamaan bisa menggugah hati generasi penerus di kampungku. Karena ketika ari-ari seorang bayi dipotong, diawetkan dengan keawuk (abu dapur) dalam anyaman lontar, digantungkan di pohon, hingga sang pembawanya seperti Ema Bewa harus menyilih lemparan agar selamat kembali ke rumah, di sana sudah terpatri nilai tanggung jawab terhadap hidup dan kehidupan. (*)

Pos Kupang edisi Sabtu, 29 November 2008 halaman 10

Persawahan Mbay Dulu dan Kini

Oleh Aris Ninu 

LAIN dulu lain sekarang. Begitu kalimat yang pas dan cocok untuk menggambarkan kondisi persawahan di Mbay, Kabupaten Nagekeo masa kini. Daerah Mbay telah lama dikenal memiliki potensi pertanian yang subur. Namun nasib para petani di daerah ini tetap saja menderita dan belum ditangani secara serius oleh pemerintah. Hasil panen berlimpah dihargai rendah di pasar dan pendapatan yang diperoleh petani tidak sepadan dengan kerja keras mereka. Inilah kenyataan yang terjadi dan dialami petani di Mbay. 

Banyak cerita duka dan kisah yang tak kunjung terselesaikan dan dialami oleh para petani di daerah ini. Ada juga cerita manis dan rasa bangga tentang kejayaan beras Mbay di masa dulu. Tetapi kejayaan itu hanya tidak lama guna mempertahanakan beras Mbay bisa terkenal di Bumi Flobamora tercinta. 

Kini, perlahan-lahan aroma khas beras membramo Mbay telah pudar. Jika tidak diperhatikan, persawahan Mbay pun terancam hilang. Siapa yang mau disalahkan dan bertanggung jawab terhadap persoalan ini? 

Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, saat melantik Bupati dan Wakil Bupati Nagekeo di Mbay, Oktober lalu, dengan tegas meminta Bupati dan Wabup Nagekeo pilihan masyarakat bisa menjadikan Mbay sebagai lumbung beras di NTT. Apa yang disampaikan Lebu Raya beralasan dan sesuai fakta karena di Mbay sudah ada bendungan yang cukup dikenal yakni Bendungan Sutami. Bendungan ini bisa mengairi semua dataran di Mbay untuk diolah menjadi daerah persawahan. Bahkan Lebu Raya berencana membangun bendungan di Nagekeo guna menjadikan Nagekeo sebagai lumbung beras di NTT. 

Apa yang disampaikan Gubernur NTT memang sebuah impian dan cita-cita bersama masyarakat Nagekeo. Namun lain yang terjadi dan dialami petani di Mbay. Banyak petani di Mbay kini angkat kaki dan beralih profesi sebagai tukang ojek, buruh bangunan, wiraswasta dan menjadi tenaga kerja di luar negeri. Dampak dari banyak petani beralih berprofesi telah membuat petani Mbay yang punya persawahan banyak kesulitan mencari tenaga kerja agar bisa mengerjakan sawah. Selain itu, harga pengolahan sawah lebih mahal dari pemasukan yang diperoleh dari bersawah. 

Adi Lay, misalnya, kini sangat kesulitan mencari orang Mbay agar bisa bekerja di sawah karena banyak anak-anak muda sudah alih profesi guna mendapat pekerjaan sesaat, seperti jadi buruh proyek, bangunan, ojek dan TKI. Dampak dari Mbay sebagai kabupaten telah membuat pola pikir petani berubah. Ia pun menyarankan pemerintah bisa memberikan pemahaman dan menjaga agar persawahan Mbay tetap dipertahankan. 

"Kita khawatir suatu saat persawahan Mbay hilang karena banyak sawah yang tidak dikerjakan dan dijual. Pemerintah perlu mengatur dan menjaga persawahan di Mbay dan menjadikan Mbay bisa unggul di sektor pertanian," kata Lay di pondoknya di persawahan Mbay. 

Apa yang disampaikan Lay itu perlu diperhatikan karena dengan kelangkaan pupuk dan biaya pengolahan sawah yang memakan ongkos mahal banyak petani enggan bersawah lagi. "Untuk biaya pengolahan sawah saja, kita perlu tenaga dan mengeluarkan biaya cukup besar. Kalau biaya kerja sudah mahal, kadang hasilnya tidak mencapai atau melebihi ongkos kerja. Pupuk saja langka dan mahal," ujar Lay. 

Berbeda dengan Lay, Muhamad Safrudin, petani di Kelurahan Mbay I, berkisah lain. Safrudin mengatakan, persoalan yang sering melanda petani di Mbay yakni masalah hama dan pupuk. "Dari tahun ke tahun saat tanam masalah hama tidak pernah luput. Bukan saja hama, masalah pupuk yang mahal juga sering menjadi persoalan di Mbay. Mahalnya harga pupuk sangat meresahkan petani. Pupuk yang dibutuhkan petani malah tidak ada di Mbay, tapi ada di Ende dan Ruteng. Jika dibeli di Ende harganya beda dengan di Mbay. Kami tidak tahu kenapa bisa begitu. Tetapi memang pupuk sering menjadi masalah, mau tidak beli kita sudah tanam. Kadang habis panen, kita hitung malah kita rugi terlalu besar," kata Safrudin. 

Digambarkan Safrudin, ongkos mengolah sawah di Mbay semuanya membutuhkan biaya yang cukup besar mulai dari tanam sampai panen. 

"Di Mbay sini sering disebut "Suara Kasih". Yang artinya sore pulang langsung kasih uang. Kita butuh tenaga saat selesai kerja kita langsung bayar. Misalnya satu pekerja Rp 25 ribu sampai 30 ribu kita langsung bayar mereka saat mereka pulang ke rumah. Itu belum biaya makan minum," kata Safrudin. 

Dirincikan Safrudin tentang biaya kerja di Mbay yakni biaya bajak 1 Ha Rp 1 juta, biaya kikis Rp 300 ribu, cabut bibit Rp 50 ribu, biaya tanam Rp 25 ribu per orang menggunakan pekerja sebanyak 20 orang, biaya panen Rp 30 ribu perorang berjumlah 30 orang, biaya rontok Rp 30.000 menggunakan tenaga sebanyak lima orang dan biaya pikul usai rontok Rp 50.000,00. Biaya-biaya ini, kata Safrudin belum termasuk makan dan minum. 

"Kalau kasarnya kita keluarkan Rp 5 juta belum tentu baliknya Rp 5 juta, paling kita dapat Rp 3 juta. Bagaimana mau dapat hasil kalau ongkos kerja lebih mahal dari produksi," kata Safrudin. 

Apa yang digambarkan Safrudin cukup menyedihkan dan memprihatinkan. Betapa tidak, penderitaan para petani di Mbay belum ditanggapi dan ditangani serius oleh pemerintah mulai dari PPL. Petugas penyuluh pertanian pun tidak memberikan kontribusi yang baik, termasuk dinas terkait. Banyak program pertanian yang melayang di udara ketimbang ditanya kepada petani, apa kesulitan yang dialami saat ini. 

Kondisi yang lain lagi, petani Mbay yang dulunya memproduksi sawah 1 Ha 7 ton kini hanya mendapat 11 karung dari sawah seluas 1 Ha. Kondisi ini membuat banyak petani patah semangat untuk mengerjakan sawah. Banyak cara dan banyak jalan lain yang bisa ditempuh, tapi dinas terkait belum berperan baik mulai dari PPL-nya sampai pada pimpinannya tidak bisa memberikan pemahaman dan pola pikir petani agar bisa berubah. Petani diajak tidak hanya menanam padi saja tapi menanam palawijaya sebagai tanam pengganti jika hasil panen tidak memuaskan. Di sinilah sebenarnya peran PPL. Banyak PPL pagi ke tempat tugas lalu menghilang d isaat petani mengalami kesusahan. 

Berdasarkan data yang diperoleh Pos Kupang, persawahan di Mbay Kanan kini telah dikelola 38 petani pengguna air (P3A) dengan perincian 1 P3A 100 KK. 

Tetapi kondisi yang terjadi sekarang, banyak lahan persawahan yang dibiarkan. Ada lagi daerah persawahan telah berubah menjadi pemukiman dengan membangun rumah tembok yang megah di tengah persawahan. Bahkan masih terekam jelas Bupati Ngada, Drs.Piet Jos Nuwa Wea mengatakan, kalau ia merasa heran karena banyak daerah persawahan di Mbay di tengah sawah ada bangunan rumah. Orang nomor satu di Ngada ini mengatakan hal itu saat ia melakukan panen perdana di persawahan Mbay tahun 2007 lalu. 

Sekarang ini, tidak ada yang perlu disalahkan. Yang perlu dicari jalan keluarnya hanya satu menjadikan Mbay sebagai daerah beras di NTT. Sawah di dataran Mbay bisa menghidupkan masyarakat NTT tanpa pemerintah mengirim dan membawa beras luar ke NTT lalu merusak harga beras petaninya sendiri. Menjadi Mbay sebagai lumbung beras di NTT pada masa lalu telah dibuktikan. Tetapi kini bisakah pemerintah Nagekeo menjadikan Mbay sebagai penghasil beras? Jawabannya ada di tangan pemerintah. Daerah Mbay telah dikenal sejak dulu sebagai penghasil beras lalu kini mau diteruskan tentunya perlu diperhatikan pemerintah melalui dinas teknis.*

Pos Kupang edisi Minggu, 30 November 2008 halaman 1

Direktur PDAM Rote Diancam Bom dan Suanggi

BA'A, PK -- Direktur Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Rote Ndao, Ronny M Ratukore, diancam akan dibom dan disuanggi jika melakukan perjalanan ke Papela, Kecamatan Rote Timur. 

Ancaman melalui SMS itu dikirim seseorang yang tidak dikenal ke hand-phone (HP) milik Adam Lani, pegawai PDAM Rote Ndao. Ancaman itu sudah dilaporkan oleh Ratukore ke pada Polres Rote Ndao. Saat ini sejumlah staf PDAM Rote Ndao, termasuk Ratukore diambil keterangan oleh penyidik Polres Rote Ndao. 

Kapolres Rote Ndao, Kompol Juventus Seran, yang ditemui di ruang kerjanya, Kamis (27/11/2008), membenarkan ancaman itu. Seran menjelaskan, saat ini kasus tersebut sedang dalam proses penyelidikan. "Informasi resmi saya belum terima dari staf, namun kasus itu sedang diselidiki," kata Seran. 

Direktur PDAM Rote Ndao, Ronny Ratukore, yang ditemui di Polres Rote Ndao saat menunggu giliran diambil keterangan, Kamis (27/11/2008), mengatakan, dia melaporkan kejadian tersebut kepada polisi untuk menjaga keamanan dirinya dan para staf di PDAM Rote Ndao. 

Ia menjelaskan, dalam SMS yang diterima melalui ponsel milik Adam Lani, pengirim SMS mengancam dirinya dan staf dibom menggunakan bom ikan jika melakukan perjalanan ke Papela. 

"Isi SMS-nya begini, saya tidak mau lihat Pak Direktur ada di Papela karena hanya menghabiskan uang saja. Lebih baik uang itu pak beli solar supaya bisa pompa air kasih kita. Kalau tidak, pak dong datang dengan rombongan saya sudah siap bom ikan empat botol. Jadi jangan main-main. Apalagi saya dengar Pak Direktur mau kasih pindah Om Ared P Sera dan Rudi Indratno. Kalau mereka dua pindah apa air di Papela bisa jalan 1 x 24 jam. Kalau tidak mengalir pak siap untuk terima ajal. Karena saya akan pakai orang-orang untuk menyihir pak," urai Ronny Ratukore, saat membaca isi SMS yang dikirim orang tak dikenal itu. 

Ditanya soal dugaan SMS tersebut dikirim oleh orang dalam terkait rencana mutasi atau ada temuan, Ronny Ratukore mengatakan, sebelumnya pada tanggal 13 November unsur pimpinan di PDAM melakukan evaluasi untuk membahas sejumlah agenda, termasuk mutasi. Namun dalam rapat itu belum dibahas nama-nama yang dimutasi. Rapat evaluasi kinerja baru dilakukan bulan Desember 2008. 

"Kami setiap tahun selalu melakukan rapat evaluasi kinerja. Dalam rapat itu selalu diikuti mutasi karena mutasi juga untuk penyegaran. Karena itu, masalah mutasi merupakan hal biasa dan bukan alasan untuk mengancam," kata Ratukore. 

Mengenai adanya keluhan warga Papela soal air yang tidak mengalir, Ratukore mengakui ada keluhan tersebut. Namun, kata dia, tidak mengalirnya air di beberapa titik tersebut bukan karena kelalaian petugas, tapi kondisi pipa yang sudah kropos. "Papela itu letaknya di pinggir pantai sehingga pipa-pipa yang terpasang di Papela cepat berkarat karena air laut. Jadi, tidak turunnya air bukan karena kelalaian," katanya. 

Soal adanya temuan pemasangan ilegal di Papela, Ratukora mengakui hal itu. "Saat ada laporan saya dan staf teknis langsung turun dan sudah kita putuskan. Apakah ini yang membuat ada kebencian dan ada kaitannya dengan SMS, saya tidak tahu. Kita serahkan kepada polisi karena saat ini polisi sudah menangani," ujarnya. (iva)

Pos Kupang edisi Jumat, 28 November 2008 halaman 1

Lembata: Tikus Mati di Lumbung Padi

Oleh Eugenius Mo'a

KABUPATEN Lembata baru saja memasuki usia kesembilan tahun, setelah lepas dari kabupaten induk, Flores Timur. Walau secuil, sudah terlihat dampak otonomi itu bagi masyarakatnya. Kabupaten kaya mineral tambang ini dikelilingi wilayah perairan seluas 3.353,995 km persegi dengan panjang garis pantai 492,80 km. Kabupaten ini meliputi 78 desa pantai dari keseluruhan 140 desa/kelurahan. Ini memberikan alasan perbandingan wilayah pantai dan 'gunung' hampir seimbang.

Di darat Lembata kaya mineral. Di laut juga sama kayanya. Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata, wilayah ini punya potensi lestari perikanan tangkap 44.903,175 ton/tahun, terdiri dari ikan pelagis 6.88,995 ton/tahun, ikan demersal 3.705,625 ton/tahun. Selain itu, potensi non ikan 34.315,575 ton/tahun seperti nener, cumi-cumi, lobster/udang dan kerang-kerangan.

Perikanan budidaya punya prospek menjanjikan. Sayang, budidya ikan belum dikembangkan menjadi usaha kontinyu. Budidaya ikan kerapu baru seluas 102,5 ha, kerang mutiara 300 ha, rumput laut 1.977,9 ha, namun yang efektif dikembangkan 860 ha, selain teripang 330,5 ha. Padahal karakteristik perairan Lembata telah menciptakan rumput laut Lembata dikenal punya kualitas keragenan (protein) tertinggi 97 persen, (NTB 96 persen) dari semua wilayah di Indonesia.

Sajian angka-angka ini masih jauh dari cita-cita menjadikan sektor kelautan sebagai sektor primadona. Padahal, di mana-mana potensi laut Lembata ramai diperbincangkan, didiskusikan. Yang selama ini terbayang dari sektor kelautan Lembata cumalah atraksi tradisional penangkapan ikan paus oleh nelayan Lamalera.

Fenomena yang tak kalah menariknya, ialah betapa banyak nelayan lokal yang miskin pengetahuan dan pengalaman menangkap dan mengelola hasil tangkapannya secara baik dan benar. Miskin keterampilan dan pengetahuan itu menyebabkan banyak nelayan Lembata tak lebih dari penonton menyaksikan nelayan luar yang lebih cerdas dan gesit dengan peralatan tangkap modern. Segala jenis ikan dari kualitas ekspor sampai kualitas pasar lokal dan 'papalele; digaruk habis. Ikan kerapu, misalnya, potensinya menjanjikan. Namun, siapa berani membudidayakannya dalam skala besar? Padahal jenis ikan ini dicari di pasar domestik dan eksport.

Memang, sektor perikanan dan rumput laut tumbuh signifikan. Teluk sepanjang Pantai Lewoleba, dari Waijarang di arah barat sampai ke timur di Lamahora dan seterusnya melintas ke utara sampai ke Tanjung Batu, praktis tak ada wilayah perairan yang kosong. Rumput laut yang dikelola perorangan atau kelompok nelayan terlihat menghampar.

Suntikan bantuan dari pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan berdampak sangat positif. Harga rumput laut kering di pasaran juga cukup bagus dan budidaya yang mudah telah menciptakan daya darik dan persaingan di kalangan warga pesisir. Tak ayal, mereka berlomba-lomba membudidayakannya. 


Pada tahun 2007, produksi rumput laut kering yang dipasarkan keluar dari Lembata mencapai 250 ton/bulan. Tahun 2008 produksinya mencapai 450 ton/bulan. Jumlah ini belum termasuk pembelian ilegal yang dilakukan pengepul luar Lembata ke kampung-kampung pesisir.

Besarnya potensi perikanan dan kualitas nomor satu rumput laut telah memperkuat posisi tawar pemerintah daerah dengan pemerintah tingkat atas atau dunia usaha yang ingin berinvestasi. Namun 'mimpi' itu belum tampak dari sebagian besar waktu yang sudah dihabiskan untuk perjalanan dinas luar. 

Di darat juga sama kayanya. Sejak 1925, Lembata sudah jadi incaran para geolog, peneliti Eropa dan Asia. Terletak di ujung timur jalur magmatik Sunda-Banda menjadikan Lembata kaya kandungan logam dasar. 

Sudah orang pintar datang dan melakukan survai di Lembata. Geolog, H. Ehrat melakukan survai geologis dan pertambangan di Pulau Flores dan Lembata pada 1925. Dilanjutkan H.A. Brouwer meneliti geologi dan petrologi batuan alkali di Pulau Adonara, Lomblen dan Batutara tahun 1940. Tahun 1949 giliran Van Bemmelen yang mengorek isi perut Lembata untuk melakukan penelitan. 

Kegiatan serupa kembali diadakan Koesomadinata S dan Noya Y (1983), Noya Y (1990), dan Hanafi S (1993) yang menghasilkan peta keterpadatan mineralisasi logam. Semua penyelidikan itu menyimpulkan perut Pulau Lembata terdapat emas, tembaga, perak dan timbal.

Penginderaan jarak jauh dilakukan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Geoteknologi (LPPG), sebuah badan di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung dengan Geological Survey of Japan (GSJ), menghasilkan rekomedasi tak beda jauh dengan penelitian sebelumnya. 

Kajian LPPG dan GSJ menemukan hasil menakjubkan, yakni isi perut Lembata kaya akan emas. Yang luar biasa, kualitas emas Lembata jauh lebih hebat dari emas Cikotok di Jawa Barat dan Kalimantan. 

Kenapa Lembata dijepret? Ryochi Kouda, staf GSJ menjelaskan Lembata kaya akan barit. Ia mengatakan, Pulau Sulawesi dan Flores juga dipotret. Namun tertutup awan, gambarnya tidak jelas. Berdasarkan foto satelit Landsat-3, kata Kouda, tampak struktur lingkaran yang diduga bekas kaldera, sejenis gunung berapi. Diameternya 10 km di bagian timur Lembata. 

Kajian ilmiah para pakar ini sampai juga ke telinga investor. Dari 1970 sampai 2008, Lembata jadi incaran banyak investor. Mereka datang silih berganti, hingga yang terakhir yang grup Merukh Enterprises masih bercokol di tanah Lembata.

Investor ini telah menyelesaikan sejumlah tahap kegiatannya penyelidikan umum pertambangan dan eksplorasi bahan galian tembaga, emas dan mineral pengikutnya berdasarkan keputusan Bupati Lembata Nomor 37 Tahun 2005 tanggal 1 November 2005. 


Saking besarnya investasi yang tak bisa dibiayai sendiri, Merukh menggandeng KPG Kupfer-Produkte Gmbh Jerman melalui kontrak karya. Sekadar diketahui, Pukuafu Indah punya saham 20 persen, bersama Newmont Gold Company (USA) (45 persen) dan Sumitomo Corporation Jepang (35 persen) pada PT Newmont Nusa Tenggara mengeksplotasi emas di Sumbawa. 

Pertanyaan penting dan terbuka sekarang, entahkah kekayaan Lembata itu bakal menjadikan warganya makmur di tanah airnya sendiri? Ataukah mereka bakal terpinggirkan oleh pemilik modal? Jika hari-hari ini banyak warga Lembata meradang kemiskinan, meratap kekurangan bahan makanan, maka sedang terjadi sebuah ironi besar: tikus mati di lumbung padi. *

Pos Kupang edisi Jumat, 28 November 2008 halaman 1

Menolak Dillak, Dua Anggota Dewan WO

BA'A, PK---Dua anggota Panitia Musyawarah (Panmus) DPRD Kabupaten Rote Ndao, Asiel Soruh (Ketua Komisi A) dan Yusak Langga (Ketua Komisi C), keluar dari ruangan rapat (walk out) pada rapat panmus membahas APBD Kabupaten Rote Ndao 2007, Kamis (27/11/2008). Keduanya menolak kehadiran Christian Dillak dalam kapasitas sebagai Bupati Rote Ndao dalam sidang panmus.

Asiel dan Yusak memilih 'angkat kaki' dari ruang rapat sebagai bukti konsistensi sikap mereka terhadap keputusan Dewan sebelumnya. Seperti pernah diberitakan, DPRD Rote Ndao melarang Christian Dillak dan Bernard Pelle, S.Ip untuk melakukan kegiatan mengatasnamai Bupati dan Wakil Bupati Rote Ndao. Dewan juga mencabut hak dan kewajiban yang melekat atas nama bupati-wakil bupati serta menyatakan tidak berlaku lagi. 

Keputusan DPRD Rote Ndao Nomor 05/DPRD/RN/2008 itu ditetapkan pada hari Sabtu 15 November 2008 dalam sebuah sidang atas desakan sekelompok orang yang tergabung dalam forum Gerakan Pemulihan Nusa Tua Meni. Surat keputusan tanpa kop DPRD Rote Ndao dan ditandatangani Junus Fanggidae sebagai Wakil Ketua DPRD Rote Ndao itu disertai cap DPRD. Sidang berlangsung alot. 

Fraksi PDIP melalui anggotanya, Asiel Soruh, dan Fraksi Gabungan Ita Esa melalui Yusak Langga ngotot minta Bupati-Wabup Rote meletakkan jabatan. Mereka juga mendesak pilkada ditunda dan meminta aparat penegak hukum memeriksa bupati.

Dalam rapat panmus kemarin, Asiel dan Yusak tidak mau bergabung dan memilih keluar ruangan rapat. "Saya tetap mengikuti keputusan DRPD sebelumnya dan rapat ini saya tidak ikut. Tapi, saya akan lihat pada rapat paripurna nanti," kata Yusak Langga. Asiel Soruh juga menyatakan sikap yang sama.

Kepada Pos Kupang usai rapat panmus, Yusak dan Asiel mengatakan, mereka tetap akan mempertahankan hasil keputusan DPRD sebelumnya yang melarang bupati-wakil bupati melakukan tugas. "Kita lihat saja nanti, karena saat ini kita sudah ajukan surat ke Mahkamah Konstitusi," kata keduanya singkat di ruangan Wakil Ketua DPRD, Junus Fanggidae.

Meski Yusak dan Asiel walk out, rapat panmus tetap digelar. Rapat yang diagendakan pukul 09.00 Wita baru dimulai sekitar pukul 12.30 Wita, namun dipending kembali karena ada beberapa pihak yang tidak menginginkan rapat panmus tersebut digelar. Keinginan beberapa pihak tersebut tidak digubris dan panmus kemudian dibuka kembali pada pukul 13.20 Wita dan dipimpin Wakil Ketua DPRD Rote Ndao, Junus Fanggidae, SE, didampingi, Wakil Ketua, Chornelis Feoh, S.H. Dari pemerintah hadir Bupati Christ Dillak dan beberapa kepala bagian dan badan tanpa para kepala dinas.

Rapat panmus yang membahas penetapan waktu, acara dan jadwal acara sidang II perhitungan anggaran DPRD Kabupaten itu dihadiri enam dari 11 anggota panmus. Rapat berjalan lancar. Untuk agenda sidang, rapat menetapkan sidang mulai digelar, Sabtu (29/11/2008), diawali dengan penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban (LKPJ) pelaksanaan APBD 2007 oleh Bupati Christ Dillak, diikuti pemandangan umum fraksi, tanggapan bupati, pembahasan APBD oleh komisi-komisi, laporan komisi-komisi, pendapat akhir fraksi dan terakhir penetapan APBD 2007 pada, Selasa (11/12/2004).

Dalam rapat kemarin, kalangan Dewan meminta agar dokumen LKPJ dibagi duluan kepada anggota Dewan sebelum dibacakan bupati. 

Sementara itu, Bupati Christ Dillak mengatakan, kondisi saat ini jadwal sidang sudah sangat lambat, sehingga pemerintah terus berupaya menyiapkan segala hal teknis agar tidak berpengaruh kepada proses sidang berjalan. "Apalagi dana DAK pada tanggal 15 November ini sudah berakhir sehingga sidang perhitungan ini harus berakhir tangga l1 Desember. Dan, pada tanggal 12 kita buka sidang perubahan, tanggal 13 Desember kita libur pilkada dan tanggal 15 kita bahas sidang perubahan. Kita berharap jadwal yang sudah kita tetapkan ini tidak molor. Jika molor maka kita akan kena pinalti dan anggaran tahun sebelumnya dipotong 25 persen," kata Bupati Dillak. (iva)

Pos Kupang edisi Jumat, 28 November 2008 halaman 1

"Pecat" Bupati-Wabup Rote Ndao, Tanya Kenapa?

KISRUH di Kabupaten Rote Ndao menarik perhatian. Pilkada belum juga usai, masih membutuhkan babak final alias putaran kedua awal bulan depan.

Saat ini urusan pemerintahan sehari-hari dapat dilukiskan berubah "kacau" oleh keputusan DPRD setempat melarang Bupati dan Wakil Bupati melakukan aktivitas mereka sebagai kepala wilayah. DPRD seolah "memecat" Bupati dan Wabup. Alasan "pemecatan" menjadi tanda tanya besar.

Pengamat Politik dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Jusuf Kuahaty, SU mengatakan, pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dilakukan karena aturan memberi peluang. Namun hendaknya disertai dengan alasan yang mendasar, seperti melakukan perbuatan yang merugikan negara (daerah) yang dibuktikan secara hukum serta melanggar prinsip-prinsip dasar ketatanegaraan.

"Undang-undang mengatur tentang impeachment bagi kepala daerah. Artinya, impeachment terjadi tapi harus dengan alasan yang kuat. Kalau tidak ada alasan yang kuat dan dilakukan tidak sesuai dengan ketatanegaraan itu akan menjadi preseden buruk. Tidak memberi pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. Toh, yang rugi masyarakat dan daerah," kata Jusuf Kuahaty kepada Pos Kupang, Rabu (26/11/2008) malam.

Kuahaty mengatakan hal itu terkait adanya keputusan DPRD Kabupaten Rote Ndao yang melarang Christian Nehemia Dillak, SH dan Bernard E Pelle, S.Ip melakukan aktivitas sebagai Bupati dan Wakil Bupati Rote Ndao. Dewan juga mencabut hak dan kewajiban yang melekat atas nama bupati dan wakil bupati serta menyatakan tidak berlaku.

Kuahaty mengatakan, anggota DPRD adalah representasi dari rakyat sehingga keputusan mestinya selaras dengan kewenangan rakyat yang diwakili. Bukan membuat keputusan atas dasar kepentingan anggota Dewan dalam ruang sidang karena itu dapat menimbulkan konflik antarlegislatif dengan masyarakat yang diwakili.

Dia mencermati, keputusan yang diambil DPRD Rote Ndao sarat dengan kepentingan politik, entah itu kepentingan pribadi, dengan politik figur tertentu yang kala dalam hajatan pilkada. Karena sarat kepentingan, maka dia menilai keputusan itu belum final. "Perlu dibuka ruang untuk mendengar suara rakyat yang lebih banyak," katanya sembari menambahkan, persoalan yang terjadi di Rote Ndao harus diselesaikan pemerintah dan DPRD Rote Ndao secara arif dan bijaksana. Tidak mesti diserahkan kepada pemerintah propinsi karena sekarang era otonomi.

Tidak Sanggup
Wakil Ketua DPRD Rote Ndao, Junus Fanggidae, SE, kepada Pos Kupang di Ba'a, Ibu kota Rote Ndao, Rabu (26/11/2008), mengatakan, keinginan DPRD Rote Ndao menurunkan Bupati-Wakil Bupati Rote Ndao, Christian Nehemia Dillak, SH-Bernad Pelle, S.Ip bukan karena kepentingan kelompok yang kalah Pilkada Rote Ndao putaran pertama. DPRD Rote Ndao menilai bahwa dari realita yang ada Dillak-Pelle tidak mampu mengemban tugas, sehingga nasib kabupaten itu tetap terpuruk.

Fanggidae mengatakan, sikap DPRD Rote Ndao meminta Dillak-Pele mundur diambil dalam sidang Dewan dan dengan merujuk pada evaluasi Depdagri. Kondisi terpuruk Rote Ndao itu terindikasi dari angka kemiskinan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dan hasil evaluasi Depdagri yang menyatakan Rote Ndao kembali ke kabupaten induk.

"Kondisi Rote Ndao yang menunjukkan angka kemiskinan yang semakin tinggi juga adanya hasil evaluasi Depdagri yang memberikan warning kepada kita bahwa jika kita tidak bekerja keras, maka Rote Ndao akan kembali ke kabupaten induk menunjukkan bahwa kondisi Rote Ndao saat ini sudah terpuruk. Dan, ini secara kasat mata kita melihat itu. Karena itu, tidak salah jika DPRD berpendapat bahwa bupati-wakil bupati tidak mampu dan harus atau dapat mundur," kata Fanggidae.

Diakui Fanggidae, sidang DPRD yang berakhir dengan keputusan DPRD dimulai dari rapat panmus dan diikuti dengan rapat komisi-komisi kemudian dilanjutkan dengan pemandangan umum fraksi. Karena itu, sesuai tatip proses sidang ini sah. "Karena itu, kami kembalikan penilaian itu kepada pak bupati dan masyarakat," tambahnya.

Jangan gegabah
Anggota DPRD NTT daerah pemilihan Rote Ndao, Adrianus Ndu Ufi, S.Sos, menilai segelintir anggota DPRD Rote Ndao terlalu gegabah dalam memutuskan untuk memecat Dillak dan Pelle dari jabatan Bupati dan Wakil Bupati. Persoalannya, usul yang mereka sampaikan itu tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. 

"DPRD Rote Ndao harus mengerti aturan terkait dengan bagaimana mengangkat dan memberhentikan kepala daerah. Itu menjadi acuan dalam kaitan untuk memecat bupati dan wakil bupati. Selain harus mengikuti aturan, argumentasi untuk memecat seseorang juga harus jelas," ujar Ndu Ufi ketika ditemui di gedung DPRD NTT kemarin. (aca/iva/ely/Pos Kupang edisi Kamis, 27 November 2008 halaman 1)

Sultan Pakai Luka Lesu, Ratu Lawo Lambu

ENDE, 25 November 2008. Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Permaisuri Ratu Hemas menebarkan histeria. Ribuan orang menyambutnya hangat. Mereka menyapa, memanggil, menyebut-nyebut namanya. Sultan...Sultan...Ratu...

Sang Raja kemudian memakai Luka Lesu. Ratu mengenakan Lawo Lambu. Jadilah mosalaki Ende-Lio.

Kehangatan itu... Bukan karena pertama kali seorang Raja Jawa menginjakkan kaki di kota kelahiran Pancasila, di Pulau Flores, di bumi Flobamora. Sultan membawa pesan damai, pesan bahwa kebhinekaan itu harus tetap dijaga dan dihormati. 

Berikut sekilas warta kehadiran Sultan di Ende.

Sultan Disambut Meriah di Ende

ENDE, PK -- Sri Sultan Hamengku Buwono X beserta istrinya Kanjeng Ratu Hemas disambut meriah saat keduanya tiba di Kota Ende, Kabupaten Ende, Selasa (25/11/2008). Kemeriahan penyambutan mulai terlihat dari Bandara H. Hasan Aroeboesman Ende.

Saat menginjakkan kaki di bandara, Sultan dan Ratu dikalungi bunga dan disapa secara adat. Keluar dari bandara, Sultan disambut drum band MAN Ende.

Sultan menumpang mobil pick up diarak keliling Kota Ende. Konvoi ratusan sepeda motor mobil mengiringi perjalanan Sultan menuju Lapangan Pancasila. Warga Kota Ende terlihat berdiri di tepi jalan sambil melambaikan tangan kepada Sultan dan istrinya. Sultan juga membalas lambaian tangan warga. 

Berjubelnya warga sepanjang jalan membuat perjalanan dari Bandara H Hasan Aroeboesman menuju Lapangan Pancasila lamban.

Sebelum tiba di Lapangan Pancasila, Sultan berkesempatan mengunjungi Situs Bung Karno dan rumah adat Ende. Di rumah adat, Sultan dan Ratu dikenakan pakaian adat khas Ende. Sultan mengenakan ragi luka serta lesu, sedangkan Ratu mengenakan lawu lambu. Pemakaian pakaian adat Ende-Lio tersebut sebagai tanda bahwa Sultan dan Ratu telah menjadi bagian dari masyarakat Kabupaten Ende.

Setelah mengunjungi rumah adat Ende, Sultan dan Ratu langsung menuju ke Lapangan Pancasila. Di tempat tersebut Sultan langsung disambut oleh ribuan warga Kota Ende yang telah memadati Lapangan Pancasila. Diiringi drum band dari SMAK Syuradikara Sultan dan Ratu memasuki Lapangan Pancasila. 

Di pinggir lapangan itu tumbuh pohon sukun, tempat favorit Bung Karno mengisi hari-harinya selama masa pembuangan ke Ende tahun 1934-1938. Di tempat ini pula Bung Karno merenung, introspeksi. Tempat yang memberi inspirasi tentang Pancasila. Lima dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketika membawakan orasi, Sultan HB X mengatakan, kehadirannya di Ende bukan untuk berkampanye karena dengan mengenakan pakaian adat Ende rasanya kurang pas kalau berkampanye. Kedatangannya untuk membuka Festival Budaya Flores.

Sultan mengajak kepada generasi muda agar senantiasa bangga dengan budaya dan kearifan lokal karena budaya dan kearifan lokal adalah jati diri sebuah bangsa dan daerah. "Kita wajib dan senantiasa melestarikan budaya," ujarnya.

Dikatakannya, sebagai bangsa Indonesia yang memiliki 
keanekaragaman suku dan bahasa merupakan ciri khas dari Bangsa Indonesia, namun perbedaan itu bukan berarti membuat bangsa Indonesia terpecah-pecah, melainkan justru menjadi perekat bangsa.

Sultan mengatakan bahwa sebagai bangsa yang plural baik dari segi etnik dan budaya tidak bisa dibicarakan mayoritas dan minoritas karena kalau pendekatan itu yang dipakai, maka akan terjadi konflik. 

Sultan juga mengatakan bahwa keberadaan Pancasila merupakan satu harga mati bagi Bangsa Indonesia karena Pancasila bukan sekadar simbol, namun dia menjadi jaminan kerukunan hidup berbangsa dan bernegara.

Tentang keberadaan Kabupaten Ende secara khusus dan Flores, Sultan mengatakan bahwa daerah tersebut kaya akan berbagai potensi alam, namun potensi tersebut belum bisa banyak memberikan manfaat karena belum dikelola secara maksimal. 

Sultan mengajak Bupati Ende agar mau bekerjasama dengan Pemerintah Jogyakarta dalam berbagai bidang terutama bidang pertanian ataupun kerajinan.
Sultan mengajak agar kebersamaan antara dirinya dengan masyarakat Kabupaten Ende tidak hanya sesaat, tetapi harus berlanjut di masa-masa yang akan datang.


Pada kesempatan itu, Sultan yang didampingi Ratu memberikan secara simbolis benih padi kepada Bupati Ende, Drs. Paulinus Domi. Sultan juga secara resmi membuka festival budaya Flores dan sempat menyaksikan pentas seni yang dibawakan duta seni dari Ngada, Ende dan Sikka.

Acara kunjungan Sultan dimeriahkan dengan penampilan penyanyi balada, Frangky Sahilatua dan sutradara Garin Nugroho.

Rencananya, sebelum bertolak ke Kupang, hari ini Sultan dan Ratu akan makan pagi bersama masyarakat Ende di halaman SMA Syuradikara. Acara ini akan dihadiri oleh wakil guru, orangtua siswa, para tenaga medis, pastor, suster, petani dan juga nelayan dengan menu makanan khas NTT. (rom) 

Pos Kupang edisi Rabu, 26 November 2008 halaman 7

Pelantikan Bupati Sumba Barat Daya Tertunda

KUPANG, PK -- Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Sumba Barat Daya periode 2008-2013 mengalami penundaan karena KPUD setempat masih menunggu salinan putusan Pengadilan Tinggi NTT yang menangani perkara sengketa Pilkada.

Ketua KPU Kabupaten Sumba Barat, Nehemia Katu, di Kupang, Senin (24/11/2008), mengatakan, pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Sumba Barat Daya terpilih itu seharusnya sudah bisa dilakukan pada pertengahan November lalu.

Hanya saja, ujarnya, KPUD Sumba Barat belum bisa mengusulkan hasil Pilkada untuk diproses lebih lanjut ke DPRD karena masih menunggu keputusan Pengadilan Tinggi NTT.

"Kami masih menunggu salinan putusan Pengadilan Tinggi NTT yang menangani sengketa Pilkada Sumba Barat Daya. Kalau putusannya sudah keluar, kami segera usulkan ke DPRD untuk diproses lebih lanjut," kata Nehemia Katu.

Dalam Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Sumba Barat Daya yang dilangsungkan pada pertengahan Oktober lalu, pasangan dr. Kornelis Kodi Mete-Yacob Mallo Bulu meraih 55 ribu suara dari total pemilih sah sebanyak 120 ribu suara atau 45,3 persen.
Sementara di posisi kedua ditempati pasangan Timotius Langgar-dr. Marthen Kaley yang meraih 31.500 suara.

Namun pasangan Timo Langgar-Kaley menilai ada kecurangan dalam proses pemilihan itu sehingga mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi NTT.

Nehemia Katu mengatakan, sidang sengketa di Pengadilan Tinggi NTT sudah selesai dan dimenangkan oleh KPUD.
"Sekarang kami tinggal menunggu salinan putusan Pengadilan Tinggi. Setelah itu, segera diserahkan ke DPRD untuk diproses lebih lanjut," kata Nehemia Katu.

Nehemia Katu berharap proses pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Sumba Barat Daya segera dilaksanakan karena masa jabatan KPUD segera berakhir. (ant)

Pos Kupang edisi Rabu 26 November 2008 halaman 8

Dillak: DPRD Rote Tidak Paham Aturan

KUPANG, PK -- Bupati Rote Ndao, Christian Nehemia Dillak, S.H, mengatakan, sebelas dari 25 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Rote Ndao tidak mengerti aturan sehingga menuntut dirinya untuk mundur.

"Mereka yang desak saya mundur itu orang yang tidak mengerti aturan. Ada 11 orang dari 25 anggota Dewan. Mereka yang persoalkan itu karena kalah dalam pilkada. Memberhentikan bupati itu ada aturannya, bukan berdasarkan kemauan segelintir anggota Dewan," kata Dillak saat ditemui usai mengikuti acara Rapat Koordinasi Penanggulangan Bencana Tingkat Propinsi NTT di Aula El Tari Kupang, Selasa (25/11/2008).

Dillak ditanya terkait keputusan DPRD Kabupaten Rote Ndao yang melarang dirinya dan Bernard Pelle, S.Ip untuk melakukan kegiatan mengatasnamai Bupati dan Wakil Bupati Rote Ndao. Dewan juga mencabut hak dan kewajiban yang melekat atas nama bupati-wakil bupati serta menyatakan tidak berlaku lagi. 

Keputusan DPRD Rote Ndao Nomor 05/DPRD/RN/2008 yang ditetapkan, Sabtu (15/11/2008), dalam sebuah sidang atas desakan sekelompok orang yang tergabung dalam forum Gerakan Pemulihan Nusa Tua Meni. Surat keputusan tanpa kop DPRD Rote Ndao dan ditandatangani Junus Fanggidae sebagai Wakil Ketua DPRD Rote Ndao itu disertai cap DPRD.

Sidang yang menghasilkan keputusan itu dipimpin Junus Fanggidae beserta belasan anggota Dewan. Sidang berlangsung alot. Fraksi PDIP melalui anggotanya, Asiel Soruh, dan Fraksi Gabungan Ita Esa melalui Yusak Langga ngotot minta Bupati-Wabup Rote meletakkan jabatan. Mereka juga mendesak pilkada ditunda dan meminta aparat penegak hukum memeriksa bupati.

Dillak menegaskas, apa yang dilakukan segelintir anggota Dewan lebih bermuatan politik. Hal itu erat kaitannya dengan Pilkada Rote Ndao. Dia mengaku merasa terganggu dengan manuver yang dilakukan lawan-lawan politiknya, namun membiarkannya untuk masyarakat menilai. "Biarkan saja supaya kelihatan bodohnya. Yang bodoh itu mereka yang kalah dalam pilkada," kata Dillak.

Dillak menjelaskan, aksi penolakan terhadap dirinya dalam bentuk demo muncul bersamaan dengan adanya wacana penggabungan kembali Rote Ndao ke Kabupaten Kupang. 

"Meski sudah ada surat gubernur yang menjelaskan tentang hal tersebut tapi mereka tetap pake alasan itu. Jadi saya biarkan saja. Toh, kegiatan pemerintahan dan pelayanan kemasyarakatan tetap berjalan. Forum-forum yang melakukan aksi itu juga forum liar semua," ujar Dillak.

Dillak mengatakan, masyarakat Rote Ndao saat ini telah siap menyongsong putaran kedua Pilkada Rote Ndao yang menurut rencana akan dilaksanakan pada tanggal 13 Desember 2008.
Dia juga mengatakan, pada tanggal 18 Desember 2008 masa jabatan Bupati dan Wakil Bupati Rote Ndao akan berakhir. "Apakah akan ada penjabat bupati, tergantung pemerintah propinsi," katanya.

Asisten Tata Praja Setda NTT, Yoseph A Mamulak, S.Ip, yang dikonfirmasi soal sikap Pemprop NTT terhadap persoalan di Rote Ndao, belum bersedia berkomentar. "Saat ini pemprop sedang membuat surat. Setelah selesai, nanti akan diberi penjelasan tentang sikap pemprop. Jadi harap bersabar sedikit," kata Mamulak saat dihubungi Selasa (25/11/2008) malam.

Sebelumnya, pada Selasa (4/11/2008), puluhan warga yang tergabung dalam Gerakan Peduli Tesa Tuameni mendatangi DPRD Rote Ndao. Mereka mendesak Christian Nehemia Dillak, SH-Bernad E. Pelle,S.Ip mundur dari jabatan bupati dan wakil bupati karena tidak mampu membawa Rote Ndao menjadi lebih maju sehingga kembali bergabung dengan Kabupaten Kupang. Gerakan Peduli Tesa Tuanmeni juga menilai DPRD tidak mampu mengawasi pemeritahan yang ada.

Pada Rabu (12/11/2008), dalam sidang paripurna DPRD, Wakil Bupati Rote Ndao, Bernad E. Pelle, S.Ip membuka kebobrokan yang selama ini terjadi di Rote Ndao. Ia mengklaim dirinya bersih, sedangkan Bupati Rote Ndao, Christian Nehemia Dillak dan kroninya melakukan korupsi sehingga kondisi pemerintahan saat ini terpuruk.(aca)

Pos Kupang edisi Selasa, 26 November 2008 halaman 1

Pilkada Kupang tahap II Belum Pasti

KUPANG, PK -- Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kupang memenuhi panggilan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan gugatan calon bupati dan wakil bupati, Herson Tanoab-Vivo Ballo (paket Halo). Akibatnya, tahapan Pilkada putaran kedua hingga saat ini belum dimulai.

"Saya belum bisa menjelaskan tahapan-tahapan Pilkada putaran kedua. Kami masih fokus dengan gugatan paket Halo di MK karena tidak menerima hasil pleno penetapan suara Pilkada Kabupaten Kupang pada tanggal 4 November 2008, " kata Ketua KPUD Kupang, Johni K.Tiran, S.H saat di temui, Selasa (25/11/2008). 

Sejak pleno penetapan hasil perolehan suara tanggal 5 November 2008 oleh KPU Kabupaten Kupang yang menetapkan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Kupang periode tahun 2009-2014, Drs. Ayub Titu Eki, MS.Ph.D - Victor Jermias Tiran, S.Sos, M.Si dan pasangan Drs. Ruben Funay - Ir. Fritz Djubida ke putaran kedua sampai dengan saat ini KPU Kabupaten Kupang terkesan diam dan tidak melaksanakan tahap-tahapan berikutnya.

Tiran menjelaskan, gugatan paket Halo ini berkaitan dengan penghitungan suara hasil Pikada Kabupaten Kupang tanggal 4 November 2008 lalu. Gugatan tersebut kini memasuki proses sidang dan surat panggilan dari MK sudah diterima KPUD Kupang beberap hari lalu. Surat dengan nomor 45/PHPU/D/V/2008 tentang panggilan sidang. 

Menurut Tiran, sidang pertama gugatan tersebut di digelar MK di Jakarta pada tanggal 26 November 2008. Oleh karena itu, kata Tiran dan empat anggota KPUD fokus dengan persiapan semua berkas yang berkaitan dengan gugata untuk dibawahkan ke sidang di Jakarta tanggal 25 November 2008. 

Tiran mengatakan, sesuai UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkama Konstitusi, bahwa panggilan yang dilayangkan MK harus dipenuhi oleh tergugat, sehingga semua anggota akan berangkat, minimal tiga orang.

Sedangkan mengenai gugatan paket Halo yang didaftar di Pengadilan Negeri Kupang, kata Tiran, KPUD Kabupaten Kupang minta waktu mundur karena mendahulukan MK. (mas)

Pos Kupang 26 November 2008 halaman 8

Rombongan Adat, Simbol Kebangsawanan

*Pemakaman Umbu Mehang Kunda (1) 

Oleh Gerardus Manyella dan Adiana Ahmad

SABTU, 2 Agustus 2008, pukul 01.00 Wita. Bumi Matawai Amahu Pada Njara Hamu, trenyu. Ringkik kuda sandel sesaat diam. Goyang rumput sabana terhenti. Umbu, Rambu, Maramba, Hamba, menangis. Sumba Timur diselimuti kabut duka. Duka nestapa atas berpulangnya, Ir. Umbu Mehang Kunda, kepada Sang Khaliq. Lonceng gereja dibunyikan, imam masjid mengumumkan kepada umat bahwa pemimpin yang familiar, komunikatif berada di tengah semua golongan, semua suku dan semua agama telah meninggal dunia. 

Ir. Umbu Mehang Kunda bukan hanya seorang bupati di Sumba Timur. Mehang Kunda adalah keturunan Raja Rende. Karenanya tata upacara pemakaman dilakukan secara adat marapu pemakaman raja-raja. Hasil urung rembug keluarga anamburung, marga almarhum sepakat jenazahnya dimakamkan di kampung adat Prai Awang, Rende, 10 November 2008. 

Mulai Sabtu (8/11/2008), rangkaian tata upacara pemakaman dilangsungkan. Diawali dengan ibadah syukuran, karena Umbu Mehang Kunda telah dibaptis sebagai penganut agama Kristen Protestan. Semua rangakaian upacara berlangsung di Kampung Prai Awang, tempat ayah almarhum, Umbu Windi Pandji Djawa alias Umbu Nai Hiwa dimakamkan. 

Di tanah lapang itu, juga telah disiapkan tempat parkir. Di samping barat gang masuk ke kampung itu, terdapat sebuah kandang besar yang dipagari batu gunung, tempat pengikatan kuda dan kerbau. Banyak orang berpakaian khas Sumba hilir mudik ke sana ke mari, menyiapkan segala keperluan untuk acara adat pemakaman.

Kampung seluas kurang lebih 0,5 hektar, itu diapiti 23 rumah adat di sisi timur dan barat. Di tengah-tengah kampung terdapat 11 batu kubur besar dan beberapa batu kubur kecil. Salah satu batu kubur besar masih kosong. Batu kubur megalitik yang megah dengan berat 31 ton itu yang disiapkan keluarga anamburung untuk pemakaman jenazah almarhum Umbu Mehang Kunda. 

Di tengah kampung, dekat batu kubur yang kosong, terdapat sebuah tenda besar yang sudah dipadati jemaat, para PNS lingkup Setda Sumba Timur, sanak keluarga anamburung dan sahabat kenalan almarhum. Sebuah altar kecil dan sound system tersusun rapi. Rupanya hari itu ada jadwal kebaktian syukur menjelang pemakaman almarhum Umbu Mehang Kunda yang telah dibaptis sebagai penganut agama Kristen Protestan. 

Begitu kami mengambil tempat duduk di tenda, langsung disuguhkan kuta dan winnu (sirih pinang) pada baola pahapa (tempat sirih pinang). Walau tidak biasa makan sirih pinang, kami menjamah saja sebagai wujud penghargaan kepada tuan rumah. Menyuguhkan kuta dan winnu merupakan penghormatan tuan rumah terhadap setiap tamu di Sumba Timur. Tuan rumah tersinggung jika tamunya menolak makan atau menjamah baola pahapa yang disuguhkan. 

Sekitar pukul 17.00 Wita, kebaktian dimulai, dipimpin langsung Ketua GKS, Pdt. David Umbu Dingu, S.Th. Kebaktian berlangsung sekitar satu jam, dilanjutkan sekapur sirih dari keluarga yang diwakili Umbu Lili Pekualing, adik kandung almarhum Umbu Mehang Kunda, dan makan bersama. 

Kami langsung mencari tokoh adat untuk dijadikan narasumber yang bisa menceritakan tata upacara pemakaman raja-raja Sumba. Beberapa orangtua didekati tapi mengaku tidak berhak berbicara. Umbu Lili Pekualing yang adalah adik kandung almarhum, juga mengaku tidak mengetahui secara detail tentang tata upacara itu dan menyarankan menemui juru bicara keluarga anamburung. Ada yang mengaku tahu dan mengerti tapi status mereka yera (ipar) dari almarhum atau status ipar dalam keluarga anamburung. Ada yang tahu tata upacara tapi status sebagai papanggang atau hamba. 

Belum menemukan narasumber, kami memilih bergabung dengan tamu lain di bale-bale uma bokul (rumah besar) tempat jenazah almarhum Umbu Mehang Kunda disemayamkan. Di sana kami bertemu Om Cyrilus, sahabat kental almarhum yang sudah dianggap sebagai keluarga oleh marga anamburung. Om Cyrilus sangat mengenal orang-rang di kampung itu, mengenal baik kerabat dan sanak keluarga almarhum Umbu Mehang Kunda. Dia mengajak kami ke sebuah rumah adat di sebelah timur uma bokul. Di sana kami dipertemukan dengan Umbu Maramba Hau alias Umbu Maramba Meha. 

Umbu Maramba Hau yang saat itu cukup sibuk mengatur lalu lintas dan tata upacara pemakaman, menuturkan, penyimpanan jenazah, terutama jenazah para raja di Sumba Timur umumnya dan Kampung Prai Awang khususnya, itu hal biasa. Lamanya penyimpanan jenazah tergantung ekonomi. Jika ekonomi keluarga kuat, penyimpanan jenazah paling lama satu tahun langsung dimakamkan. Jika ekonomi keluarga kurang kuat penyimpanannya bisa 5-10 tahun, karena keluarga yang menyelenggarakan pemakaman harus bekerja menyiapkan segala kebutuhan, terutama hewan dan batu kubur. 

Biasanya, jadwal pemakaman diambil berdasarkan musyawarah kabihu (rumpun keluarga atau marga). Khusus almarhum Umbu Mehang Kunda, hanya 102 hari penyimpanan, lalu dimakamkan, mengingat beliau punya jasa dan ekonomi keluarganya kuat. Untuk itu, keluarga anamburung mengundang 150 rombongan adat yang terdaftar dan 50 rombongan adat cadangan. Keluarga anamburung sudah siapkan balasan kepada rombongan adat yang membawa kerbau, babi, mamoli dan kain. Setiap pembawaan rombongan adat akan dibalas sesuai silsila adatnya. 

Jumlah rombongan adat, pembawaan dan balasan merupakan simbol kebangsawanan orang yang meninggal dan keluarga yang menyelenggarakan pemakaman. Jenis barang bawaan dan balasan harus diurut secara benar untuk melapangkan jalan arwah almarhum menuju Parai Marapu (surga). Penganut marapu meyakini simbol adat yang dilakukan dalam tata upacara pemakaman, berlangsung juga di Parai Marapu. (bersambung)

Tinggal Sesaat Kami Melihat Tuan...

* Pemakaman Umbu Mehang Kunda (2) 

PENGANUT kepercayaan marapu meyakini kematian sebagai peristiwa penting dalam kehidupan seseorang menuju kebahagiaan sejati. Walau sudah dibaptis menjadi penganut Kristen, baik Protestan maupun Katolik, masyarakat Sumba Timur khususnya dan Sumba umumnya, masih meyakini kepercayaan warisan leluhur itu, sehingga setiap kematian, tata upacara pemakaman dilakukan secara marapu. 

Ada yang melakukan seremoni itu secara sederhana, ada pula yang spektakuler dengan memotong ratusan ekor hewan, dihadiri ratusan rombongan adat. Semuanya tergantung strata sosial di masyarakat. Yang jelas tata upacara pemakaman umbu maramba berbeda dengan hamba atau papanggang. Jika yang meninggal dunia keturunan bangsawan atau raja, apalagi ekonomi sanak keluarga tergolong mampu, maka tata upacaranya betul-betul spektakuler. Meriah, gegap gempita. Prestise keluarga dipertaruhkan. 


Bagi pemeluk marapu, upacara pemakaman atau penguburan merupakan saat-saat penting untuk melapangkan jalan arwah ke Parai Marapu (surga). Diyakini seseorang tidak dapat menuju Parai Marapu jika tidak ada pertolongan dari leluhur sehingga perlu dilakukan upacara menurut adat istiadat di tanah seribu batu kubur itu. Besarnya arti kematian dapat dilihat dari megahnya kubur megalitik atau batu kubur. Kemewahan sebuah upacara penguburan bervariasi, tergantung status sosial orang yang meninggal dan kemampuan ekonomi keluarga yang menyelenggarakan upacara pemakaman itu. Semakin mampu keluarga yang meninggal semakin megah batu kuburnya dan semakin mahal ongkosnya. 

Walau peradaban bangsa ini sudah maju, masyarakat Sumba Timur khususnya dan Sumba umumnya, tetap melestarikan tata upacara pemakaman warisan leluhur tanah marapu itu. Kepercayaan terhadap tata upacara pemakaman marapu tak pernah memandang jabatan, pangkat dan status sosial semasa hidup. Bagi masyarakat Sumba Timur, kematian adalah urusan keluarga, urusan marga sehingga embel-embel jabatan yang diemban semasa hidup ditanggalkan, apalagi strata sosial orang yang mati berasal dari keluarga bangsawan atau turunan raja seperti Ir. Umbu Mehang Kunda, Bupati Sumba Timur periode 2005-2010 yang meninggal dunia Sabtu 2 Agustus 2008 lalu. 

Jenazah Umbu Mehang Kunda disimpan selama 102 hari di uma bokul (rumah besar) di Kampung Prai Awang, Rende, dan baru dimakamkan Senin, 10 November 2008, melalui prosesi adat marapu pemakaman raja-raja Sumba. Semalam sebelum jazad almarhum dihantar ke liang lahat, dilantunkan kisah hidup dan silsilah almarhum Umbu Mehang Kunda melalui nyanyian oleh para wunang (juru bicara) diikuti tangisan papanggang (hamba) perempuan di samping kiri dan kanan jenazah yang disemayamkan di uma bokul (rumah adat). 

Para wunang duduk berjejer di balai-balai uma bokul, tepat di pintu masuk menuju tempat persemayaman jenazah. Syair-syair adat dengan bahasa yang dalam dan sulit diterjemahkan terus dilantunkan. Iramanya seperti kidung kematian diawali dengan nada yang sangat tinggi, semakin larut malam nadanya semakin menurun, merdu dan haru. Koor dan solo sahut menyahut diiringi gong irama kandaki manaih. 

Menurut Umbu Maramba Hau alias Umbu Maramba Meha, juru bicara keluarga anamburung, nyanyian para wunang selain mengisahkan turun temurun dan perjalanan hidup almarhum, juga memohon kepada Mawulu Tau Maji Tau (sang pencipta manusia yang digambarkan sebagai perempuan yang disebut Ina Pakawurungu (ibu sejagat raya) dan Ama Pakawurungu yang disebut ama ndaba (bapak sejagat raya). Masyarakat Sumba Timur yang masih meyakini kepercayaan marapu percaya kalau Ina mbulu dan Ama ndaba adalah orang yang bermata dan bertelinga besar, Na mabakulu wua mata-na ma mbalaru kahilu, yang dapat melihat dan mendengar dengan sempurna apa yang dikatakan atau permohonan orang hidup dan mengetahui setiap perbuatan manusia. Mereka itulah yang memberikan kesuburan dan kesejahteraan di bumi sandelwood. 

Sedangkan tangisan papanggang wanita menyesali mengapa armarhum meninggal. Bagaimana sudah? "Kami tak berkuasa melepas kepergian tuan, kami hanyalah manusia biasa, kami hanyalah orang tak berdaya, yang kami miliki hanyalah tangisan." Saat menangis para papanggang juga memohon kepada Ina mbulu dan Ama ndaba untuk mendengar keluh kesah dan melihat duka nestapa yang mereka alami. Mereka sudah tak berdaya karena ditinggal pergi sang raja, tuan yang dihormati dan disegani, tuan yang mengayomi mereka. Tangisan ini dilantunkan sejak jenazah almarhum disemayamkan di uma bokul. 

Semalam sebelum jenazah dihantar ke liang lahat, para papanggang semakin sedih. "Tinggal semalam kami menyembah tuan, tinggal sesaat kami melihat tuan, sebentar lagi tuan akan pergi, pergi meninggalkan kami. Kami siap mengantar tuan menuju alam yang sejahtera."

Menurut Umbu Maramba Hau alias Umbu Maramba Meha, itulah isi singkat dari nyanyian para wunang dan tangisan papanggang menjelang hari pemakaman jenazah almarhum. Nyanyian dan tangisan ini, katanya, bukan hanya untuk almarhum Umbu Mehang Kunda, tapi untuk kematian bangsawan atau raja-raja lain. Cuma pesan yang disampaikan sesuai dengan kesan semasa hidup. 

Almarhum Umbu Mehang Kunda adalah orang yang menentang pemberlakukan kasta antara bangsawan dengan papanggang atau hamba. Sejak almarhum menjabat Bupati Sumba Timur tahun 2000, dia melarang kultur pemakaman raja- raja yang diikuti dengan papanggang atau hamba, karena melanggar hak asasi manusia. Ini dibuktikan ketika beliau dimakamkan. Tidak ada papanggang atau hamba setia yang ikut dikuburkan bersama beliau. 

Menurut Umbu Maramba Hau, semasa hidupnya Mehang Kunda melarang raja- raja di Sumba Timur mati membawa hamba atau papanggang. Beliau meminta keluarga anamburung memberikan contoh. Apalagi keluarga anamburung telah mengharamkan itu sejak nenek moyang mereka. Keluarga anamburung sangat menghormati dan menghargai sesama manusia sehingga tidak membiasakan raja mati diikuti hamba setia. 

Kembali ke nyanyian para wunang dan tangis papanggang. Kidung-kidung yang dilantunkan para wunang juga memohon ampun atas salah dan dosa almarhum semasa hidup dan meminta sang penguasa jagat memberikan jalan yang lebar agar arwahnya tak terhambat saat menuju Prai Marapu (surga).

Malam itu juga disembelih seekor babi jantan dan lima ekor ayam untuk dilihat hati dan tali perutnya. Hati babi dan tali perut ayam Ama bokol hama (Pendeta Marapu) untuk mengetahui isi hati almarhum kepada sanak keluarga yang ditinggalkan. Jika almarhum atau nenek moyang marah, hati babi atau tali perut ayam memberi tanda khusus. Seperti apa hasilnya? (bersambung) 

Leluhur Masih Marah

* Pemakaman Umbu Mehang Kunda (3)

MALAM sebelum pemakaman dilakukan hamayang (sembahyang) oleh ama bokol hama (pendeta marapu). Doa persiapan ini berlangsung di uma bokul, rumah besar milik almarhum. Keluarga anamburung menyiapkan seekor babi jantan dan lima ekor ayam untuk disembelih. 

Hati babi dan tali perut ayam dibaca oleh ama bokol hama untuk mengetahui pesan-pesan almarhum, pesan-pesan leluhur untuk keluarga yang ditinggalkan. Hati babi dimasak pada tungku di dekat katoda dan ayamnya dibakar untuk diletakkan di tempat sesajian bersama nasi yang disebut uhu mange'ijing agar leluhur bisa menyantapnya. 

Ada lima ekor ayam yang harus disembelih, masing-masing seekor untuk almarhum, seekor untuk umbu tamo (nenek moyang yang namanya digunakan oleh almarhum), seekor untuk nenek moyang, seekor untuk papanggang atau hambanya alrmahum dan seekor untuk marapu. Khusus untuk almarhum ayamnya harus berbulu merah. Ayam itu bisa jantan semua, bisa betina semua, bisa campur- campur antara jantan dan betina. 


Hasil penglihatan ama bokol hama,di hati babi terdapat tanda khusus. Sedangkan tali perut ayam menunjukkan marapu memberi izin, umbu tamo juga memberi izin, almarhum sendiri ada izin, dia sudah siap menuju Parai Marapu (surga) dan papanggang atau hamba juga siap mendampingi almarhum. Yang tidak memberikan izin adalah nenek moyang yang ditandai dengan noda pada hati babi. Itu berarti masih ada akibatnya, baik keluarga dalam maupun keluarga luar. 

Keluarga perlu membuat upacara lagi untuk memohon ampun setelah penguburan. Jika belum diselesaikan, setiap hati babi yang disembelih pasti tetap ada tanda. Keluarga harus mencaritahu terus sampai mengetahui persoalannya mengapa nenek moyang marah. Upacara adat ini harus tuntas sehingga arwah almarhum tenang dan diterima penguasa jagat raya.

Jika diabaikan keluarga akan mendapat pahala. Seperti apa pahalanya? Baik ama bokol hama maupun tua adat lainnya tidak dapat meramalkan. Menurut Umbu Maramba Hau, pengalaman selama ini, pahalanya bisa berupa sakit, kebakaran, banjir, disambar petir bahkan kematian. Untuk menghindari hal-hal ini, keluarga akan berunding lagi dan melakukan upacara permohonan maaf kepada nenek moyang dengan menyembelih babi dan hamayang oleh ama bokol hama. 

Tapi upacara permohonan maaf baru dilakukan setelah amarah nenek moyang itu redah. Sama seperti manusia, disaat dia sedang marah sebaiknya kita jangan dulu meminta maaf, karena amarahnya akan mendidih bahkan akibatnya fatal. Bisa jadi emosinya tidak dapat dikendalikan lalu terjadi tindakan di luar yang diinginkan. 

Masyarakat Sumba Timur meyakini suasana seperti itu, juga terjadi pada arwah nenek moyang. Untuk itu, dalam melakukan upacara permohonan maaf, butuh waktu jedah. Jika emosi seseorang sudah redah, mudah memaafkan. Saat itulah upacara itu dapat dilakukan. Keluarga dalam menyelenggarakan upacara permohonan maaf kepada leluhur yang marah, juga akan membaca suasana hati leluhur tersebut. 

Perpisahan dan pemberian makan oleh keluarga kepada arwah orang yang meninggal dan arwah leluhur yang datang dengan cara memotong ayam (manu kanjiku reti) dan hamayang sebelum jenazah diberangkatkan ke liang lahat, merupakan penghormatan terakhir. Selain ayam, juga kuda (njara ndangang) sebagai kurban. Hati kuda diambil untuk diramal lalu dimasak pada tungku dekat uma bokul untuk dibuat sesajian, memberi makan kepada roh leluhur yang siap menjemput kedatangan arwah almarhum. 

Umbu Maramba Hau menuturkan, almarhum Umbu Mehang Kunda sama sekali tidak meninggalkan pesan kepada keluarga. Keluarga juga tidak mendapat firasat kalau beliau akan meninggal dunia. Untuk itu, keluarga tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi sehingga leluhur masih marah saat dilangsungkannya tata upacara pemakaman. Kesan umum yang keluarga terima, almarhum orangnya penyayang, tidak pernah dendam, mudah memaafkan dan sederhana. Semasa hidupnya tidak pernah marah kepada keluarga. Kalaupun marah, sebentar saja, lalu memaafkannya dengan cara guyon. 

Itu yang membuat keluarga betul-betul kehilangan seorang bapak, seorang tokoh panutan. Kesan seperti ini, mungkin juga dirasakan pegawai negeri di lingkup Setda Sumba Timur dan masyarakat daerah itu umumnya. (bersambung)

Papanggang, Mediator Sang Arwah

Pemakaman Umbu Mehang Kunda (4)

TERIK mentari membakar bumi sandelwood. Warga Kota Waingapu, Ibu kota Kabupaten Sumba Timur, tumpah rua ke Prai Awang-Rende untuk menyaksikan pemakaman bupati yang dekat dengan rakyat itu. Di tengah terik membakar kampung Prai Awang, sekejap puting beliung menyapu tanah lapang di tengah kampung yang diapiti rumah-rumah adat dan batu kubur leluhur anamburung itu. Saat itu, tua adat setempat sedang melakukan ritual menyeleksi ata atau hamba yang bertugas sebagai papanggang untuk mengantar almarhum Umbu Mehang Kunda ke liang lahat. 

Hari itu, Senin (10/11/2008). Sekitar pukul 14.30 Wita, tua adat setempat menyeleksi beberapa ata atau hamba diambil empat orang, terdiri dari dua orang laki-laki dan dua orang wanita untuk menjadi papanggang. Mereka bertugas mengantar jenazah almarhum Mehang Kunda ke liang lahat. 

Disaksikan Pos Kupang, sejak pagi keluarga anamburung menerima tamu atau rombongan adat dengan bawaan masing-masing. Tamu yang diundang terdiri dari ery aya (kakak-adik), ina rendi ama manu (raja/bangsawan), juru watu uma dallar (keluarga satu marga), tana nua watulihhi (tetangga kampung), kajuanga angu todu (lembah tempat tinggal bersama) dan ana kawini (saudari). Setiap rombongan tamu (satu marga) disambut dengan gong dan tangisan wanita penunggu jenazah.

Tamu wanita memasuki ruang jenazah (kaheli bokul) lalu menangis dengan bahasa lawiti kemudian mendapat sirih pinang dari penerima tamu wanita. Tamu pria duduk di balai-balai (bangga), juga mendapat layanan sirih pinang oleh penerima tamu pria. Salah seorang dari rombongan tamu memberitahu pembawaan mereka. Setelah kaum wanita keluar dari tempat jenazah, rombongan dipersilahkan menempati tempat yang telah disiapkan untuk menikmati sirih pinang dan kopi. 

Di balai-balai rumah jenazah, para wunang berbicara secara adat mengenai pembawaan dan permintaan mereka (pulu dungu). Jika sepakat maka ditikam babi (kameti). Babi kameti dibagi dua, setengah dimasak untuk dimakan di rumah duka dan setengah dibawa pulang. Ana kawini (saudari) diberi kain/sarung sedangkan yera (ipar atau besan) diberi hewan atau mamoli. Tata cara ini hanya dilakukan keluarga bangsawan/raja yang ekonominya kuat seperti almarhum Umbu Mehang Kunda. 

Penerimaan tamu seperti ini juga berlaku terhadap rombongan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya. Gubernur bersama Wakil Gubernur, Ir. Esthon Foenay, M.Si; Ketua DPRD NTT, Drs. Melkianus Adoe; Bupati Sumba Tengah, Drs. Umbu Sappi Pateduk dan Wakil, Umbu Dondu; Bupati Sumba Barat, Drs. Julianus Pote Leba; Bupati Sumba Barat Daya (SBD) terpilih, dr. Kornelius Kodi Mete; Bupati Alor, Ir. Ans Takalapeta; Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe; Wakil Bupati Flores Timur, Yoseph Lagadoni Herin; Sekda Kabupaten Kupang, Bernabas nDjurumana,S.H, dan pejabat lainnya, diterima di balai-balai uma bokul, lalu wunang mulai berbicara. 

Rombongan gubernur juga disiapkan wunang untuk berbicara dengan wunang tuan rumah dalam bahasa adat yang disebut luluk. Hiku tua mayangara, hiku kea lama lidi (sehingga disebut sebagai keluarga), inilah pesan yang disampaikan para wunang dalam luluknya. Mereka menyampaikan, gubernur dengan almarhum ada ikatan kerja, selaku hubungan secara pribadi disebut keluarga.

Tepat pukul 15.30 Wita, upacara pemakaman dimulai. Diawali sambutan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, dan wakil keluarga yang disampaikan Umbu Maramba Hau alias Umbu Maramba Meha. Umbu Maramba Hau melanjutkan memimpin tata upacara pemakaman secara adat tersebut. 

Seekor kerbau jantan kecil digiring masuk ke tengah kampung lalu disembeli oleh orang yang ditugaskan. Pemotongan harus berlangsung satu kali, kerbau atau kudanya tewas. Jika diulang, itu berarti ada sesuatu yang mengganjal. Disusul delapan ekor kerbau dan delapan ekor kuda yang dibantai di halaman tengah kampung itu. Pembantaian hewan ini menjadi tontonan para pelayat yang penuh sesak di areal yang luasnya kurang lebih setengah hektare itu. 

Menyusul seekor kuda jantan merah digiring masuk ke halaman tengah. Kuda yang diyakini sebagai kuda tunggang (njara kaliti) almarhum menuju Lama Paka Jiu Jagang Lama Patana Rara 'negeri orang mati' yang diyakini banyak pohon cemara yang tumbuh di tanah merah atau Uma Manda Mobu Kaheli Manda Mbata, rumah yang tak pernah lapuk dan balai-balai yang tak pernah rubuh, dirias dengan emas, pelananya dari kain tenun ikat motif bangsawan, dilengkapi dengan payung yang dihias dengan manik-manik emas. Diyakini apa yang dirias pada kuda dan pakaian serta manik-manik emas yang dikenakan papanggang, itu yang dikenakan almarhum menuju alam baka. 

Salah seorang papanggang yang berpakaian khusus lengkap dengan perhiasan adat dipapah dan dinaikkan ke punggung kuda (njara kaliti), kemudian dibawa ke kubur dengan iringan gong. Papanggang ini tidak boleh menyentuh tanah sehingga digendong saat naik dan turun dari kuda oleh petugas yang disiapkan. Papanggang ini mempunyai peran unik karena diyakini sebagai pengantara arwah. 

Dia dinaikkan di atas batu kubur sampai upacara penutupan kubur selesai, lalu diturunkan, lalu dinaikkan di atas kuda untuk seterusnya dibawa ke uma bokul. Papanggang ini tidak boleh mandi dan meninggalkan rumah sampai acara pahili mbuala (acara khusus memandikan papanggang) melalui ritual khusus di sungai. Seorang papanggang pria ditutup kepala dan wajahnya dengan kain merah. 

Tugasnya bersama papanggang wanita mengantar jenazah ke liang lahat. Di sana mereka berada di samping kubur dan terus menangis hingga kubur ditutup. Saat itu, ada papanggang yang kesurupan, dia menjadi mediator antara arwah dengan keluarga. Disaat kesurupan, dia menyampaikan pesan-pesan arwah dalam bahasa daerah setempat. Seperti apa pesannya? Hanya dapat diketahui oleh keluarga inti dan itu akan dibicarakan setelah semua rangkaian prosesi pemakaman selesai.

Usai penutupan batu kubur dipotong lagi delapan ekor kuda dan delapan ekor kebau jantan dan betina induk. Ama bokol hama memotong lagi ayam yang dibawa papanggang wanita ke kubur untuk dilihat tali perutnya. Hati kuda juga diambil untuk dilihat lalu dimasak pada katoda, buat sesajian bagi leluhur. Para pengusung jenazah ke liang lahat mencuci tangan dengan air kelapa. 

Selesai penguburan tamu-tamu diajak untuk beristirahat sejenak. Bagi tamu bangsawan masih ada percakapan adat. Upacara pakameting (memberi makan kepada rombongan adat) dilangsungkan setelah penguburan. Semua rombongan adat dengan bawaan dibalas berdasarkan silsilah masing-masing. Balasan terhadap pembawaan rombongan tamu disesuaikan dengan pembicaraan wunang, ana kawini mendapat kain/sarung, yera mendapat hewan atau mamoli. (habis)

Tulisan ini diturunkan Pos Kupang secara serial yaitu edisi tanggal 20, 21, 22 dan 24 November 2008 halaman 7.

Sebuah Kisah Teladan

DIKISAHKAN seorang Raja memiliki tujuh Putri, ketujuh Putri yang cantik ini adalah kebanggaan Raja, kesayangan beliau. Semua orang tahu perihal rambut panjang mereka yang hitam berkilauan itu. Dan dikenal hingga seluruh pelosok negeri. Karena itu, Raja menghadiahkan kepada mereka masing-masing seratus jepit rambut yang indah. Karena mereka sangat memperhatikan penampilannya, terutama pada rambut mereka.

Suatu pagi, Putri sulung sang Raja bangun dari tidurnya, dan seperti biasa ia menata rambutnya dengan jepitan rambut. Namun ia mendapati jepitan rambutnya kurang satu, lalu secara diam-diam ia ke kamar Putri kedua Raja, dan mengambil satu jepitan rambut. 

Begitu halnya dengan Putri kedua ketika mendapati jepitan rambutnya kurang satu, lalu ia ke kamar Putri ketiga untuk mengambil jepit rambutnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Putri ketiga, saat ia mendapati jepitan rambutnya kurang satu, lalu dengan diam-diam ia ke kamar Putri keempat.

Putri keempat juga melakukan hal yang sama dengan putri-putri sebelumnya mengambil jepitan rambut saudarinya, Putri kelima. Demikian juga dengan Putri kelima, ia mengambil jepitan rambut Putri keenam dan Putri keenam terpaksa juga mengambil jepitan rambut Putri ketujuh. Akibatnya, jepitan rambut Putri ketujuh hanya tersisa 99 buah. Dan dia tak bisa melakukan hal seperti kakaknya.

Keesokannya, pangeran dari negeri tetangga yang tampan dan gagah tiba-tiba berkunjung ke istana, dan katanya kepada sang Raja: "Kemarin, burung Murai (sejenis burung penyanyi) piaraan saya menggondol sebuah jepitan rambut, saya pikir ini pasti kepunyaan para putri, dan ini sepertinya suatu takdir (pertemuan) yang unik, tidak tahu putri mana yang kehilangan jepitan rambut ini?"

Para putri Raja telah mendengar hal ini, dan dalam benak mereka masing-masing hendak berkata : "Punya saya, punya saya." Hanya Putri ketujuh yang ke luar sambil berkata: "Jepitan rambut saya hilang satu." Baru saja selesai berkata, rambut panjangnya yang indah jatuh tergerai karena kurang sebuah jepitan rambut. Dan sang Pangeran tak bisa tidak menjadi terkesima melihatnya.

Akhir dari cerita, sudah pasti sang Pangeran dan Putri Raja tersebut hidup bahagia selamanya sejak itu.

Mengapa begitu ada kekurangan, lalu berusaha keras untuk melengkapinya? Seratus buah jepitan rambut, bak seperti sebuah kehidupan yang utuh sempurna. Namun dengan berkurangnya satu jepitan rambut, keutuhan ini terasa menjadi tidak lengkap. Namun, justru karena kekurangan itu, kelak akan ada perubahan (baik), kemungkinan yang tak terhingga, bukankah ini sebuah peristiwa yang patut disyukuri!

Lantas bagaimana menghadapi kekurangan dalam perjalanan hidup yang tak terhindarkan?

Menghindar belum tentu dapat mengelakkan. Menghadapi belum tentu menyedihkan, Seorang diri (kesepian) belum tentu tidak bahagia. Mendapatkan belum tentu bisa kekal abadi. Kehilangan belum tentu tidak akan memiliki lagi.

Jangan terburu-buru berkata tiada pilihan lain jangan mengira di dunia ini hanya ada benar dan salah. Jawaban sejumlah besar peristiwa bukan hanya ada satu. Jadi, selamanya ada jalan keluar bagi kita. Anda bisa mendapatkan alasan untuk sedih, tapi Anda juga bisa mendapatkan alasan untuk gembira. 

Orang yang tahu akan ketidakkhawatiran mendapatkan kelegaan.
Orang yang tahu melupakan mendapatkan kebebasan.
Orang yang tahu mencurahkan perhatian mendapatkan teman.
Pertumbuhan seseorang diiringi dengan beberapa kehilangan.
Kematangan seseorang disertai dengan sejumlah luka.

Untung saja masih ada harapan ini, Anda akhirnya masih bisa menunggu.
Untung saja antar manusia, jarak menumbuhkan estetis (keindahan).
Untung saja dalam kehidupan, keceriaan lebih banyak dari derita.
Untung saja di dunia ini, masih banyak keindahan.
Untung saja saat Anda matang (dewasa), 
Anda tidak termasuk orang yang tidak memiliki apa-apa di dunia ini! 

(Sumber: Secret China)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes