Standing Ovation Usai Tonton Soegija

Mgr Albertus Soegijapranata SJ bersama Bung Karno (istimewa)
MANADO, TRIBUN - Luar biasa. Bisokop 21 di Manado Town Square, Kamis (7/6/2012) penuh sesak. Di antara jejalan para penonton film itu terdapat Gubernur Sulawesi Utara Dr Sinyo Harry Sarundajang, Wakil Gubernur Djauhari Kansil, Sekdaprov, Rachmat Mokodongan, Uskup Manado Mgr Joseph Suwatan dana para pejabat di daerah ini.

Kedatangan mereka untuk memenuhi undangan nonton bareng pemutaran perdana film Soegija dari GP Anshor Sulut yang dikomandoi Benny Ramdhani. Acara ini didukung PMII Komisariat STAIN dan Tribun Manado.

Benny dalam pembukaan nonton bareng di Studio 1 mengatakan, generasi baru GP Ansor perlu belajar dari sosok Soegija. "Romo Soegija layak mendapat tempat terhormat, karena selama ini sejarah seolah menenggelamkannya. Sejarah bukanlah milik kaum mayoritas, suku, agama atau ras tertentu, GP Ansor perlu belajar nilai-nilai tersebut," ujar anggota DPRD Sulut ini disambut tepuk tangan.

Pernyataan Soegija tentang 100 persen Katolik, 100 persen Indonesia perlu ditiru dan diaplikasikan dengan menyatakan 100 persen Sulawesi Utara, 100 persen Indonesia.

Melalui film ini banyak pembelajaran yang menurutnya bisa diambil seperti pengorbanan akan nilai kemanusiaan dan multikulturalisme. "Vatikan pertama kali dan satu-satunya di negara Eropa yang saat itu mengakui kemerdekaan Indonesia atas perjuangan Romo Soegija," imbuhnya.

Ia juga mengkritisi kelompok tertentu yang seolah-seolah kebenaran dan Indonesia milik kelompok tersebut. " Mari kita lawan mereka dengan cara cinta kasih bukan dengan kekerasan seperti yang mereka lakukan, kita melawan hegemoni dan kekerasan dengan cinta kasih, satu merah putih satu Indoensia," katanya tegas.

Uskup Manado Mgr Joseph Suwatan mengapresiasi inisiatif GP Ansor dalam penyelenggaraan noreng ini. Sosok Uskup Mgr Soegijapranata SJ menjadi pemuda yang memiliki cita-cita dan memilih menjadi gembala. Kiprah Soegija menurut Suwatan dikenal dengan kebhinekaan, nilai kemanusiaan serta pluralisme. "Saya ini  dengar sosok beliau sejak saya seminari semester dua atau frater, Romo Soegija dikenal dengan postur tubuh yang kecil namun lincah," ujarnya.

Uskup mengakui dari film ini banyak hal yang bisa diambil, maka ia pun memiliki antusiasme untuk noreng dan itu adalah kali pertama ia menonton di 21 Cineplex Mantos selama 50 tahun dalam karya imamat. Meski film diputar pukul 17.00 Wita, sejak pukul 15.00, Uskup Manado sudah bersiap dari Keuskupan dan berangkat ke Mantos.

Gubernur Sarundajang pun menyampaian apresiasi kepada GP Ansor dan media yang telah mendukung acara ini, Tribun Manado. "Film ini mengandung pelajaran berharga. Mengajarkan tentang perjuangan," kata Sarundajang.

Ia mengatakan, film ini juga menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang ajaib. Menurutnya, berbagai macam budaya, suku, dan agama ada. "Meski berbeda kita tetap saling menghormati dan menjunjung pluralisme. Dan Sulut bisa menjadi contoh," tuturnya.

Menurut Sarundajang, dengan menonton film ini menunjukkan bahwa apa yang terjadi di Sulut adalah hal yang benar. Kata Sarundajang, kerukunan yang terjadi di Sulut sudah merupakan jalan yang tepat.

"Dengan demikian semakin memperkuat keyakinan kita sebagai anak bangsa. Ini juga membuktikan bahwa kita mengakui empat pilar bangsa yakni Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI,"  ucap Sarundajang.

Wakil Gubernur Dr Djouhari Kansil yang juga ikut nonton mengatakan, film ini mengajarkan nilai-nilai perjuangan. "Apalagi bagi anak muda saat ini. Yang belum nonton silakan, dan ambil pelajaran dari situ," tutur Kansil.

Sekdaprov Rachmat Mokodongan, ikut berkomentar soal film besutan Garin Nugroho ini. Ia mengatakan, film ini mengajarkan bahwa untuk menuju satu tujuan hal yang diperlukan sebagai modal adalah persatuan dan kesatuan. "Tidak melihat asal usul, suku, dan agama, semua berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan," tutur Mokodongan.

Film ini menyajikan suasana dengan minim musik iringan membawa penonton ke era 1940-an. Penonton menyimak dengan serius terutama saat beberapa kalimat yang diucapkan pemeran utama Nirwan Dewanto sebagai Soegija sarat dengan nilai-nilai.

Demikian saat pemeran Mariyem bersama jurnalis asal Belanda berboncengan  dengan latar belakang alam dan senja yang romantis, penonton spontan bersorak, seolah momen tersebut bagian dari diri. Atau saat pemeran remaja yang buta huruf dengan keunikan wajah dan ekspresinya bisa mengundang gelak tawa.

Butet Kertarajasa juga sukses mengurai urat tawa penonton, setiap dialog yang disampaikan membuat penonton terpingkal. Selain itu ada beberapa kisah pedih para tokoh, seperti kehilangan, berpisah dan momen-momen lain yang menyentil rasa haru penonton.

Sutradara film Soegija sukses memberikan suguhan penuh nilai dan ibarat masakan mampu memberikan menu lengkap, mengenyangkan sekaligus menyehatkan. Dan penonton pun puas. (aro/rob)


Bukan Film Asal Jadi


PENONTON film Soegija benar-benar membeludak. Menurut Andy Zalira, perwakilan dari Studio 21 Mantos mengatakan, studio penuh sesak dan diisi peserta nonton bareng lebih dari 290 orang.

Ia mengaku senang GP Anshor dan Benny Ramdhani memrakarsi nonton bareng ini. "Ini ada kaitan dengan nasionalisme. Ini soal kebersamaan," ujarnya, kemarin.

Ia menyebut banyak film nasional yang asal jadi. Tapi Soegija merupakan film yang berkualitas. "Saya harap banyak film yang masuk itu berisi tentang kepahlawanan dan pendidikan. Ini sangat baik untuk generasi muda,"ujarnya.

Uskup Manado Joseph Suwatan MSC mengaku kagum dengan film yang baru ditonton itu. Ada pesan kemanusiaan yang mendalam.

"Saya melihat seorang tentara yang menjadi berubah ketika ia melihat bayi dalam keranjang padahal ia mengira bapak bayi yang ditembak itu menyembunyikan senapan. Uskup Soegijapranoto juga membantu langsung masyarakat yang menderita saat itu," ujarnya.

Ia melihat perjuangan uskup ini sungguh luar biasa. Soegijapranoto memanfaatkan jabatan uskupnya sehingga duta Vatikan bisa memahami dan membuat Vatikan menjadi negara yang pertama mengakui kemerdekan Indonesia. Ini memengaruhi negara-negara lain. "Ia juga rela memindahkan keuskupan Semarang ke Yogyakarta karena pemerintahan Indonesia berpindah ke daerah itu."katanya.

Mengenai antusiasme warga yang menonton, monseignur berharap informasi dari film tentang kemanusiaan, kesatuan bisa di wartakan. "Apalagi dalam situasi akhir-akhir ini di mana orang mulai melihat perbedaan. Mudah-mudahan film ini bisa menggunggah," tandasnya.

Benny juga mengaku bersyukur ada sosok seperti Uskup Soegijapranoto. Menurut Benny, uskup mengajarkan banyak hal hal soal kebersamaan, kebangsaan dan nilai-nilai universal lain.

Benny berharap dengan antusiasme warga yang menonton akan tercipta satu rumusan bersama untuk memerjuangkan nilai yang dibawa oleh Uskup Soegijapranoto. "Mari kita kalahkan kemunafikan. Rumah kita hanya satu yaitu Indonesia. Dasar negara kita hanya satu yaitu Pancasila," tandasnya. (dma)

Sumber: Tribun Manado Jumat 8 Juni 2012 halaman 1



Film SOEGIJA

Sutradara : Garin Nugroho
Produser Eksekutif : Y I Iswarahadi SJ
Produser :
Djaduk Ferianto
Murti Hadi Wijayanto SJ
Tri Giovanni
Pemain :
Nirwan Dewanto
Annisa Hertami Kusumastuti
Butet Kertaradjasa
Olga Lidya
Wouter Braff
Wouter Zweers


Sinopsis


Film ini ingin melukiskan kisah-kisah kemanusiaan di masa perang kemerdekaaan bangsa Indonesia (1940-1949). Adalah Soegija (diperankan Nirwan Dewanto) yang diangkat menjadi uskup pribumi dalam Gereja Katolik Indonesia. Baginya kemanusiaan itu satu, kendati berbeda bangsa, asal-usul, dan ragamnya.

Dan perang adalah kisah terpecahnya keluarga besar manusia. Ketika Jepang datang ke Indonesia (1942), Mariyem ( Annisa Hertami) terpisah dari Maryono (Abe), kakaknya. Ling Ling (Andrea Reva) terpisah dari ibunya (Olga Lydia).

Tampaknya keterpisahan itu tidak hanya dialami oleh orang-orang yang terjajah, tetapi juga oleh para penjajah. Nobuzuki (Suzuki), seorang tentara Jepang dan penganut Budhist, ia tidak pernah tega terhadap anak-anak, karena ia juga punya anak di Jepang. Robert ( Wouter Zweers), seorang tentara Belanda yang selalu merasa jadi mesin perang yang hebat, akhirnya juga disentuh hatinya oleh bayi tak berdosa yang ia temukan di medan perang. Ia pun rindu pulang, ia rindu Ibunya.

Di tengah perang pun Hendrick (Wouter Braaf) menemukan cintanya yang tetap tak mampu ia miliki karena perang. Soegija ingin menyatukan kembali kisah-kisah cinta keluarga besar kemanusiaan yang sudah terkoyak oleh kekerasan perang dan kematian.


Biografi Soegija
Monseigneur Albertus Soegijapranata SJ., atau lebih dikenal dengan Soegija. Lahir 25 November 1896 di Kampung Kepatihan Meten Surakarta. Putra kelima dari perkawinan Karjasoedarma dan Soepijah. Mereka adalah abdi dalem Kraton Surakarta.

Dari Surakarta, keluarga Karjasoedarmo pun pindah tempat tinggal ke Wirogunan, Yogyakarta. Soegija kecil sekolah di Sekolah Rakyat di Ngabean. Pindah lagi ke Sekolah Rakyat Pakualaman. Lalu pindah lagi ke HIS Wirogunan. Di HIS Wirogunan inilah, Soegija mengenal Rm F van Lith SJ., yang datang ke Yogyakarta untuk mencari murid yang mau melanjutkan sekolah di Muntilan.

Tahun 1909, Soegija masuk sekolah di Muntilan. Dan, pada 24 Desember 1909 Soegija dibaptis dengan nama permandian Albertus. Tahun 1910, Soegija melanjutkan sekolah di Kweekschool voor Javaanse Onderwijneers, sekolah ini baru saja dibuka waktu itu.

 Soegija lulus ujian penghabisan di Kweekschool dan diangkat menjadi guru di sekolah tersebut pada tahun 1915. Setelah menjadi guru, tahun 1916, Soegija menyatakan keinginannya untuk menjadi seorang imam.

Tahun 1919, Soegija Berangkat ke Belanda untuk belajar di Gymnasium, Leiden yang diasuh para imam ordo Salib Suci. Setahun berikutnya, tahun 1920, masuk Novisiat Serikat Jesus di Mariendaal, setelah ada ijin khusus dari pembesar Serikat Jesus, karena Soegija menjadi katolik setelah dewasa.

27 September 1922, Soegija mengucapkan Triprasetya dalam Serikat Yesus. Seusai belajar filsafat di Berchmans College, Ondenbosch, Fr. Soegija pulang ke Indonesia dan ditugaskan sebagai guru di Muntilan tahun 1923. Selama di Muntilan ini Fr. Soegija juga aktif di bidang pers sebagai redaktur majalah mingguan Katolik berbahasa Jawa, Swara Tama. Tahun 1928, Berangkatlah Soegija ke Belanda untuk belajar teologi di Maastricht. Setahun kemudian, tahun 1929, untuk pertama kalinya pergi ke Roma menghadap Paus Pius XI bersama-sama dengan empat orang Jesuit dari Asia lainnya. Pada tanggal 25 dan 26 Mei 1931, Soegija resmi menerima tahbisan subdiakonat dan diakonat di Maastricht.

SUMBER : www.soegijathemovie.com

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes