Senandung Pilu Petani Reroroja

DALAM kurun waktu dua tahun terakhir sebagian besar petani di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) mengeluhkan hal yang sama. Ketika memasuki musim tanam tahun 2011, curah hujan terlalu tinggi di sejumlah wilayah sehingga tanaman pertanian mereka tidak bertumbuh sewajarnya. Dan, petani NTT menikmati dampak nyata yakni gagal panen. Kalaupun memanen hasil jagung, kacang atau sayuran, produksinya jauh dari harapan. Tidak memadai untuk menopang pendapatan petani yang hanya mengandalkan hasil pertanian.

Memasuki musim tanam tahun 2012 lagi-lagi petani kita mengeluh. Kali ini hujan terlambat turun ke bumi dan curahnya sangat minim. Dalam kondisi normal, bulan Januari dan Februari biasanya curah hujan sangat tinggi di NTT dengan sebaran merata. Kenyataan sekarang sebaliknya. Di banyak tempat panas matahari justru menggigit kulit sejak Januari hingga akhir Februari 2012.

Curah hujan yang sangat minim membuat petani menjerit. Mereka tidak dapat menanam sesuatu untuk mempertahankan cadangan pangan keluarga. Rawan pangan dan kelaparan kini mengancam kehidupan petani Flobamora. Jeritan terkini kita dengar dari Mageloo dan Duli, Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka. Petani di sana sudah menanam padi tapi padi mati karena minimnya debit air yang masuk ke sawah. Bibit padi yang siap ditanam pun telah kering. Sekitar 300 ha sawah di wilayah tersebut dipastikan tidak bisa ditanami padi karena ketiadaan air.

“Petani di Desa Reroroja tahun ini tidak bisa tanam. Yang sudah tanam sekarang saja padi mati karena air tidak masuk. Sekarang ada lahan yang mau ditanami tapi air tidak ada lagi. Tahun ini pasti gagal panen lagi,” kata Kepala Desa Reroroja, Cyrilianus Badjo, Senin (27/2/2012). Menurut Badjo, lahan persawahan di Reroroja yang bisa ditanami padi tahun ini sekitar 200 ha saja karena kecilnya debit air dari sungai.

Kita bisa memastikan kenyataan pahit tersebut tidak hanya menimpa petani Reroroja, Kabupaten Sikka. Masih banyak petani di wilayah lain NTT seperti di Pulau Timor, Sumba, Rote dan Sabu yang mengalami nasib serupa. Mereka tidak bisa menanam padi, jagung, kacang-kacangan dan sayur karena ketiadaan air. Dampak kekeringan sudah mereka rasakan sejak awal musim tanam Menyedihkan memang! Ujung dari semua itu sudah bisa diprediksi yakni rawan pangan dan gizi buruk, bencana tahunan masyarakat Nusa Tenggara Timur.

Pertanyaan retoris kerap terlontar di ruangan ini. Di manakah pemerintah daerah ketika petani menghadapi dampak anomali iklim yang sudah memberi bukti empiris selama satu dasawarsa terakhir? Mengapa pemerintah daerah melalui dinas teknis tidak juga mampu membekali petani menghadapi kekekeringan panjang? Setiap kabupaten dan kota di NTT memiliki dinas pertanian dan tanaman pangan. Apa saja yang mereka kerjakan sepanjang tahun untuk petani agar mampu menghadapi kekeringan panjang secara kreatif?

Kalau debit air minim mestinya ada solusi alternatif agar ketahanan pangan petani tetap tercukupi. Anomali iklim bukan hal baru dan tidaklah elok kita menghujat alam. Yang perlu dibangun adalah kesadaran untuk bersahabat dengan anomali iklim itu. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mestinya memampukan petani kita menghadapinya dengan cara baru. Dan, peran pemerintah tetap sangat diperlukan agar petani NTT lebih cerdas menghadapi perubahan iklim.

Perhatian terhadap nasib petani sungguh miris di daerah ini. Tiga tahun lalu Pimpinan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kupang memperlihatkan contoh sederhana namun dalam sekali maknanya. Menurut pimpinan BMKG, para bupati/walikota di Propinsi NTT tidak pernah meminta data tentang iklim dan curah hujan dari BMKG. Padahal data BMKG menjadi rujukan dalam menetapkan kebijakan di bidang pertanian dan perkebunan.
BMKG rutin mengirim data tentang perubahan iklim, cuaca dan tingkat curah hujan kepada bupati/walikota, namun data tersebut tidak dipelajari serius untuk membantu petani serta banyak tujuan lainnya. Menurut standar kerja BMKG, data prakiraan curah hujan dikirim setiap bulan. Sedangkan prakiraan perubahan iklim dikirim dua kali dalam setahun.

Boleh jadi data BMKG berupa angka-angka itu dianggap tidak penting oleh bupati/walikota serta pimpinan dinas pertanian dan perkebunan. Mereka lebih peduli pada data proyek fisik pembangunan dengan jumlah uang yang jelas baik dari sumber APBD maupun APBN. Boleh jadi juga pimpinan daerah hanya tertarik pada urusan politik kekuasaan. Bagaimana caranya mempertahankan kekuasaan selama mungkin termasuk dengan cara tidak fair. Kita berharap jeritan petani Reroroja tentang kekeringan membuka mata hati pemimpin daerah ini bahwa 80 persen dari jumlah total penduduk NTT adalah petani. Jika pemimpin rajin omong pro rakyat, mestinya nasib petani merupakan kepedulian utama dan prioritas nomor satu. *

Pos Kupang, Rabu 29 Februari 2012 hal 4

Caroline Sempat 41 Tahun Menjadi Lelaki

Caroline Kinsey
KEBINGUNGAN dan kegelisahan sempat dialami oleh Caroline Kinsey (42) selama berpuluh-puluh tahun. Betapa tidak, terlahir dalam kondisi memiliki kelamin ganda membuat perempuan asal Inggris ini mengalami banyak hal yang membuatnya tidak nyaman.

Caroline, yang sejak lahir memiliki organ seks ganda, sempat hidup selama 40 tahun dengan menyandang status sebagai seorang lelaki. Padahal, status sebagai lelaki membuat ia tak merasa bahagia. Ini terjadi akibat kedua orangtuanya tidak pernah berterus terang soal kelainan seksual tersebut hingga Caroline mengetahuinya pada usia remaja.

Pada saat balita, Caroline sempat menjalani operasi di bagian tertentu dan kemudian tumbuh berkembang menjadi seorang remaja laki-laki bernama Carl John Baker. Tetapi, karena sering diolok-olok teman sekolah karena penampilannya yang kemayu dan mirip perempuan, orangtua Caroline akhirnya membeberkan kondisi yang sebenarnya. Di usia 19 tahun, Caroline baru diberitahu kalau ia lahir dengan kondisi kelamin ganda.

Walau sudah mengetahui kelainan pada dirinya, Caroline sempat bertahan dengan status lelakinya. Ia pun sempat menikah dengan seorang perempuan tulen. Ia bekerja di sebuah restoran dan pub sebagai pembantu di bagian dapur. Sayangnya, pernikahannya dengan seorang perempuan tak bertahan lama. Ia pun merana karena kerap mengalami depresi.

Dua tahun lalu, Caroline akhirnya membulatkan tekadnya. Ia mulai membiasakan diri berbusana perempuan, dan memutuskan untuk menyandang status sebagai perempuan secara permanen.

Dalam pengakuannya, Caroline menyatakan bahwa orangtuanya sempat tutup mulut perihal kelamin ganda karena rekomendasi dari dokter. Selain itu, ayah dan ibunya juga tak tahu banyak mengenai kelainan tersebut.

"Dari kecil, saya selalu sadar kalau saya berbeda dan saya tak pernah menyerah untuk bertanya. Dokter menyarankan ibu agar membatalkan hak kelahiran saya yang pertama, yakni kesempatan jadi seorang perempuan, dan lebih memilih hak kedua, yakni menjadi lelaki. Dokter mengatakan, lebih mudah untuk menyembunyikan organ genital perempuan ketimbang lelaki. Orangtua saya juga diingatkan untuk menyimpan rahasia tentang saya selama mungkin," paparnya.

Caroline lahir di Rumah Sakit Bull Hill Darwen Lancashire pada 1968. Ia adalah anak dari pasangan Monica dan Rudolph Baker. Sesaat setelah lahir, kebahagiaan kedua orangtua Caroline terusik ketika perawat memberikan kabar bahwa sang bayi perempuan ini memiliki kelainan, yakni memiliki organ genital lelaki.

Interseks

Dalam kacamata medis, apa yang dialami Caroline dapat disebut dengan interseks. Istilah interseks adalah sebutan lain dari 'hermafrodit'. Dalam ensiklopedia Medline Plus dijelaskan bahwa interseks adalah sekelompok kondisi atau keadaan yang menunjukkan perbedaan antara organ genital eksternal dan organ genital internal (testis dan ovarium). Kondisi ini bisa juga disebut sebagai gangguan perkembangan seks, DSDs, dan psedohermaphroditism.

Jenis kelainan interseks ini setidaknya ada beberapa macam. Tetapi, jenis kelainan yang merujuk pada kasus Caroline tampaknya adalah "sindrom 46, XX intersex'. Sindrom ini terjadi pada seseorang yang memiliki dua kromosom X, di mana salah satunya mengandung unsur material genetik kromosom Y yang signifikan.

Mereka yang mengalami sindrom ini akan tampak seperti seorang lelaki, tetapi faktanya secara genetik mereka adalah perempuan. Mereka ini memiliki kromosom perempuan serta ovarium, tapi alat kelamin eksternal yang muncul adalah laki-laki. Organ genital laki-laki pada penderita kelainan ini sering kali tidak berkembang secara normal. Penderita sindrom ini juga payudaranya tumbuh seperti wanita dan memiliki suara yang tinggi seperti perempuan.

Beberapa jenis interseks lainnya yang dikenal adalah 46 XY Intersex, True Gonadal Intersex, Complex atau Undetermined Intersex.

Berjuang jadi perempuan

Diakui Caroline, keputusan untuk menyandang status sebagai perempuan bukanlah hal yang mudah baginya. Maklum, ia sudah selama 40 tahun membiasakan diri sebagai lelaki.

"Saya tumbuh sebagai anak lelaki, di mana saya tidak seharusnya demikian karena ada rahasia yang tak saya ketahui. Saya merasa tidak nyaman dalam busana laki-laki. Oleh sebab itu, setelah 41 tahun saya memutuskan untuk menerima tantangan berbusana perempuan. Baju pertama yang saya pakai berwarna pink saat saya pergi melamar kerja. Orang mulai melirik dan mengatakan, 'Sungguh Anda idiot'. Tetapi, sejak saat itu saya mulai mengenakan baju perempuan karena saya sadar saya seorang perempuan. Saya merasa lebih bahagia sekarang. Saya lebih sehat dan tak ingin lagi melihat ke belakang dan mengingatnya," tuturnya.

Caroline juga berencana menjalani pembedahan untuk menghilangkan organ genital laki-laki yang masih menempel pada tubuhnya. Dengan begitu, ia dapat secara resmi menyandang status sebagai perempuan tulen. (dailymail.co.uk)

Sumber: Kompas.Com | Selasa, 28 Februari 2012 | 14:21 WIB

Bunuh Diri di Sikka, Ngeri Mo’at!

MAUMERE tidak sekadar panas ngeri, politik ngeri, rabies ngeri dan cantik ngeri. Ngeri yang satu ini sungguh mengerikan. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir terjadi kasus bunuh diri yang mengerikan di seantero Kabupaten Sikka.

Kasus bunuh diri terkini dengan cara menggantung diri dilakukan Inosensius (35), warga Dusun Gelak, Desa Hale, Kecamatan Mapitara, Kabupaten Sikka, Kamis (23/2/2012) dinihari pukul 04.00 Wita. Inosensius ditemukan tewas tergantung tali di rumahnya. Sang istri, Bernadetha adalah orang pertama yang menemukan Inosensius sudah tak bernyawa.

Menurut laporan Pos Kupang, Jumat (24/3/2012), ayah tiga orang anak tersebut mengikat lehernya dengan tali nilon warna kuning. Tali nilon digantungkan di kap rumah. Berdasarkan hasil identifikasi dan olah TKP, aparat Polres Sikka menyimpulkan tidak ada indikasi kekerasan. Inosensius murni gantung diri.

Kematian Inosensius dengan cara bunuh diri menambah panjang daftar orang Sikka mati dengan cara yang sama. Pada tahun 2011 tercatat sepuluh kasus bunuh diri. Sementara pada awal tahun 2012 ini sudah tercatat tiga orang yang mati karena bunuh diri di Kabupaten Sikka. Ngeri e... mo’at.

Alasan mereka bunuh diri antara lain karena masalah ekonomi, percintaan dan persoalan yang tidak bisa diselesaikan dalam hidup. Berikut daftar kasus bunuh diri berdasarkan pemberitaan Pos Kupang.

Kasus Bunuh Diri di Sikka Tahun 2011
1. Frans Kalitus di Desa Egong, Januari 2011
2. Alfonsius Erwin, Desa Wairbleler, Februari 2011
3. Maria Yosefina Jana, Desa Wairterang, Maret 2011
4. Jeremias Jado, Desa Natar Mage Maret, 2011
5. Anisius Harjono, Desa Kopong, Agustus 2011
6. Sabina Dalu, Desa Kringa, Oktober 2011
7. Sebastianus Nong, Jalan Brai, Kelurahan Waioti
8. Evansius Afandi, Kelurahan Wailiti, Agustus 2011
9. Denis Keupung, Misir Madawat, Maumere
10. Steri Ukude, Kelurahan Iligetang, Maumere

Kasus Bunuh Diri Tahun 2012
1. Florensia (68), Wolokoli, Kecamatan Bola, Sikka
2. Yulius Darus Dagu (32), Desa Paga, Kecamatan Paga.
3.Inosensius (35), Desa Hale, Kecamatan Mapitara, Sikka



Baca juga: Cantik Ngeri

Nostalgia Natal

Gerson Poyk
Oleh Gerson Poyk

NATAL telah mendunia. Dari kacamata kebudayaan, hari Natal tampaknya bersifat komersial. Jadi, ada kebudayaan materialnya. Akan tetapi semuanya muncul dari kebudayaan spiritual. Dilihat dari segi kebudayaan spiritual, sebenarnya Natal adalah getaran batin.

Adalah tenaga spiritual di mana berakar akal manusia, imajinasinya dan segala kekuatan naluri. Ia bagaikan bunga dengan satu tangkai spiritual tempat daun-daun bunga bertumpu. Natal adalah ekspresi cinta ilahi dalam bentuk tubuh yang ikut tumbuh bersama manusia, ikut rubuh dan bangkit mengisi harapan dan cinta.

Ia datang dari negeri jauh sejuta tahun cahaya dan siapa yang percaya ia akan tenang depan televisi atau komputer yang mampu mempertunjukkan kisah-kisah maya orang-orang yang sudah tiada. Kalau komputer saja bisa menghidupkan orang yang sudah tiada, tentulah Tuhan yang maha sanggup itu bisa menciptakan kelahiran dan kebangkitan. Imanuell!

Di seluruh dunia perayaan Natal tampak meriah. Di hotel-hotel, di super dan hiper market ada pohon Natal dengan lagu-lagu Natal segala. Di gereja-gereja di seluruh dunia kebudayaan Natal tampak dalam aspek materialnya. Kebudayaan material Natal di Amerika beda sekali dengan di Indonesia. Apartemen, rumah-rumah gedongan tampak sepi.

Di jalan-jalan tampak keluarga-keluarga yang merayakan hari Natal dengan meluncur ke tempat peristirahatan di gunung dan di atas mobil tampak papan selancar dan sampan bermotor kecil untuk berselancar dan meluncur dengan perahu kecilnya di danau dan pantai. Hari Natal adalah hari manusia di negeri industri melepaskan diri dari tenaga yang direbut oleh kapitalisme industrial.

Terbang dari Midwest ke Washington di hari Natal, suasananya biasa-biasa saja. Di hotel hanya ada pohon Natal. Kalau rindu akan keramaian Natal mengalirlah ke kelap-kelap untuk berajojing ria. Ruangan yang besar penuh dengan orang-orang muda lelaki dan perempuan bergerak-gerak liar melepaskan diri dari tumpukan tekanan kerja di kerajaan industri dan mamon. Tenaga yang dirampas setiap hari oleh uang dikembalikan lagi oleh liburan Natal.

Atau masuk ke restoran mencari makanan enak, puisi kuliner. Waktu mengunyah pork, penulis mengenang hari Natal di kampung halaman. Biasanya hari Natal di kampung, papa to'o (paman ) dibantu oleh anak-anak muda menyembelih babi. Para te'o menyulap daging mentah itu menjadi puisi kuliner. Para manahelo, penyair pemimpin tari kabalai menyanyikan syair-syair yang indah karena bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti oleh akal sehari-hari, dicampur dengan bahasa imajinasi dan bahasa perasaan serta kemerduan bunyi sehingga terasa enak sepertinya daging mentah yang dicampur dengan segala bumbu dan makanan lain sehingga menjadi puisi kuliner.

Begitu pula para manahelo di pulau kelahiran, meramu bahasa akal, bahasa imajinasi dan dan kemerduan bunyi yang menggetarkan perasaan jadi satu dalam puisi yang dinyanyikan oleh manahelo.

Terbayang, rumah orang Rote yang masih primitif, atap daun yang kumuh, kolong rumah berlantai tanah tetapi di sana ada meja panjang, dengan man meja yang putih bersih, piring dan sendok serta gelas yang berisi air bening. Makanan ditata di atas meja. Pendeta duduk di kepala meja dan papa to'o (paman) duduk di kepala meja yang lain. Mama to'o dan anak cucu duduk berderet berhadapan.

Pendeta sembahyang. Sembahyang terus, sembahyang terus sehingga adik yang paling kecil mengomel, "Kok sembahyangnya lama sekali, sudah lapar nih!" Kakak perempuannya menutup mulutnya. Itulah kenangan hari Natal di kampung. Di hari Natal orang tak berani minum sopi dan anggur Rote (laru) tetapi nanti di tahun baru, daging kerbau dan domba berkelimpahan, makanan enak tersaji dan semua mulut orang berbau sopi (wiski Rote). Musik sesando meramaikan suasana tahun baru. Ah, luar biasanya nostalgia di hari Natal di negeri orang.

Hanya di gereja nostalgia Nusa Tenggara agak terlupakan. Suasananya, kotbahnya, sembahyangnya seperti di kampung halaman. Semua orang jadi satu dalam tubuh Kristus walaupun kulit berbeda. Bedanya Cuma bahasa Inggris.(Pos Kupang.Com, Sabtu, 24 Desember 2011 | 10:05 WITA)

Hidupkan Lagi Bunga 30 Ribu Tahun Silam

KELOMPOK ilmuwan asal Rusia telah menumbuhkan kembali tanaman yang berasal dari 30 ribu tahun silam yang ditemukan di wilayah beku Timur Jauh Rusia.

Kegiatan itu belum pernah dilakukan peneliti sebelumnya sehingga menandakan kemajuan pengungkapan rahasia kehidupan purba di bumi, lapor RIA Novosti.

Tumbuhan bernama "Silene Stenophylla" menjadi tanaman tertua yang diregenerasi dan tumbuh subur dengan menghasilkan bunga berwarna putih serta bibit yang terus diproduksi, kata sejumlah ilmuwan dalam artikel yang disiarkan pada Selasa (21/2/2012), dalam majalah dwimingguan Proceedings of The National Academy of Sciences.

"Kami menilai pentingnya melakukan penelitian di kawasan beku dalam pencarian kelompok genetika purba -- yang berasal dari sebelum adanya kehidupan saat ini -- dan secara hipotesa telah punah sejak lama dari permukaan bumi," jelas artikel tersebut.

Percobaan itu -- dilakukan di kota Pushchino wilayah Moskow -- membuktikan bahwa wilayah beku berlaku sebagai tempat penyimpanan bentuk kehidupan purba alami, kata ilmuwan.

Bibit tersebut ditemukan di bawah permukaan bumi yang beku sedalam 38 meter di tepi sungai Kolyma di kawasan Magadan, Timur Jauh Rusia.

Bibit tumbuhan purba yang berumur antara 25 ribu hingga 40 ribu tahun yang lalu sebelumnya telah ditemukan di wilayah terutama di sarang hewan pengerat namun para ilmuwan tidak dapat menumbuhkan kembali tumbuhan tersebut.

Bibit menempel erat dengan batuan dan kebanyakan terisi es di dalam ruangan yang membeku secara alami sehingga membuat air tidak dapat menembus dimana hal itu membantu mengawetkan bibit.

Bentuk dan warna tanaman purba memiliki kesamaan dengan kerabat bunga yang sama pada saat ini meskipun ada sedikit perbedaan antara bentuk kelopak bunga dengan jenis kelamin bunga dan hingga saat ini belum diketahui penyebabnya. (Sumber: Republika)

Gerson Poyk, Perintis Sastra NTT

Gerson Poyk
Oleh Yohanes Sehandi
Pemerhati Bahasa dan Sastra Indonesia
dari Universitas Flores, Ende

HARIAN Pos Kupang 28 Desember 2011 (halaman depan) menurunkan buah pena sastrawan Indonesia, Gerson Poyk. Judul buah pena sastrawan yang sangat berjasa mengangkat citra sastra NTT ini sangat impresif, yakni “Mata Air Kenangan: Sepenggal Otobiografi.”

Sewaktu membaca penggalan otobiografi ini, secara perlahan-lahan muncul kembali dalam ingatan saya cerita-cerita Gerson Poyk yang terdapat dalam sejumlah novel dan kumpulan cerita pendeknya. Saya membaca sebagian besar karya-karya sastra beliau pada 1980-an, pada waktu kuliah di Semarang. Meskipun lebih dari 30 tahun yang lalu, cerita-cerita Pak Gerson tidak mudah hilang dalam ingatan. Mengapa? Cerita-ceritanya sederhana, unik, lucu, memikat, terkadang mengejutkan, namun tetap terselip nilai pendidikan dan moral kemanusiaan universal.

Konteks cerita Gerson bukan di kota, tetapi di daerah-daerah, bahkan daerah terpencil. Cerita-ceritanya tentang dusun, hutan, air pegunungan, padang ilalang, sabana, tentang orang desa, pengalaman iris tuak, pikul kayu, petik labu jepang, buat jerat babi hutan, buat gubuk pakai daun lontar, tentang kebun kopi, kerja sawah, dagang kerbau, main judi, pesta rakyat, perang tanding, dan berbagai cerita khas masyarakat desa, yang tidak lain adalah masyarakat desa NTT.

Tokoh cerita Gerson tidak jauh dari petani, tukang kayu, nelayan, guru, ibu rumah tangga, pedagang kecil, penjudi, dan sejenis itu. Membaca karya-karya Gerson seolah-olah menghadirkan kembali kenangan masa kecil kita, masa kecil di desa. Sebagian besar tokoh cerita Gerson adalah orang-orang NTT, latar cerita adalah NTT dan masyarakat NTT, budaya NTT, gaya khas NTT. Logat bahasa Indonesia para tokohnya kental dipengaruhi logat bahasa-bahasa daerah di NTT, logat Manggarai dan logat Kupang, misalnya. Beliau sangat piawai untuk itu.

Sebagian besar masyarakat NTT atau para pembaca Pos Kupang mungkin hanya “kenal nama” saja Gerson Poyk. Siapa sesungguhnya Gerson Poyk, bagaimana perjalanan hidupnya, karya-karya sastranya, rupanya belum banyak diketahui orang NTT. Penggalan otobiografi yang sangat singkat yang dimuat Pos Kupang itu, rasanya hanya semacam sobekan kecil dari perjalanan panjang Gerson Poyk dalam mewarnai panggung sastra Indonesia modern.

Untuk mengetahui lebih banyak tentang sastrawan legendaris NTT ini, saya terpanggil untuk menampilkan riwayat hidupnya lewat Pos Kupang ini, agar masyarakat NTT dan para pembaca Pos Kupang semakin mengetahui siapa sesungguhnya Gerson Poyk itu. Dalam sejarah panjang sastra NTT yang telah berusia puluhan tahun ini, Gerson Poyk adalah tokoh legendarisnya. Beliau adalah tokoh perintis sastra NTT. Riwayat hidup singkat Pak Gerson ini diambil dari dokumen pribadi saya yang di dalamnya berisi riwayat hidup 20-an sastrawan NTT.

Gerson Poyk lahir pada 16 Juni 1931 di Namodale, Kabupaten Rote Ndao, NTT. Beliau putera pasangan Johanes Laurens Poyk dan Juliana Manu. Sejak kecil terbiasa pindah tempat tinggai dan sekolah. Menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di Flores, khususnya di Ruteng, Kabupaten Manggarai. Tempat sekolah berpindah-pindah sesuai dengan perpindahan tempat kerja ayahnya. Masuk SD di Bajawa, Kabupaten Ngada, pindah ke Ruteng, Kabupaten Manggarai, dan menamatkan SD di Ruteng, terus pindah ke Maumere, Kabupaten Sikka.

Ketika ayahnya pindah bertugas di Kalabahi, Kabupaten Alor, Gerson ikut pindah ke Alor dan masuk OVO di Kalabahi. Dari Alor ia melanjutkan studi di Sekolah Guru Bawah (SGB) di Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) di Timor. Setelah tamat SGB di Soe ia masuk Sekolah Guru Atas (SGA) Kristen di Surabaya (1955). Selesai SGA Kristen di Surabaya (1955), Gerson Poyk menjadi guru di SMP Negeri dan SGA Negeri di Ternate, Maluku Utara (1956). Dari Ternate pindah ke Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia menjadi guru di Bima selama 7 tahun (1956-1963).

Tahun 1963 Gerson berhenti dari guru dan memilih menjadi wartawan harian Sinar Harapan. Pada tahun 1969 Gerson Poyk berhenti dari wartawan dan menjalani hidup sebagai penulis lepas (free lancer) dan penulis tetap (kolomnis) di berbagai media cetak di Indonesia. Tahun 1970-1971 beliau orang pertama dari Indonesia yang mengikuti International Writing Program yang diselenggarakan oleh The University of Iowa, Amerika Serikat, dengan biaya dari Pemerintah Amerika Serikat. Akhir tahun 1982 menghadiri sebuah Seminar Sastra di India.

Karya-karya Gerson tersebar di berbagai media cetak di Indonesia, baik yang serius maupun hiburan, seperti Mimbar Indonesia, Cerita, Sastra, Horison, Bali Post, Sinar Harapan, Jawa Pos, Suara Pembaruan, Kompas, Selecta, Violeta, Vista, Femina, Sarinah, Kartini, Mutiara, dan lain-lain. Cerpen awal Gerson yang sangat menggugah berjudul “Mutiara di Tengah Sawah” (Majalah Sastra, Nomor 6, Tahun I, 1961), dan mendapat hadiah dari Majalah Sastra sebagai cerpen terbaik majalah itu pada 1961.
Karya-karya sastra Gerson sebagian besar telah dibukukan, baik berupa kumpulan cerpen maupun novel. Yang dalam bentuk buku dapat disebutkan, antara lain: (1) Hari-Hari Pertama (1968); (2) Matias Akankari (1972); (3) Sang Guru (novel, 1972); (4) Oleng-Kemoleng & Surat-Surat Cinta Aleksander Rajagukguk (cerpen, Nusa Indah, Ende, 1974); (5) Nostalgia Nusa Tenggara (cerpen, Nusa Indah, Ende, 1975); (6) Jerat (cerpen, Nusa Indah, Ende, 1978); (7) Cumbuan Sabana (novel, Nusa Indah, Ende, 1979); (8) Petualangan Dino (novel anak-anak, Nusa Indah, Ende, 1979); (9) Giring-Giring (1982); (10) Di Bawah Matahari Bali (1982); (11) Seutas Benang Cinta (1982); (12) Requem untuk Seorang Perempuan (1983); (13) La Tirka Tar (1983); (14) Mutiara di Tengah Sawah (cerpen, 1985); (15) Anak Karang (1985); (16) Puber Kedua di Sebuah Teluk (1985); (17) Doa Perkabungan (1987); (15) Impian Nyoman Sulastri dan Hanibal (1988); (16) Poti Wolo (1988); dan (17) Keliling Indonesia, dari Era Bung Karno Sampai SBY (2011). Buku yang terakhir ini diluncurkan pada 17 Februari 2011 di Bentara Budaya, Jakarta.

Sejumlah karya sastranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Rusia, Belanda, Jepang, dan Turki. Bahkan, banyak mahasiswa dalam dan luar negeri memperoleh gelar S1, S2 dan S3 dengan mengkaji atau menelaah karya-karya sastra Gerson Poyk.

Gerson Poyk pernah memenangkan dua kali Hadiah Adinegoro (1985, 1986) hadiah tertinggi di bidang jurnalistiik diberikan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan penghargaan sastra ASEAN untuk novelnya Sang Guru (1972). Memenangkan Sea Write Award (1989), Lifetime Achivement Award dari harian Kompas. Menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan tahun 2011 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena jasa-jasanya di bidang sastra dan budaya.oPada 17 Februsri 2011 lalu, Gerson Poyk meluncurkan bukunya yang terbaru berjudul Keliling Indonesia, dari Era Bung Karno Sampai SBY.*

Sumber: Pos Kupang, Jumat 24 Februari 2012 halaman 4



Baca juga: Membaca Peringatan Gerson Poyk

Terima Ancaman Soeharto di Hari Pers

Bintang Mahaputra Utama disematkan Presiden  Soeharto  tahun 1973 | Kompas.com
JAKOB Oetama, pendiri Kompas Gramedia (KG), merayakan ulang tahun ke-80 pada 27 September 2011. Selain syukuran di Bentara Budaya Jakarta, peringatan ulang tahun Chairman KG tersebut juga ditandai peluncuran buku berjudul Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama, disusun ST Sularto, wartawan senior Kompas. Berikut petikan buku setebal 659 halaman itu.

MALAM menjelang 5 Februari 1978, Jakob Oetama dan Petrus Kanisius (PK) Ojong tengah berdiskusi membahas tawaran pemerintah Soeharto. Tawaran itu terkait pelarangan terbit Harian Kompas, bersama 12 koran dan majalah lainnya, sejak 12 Januari 1978.

Kompas boleh terbit kembali asal menandatangani pernyataan tertulis, berisi permintaan maaf sekaligus berjanji tidak akan memuat tulisan yang menyinggung penguasa. "Jakob, jangan minta maaf. Mati dibunuh hari ini, nanti tahun depan, sama saja," ujar PK Ojong seperti ditirukan Jakob Oetama.



Mendengar perkataan PK Ojong tersebut Jakob menjawab, "Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak akan mungkin diajak berjuang. Perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana, di ataranya lewat media massa." PK Ojong mengundur dan Jakob mengambil alih persoalan dengan menandatangani pernyataan minta maaf dan janji tertulis kesetiaan seperti diminta pemerintah.

Situasi politik pada saat itu diwarnai oleh protes mahasiswa di mana-mana. Aksi protes lewat pertemuan-pertemuan di kampus, aksi poster, maupun turun ke jalan, sudah terjadi di berbagai tempat. 
Mahasiswa menuntut pengunduran diri Soeharto di awal 1978.

Semua peristiwa itu ditulis hampir semua media, termasuk Kompas. Pada 16 Januari, Jakob menulis tajuk rencana berjudul Aspirasi Mahasiswa, bersamaan dengan pemuatan berita di halaman depan berjudul Kas Kopkamtib Sudomo: Turun ke Jalan Akan Ditindak Tegas.

Selama Orde Baru berkuasa, berkali-kali Kompas mendapat teguran, bahkan seringkali disertai ancaman. Hingga pada akhirnya Kompas, bersama beberapa media lainnya, dibredel selama dua minggu.

Keputusan menerima tawaran pemerintah tak lepas dari faktor kemanusiaan yaitu nasib sekitar 2.500 karyawan, termasuk wartawan, yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan pada 1965 (saat Kompas baru terbit 3 bulan). 
"Saya tahu Ojong berat hari mengiyakan. Sikap dan pandangan hidupnya sebagai orang yang sudah punya jam terbang lebih lama dibandingkan saya, selain Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis, yang masing-masing punya sosok kewartawanan sendiri," kata Jakob

Pria kelahiran Desa Jowahan, Magelang, Jawa Tengah itu yakin pilihan menerima tawaran pemerintah merupakan langkah yang benar, ketika mengikuti pelatihan jurnalisktik di Universitas Hawaii, pada 1980-an. Saat itu ada peserta dari Amerika Serikat yang nyeletuk, "Jakob, you are a living hero (Jakob, Anda pahlawan yang hidup)." 

Jakob yakin keputusan yang dilakukan pada saat itu bukan menjual diri atau kompromistis, namun bentuk dari prinsip teguh dalam perkara tetapi lentur dalam cara. Prinsip sebagai pedoman kerja tersebut telah dikembangkan sejak Kompas lahir.

Kepada PK Ojong, yang juga pendiri Kompas Gramedia, Jakob menyatakan, "Tanda tangan ini basa-basi saja. Tidak akan berlaku seumur hidup." 
Keputusan dalam kapasitas sebagai Pemimpin redaksi Kompas tersebut tidak terlalu diwarnai motivasi bisnis, kecuali tanggung jawab menyediakan lapangan kerja bagi karyawan, tetapi terutama motivasi idealisme memberi pengaruh pada perkembangan masyarakat.

"Daripada peranan Kompas diambialih media lain yang belum tentu bisa memperbaiki pers Indonesia, sebaiknya syarat dipenuhi," kata Jakob. PK Ojong akhirnya setuju, namun sejak itu ia memutuskan tidak aktif lagi dalam pengambilan kebijakan redaksional.

Setelah terbit kembali 6 Februari 1978, tekanan politik yang keras terhadap Kompas tetap terjadi. Padahal Kompas duah bersikap netral. Kompas ibarat bermain di atas buih. Saat Jakob berjabat tangan dengan Presiden Soeharto pada acara Hari Pers ke-32 di Solo, 9 Februari 1978, penguasa Orde Baru bicara singkat tapi jelas maksudnya.

"Aja meneh-meneh (Jangan lakukan lagi)," kata Soeharto. Jakob jenggah karena kalimat Soeharto itu bernada ancaman. Kalimat senada dilontarkan Soeharto di pesawat ketika melakukan lawatan kenegaraan ke Yogoslavia dan Uni Sovyet.

"Tak gebuk," ujar Soeharto menjawab pertanyaan tentang liputan media massa berkaitan dengan aksi-aksi mahasiswa tahun 1980-an yang mirip gerakan mahasiswa 1970-an. Berbeda dengan ekspresi dingin saat melontarkan acaman pada 1978, kali ini tangan Soeharto mengepal siap meninju. (Tribunnews.com - Rabu, 28 September 2011 09:05 WIB. Laporan Wartawan Tribunnews.com Febby Mahendra Putra) 

Artikel Terkait

Manusia dan Kemanusiaan Ala Jakob Oetama

Buku Syukur Tiada Akhir Jakob Oetama {Tribunnews.Com}
DALAM berbagai kesempatan Jakob Oetama menyampaikan prinsip-prinsip utama gaya bermedia Kompas. Intinya adalah manusia dan kemanusiaan, cobaan dan permasalahannya, aspirasi dan hasratnya, keagungan dan kekerdilannya. "Manusia dan kemanusiaan senantiasa diusahakan menjadi nafas pemberitaan dan komentar."

Konsep Indonesia mini yang secara eksplisit digagas terutama untuk Kompas, dikembangkan bagi unit-unit usaha lainnya dalam Kompas Gramedia. Dalam perjalanannya, Kompas tetap eksis meski mengalami berbagai terpaan, pembatasan, dan kendala, termasuk pemberedelan 21 Januari-5 Februari 1978.



Di tengah pertumbuhan pesat platform-platform lain di luar mendia cetak dan ramalan-ramalan media cetak akan menjadi masa lalu (punah), Jakob punya keyakinan kuat bahwa media cetak tidak akan mati. "Masak, orang sudah merasa tercukupi kebutuhannya lewat menonton? Kebutuhan informasi selain dari menonton dan digital, tetaplah dari membaca. Dalam membaca terjadi komunikasi timbal balik, yang kurang terpenuhio oleh sarana digital sekalipun."

Menurut Jakob, media digital memang telah menjadi keniscayaan. Oleh karena itu ia selalu menekankan kepada para wartawan dan karyawan bahwa dunia media adalah dunia digital, tidak ada lagi periodisasi. Kompas harus masuk, tak terkecuali melalui platform elektronik, karena menjadi bisa menyampaikan pesan lebih cepat, lebih lengkap, dan lebih luas.

Namun bagi Jakob, Kompas harus tetap berpegang pada semangat awal para pendiri sehingga ia sering mengingatkan pesan yang pernah disampaikan PK Ojong. 

"Surat kabar haruslah lebih besar daripada individu-individu serta gabungan individu-individu di dalamnya. Surat kabar haruslah lebih arif daripada individu wartawan dan karyawannya. Ia harus lebih adil, lebih nalar, lebih jujur, lebih peka, lebih setia kawan, terutama kepada mereka yang menderita," begitu pesan sang kolega yang saat ini sudah meninggal dunia itu. (Tribunnews.com - Kamis, 29 September 2011 09:45 WIB. Laporan Wartawan Tribunnews.com Febby Mahendra Putra).

ArtikelTerkait

Bimbang Jadi Guru atau Wartawan

Jakob Oetama (kanan) di ruang redaksi Kompas tempo doeloe. Mesin ketik senjata utama {kompas.com}
TAK pernah terlintas sebelumnya Jakob Oetama bakal menjadi wartawan dan mengelola media massa yang kemudian menjadi terkemuka. Bermula dari keputusan untuk keluar dari seminari (sekolah calon pastor) tinggi di Kota Baru, Yogyakarta, yang baru tiga bulan dijalani.

"Saya tidak tahu sebabnya. Sudah lupa. Keluar begitu saja," ujar founding father Kompas Gramedia tersebut. Yang dilakukan selanjutnya yaitu mencari kerja. Jadi apa? "Jadi guru, cita-cita yang pernah muncul bersamaan dengan cita-cita menjadi pastor," katanya.



Keinginan itu kemungkinan besar tak lepas dari lingkungan Jakob Oetama. Ayahnya, Raymundus Sandiyo Brotosoesiswo, seorang guru sekolah rakyat (sekarang bernama sekolah dasar), yang sering berpindah tugas mulai dari kawasan Jowahan --sekitar 500 meter sebelah timur Candi Borobudur-- hingga Sleman, DI Yogyakarta.

Atas arahan sang ayah, Jakob hijrah ke Jakarta menggunakan kereta api untuk menemui Yosep Yohanes Supatmo. Pria yang masih ada hubungan saudara dengan Sandiyo Brotosoesiswo itu bukan seorang guru, namun baru saja mendirikan Yayasan Pendidikan Budaya, mengelola sekolah-sekolah budaya.

Pertama kali Jakob menjadi guru di SMP Mardiyuwana, Cipanas, Jawa Barat, 1952-1953. Kemudian pindah ke Sekolah Guru Bagian B (SGB) di Lenteng Agung, Jagakarasa (1953-1954). Selanjutnya mengajar di SMP Van Lith, Jl Gunung Sahari, Jakarta (1954-1956).

Jakob kemudian mendapat tugas tambahan sebagai sekretaris redaksi yang sehari-hari melaksanakan pekerjaan sebagai Pemimpin Redaksi Penabur sejak 1956. Sambil mengajar di SMP, Jakob mengikuti kursus B-1 Ilmu Sejarah. Kemudian kuliah di Perguruan Tinggi Publisistik, Jl Menteng Raya, hingga 1961.

Berkat Ilmu Sejarah, tumbuh minat Jakob untuk menulis. Di sisi lain, ia direkomendasi memperoleh bea siswa di University of Colombia, AS, karena lulus B-1 Sejarah dengan nilai rata-rata 9. Dengan peluang itu Jakob diharapkan menyabet gelar doktor (PhD) dan kelak menjadi sejarawan atau dosen sejarah.

Namun cita-cita menjadi guru mulai goyah. Sampai suatu saat seorang pastor, JW Oudejans OFM menanyakan profesi apa yang kelak ditekuni Jakob. "Jadi dosen," kata Jakob. Namun Oudejans berkomentar, "Jakob, guru sudah banyak, wartawan tidak." (Tribunnews.com - Rabu, 28 September 2011 09:36 WIB. Laporan Wartawan Tribunnews.com Febby Mahendra Putra)

Baca Juga

Jakob Oetama Tak Mau Koran Jadi Corong Partai

Jakob Oetama di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (27/9/2011).
KONDISI politik di era 1965 ikut melatabelakangi lahirnya Harian Kompas yang dikomandani duet Jakob Oetama dan Petrus Kanisius (PK) Ojong. Saat itu koran-koran nonkomunis bertumbangan akibat diberedel pemerintah.

Suatu hari di bulan April 1965, Menteri/Panglima TNI AD, Letjen Ahmad Yani menelepon koleganya di kabinet, Menteri Perkebunan Frans Seda. Yani minta agar Frans Seda, saat itu menjadi Ketua Partai Katolik, mendirikan koran .

Jenderal bintang tiga yang kemudian menjadi Pahlawan Revolusi tersebut beralasan, hampir semua partai politik memiliki media massa sebagai corong partai. Sebut saja Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mempunyai Bintang Timur dan Warta Bhakti.

Seda kemudian menemui Ignatius Joseph (IJ) Kasimo, Ketua Umum Partai Katolik, PK Ojong, dan Jakob Oetomo, untuk membahas ide Ahmad Yani. "Ini pasti kemauan Tuhan," kenang Frans Seda.



Awalnya Jakob dan Ojong keberatan. Alasannya, lingkungan politik, ekonomi, dan infrastruktur pada waktu itu tidak menunjang. Dalam pembicaraan antara Jakob dan Ojong dicapai kesepakatan, koran yang akan diterbitkan bukan corong partai. Koran itu harus berdiri di atas semua golongan, oleh karena itu bersifat umum, didasarkan pada kemajemukan Indonesia.

"Dia harus mencerminkan miniaturnya Indonesia," ujar Jakob seperti tercantum dalam buku Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama. Buku tersebut diluncurkan pada saat peringatan ulang tahun ke-80 Jakob Oetama, di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (27/9/2011). 

Kemajemukan dimaksud menyangkut suku, agama, ras, dan latar belakang lainnya. Dari sisi idealisme, prinsip Jakob dan Ojong tersebut bisa diterima, begitu pula dari sisi bisnis masuk akal.

Ketika pada saat itu semua koran berafiliasi pada sebuah partai politik tertentu, koran yang akan diterbitkan tidak boleh menjadi corong Partai Katolik. Setelah syarat tersebut disetujui Frans Seda dan IJ Kasimo, pembahasan pendirian koran baru dilanjutkan kembali.

Kemudian dibentuk Yayasan Bentara Rakyat sebagai penerbit karena koran baru tersebut rencananya akan diberi nama Bentara Rakyat. Bentara artinya pembantu raja yang bertugas menyampaikan perintah raja. Nama Bentara telah dipakai sebuah majalah yang terbit di Flores.

Rupanya, Bung Karno yang pada saat itu menjadi presiden, mendengar rencana penerbitan koran baru sehingga kemudian bertanya kepada Frans Seda. "Frans, saya dengar jij (kamu) mau menerbitkan koran. Apa nama korannya?" Seda menjawab, "Bentara Rakyat, Bung!" Ternyata Presiden Soekarno punya ide lain soal nama surat kabar.

"Aku akan memberi nama yang lebih bagus.. Kompas! Tahu tho apa itu kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan atau hutan rimba!" Apa jawaban Frans Seda? "Baik Bung, akan saya bicarakan dulu dengan redaksi dan yayasan." Nama itu disetujui Ojong, Jakob, dan organ yayasan.

Logo Kompas disiapkan semalam oleh wartawan Kompas, Edward Linggar. Logo tersebut terus dipakai hingga kini meski mengalami beberapa kali perubahan menyangkut tebal-tipis huruf. (Tribunnews.com - Kamis, 29 September 2011 09:41 WIB. Laporan Wartawan Tribunnews.com Febby Mahendra Putra)

Artikel Terkait

Jakob Oetama Belajar dari Ojong

TAWARAN itu tak ditanggapi serius oleh Jakob karena fokus menyelesaikan kuliah di Fakultas Sosial dan Politik UGM. Pada April 1961, Ojong mengajak Jakob membuat majalah baru bernama Intisari, isinya sari pati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia. Majalah bulanan Intisari terbit pertama kali Agustus 1963.

Untuk menjalani hidup sebagai wartawan, Jakob bergaul akrab dengan kalangan wartawan seperti Adinegoro, Parada Harahap, Kamis Pari, Mochtar Lubis, dan Rosihan Anwar. "Dalam soal-soal jurnalistik, Ojong itu guru saya, selain Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar," katanya.

Di mata Jakob, Ojong kuat di bidang humaniora dan kuat dalam prinsip nilai-nilai kemajuan. Mochtar Lubis sosok yang berani dan memegang teguh prinsip, sedang Rosihan Anwar kuat dalam persoalan humaniora.
Majalah Intisari kemudian diperkuat oleh teman-teman Jakob-Ojong dari Yogyakarta seperti Swantoro dan J Adisubrata. Menyusul kemudian Indra Gunawan dan Kurnia Munaba.



Begitu juga Irawati, seorang sarjana hukum alumnus Universitas Diponegoro, Semarang, yang rela beberapa bulan tak dibayar asal boleh bergabung di Intisari. Orang-orang tersebut yang kemudian menjadi pemimpin di unit-unit usaha baru Kompas Gramedia.

Sambil terus memberi perhatian kepada pengembangan Intisari, dilandasi cita-cita mengembangkan kemajemukan Indonesia, Jakob dan Ojong aktif dalam gerakan asimilasi Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB). Lembaga itu merupakan sebuah gerakan yang mengajak keturunan Tionghoa untuk benar-benar solider dan menyatu dengan rakyat Indonesia di segala bidang.

Bakom PKB didirikan 30 orang pri dan nonpri, pada 1977, di antaranya Hasjim Ning, K Sindhunata, Abjan Soleiman, H Syafiudin, Junus Jahja, Ridwan Saidi, Lo SH Ginting, dan Njoo Han Siang. Nama Jakob dan PK Ojong tidak tercantum sebagai pendiri Bakom PKB, namun pemikiran mereka mengenai asimilasi menjadi sadar pijakan pendirian gerakan tersebut. (Laporan Wartawan Tribunnews.com Febby Mahendra Putra)


Baca juga

Hidup Bahagia Jakob Oetama

Jakob Oetama
Oleh Dahlan Iskan


KALAU hidup dimulai dari umur 40 tahun (life begins at fourty), Pak Jakob Utama, pemilik grup Kompas-Gramedia itu, baru mulai hidup lagi untuk yang kedua kalinya pada 27 September minggu lalu.

Jarang ada berita wartawan merayakan ulang tahun ke-80 seperti Pak Jakob Oetama. Yang sering adalah berita wartawan mati muda: sakit lever karena bekerja tidak teratur, terkena kanker karena tiap malam stres terkena deadline, terbunuh di medan pergolakan atau terlibat kecelakaan lalu lintas.

Rasanya kini tinggal tiga wartawan yang berusia di atas 80 tahun: Jakob Oetama dan Herawati Diah. Memang, ada tokoh seperti Harjoko Trisnadi yang juga lebih dari 80 tahun dan sangat sehat. Tapi, dia lebih dikenal sebagai pengusaha pers daripada wartawan, meski awalnya juga wartawan.

Yang lumayan banyak adalah calon wartawan berumur 80 tahun: Fikri Jufri (75, Tempo), Rahman Arge Makassar (76), Lukman Setiawan (76, Tempo), Ja”far Assegaf (78, Media Indonesia), dan beberapa lagi.

Ini berarti rekor usia wartawan terpanjang kini dipegang Ibu Herawati Diah. Beliau lahir pada 3 April 1917, yang berarti tahun ini berusia 94 tahun. Pak Rosihan Anwar sebenarnya juga hampir mencapai 90 tahun. Tapi, tak disangka-sangka dia meninggal mendadak pada usia 89 tahun, 14 April lalu.

Mungkin karena beda generasi, saya tidak akrab dengan dua tokoh pers yang dikaruniai usia yang begitu panjang. Saya mengenal Ibu Herawati Diah karena sempat berhubungan bisnis sekitar lima tahun, tapi terbatas hanya bicara perusahaan. Yakni, ketika suaminya, B.M. Diah, pemilik harian Merdeka yang juga mantan Menteri Penerangan, menyerahkan pengelolaan harian Merdeka yang lagi pingsan kepada saya pada 1994.

Setelah B.M. Diah meninggal dan saham Merdeka beralih ke putranya, kerja sama itu berakhir. Sebagian besar pengelolanya, di bawah pimpinan Margiono, kemudian mendirikan Rakyat Merdeka. Margiono, yang masih memimpin Rakyat Merdeka sampai sekarang menjadi ketua umum PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) pusat.

Lima tahun sering rapat bersama, saya bisa menarik kesimpulan mengapa Ibu Herawati Diah bisa berusia begitu panjang. Hatinya sangat baik, berpikirnya longgar, bicaranya sangat terkontrol, dan pembawaannya sangat tenang. Disiplinnya sangat tinggi, termasuk dalam hal makanan. Karena itu, Ibu Herawati terjaga langsing sampai sekarang. Ibu Herawati bisa mewakili sosok wanita intelektual yang bergaya elegan. Beliau tercatat sebagai wanita pertama Indonesia yang sekolah di luar negeri (Amerika Serikat).

Mengapa saya juga tidak akrab dengan Pak Jakob Oetama? Di samping beda generasi, kami berbeda tempat tinggal. Pak Jakob di Jakarta, sedang saya berbasis di Surabaya. Tapi, penyebab utamanya adalah karena kami berdua termasuk orang yang sangat fokus ke perusahaan masing-masing. Kami berdua sama-sama lebih mementingkan sibuk memajukan perusahaan masing-masing daripada misalnya menghadiri pesta-pesta, atau bergentayangan di kafe atau rapat-rapat organisasi. Begitu sulit kami menemukan kesempatan berinteraksi.

Beliau memang sangat lama menjadi ketua umum SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar, kini bernama Serikat Perusahaan Pers), namun tidak pernah habis-habisan mempertaruhkan waktunya di situ. Beliau termasuk tokoh yang tidak mau menjadikan organisasi pers sebagai batu loncatan untuk berkarir di politik.

Karena itu, beliau enak saja ketika akhirnya meminta saya agar mau dipilih sebagai ketua umum SPS untuk menggantikannya. Sikap saya juga mirip itu. Saya tidak akan mau dicalonkan sepanjang beliau masih mau menjadi ketua umumnya. Bahkan, ketika suatu saat saya dicalonkan menjadi ketua PWI Jatim, saya mengajukan syarat: asal PWI jangan terlalu aktif.

Itu saya maksudkan agar tugas wartawan yang utama tidak terganggu oleh gegap gempita organisasi. Saya tidak ingin PWI-nya maju, tapi mutu koran merosot. Saya juga tidak malu kalau kantor PWI menjadi sepi. Sebab, itu berarti mereka sibuk menggali berita.

Pak Jakob adalah contoh dari sedikit orang yang bisa fokus. Sejak pikiran sampai tindakan. Godaan-godaan di luar pers tidak pernah meruntuhkan kefokusannya mengurus media. Padahal, sebagai pemimpin dan pemilik grup media nasional yang terbesar dan paling berpengaruh, pastilah begitu banyak rayuan dan iming-iming.

Beliau tidak tergoda sama sekali. Beliau terus saja konsentrasi mengurus Kompas dan grupnya. Karena itu, kalau pada akhirnya kita menyaksikan Kompas-Gramedia begitu sukses, kita tidak boleh melupakan bahwa itulah hasil nyata dari karya orang yang sangat fokus.

Generasi yang lebih muda (meski sekarang saya sudah tergolong generasi tua) memberikan dua penilaian kepada Jakob Oetama. Beliau dikecam sebagai wartawan penakut. Bukan sosok wartawan pejuang yang gagah berani menantang maut, seperti Mochtar Lubis (Indonesia Raya), atau Rosihan Anwar (Pedoman), atau Tasrif (Abadi), Aristides Katoppo (Sinar Harapan), Nono Anwar Makarim (Kami), Goenawan Mohamad (Tempo), dan beberapa lagi.

Di pihak lain dia dipuji sebagai wartawan yang santun, mengurus anak buah (termasuk kesejahteraan wartawan) dengan baik, dan sosok yang sangat menonjol tepo seliro-nya. Beliau juga tokoh yang kalau berbicara di depan umum lebih mengedepankan filsafat daripada masalah-masalah yang praktis. Misalnya, filsafat kritik. Sampai-sampai di era Orba itu muncul berjenis-jenis filsafat kritik. Ada kritik pedas macam Mochtar Lubis, kritik manis model Jakob Oetama, atau kritik jenaka model Goenawan Mohamad.

Kepribadian yang manis seperti itulah yang membuat pemerintah Orde Baru sangat percaya kepada Jakob Oetama. Sebuah kepercayaan yang ternyata juga tidak mutlak dan tulus. Pada suatu saat Kompas ikut dibredel juga, meski kemudian diizinkan terbit kembali. Tentu salah Orba juga mengapa memercayai Jakob Oetama. Padahal, di balik kehalusan dan kemanisannya itu tetaplah dia seorang wartawan yang asli. Manis hanyalah pembawaannya. Sikap batinnya tetaplah keras.

Kepercayaan yang begitu tinggi dari pemerintahan Orde Baru itu bukan tidak ada ruginya bagi Kompas. Setidaknya menurut saya. Akibat kepercayaan itu regenerasi di pucuk pimpinan Kompas menjadi terhambat. Umur 37 tahun saya sudah berhenti menjadi pemimpin redaksi Jawa Pos. Ini agar berganti kepada generasi yang lebih muda. Umur 39 tahun saya sudah berhenti menjadi pemimpin umum Jawa Pos. Pak Jakob Oetama terus menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum sampai usia hampir 70 tahun.

Saya tahu itu bukan kehendak beliau sendiri. Siapa pun tahu bahwa untuk mengganti pemimpin redaksi, saat itu, harus minta izin menteri penerangan. Pemerintah merasa lebih tenang kalau Kompas dipimpin Jakob Oetama daripada misalnya tokoh muda yang mungkin lebih radikal.

Bagi saya pribadi Jakob Oetama adalah “lawan” yang harus saya hormati, tapi juga harus saya kalahkan. Saya menempatkan diri sebagai “penantangnya”. Baik dalam bidang jurnalistik maupun dalam bidang bisnis pers. Sebagai penantang saya merasakan bukan main susahnya hidup di luar dominasi Kompas. Kompas sudah menjadi koran dan koran sudah menjadi Kompas. Semua minta agar koran itu harus seperti Kompas. Bahkan, kalau ada wartawan baru keinginannya menulis ternyata juga harus seperti gaya Kompas.

Tentu saya tidak suka semua itu. Kalau hanya mengikuti Kompas, selamanya hanya akan menjadi ekornya. Tidak akan bisa menjajarinya. Karena itu, saya mengambil jalan yang sangat berbeda. Bukan dari ibu kota menguasai nusantara, tapi dari nusantara menguasai Indonesia. Di bidang jurnalistik juga harus berbeda. Jawa Pos memilih jurnalistik bertutur. Untuk wartawan baru saya langsung mencekokkan doktrin “jangan ketularan penyakit Kompas”.

Kata “penyakit” di situ terpaksa saya pakai bukan karena gaya Kompas itu jelek, tapi hanya karena harus dihindari. Agar wartawan Jawa Pos benar-benar punya gaya yang berbeda. Maafkan saya pernah menggunakan kata penyakit itu, Pak Jakob. Tentu saya tidak akan tersinggung kalau ada pihak lain menggunakan istilah yang sama: penyakit Jawa Pos.

Memang di kalangan pers sempat muncul istilah “perang total” Kompas-Jawa Pos. Tapi, itu hanya di permulaan. Pada akhirnya semua orang tahu bahwa Kompas dan Jawa Pos bergerak di medan yang berbeda. Kompas dengan majalah-majalahnya yang luar biasa, dengan toko bukunya yang the best dan biggest, dengan hotel-hotelnya yang meluas dan dengan bidang usaha yang meraksasa ternyata punya pasarnya sendiri.

Demikian juga Jawa Pos dengan koran-koran daerahnya, pabrik kertasnya, dan jaringan TV lokalnya juga punya dunianya sendiri. Keduanya masih terus membesar tanpa ada salah satu yang kalah. Inilah dinamisnya persaingan yang sehat. “Pertempuran” itu telah berakhir.

Bukan hanya karena masing-masing sudah menempati makom-nya, tapi juga karena masing-masing sudah tua. Pak Jakob sudah 80 tahun. Sudah memilih dan memiliki CEO baru yang sangat andal, Agung Adiprasetyo. Saya sudah 60 tahun dan Jawa Pos juga sudah dipimpin Azrul Ananda yang berumur 34 tahun. Pak Jakob mungkin sudah tinggal menjadi pendetanya di Kompas dan bahkan saya sudah bukan siapa-siapa lagi di Jawa Pos, kecuali hanya pemegang sahamnya.

Hasil pertempuran itu sudah final: saya tidak mampu mengalahkan Pak Jakob Oetama. Kompas Group masih jauh lebih gede daripada Jawa Pos Group meski koran Jawa Pos sudah tidak kalah besar dari koran Kompas.

Yang lebih penting: saya melihat Pak Jakob sangat berbahagia dalam hidupnya. Dia mengerjakan bidang yang sangat disenanginya. Dia berhasil menjadi kaya raya. Dia diberi rahmat sangat panjang usianya. Belum tentu saya bisa sebahagia Pak Jakob Oetama. Belum tentu saya bisa membahagiakan orang lain sebesar dan sebanyak yang dilakukan Pak Jakob Oetama. Belum tentu juga saya bisa mencapai usia 80 tahun seperti Pak Jakob Oetama.(*)

Sumber: Blog Dahlan Iskan



Artikel Terkait
* Manusia dan Kemanusiaan Ala Jakob Oetama
* Jakob Oetama Tak Mau Koran Jadi Corong Partai
* Jakob Oetama Belajar dari Ojong
* Bimbang Jadi Guru atau Wartawan
* Terima Ancaman Soeharto di Hari Pers

Kebanyakan Rapat Membuat Orang Sinting

Dahlan Iskan
SUDAHKAH terbukti jumlah rapat-rapat di Kementerian BUMN turun 50 persen seperti yang saya inginkan? Angka pastinya masih dikumpulkan. Tapi dari penjelasan para direktur utama BUMN, terasa sekali jumlah rapat itu menurun drastis.

“Rasanya turun 60 persen,” ujar Nur Pamudji, Dirut Perusahaan Listrik Negara. “Selama tiga bulan ini saya baru rapat dua kali di kementerian. Kira-kira menurun 75 persen,” ujar Karen Agustiawan, Dirut Pertamina.

Rapat memang harus dikurangi. Kerja yang harus ditambah. Kerja, kerja, dan kerja. Di birokrasi, kesibukan rapat itu memang luar biasa. Jadi salah anggapan masyarakat selama ini kalau birokrasi itu malas. Birokrasi itu rajinnya bukan main. Kalau sudah rapat bisa panjang sekali. Bahkan untuk satu topik saja bisa dilakukan berkali-kali.



Tentu ada dampak negatifnya. Penghasilan sejumlah staf menurun. Dampak lainnya: banyak ruang rapat yang kosong. Saya suka turun-naik dari lantai ke lantai. Terasa benar ruang yang mahal itu terlalu boros penggunaannya. Padahal ruang rapat itu banyak yang ukurannya besar. Maka beberapa staf di Kementerian BUMN mengusulkan agar segera dilakukan penataan ulang seluruh ruang kerja.


Tentu saya menghargai usul seperti itu dan harus segera dilaksanakan. Pepatah hemat pangkal kaya rupanya sudah banyak dilupakan di zaman yang serba ada ini. Digantikan adagium: boros itu meningkatkan pertumbuhan ekonomi! Kalau semua orang berhemat, siapa yang belanja? Bagaimana nasib pabrik-pabrik?


Boros ruangan tentu memberikan contoh yang kurang baik. Secara kasar bisa dihitung paling sedikit akan ada dua lantai dari gedung 22 lantai di dekat Monas itu yang bisa dihemat. Beberapa BUMN yang selama ini masih sewa kantor (ada satu BUMN yang untuk salah satu bagiannya harus sewa kantor Rp 50 miliar selama lima tahun!) bisa pindah ke gedung ini.


Apakah penurunan jumlah rapat di Kementerian BUMN itu sudah membuktikan otomatis BUMN-BUMN kini lebih banyak kerja, kerja, kerja? Tentu belum bisa dibuktikan seketika. Bukti yang terbaik adalah hasil tutup buku akhir tahun nanti. Benarkah kinerja BUMN meningkat? Ataukah berkurangnya panggilan rapat dari kementerian itu justru melonggarkan kontrol dan membuat BUMN kian malas?

Berkurangnya jumlah rapat secara drastis di Kementerian BUMN itu sebenarnya bukan berarti menurunnya intensitas komunikasi. Sejumlah rapat itu kini sudah digantikan oleh terbentuknya grup BlackBerry Messenger.

Misalnya ada satu grup BBM yang semua anggotanya eselon satu. Maka meski Rapim Kementerian BUMN hanya dilakukan satu minggu satu kali (tiap Selasa jam 07.00), pada dasarnya rapat itu berlangsung bisa beberapa kali sehari. Hanya forumnya tidak di ruang rapat dengan sebuah meja rapat, tapi di forum BBM. Peserta bisa di mana saja dan sedang melakukan apa saja. Yang jelas tidak ada hidangan makanan kecil dalam rapat seperti ini.

Ada juga grup BBM yang anggotanya menteri, wakil menteri, seorang deputi, dan semua direktur utama BUMN yang bergerak di bidang pangan. Maka masalah-masalah peningkatan produksi beras di BUMN dibicarakan di “ruang rapat tanpa hidangan” ini.

Demikian juga ada grup BBM bidang gula. Anggotanya menteri, wakil menteri, deputi bersangkutan, dan semua direktur utama yang membawahi urusan gula. Ada grup BBM energi. Dan sebentar lagi, setelah holding perkebunan terbentuk akan diadakan grup BBM perkebunan.

Rapat melalui grup BBM seperti itu intensifnya bukan main. Juga hemat sekali waktu. Bahkan “rapat itu” berlangsung tidak mengenal hari dan jam. Bisa saja pada hari Minggu ada topik yang harus dibahas. Bahkan ada yang sampai jam 23.00 waktu setempat masih mengajukan pendapat.

Isi dan kualitas pembicaraan tidak kalah dengan rapat yang dilaksanakan di ruang rapat sungguhan. Meski menggunakan BBM, jangan khawatir dimanfaatkan untuk yang bukan-bukan. Tidak akan ada pembicaraan mengenai apel malang atau apel washington di situ.

Sesekali ada yang memasukkan humor, tapi biasanya kalau lagi akhir pekan. Arifin Tasrif, Dirut Pusri Holding yang tergabung dalam grup BBM pangan, termasuk yang suka kirim humor. Hanya kadang saya sulit mengenali nama asli mereka karena banyak yang pakai nama maya. Arifin Tasrif, misalnya, di BBM menggunakan nama Kapal Selam. Rupanya dia sekalian jualan pempek Palembang.


Tentu saya sangat menganjurkan agar semua BUMN membentuk grup-grup BBM seperti itu. Intensifnya luar biasa. Ini saya rasakan sewaktu masih di PLN. Waktu itu saya memiliki tujuh grup: grup khusus yang anggotanya semua direksi plus sekretaris perusahaan, grup saya dengan para general manajer se-Jawa-Bali, grup saya dengan para general manajer se-Indonesia barat, grup saya dengan semua general manajer se-Indonesia Timur.

Juga grup saya dengan para manajer perencanaan, grup saya dengan para manajer keuangan, grup saya dengan para manajer SDM, dan seterusnya. Keluhan masyarakat, info soal korupsi, pengaduan tender yang main-main dan segala persoalan yang berkembang bisa langsung dikomunikasikan melalui grup BBM.

Model komunikasi manajemen seperti ini, sekaligus bisa menerabas batas-batas hirarkhi dan birokrasi. Juga bisa lebih terbuka. Kekurangan di satu tempat langsung diketahui siapa pun di tempat lain. Kalau tidak terbiasa memang seperti membuka aib dan kelemahan, tapi itulah cara yang efektif untuk melakukan perbaikan.

Kalau niatnya sudah untuk melayani masyarakat, soal kelemahan yang dibuka di depan sesama manajer seperti itu tidak akan terasa sebagai aib lagi. Justru dengan cara itu tanggungjawab bisa muncul.

Apalagi bukan hanya soal kekurangan yang dibeber di grup BBM. Tapi juga soal prestasi. Dulu sering saya memasukkan pujian dari pelanggan listrik yang dikirimkan via SMS ke handphone saya. SMS itu langsung saya masukkan ke dalam grup BBM. Sebagai pendorong bahwa hasil kerja keras mereka diapresiasi oleh masyarakat luas.

Salah satu contoh ketika Peter Gontha memuji PLN via SMS; yang merasa kaget petugas PLN begitu cepat datang ke rumahnya yang listriknya lagi bermasalah dan petugas itu tidak mau diberi uang tip. SMS itu saya masukkan ke grup BBM dan dalam waktu singkat menyebar luas ke jajaran PLN.

Sungguh sangat banyak rapat yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara yang tidak perlu harus membuang waktu sampai lima jam (satu jam perjalanan, tiga jam rapat, satu jam perjalanan kembali). Kecuali kalau rapatnya benar-benar harus dan bisa mengambil keputusan saat itu.

Tentang rapat pimpinan Kementerian BUMN sendiri, kini tidak lagi dilakukan di kantor kementerian BUMN. Tiap Selasa lokasi rapat itu berpindah dari BUMN satu ke BUMN lainnya. Sekaligus agar seluruh eselon satu Kementerian BUMN mengetahui dengan mata kepala sendiri markas BUMN yang selama ini sering mereka panggil.

Sekalian untuk mengecek apakah di BUMN tersebut juga sudah dilakukan rapat pimpinan setiap Selasa jam 07.00 waktu setempat. Rapat paling jauh dilakukan di BUMN Angkasa Pura II Selasa lalu. Sekalian untuk mengecek persiapan perbaikan Bandara Soekarno-Hatta.

Perubahan memang sedang dilakukan. Ruang ATC/tower sudah lebih disiplin dan bersih. Tidak ada lagi yang merokok di ruang kontrol lalu-lintas pesawat. Peningkatan kapasitas tower menjadi dua sisi juga sudah hampir selesai.

Satu sodetan express taxy sudah selesai, tinggal membuat satu lagi. Bagian-bagian jalan yang sempit yang menjadi sumber kemacetan di sekitar bandara sudah dipagari seng, pertanda proyek pelebaran jalan sedang dilakukan.

Yang tahun ini mulai dikerjakan adalah: pembuatan gedung parkir empat tingkat di tengah-tengah antara terminal satu dan dua. Di tengah-tengah itu tahun ini mulai dibangun juga stasiun kereta api. Gedung parkir dan stasiun itu harus selesai akhir tahun depan.

Sementara menunggu gedung parkir, segera dilakukan pengaturan darurat: banyaknya mobil yang menginap di bandara akan disediakan lokasi khusus. Kendaraan karyawan bandara dan karyawan toko-toko di bandara akan dialihkan juga di lokasi lain. Ini agar lokasi parkir bandara lebih diperuntukkan melayani penumpang.

Terminal 3, yang sekarang ini hanya seperti huruf I, akan dikerjakan menjadi huruf U lebar. Berikut apron-nya sekalian. Dari terminal tiga akan dihubungkan dengan kereta tanpa supir menuju Terminal 1 dan 2. Pembangunan Terminal 3 ini juga harus sudah selesai akhir tahun depan. Kalau semua pekerjaaan itu selesai maka daya tampung Bandara Soekarno Hatta meningkat menjadi 60 juta pemakai jasa. Sekarang ini sudah 50 juta pemakai jasa per tahun yang memadati bandara yang mestinya hanya untuk 22 juta pemakai jasa itu.

Memang masih ada proyek besar lainnya: membangun landasan nomor 3 dan membangun Terminal 4. Tapi proyek ini memerlukan waktu lebih panjang. Masih harus membebaskan tanah 730 Ha yang tentu tidak akan mudah.

Dengan mengurangi kesibukan rutin berupa rapat-rapat yang kurang efektif, pemikiran memang bisa lebih dicurahkan untuk hal-hal yang lebih mendasar. Rapat, tentu saja penting. Tapi kebanyakan rapat bisa membuat orang sinting! (by Dahlan Iskan, Menteri BUMN RI) 

Sumber: ANTARA

Berharap Sasando Jadi Warisan Dunia

Sasando
ALAT musik sasando dari Nusa Tenggara Timur dan noken dari Papua telah didaftarkan ke UNESCO sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia.

"Kedua alat tersebut sudah didaftarkan ke UNESCO. Bahkan kami khawatirkan akan hilang, bukan karena diklaim negara lain. Tetapi lebih karena mereka (orang-orang) yang menggeluti musik sasando dan noken semakin habis," kata Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Budi Priyadi, di Denpasar Rabu (9/11/2011).

Dengan pengakuan dari UNESCO nantinya akan ada kewajiban bagi Indonesia untuk terus melestarikan dua warisan kebudayaan itu. Budi mengharapkan alat musik sasando yang biasanya memiliki 23 senar, dapat dimodifikasi menjadi 40 senar.


"Kita harapkan ini bisa disetujui oleh UNESCO. Sebab, bukan hanya Indonesia yang mendaftarkan warisan kebudayaannya ke UNESCO," kata Budi Priyadi.

Ia mengakui, sudah ada beberapa warisan budaya Bali yang diakui UNESCO. Hanya saja, jika dibandingkan dengan negara lain, warisan kebudayaan Indonesia yang diakui telah didaftarkan UNESCO masih terbilang minim. 

"Kekayaan Indonesia sedikit sekali yang diakui UNESCO, lebih banyak Jepang dan Korea. Padahal kebudayaan kita lebih banyak dari Jepang dan Korea," ucapnya.

Dikatakannya, pengumuman Sasando dan Noken akan diumumkan tahun 2013, karena baru didaftarkan tahun 2011. Sedangkan yang diumumkan tahun 2011 adalah Tari Saman (Aceh), yang telah didaftarkan tahun lalu.

Selain itu, kata dia, seluruh tari-tarian tradisional Bali sudah didaftarkan di UNESCO. Begitu juga Taman Mini Indonesia Indah (TMII) juga telah didaftarkan. "Kita sudah lakukan penelitian, sudah verifikasi dan sudah didaftarkan di UNESCO. Tahun 2013 juga akan diumumkan," katanya. (ANTARA)

Jalan Menuju Kehancuran

INDONESIA sedang menuju kehancuran dari dalam dengan dua cara, yakni korupsi dan narkoba. Pelan-pelan prosesnya sehingga banyak orang kurang menyadari. Ibarat pesawat terbang, Indonesia akan jatuh sendiri tanpa ditembak dengan rudal. Demikian komentar seorang pembaca Kompas.Com ketika portal berita tersebut merilis data Badan Narkotika Nasional (BNN) tentang jumlah pengguna narkoba di Indonesia pada tahun 2011 yang baru lewat.

Data BNN memang membuat bulu kuduk berdiri. Menurut Ketua BNN, Gories Mere, berdasarkan hasil survei prevalensi penyalahgunaan narkotika di Indonesia, jumlah pengguna makin meningkat dari tahun ke tahun. Hasil survei BNN prevalensi penyalahgunaan narkoba pada tahun 2009 adalah 1,99 persen dari penduduk Indonesia berumur 10-59 tahun atau sekitar 3,6 juta orang.


Pada tahun 2010, prevalensi penyalahgunaan narkoba meningkat menjadi 2,21 persen atau sekitar 4,02 juta orang. Pada tahun 2011, prevalensi penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) meningkat 2,8 persen atau sekitar 5 juta orang. Gories melukiskan hal itu sebagai fenomena gunung es. Artinya masih banyak pengguna yang belum terdeteksi dan jumlahnya akan makin menjulang dari tahun ke tahun. 

Lebih mencengangkan lagi kalangan pelajar dan mahasiswa justru menjadi kelompok yang paling rentan mengonsumsi narkotika. Data kepolisian memperkuat fakta tersebut. Di wilayah Jawa Barat, misalnya, selama tahun 2011 pengguna narkoba mayoritas kelompok umur 15-30 tahun. Mereka umumnya pelajar, mahasiwa dan kelompok tenaga kerja usia produktif. 
Data Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organisation (WHO) pun sama. WHO memperkirakan pada tahun 2011 terdapat 250 juta jiwa penduduk di dunia yang mengonsumsi narkoba. Sebagian besar merupakan generasi muda. Bahkan ada tren jumlah pengguna narkoba di kalangan pelajar mulai dari SD-SLTA terus meningkat. Hal itu tidak hanya terjadi di kota besar tetapi telah menjangkau berbagai daerah di pelosok tanah air.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa peredaran narkoba selalu melalui jaringan yang rapi. Indonesia sejak lama menjadi tempat beroperasinya jaringan internasional antara lain sindikat dari Iran, Nigeria, India, China, dan Malaysia. Jaringan itu melibatkan WNI. Beberapa di antaranya telah diungkap aparat berwenang bahkan dihukum mati. Namun, masih banyak yang lolos sehingga Indonesia mau tidak mau harus memperkuat diri dalam perang melawan kejahatan narkotika. Dalam konteks itulah kita mengapresiasi langkah kepolisian daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) memutus mata rantai peredaran narkoba di daerah ini. Langkah kepolisian merazia tempat hiburan malam yang berpotensi sebagai tempat transaksi narkoba patut didukung. Meski tidak serta-merta memberantas peredaran narkoba, namun razia rutin setidaknya dapat menekan jumlah pengguna narkoba di NTT. 

Tentu saja memberantas narkoba tidak semata-mata dengan cara menangkap, mengadili dan menghukum penjual dan pemakainya. Masih banyak cara yang harus ditempuh secara simultan dengan melibatkan setiap komponen dalam masyarakat. Kerja besar kita adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat Indonesia tentang bahaya narkoba serta cara pencegahannya.

Lembaga keluarga merupakan fondasi utama selain sekolah dan lingkungan sosial. Mengingat kelompok generasi muda merupakan pasar utama narkoba, maka fokus perhatian kita hendaknya ditujukan kepada mereka. Setiap keluarga di Nusa Tenggara Timur mesti segera menyelamatkan anak-anak kita dari serangan bom narkoba yang mematikan itu. Sebagai warga masyarakat kita pun tidak boleh berpangku tangan. Semua orang perlu meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas remaja di lingkungannya. Jika ada gelagat yang mencurigakan segera ambil langkah pencengahan cepat dan tepat. Narkoba bisa menimpa siapa saja termasuk anak, saudara, famili atau tetangga kita. *

Pos Kupang Kamis 23 Februari 2012 hal 4

Ketua Geng Motor Sekaligus Inovator

Novers Nggili
KESAN pertama yang didapat sewaktu berjumpa Noverius Henutesa Nggili adalah angker dan menyeramkan. Betapa tidak, rambut keriting sepundak, badannya tegap, dan sorot matanya tajam. Kumis serta jenggot lebat menghiasi mukanya. Kacamata gelap dengan frame warna perak disematkan di atas dahinya. Pria berusia 34 tahun ini cocok dengan gambaran anggota geng motor layaknya di film Hollywood.

Begitu berucap, kesan angker tersebut hilang. Gaya bicara Noverius terasa santun dengan nada perlahan tapi jelas didengar. Pria yang kerap dipanggil Frits ini merupakan perwakilan dari Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam acara Indonesian Young Changemakers Summit (IYCS) yang digelar di Gedung Merdeka serta Gedung Indonesia Menggugat, pekan lalu. Namun, prasangka di awal perjumpaan ternyata tidak sepenuhnya salah sewaktu Frits mengakui bahwa dia adalah pemimpin geng motor.

”Nama geng motor saya adalah geng Imut,” ujar Noverius dengan mimik dan nada yang datar agar tidak dianggap sedang bercanda oleh lawan bicaranya.

Rupanya nama Imut geng motornya merupakan singkatan dari Aliansi Masyarakat Peduli Ternak. Dibentuk sejak tahun 2005, Geng Motor Imut awalnya beranggotakan 15 orang. Selain cinta otomotif, mereka awalnya kerap berdiskusi mengenai masalah pertanian dan peternakan. Dengan demikian, sembari berkeliling layaknya geng motor, mereka memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai ilmu yang dikuasai.

Bagi Noverius, geng Imut adalah sebuah gerakan pembelajaran dengan filosofi berbagi ilmu sebelum ajal. Dia beralasan, setinggi apa pun pendidikan yang sudah dicapai seseorang, semua menjadi sia-sia bila tidak pernah diamalkan demi kebaikan sesama. Moto mereka, ”tapaleuk urus ternak”. Tapaleuk dalam bahasa Kupang bisa diartikan sebagai jalan-jalan dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk berbincang dengan orang lain.

Enam tahun sejak berdiri, geng Imut sudah menyambangi 20 kelurahan di NTT yang tersebar di tujuh kabupaten dan tujuh pulau. Mereka juga merangkul geng motor lain yang semula hanya meresahkan masyarakat untuk diarahkan kepada kegiatan yang bermanfaat. Dimulai dari 15 orang, kini anggota Geng Motor Imut mencapai lebih dari 100 orang. Forumnya di jejaring sosial Facebook pun diikuti oleh 700 pengguna lain sebagai ajang diskusi mengenai isu lingkungan yang diselesaikan dengan cara murah, mudah, dan ramah lingkungan.

Biogas
Dalam perjalanan ke sejumlah daerah, geng Imut tidak hanya menularkan ilmu yang didapatkan dari sekolah maupun perguruan tinggi. Mereka juga menciptakan peralatan yang memudahkan hidup masyarakat, salah satunya pembuat biogas menggunakan drum bekas. Penggunaan drum lebih masuk akal dibandingkan dengan lembaran plastik seperti di daerah lain, misalnya Kabupaten Bandung, Jawa Barat. ”Pasalnya, plastik sulit didapatkan di Kupang karena harus didatangkan dari Pulau Jawa, sementara drum sangat berlimpah karena digunakan untuk wadah bahan bakar minyak,” kata Noverius.

Keengganan pemilik hewan ternak untuk mencampur kotoran di bak penampungan biogas juga diakali geng Imut. Menggunakan sepeda statis, pemilik hanya perlu mengayuh untuk mencampur kotoran ternak. Kayuhan selama dua jam menghasilkan cukup daya listrik untuk penerangan di waktu malam selama tiga jam.

Geng Imut juga membuat blok suplemen pakan gula lontar untuk mengatasi sulitnya mendapatkan pakan ternak. Pakan ternak sangat melimpah sewaktu musim hujan dan bisa sebaliknya sewaktu musim kemarau. ”Dengan diolah menjadi blok pakan, peternak memiliki pakan yang bisa disimpan hingga tiga tahun atau memiliki nilai ekonomis bila dijual,” katanya.
Pengolahan limbah ternak menjadi biogas mengantarkan geng Imut mendapatkan dua penghargaan, yakni Academia Award dari Forum Academia NTT pada tahun 2010 serta 103 Inovasi Indonesia dari Kementerian Riset dan Teknologi pada tahun 2011.

Desalinator air laut
Geng Motor Imut juga membuat desalinator atau pengubah air laut menjadi air tawar untuk bisa dikonsumsi. Penemuan tersebut dimanfaatkan betul oleh penduduk Pulau Sabudi, Kabupaten Sabu-Raijua, yang kesulitan mengakses air tawar untuk dikonsumsi. Untuk mendapatkan air tawar, warga harus meninggalkan pulau mereka dan membeli jeriken berkapasitas 40 liter seharga Rp 25.000.

Namun, dengan penemuan yang diberi nama Desalinator Imut, yang sepenuhnya memanfaatkan sinar matahari, persediaan air tawar bukan masalah lagi. Penelitian tersebut berbuah penghargaan empat besar dalam Mandiri Young Technopreneur Award 2011.

Cara kerja desalinator itu memanfaatkan prinsip penguapan. Air laut yang diletakkan di bak penampung akan naik suhunya hingga 70 derajat celsius sehingga menguap. Uap air yang sudah tawar menempel ke bagian penutup bak dan mengalir menurut kemiringan menuju pipa ke penampungan air tawar. ”Air berkadar garam yang tersisa bisa dicampur iodium kemudian dijemur lagi untuk mendapatkan garam yang bisa dijual sebagai tambahan mata pencarian,” kata Noverius.

Angkat tradisi
Semangat Geng Motor Imut untuk berinovasi ternyata tidak menyurutkan kebanggaan atas nilai dan tradisi lokal, terutama berkaitan dengan perawatan ternak. Noverius mengaku, kelompoknya terang-terangan membangkang kebijakan veteriner yang mengharuskan hewan sakit ditangani oleh dokter hewan. Karena keterbatasan personel, mereka mengembangkan dukun ternak untuk mengobati ternak sakit berdasarkan ramuan yang sudah lama dikenal masyarakat Kupang.

Salah satu resep yang dibagi adalah mengobati cacing pada mata ternak yang bisa mengakibatkan kebutaan. Dengan memanfaatkan getah dari tumbuhan yang mereka sebut koleng susu, yang diteteskan sehari dua kali, ternak tersebut akan terbebas dari kondisi tersebut setelah sepekan perawatan.

Di kepala Noverius, masih tersimpan banyak ide untuk pengembangan Geng Motor Imut di masa mendatang. Yang pasti, dia takkan mengkhianati filosofi dasar yang dianut kelompok itu, berbagi ilmu sebelum ajal. Selama hayat masih di kandung badan, masih banyak ilmu maupun pengabdian yang akan dibaginya di lingkungan Pemerintah Kota Kupang ini. (Kompas/Didit Putra Erlangga Rahardjo)

Sumber: Kompas Cetak 18 Februari 2012

Solusi Pers Mengatasi Masalah Bangsa

cover depan
PERS selama ini telah membuktikan dirinya sebagai pencatat perjalanan sejarah dan peradaban manusia. Pers Indonesia pun demikian dan pada setiap zaman masyarakat selalu menuntut pers sebagai penyulam dan penyambung kepentingannya.

Untuk keempat kalinya, komunitas pers Indonesia yang bergabung dalam organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menerbitkan buku. Buku tersebut diluncurkan pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Jambi yang dihadiri Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 9 Februari 2012.

Buku setebal 216 halaman yang berisi catatan wartawan anggota PWI terhadap beragam isu aktual di daerah tersebut diberi judul: Solusi Pers Mengatasi Masalah Bangsa. Buku tersebut termasuk dalam 22 judul buku karya wartawan dan tokoh pers nasional yang peluncurannya ditandai dengan penyerahan secara simbolis kepada Presiden SBY oleh Ketua Umum PWI Pusat, Margiono di Jambi 9 Februari 2012.

Buku Solusi Pers Mengatasi Masalah Bangsa berisi 24 tulisan wartawan dari seluruh Indonesia. Buku ‘hasil kerja keroyokan’ ini mengungkap beragam isu aktual di berbagai propinsi di tanah air serta tawaran solusi menurut pandangan wartawan yang nota bene merupakan tokoh pers di daerahnya masing-masing. Gaya penulisan ala orang pers sungguh enak dibaca.

Dari Nusa Tenggara Timur, masalah yang diangkat tentang pro kontra masyarakat terhadap industri pertambangan di daerah ini. Pers Nusa Tenggara Timur kini dituntut perannya untuk menjadi pengawal yang punya integritas (halaman 191). Dibandingkan buku sebelumnya, tulisan dalam buku Solusi Pers Mengatasi Masalah Bangsa jauh lebih kaya. *
Sekilas Tentang Buku

Judul Buku : Solusi Pers Mengatasi Masalah Bangsa
Penerbit : RMBOOKS, PT Wahana Semesta Intermedia, Jakarta bekerja sama dengan Panitia Hari Pers Nasional (HPN) 2012
Penyunting : Usman Yatim
Cetakan I : Februari 2012
ISBN: 9786028075794
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes