Mayat Arnoldus Sepe masih di Kelimutu

ENDE, PK--Evakuasi terhadap mayat Arnoldus Yansen Sepe, warga Desa Tenda, Kecamatan Wolijita, Kabupaten Ende yang tewas di Danau Kelimutu, dihentikan. Pasalnya, tim SAR, petugas Taman Nasional Kelimutu (TNK), polisi dan masyarakat gagal mengevakuasi mayat Arnoldus, karena beratnya medan di kawaan danau tersebut.

Wakil Kepala Kepolisian Resor (Wakapolres) Ende, Komisaris Polisi (Kompol) Arly Jembar Jumhana, yang ditanya tentang perkembangan evakuasi terhadap mayat Arnoldus, di Danau Kelimutu mengatakan, berdasarkan saran dari tim Badan SAR Nasional (Basarnas) NTT yang ada di Maumere yang dilibatkan dalam proses evakuasi bahwa tim evakuasi dari SAR Maumere, polisi dan petugas TNK telah berusaha mengevakuasi mayat Arnoldus, namun gagal karena beratnya medan.

Untuk menghindari kemungkinan yang bisa berakibat fatal bagi tim evakuasi, demikian Jumhana, diputuskan pelaksanaan evakuasi dihentikan. "Mereka (Tim SAR) saja yang profesional mengatakan bahwa tidak bisa evakuasi mengingat kondisi alam yang tidak bersahabat, maka kita tentu mengikuti saran tersebut. Dan, sejak Minggu (28/12/2008) evakuasi terhadap mayat Arnoldus dihentikan. Dengan demikian, mayat Arnoldus dibiarkan di Danau Kelimutu," kata Jumhana, saat ditemui di Polres Ende, Senin (29/12/2008).

Ia menjelaskan, berdasarkan informasi yang dihimpun dari tim SAR bahwa tim telah berusaha maksimal mungkin untuk mengevakuasi mayat Arnoldus, bahkan ada anggota tim yang hampir mendekati danau, namun tiba-tiba hujan lebat dan banjir di sekitar danau. Tim memutuskan pelaksanaan evakuasi dihentikan.

Terhadap keputusan yang diambil oleh tim SAR pihak keluarga Arnoldus, kata Jumhana, mengatakan bahwa mereka memaklumi dan menerima hal itu sebagai takdir.

Dengan dihentikannya evakuasi, maka penyidikan terhadap tewasnya Arnoldus di Danau Kelimutu juga dihentikan. Namun demikian, proses penyidikan dapat saja diteruskan apabila sewaktu-waktu ditemukan bukti baru. 

"Sejauh ini polisi belum tahu apa penyebab kematian korban karena mayatnya tidak berhasil dievakuasi. Apabila berhasil dievakuasi tentu akan diketahui penyebab kematian Arnoldus, melalui visum oleh dokter," katanya.

Secara terpisah Kepala Balai (TNK), Gatot Soebiantoro, yang dikonfirmasi di Ende mengatakan, pelaksanaan evakuasi terhadap mayat Arnoldus Yansen Sepe, dihentikan karena cuaca buruk. 

"Tim SAR sudah berupaya melakukan evakuasi tapi selalu terkendala dengan angin kencang, hujan lebat dan petir. Beberapa kali petugas terjebak dalam aliran air di lereng-lereng kawah danau karena hujan lebat. Demi keamanan bersama, evakuasi dihentikan. Pihak keluarga korban dapat memaklumi," kata Soebiantoro

Diberitakan sebelumnya, mayat Arnoldus Yansen Sepe, ditemukan tim Balai TNK mengapung di salah satu permukaan air kawah danau yang berwarna hijau muda, Jumat (26/12/2008) lalu. Danau Kelimutu memiliki tiga warna, hijau muda, coklat tua, dan hijau lumut kehitaman.

Arnoldus, warga Desa Tenda, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende, itu meninggalkan rumah pada Rabu (10/12/2008). Sejak itu laki-laki tamatan SMA yang juga menderita epilepsi itu tidak kembali ke rumah. Ia baru ditemukan mayatnya mengapung di Danau Kelimutu, Jumat lalu. (rom) 

Agar Pilkada Tidak Sia-sia

Oleh Alfons Nedabang

TAHUN 2008 adalah tahun pemilu. Dalam kurun waktu 365 hari itu, begitu banyak aktivitas politik terjadi. Yang menonjol adalah pemilu kepala daerah (pilkada). Tercatat, ada 12 kali pilkada diselenggarakan.

Ke-12 pilkada dimaksud, yakni Pilkada Sikka, Pilkada Gubernur NTT, Nagekeo, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, Alor, Ende, Manggarai Timur, Belu, Timor Tengah Selatan (TTS), Kabupaten Kupang dan Rote Ndao.

Pilkada Sikka menghasilkan duet kepemimpinan Sosimus Mitang- Wera Damianus. Pilkada NTT dengan pemenangnya pasangan Frans Lebu Raya-Esthon L Foenay. Nagekeo dipimpin Yohanes Samping Aoh - Paulus Kadju. Pasangan Kornelis Kodi Mete- Yacob Malo Bulu terpilih memimpin Sumba Barat Daya. Umbu Sapi Pateduk dan Umbu Dondu meraih suara terbanyak sehingga memimpin Sumba Tengah. Di Alor, pasangan Simon Th Paly - Yusran Tahir, unggul atas kandidat lainnya. Ende dipimpin Don Bosco Wangge-Ahmad Mochdar.


Belu, Rote Ndao, Manggarai Timur dan Kabupaten Kupang memberi warna berbeda pilkada di NTT. Empat kabupaten ini melaksanakan pilkada dua putaran. Pasangan calon tidak terbatas diusung partai politik, tapi ada yang memberanikan diri lewat jalur independen (perseorangan). 

Belu hampir dapat dipastikan dipimpin Joachim Lopez - Lodovikus Taolin. Pasangan Leonard Haning-Marthen Luther Saek yang maju lewat jalur calon perseorangan, menyisihkan pasangan lainnya yang diusung partai, memimpin Rote Ndao. Manggarai Timur dan Kabupaten Kupang masih harus menunggu hasil putaran kedua pilkada yang digelar hari ini, Selasa, 30 Desember 2008.

Sama halnya dengan Manggarai Timur dan Kabupaten Kupang, pemenang pilkada di negeri cendana TTS juga belum bisa dipastikan karena masih harus menunggu proses penghitungan suara ulang pada 17 kecamatan dan pemungutan suara ulang di dua kecamatan, sebagaimana keputusan Mahkamah Konstitusi.

Setiap pilkada punya warna tersendiri. Suasana tegang, panas, dan mencekam (hampir) selalu ada. Aksi unjuk rasa, kerusuhan, bentrok antarpendukung calon, ulah perusakan rumah tinggal penduduk, dan amuk massa terhadap fasilitas umum nyaris menjadi pemandangan lazim, selama 167 hari waktu pelaksanaan pilkada setiap daerah. Meski tidak semua daerah yang melangsungkan hajat demokrasi itu ditingkahi aksi kekerasan. Pemandangan lain, tidak sedikit orang yang tersenyum simpul, tertawa girang, berpesta pora karena tujuannya tercapai.

Secara teoritis ada beberapa keuntungan dari pilkada langsung, antara lain yaitu mengembalikan kedaulatan kepada rakyat, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, secara psikologis pilkada langsung meningkatkan rasa harga diri dan otonomi masyarakat di daerah. Selain itu, pilkada langsung memberikan legitimasi yang kuat kepada kepala daerah dan wakilnya untuk memerintah.

Namun dari sisi ekonomi, pilkada langsung membutuhkan biaya yang sangat besar. Pelaksanaan 12 pilkada menghabiskan anggaran sekitar Rp 200 miliar lebih. Nilai ini setara dengan pendapatan asli daerah (PAD) Pemerintah Propinsi NTT tahun 2008 sebesar Rp 208 miliar lebih, atau beberapa kali lipat PAD kabupaten/kota. 

Pilkada Sikka menghabiskan Rp 7,9 miliar. Nagekeo Rp 4,6 miliar, Pilgub NTT Rp 100 miliar, Sumba Barat Daya Rp 3 miliar, Sumba Tengah Rp 3 miliar, Ende Rp 10,9 miliar, Alor Rp 7 miliar, TTS Rp 13,9 miliar, Rote Ndao Rp 6 miliar, Belu Rp 18 miliar, Manggarai Timur Rp 3,5 miliar, Kabupaten Kupang Rp 11,3 miliar. Total anggaran ini belum termasuk anggaran untuk panwas, aparat keamanan serta anggaran pilkada putaran. Juga belum termasuk dengan biaya yang dikeluarkan oleh sang calon- calon kandidat dalam pembiayaan kampanyenya.

Yang mengejutkan ternyata biaya-biaya yang telah diserap dalam penyelenggaraan pilkada dibebankan pada APBD. Otomatis, anggaran pilkada menyedot anggaran publik yang selama ini komposisinya lebih kecil dari belanja rutin. Akibatnya, banyak pos anggaran untuk kesejahteraan rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, dalam APBD dikurangi demi menopang biaya pilkada. Bbeban biaya yang sangat besar dan pemborosan waktu mengakibatkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dinomorduakan. 

Memang, untuk menumbuhkan demokrasi membutuhkan biaya yang besar. Tapi apa gunanya menghabiskan banyak anggaran sementara kesejahteraan masyarakat tidak terwujud? Pengembangan demokrasi lokal serta peningkatan partisipasi politik masyarakat yang menjadi tujuan lain dari pilkada, juga tidak terwujud.

Justru yang terjadi pasca pilkada, hampir di seluruh daerah terjadi 'keretakan' hubungan sosial antarmasyarakat. Disisi lain tingkat kemiskinan bertambah. Lapangan kerja terbatas sehingga pengangguran meningkat. Bencana gizi buruk dan rawan pangan senantiasa masih melilit rakyat. Kesulitan air bersih dan listrik menjadi persoalan rutin tahunan yang tidak pernah dapat diatasi.

Kita hanya berbangga bahwa dengan pilkada langsung, kembalinya kedaulatan rakyat. Dengan pilkada, secara psikologis meningkatkan rasa harga diri dan otonomi masyarakat. Selain itu, pilkada langsung memberikan legitimasi yang kuat kepada kepala daerah dan wakilnya untuk memerintah. Selebihnya, kita mengalami kondisi yang sama seperti sebelum-sebelumnya.

Sejauh ini kita belum melihat ada sikap kepala daerah membuat program yang populis. Program yang lebih pro rakyat. Sebaliknya, yang lebih tampak dilihat adalah kesibukan mengurus diri, keluarga, kelompok, golongan atau tim suksesnya. Janji- janji yang nyaring terdengar semasa kampanye juga semakin fals terdengar, bahkan ada yang sudah hilang ditelan waktu. Oleh karena itu, diharapkan kepala daerah/wakil kepala daerah mampu mengawasi dirinya sendiri dan orang-orang terdekatnya sehingga tidak terjebak pada penyalahgunaan kekuasaan.

Secara jujur harus diakui bahwa biaya pilkada yang tinggi tidak sebanding dengan pencapaian yang dilakukan kepala daerah/wakil kepala daerah. Terlalu banyak inkonsistensi, sehingga ada anomali politik yang terus berulang. 

Semestinya, dengan pengeluaran biaya yang besar selama pilkada, melecutkan semangat para kepala daerah terpilih untuk bertekad mewujudkan tujuan pilkada yaitu mensejahterahkan rakyat. Dana publik yang sudah tersedot untuk pelaksanaan pilkada mestinya dikembalikan. Lewat program-program yang mensejahtrakan rakyat. Tentu ini bukan sebuah beban berat, melainkan amanah yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan. 

Mandat langsung dari rakyat kepada kepala daerah dan wakil kepala untuk memerintah dan membangun daerah, hendaknya jangan disia-siakan. Program-program pembangunan yang realistis dan penyusunan APBD yang berbasis pada pemecahan permasalahan lokal dengan porsi belanja publik lebih banyak, hendaknya diperhatikan secara serius. Implementasinya juga harus diawasi secara baik.

Dengan segala kelebihan dan kekurangan pilkada, kita perlu mengapresiasi pemerintah dan semua pihak yang telah memungkinkan terselenggaranya pesta demokrasi lokal. Optimisme masyarakat harus dibangun dengan melihat pilkada langsung bukan sebagai mainan elite untuk bereksperimentasi demokrasi, dan juga bukan melihat pilkada sebagai strategi elite untuk mengalihkan perhatian publik dari krisis ekonomi kepada masalah-masalah politik.

Pada ranah ini, sangat diharapkan, kepala daerah/wakil kepala daerah benar-benar memosisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang sesungguhnya sehingga tak berani main-main. Rakyat tidak melarang untuk menjadi kaya, tetapi semata-mata itu buah dari perjuangan dan keringat dalam menghadirkan sosok rakyat pada setiap jengkal keputusan dan kebijakan yang diambil. Dengan begitu, rakyat merasa tidak sia-sia ikut melaksanakan pilkada. 

Sebentar lagi, tahun 2008 berakhir. Selanjutnya, kita masuk tahun 2009. Nah... momentum pergantian tahun ini hendaknya dijadikan moment untuk merefleksi. Apa yang sudah Anda perbuat untuk rakyat dan daerah pasca pilkada? Jika janji-janji kampanye belum ada yang diwujudkan maka segerah realisasikan. Mumpung rakyat belum menarik mandatnya.* 

Pemekaran Daerah, Apa Urgensinya?

Oleh Gerardus Manyella dan Fery Ndoen

PEMEKARAN wilayah atau pembentukan daerah otonomi baru (DOB) semakin marak sejak disahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Hingga Desember 2008 di Indonesia telah terbentuk 215 daerah otonom baru yang terdiri dari tujuh propinsi, 173 kabupaten dan 35 kota. Dengan demikian total daerah otonom mencapai 524 buah yang terdiri dari 33 propinsi, 398 kabupaten dan 93 kota. 

Roh UU Otonomi Daerah juga menggembara dan merasuk relung hati tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh politik di beberapa daerah di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Banyak orang menjadi penggagas pemekaran daerah. Beberapa daerah termotivasi memperjuangkan pemekarannya. 


Tak diingkari, semangat pemekaran adalah mendekatkan pelayanan, baik pemerintahan maupun pembangunan. Tapi realita menunjukkan pemekaran itu lebih difokuskan pada bagi-bagi kekuasaan di tingkat elite. Setiap lima tahun menjelang pergantian pemimpin selalu terjadi gontok-gontokan, bahkan muncul protes sana sini, karena ada yang mendapat porsi lebih dan ada yang mendapat porsi sedikit. Riak-riak politik pemerintahan dan pembangunan memang sering terjadi, apalagi pada daerah yang baru lahir. Elite politik yang merasa lebih berjasa dalam perjuangan pemekaran tidak rela jika rakyat punya pilihan lain. 

NTT terus melahirkan bayi baru yang tetap dikemas dalam bingkai otonomi daerah. Tanggal 4 Oktober 1999, merupakan hari bersejarah bagi seluruh rakyat Kabupaten Lembata. Pada hari itu raut wajah para pejuang otonomi daerah kabupaten 'pemburu ikan paus' berseri-seri. Para politisi yang telah lama menambatkan ambisi menduduki kekuasaan seperti bupati/wakil bupati, ketua DPRD dan lain-lain tertawa riang, legah karena telah mendapatkan jalan untuk melangkah ke puncak kekuasaan. Rakyat kecil di desa-desa diintervensi. Mereka dihadirkan dan dijadikan topeng memuluskan niat politik para politisi, bahwa rakyat kecil pun menyambut gembira terhadap pemekaran kabupaten yang selama ini dibelai, diasuh dengan penuh kasih sayang oleh sang ibu, Kabupaten Flores Timur. Rakyat Lembata dan elit politik tertawa riang karena sudah bisa mengatur rumah tangga sendiri. 

Aroma pemekaran Kabupaten Lembata harum semerbak menusuk hidung elite politik dari pulau terselatan di NTT, Rote Ndao. Lembata bisa kenapa kita tidak bisa? Tekad itu lahir dan tumbuh kembang dalam sanubari elite politik dari Pulau Rote Ndao. Dengan gigih para penggagas memperjuangkan menjadi daerah otonom sendiri. Mereka berjuang melepaskan diri dari induk semangnya Kabupaten Kupang. Tanggal 10 April 2002, merupakan tonggak sejarah perjalanan daerah otonom Rote Ndao. Pada hari itu pulau terselatan itu dibaptis menjadi daerah otonom atau kabupaten sendiri. 

Para elite politik di wilayah paling barat Pulau Flores tak mau kalah. Mereka tidak mau tinggal diam menyaksikan rakyat Lembata dan Rote Ndao mengibarkan bendera kemerdekaan kabupaten otonom. Dua daerah yang sebelumnya disebut daerah perwakilan, itu telah melenggang bebas menikmati otonomi daerah. Maka elite politik dan rakyat Manggarai Barat juga menyatukan tekad berjuang menjadi daerah otonomi sendiri. Tanggal 25 Februari 2003, Manggarai Barat lepas menjadi daerah otonom. 

Lebih unik lagi elite politik dan rakyat di Kabupaten Sumba Barat. Ketika sejumlah elit politik menggagas perjuangan menjadikan Sumba Tengah sebagai daerah onomi sendiri, berjuang melepaskan diri dari Kabupaten Sumba Barat, pemerintah kabupaten induk Sumba Barat mendorong sejumlah elit politik dan rakyat di wilayah bagian barat berjuang juga menjadi daerah otonomi sendiri. Persaingan perjuangan antara elit politik yang menggagas lahirnya Kabupaten Sumba Tengah dengan pemerintah yang memotori perjuangan membentuk daerah otonomi yang awalnya dinamai Sumba Jaya, semakin ketat. Tanggal 2 Januari 2007 menjadi hari bersejarah lahirnya 'anak kembar' Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya yang awalnya diusulkan dengan nama Sumba Jaya itu. 

Bersamaan dengan lahirnya 'dua anak kembar' dari rahim Kabupaten Sumba Barat, lahir juga seorang ' bayi yang diberi nama Nagekeo'. Pada hari yang sama perjuangan elite politik dan rakyat Nagekeo membuahkan hasil. Nagekeo disahkan menjadi daerah otonom dan terlepas dari Kabupaten Ngada. 

Dari Nagekeo, semangat pemekaran merambah Manggarai Timur. Daerah ini kemudian berdiri resmi, lepas dari kabupaten induk, Manggarai, 17 Juli 2007.
Tak hanya itu. UU No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan UU No 32 tahun 2004, memberi ruang kepada rakyat yang berdomisili di pulau terluar untuk menjadi daerah otonom sendiri. Elit politik dan rakyat Sabu Raijua tidak mau ketinggalan. Mereka pun gigih memperjuangkan daerah otonom dengan alasan Sabu Raijua merupakan pulau terluar di NTT. Tanggal 29 Oktober 2008, DPR RI menjatuhkan palu mengesahkan Sabu Raijua menjadi daerah otonom. 

Apakah pemekaran itu telah membawa perubahan, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan telah memenuhi harapan rakyat? Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007 yang dilakukan Bappenas dan UNDP (Juli 2008) menyarankan agar keputusan untuk memekarkan suatu daerah harus dilakukan dengan amat hati-hati. Pemekaran itu membutuhkan masa persiapan agar pemerintah pusat dan daerah induk dapat memfasilitasi dan menyiapkan hal-hal penting terkait pemekaran, mulai dari aparatur pemerintahan sampai infrastruktur penunjang bagi aparatur sendiri. Bila persiapan telah selesai bisa sampai 10 tahun, tergantung kondisi lapangan baru dilakukan evaluasi apakah pemekaran layak dilakukan.

Kenyataannya, pemerintah justru terkesan tidak bisa menghindar dari tuntutan pemekaran daerah. Padahal, studi Bappenas-UNDP telah menyebut perlunya ketegasan pemerintah pusat tentang hal ini. Pasalnya, secara umum, kondisi daerah otonom baru (DOB) masih tertinggal dari daerah induk (dan daerah kontrol), meski pemekaran telah berjalan lima tahun.

Berdasarkan evaluasi Depdagri, November 2006-Maret 2007, pemekaran juga cenderung menurunkan pendapatan asli daerah dan meningkatkan jumlah penduduk miskin. Dengan demikian, pemekaran daerah tidak otomatis menjamin pemerataan kesejahteraan masyarakat ataupun pelayanan publik. Studi evaluasi Bappenas-UNDP menemukan pemekaran mendorong pelepasan penduduk miskin dari daerah induk ke DOB sehingga DOB menjadi tempat pemusatan penduduk miskin. Hal ini membuat perbedaan kesejahteraan kian parah antara daerah induk dan DOB. Jika ada yang mengalami peningkatan kesejahteraan, itu tidak lain hanya segelintir elite lokal yang terkait. Elite pusat dan dalam beberapa kasus dapat juga dengan korporasi-korporasi bisnis multinasional. 

Ironis bila pemekaran di satu sisi tak memperbaiki kualitas pelayanan publik, tetapi justru menguatkan bibit-bibit konflik politik yang akan kian bernuansa lokal. Karena itu, tidak salah jika pembentukan daerah baru perlu dipertimbangkan matang. Bila perlu dihentikan agar tidak menjadi bumerang di kemudian hari. DOB di NTT betul-betul hanya menggantungkan harapan pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pendapat asli daerah (PAD), masih seok, bahkan sama sekali tidak dapat membiayai rumah tangga sendiri. Biaya aparatur pemerintah saja masih mengharapkan belas kasihan pemerintah pusat, apalagi biaya pembangunan. Pertanyaannya untuk apa dan apa urgensi pemekaran itu?*

Nilai Kemanusiaan Makin Luntur

Oleh Kanis Jehola

WANITA paruh baya itu tidur terlentang di atas tempat tidur. Ia meronta-ronta. Sesekali berteriak histeris. Di tangan wanita yang mengenakan baju motif bunga dengan warna dasar putih itu masih tertancap jarum infus. Kulit wajahnya terlihat tidak mulus lagi. Di hampir seluruh muka dan kulit tangannya terlihat bekas luka.

Wanita itu adalah korban kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Gambar wanita itu ditayangkan salah satu stasiun televisi pada hari Senin, 22 Desember 2008 siang. Tak diketahui pasti dari mana wanita itu berasal. Sebab saya tidak mengikuti berita itu dari awal. 


Cerita tentang gambar wanita yang ditayangkan di televisi itu merupakan salah satu potret kecil dari begitu banyak kasus yang dialami wanita. Banyak wanita di negeri ini telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ya, korban kekerasan suami terhadap istri. 

Maraknya kasus KDRT ini bukan hanya terjadi di Jawa. Juga bukan hanya terjadi di daerah lainnya di Indonesia. Di NTT, kasus KDRT juga sering terjadi. Bahkan yang terjadi di NTT akhir-akhir ini sangat tragis. Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri tidak hanya membuat istri luka-luka. Ada istri yang terpaksa harus meregang nyawa karena sadisnya perbuatan sang suami. Bahkan dalam dua bulan terakhir, sudah lima kasus kekerasan suami terhadap istri. Semuanya berujung pada korban jiwa, meninggal dunia. 

Kasus yang menimpa Inang Belawa (25) tampaknya belum sirna dari ingatan kita. Leher Inang Belawa digorok menggunakan sebilah pisau oleh suaminya Brigadir Satu (Briptu) Syafrudin Mahmud (27), salah seorang anggota Polsek Polen, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) di kamar kos mereka di Kelurahan Kota Baru, Kota SoE, tanggal 23 November 2008 lalu. 

Beruntung, ajal belum menjemputnya. Nyawa Inang berhasil diselamatkan setelah dilarikan ke RSU Kupang. Sementara Briptu Syafrudin Mahmud tewas setelah bunuh diri.
Sehari setelah kasus SoE, kasus yang sama juga terjadi di Kabupaten Sikka. Gaudensia Hermontina (43) tewas dibunuh suaminya, Finelius Fianus Finandy alias Janus (39), di Dusun Ili, Desa Kokowahor, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka. 

Setelah membunuh istrinya, Janus mencoba bunuh diri dengan merobek perutnya dengan parang yang digunakan membunuh istrinya. 

Empat hari setelah kasus itu terjadi, Sikka geger lagi. Kasus suami bunuh istri terjadi lagi. Adalah Leonardus Leo (35), warga Desa Pruda, Kecamatan Waiblama, yang menghabisi nyawa istri keduanya, Carolina Nona Fortun (34) di dapur mertua Leo, Bertania, di Desa Kloangpopot, Kecamatan Doreng. Setelah membacok kepala, tangan dan kaki istrinya hingga tewas, ayah dua orang anak itu kemudian menggorok lehernya sendiri dan membacok tangan dan kakinya.

Dari Sikka, peristiwa tragis itu bergeser ke Kabupaten Sumba Timur. Pada tanggal 21 Desember 2008, Veronika Ngeta Tali (31), warga Karawatu, Desa Palakahembi, Kecamatan Pandawai, ditemukan tewas bersimbah darah di rumahnya. Tewasnya Veronika Ngeta Tali juga diduga akibat dibunuh suaminya, Huru Rihi. Dan sehari setelahnya, atau tepat pada peringatan Hari Ibu, Ny. Relly Ida Fransina Klomang, S.Pd (23) juga tewas meregang nyawa setelah dipukul suaminya, Marten Mausing (25) di rumah mereka di Kelurahan Wetabua, Kecamatan Teluk Mutiara, Kabupaten Alor. 

Tak hanya kasus suami bunuh istri. Kasus kekerasan yang juga sering terjadi akhir-akhir ini adalah kasus ayah kandung menghamili anak kandung, atau kasus ayah tiri menghamili anak tiri. Kasus seperti itu sudah sering terjadi di NTT, dan di Kota Kupang khususnya. Masih ingat kasus yang dilakukan FI, warga Jalan Cak Mandala, Kota Kupang (NTT). Dalam rentang waktu 2002-2007, oknum pegawai negeri sipil (PNS) di salah satu kantor di Kota Kupang ini memperkosa tiga orang anak kandungnya secara berulang-ulang.

Kasus yang dilakukan FI merupakan salah satu dari sekian banyak kasus kekerasan seksual ayah kandung terhadap anak kandung, atau ayah tiri terhadap anak tiri. Dari berita yang dilansir media massa selama ini, ada begitu banyak kasus kekerasan yang terjadi di daerah ini.

***
KOMISI Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat pada tahun 2007, dari 25.000 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), 17.000 di antaranya dilakukan oleh suami terhadap istri. "Sedangkan lima ribunya, dari pihak luar, seperti dalam komunitas," kata Ketua Sub Komisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan, Azriana, di Bandarlampung, Sabtu (8/3/2008) lalu.

Azriana menjelaskan, jumlah kasus sebanyak itu dihimpun dari 215 lembaga yang menangani atau mendapati kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Diakuinya, kecenderungan kekerasan terhadap perempuan terus meningkat. Bahkan diprediksikan lebih banyak dari yang terdata, karena tidak semua perempuan berani melaporkannya. 

Kasus kekerasan terhadap perempuan ibarat puncak gunung es. Yang terdata saat ini adalah yang tampak ke permukaan. Kita harus jujur mengatakan bahwa masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang tersembunyi dan tidak diketahui oleh publik. Selain karena sulit dideteksi, juga karena tidak ada yang melaporkannya.

Dari laporan media massa selama ini, kasus kekerasan terhadap perempuan dipicu oleh berbagai sebab. Misalnya karena masalah ekonomi keluarga, cemburu, adanya pihak ketiga/selingkuh, salah paham, dan tersinggung. Tapi juga ada yang hanya karena masalah sepele. Seperti yang dialami Ny. Relly Ida Fransina Klomang. Ia harus meregang nyawa di tangan suaminya hanya karena ia tidak segera bangun dari tidur setelah dipanggil suaminya untuk masak. 

Pertanyaannya ialah, mengapa kasus kekerasan terhadap perempuan masih sering terjadi? Di mana nilai kemanusiaan yang kita junjung tinggi selama ini? Ataukah kasus tersebut pertanda bahwa nilai-nilai kemanusiaan kita sudah mulai luntur? 
Semua agama sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Inti dari nilai kemanusiaan itu, yakni setiap jiwa layak dihargai dan tidak boleh dihilangkan secara semena-mena. Upaya menghilangkan jiwa (membunuh) sesama merupakan salah satu bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu.
Karena itu, pergantian tahun ini merupakan momen penting dan berharga bagi kita untuk mulai memperbaiki diri. Kekerasan dalam keluarga haruslah dihentikan. Mari, mulai dari keluarga masing-masing kita ciptakan keluarga yang sehat dan nyaman. Tidak hanya bagi dua pihak, ayah dan ibu, tetapi juga bagi anak, dan lingkungan sekitar. 

Berbagai upaya harus dilakukan untuk melawan berbagai tindak kekerasan itu. Selain memperkuat iman dan mendekatkan diri kepada Tuhan, juga membangun kerja sama anggota keluarga dalam menyelesaikan masalah atau persoalan keluarga. Setiap ada masalah dalam keluarga atau rumah tangga harus dibicarakan secara baik-baik bersama anggota keluarga, atau setidaknya antara suami dan istri. Tumbuhkan rasa saling pengertian, saling menghargai di antara anggota keluarga. Dan, jika salah satunya (istri atau suami) lagi marah, maka satunya harus mengalah. Artinya, tak usah meladeni dengan marah. 

Memecahkan masalah keluarga harus selalu dibicarakan dengan kepala dingin. Tumbuhkan sikap saling memaafkan jika ada yang salah. Dengan sikap seperti itu, niscaya keharmonisan dalam rumah tangga selalu terjaga, dan kasus KDRT yang sering dialami perempuan tidak akan terjadi.*

Menata Wajah Kota dari Kelurahan

Oleh Paul Burin

JUDUL ini merupakan intisari dari pernyataan Lurah Lasiana, Laesa Latif, ketika membuka musyawarah rencana pembangunan kelurahan itu hari Sabtu 1 Maret tahun 2008. Intinya, wajah kota ini akan baik bila mulai ditata dari rumah tangga, RT/RW dan kelurahan. 

Rasanya pas dan pantas jika pernyataan ini kita angkat ke ruang publik untuk kita diskusikan bersama. Pernyataan itu pas ketika semua orang menyatakan bahwa perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di kota ini masih amburadul. Kota ini masih dinilai sebagai sebuah "kampung besar" meski perlahan mulai mengalami sejumlah kemajuan di tangan Walikota Drs. Daniel Adoe dan Wakil Walikota Kupang, Drs. Daniel Hurek. 


Frase "kampung besar" menggambarkan betapa pembangunan di kota ini mengabaikan aspek perencanaan. Rasanya selaras dengan pernyataan Asisten Bidang Pembangunan Setkot Kupang, Ir. Lay Djaranjoera, M.Si, saat pembahasan RAPBD Kota Kupang Tahun Anggaran 2009 dengan DPRD kota, pekan lalu. Ia mengatakan bahwa kota ini belum punya master plan. 

Pernyataan Lay ini merupakan otokritik terhadap kinerja pemerintahan sekaligus lecutan untuk segera merumuskan master plan kota. Apa yang disampaikan Asisten II ini bukan berarti selama ini tak ada master plan kota. Master plan sudah ada sejak masa kepemimpinan Messakh Amalo sebagai Walikota Administratif Kupang. 

Dasar-dasar pemetaan pembangunan di kota ini sudah ada. Buktinya, beberapa titik di kota ini seperti di Jalan Kartini, Jalan El Tari II sebagai daerah hijau. Itu artinya pemukiman di wilayah ini tak diperkenankan. Namun fakta menunjukkan, meski ada larangan, masyarakat tetap membangun. Kini titik-titik yang disebut sebagai daerah hijau itu telah menjadi pemukiman yang padat. 

Seiring dengan lajunya perkembangan kota, maka tak ada tawaran lain kecuali perlunya penataan ulang, perlu penyesuaian-penyesuaian. Dan, apa yang disampaikan Pak Lay ini patut ditanggapi secara positif. 

Rasanya melitanikan persoalan pembangunan di kota ini tak akan pernah habis. Begitu banyak masalah pembangunan yang dihadapi pemerintahan "Dandan" dan warga kota ini. Ketika suatu persoalan usai, muncul lagi persoalan lain. Karena itu siapa pun pemimpin tak akan menyelesaikan persoalan ini dalam waktu sekejap. Butuh proses, butuh diskusi, buruh komitmen dan konsistensi. 

Karena itu kita ingin memberikan stresing pada beberapa hal positif yang sudah dilakukan pemerintah kota ini. Kita gembira karena di awal kepemimpinan "Dua Dan" ini beberapa ide cemerlang sudah terlaksana, seperti Program Kupang Hijau dan Bersih (Kupang Green and Clean). 

Sejak akhir November hingga awal Desember 2008 ini, pemkot telah menyalurkan 57 ribu anakan mangga harum manis yang didatangkan dari Kabupaten Situbondo, Jawa Timur ke 49 kelurahan di kota ini. Kini tanaman dengan nilai proyek Rp 1.061.531.000,00 ini sudah dibudidayakan di halaman warga kota ini. 

Karena itu, tiga atau empat tahun ke depan kota ini akan berubah wajahnya. Ia bakal menjadi kota mangga, kota hijau, kota sejuk. Sebuah predikat yang lebih elegan ketimbang sebutan Kota Karang. Sebuah predikat baru yang lebih humanis, menunjukkan bahwa warga kota sudah mulai berubah. Kupang bukan yang dulu lagi. Karena itu dalam semangat membangun dari kelurahan ini kita tentu memberi apresiasi yang positif bagi pemerintahan ini.

Kita juga mencatat bahwa tim penggerak PKK Kota Kupang begitu getol dalam memajukan kaum ibu-ibu dan perempuan. Dalam catatan kita, Ketua Tim Penggerak PKK Kota Kupang, Ny. Welmintje Adoe-Benyamin dan Wakil Ketua Tim Penggerak PKK, Ny. Victorya Hurek telah membuat terobosan bagi kaum ibu. 
Berawal dari studi banding di Surabaya, Jawa Timur, Ny. Welmintje dan Ny. Victorya kemudian mengimplementasikan program ini di kota ini. Sampah-sampah yang selama ini tak berharga menjadi sangat berharga. Ia akhirnya bernilai ekonomis setelah "disentuh". 

Sejumlah pelatihan telah dilakukan bahkan PKK menerjunkan timnya ke semua kelurahan. Ini sebuah langkah positif yang patut dipertahankan. Mudah-mudahan ibu-ibu PKK terus mengobarkan spirit ini. Spirit pelayanan dalam hal memberi keterampilan tak hanya "sampah bekas" menjadi bermanfaat namun aspek-aspek lain yang belum tersentuh. 

Ada baiknya ibu-ibu PKK memberikan pelatihan kepada kaum ibu, bila perlu kaum bapak tentang cara mengolah makanan yang sehat. Sungguh dan kita sangat yakin sampai saat ini masih banyak warga yang belum memahami secara benar mengolah makanan yang sehat dan bergizi, terutama bagi balita dan anak-anak. Pikiran ini penting karena ke depan kita ingin membentuk generasi yang cerdas. 

Kita ingin membentuk generasi yang memiliki pikiran dan gagasan untuk mengubah hidupnya. Investasi ini rasanya tak keliru. 

Daniel Taolin, S.E, M.Si, Caleg DPR RI dari Partai Bintang Reformasi pada Diskusi Terbatas Pos Kupang tentang Kesehatan Ibu dan Anak di Redaksi Pos Kupang belum lama ini, mengusulkan agar perlu ada kalkulasi, berapa biaya yang dibutuhkan untuk menginvestasi "pikiran", terutama masa golden age seorang anak yang menurut para ahli dalam dua tahun pertama. Di masa-masa ini, anak perlu diberi perhatian dalam hal gizi dan kandungan protein dalam membantuk sistem kerja otak secara maksimal. Pertanyaan ini tentu sangat mengena pada inti persoalan jika kita menginginkan perubahan sebuah generasi.

Karena itu tak salah jika pemkot bersama PKK mengalokasikan dana untuk itu. Tentu tak semua anak mendapat alokasi dana. Namun perlu kita uji coba terutama bagi orang-orang miskin. Tak salah dan tak rugi. Investasi masa depan sesungguhnya sebuah taruhan tentang harkat dan martabat kita ke depan. 

Kita tentu tak melupakan peran kader-kader posyandu yang sudah banyak bekerja dan mengabdikan sebagian hidupnya untuk sosialisasi ini. Hanya mungkin nilai dananya masih kecil. Dan, faktanya memang demikian. 
Beberapa catatan lain seperti terbentuknya PDAM Kota Kupang, bantuan dana dari Negeri Belanda untuk pengadaan sumur bor, sanitasi dan listrik serta reklamasi pantai adalah hal penting dan urgen yang patut kita realisasikan pada tahun 2009.

Tentu masalah lain, seperti sampah, drainase dan lalu lintas yang amburadul jangan dilupakan. Memang, secara filosofis, memulai sesuatu dari bawah akan memberi kesan lebih kuat, lebih elegan dan lebih mengakar. Sama dengan membangun dari kelurahan atau dari desa. Di sanalah hakikat sebuah kepemimpinan. * 

Jagung, Masa Depan NTT

Oleh Frans Krowin

LAHAN pertanian itu terlihat menghijau. Tanaman pertanian tumbuh subur di atasnya. Ada lombok, kacang hijau, kacang panjang, tomat dan aneka sayur lainnya. Tapi yang dominan adalah jagung. Tanaman itu tumbuh subur. Padahal ketika itu NTT sedang berada pada puncak musim kemarau.

Itu kenyataan yang terlihat di salah satu sisi Oesao, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, medio Oktober 2008 lalu. Pemandangan itu terdapat di belakang kediaman Pendeta Daibel Tlonaen, S.Th. Tlonaen memiliki beberapa kelompok tani binaan yang sangat giat membudidayakan tanaman jagung.


Di tempat itu, tanaman jagung terlihat sangat subur bak musim hujan. Sementara di sekeliling lahan itu, aneka rerumputan justeru mati kekeringan karena terpanggang sinar matahari. Ada beberapa ekor sapi yang sedang melahap batang-batang jagung yang disuguhkan seorang petani. Sedangkan ternak sapi milik warga lainnya merumput bebas di padang penggembalaan nan tandus itu.

Cuplikan suasana ini adalah bagian kecil dari kondisi alam daerah ini. Bahwa alam yang tandus itu jika dijamah dengan program yang pro alam, maka alam juga akan memberikan hasil melimpah. Tapi kalau tidak diolah, dibiarkan terlantar, maka alam yang tandus itu tentu akan semakin tandus. Dan, masyarakat pun mendapatkan imbasnya.

Inilah kondisi obyektif alam NTT. Alamnya memang gersang, tapi jika diolah akan memberikan hasil yang maksimal. Mungkin faktor itu jualah yang melecut Pemerintah Propinsi (Pemprop) NTT menjadikan jagung sebagai salah satu komoditi unggulan daerah ini.

Namun, lepas dari motivasi itu, adalah tepat jika pemerintah daerah ini mulai sekarang menggali potensi tersebut. Ini penting karena ada banyak aspek yang mendukung hal tersebut. Pertama, seluruh petani di NTT sudah secara turun-temurun menjadikan jagung sebagai sandaran hidup keluarga. Kalau itu disentuh lagi dengan program pemerintah, maka hasil yang diperoleh pun tentu lebih optimal lagi.

Kedua, topografi daerah ini juga sangat cocok untuk jagung. Jadi jika jagung itu dikembangkan secara terprogram dan terarah oleh pemerintah, maka masyarakat juga tergenjot untuk sungguh-sungguh membudidayakan tanaman itu. Hasil yang didapat pun pasti akan lebih banyak. 

Selain produktivitas jagung meningkat, ketahanan pangan masyarakat juga tentu lebih baik. Konsekuensinya, keluhan masyarakat soal kekurangan pangan setidaknya dapat diminimalisir. Kasus gizi buruk dan busung lapar pun perlahan- lahan dapat diatasi. 

Pada diskusi bertemakan Membangun Lokaekonomi NTT di Redaksi Pos Kupang, 18 Juni 2008 lalu, salah seorang pembicara, Dr. Fred Benu, menyebutkan NTT memiliki banyak potensi. Ada jambu mete, ikan, rumput laut, jagung dan padi, serta potensi alam lainnya. Namun potensi-potensi itu belum memberikan hasil maksimal.

NTT, kata Benu, adalah daerah agraris dengan lahan pertanian yang amat sangat luas. Areal tanam untuk jagung, misalnya, jauh lebih luas dari lahan untuk tanaman lainnya. Bahkan dibanding Propinsi Gorontalo yang kini terkenal sebagai sentra jagung di Indonesia Timur, NTT jauh lebih potensial. "Kondisi alam Gorontalo tak jauh beda dengan NTT. Iklimnya panas dan kering. Tapi di sana, pemerintahnya bekerja fokus. Pemerintah punya komitmen sangat kuat untuk mengembangkan jagung sebagai komoditi unggulan. Maka jadinya hanya seketika Gorontalo menjadi terkenal. Ekonomi masyarakatnya juga membaik," ujar Benu memberi contoh.

Lantas NTT? Kita tak bisa memungkiri kenyataan bahwa lahan jagungnya luas, kondisi alam pun memungkinkan untuk pengembangannya. Namun fakta justeru memperlihat keadaan yang kontraproduktif. Lahan yang ada itu belum digarap maksimal oleh masyarakat. Pemerintah juga belum mengoptimalkan potensi tersebut. 

Tanaman jagung sepertinya tidak mendapat tempat di hati pemerintah. Padahal tanaman itu menjadi sandaran utama ekonomi masyarakat yang umumnya berdomisili di desa-desa. Ini terjadi karena pemerintah dan masyarakat belum berjalan bersama-sama. 

Masyarakat selalu dibiarkan bekerja sendiri, menanam jagung hanya di saat musim hujan. Sementara intervensi pemerintah juga sangat terbatas kalau tidak disebut sangat minim. Optimalisasi luas lahan dengan sentuhan teknologi tepat guna juga hampir tidak ada. Akibatnya, budidaya jagung terbatas, panenan pun terbatas. Ujung-ujungnya, ketersediaan jagung sebagai salah satu stok pangan juga terbatas. Karena itu tatkala stok menipis, masyarakat pun serta merta mengeluhkan krisis pangan.

Dengan demikian, yang perlu dilakukan ke depan adalah pemerintah harus mempunyai program unggulan yang jelas dan terarah. Program primadona tersebut harus diselaraskan dengan alam NTT yang agraris ini. Bila program dibuat secara matang, diaplikasikan juga secara optimal, maka hasil yang diperoleh pun akan mudah diprediksi.

Data yang diperoleh Pos Kupang dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura NTT menyebutkan, luas tanaman jagung di NTT 244.768 hektar. Luas panen 232.529 hektar dengan produksi 588.152 ton. Itu berarti, setiap satu hektar tanaman jagung, hanya menghasilkan dua ton lebih. Jika produksi jagung hanya seperti itu, sementara tingkat konsumsi relatif tinggi, maka wajar kalau masyarakat mudah sekali mengeluhkan krisis pangan.

Berangkat dari fenomena ini, maka sangat tepat jika kita sepakat dengan Gubernur Drs. Frans Lebu Raya dan Wakil Gubernur, Ir. Esthon Foenay, M.Si agar tahun-tahun mendatang mengonsentrasikan perhatian pada pengembangan jagung tanpa memalingkan program dari potensi unggulan lainnya.
Jagung perlu mendapat tempat strategis, karena selain berhubungan langsung dengan penguatan ekonomi rakyat, usia produksi jagung itu pun pendek. Hanya tiga bulan saja, tanaman itu sudah bisa dipanen. Jadi, kalau jagung dibudidayakan sepanjang tahun alias tanpa kenal musim, maka hasil yang diperoleh pun pasti lebih baik pula. Pendapatan petani pun otomatis bertambah.

Karena itu, mulai saat ini pemerintah hendaknya menjadikan jagung sebagai tanaman masa depan NTT. Pertimbangannya, selain tanaman itu telah menyatu dengan masyarakat, budidayanya juga tidak sulit. Karena itu, ketika pemerintah memberikan perhatian lebih, masyarakat juga pasti tergerak untuk usaha itu. Tinggal sekarang bagaimana pemerintah menyediakan fasilitas pendukung lainnya.

Kita berharap rencana pemerintah menjadikan jagung sebagai salah satu komoditi unggulan NTT itu tidak sekadar lip service dari duet kedua pemimpin ini. Pemerintah harus benar-benar mewujudkannya, sehingga harapan masyarakat yang menantikan wujud dari Program 'Anggur Merah' itu bisa terjawab. (*)

Sehati Sesuara Bangun Olahraga NTT

Oleh Sipri Seko

TANTANGAN terbesar bagi dunia olahraga NTT di awal tahun 2008 adalah persiapan menghadapi PON XVII 2008 di Kalimantan Timur. Prestasi delapan medali emas, empat perak dan empat perunggu yang direbut pada PON XVI 2004 lalu di Sumatera Selatan menjadi beban yang harus dihadapi.

Tak heran kalau kemudian para pelatih seperti George Hadjoh (kempo), Yusuf Naragale (tinju) dan Agus Petrusz (taekwondo) menginginkan agar pemusatan latihan dipercepat. Namun, ketiadaan dana di mana pada saat yang bersamaan NTT juga sedang melakukan pemilihan kepala daerah, membuat KONI Propinsi NTT tidak bisa berbuat banyak. Persiapan bermodalkan semangat, disiplin dan tekad untuk mengharumkan nama NTT di pentas olahraga nasional diakhiri dengan merebut tiga medali emas, empat perak dan enam perunggu.


Kalau ukurannya adalah prestasi PON XVI 2004, maka prestasi PON XVII 2008 ini jelas menurun. Tapi kalau ukurannya adalah persiapan dan kualifikasi atlet peserta, prestasi kali ini tetap disebut cukup membanggakan. Alasannya, lima perebut medali NTT pada PON XVI 2004, Oliva Sadi, Ferry Subnafeu, Kamilus Lero, Mansyur Yunus dan Yules Pulu, pindah ke Kalimantan Timur. Dua lainnya, Hermensen Ballo dan Morits Saubaki tidak ikut. Ketidakhadiran atlet-atlet unggulan ini tidak membuat nyali anak-anak NTT ciut. Dengan semangat dan disiplin tinggi, atlet-atlet NTT yang rata-rata berusia di bawah 23 tahun bisa membawa pulang prestasi.


Prestasi di PON XVII diikuti atlet-atlet NTT yang berlaga di Pekan Olahraga Cacat Nasional (Porcanas) XIII 2008. NTT meraup tiga medali emas, satu perak dan satu perunggu. Simplisius Padji Abe tampil spektakuler dengan merebut tiga medali emas. Medali perak oleh Maria Kolloh dan perunggu direbut Tanty Yosefa.

Dari perjalanan olahraga NTT di tahun 2008, ada beberapa catatan prestasi tingkat nasional dan dunia yang berhasil diraih. Dari cabang tinju, NTT tampil spektakuler dengan merebut empat medali emas dalam Kejurnas STE di Denpasar-Bali lewat Yanto Fallo, Deni Hitarihun, Atris Neolaka dan Abniel Daniel. Selain itu, atlet-atlet PPLP NTT juga meraih hasil membanggakan di kejurnas antar-PPLPdi Manado. Dan, yang terakhir adalah dikirimnya Atris Neolaka dan Robinson Djo ke kejuaraan dunia di China.

Dari cabang atletik, Afriana Paijo merebut dua medali perak pada kejuaraan atletik pelajar Asia Tenggara (Asean School Championship) ke-23 di Danang, Vietnam. Selain itu, Mery Paidjo menempati peringkat kedua dalam Hongkong Marathon 2008 bersama Niko Silla. Dari cabang Taekwondo, Dudy merebut medali emas dan Jasson Hornay medali perungu di kejuaraan dunia Korea Open 2008. 

Dari kempo, Kabupaten Kupang mencatat hasil spektakuler dengan menjadi juara umum kejurnas kempo antar-kota di Jakarta bulan November lalu. Binaraga juga tidak ketinggalan menorehkan prestasinya, ketika atlet Belu, James Abanit merebut medali perunggu dalam kejuaraan Ade Rai Siswa Raga dan Body Fitnes 2008 di Balai Sarbini, Jakarta, Agustus lalu.
Federasi Karate Tradisional Indonesia (FKTI) NTT juga meraih juara umum Menpora Cup II 2008 di Wonogiri-Jawa Tengah. FKTI NTT merebut 16 medali emas, tujuh perak dan tujuh perunggu. Karateka Nagekeo menjadi pengumpul medali terbanyak, yakni 13 emas yang direbut Yoktan Taneo (4 emas), Sovia Taneo (5 emas), Marlin Safrudin (2 emas, 1 perak dan 1 perunggu) dan Leni Djafra (2 emas, 1 perak, 1 perunggu). 

Catatan prestasi-prestasi ini belum termasuk kejuaraan antar- pelajar, olahraga usia dini, porseni SMP, Popnas, olimpiade olahraga siswa dan lainnya. 

Dari sisi sumber daya manusia, di tahun 2008, NTT mengalami kemajuan. Kalau pada PON lalu, paling tidak hanya empat orang NTT yang menjadi wasit, kali ini di PON XVII 2008, ada sebelas putra NTT yang menjadi wasit. David Radja (tinju) dan Ferdy Amatae (pencaksilat) malah menjadi ketua pertandingan di cabangnya. Ferdy Amatae, beberapa kali juga dikirim memimpin pertandingan di luar negeri. Ada juga wasit asal Ende, Hermino Mau yang menjadi wasit renang pada Asian Beach Game 2008 di Bali. Selain itu, pelatih atletik NTT, Frans Sales dan Soleman Natonis juga dipilih mendampingi atlet Indonesia ke luar negeri.

***
Lalu, apakah geliat olahraga NTT di tahun 2008 ini berjalan mulus? "Kalau saja kita sedikit prihatin dengan kondisi daerah dan berlatih atau mengurus olahraga tanpa pamrih, saya yakin NTT akan menjadi lumbung atlet di Indonesia." Itu komentar dari mantan atlet tinju, Hermensen Bertolens Ballo, S.H.


Dari sisi pencapaian prestasi, dari semua keikutsertaan atlet-atlet NTT di kejuaraan tingkat nasional tidak semuanya berhasil. Di PON XVII, tinju yang ditargetkan meraih lebih dari dua medali emas, ternyata hanya membawa pulang satu. Pencaksilat yang dikoar-koarkan akan membawa pulang emas, ternyata gagal total, termasuk taekwondo yang meloloskan delapan atlet, namun hanya bisa merebut dua perunggu. Dari kejuaraan lainnya, seperti Popnas, kejurnas atletik, kejurnas atletik antar- PPLP dan lainnya, hampir semuanya belum memberikan hasil yang menggembirakan.

Lalu, apa faktor atau penyebab kegagalan itu? Selain dana, disiplin, kemauan, initeligensi atlet/pelatih dan kemampuan menyerap teknologi masih kurang. Ada atlet atau cabang yang latihannya keras, disiplin, terjadwal dan terprogram dengan baik, namun mereka masih kurang dalam pemahaman teknologi baik digital maupun forensik. Mereka hanya berlatih, berlatih dan terus berlatih tapi tidak pernah memperhitungkan kapan puncak performanya. Akibatnya, terkadang mereka habis-habisan hanya untuk latihan sehingga tak mampu berbuat banyak saat pertandingan.

Ada juga yang yang menguasai teknologi, namun kualitas, pengalaman dan inteleginsinya masih jauh di bawah. Ada yang memiliki dana yang cukup, namun tidak mempunyai program latihan sehingga terkesan hanya untuk menghabiskan dana. Namun, ada pula yang karena kemauan atau fanatisme untuk berprestasi masih sangat kurang.

Satu lagi masalah klasik yang terjadi dalam pembinaan olahraga di NTT adalah manajemen organisasi. Banyak pengurus hanya sekadar nebeng nama dalam struktur, namun tak tahu harus berbuat apa. Ada juga yang masih memanfaatkan olahraga untuk tunggangan politis. Yang memprihatinkan adalah mereka yang menjadikan olahraga di NTT sebagai tempat mencari nafkah sehingga tidak total ketika dana tidak ada.

Lalu, apa yang harus dilakukan di tahun 2009? Perhelatan politik masih akan memanas. Pemilihan anggota legislatif dan presiden akan menyita energi. Namun harus diingat bahwa akan ada pekan olahraga (POR) daratan. Daratan Timor akan digelar di Belu, Flores-Lembata di Sikka dan Sumba, Alor, Rote di Rote atau Alor. POR Daratan harus menjadi awal prestasi NTT. Atlet potensial harus dijaring sebanyak mungkin. Pembinaan harus lebih fokus. Cabang-cabang super prioritas harus lebih dimaksimalkan.

Dan, yang terpenting adalah 'menekan' pemerintah agar alokasi dana untuk olahraga dinaikkan. UU Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional sudah mewajibkan adanya alokasi dana untuk olahraga. Untuk yang satu ini, tampaknya kita tak perlu khawatir. Drs. Frans Lebu Raya dan Esthon Foenay adalah duet yang sangat paham tentang pembinaan olahraga di NTT. Bukankah kita harus 'Sehati Sesuara Membangun NTT Baru? Salam Olahraga! *

Om Pe'u

Di kamar kecil itu
Mereka menikam dengan girang
Tepat di kumis tebal Om Pe'u...


RAMAH, kebapaan, pintar bergaul, suka menolong dan peduli terhadap kepentingan warga di lingkungan. Itulah ciri khas Om Pe'u. Sebagai warga salah satu kompleks perumahan di Kota Kupang, Om Pe'u mengenal dengan baik hampir semua orang di lingkungannya. Om Pe'u dikenal dan terkenal karena keutamaan tersebut.

Tingkat pendidikan Om Pe'u tidaklah tinggi. Bukan doktor, bukan calon profesor apalagi profesor. Dia cuma lulusan diploma tahun 1980-an. Tapi pengetahuan Om Pe'u tidak buruk. Wawasannya luas dan lapang. Dia paham dan mengerti tentang bagaimana seharusnya hidup bermasyarakat. Bagaimana membangun dialog, menjalin hubungan dengan semua orang. 


Om Pe'u adalah tipe ideal warga perumahan, hunian orang-orang dengan latar belakang beragam. Beda suku, ras, agama, golongan, budaya. Om Pe'u yang kulitnya hitam manis dan rambut keriting itu adalah tokoh pemersatu. Jika terjadi salah paham atau masalah di lingkungan, Om Pe'u selalu terdepan mendorong penyelesaian dengan damai.

Sejatinya Om Pe'u aktivis gereja. Tapi Om Pe'u adalah tokoh yang gaul abis. Dia bersahabat dengan pemuda-pemudi yang tergabung dalam Karang Taruna, Muda-mudi Katolik, Pemuda Kristen serta Remaja Mesjid. Dia menjadi tempat untuk curhat. Meminta pendapat atau pandangan mengatasi suatu perkara. 

Kaum ibu dan remaja putri pun mengagumi Om Pe'u. Bukan karena kumis hitamnya yang tebal dan terawat. Kagum karena Om Pe'u, ayah dua anak itu sungguh seorang tokoh panutan. 

Ketokohan Om Pe'u menarik perhatian pimpinan Partai Golkar. Setahun menjelang Pemilu 2004, Om Pe'u direkrut menjadi kader Partai Beringin dengan janji mengusung Om Pe'u sebagai calon anggota legislatif (caleg) dalam Pemilu 2004. Golkar memenuhi janjinya. Om Pe'u masuk daftar caleg Partai Golkar untuk DPRD Kota Kupang dalam Pemilu 2004.

Kegembiraan merebak di perumahan itu ketika tahu Om Pe'u jadi caleg. "Om Pe'u harus gol jadi DPR. Ayo, ramai-ramai kita pilih Om Pe'u." Demikian komentar warga perumahan. Om Pe'u tidak pernah kampanye. Tidak mencetak stiker, kartu nama atau kalender. Tidak pasang poster foto seukuran pintu atau jendela rumah seperti sekarang marak di berbagai sudut kota.

Semua orang bekerja sukarela demi Om Pe'u. Kampanye dari mulut ke mulut. Namanya "dijual" kepada kenalan, keluarga, orang-orang di daerah pemilihan Om Pe'u. Cara itu lebih jitu. Juga sesuai dengan keinginan Om Pe'u yang tidak mau mengobral janji atau "mencari muka" secara berlebihan. 

Tanggal 5 April 2004, warga perumahan ramai-ramai ke TPS. Mereka bangga melihat foto diri Om Pe'u ada di sana. Di dalam kamar kecil itu, tanpa ragu mereka mengambil paku lalu menikam dengan girang. Tepat di kumis tebal Om Pe'u! Aksi mereka tidak berhenti di situ. Pasca pemilu 5 April, mereka terus mencari tahu suara yang diperoleh Om Pe'u. Ada yang khusus memantau di KPU, yang lain mengawal di Golkar. Luar biasa. Perolehan suara Om Pe'u memenuhi syarat terpilih menjadi anggota legislatif. Bahkan ada suara sisa dalam jumlah ribuan.

Kabar gembira itu cepat beredar di kompleks perumahan. Semua senang dan riang. Senang cuma sejekap. Amat lekas menguap menjadi duka. Ketika pengumuman tiba, Om Pe'u tidak masuk daftar. Om Pe'u tidak terpilih. Sebagai kader baru Golkar, Om Pe'u dapat nomor sepatu. Perolehan suaranya yang melimpah adalah rezeki tanpa keringat bagi caleg dengan nomor muda. Dia "dikalahkan" oleh nomor urut.

***

OM Pe'u mundur dari partai? "Kalau mundur berarti saya hanya mengejar kursi DPR. Itu bukan tipe Om Pe'u," katanya sambil terbahak. Om Pe'u masih setia bersama 'Pohon Beringin' yang rimbun sampai hari ini. Dan, dia belum kapok jadi caleg meskipun untuk Pemilu 2009 nomor urutnya cuma naik setingkat dibanding 2004. Om Pe'u malu mengemis nomor muda. Dia loyal terhadap keputusan pimpinan partai. 

Tanggal 23 Desember 2008 malam, Om Pe'u menelepon beta. Sedikit mengejutkan karena lama tak saling kontak. Di seberang sana, nada suara Om Pe'u terdengar riang. Dia baru saja menonton siaran berita ulangan di televisi tentang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Keputusan itu menegaskan, caleg terpilih pada Pemilu 2009 tidak berdasarkan nomor urut, tetapi harus meraih suara terbanyak. Artinya, nomor urut tak lagi penting. Nomor urut sekadar alat menghitung, bukan penentu si A lebih berhak daripada si B untuk duduk di parlemen. "Ini kado Natal dan Tahun Baru. Kado paling indah bagi caleg," kata Om Pe'u. 

Bagi beta, keputusan MK adalah kemenangan bagi demokrasi di negeri ini. Demokrasi yang menghargai suara rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Sudah terlalu lama kita pilih kucing dalam karung. Kucing yang cerdik mencuri, lihai menipu. Saatnya kita memilih kucing yang kita kenal baik kesetiaan dan komitmennya. Sudah waktunya tuan dan puan memilih orang seperti Om Pe'u dan Pe'u-Pe'u yang lain. (dionbata@poskupang.co.id)

Don Bosco Wangge: Tidak Ada Lawan Politik

DRS Don Bosco Wangge M.Si dan Drs. Achmad Mochdar baru saja terpilih menjadi Bupati Ende periode 2009-2014. Keduanya yang dikenal dengan Paket Do'A terpilih dengan suara mayoritas pada pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Ende yang perdana pada 13 Oktober 2008 lalu. Namun demikian keduanya tidak langsung memimpin Kabupaten Ende karena sesuai regulasi yang berlaku kedua baru dapat memimpin Kabupaten Ende pada tahun 2009 mendatang tepatnya pada Bulan April. Kepercayaan masyarakat Kabupaten Ende terhadap paket tersebut tentunya sangat beralasan. 

Bagaimana keduanya dapat meyakinkan masyarakat Ende untuk menaruh pilihan kepada paket Do'A? Hal itu tentunya lewat visi dan misi yang mereka tawarkan. Bagaimana visi dan misi paket ini? Apa yang akan mereka lakukan nanti ketika secara resmi dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati Ende? Pos Kupang mewancarai Drs. Don Bosco Wangge, M.Si di kediamannya pekan lalu di rumahnya, Jalan Melati, Ende.

Bagaimana kesibukan Anda saat ini sambil menunggu pelantikan sebagai Bupati Ende?

Kesibukan saya adalah mengurus tanaman di halaman rumah, melayani teman-teman guru yang membutuhkan tanda tangan saya, khususnya DP3 tahun 2006 dan 2007 serta memberikan kuliah di STPM Sta. Ursula Ende.

Anda baru saja terpilih menjadi Bupati Ende. Bagaimana  memaknai kepercayaan tersebut?

Kepercayaan rakyat sebagai amanah dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugas saya ke depan tidak boleh menyia-nyiakan kepercayaan tersebut dengan mengedepankan kepentingan masyarakat, bukan kepentingan pribadi maupun keluarga saya.

Apakah pernah bercita-cita menjadi Bupati Ende?

Saya tidak pernah bercita-cita menjadi Bupati Ende, apalagi hanya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Namun prinsip saya dalam melaksanakan tugas harus memberikan yang terbaik sesuai dengan kepercayaan tugas yang diberikan atasan saya.

Bagaimana dengan lawan-lawan politik Anda selama pilkada?

Saya tidak merasa ada lawan politik, tapi hanya sebagai sparing. Sebab tanpa sparing, proses pilkada tidak berjalan dan saya tidak mungkin bisa terpilih sebagai bupati. Sekali lagi, tidak ada lawan politik.

Apa yang akan Anda lakukan pertama kali setelah terpilih menjadi Bupati Ende? 

Yang pertama saya lakukan secara interen adalah penataan birokrasi. Secara eksteren meminta masukan tambahan dari paket-paket yang ikut pilkada, tokoh masyarakat serta tokoh agama guna mendapatkan cara terbaik membangun Kabupaten Ende.

Menurut Anda, apa yang paling dibutuhkan masyarakat saat ini?

Yang sangat dibutuhkan masyarakat saat ini adalah perubahan ke arah yang lebih baik dan keluar dari kemiskinan.

Apakah sudah punya bayangan dengan susunan "kabinet" saat menjadi Bupati Ende nanti? Apa penempatan para kepala dinas sesuai dengan kompetensi ataukah ada upaya balas jasa?

Saya tidak gunakan istilah kabinet, tetapi tim kerja. Dan itu sudah ada. Penempatan para kepala dinas maupun kepala badan harus didasarkan pada kompetensi yang bersangkutan serta regulasi yang ada.

Bagaimana Anda menjabarkan visi dan misi Anda sebagai Bupati Ende nanti? 

Visinya adalah masyarakat Ende Lio Sare Pawe melalui akselerasi pembangunan partisipatif yang berbasiskan iman, ilmu, sehat dan kultur.

Kalau misi?

Untuk membangun visi tersebut, maka misi yang harus diwujudkan adalah meningkatkan kualitas keimanan, meningkatkan akses dan kualitas pendidikan rakyat, pelayanan kesehatan masyarakat, perekonomian rakyat, stabilitas kehidupan rakyat, menumbuhkembangkan budaya lokal, meningkatkan penegakan hukum dan penataan birokrasi serta meningkatkan pembangunan infrastruktur pedesaan.

Sedangkan tujuan?

Meningkatkan ketakwaan dan toleransi hidup antar umat beragama, meningkatkan kesempatan belajar yang lebih luas bagi masyarakat dengan pendidikan murah dan bermutu, derajat kesehatan dan usia harapan hidup masyarakat, meningkatkan taraf hidup masyarakat, kehidupan masyarakat yang tertib dan dinamis, meningkatkan tata kehidupan yang berbasiskan nilai-nilai budaya lokal, meningkatkan tertib hukum dan mutu pelayanan serta meningkatkan ketersediaan inftrastruktur pedesaan yang memadai.

Bagaimana dengan kebijakan pembangunan?

Kebijakan pembangunan kami jabarkan dalam 15 pokok-pokok kebijakan pembangunan yakni bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, pemerintah, hukum, lingkungan, tata ruang, ketenagakerjaan, budaya, gender, pemuda dan olahraga, pertanian, pariwisata, keagamaan dan infrastruktur.

Apa yang akan Anda lakukan dengan mereka yang telah berperan menghantar Anda menjadi Bupati Ende?

Tentunya saya berterima kasih kepada mereka. Namun mereka akan diperlakukan sama dengan masyarakat lainnya.

Apa kiat Anda agar tetap menjaga Kabupaten Ende sebagai Lio Pawe Sare?

Ada tiga hal yang saya ingin tekankan. Pertama, menghormati kedudukan dan peran masing-masing tokoh pemerintah, adat dan agama sesuai peran dan fungsi masing-masing yang kalau dalam bahasa adat Lio dikatakan Roa' Loka Noo Keli-Keli, Kura Fangga Noo Lowo. Kedua, membina kerukunan hidup beragama, yang ketiga, dalam menyelesaikan konflik dalam masyarakat lebih mengedepankan musyawarah mufakat dan budaya lokal.

Imbauan Anda kepada masyarakat Kabupaten Ende?

Agar semua warga masyarakat Kabupaten Ende menjaga keamanan dan ketertiban, membina kerukunan dan mari semua bergandengan tangan membangun Lio Ende Wee Pawe Sare. (romualdus pius)


Pencinta Tanaman

KETIKA memasuki pekarangan rumah Drs. Don Bosco Wangge M.Si di Jalan Melati, Kelurahan Paupire, Ende, sudah tampak puluhan tanaman hias memenuhi pekarangan rumah tersebut. Sejumlah pohon mangga yang mengitari rumah menambah asri halaman rumah Bupati Ende terpilih ini. Bahkan di atas atap rumah si empunya rumah tidak ketinggalan menaman sejumlah tanaman hias. 

Suasana tersebut memberikan kesan damai bagi siapa saja yang datang bertamu ke rumah tersebut. Di antara tanaman tersebut tidak lupa Don -- begitu dia disapa -- membangun sebuah kolam ikan. Terdapat sejumlah ikan hias di kolam.

Ketika Pos Kupang bertandang ke rumahnya, dengan ramah pria berkacamata tersebut mempersilahkan untuk duduk di teras yang berhadapan langsung dengan kolam ikan dan taman bunga. Kondisi tersebut seakan memberikan pesan kepada setiap tamu bahwa sambil menunggu pemilik rumah, maka para tamu dapat menikmati liukan ikan yang di dalam kolam serta harumnya bunga yang berada di taman. 

Siapa yang pernah menyangka bahwa pria yang begitu sibuk dengan berbagai kegiatan ternyata masih meluangkan waktu untuk mengurus tanaman dan juga ikan-ikan? "Untuk mengisi waktu dan kesibukan, maka saya mengurus tanaman karena saya adalah pencinta tanaman," ujarnya kepada Pos Kupang. (rom)

Rubrik Tamu Kita Pos Kupang edisi Minggu, 28 Desember 2008 halaman 1

Panen Si "Hijau" dalam 45 Hari

Oleh Novemy Leo

SECARA geografis luas wilayah Kabupaten Sikka 7.553,24 kilometer persegi, dengan luas daratan (Flores) 1.731,91 kilometer persegi dan pulau-pulau (17 buah) 117,11 kilometer persegi serta luas lautan 5.821,33 kilometer persegi.

Kabupaten Sikka merupakan kabupaten kepulauan yang terdiri 18 buah pulau. Sembilan pulau berpenghuni dan sembilan pulau tak berpenghuni. Batas sebelah utara dengan Laut Flores, sebelah barat dengan Kabupaten Ende, sebelah selatan dengan Laut Sawu dan sebelah timur dengan Kabupaten Flores Timur (Flotim). 

Keadaan topografinya sebagian besar berbukti dan bergunung dengan lereng-lereng yang curam diselang-selingi lembah dan dataran yang tidak luas. Kawasan dengan topografi datar sebagian besar tersebar di kawasan pantai pada wilayah Kecamatan Magepanda, Alok, Maumere, Kewapante, Waigete, Talibura, Bola, Lela dan Paga. Kabupaten Sikka saat ini terdiri dari 160 desa/kelurahan. Sebanyak 66 desa/kelurahan di antaranya merupakan desa/kelurahan pesisir.

Potensi sumber daya perikanan/kelautan di Sikka sangat besar, antara lain pengembangan budidaya rumput laut alias si hijau. Hingga saat ini jumlah pembudidaya rumput laut yang terdata di Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sikka sebanyak 1.461 rumah tangga perikanan (RTP). Mereka tersebar di 15 desa/kelurahan pada delapan wilayah kecamatan sebagai kecamatan uang, berpotensi untuk pengembangan rumput laut.
Luas kawasan pengembangan rumput laut pada delapan kecamatan itu 5.854 ha. Kecamatan Alok Timur seluas 3.750 ha tersebar di Desa Permaan, Kojadoi dan Kojagete. Kecamatan Taibura seluas 668 ha di Desa Lewomada, Wailamung dan Darat Pantai. Kecamatan Waigete seluas 135 ha di Desa Hoder, Wairbleler dan Egon. Kecamatan Kewapante seluas 316 di Desa Waiara. Kecamatan Alok Barat seluas 593 ha tersebar di Kelurahan Wuring dan Wolomarang. Kecamatan Magepanda seluas 383 ha di Desa Kolisia. Kecamatan Lela seluas 5 ha di Desa Lela. Kecamatan Bola seluas 4 ha di Desa Ipir, serta Kecamatan Paga.

Si hijau alias rumput laut ini menjadi rebutan di pasar nasional dan internasional. Karena bahan yang terkandung dalam rumput laut diburu untuk bahan pelengkap 600-an produk. Antara lain, untuk makanan, bisa dibuat dodol, sirup, agar-agar. Juga untuk bahan pelengkap pembuatan odol serta kosmetik. Bahkan di dunia kesehatan, bahan rumput laut juga digunakan untuk obat-obatan dan pembuatan kapsul.

Dengan ratusan manfaat yang bisa diperoleh dari rumput laut itu, maka sudah saatnya pemerintah daerah Sikka berupaya mengembangkan rumput laut. 

Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sikka, Ir. Maurits da Cunha melalui Kasubdin Produksi, Paulus H Bangkur, S.Pi, Sabtu (20/12/2008), mengatakan, produksi rumput laut kering selama tiga tahun terakhir ini meningkat terus. Padahal pengembangannya baru dilakukan pada lima dari delapan daerah potensi di Sikka. 


Pada tahun 2005 hasil produksi rumput laut sebanyak 350 ton, kemudian naik menjadi 788,22 ton pada tahun 2006. Pada tahun 2007 naik lagi menjadi 790,10 ton. Pengembangan rumput laut mulai dilakukan pemerintah setempat pada tahun 2004 lalu. Dan kini jumlah pembudidaya rumput laut sebanyak 1.461 RTP pada delapan kecamatan.

Dijelaskan Paulus, salah satu kebijakan umum pengembangan kawasan di Kabupaten Sikka, melalui program mina politan dengan visi yakni terwujudnya kawasan pusat pertumbuhan pengembangan komoditi rumput laut yang tangguh, berorientasi agribisnis dan berbudaya industri pada tahun 2012.

Guna mewujudkan visi tersebut, maka misi pembangunan pengembangan kawasan melalui program mina politan di Kabupaten Sikka, antara lain mengembangkan komoditas rumput laut sebagai salah satu komoditas perikanan unggulan kabupaten sesuai keunggulan komparatif wilayah melalui pengembangan skala kawasan. Juga mengembangkan infrastruktur pendukung pada wilayah sentra pengembangan komoditas rumput laut dan peningkatan sarana dan prasarana pengembangan komoditas rumput laut serta meningkatkan ketersediaan bibit unggul. Peningkatan kualitas, pengetahuan dan keterampilan sumber daya manusia pembudidaya rumput laut, peningkatkan pengendalian panen dan pasca panen yang tepat. Pengembangan kegiatan agrobisnis yang didukung dengan memperkuat sektor input (sarana produksi perikanan) serta sektor budidaya. Juga peningkatan sinergi di antara para pelaku agribisnis dan meningkatkan akses informasi perikanan budidaya secara merata dan pengembangan kapasitas kelembagaan dan kemitraan usaha perikanan budidaya.

"Upaya itu sedang dilakukan oleh pemerintah, tentunya tidak mudah karena dibutuhkan dana yang cukup dan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan potensi yang ada di wilayahnya," kata Paulus.

Menurut Paulus, hingga saat ini baru lima dari delapan kecamatan yang bisa dikatakan berhasil dalam pengembangan budidaya rumput laut di wilayah utara, yakni Kecamatan Alok Timur, Talibura, Waigete, Kewapante, Alok Barat dan Magepanda. Sementara tiga kecamatan lainnya di wilayah selatan, yakni di Kecamatan Paga, Lela dan Bola, baru mulai dikembangkan tahun 2008 ini.

Intervensi atau dukungan pemerintah terhadap budidaya rumput laut sudah maksimal. Pada tahun 2008 saja, pemerintah pusat melalui APBN telah memplotkan dana bantuan sosial rumput laut sebesar Rp 400 juta. Sayangnya, dana itu baru cair bulan Desember 2008 sehingga belum bisa dikucurkan kepada petani karena bukan saatnya untuk budidaya.

"Bulan Maret 2009 baru dana ini bisa dikucurkan kepada masyarakat. Karena proses budidayaa rumput laut baru bisa dilakukan sekitar bulan Maret hingga Desember 2008," kata Paulus. 

Dana sebesar Rp 400 juta ini akan dibagikan kepada 200 petani sebagai modal Rp 2 juta per petani. Sementara pemerintah daerah Sikka memplotkan dana APBD untuk pengembangan rumput laut sebesar Rp 1 M tahun 2008, untuk pengadaan sarana produksi, pengadaan sarana prasarana. Juga dana pendampingan untuk 13 tenaga pendamping lapangan.

Usaha rumput laut sangat menguntungkan para petani. Selain karena panennya cepat hanya 45 hari, keuntungan penjualan juga besar. Satu kilogram rumput laut basah, harga jualnya sebesar Rp 2.000/kg. Sementara harga jual rumput laut kering sebesar Rp 8.000,00 - Rp 12.000,00 per kg. Misalnya saja, seorang petani melakukan budidaya rumput laut dengan 50 tali (50 X 50 meter), maka hanya dalam jangka waktu 45 hari, petani sudah bisa panen sebanyak 750 kg di luar bibit.

Jika dijual ke pasaran dengan harga di bawah standar misalnya Rp 10.000,00 per kg, maka sekali panen (45 hari) rumput laut sebanyak 750 kg, petani bisa memperoleh uang sebesar Rp 7.500.000.

Bagaimana jika seorang petani melakukan pengembangan rumput laut lebih dari 50 tali pada kawasan berbeda. Maka, tentu dikali dua hasil penjualan yang diperoleh. Apalagi jika waktu penanamannya dilakukan berbeda, maka setiap saat petani bisa memanen rumput laut.

Sudah saatnya pemerintah daerah Sikka gencar menggerakkan petani untuk melakukan budidaya rumput laut sehingga hasil yang diperoleh petani bisa maksimal dan pada gilirannya bisa mendongkrak perekonomian dan peningkatan kesejahteraan petani di daerah pesisir. *

Pos Kupang edisi Minggu, 28 Desember 2008 halaman 1

Mayat Sepe Terapung di Danau Kelimutu

ENDE, PK -- Evakuasi mayat Arnoldus Yansen Sepe yang ditemukan terapung di salah satu Danau Triwarna Kelimutu, Kabupaten Ende, Minggu (28/12/2008), dihentikan karena cuaca buruk. Arnold Yansen, pria asal Desa Tenda, Kecamatan Wolojita itu ditemukan tewas di danau hijau muda, Jumat (26/12/2008).

"Tim SAR sudah berupaya untuk melakukan evakuasi tapi selalu terkendala dengan angin keras, hujan lebat dan juga petir. Beberapa kali petugas juga terjebak dalam aliran air di lereng-lereng kawah danau karena hujan lebat. Demi keamanan bersama evakuasi diputuskan dihentikan. Pihak keluarga korban juga dapat memaklumi," kata Kepala Balai Taman Nasional Kelimutu Gatot Soebiantoro di Ende, kemarin.

Mayat Arnoldus Sepe ditemukan tim BTN Kelimutu mengapung di salah satu permukaan air kawah danau yang berwarna hijau muda, Jumat (26/12) lalu. Danau Kelimutu memiliki tiga warna, yaitu hijau muda, cokelat tua, dan hijau lumut kehitaman.

Arnold Yansen meninggalkan rumahnya di Desa Tenda, sebuah desa yang terletak di lereng gunung Kelimutu, pada Rabu (10/12/2008) lalu. Sejak itu laki-laki tamatan SMA yang juga menderita epilepsi itu tak kembali ke rumah, dan baru ditemukan mayatnya mengapung di Danau Kelimutu, Jumat lalu.

Sampai kemarin, belum dipastikan sebab-sebab kematian pria itu; apakah tewas akibat tenggelam ataukah ada sebab-sebab lainnya.

Danau Kelimutu dengan tiga warna punya legenda. Danau Arwah Muda-Mudi (Tiwu Nua Muri Kooh Fai) yang berwarna hijau turquoise, menjadi tempat abadi bagi roh-roh orang yang meninggal dunia di usia remaja, anak-anak dan bayi. Konon, hanya Danau Muda-Mudi inilah yang tidak pernah berganti warna.
Danau Arwah yang Ditenung (Tiwu Ata Polo) yang berwarna kecoklatan, dihuni oleh roh-roh orang-orang yang dimasa hidupnya pernah membunuh, mencuri, atau orang-orang jahat lainnya. Sedangkan Danau Arwah Orang Tua (Tiwu Ata mBupu) berwarna putih susu bercampur kehijauan, dihuni oleh roh-roh orang yang meninggal di usia tua.

Perubahan-perubahan warna pada danau, disebabkan oleh berubah-ubahnya endapan mineral yang terdapat di dasar danau. Perubahan warna endapan mineral ini dipengaruhi cuaca yang sangat tidak stabil. (kompas.com)

Kasus di Danau Kelimutu

8 MEI 2004: Adrianus Marsel tewas terjatuh ke salah satu kawah Danau Kelimutu yang berwarna merah (tiwu ata polo). Marsel diduga terjatuh ketika mencari adiknya Elias, yang hilang sejak awal April 2004. Upaya evakuasi mayat Marsel melibatkan sekitar 80 orang dari kepolisian dan brimob di Ende. Tapi evakuasi itu mengalami kesulitan. Sekitar 10 meter dari lokasi jenazah Marsel, petugas evakuasi mengalami kesulitan bernapas karena hampa udara.


4 DESEMBER 2007: Lima orang peserta pendidikan dan (Diklat) Junggle Surviver tersesat di sekitar kawasan Taman Nasional Kelimutu. Tim SAR dari Polres Ende, dibantu anggota polisi kehutanan, Dinas Kesehatan Kabupaten Ende, dan masyarakat setempat berusaha mencari mereka. Kelimanya akhirnya ditemukan kembali dalam keadaan lemas dan berhasil dievakuasi pada tanggal 18 Desember 2008.*

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes