Bosan!

SATU kali WO, dua kali mogok, hampir saban hari protes dan ribut terhadap keputusan wasit. Penonton bawa batu ke dalam stadion. Jika tidak puas mereka bakulempar. Bersimbah darah! Polisi dan Pol PP menonton atau amankan penonton?

Demikian sekilas info tentang kejuaraan sepakbola El Tari Memorial Cup 2010 yang hari-hari ini masih bergulir di Kota Kupang. Bagi tuan dan puan penonton setia di Stadion Oepoi, Stadion Merdeka atau Lasitarda-Kupang sekilas info ini tergolong basi karena apa yang beta sebutkan di atas sudah tuan dan puan saksikan sejak kejuaraan ini bergulir.

"Bosan! Mulai besok saya tidak nonton lagi. Kalau begini terus kapan sepakbola NTT bisa maju?" kata seorang penggemar bola saat melihat 'keributan' dalam laga Persena Nagekeo melawan Persesba Sumba Barat di Stadion Oepoi, 23 September 2010.



"Penyelenggaraan El Tari Memorial Cup 2010 payah! Kita sudah beli tiket mau nonton, pemain tidak mau datang ke stadion," ujar penggemar lainnya di Stadion Merdeka 25 September 2010 ketika laga PS Maritim vs Persesba batal karena Sumba Barat tidak hadir di lapangan alias kalah WO.

"Keterlaluan, sedikit-sedikit salahkan wasit. Apakah kita yang lihat dari luar lapangan lebih baik daripada wasit? Kalau mengerti aturan sepotong-potong, jadilah begini. Semua mau menang tapi tidak mau ikut aturan," kata pejabat teras Pengurus Propinsi PSSI NTT.

Kejuaraan El Tari Memorial Cup 2010 sungguh gaduh! Riuh dengan umpatan. Kaya protes dan kenyang dengan kecewa. Sepakbola yang mestinya menghibur malah membuat kening berkerut. Bola yang seharusnya melahirkan kegembiraan justru menebarkan kekerasan. Bertolak belakang dengan spirit El Tari Memorial Cup sebagai media perekat persaudaraan Flobamora.

Di antara banyak sumber kegaduhan itu, kepemimpinan wasit agaknya menempati puncak klasemen. Kericuhan yang terjadi selama El Tari Memorial Cup 2010 umumnya bermula dari keputusan wasit di lapangan. Pemain atau ofisial langsung bereaksi lewat protes manakala mereka menilai keputusan wasit keliru, tidak adil atau dapat merugikan pemain dan timnya.

Pemogokan PS Kabupaten Kupang dan Persesba Sumba Barat serta aksi WO Persesba pada babak penyisihan grup merupakan reaksi kekecewaan terhadap kepemimpinan dan keputuan wasit. Protes juga sempat dilayangkan kubu Persami Maumere.

"Tidak untuk bela diri bung. Wasit top yang tiap minggu pimpin pertandingan liga di Eropa saja masih melakukan kesalahan. Apalagi kita di NTT yang jarang pimpin pertandingan." Pesan singkat itu masuk ke ponselku akhir pekan lalu. Pesan dari seorang teman. Profesi sampingannya wasit sepakbola. Dia termasuk wasit "bersih". Tidak banyak diprotes saat memimpin.

Beta baca dan baca kembali pesan itu. Beta tersentak sadar. Benar juga pesan temanku ini. Kita semua, baik pelatih, pemain, pembina atau penggemar sepakbola di beranda Flobamora mungkin berharap terlalu tinggi terhadap wasit di sini. 

Kita lupa bahwa mereka sangat minim memimpin pertandingan. Coba tuan dan puan sebut, di daerah mana, kota mana di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki kompetisi sepakbola marak meriah sepanjang tahun? Coba tanya perserikatan di masing-masing kabupaten/kota, seperti apa roda kompetisi yang mereka jalankan? Kota Kupang yang mestinya menjadi barometer persepakbolaan NTT -- kompetisi perserikatan belum berjalan sesuai harapan -- untuk tidak disebut mati suri! Apalagi daerah di luar Kupang. Bagaimana seorang wasit dapat menguji pengetahuan dan keterampilannya memimpin pertandingan kalau kompetisi di daerah tidak berjalan? 

Beginilah profil wasit bola di NTT. Setelah mendapat pendidikan dan pelatihan, entah di Kupang, Surabaya atau Jakarta dan menerima sertifikat, mereka pulang kampung. Di sana mereka terpaksa libur panjang karena kompetisi mati suri. Kalaupun sempat memimpin laga bola, paling tinggi turnamen antardesa atau kecamatan. 

Setahun atau dua tahun sekali para wasit itu ramai-ramai dipanggil PSSI NTT untuk memimpin kompetisi besar tingkat Flobamora seperti El Tari Memorial Cup atau Piala Gubernur. Terjadi lompatan dashyat! Memimpin kompetisi antarkabupaten/kota yang punya tensi tinggi dan kental atmosfer kedaerahan. Maka terjadilah yang tuan dan puan lihat di Kupang hari-hari ini. Pernah dengar wasit NTT dipercaya memimpin kompetisi sepakbola di luar teritori Flobamora? 

Ingat pesan kawanku di atas. Wasit top yang tiap minggu pimpin pertandingan di liga sepakbola negara-negara Eropa saja masih salah. Apalagi yang cuti panjang di kampung ditambah jarang baca aturan baru, trik dan teknik baru bermain bolakaki. 
Jangan salah paham kawan! Dengan berkata begini, bukan berarti beta membenarkan sikap dan atau keputusan wasit yang keliru selama El Tari Memorial Cup 2010. Yang salah sudah seharusnya diberi sanksi oleh komisi wasit. Dianjurkan belajar lagi ilmu perwasitan agar lebih baik pada turnamen berikut. Juga tahu diri! Rasa-rasa dirilah. Kalau terus diprotes oleh pemain atau ofisial lebih baik duduk manis dulu. 

Beri kesempatan teman wasit lain untuk memimpin. Toh seluruh masyarakat pecinta sepakbola Flobamora percaya seratus persen bukan honor yang dikejar wasit. Tugas dan tanggung jawab wasit melampau semua itu. Uang bukan segalanya! 

Kompetisi El Tari Memorial Cup kini memasuki babak genting dan menegangkan. Babak knock out. Tinggal delapan tim yang bakusikat untuk menjadi yang terbaik. Bila korps pengadil di lapangan hijau masih bermain-main dengan prinsip fair play, beta tidak tahu seperti apa ending dari El Tari Memorial Cup 2010. Sungguh tidak lucu, misalnya yang menjadi juara tahun ini karena lawannya mogok atau WO. (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang edisi Senin, 27 September 2010 halaman 1

Demi Sumba Harus Tetap Mesra

Gubernur Nusa Tenggara Timur, Drs. Frans Lebu Raya, meminta Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sumba Barat periode 2010-2015, Jubilate Pieter Pandango, S.Pd, M.Si dan Reko Deta, S.IPem, tetap mesra, tetap menjaga kekompakan dan terus akur dalam perjalanan memimpin Sumba Barat ke depan.

Permintaan Gubernur Frans Lebu Raya itu disampaikannya dalam sambutannya saat mengambil sumpah dan melantik Jubilate Pieter Pandango, S.Pd,M.Si dan Reko Deta, S.IPem menjadi Bupati-Wakil Bupati Sumba Barat, Selasa (21/9/2010). Acara pelantikan berlangsung di ruang sidang utama DPRD Kabupaten Sumba Barat.

Gubernur Frans Lebu Raya mengatakan, kebersamaan dan kebahagiaan sebagaimana ditunjukkan saat pelantikan dan pengambilan sumpah hendaknya terus dijaga demi keberlangsungan membangun tanah Sumba Barat. Tanah Marapu, Sumba Barat, kata Gubernur Frans Lebu Raya, menyimpan sejumlah misteri yang potensial dan kalau dikelola dengan baik akan membawa manfaat besar bagi pembangunan daerah ini.



Gubernur mengagumi potensi dan khazana budaya Sumba Barat. Setiap kali mengunjungi Sumba Barat, kata gubernur, dia terkesan dengan daerah ini sebagai sebuah daerah 'magis' di mana kepercayaan Marapu masih tetap hidup dan lestari. Kuatnya Marapu, kata gubernur, masih menyata dalam beragam wujud budaya masyarakat daerah ini seperti kuburan batu megalitik, upacara nyale, budaya pasola, pajura, wula podu dan sejumlah aset budaya lainnya.

Gubernur mengingatkan duet Jubilate Pieter Pandango, S.Pd, M.Si dan Reko Deta, S.IPem harus satu dalam kata dan perbuatan dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan daerah ini. Dengan demikian harapan akan sebuah kemajuan pembangunan daerah ini sebagaimana termanivestasi melalui program kerja bupati dan wakil bupati dapat terlaksana dengan lancar.

Dikatakannya Sumba Barat khususnya, dan Pulau Sumba umumnya, merupakan daerah yang sangat terkenal dengan kekayaan ternak, cendana, laut yang luas, lahan pertanian yang luas, aset wisata yang handal dan sebagainya. Semua aset ini adalah modal besar bagi pembangunan daerah ini. 

"Menjadi pertanyaan, apakah kekayaan tersebut masih ada? Jangan menjadikan itu hanya sebuah sejarah atau sebuah cerita tentang kejayaan masa lalu, tetapi harus dibuktikan dengan sebuah aksi nyata dengan mengembalikan daerah ini sebagai gudang ternak NTT, daerah penghasil cendana, daerah penghasil jagung, dan daerah berkembangbiaknya koperasi, pertanian dan pariwisata serta berbagai sektor pembangunan lainnya," kata gubernur.

Gubernur juga berharap pemimpin baru ini tetap mempertahankan hasil pembangunan yang sudah ada, meminimalisir kendala yang terjadi dan mengembangkan pembangunan Sumba Barat ke depan agar lebih maju lagi. 
Fenomena sebagaimana terekam sekarang sekaligus sebagai sebuah tantangan bagi bupati dan wakil bupati yang baru adalah berkurangnya kawasan hutan Sumba Barat karena penggundulan oleh masyarakat. Bertambahnya permukiman penduduk, bertambahnya lahan pertanian dan perkebunan masyarakat juga turut serta mengurangi kondisi hutan di daerah ini. Selain itu terlihat pula fenomena laju konsumsi ternak yang semakin tinggi sementara pertumbuhan populasi ternak semakin menurun dan sebagainya.

Diakui gubernur, beberapa pemerintah daerah di Pulau Sumba khususnya maupun NTT umumnya telah membuat Perda tentang Pembatasan Pemotongan Ternak demi menjaga populasi ternak di daerah masing-masing. Hanya gubernur mempertanyakan apakah perda tersebut telah berlaku efektif? 

"Ini menjadi sebuah tantangan bagi pemerintah dan masyarakat daerah ini," kata gubernur.

Hadir dalam acara pelantikan kemarin para bupati dan wakil bupati se-Sumba, sejumlah pejabat Setda NTT, sejumlah anggota DPRD NTT, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan undangan umumnya. Acara pelantikan sendiri dimulai pukul 10.00 Wita dan berakhir pukul 11.45 Wita. (pet)

Kembalikan Keamanan Kota

TOKOH agama di Sumba Barat meminta agar Bupati-Wakil Bupati, Drs. Jubilate Pieter Pandango, S.Pd, M.Si-Reko Deta, S.IPem, yang dilantik, kemarin, mengutamakan penanganan sektor keamanan sebagai agenda kerja 100 hari ke depan. Pasalnya kondisi trantibmas Kota Waikabubak semakin parah. Masyarakat hidup semakin tidak tenang, selalu merasa takut, merasa was-was dan tidak nyaman. 

Duat ini diharapkan mampu mengembalikan keamanan yang hilang sebagaimana dirasakan masyarakat selama ini dan membawa perubahan di semua bidang kehidupan warga.
Demikian sari pendapat sebagaimana disampaikan Pastor Paroki Santo Petrus Paulus Waikabubak, Romo Edy Reda, Pr, Ketua Badan Pelaksana Majelis Jemaat (BPMJ) Gereja Kristen Sumba (GKS), Pendeta Nanda Weru, S.Th, dan Ketua MUI Sumba Barat, Abdulah A Bamualim, yang ditemui secara terpisah di sela-sela menghadiri acara pengambilan sumpah dan pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Sumba Barat periode 2010-2015, Selasa (21/9/2010).

Pendeta Nanda mengingatkan, jabatan bupati dan wakil bupati adalah sebuah anugerah dan tanggung jawab dari Tuhan untuk bersamanya bekerja membebaskan masyarakat Sumba Barat dari kemiskinan, kebodohan, ketidakamanan dan sebagainya. 
Sementara itu Romo Edy berharap kepemimpinan baru membawa perubahan bagi masyarakat Sumba Barat seperti keamanan, air bersih, pendidikan, dan sebagainya. 

Harapan senada juga disampaikan Abdulah A Bamualim. Ia menambahkan, pihaknya sangat respek dengan kepemimpinan ini karena keduanya memiliki jiwa komunikasi yang sangat luas. Ini modal besar bagi kelancaran pembangunan daerah ini. Sebab semua persoalan dapat terpecahkan melalui sebuah bangunan komunikasi yang baik. (pet) 

Pos Kupang, 22 September 2010 halaman 1

Calo

"SORRY berat ka'e, saya lagi ada masalah. Nanti kutelepon balik ya. Saya baru saja tampar orang di terminal!" Tit...tit...tit... Tak ada lagi nada sambung. Telepon seluler mendadak putus. Jawaban sepotong via telepon dari sepupuku itu membuat beta penasaran.

Gawat! Ini anak cari masalah lagi. Mengapa tampar orang di terminal? Mengapa kebiasaannya suka bakupukul di kampung dulu belum hilang jua. Jangan-jangan dia sudah dikeroyok massa. Jangan jangan sekarang dia terkapar mandi darah di salah satu rumah sakit di Jakarta, Bogor atau Bandung? Kalau benar demikian, kasihan istri dan anaknya yang masih balita.

Sekitar satu jam kemudian baru beta mendapat jawaban. Terdengar nada ceria dari balik telepon. Syukurlah! Ternyata sepupuku itu tampar seorang calo di Terminal Bus Pulogadung- Jakarta. Hari itu, Senin 6 September 2010 dia mudik ke kampung istrinya di Jawa Tengah mengisi jatah libur Lebaran dari perusahaan tempat dia bekerja.



Saat tiba di Terminal Pulogadung, Jakarta Timur dia bersama istri dan anak berusia 2 tahun disambut segerombolan calo tiket bus. Cara mereka bikin sepupuku naik pitam. Para calo itu menawarkan jasa dengan cara kasar dan setengah memaksa.

"Mereka tarik tangan istri saya. Dia hampir jatuh bersama anakku yang masih merah. Ndoe, saya tidak tunggu lagi ka'e. Saya tempeleng calo itu. Dia dan teman-temannya kaget lalu bubar teratur. Tidak berani macam-macam lagi. Mungkin mereka takut juga lihat potongan saya. Tahu to, hitam keriting, kumis tebal, mata merah. Setelah tampar, saya sekeluarga langsung naik bus ke Semarang. Aman! Ha-ha-ha...," katanya.

Tuan dan puan mungkin pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan seperti itu saat berada di terminal bus atau terminal pelabuhan laut. Bahkan di bandar udara (bandara). Cara calo Indonesia menawarkan jasa memang jauh dari sopan santun. Salah satu sikap yang menjengkelkan saat berada di terminal bus adalah kerumunan orang yang berlomba-lomba menawarkan tiket atau busnya dengan cara memaksa. Mereka boleh jadi calo, bisa juga agen dari perusahaan angkutan yang memang berlomba mencari calon penumpang.

Seandainya mereka menawarkan jasa dengan lembut dan sopan mungkin calon penumpang tidak jengkel. Namun, kebanyakan dari mereka sangat agresif. Mulai dari menghalangi penumpang menuju loket pembelian tiket atau bus yang dituju, menarik tangan penumpang hingga mengeluarkan kata-kata kasar kalau penumpang tidak mau atau memilih diam. Penumpang seperti digerayangi tangan-tangan jahil. 

Tabiat calo hampir sama di mana-mana. Apa yang terlihat di Pulogadung, Lebakbulus, Kalideres, Gambir atau Bungurasih terjadi pula di beranda Flobamora. Di kampung besar Nusa Tenggara Timur (NTT). Mungkin karena sudah lazim kebanyakan orang menganggap itu fenomena biasa. 
Diperlakukan kurang santun pun diterima begitu saja. Kalau calon penumpang main tampar seperti kelakuan sepupuku di atas, urusan bisa panjang berliku. Para calo akan 'tanda muka' untuk buat perhitungan di belakang hari. Balas dendam. Calon penumpang jadi serba salah. Pilihan terbaik adalah diam dan melupakan perbuatan tak menyenangkan para calo sekian menit saat berada di terminal.

Calo, menurut Kamus Bahasa Indonesia, adalah orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya berdasarkan upah. Calo sama dengan perantara atau makelar. Ada beberapa tipe calo. Ada yang berperilaku 'keras' seperti di terminal bus atau pelabuhan laut. Ada pula yang lembut, santun tapi menghanyutkan. Menipu atau memeras seseorang dengan cara halus. Mereka itu memiliki latar belakang pendidikan bagus. Profesional menawarkan jasa. Makelar kasus mafia hukum yang menambah polusi langit keadilan Indonesia hari-hari ini menunjukkan betapa cerdas para calo memainkan perannya.

Tuan dan puan kiranya tidak asing dengan calo tiket, calo proyek pembangunan fisik, calo tes masuk CPNSD atau calo kasus hukum. Teman beta, Sutransyah Amir dari Kalimantan menceritakan pengalaman unik. Saat merawat putranya yang terserang Demam Berdarah Dengue (DBD) dua pekan lalu, petugas rumah sakit milik pemerintah mengaku kamar full (penuh). Sutransyah dan istri bingung. Tak tega melihat putra mereka yang berusia 6 tahun tidur di ruang Unit Gawat Darurat. 

Di tengah kebingungan, muncul seseorang dengan busana khas 'orang rumah sakit' menawarkan jasa mencari kamar kosong. Tanpa pikir panjang Sutransyah mengiyakan. Dalam benak dia dan istri saat itu hanya ingin putra mereka segera mendapatkan kamar sehingga anak itu bisa istirahat.

"Ternyata ada satu kamar kelas utama yang kosong, Pak. Ya, tapi Bapak mengertilah," kata orang itu kepada Sutransyah sekitar 40 menit kemudian. Daripada urusan jadi ribet kalau dia mempertanyakan lebih jauh, Sutransyah pun menyerahkan Rp 200 ribu kepada petugas yang 'baik hati' tersebut. Betapa terkejutnya Sutransyah ketika keesokan hari, dia melihat masih ada kamar lain di rumah sakit itu yang kosong. Baru dia sadar telah dikerjain calo. Calo kamar rumah sakit milik pemerintah daerah. Sedap!

"Naluriku terusik oleh kejadian itu. Saya telusuri lebih jauh. Ternyata praktek percaloan itu memang ada di rumah sakit. Rapi sekali. Tidak terlihat kasat mata. Selain calo kamar, ada calo dokter, calo produk susu, calo klinik dan lain-lain," kata Sutransyah. 

Menurut Sutransyah, berkat penelusurannya dia kemudian hafal kelakuan para calo dari cara mereka bertanya kepada keluarga pasien. Calo dokter akan bertanya, mau ditangani dokter siapa? Kalau pasien bingung, dia akan menyebut dokter yang cocok. Calo produk susu akan berkata kepada ibu-ibu yang baru melahirkan, Bu anak Ibu itu sebaiknya minum produk susu A. Bagus lho untuk pertumbuhannya.

Calo klinik akan bilang, daripada sumpek opname di rumah sakit ini lebih baik di klinik saja. Harganya lebih mahal sedikit tapi pelayanan lebih oke. Jujur saja, beta pun terusik mendengar cerita Sutransyah. Hatiku bergumam, untunggg itu terjadi di Kalimantan sana. Bukan di beranda Flobamora! Atau bagaimana menurut tuan dan puan? (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang edisi Senin, 20 September 2010 halaman 1

Urung Pigang

DUSUN Urung Pigang masuk dalam wilayah Kelurahan Wailiti, Kecamatan Alok Barat-Kabupaten Sikka. Urung Pigang bagi warga Sikka tentunya sudah tidak asing lagi.

Namun Urung Pigang yang berada di Bukit Wailiti dan menghadap ke pantai utara (Pantura) Flores itu adalah salah satu dusun yang terkenal tandus dan gersang. Siangnya gersang dan malam penuh kesunyian serta
jauh dari kebisingan.

Urung Pigang merupakan daerah perkampungan dimana warga hidup dalam suasana kekeluargaan. Namun kini, kehidupan kota yang modern mulai merambah wilayah ini seiring masuknya wilayah ini ke dalam wilayah Kecamatan Alok (Kota Maumere).



Meski mereka sudah hidup dalam suasana kota, namun kebiasaan dan adat istiadat di Urung Pigang masih sangat tradisional. Kehidupan masyarakat masih dalam suasana di perkampungan. 

Di Urung Pigang adalah aneka dan warna kehidupan yang khas. Kaum wanita masih setia dalam kehidupan menenun seperti biasa dilakukan wanita Kabupaten Sikka pada umumnya. Sementara para laki-laki berprofesi sebagai pembuat batu bata. 

Inilah gambaran keseharian masyarakat di wilayah ini. Seiring kemajuan jaman banyak kaum wanita 
di wilayah ini juga mulai enggan menenun karena dan memilih membantu suami di kebun dan kerja kasar seperti menjadi buruh bangunan. 

Helena Dowena (50), seorang ibu rumah tangga di Dusun Urung Pigang, kepada Pos Kupang di Kampung Urung Pigang berkisah, di kampung ini kaum wanita menenun kain untuk membantu suami dan mengisi waktu kosong. Selebihnya, jika ada kerja kasar mereka lebih senang membantu suami.

Dan, bagi Helena menenun tidak menjadi rutinitas. Menenun baginya hanya untuk mengisi waktu kosong. "Setiap bulan saya hasilkan satu lembar kain. Saya lebih banyak kerja kasar membantu suami membuat batu merah. Batu merah di kampung ini adalah sumber penghasilan tetap warga," kata Helena sambil menenun di rumahnya. 

Sementara itu, warga lainnya di kampung ini sibuk dengan aktivitas membuat batu merah di samping dan belakang rumah.

Warga Urung Pigang ramai-ramai membuat batu merah. Batu merah sudah menjadi bagian dari kehidupan warga Urung Pigang. 

Urung Pigang yang dulunya perkampungan tradisional kini telah beralih menata kehidupan menuju kehidupan modern. Selain menenun, membuat batu merah, di Urung Pigang warga juga berprofesi sebagai buruh, ada tukang ojek dan pekerjaaan lainnya yang bisa didapatkan di Kota Maumere. 

Kehidupan masyarakat tradisional di Urung Pigang yang berada di daerah pinggiran Kota Maumere adalah bukti peralihan kehidupan warga yang kini mau menjadi masyarakat perkotaan. (Aris Ninu)

Pos Kupang 18 September 2010 halaman 5

Bupati Ngada dan Manggarai Dilantik

BAJAWA, FS -- Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya melantik Bupati dan Wakil Bupati Ngada serta Bupati dan Wakil Bupati Manggarai pada hari yang sama di Kota Bajawa dan Ruteng, Selasa (14/9/2010).

Di Ruteng pada Selasa pagi, Gubernur Frans Lebu Raya melantik Drs. Christian Rotok-Dr. Deno Kamelus, SH.M.H atau yang populer dengan pasangan Credo. Credo terpilih kembali sebagai bupati dan wakil bupati periode 2010-2015. Credo tercatat sebagai satu-satunya pasangan kepala daerah di NTT yang akur sejak periode pertama dan terpilih kembali.

Di Bajawa kemarin siang, Gubernur NTT melantik pasangan Marianus Sae dan Paulus Soliwoa (Mulus) sebagai Bupati dan Wakil Bupati Ngada periode 2010-2015.



Saat melantik pasangan Credo di gedung DPRD Manggarai, gubernur menitipkan enam pekerjaan rumah. Enam pekerjaan itu hendaknya berjalan baik, santun, elegan sesuai kearifan lokal Manggarai. 

Gubernur menyebut enam kegiatan itu sebagai berikut. Pertama,  lestarikan lingkungan hidup melalui tanaman ekonomi produktif seperti kopi, cengkeh, fanili dan tanaman produktif lainnya. Kedua, lestarikan semangat lontok leok dengan prinsip nai cai anggit tuka ca lelang. Ketiga, lestarikan lodok sebagai jalan bagi petani sebagai pemilik lahan. Keempat, lestarikan pesta sekolah untuk mendapat dukungan biaya pendidikan terutama membebaskan petani dari lilitan utang dan sistem ijon di awal tahun ajaran baru. 

Kelima, lestarikan koperasi untuk melindungi petani dari pemasaran komoditi yang tidak wajar. Keenam, lesatarikan budaya gotong royong dalam aktivitas kegiatan pembangunan di daerah ini.

"Prosesi pelantikan hari ini sangat istimewa. Credo yang sama dilantik. Semoga Credo jilid II tetap mesra dalam membangun Manggarai tercinta. Teruslah akur, sebab kemesraan seperti ini sangat unik dan baru terjadi di Manggarai," kata gubernur.
"Eksisnya Credo jilid II menjadi contoh keharmonisan, saling memahami, melengkapi satu dengan yang lain. Credo menjadi simbol nai cai anggit tuka ca leleng," tambah gubernur.

Dalam sambutannya saat melantik Bupati dan Wakil Bupati Ngada di Bajawa, Gubernur NTT mengatakan pada tahun 2011 Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) akan menggulirkan program Desa Mandiri Anggur Merah. 

Pemerintah akan memberikan bantuan sebesar Rp 250 juta per desa/kelurahan. Dana tersebut akan diberikan kepada 287 desa/kelurahan di seluruh NTT dengan kriteria utama dan jumlah proporsi penduduk miskin terbanyak di kecamatan. "Saya minta dukungan saudara Bupati dan Wakil Bupati terhadap program ini sekaligus mengharapkan Kabupaten Ngada agar mengalokasikan anggaran yang sama untuk tambah satu desa/kelurahan pada setiap kecamatan," katanya.

Gubernur NTT juga meminta pasangan Mulus memperhatikan masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi, tata ruang, kelestarian lingkungan, transparansi, penegakan hukum dan HAM di kabupaten Ngada. (lyn/ee)

FloresStar edisi Rabu, 15 September 2010 halaman 1

Berangkat

EMPAT anggota Dewan yang Terhormat (Yth) asyik bercengkerama di tengah hiruk-pikuk antrean penumpang yang check in di terminal I B Bandara Soekarno Hatta-Jakarta pagi itu. Sambil menunggu giliran check in mereka bercerita tentang jatah perjalanan mereka sebagai wakil rakyat.

"Saya masih punya enam jadwal perjalanan tahun ini. Saya pakai baru tiga," kata seseorang di antara mereka. Nada suaranya cukup keras sehingga orang lain di sekitarnya mendengar termasuk beta yang pagi itu masih agak mengantuk.

Beta memaklumi. Anggota Dewan Yth biasanya PD abis alias sangat percaya diri kalau bicara. Ya sudah seharusnya begitu. Kalau anggota parlemen malu bicara, apa kata dunia?



"Kalau beta, jatah tahun ini tinggal dua lagi bu (bung)," timpal rekannya. Anggota Dewan yang satunya lagi bertutur, "Kita atur baik-baik. Jangan sampai kelihatan kita jalan terus ke Jakarta. Nanti orang bilang apa?" Oh rupanya ada yang tahu diri juga. 

Postur dan relief tubuh keempat wakil rakyat berjenis kelamin laki-laki itu khas Nusa Tenggara Timur (NTT). Kulit hitam manis, rambut keriting dan berkumis. Tapi ada seorang tidak pelihara kumis. Rambutnya pun dipotong amat pendek mirip potongan rambut tentara dan polisi sehingga rambut keriting tak begitu kentara terlihat. Dua dari empat wakil rakyat ini menutup rambut keriting mereka dengan topi warna dasar biru tua. 


Jenis topi keduanya mirip topi Korpri yang biasa dipakai tuan dan puan pegawai negeri sipil saat apel kesadaran setiap tanggal 17 dalam bulan berjalan. Tulisan dari sulaman warna kuning menarik lensa mata. Pada sisi yang satu terbaca kata-kata doktorandus titik titik. Pada sisi sebelah terdapat tulisan Anggota DPRD kabupaten titik titik. Titik titik itu salah satu kabupaten di beranda Flobamora. Beta tidak enak hati kalau menulis jelas di sini. Lagipula bisa dianggap kurang etis mengingat mereka adalah wakilku Yth.

Tuan dan puan kiranya pernah bertemu dengan anggota Dewan Yth di bandara atau terminal. Bahkan mungkin sudah sekian kali bepergian dengan pesawat yang sama ke kota tujuan akhir yang sama pula. Yang berbeda hanya urusan atau kepentingan. Tidak mungkin sama dan sebangun. 

Apa yang salah kalau Dewan Yth berangkat ke mana-mana? Oh sama sekali tidak! Hal bepergian itu bukan soal salah atau benar. Malah sudah sepantas dan sewajarnya bila anggota Dewan Yth sering bepergian. Toh legislator bukan tipe orang kantoran yang lebih lama menghadapi komputer, mesik ketik, kalkulator atau lembaran kertas. Tugas anggota parlemen adalah berkeliling sambil mewartakan kabar baik. Memberi harapan. Meneguhkan yang lemah. Memberikan jalan keluar masalah rakyat. Intinya berkeliling sambil berbuat baik bagi banyak orang.

Begitu harapan ideal. Dalam kenyataan seperti apa, silakan tuan dan puan menilai sendiri. Mumpung hampir setahun anggota Dewan Yth yang tuan dan puan pilih dalam Pemilu 2009 mengabdi sebagai unsur penyelenggara negara. Menurut beta inilah saat yang tampan untuk sejenak mengevaluasi kinerja Yth. Menilai kehormatan dan martabat yang mereka pikul sebagai wakil rakyat terpilih. Ya, hari-hari ini merupakan saat yang baik untuk melihat kinerja legislator di daerah kita masing-masing. Kalau tuan tidak mau evaluasi pun tidak apa- apa. Tidak ada sanksi kalau tuan dan puan diam.

Pasti ada yang bertanya, bagaimana mau mengevaluasi kalau mekanismenya tidak jelas? Bagaimana mau menilai produktivitas Dewan Yth, baik secara individu maupun lembaga, kalau alat ukurnya tidak ada? Bukankah setelah pemilu anggota parlemen seolah terlepas dari tangan rakyat yang memilih mereka?

Jangan pesimis dulu. Kendati mekanisme untuk mengevaluasi kinerja anggota parlemen di negeri ini agak kabur air alias kurang jelas, tuan dan puan dapat memilih alat sendiri untuk mengukur. Bisa dimulai dari pertanyaan sederhana atau remeh temeh. Misalnya, setahun mengabdi sebagai wakil rakyat apa saja yang telah mereka kerjakan untuk saya atau kami? Apakah setahun ini mereka berangkat menuju banyak tempat untuk mengurus kepentingan rakyat, partai, keluarga dan diri sendiri? 

Soal berangkat ke mana-mana, izinkan beta ambil saja contoh di Ende. Dalam setahun anggota Dewan Yth di sana sudah dua kali mengikuti bimbingan teknis (bimtek) di Jakarta. Bimtek pertama sesaat setelah dilantik 2009. Yang kedua baru-baru ini, bulan Agustus 2010. Mereka menggunakan dana sebesar Rp 762 juta. Kalau digabung dengan biaya bimtek pertama, jumlahnya sudah satu miliar koma sekian ratus juta. Mudah-mudahan cuma Ende anggota Dewan Yth ikut bimtek dua kali dalam setahun atau boleh jadi langkah serupa juga terjadi di daerah lain cuma media massa yang tidak melihat. 

Maksud dan tujuan bimtek itu biar anggota Dewan lebih paham dan mengerti, misalnya dalam menyusun anggaran dan membuat regulasi. Dengan kata lain lebih cerdaslah dalam urusan vital ini. Tapi kalau tahun depan mereka ikut bimtek lagi dengan topik yang sama, orang Ende mungkin bergumam, Ndoe, bai raka e.. Kami ana kalo fai walu garetei talo do. Terjemahan bebasnya begini: Kira-kira butuh berapa kali bimtek sampai Yth benar-benar paham?

Susah memang kalau alat ukurnya kurang jelas. Mau dibilang bimtek berhasil, apa indikatornya? Disebut gagal ukurannya apa. Begitulah hidup di negeri kabur air. Terima sajalah. He-he-he...

Salah seorang mantan anggota DPRD NTT dengan bercanda bertutur demikian. Menurut dia, tidak perlu repot-repot cari alat ukur kinerja Dewan Yth. "Dewan itu dibayar untuk omong tentang masalah rakyat. Perhatikan selama setahun ini, apakah semua anggota Dewan sudah omong. Saya yakin tidak semua. Ada yang cuma jadi pendengar setia dalam setiap sidang Dewan. Ada yang bisanya hanya angguk-angguk atau geleng- geleng kepala. Tidak pernah bicara." Waw! 

Beta berpikir positif saja. Baik adanya bila ada tipe Dewan yang pintar bicara, pendengar setia dan tipe pendiam. Kalau semua anggota Dewan bicara lalu siapa yang mendengar? Sesama anggota Dewan, pernahkah mereka saling mendengar?

Nah, tentang kehebatan dalam hal omong, beta ingat seorang aktivis yang kini sudah berganti sapaan sebagai Dewan Yth. Dulu amat getol berteriak tentang masalah rakyat mulai dari kasus korupsi, busung lapar, gizi buruk, rendahnya kualitas pendidikan dan lain-lain masalah sosial. Tidak cuma bicara. Dia juga turun ke jalan. Demonstrasi. Orasi! 

Kini terang benderang di depan mata, eksplorasi dan eksploitasi mangan di kampung kita patut diduga sarat KKN. Banyak orang kaya baru karena bermain mangan. Menurut pakar lingkungan, praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di bidang lingkungan itu dampaknya dashyat. Bisa tujuh turunan, kawan!

Eh, si aktivis malah kehilangan suaranya. Beta kurang yakin apakah dia sedang sakit gigi atau puasa bicara. Ketika ingat dulu memilih dia, kok jadi menyesal beta. Menyesal kemudian tiada berguna. Oh... sedihnya jadi rakyat. 

Mudah-mudahan masuk tahun kedua masa pengabdian mereka, Dewan Yth makin gagah perkasa berjuang untuk rakyat. Tidak sebatas bicara. Tunjukkan bukti. Kalau cuma omong doang, anak kecil juga bisa. Salam hormatku buat Yth di mana saja berada. (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang Senin, 13 September 2010 halaman 1

"Sakramen Penghibur" Bernama Bola

Bola itu Telanjang karya Dion DB Putra
Oleh Tony Kleden

TUTUP mata sejenak. Bayangkan apa yang bakal terjadi jika tidak ada permainan yang dikelola dengan mengikuti regulasi yang menyata dalam berbagai cabang olahraga. Aksi-aksi kekerasan akan menjadi pemandangan rutin setiap hari, setiap saat. Perkelahian, tawuran, saling bunuh menjadi bagian dari riwayat sejarah manusia.

Aksi kekerasan itu muncul dipicu oleh naluri melawan atau rivalitas yang menyatu dengan daging manusia. Rivalitas itu, boleh dibilang, sudah menjadi hakikat yang asali pada setiap manusia, siapa pun dia.

Perang antarkampung di Alor, di Sumba Barat, di Manggarai atau di Adonara, tawuran antarsekolah di Maumere, baku ro'i antara dua cewek di Kota Kupang memperebutkan seorang cowok, jika diamati sebetulnya merupakan ekspresi dari rivalitas itu.




Nafsu mengalahkan itu diperagakan tanpa kendali, tanpa aturan dan karena itu menakutkan untuk ditonton. Homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya) mendapat pembenarannya dalam konteks seperti ini.


Judul : Bola Itu Telanjang
Penulis : Dion DB Putra 
Editor : Ferry Jahang, Eugenius Moa dan Sipri Seko
Penerbit : Lamalera, 2010
Tebal : 875 Halaman


Sepak bola dalam sejarahnya juga bermula dari ekspresi kekerasan seperti itu. Olahraga paling populer, paling gampang dan paling diminati ini pada mulanya merupakan ekspresi kemenangan dan kegembiraan dengan mengobok-obok lawan di lapangan luas. Kemenangan itu dirayakan dengan antusiasme dan heroisme yang luar biasa. Bagian tubuh lawan yang paling sering menjadi obyek permainan adalah kepala yang disepak ke sana ditendang kemari sambil bersorak riang. Semua keriangan, tempik sorak, hura-hura, pada galibnya mau menunjukkan keperkasaan dan kejantanan atas lawan atau musuh. Sampai dengan beberapa dekade lalu, ekspresi kemenangan atas musuh dengan mengarak kepala lawan sambil sesekali 'mempermainkannya' masih dipraktekkan di beberapa tempat di daerah ini.

Seiring kemajuan peradaban, beragam ekspresi kekerasan tanpa kendali itu dimodifikasi dan diatur sedemikian rupa sehingga berubah menjadi permainan yang terpola dengan seperangkat aturan yang legal. Arenanya dibatasi dalam ukuran tertentu. Aktornya dipilih dengan jumlah terbatas. Ada orang yang mengatur permainan itu sehingga tidak lepas kendali dan berubah menjadi tawuran liar. Mereka yang tertarik boleh menonton dari tempat yang disiapkan tanpa harus mengganggu permainan itu sendiri.

Demikianlah, sepak bola kemudian mengalami transformasi menjadi sebuah ajang permainan penuh pesona dan enak ditonton. Sepak bola dengan segala aturannya yang sekarang kita saksikan saban pekan dalam berbagai liga di dunia bermula di Inggris tahun 1815. Barangkali karena itu Inggris kemudian disebut-sebut sebagai negeri asal sepak bola. Dari tanah Inggris, sepak bola merambah dunia, terutama dibawa oleh bangsa penjelajah dan penakluk dunia seperti Spanyol, Portugis, Perancis, Inggris, Belanda. 

Tentu saja, selain untuk memburu rempah-rempah sambil menyiarkan agama, bangsa-bangsa penakluk itu juga membawa serta piranti budaya ke tanah-tanah jajahan. Di wilayah jajahan bangsa-bangsa penakluk ini, hampir semua perangkat budaya 'dikopi-paste' begitu saja tanpa banyak melewati proses seleksi. Proses akulturasi tidak bisa dihindari. Sepak bola merupakan salah satu budaya permainan impor yang diperkenalkan bangsa-bangsa penakluk itu kepada warga di tanah jajahan. Jika dalam fungsi penyiaran agama, moto yang diusung bangsa penakluk berbunyi cuius regio, eius religio, maka dalam fungsi akulturasi motonya bisa berbunyi cuius regio, eius cultura. Siapa punya wilayah, dia punya budaya. 

Dalam kaitan dengan sepak bola, di mana bangsa penakluk ada, di situ sepak bola berkembang menjadi permainan rakyat. Jangan heran, negara-negara Amerika Latin -- yang ditaklukkan Spanyol dan Portugis -- umumnya adalah negara-negara dengan tradisi sepak bola yang sangat kuat. Saking kuatnya, sepak bola bahkan menjadi 'sakramen penghibur' buat begitu banyak orang. Jangan kaget Stadion Maracana di Rio de Janeiro, Brazil yang punya kapasitas 96.000 tempat duduk disesaki sekitar 210.000 penonton ketika Brazil menghadapi Uruguay pada Piala Dunia tahun 1950. Pemain-pemain hebat dipuja dan dipuji bak santo. Posternya digantung di dinding kamar dan rumah seperti gambar kudus. 

Di belahan dunia lain pun sama juga. Miliaran pasang mata di seluruh sudut bumi tetap melek di hadapan 'tabernakel' bernama televisi saban Sabtu dan Minggu malam. Roh sepak bola demikian kuat menyihir. Dimensinya tidak lagi sebatas lapangan tanah berukuran 100-110 meter panjang x 64-75 meter lebar, tetapi jauh menembus stadion-stadion kenamaan semisal Old Trafford (markas Manchester United), Santiago Bernabeu (Real Madrid), Delle Alpi, Turin (Juventus), San Siro (AC Milan), Nou Camp (Barcelona), dan lain-lain.

Roh sepak bola juga sudah menembus hingga ke meja judi di kampung-kampung di Manggarai, Rote, Alor; ke meja makan dalam rupa gelas dan cangkir berbentuk bola, ke pabrik-pabrik konveksi, ke dapur-dapur minuman kaleng, ke gaya potongan rambut. Bahkan juga mampu masuk ke aquarium di tanah Jerman. 

Singkat kata, roh sepak bola tidak lagi sebatas teknik mengolah si kulit bundar di lapangan, tetapi juga telah memaksa para pengusaha memutar otak menangkap peluang melipatgandakan modalnya. Masuk akal, tuan rumah Piala Dunia selalu jadi rebutan. Dua negara pun bisa jadi tuan rumah patungan. 

Mengapa sepak bola menjadi begitu meluas dimensinya? Untuk apa? Di samping sebagai 'sakramen penghibur', bola kaki juga telah menjadi mesin uang. Berapa liter bir diproduksi di Jerman dan Austria ketika dua negara satu bahasa ini jadi tuan rumah Piala Dunia 2006? Berapa banyak euro masuk dari tarif hotel, restoran, transportasi dan pernak-pernik lain yang diproduksi di dua negara ini? 

Mengapa pemilik Arsenal mesti membangun stadion baru yang lebih luas dan berdaya tampung lebih banyak di Emirates? Karena uang! Asal tahu saja, Stadion Old Trafford, markas Manchester United, itu mampu mendatangkan uang sekitar Rp 20 miliar untuk satu kali laga. Urusan membeli satu pemain sudah bisa diperkirakan dari berapa kali laga di Old Trafford. Itu baru dari karcis, belum termasuk pernak-pernik yang juga mendulang uang.

Buku Bola Itu Telanjang secara tidak langsung sebetulnya juga menunjukkan dimensi-dimensi dari sepak bola. Si penulis buku yang telah diluncurkan, Kamis (9/9/2010) ini, Dion DB Putra, bukan jagoan lapangan. Dia bukan pesepak bola yang piawai menggocek si kulit bundar. Tetapi di sepak bola, Dion menunjukkan dirinya dalam perannya sebagai mata yang mengamati, sebagai otak yang menganalisis dan sebagai jari yang menari-nari di atas tuts komputer.

Selain (alm) Valens Doy yang punya reputasi di tingkat nasional, di jagat NTT saat ini agaknya Dion belum ada tandingan untuk urusan menulis sepak bola. Untuk urusan mengolah bola di lapangan, NTT punya segudang nama. Dari Sinyo Aliandoe hingga Matias Bisinglasi. Dari Cor Montero hingga Anton Kia. Tetapi dalam hal melihat sisi jauh dari sepak bola, rasanya NTT hanya baru punya Dion.

Kumpulan catatan sepak bola dalam buku ini tidak semata memperlihatkan minat yang besar dan analisis yang tajam melihat sepak bola, tetapi sekaligus menunjukkan betapa penulisnya juga tampil sebagai 'lalat liar' yang mampu mengusik ketenangan pencinta sepak bola melihat sisi jauh dari bola itu. Beragam tema dan sudut pandang tulisan, lebih jauh dari itu, juga memperlihatkan begitu kaya dan luasnya dimensi bola dan betapa piawainya si penulis menghadirkan dimensi itu ke ruang publik. 

Membaca tulisan-tulisan dalam buku ini, pembaca akan kembali ke konteks tempus saat tulisan ini dibuat, membuka kembali memori dan merasakan ulang debar-debar dan aroma pertandingan dari setiap tulisan. Karena itu siapa pun yang membaca tulisan-tulisan dalam buku ini akan mendapat begitu beragam sisi lain, beragam dimensi, sudut pandang di balik tirai si kulit bundar yang bernama bola itu. Rugi besar jika tidak membacanya. 

Bola Juga Menelanjangi
BUKU ini mengambil judul Bola Itu Telanjang. Sebuah idiom yang sangat tepat menggambarkan sisi demi sisi, dimensi demi dimensi dari bola itu. Karena telanjang, bola bisa dibidik dari banyak sisi. Karena telanjang, maknanya bisa ditafsir dari berbagai segi dan perspektif.

Tetapi rasanya hanya ada satu makna yang paling 'ultim' di balik bola. Apakah gerangan itu? Tak pelak lagi jawabannya cuma ini: universalitas. Pergilah ke lapangan bola kaki, ke stadion tempat dua klub sepak bola berlaga. Perhatikan wajah-wajah manusia di situ. Tukang parkir sibuk mengatur kendaraan. Penjual makanan kecil gesit menawarkan jajanan. Penjual rokok berpindah dari satu laki-laki ke laki-laki lain. Gadis-gadis berwajah menawan menyorong tiket di pintu masuk.

Di tribun, para bapak sabar melayani kuriositas anaknya yang barusan belajar berjalan. Sambil mengunyah makanan kecil, para ibu asyik 'membelanjakan mata' ke sana kemari mengamati orang yang lalu lalang lalu menebar gosip di antara mereka. Kaum remaja berjalan berbarengan dengan teman-temannya mencari kawan lain lagi untuk ikut bergabung.

Dari mana semua mereka itu? Jangan tanya dari mana. Ini salah pertanyaan. Pertanyaan yang benar, mengapa mereka bisa menyatu di situ? Mereka menyatu di situ karena dan hanya karena bola. Bola mempersatukan mereka. Bola mengumpulkan begitu banyak manusia. Dan, rasanya tidak ada even sehebat dan sekolosal pertandingan bola kaki karena mampu mendatangkan jumlah manusia sedemikian banyak.

Di stadion atau di lapangan bola kaki tidak dikenal suku, umur, golongan, laki, perempuan, tua, muda. Tidak ada tuan, tidak ada hamba. Tidak ada atasan, tidak ada bawahan. Tidak ada pejabat, tidak ada staf. Bola menembus dan mengatasi semua kategori itu dan mendudukkan semua elemen masyarakat pada tempat yang sama : manusia. Bahasa manusia di lapangan juga sama: bahasa cinta. Bahasa cinta itu terekspresi secara sama di stadion. Berjingkrak-jingkrak jika ada gol yang tercipta. Tempik sorak diiringi tepuk tangan membahana jika ada pemain yang mampu memperdayai dan mengecoh lawan. Menggerutu dan sama-sama mengejek pemain yang salah over bola atau menendang bola tidak tepat sasaran. 

Tanpa halangan -- lebih sering juga tanpa sadar -- orang bisa mengekspresikan reaksi spontannya di lapangan dengan cara apa saja. Berteriak sekuat-kuatnya, bertepuk tangan sepuas-puasnya. Menggoyang pinggul sejadi-jadinya. Tertawa selepas-lepasnya. Segala kepenatan dan kelelahan sirna di lapangan bola kaki. Di lapangan bola kaki, manusia tidak cuma menemukan dirinya sebagai homo ludens (manusia yang suka bermain), tetapi sekaligus juga sebagai homo ridens (manusia yang suka tertawa).

Di balik semua itu tergambar dan terbaca dengan jelas perilaku, sifat, pola pikir, pola tindak, dan watak siapa saja di lapangan. Gambaran seperti itu jarang kita temukan di arena lain.
Di lapangan bola kaki, universalitas menjadi sangat nyata. Setelah sikut menyikut merebut bola, dua pemain menyorong tangan dan saling meminta maaf. Seusai pertandingan, kostum akan berpindah ke pemain lawan dan sebaliknya kostum lawan diambil dan jadi koleksi. Keakraban pemain dan penonton juga kasat mata. Tanda tangan pemain adalah pengejawantahan paling kuat dari keakraban itu. Siapa saja boleh meminta tanda tangan pemain idolanya. Jarak antarsesama manusia nyaris tidak ada. 

Kondisinya persis terbalik dengan keadaan di kantor-kantor, baik pemerintah maupun swasta. Bawahan yang ingin mendapat tanda tangan atasan, mesti melapor dan menunggu sang bos meluangkan waktu. Sebaliknya sang bos bisa sesuka hatinya memasang dada dan menarik garis batas tegas dengan bawahannya. Jarak kemanusiaan pun terentang lebar dan dibatasi tembok pemisah yang kokoh.

Tetapi di lapangan bola kaki semua jadi telanjang. Ketelanjangan itu terbaca dengan amat baik di dalam buku Bola Itu Telanjang. Dari perilaku pejabat hingga tukang ojek. Dari ugal-ugalan anak jalanan hingga kegenitan gadis yang masih bau kencur. Dari bocah-bocah yang kuat ingin tahunya hingga kakek-nenek yang haus hiburan. 

Ketenjangan bola berhasil diangkat dan ditunjuk dengan amat baik oleh Dion DB Putra, si penulis buku, dengan memperlihatkan aneka sisi dari bola kaki. Di lapangan bola kaki, misalnya, kita belajar bahwa sukses besar adalah hasil sebuah kerja sama tim. Banyak pemain berpredikat bintang, tetapi di pertandingan bola kaki tidak ada pemain tunggal. Tidak ada pemain bintang yang bercahaya sendiri tanpa kilatan cahaya dari pemain lain. Karena itu, di lapangan bola kaki betapa nisbinya predikat pemain bintang.

Juventus (Italia) yang membunuh Ajax (Belanda) di rumahnya sendiri pada laga semifinal Liga Champions 1997, Kamis 10 April 1997, misalnya, tampil tanpa bintang andalannya, Alesandro Del Piero. Juventus menggilas Ajax karena sukses mengatur irama pertandingan dengan menerapkan disiplin ketat dan penetrasi tepat waktu ke jantung pertahanan Ajax. 

Duel wakil Italia dan Belanda ini juga memperlihatkan sisi lain lagi dari sepak bola. Yakni bahwa bola kaki sangat kuat membangkitkan nasionalisme setiap bangsa membela bangsanya. Perdana Menteri Belanda (ketika itu), Wim Kok, hadir di Stadion Arena untuk menyuntik semangat kesebelasan Ajax dalam pertandingan itu (halaman 105 - 108).

Bola juga menelanjangi sifat lain lagi dari manusia, yakni suka merasa besar dan sering lupa diri. Euro 2004 menelanjangi David Beckham dari Inggris dan Luis Figo dari Portugal ketika kedua negara ini tampil di perempat final. Gagal mengeksekusi penalti, Beckham membela diri dan dengan seenaknya berkata, "Ada sesuatu yang salah di bawah sepatu kami. Ketika saya meletakkan kaki saya, bola terangkat.... Tetapi saya masih bangga sebagai kapten tim ini."

Sedangkan Luis Figo ngambek ketika ditarik keluar lapangan pada menit ke-75 dan digantikan Helder Postiga. Pelatih Portugal, Luis Felipe Scolari, menarik Figo karena bermain jelek. Sejumlah peluang emas gagal dimanfaatkannya untuk menjebol gawang Inggris yang dijaga David James. Delapan menit kemudian Postiga membuktikan bahwa dia pantas menggantikan Figo. Tandukannya merobek gawang Inggris. Buntutnya, di ruang ganti Figo tak menyalami Postiga.
Sikap Beckham dan Figo adalah representasi sikap kebanyakan orang besar atau penting, yakni sulit mengaku salah dan merasa diri lebih penting. Tipe orang seperti ini cenderung pongah dalam mengambil keputusan dan menentukan sikap. Ketika duel Inggris versus Portugal itu harus diselesaikan melalui adu penalti, pelatih Inggris, Sven Goran Eriksson, mengumpulkan semua pemainnya. Dia tanya satu persatu tentang kesiapan mereka. Dengan pongah dan gegabah, Beckham angkat bicara. 

"Aku akan mengambil tendangan pertama," kata Beckham. Tak dinyana, tendangannya melambung jauh dari mistar gawang menuju istrinya, Victoria, yang duduk di kursi VIP dengan pakaian tembus pandang. Apa lacur! Justru kepongahan dan keputusan gegabah ini meruntuhkan moral Inggris (halaman 611-616).

Bola itu telanjang, menurut si penulisnya, karena bola menyentuh sesuatu yang sangat mahal : spontanitas, kejujuran, tanpa basa-basi. Orang berhenti atau menunda aktivitas lain dan bergegas ke lapangan bola kaki karena spontanitas. Tidak ada yang memaksa. Mengolah bola di lapangan juga mensyaratkan kejujuran (halaman 495-498).

Di lapangan bola kaki tidak ada tempat untuk tipu menipu. Semua berjalan sesuai aturannya. Kalau dalam demokrasi rule of the game lebih banyak cuma pro forma, maka di lapangan bola kaki rule of the game itu diterapkan relatif jauh lebih baik dan konsisten. Kalau dalam demokrasi, kalah atau menang dalam pemilu begitu dilebih-lebihkan seolah-olah menjadi tujuan utama demokrasi, maka di lapangan bola kaki, kalah-menang cuma akibat dari sebuah pertandingan, bukan tujuan utama pertandingan itu sendiri.

Bola tidak cuma telanjang. Lebih jauh dari itu, bola juga menelanjangi. Dia menelanjangi sisi lain dari manusia. Dia menelanjangi para 'aktor' di lapangan, para penonton di stadion sampai kepada para pemirsa di rumah-rumah warga yang ribuan kilometer dari arena pertandingan. Bola menelanjangi watak, tabiat, pola pikir, pola tindak orang besar dan penting yang duduk manis di tribun kehormatan hingga tukang parkir di lapangan parkir.

Jika bola tidak menelanjangi, maka arena pertandingan tak bakal seru dan ramai oleh gelak tawa, tempik sorak dan pekikan para penonton. Jika bola tak menelanjangi, maka tribun cuma akan dipenuhi oleh mereka yang dimobilisasi, bukan mereka yang datang secara spontan. 

Yang telanjang, memang selalu menggoda hasrat. Ingin mengetahui dan merasakan seperti apa bola itu telanjang? Buka halaman demi halaman, simak isinya, maka Anda akan rasakan sensasi yang luar biasa dari buku Bola Itu Telanjang. *

Sumber: Pos Kupang 13 dan 14 September 2010, halaman 1

Anda berminat mengoleksi
Hubungi dionbata@gmail.com


Dion Luncurkan Buku Bola Itu Telanjang

BERTEPATAN dengan peringatan Hari Olahraga Nasional dan menyambut kejuaraan sepakbola El Tari Memorial Cup 2010, pemimpin redaksi SKH Pos Kupang, Dion DB Putra meluncurkan buku berjudul Bola itu Telanjang.

"Terima kasih kepada semua pihak yang dengan caranya masing-masing mendukung penerbitan buku ini. Buku ini saya persembahkan untuk pembinaan olahraga di NTT sehingga saya pilih acara peluncuran tanggal 9 September yang merupakan Hari Olahraga Nasional," ujar Dion di sela-sela acara peluncuran bukunya di Kantor Redaksi Pos Kupang, Kamis (9/9/2010) lalu.

Peluncuran ditandai dengan penyerahan buku dari penulis kepada Pemimpin Umum SKH Pos Kupang, Damyan Godho, Pemimpin Perusahaan, Daud Sutikno, para redaktur serta manajer di lingkungan Pos Kupang.



Buku Bola Itu Telanjang diterbitkan Penerbit Lamalera- Yogyakarta. Marianus Kleden menulis kata pengantar ditutup dengan epilog dari Yosni Herin. Buku setebal 875 halaman ini berisi bunga rampai catatan sepakbola Dion DB Putra yang pernah diterbitkan Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang sejak tahun 1995. 

Bagi penggemar sepakbola di NTT tentu tidak asing lagi dengan catatan sepakbola Dion yang rutin hadir pada event sepakbola, mulai dari kejuaraan El Tari Memorial Cup, Liga Indonesia, Liga Eropa sampai kejuaraan paling akbar Piala Dunia.

"Saya berterima kasih kepada trio editor, Sdr. Fery Jahang, Eugenius Moa dan Sipri Seko yang telah menyusun kembali catatan-catatan lepas menjadi sebuah buku yang utuh," katanya.

Ketua tim pemasaran buku, Ferry Jahang menyatakan, sebagian buku telah beredar di Pulau Jawa, khusus Jakarta lewat jaringan penerbit Lamalera dan sebagian beredar di NTT. Di Jakarta bisa dapatkan buku ini di TB Gramedia. "Bagi yang ingin mendapatkannya bisa langsung menghubungi kami di Kantor Pos Kupang di Kupang," demikian Fery. (eko)

Pos Kupang Senin, 13 September 2010 halaman 8

Suanggi

"OBAT yang dokter kasih tempo hari saya sudah minum semua. Tapi sudah dua bulan ini saya tidak sembuh-sembuh juga. Saya sudah bilang, saya ini tidak sakit apa-apa. Saya kena suanggi, dokter! Jadi, jangan kasih saya obat lagi."

Dokter muda itu sesaat bingung harus menjawab apa. Pasien pria paruh baya yang duduk di depannya mati-matian berdalih bahwa dia tidak sakit. Dia batuk berkepanjangan sampai rongga dada terasa mau pecah semata akibat suanggi dari tetangganya di kampung. Tetangganya itu iri hati atas keberhasilannya dalam berkebun dan beternak.

Setelah mendengar keluhan pasiennya, Rita, dokter PTT yang baru bertugas kurang dari enam bulan di sebuah Puskemas di pedalaman Pulau Flores itu berusaha memberi penjelasan yang masuk akal.



"Bapak kena penyakit di daerah paru-paru sehingga lama baru sembuh, bukan kena suanggi. Saya mohon Bapak minum obat lagi ya? Tinggal beberapa bulan lagi Bapak sudah sembuh," kata Dokter Rita yang sengaja tidak menyatakan pria itu menderita TBC. Sesuai pesan dari seniornya yang lebih dulu bertugas di Puskemas itu, kata TBC berkonotasi negatif bagi warga setempat sehingga dianjurkan memilih istilah lain.

"Pokoknya saya tidak mau. Orang lain dokter kasih obat langsung sembuh. Saya tidak. Makanya dokter, saya tidak akan datang lagi ambil obat di Puskemas ini," lanjut pria yang mengenakan sarung tersebut. Tanpa menunggu reaksi lanjutan dari Dokter Rita, pria itu pamit dan meninggalkan Puskemas. Dokter Rita yang baru bertugas medio 2009 melepas kepergian pasiennya itu sambil geleng kepala. 

Dia agak heran karena masih ada orang percaya suanggi alias tukang santet. Kondisi tersebut mestinya sudah hilang sejak sepuluh atau limabelas tahun lalu. Ternyata belum hilang. Masyarakat di pedalaman masih percaya suanggi dan yang bisa melawan serangan suanggi hanyalah dukun, bukan dokter atau paramedis.

"Pengalaman itu sangat berkesan. Saya kemudian belajar untuk lebih memahami masyarakat. Butuh ketelatenan dalam memberi pengertian tentang manfaat obat atau tentang bahaya suatu penyakit. Dan, umumnya orang kampung lebih mudah percaya dengan melihat contoh," kata dokter muda tersebut.

Kiranya para dokter yang pernah bertugas di pedalaman Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki pengalaman yang unik dan bervariasi. Beberapa waktu lalu seorang dokter PTT yang bertugas di Kabupaten Ende menceritakan pengalaman lucu. Suatu ketika dia meminta kepada kader Posyandu untuk mencari calon akseptor Keluarga Berencana (KB). "Dok, akseptor KB itu saya bisa beli di Rumah Sakit atau apotek to?" kata kader itu penuh semangat. Si dokter terbahak-bahak. 

Kembali ke urusan suanggi, tuan dan puan serta beta yang asli Flobamora sudah tidak kaget dan asing lagi. Dunia persuanggian memang masih lengket dengan kehidupan sosial masyarakat di ini propinsi. Hampir setiap suku bangsa di NTT mengenal suanggi. Yang berbeda cuma sebutan seturut bahasa lokal masing- masing. Misalnya Ata Polo, Alaut, U'en, Mnaka, Buan dan Janto.

Suanggi juga sangat populer di masyarakat Maluku dan Papua. Tenaga medis yang berkarya di sana kerap direpotkan dengan kepercayaan masyarakat tentang suanggi. Kalau sakit atau mati suanggi dituding!

Begitu populernya suanggi sampai sejumlah pulau dan tempat di Indonesia diberi nama suanggi. Ada pulau suanggi, batu suanggi, rumah suanggi, pohon suanggi dan lainnya. Jika tuan dan puan kurang percaya, silakan pakai mesin pencari di jagat maya dengan kata kunci suanggi. Banyak nian kisah tentang suanggi. Ngeri!

Kisah suanggi paling menarik perhatian publik pernah terjadi di Kabupaten Alor medio 1990-an. Ketika itu sejumlah orang dibunuh gara-gara dicurigai sebagai suanggi. Sewaktu menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Kalabahi, pelaku pembunuhan bersikukuh bahwa tindakannya benar. Dia membunuh karena 'kelompok suanggi' itu menyusahkan masyarakat. Ketimbang mereka terus menyusahkan orang lain maka lebih baik dihabisi. Wow! Majelis hakim tidak terpengaruh. Mereka tetap berpatok pada ketentuan hukum. Menghilangkan nyawa orang lain dengan motif apapun mesti diganjar hukuman setimpal.

Setelah belasan tahun berlalu kini muncul lagi kasus suanggi di Rote, pulau terselatan NKRI. Yunus Ndun (44), warga Nafioen, Desa Lidor di Kecamatan Rote Barat Laut, ditembak dengan senjata api rakitan oleh dua orang yang menuduhnya sebagai suanggi, Rabu (1/9/2010) malam. Yunus menderita luka serius di paha kanan dan pantat. Dia mendapat perawatan di RSUD Ba'a. Namun, karena lukanya cukup serius maka dirujuk ke RSU Prof. Dr. WZ Johannes-Kupang.

Menurut Kasat Reskrim Polres Rote Ndao, Iptu David Candra Babega, polisi sudah menangkap dua pria yang diduga menembak Yunus, yakti Elias Ello dan Osias Ello. Bagaimana akhir kisah penembakan bermotif suanggi ini, ya kita tunggu saja hasil kerja aparat penegak hukum di Rote Ndao. Yang bisa kita petik dari peristiwa ini adalah suanggi bisa memicu orang bertindak nekat. Menembak bahkan membunuh sesama yang belum tentu bersalah sebagaimana disangkakan.

Omong-omong soal suanggi, rasanya bukan milik orang kampung saja, kawan! Sebagian orang yang hidup di kota dengan kapasitas sangat terpelajar pun masih percaya kekuatan suanggi. Mereka biasanya punya kedudukan penting di suatu instansi. Mereka amat takut kehilangan kedudukan sehingga mencari segala cara untuk mengamankan diri termasuk pakai sihir suanggi. Menggunakan jasa "orang pintar" agar kebal dari gempuran orang lain yang dianggap lawan. Padahal kemungkinan besar mereka yang punya kedudukan itu hanya takut pada bayangan sendiri. He-he-he...

Sesungguhnya 'suanggi modern' berkeliaran bebas di banyak tempat. Hidup di sekitar kita. Siapakah mereka? Ya, itu yang suka sedot uang negara masuk kantong pribadi. Yang doyan peras pakai kuasa dan wewenang. Yang tak peduli kasus gizi buruk, kematian balita dan ibu hamil. Yang jual murah kekayaan alam kepada pemilik modal tanpa pertimbangkan kelestarian alam. Yang suka terbang hingga ke ujung dunia menggunakan fasilitas dari uang rakyat. Apa bedanya dengan suanggi? Toh sama saja. Jahat! Sama-sama menyusahkan orang. Membunuh! Atau karmana menurut pendapat suanggi. Eh, tuan dan puan? (dionbata@gmail.com)

Sumber: Pos Kupang edisi Senin, 6 September 2010 halaman 1

Terkurung 3.096 Hari di Bawah Tanah

Natascha Kampusch, yang dikurung di gudang bawah tanah di Austria selama delapan tahun, akhirnya mengungkapkan pelecehan yang dialami selama di tangan penculiknya.

Dalam bukunya, dia menceritakan bagaimana dirinya dipukuli sampai 200 kali seminggu, dirantai ke penculiknya saat mereka tidur bersama di tempat tidur si penculik, dan dipaksa untuk mencukur rambutnya serta bekerja setengah telanjang sebagai budak rumah tangga. Kampusch, sekarang 22 tahun, diculik pada usia 10 oleh Wolfgang Priklopil dan terkurung di ruang bawah tanah di bawah garasi pria itu di Austria.

Bukunya yang berjudul 3.096 Hari, untuk mengacu pada jumlah waktu dia disekap, akan dipublikasikan, Rabu (8/9/2010). Untuk peluncuran buku itu, Kampusch dilaporkan akan meraup uang 1 juta poundsterling.

"Saya sekarang merasa cukup kuat untuk menceritakan secara lengkap kisah penculikan saya," katanya. Dia menulis bahwa Priklopil memaksanya untuk memanggil pria itu sebagai "Tuanku" atau "Maestro". Sementara untuk dia, Priklopil mengatakan, "Kau bukan lagi Natascha. Sekarang kau milikku."


Dia mengklaim, dirinya dipukuli begitu parah oleh Priklopil, pria itu bahkan mematahkan tulangnya. "Dia benci kalau sakit membuat saya menangis. Lalu ia menyergapku di tenggorakanku, menarik saya ke wastafel, mendorong kepala ke bawah air, dan meremas tenggorokan saya sampai saya hampir kehilangan kesadaran. Saya juga masih ingat dengan jelas suara gemeretak di tulang belakang saya ketika Priklopil memukul kepala saya berulang kali dengan kepalan tangannya."


Dalam bukunya, yang diterbitkan berseri di Daily Mail, Kampusch menulis tentang trauma kekurangan kontak dengan manusia. "Saya masih anak-anak, dan saya butuh sentuhan kasih sayang. Jadi, setelah beberapa bulan di gudang bawah tanah, saya meminta penculik saya untuk memeluk saya. Itu sangat sulit. Saya menjadi sesak napas karena panik ketika dia memelukku terlalu kencang. Setelah beberapa kali mencoba, kami berhasil melakukannya-tidak terlalu dekat, tidak terlalu kencang, tetapi cukup sehingga saya bisa membayangkan perasaan sentuhan yang penuh kasih, perhatian."

Dia juga menceritakan, sebagiamana dilaporkan Telegraph, Senin (6/9/2010), bagaimana Priklopil memaksanya untuk berbagi tempat tidur dengan pria itu.

"Ketika saya berusia 14, saya menghabiskan malam di atas tanah untuk pertama kalinya. Saya berbaring kaku ketakutan di tempat tidurnya saat ia berbaring di sampingku dan mengikat pergelangan tangan saya dengan borgol plastik. Saya tidak diizinkan untuk membuat suara."

"Saat saya merasakan napasnya di belakang leherku, saya mencoba bergerak sesedikit mungkin. Punggung saya, yang karena dipukuli jadi menghitam dan biru, sangat sakit sehingga saya tidak bisa berbaring di atasnya, dan belenggu itu melukai kulit saya. Tapi ketika ia memborgol saya padanya pada malam-malam itu, itu bukan soal seks. Orang yang telah memukul saya dan mengunci saya di ruang bawah tanah itu memiliki sesuatu yang lain dalam benak: ia hanya menginginkan sesuatu untuk dipeluk."

Buku itu juga mengungkapkan keputusasaan yang memaksa dia untuk mencoba bunuh diri beberapa kali. "Saya tahu saya tidak bisa menghabiskan seluruh hidup saya seperti ini. Hanya ada satu jalan keluar: bunuh diri. Pada usia 14 tahun, saya mencoba beberapa kali mencekik diri dengan barang dari pakaian. Pada usia 15, saya mencoba melukai pergelangan tangan saya dengan sebuah jarum jahit yang besar."

"Kali lain, saya menumpuk kertas dan gulungan kertas toilet ke kompor listrik saya. Penjara bawah tanah itu penuh dengan asap dan saya dengan lembut hanyut terbawa arus, lari dari kehidupan yang tidak lagi milik saya."

Publikasi buku itu akan memalukan Pemerintah Austria, saat seorang anggota parlemen menyatakan bahwa polisi mengabaikan informasi yang bisa mencegah perempuan itu terkurung. Kampusch melarikan diri pada usia 18 tahun pada tanggal 23 Agustus 2006. Sadar bahwa polisi akan menangkapnya, Priklopil (44 tahun) melakukan bunuh diri dengan melompat ke rel kereta. *

Misteri Danau Tri Warna Kelimutu

Fenomena perubahan-perubahan warna air di tiga kawah Kelimutu di Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, sudah sejak lama menimbulkan kekaguman.

Kawah di gunung itu antara lain, Tiwu Ata Polo sering menunjukkan warna merah darah, Kawah Tiwu Nua Muri Koo Fai berwarna hijau zamrud, dan Kawah Tiwu Ata Bupu berwarna putih.

Karena itu, Kelimutu juga sering disebut Danau Triwarna. Namun, sesekali warna ketiganya bisa pula menjadi seragam. Mau Lihat silakan klik di sini.

Tu'an di Kampung Bei

BEI adalah nama sebuah kampung yang terletak di Desa Blatatatin, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka. Jaraknya dari Kota Maumere sekitar 15 kilometer ke arah timur. Kampung Bei belum semaju daerah lainnya. Ini bisa terlihat dari belum adanya aliran listrik PLN yang melani ke wilayah ini dan sarana jalan yang kurang memadai serta masih minimnya fasilitas umum lainnya.

Namun, kampung yang terletak di perbukitan itu memiliki potensi di bidang pertanian dan juga peternakan. Yang paling dominan adalah nangka. Bei terkenal sebagai penghasil nangka di Kabupaten Sikka.

Aroma dan cita rasanya khas jika dibanding dengan nangka dari daerah lainnya. Mungkin iklim dan tekstur tanah di Bei lebih cocok untuk nangka. Selain itu masih ada hasil pertanian lainnya seperti coklat, cengkeh dan kelapa. Mata pencaharian sekitar 150 kepala keluarga di kampung tersebut juga mayoritas petani.


Ada satu hukum yang tidak tertulis di kampung yang masih berlaku hingga saat ini. Aturan tersebut adalah warga dilarang untuk menebang pohon dalam satu kawasan yang diberi nama 'tu'an' (hutan). Kawasan tersebut tidak terlalu besar. Luasnya sekitar 300 meter kali 200 meter. Di dalamnya tumbuh berbagai jenis pohon.

Menurut ceritera turun-temurun, warga yang menebang pohon di 'Tu'an secara liar maka akan mendapat malapetaka dan bencana alam seperti hujan dan angin yang tak kunjung redah. Kepercayaan ini membuat masyarakat tidak semena-mena menebang pohon di kawasan ini, sehingga kawasan hutan atau tu'an' ini masih tetap lestari hingga kini. 

Sebenarnya pepohonan ini bisa ditebang untuk kepentingan masyarakat, namun harus melalui upacara adat terlebih dahulu. Seperti belum lama ini dilakukan upacara adat untuk penebangan beberapa jenis pohon untuk pembangunan kantor desa.

Keberadaan 'tu'an' tersebut secara ekologis sangat berperan dalam mencegah terjadinya erosi di kawasan perbukitan tersebut. Bisa dibayangkan, jika tidak ada kearifan yang diturunkan dari nenek moyang, maka kawasan ini sudah masuk dalam arena rawan longsor. Sehingga aturan yang tidak tertulis itu sebenarnya suatu kearifan lokal yang perlu dipertahankan.(Alfred Dama)

Pos Kupang Sabtu, 4 September 2010 halaman 5
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes