Belajar dari Kaisar!

Franz Beckenbauer (afp)
 "KEJAYAAN seorang pemain atau suatu tim sepakbola pasti mengenal batas. Tak pernah ada sebuah kesebelasan yang terus berjaya. Mereka sadar betul bahwa suatu ketika ia akan jatuh, meski tidak pernah dikehendakinya. Dalam pengalaman saya sebagai pemain maupun pelatih, saya pernah bahkan berulang-ulang merasakan sakitnya sebuah kekalahan."

    Kata-kata ini, dengan polos dan tegas pernah dilontarkan sang “Kaisar” Franz Benckenbauer pada tahun 1994, tatkala dia menghibur rekan seangkatannya Berti Vogts yang kecewa karena gagal membawa Jerman mempertahankan Piala Dunia. Jerman kala itu kalah 1-2 dari Bulgaria di babak perempatfinal.

    Bangsa Jerman mencerca Vogts, menuding Lothar Matthaeus dan Klinsmann yang tak berdaya mempertahankan nama besar negerinya. Tim Panser yang kalah pada saat injury time lewat gol si kepala 'jambul' Iordan Lechkov, pulang ke Bonn seperti manusia tanpa roh.     Berti Vogts didesak mundur dari posisinya sebagai pelatih tim nasional. Vogts di mata orang Jerman, bagai guru tua yang mulai kehilangan daya pukaunya, sehingga tak dapat mengajarkan bagaimana bermain sepakbola yang benar, bagaimana menyuguhkan sepakbola khas manusia Aria.

    Beruntunglah nasib Vogts, karena masih ada sang Kaisar Frans Beckenbauer yang membelanya. Kata-kata rendah hati dari Beckenbauer pada detik akhir, ternyata mampu meluluhkan kekerasan hati rakyat Jerman. Seburuk-buruknya suara sang Kaisar masih didengar. Franz menyadarkan bangsanya yang terkenal dengan prinsip Deutch Uber Alles itu bahwa di kolong langit ini, tak ada yang paling hebat. Segala bangsa sama-sama memiliki kekuatan dan kelemahan. Dan, itulah kehidupan yang sesungguhnya.


***
    HARI-HARI INI, bukan mustahil suasana seperti pertengahan Juli 1994 kembali bergejolak di Jerman. Mendung bakal menggantung di atas langit Bonn, Berlin, Hamburg, Frankfurt hingga pelosok terjauh negeri itu tatkala Juergen Klinsmann dan kawan-kawan tiba dari Sofia dengan membawa kekalahan 2-3 melawan Bulgaria di penyisihan grup VII Piala Eropa 1996.

    Vogts, sungguhpun masih menyembulkan optimisme bahwa timnya akan lolos ke Inggris tahun depan, tak mungkin menutup mata melihat kerutan wajah publik sepakbola Jerman yang menatapnya dengan pandangan sinis serta bola mata memerah. Sakit, sakit sekali hati orang Jerman, karena untuk kedua kalinya dalam jangka waktu belum setahun, tim kebanggannya terantuk pada tim yang sama, Bulgaria.

    Padahal, Bulgaria di masa lalunya, tak lebih dari tim ayam sayur yang selalu menjadi santapan ringan tim Panser. Dari delapan kali pertemuan, Jerman masih unggul 5-3 dengan jumlah gol mencolok, sehingga di atas kertas adalah muskil Jerman tak mampu menaklukkannya.

    Akan tetapi, Berti Vogts, Juergen Klinsmann atau Thomas Haessler mungkin sedikit lupa bahwa keperkasaan Bulgaria kini di arena sepakbola dunia merupakan buah dari kebebasan. Bulgaria, negeri komunis Eropa Timur yang mendapat terpaan glasnost dan perestorika tiupan mantan pemimpin Soviet, Michael Gorbachev tahun 1985, kini mulai memetik hasil kebebasan bangsanya dari cengkraman ketidakadilan, anti demokrasi dan keterasingan.

    Bulgaria di masa ini sedang menikmati indahnya seruan dari masa lalu, penyair Aljazair Khalil Gibran dan pemikiran bernas filsuf Imanuel Kant tentang kebebasan. Karena kebebasan itulah, maka Hristo Stoichkov, Balakov, Emil Kostadinov atau Iordan Leechkov bebas melanglang buana ke seluruh dunia untuk bermain sepakbola profesional-sesuatu yang tidak pernah dialami para pendahulunya pra glasnost dan perestroika.

    Pengalaman bertanding di negeri orang, mengasah pemain Bulgaria menjadi bintang yang tak kalah piawainya dengan bintang negeri-negeri lain di Eropa. Sehingga tidaklah mengherankan bila tim nasional mereka begitu perkasa, tak terkalahkan dari enam kali bertanding di penyisihan grup VII Piala Eropa 1996.

    Dengan menjadi juara empat pada Piala Dunia tahun 1994, Bulgaria sebetulnya telah membuka mata bumi, betapa berharganya sebuah kebebasan. Kebebasan selalu lebih bernilai dari emas.

    Nah, di sinilah letak arti penting kata-kata Kaisar Franz, mega bintang yang sukses membawa Jerman menjadi juara dunia ketiga kalinya tahun 1990 silam. Dalam peluang yang kian tipis menuju Stadion Wembley Inggris, Berti Vogts perlu melakukan refleksi diri, membenah kekuatan anak asuhnya, menyadari bahwa masa emas Jerman mulai memasuki titik renta. Kepada Juergen Klinsmann dkk pantas diingatkan, belajarlah dari kata-kata sang “Kaisar”.  **

Sumber:  Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra.Artikel ini dibuat setelah Jerman ditaklukkan Bulgaria 3-2 pada babak kualifikasi Piala Eropa 1996. Pertandingan berlangsung di Sofia.

Hati Lothar yang Terkoyak

Lothar Matthaeus (afp)
NASIB, kalau ada, mungkin sangat kejam terhadap Lothar Matthaeus, terhadap nama besar bangsa Jerman di dunia persepakbolaan sejagat. Nasib, sungguh tega meluluhlantakan hati seorang Lothar Matthaeus, karena malam ini, dia harus menyaksikan pertarungan menentukan melawan Bulgaria di Sofia hanya dari bangku cadangan.

    Lothar Matthaeus, nama yang menyatu di hati bangsa Aria. Pemain perkasa di lapangan hijau yang membawa Jerman menjuarai Piala Dunia ketiga kalinya tahun 1990 di Italia, memang malang nasibnya. Hampir setahun terakhir, dia istirahat total dari aktivitas sepakbola karena cedera berkepanjangan yang menderanya.

    Padahal bila bicara tentang tim nasional Jerman, amat sulit dipisahkan dari peranan kapten yang selalu mengenakan kostum bernomor punggung 10 itu. Di bawah komandonya, Jerman selalu menakutkan semua lawan-lawannya. Di lapangan, Matthaeus adalah seorang jenderal bola.

    Kepiawaiannya, terutama sebagai inspirator tim hanya bisa disaingi Franco Baresi di tim nasional Italia dan George Hagi dalam tubuh kesebelasan Rumania. Pengabdiannya untuk Jerman tak terkira. Matthaeus sudah lebih dari 100 kali memperkuat tim nasional dan selama enam tahun terakhir memanggul ban kapten. Sayang sekali, pada detik-detik akhir pengabdiannya buat Jerman agar bisa tampil di Piala Eropa tahun 1996 mendatang, nasib buruk justru melindas.

    Cedera bagi setia pemain sepakbola memang sesuatu yang sulit terelakkan, sekalipun setiap pemain selalu berusaha sedapat mungkin menghindar. Benturan keras dengan lawan dalam pertandingan merupakan momok yang menakutkan. Pupusnya kebesarn si pirang asal Belanda, Marco van Basten karena cedera, menjadi salah satu bukti bahwa daging manusia memang lemah. Daging lemah itu pun dirasakan Mattaheus pada usia 34 tahun. Lebih-lebih lagi, pada saat Jerman harus bertarung hidup mati menuju stadion Wembley-Inggris.

***

NERAKA, kalau ada di bumi fana, maka malam ini mungkin akan terjadi di Sofia, ibu kota negara Bulgaria. Neraka itu bakal melanda Jerman usai pertandingan yang dimulai tepat pukul 17.30 waktu setempat atau pukul 02.00 Kamis dini hari (8/6/1995) Waktu Indonesia Bagian Tengah (Wita).
Bermain di kandang lawan dan tanpa kehadiran sang "jenderal' Lothar Mathaeus, Jerman tampak sulit menaklukkan Bulgaria yang sama-sama tergabung dalam grup VII. Anak asuh Berti Vogts terlampau berat membalas sakit hati kepada Hristo Stoichkov dkk yang mempermalukan tim Panser pada babak perempatfinal Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Kala itu, Jerman kalah 1-2 dan gagal ke semifinal. Tekad menjuarai Piala Dunia keempat kalinya harus ditangguhkan.

    Sungguhpun kekuatan tim Jerman tidak hanya bertumpu kepada Lothar Matthaeus, sehingga tanpa kehadiran Jerman tetap kompak-namun fakta telah membuktikan Juergen Klinsmann yang kini menjadi kapten, masih lebih sebagai tombak tajam dan cerdik di kotak penalti lawan daripada inspirator tim dan sutradara untuk mengatur irama permainan bagi 10 rekannya di lapangan.

Tim Vogts kali ini menampilkan beberapa muka baru. Pemain lama yang masih dipertahankan tinggal Klinsmann, Andreas Koepke, Andreas Moeller, Mario Basler, Stefan Reuter dan Thomas Helmer. Berti Vogts juga masih pusing lantaran dua pemain inti Juergen Kohler dan Matthias Sammer mungkin tidak dapat diturunkan karena cedera. Dengan kekuatan yang pas-pasan serta rata-rata pemain masih lelah karena ketatnya kompetisi Bundesliga, peluang Jerman untuk menang sangat tipis.

    Kondisi tersebut, berbeda dengan Bulgaria. Pelatih Dimitar Penev masih mempertahankan bintang-bintang lama yang sukses membawa Bulgaria ke semifinal Piala Dunia 1994. Di sana masih ada Hristo Stoichkov, Iordan Letckov, Emil Kostadinov, kiper tangguh Borislav Mikhailov dan lain-lain.

    Bermain di kandang sendiri, Bulgaria akan menjadi 'singa' lapar yang siap memangsa. Dengan tetap mengandalkan ciri khasnya dalam pertandingan dini hari nanti, Bulgaria akan menguasai semua lini terutama lapangan tengah. Tombak kembar, Hristo Stoichkov dan Kostadinov akan leluasa merusak pertahanan Jerman.

    Optimisme Bulgaria untuk lolos ke Inggris sangat besar. Itu sudah mereka buktikan sebagai tim tak terkalahkan serta memimpin grup VII dengan nilai 15. Kalau Jerman berhasil membalas kekalahannya di Piala Dunia, maka hal itu sangat membanggakan. Namun, jika sebaliknya Vogts bakal dicerca, Klinsmann akan diratapi bangsa Aria dan hati Lothar Matthaeus semakin terkoyak-koyak! *


Sumber:  Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra.
Artikel ini dibuat setelah Jerman ditaklukkan Bulgaria 3-2 pada babak kualifikasi Piala Eropa 1996. Pertandingan berlangsung di Sofia.

Jubah

SUATU hari di bulan Agustus 1971. Saya bersama seorang sepupu saya menunggu opelet (baca: oplet, yaitu sejenis angkutan kota di Jakarta kala iatu yang karoserinya terbuat dari kayu). di Jl. Martaman Raya, Jakarta tak jauh dari kompleks RS St. Carolus. Saat berdiri menunggu, tiba-tiba bus Pelita Mas jaya, yang supirnya dan kondekturnya umumnya didominasi oleh moat-moat dari daerah Sikka, berhenti.

Berhamburan turunlah belasan orang berjubah putih dan beberapa di antara mereka bertopi mirip yang dipakai haji-haji. Tiba-tiba saudari sepupu saya yang baru dua minggu datang dai kampung di Lambaleda, Manggarai, Flores Barat, menyelutuk dengan dialek khas Lambaleda, "Oleee, mai nia mai frater siok ta kaka? Ae, diod frater ce'e Jakarta ho'ok (Hai, kakak, dari mana frater-frater itu? Kok, beda sekali frater di Jakarta ini)."

    Mendengar celetukan spontan sepupu saya itu, saya tidak tahan tertawa geli lalu menjelaskan, "Orang-orang itu bukan frater (calon pastor/imam Katolik). Itu orang-orang Bangladesh atau bisa pula orang-orang Pakistan. Pakaian mereka umumnya memang begitu, mirip jubah yang biasa dipakai frater-frater atau pastor-pastor". Untuk lebih menyakinkan saudari sepupu saya yang masih mirip rusa masuk kampung itu, saya pun melanjutkan, "Frater-frater seperti di Flores itu kan selalu berpenampilan rapi, necis. Rambut tidak acak-acakan, tidak berewokan dengan jenggot lebat, kalau bepergian dengan jubah tapi tidak pakai sandal jepang/jepit seperti orang-orang yang baru turun dari bus itu. Di Flores, frater atau pastor itu kalau pergi ke mana-mana tidak mengenakan jubat tapi pakaian biasa. Meskipun pakai pakaian biasa seperti kita orang awam ini, baisanya merkea lebih tahu diri bila berada di tempat umum. Pokoknya, frater-frater biasanya tidak macam-macam di jalanan atau di mana saja mereka berada, kapan pun mereka beraktivitas dan dengan siapa mereka bergaul"
   
Hal itu jelaskan sebab penampilan orang-orang yang baru turun dari bus itu kelihatan kampungan sekali. Begitu mengingakkan kaki di trotoar, ada yang bercanda dan berjalan sambil mengangkat baji panjangan mirip jubah itu lewat lutut sehingga terlihat jelas paakaian dalammnya yang hanya celana pendek berbentuk segi tiga.

    Dalam kesempatan lain pada tahun-tahun berikutnya, saya sering disuguhi pertanyaan-pertanyaan seputar orang-orang yang mengenakan jubah yaitu biarawan dan biarawati Katolik. Pertanyaan yang mirip diskusi kecil itu datang dari teman-teman mislimin dan milimat baik yang seprofesi dengan saya maupun tidak

    Suatu hari, masih di Jakarta, di bulan Oktober 1984 - di sela-sela meliput suatu kegiatan - seorang wartawati berjilbab dari sebuah media massa cetak yang ktntal dengan warnanya yang dianut rekan wartawati itu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang saya nilai sangat mendasar. Rekanita jebolan sebuah pesantren di Jawa Timur ini tahu banyak tentang kehiduap selibat, tetangn kaul yang dijalani biawawn dan biarawatoi Katolik, tentang suster-suster yang ke mana-mana tetap mengenakan jubah sebagian pakaian 'kebesaran' sementara pastor tidak, tentang pengakuan dosa, hubungan antara biarawan dan biarawati dengan berbagai dampak yang mungkin, tentang hubungan antara mereka yang sudah diurapi sebagai imam dengan umat dan warga masyarakat yang lain jenis atau hubungan antara mereka yang sudah berkaul kekal dengan umat dan warga masyarakat lain jenis, serta macam-macam pertanyaan seputar kehidupan biarawan dan biarawati.

    Pertanyaan-pertanyaan itu memang cukup memusingkan saya. Tetapi sebagai warga masyarakat awam yang peduli tentang semua itu, saya punya kewajiban moril menjelaskannya dan merasa wajib 'melindungi' orang-orang pilihan itu. Saya bersyukur bahwa saya juga punya bekal sedikit tentang semua itu sehingga saya bisa menjelaskan kepada rekanita seprofesi saya itu atau yang lainnya.

    Menyangkut kaul, saya menceritakan tahapan-tahapan yang harus dilalui baik oleh calon biarawan maupun calon biarawati. Kaul-kaul itu diantaranya adalah kaul kesucian/kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan. Saya katakan, yang paling berat rata-rata dirasakan tiap calon biarawan/biarawati adalah kaul kesucian/kemurnian. "Kesucian dalam memelihara indera dan seluruh komponen tubuh. Atau dengan kata lain, bagaimana si calon itu mampu mengekang emosi dan nafsu manusiawi, mampu mengendalikan sensor motoriknya. Ini sangat berat sebab ini agak ke laur dari kodrat/naluri kemanusiaannya," kata saya, dengan maksud agar rekanita tadi lebih bisa menerima secara akali. Kemurnian itu, kata saya, sudah mulai dideteksi semenjak calon masuk di sekolah khusus, yaitu seminari untuk calon biarawan.

    Tiba-tiba Reno Aysah, nama awrtawati berjilbab rekan saya asal Blitar, Jawa timur, tadi, menimpal, " Kalau yang calon biarawati itu saya kira mudah dideteksi. Tapi yang laki-laki itu khan sulit dideteksi." Ucapannya itu membuat saya kelinggungan menajwabnya. Sambil menarik napas panjang saya katakan, " Disinilah letak kejujuran orang itu. Selama ditempat persemaian, seminarium, ia harus sudah sadar bahwa ia akan hidup selibat. Karena itu, ia harus jujur terhadap diri sendiri. Jujur terhadap Tuhan, jujur terhadap sesama tidak saja terhadap  kalangannya tapi juga terhadap kalangan lain, warga masyarakat agama lain. Pokoknya, kejujuran itu ia harus jaga sampai ia masuk ke liang lahat."

    Namun, Retno memotong dengan berkata, "bagaimana dengan mereka yang sudah diurapi. Tetapi kemudian ternyata mengingkari kaulnya, khususnya kaul kesucian, dengan melakukan hal-hal yang bahkan lebih 'berani' menyimpang dari norma-norma dan adat kebiasaan masyarakat yang tidak atau jarang dilakukan kaum awam yang soleh atau saleha?"

    Beruntung, pertanyaan Retno ini tidak sempat saya jawab karena suara panitia melalui loud speaker meminta para wartawan berkumpul untuk mengikuti konperensi pers. Bagaimanapun juga, pertanyaan Retno tidak mengada-ada. Pertanyaan itu muncul dari fakta yang fenomenal.    

    Betapapun masuk akalnya penjelasan-penjelasan diatas, penjelasan yang paling masuk akal adalah penjelasan oleh mereka yang menyandang predikat-predikat tadi yaitu, penjelasan yang tidak manipulatif, tapi penjelasan yang sesuai antara pilihan hidup dan pengejawantahan dalam hidup ini. Dan, pertanyaan Retno yang tidak sempat saya jawab, saya pulangkan juga kepada mereka yang menyandang predikat-predikat itu, yang berjubah. (marcel weter gobang)

Sumber: SKH Pos Kupang edisi Senin, 10 Januari 2000 hal 1


Si Bodot

Gus Dur
 "KALAU anda ingin menegakkan negara dalam negara, kita berhadapan. Ini bukan kehendak saya, tetapi kehendak Anda."

    Penegasan bernada ancaman itu disampaikan Presiden Gus Dur sebagai jawaban atas pernyataan salah satu tokoh masyarakat Irian jaya yang mengklaim diri sebagai pemimpin besar Papua. Theys H Eluay. "Keinginan untuk merdeka bukan keinginan segelintir orang, tetapi telah menjadi keinginan seluruh bangsa Papua," kata Theys

    Keinginan untuk merdeka alias membentuk negara sendiri dengan melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah menjadi isu hangat selama beberapa tahun sampai menjelang berakhirnya tahun 1999 lalu. Aceh ingin merdeka, masyarakat di Propinsi Riau juga demikian. Bahkan segelintir orang di Sulawesi Selatan bertekad ingin mendirikan negara sendiri menyukul kekecewaan karena idola mereka tidak terpilih menjadi presiden di negara berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa ini pada Sidang Umum MPR lalu.

    Bersyukurlah, masyarakat NTT tidak atau belum terpengaruh oleh isu-isu seperti itu. Meskipun kecenderungan untuk itu mungkin telah tumbuh pula dalam benak satu dua orang di antara tiga juta lebih penduduk daerah ini yang tidak ingin dinilai ketinggalan kereta. Bagi orang-orang di dalam hati kecilnya sudah mempunyai kecenderungan seperti itu barangkali mereka sedang menunggu momentum yang tepat atau menunggu datangnya dukungan sang provokator dari luar NTT baik yang kelahiran NTT, berdarah keriting NTT atau berdarah lain tetapi sesama bangsa, Bangsa Indonesia. Nah, bila mereka muncul dengan macam-macam argumentasi logsinya, barangkali kita perlu berkepala dingin menanggapinya. Tidak perlu takut dicap adem ayem saja.

    Bersyukur pula bahwa dalam percaturan politik lokal di daerah ini, khususnya dalam suksesi kepemimpinan tingkat kabupaten dibeberapa daerah tingkat dua, kita belum pernah mendengar masyarakat beraksi dengan mengancam membentuk kabupaten sendiri karena calon dari sukunya tidak terpilih sebagai bupati. Dengan demikian, Gubernur NTT tidak perlu mengeluarkan pernyataan berna ancamana sebagaimana diucapkan Presiden Gus ur tehradpa tokoh di IRian Jaya ini.

    Lalu, apa arti semua ini? Barangbali inilah dampak positid dari sisa-sisa keikutsertaan banyak orang NTT dalam penataran P-4 (Pedoman Penghayatan Pengalaman Pancasila) yang tleah ditiadakan dengan dibubarkannya lembaga penyelenggaraan, BP7 (Bdan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) oleh Pemerintah Transisi pada masa Presiden BJ Habibie

    Kembali kepada cara berpikir sektarian emosional yang menjadi cara, potret birokasi dimana-mana di Indonesia termasuk di NTT, masihkah kita harus berpegang pada konvensi bahwa kalau bupati dari Suku A, maka wakil buapti harus dari suku B dan KEtua DRD II-nya harus dari suku C, mialnay? Masihkah ktia tetap menganut pada kesepakatan kebetulan, bahwa posisi Anu yang kebetulan diduduki si Bodot harus tetap menajdi jatah orang-orang yang berseikatan emosional dengan si Bodot? Masih relevankah ktia harus membentengi posisi kita dngna macam-macam pagar?

    Politik kancil boleh-boleh saja dijalankan asal saja demi kepentingan, keamanan dan kesejateraan seluruh rakyat, seluruh subetnik betapapun kecilnya daerah itu. Dna, yang utama, hasilnya nyata dirasakan rakyat, tidak sekedar lip servoce yaitu slogan demi kepentingan seluruh rakyat tetapi nyatanya  hanya kamuflase bagi kepentingan golongan seikatan emosi

    Mungkin ini baik sebagia renungan, introspeksi dalam mengarungi tahun 2000 ke depan demi menjaga kesatuan, persatuan dengan mulai dari lingkup lokal dan regional sebagia kontribusi terhadap keutuhan bangas dan negara tercinta. Memang, ke depan, bagiamana juga kita lebih menginginkan birokrat-birokrat moderat, demokaratis dan pragmatik. (marcel weter gobang)


Sumber: SKH Pos Kupang edisi Senin, 3 Januari 2000 hal 1


Pengalaman Kecil dari Pos Kupang


Oleh Dion DB Putra

Alas kata

Kejatuhan Soeharto dan berakhirnya era Orde Baru tahun 1998 melahirkan kondisi paradoks bagi dunia kewartawanan di Indonesia.  Iklim kebebasan yang didorong oleh semangat Reformasi 1998 menempatkan insan pers nasional pada dua kondisi sekaligus,  sukacita sekaligus sedih dan memalukan.

Sukacita karena regulasi yang super ketat berakhir. Institusi pers muncul bagaikan jamur di musim hujan karena proses perizinan sangat ringan. Asalkan punya dana, siapa pun dapat membangun media baru, entah media massa cetak maupun media elektronik. Menjadi wartawan bahkan pemimpin redaksi atau redaktur pelaksana begitu enteng.

Hari ini si A bekerja sebagai tukang ojek atau sopir angkot, besok dia bisa  langsung "naik status" menjadi redaktur. Bermodalkan kartu pers dari institusinya, dia mencari berita ke mana saja tanpa didukung keterampilan dan pengetahuan yang memadai dan terutama memahami dan melaksanakan prinsip dan nilai-nilai dasar kewartawanan.

Kebebasan yang tak terkendali itu menjadikan wartawan sebagai profesi yang memalukan. Sebagian kalangan masyarakat menilai wartawan adalah profesi yang tidak patut dipercaya dan dihargai karena mengabaikan kode etik jurnalistik, bekerja sembrono dan tidak membawa pencerahan. Cukup banyak kejadian seseorang mengaku wartawan tetapi pekerjaan utama justru "memeras" nara sumber. Banyak istilah yang populer semisal Wartawan Bodrex, WTS (Wartawan Tanpa Suratkabar), Wartawan Preman dan lain-lain.

Wartawan yang kerap diagung-agungkan sebagai bukan pekerja biasa, seorang pekerja intelektual, seorang  profesional seperti halnya perawat, dokter atau advokat -- "hilang martabatnya" di Indonesia. Banyak kalangan lalu mempertanyakan dengan serius apa dan bagaimana wujud kompetensi wartawan. Standar kompetensi menjadi kebutuhan. 
Dan, insan pers nasional sedang bergerak menuju ke sana. Setidaknya dalam lima sampai enam tahun terakhir, Dewan Pers sangat intens menggelar diskusi, seminar atau workshop tentang masalah tersebut dan telah menerbitkan buku Kompetensi Wartawan pada tahun 2004, sesuatu yang disambut dengan baik pengelola media massa di tanah air. Tetapi pelaksanaannya masih merupakan tanda tanya besar. Masih banyak media massa cetak maupun elektronik di tanah air yang cenderung mengabaikan standar kompetensi.

Boleh jadi karena memang buku tersebut bukan titik akhir. Belum dapat dikatakan sempurna sehingga diskusi tetap menjadi sesuatu yang penting sebagaimana diselenggarakan  Dewan Pers di Kupang, tanggal 19 Juli 2007. Forum diskusi merupakan momentum untuk memperkaya, memperdalam dan mempertajam rumusan tentang kompetensi wartawan. Melalui diskusi kita bisa berbagi pengalaman dan pengetahuan. Apa yang kami sampaikan dalam makalah ini lebih banyak merupakan percikan pengalaman sehari-hari di lingkungan SKH Pos Kupang. Pengalaman konkret yang kami coba beberkan apa adanya.

Kompetensi wartawan


    Apa yang dimaksud dengan kompetensi wartawan? Tentu banyak definisi yang bisa diajukan. Dewan Pers telah memberikan rumusan yang sangat bagus yaitu kemampuan seorang wartawan melaksanakan kegiatan jurnalistik yang menunjukkan pengetahuan dan tanggung jawab sesuai tuntutan profesionalisme yang dipersyaratkan.

Kompetensi tersebut mencakup penguasaan keterampilan (skill), didukung pengetahuan (knowledge) dan dilandasi kesadaran (awareness) yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan fungsi jurnalistik. Kompetensi ditentukan sesuai unjuk kerja yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan media, dipersyaratkan oleh institusi media (perusahaan pers) dan diakui oleh asosiasi wartawan.

Kompetensi jelas berbeda dengan seperangkat hukum yang bersifat mengikat. Kompetensi wartawan merupakan informasi yang penting diketahui oleh calon wartawan, wartawan, asosiasi wartawan dan perusahaan pers .

Secara singkat dapat dikatakan ada tiga aspek mendasar yang berkaitan dengan kompetensi wartawan yaitu:

1.    Kesadaran (awareness). Mencakup kesadaran tentang etika, hukum dan karir.

2.    Pengetahuan (knowledge), mencakup pengetahuan umum dan pengetahuan khusus sesuai bidang kewartawanan yang bersangkutan.

3.    Keterampilan (skill), mencakup keterampilan mengumpulkan bahan berita melalui observasi, wawancara, riset, investigasi, menggunakan berbagai peralatan seperti komputer, kamera, faksimil dan sebagainya. Seorang wartawan juga dituntut terampil menulis atau melaporkan berita.

Ternyata tidak mudah mencapai kompetensi wartawan sebagaimana rumusan umum tersebut di atas. Pengalaman memperlihatkan, keterampilan (skill) cenderung lebih  mudah dibentuk ketimbang membangun kesadaran dan memperkaya pengetahuan seorang jurnalis. Seseorang dengan keterampilan luar biasa, justru lemah dalam hal kesadaran akan etika, hukum dan karir. Berita hasil garapan wartawan dengan tipe semacam ini menuai kecaman dan kritik dari publik bahkan sampai dengan proses hukum. SKH Pos Kupang pernah mengalami situasi seperti itu dalam sejarahnya sejak tahun 1992. Bahkan gugatan hukum jauh lebih marak pada periode pasca kejatuhan Orde Baru.

Mendapatkan wartawan dengan tingkat pengetahuan yang memadai pun bukan perkara gampang. Lulusan Fakultas Komunikasi atau Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (program studi/jurusan jurnalistik) tidak otomatis akan menjadi seorang wartawan dengan kinerja dan reputasi baik. Mungkin dia memiliki cukup dasar pengetahuan jurnalistik, tetapi tidak serta-merta sesuai untuk bidang tugas redaksional SKH Pos Kupang.

Mengapa demikian? Permasalahannya sangat kompleks. Perkembangan masyarakat yang begitu lekas tak sanggup diadaptasi dengan cepat pula oleh awak redaksi. Barangkali hal seperti ini bukan pengalaman Pos Kupang saja. “Penyakit” klasik wartawan adalah merasa “sudah tahu semua” sehingga malas membaca, tidak bergairah untuk terus menimba pengetahuan baru. Sebagai pekerja interlektual, karya seorang jurnalis terukur. Pembaca atau permirsa tahu siapa wartawan yang tidak pernah berhenti belajar dan siapa wartawan yang mapan.

Secuil pengalaman

    Surat Kabar Harian (SKH)  Pos Kupang yang hadir di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak tanggal 1 Desember 1992 mengalami pengalaman pasang surut dalam mendidik wartawan. Lima tahun pertama merupakan masa-masa yang sangat sulit. Wartawan datang dan pergi dalam jumlah yang hampir sama banyak.

Sejak awal, para pendiri koran harian pertama di NTT ini memberikan beberapa rambu-rambu ketika melakukan rekruitmen wartawan. Poin pertama adalah minat dan motivasi seseorang memilih pekerjaan sebagai wartawan. Kedua, watak baik. Ketiga,  pengetahuan dan terakhir keterampilan jurnalistik. Keempat aspek tersebut menjadi pedoman umum bagi manajemen Pos Kupang sampai sekarang karena  masih relevan dengan kondisi  di wilayah pengabdian SKH Pos Kupang sebagai “Suara Nusa Tenggara Timur”.

A. Minat dan motivasi.

Unit Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) Pos Kupang selalu menggali sedalam-dalamnya tentang minat dan motivasi seseorang ketika dia mengikuti tes atau seleksi  menjadi wartawan. Proses itu sudah dimulai sejak wawancara dan diperkuat dengan psikotes. Kepada calon wartawan ditanya sedemikian rupa sehingga mendapatkan gambaran tentang minat dan motivasinya terjun ke dalam dunia kewartawanan. Memang tidak seratus persen mendekati ideal, tetapi pengalaman empirik membuktikan seseorang dengan minat yang besar serta motivasi yang kuat terhadap kewartawanan lebih loyal dan bertahan dalam profesi ini.

Pembuktian terhadap minat dan motivasi seorang calon wartawan umumnya segera kelihatan pada tahun pertama sampai tahun ketiga dia bergabung. Kami sudah kerapkali menghadapi kenyataan pahit. Profesi wartawan sekadar menjadi “batu loncatan” untuk beralih ke pekerjaan lain. Yang paling populer dan primadona di Propinsi NTT adalah meniti karir sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tercatat lusinan mantan wartawan Pos Kupang yang sekarang menjadi PNS. Berawal dari dunia wartawan, seseorang memiliki akses yang luas dan berpengaruh terhadap pengambil kebijakan di lingkungan birokrasi. Dia dikenal sehingga mudah masuk ketika mengikuti test masuk CPNSD. Ada pula yang beralih ke bidang pengabdian lain seperti politisi (menjadi anggota DPRD, dll).

Ujian terhadap minat dan motivasi pun mudah dilihat dalam kesehariannya sebagai jurnalis. Ada wartawan kami yang bertipe “penyerang total”. Dia cenderung memandang segala soal dari sisi negatif semata. Pandangannya tidak berimbang – sesuatu yang jelas melanggar prinsip dasar jurnalistik. Berita baik bukan dianggap berita. Komplain pembaca Pos Kupang menjadi sesuatu yang lumrah bahkan wartawan yang bersangkutan menghadapi teror fisik dan mental. Manajemen Pos Kupang harus memutasikan ke daerah yang baru sebagai salah satu solusi. Mengutip pedoman Kompetensi Wartawan yang dirumuskan Dewan Pers, wartawan dengan ciri semacam ini tidak memiliki kesadaran (awarness) akan etika, hukum dan karirnya.


B. Watak baik.

    Di lingkungan SKH Pos Kupang berlaku adagium: Orang pintar mudah dicari. Tapi tak gampang menemukan yang berwatak baik. Poin kedua ini terkait erat dengan yang pertama di atas. Boleh jadi seorang calon wartawan memiliki minat dan motivasi yang baik tetapi percuma kalau  tidak ditopang oleh watak yang baik. Kejujuran merupakan tuntutan mutlak dan jelas sanksinya dalam ketentuan peraturan perusahaan.

Orang bisa pintar dan mahir asalkan dia mau belajar sungguh, tetapi mengubah watak adalah pekerjaan yang rumit. Pos Kupang memecat wartawan/karyawan yang tidak jujur. Sudah banyak yang dipecat karena melanggar ketentuan tersebut. Ada yang dipecat gara-gara meminta uang Rp 25 ribu dari narasumber. Hasil penelusuran menemukan sikap seperti itu sudah menjadi kebiasaannya hanya narasumber tidak berani melapor. Pada akhirnya ketahuan dan ada bukti dan saksi sehingga yang bersangkutan di-PHK.

Manajemen Pos Kupang pernah mem-PHK dua orang karyawan yang kedapatan menipu uang Rp 23 ribu. Ada pembelian barang seharga Rp 53 ribu. Angka 5 diubah menjadi 8 sehingga jumlahnya menjadi Rp 83 ribu. Dari sisi investasi SDM, manajemen mengalami kerugian tak ternilai karena karyawan yang bersangkutan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sangat bagus untuk kebutuhan perusahaan. Tetapi manajemen berpinsip: untuk apa memelihara pencuri?

C. Pengetahuan.

Pengetahuan seseorang berkaitan dengan  latar belakang pendidikan. Sejak awal Pos Kupang tidak mematok pendidikan khusus untuk menjadi wartawan. Manajemen Pos Kupang merekrut calon wartawan dari semua latar belakang pendidikan. Syaratnya minimal S1 (Strata 1). Untuk calon wartawan dengan pengalaman nol tahun, usia maksimum 27 tahun dan belum menikah. Konvensi yang berlaku di lingkungan Pos Kupang, sekurang-kurangnya dua tahun bekerja baru boleh menikah. Ada pengecualian bagi calon wartawan yang sudah berpengalaman. Tetapi usianya tidak lebih dari 35 tahun.

Dalam proses seleksi, seorang calon wartawan sekurangnya melewati tahap seleksi  kelengkapan administrasi, wawancara, psikotes dan ujian tertulis. Ujian tertulis diperlukan untuk mengetahui kadar pengetahuan mereka. Mata pelajaran utama antara lain, bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Pengetahuan Umum. Pertanyaan bersifat terbuka dan tertutup. Hasil ujian tertulis menentukan seseorang dinyatakan lulus atau tidak disamping hasil tes aspek-aspek yang lainnya.

D. Keterampilan.


Jika melewati ujian itu, seorang calon reporter akan memasuki masa pelatihan. Pada tahap inilah Pos Kupang membetuk keterampilan jurnalistiknya. Pelatihan berlangsung selama satu bulan penuh dari pukul 08.00 - 18.00 Wita. Dalam praktek, biasanya bisa berlangsung sampai malam hari. Teori 20 persen, 80 persen praktek.

Pengalaman kami menunjukkan, banyak calon reporter gugur pada pekan pertama. Selain  karena tidak tahan secara fisik, mereka tak kuat mental menghadapi pekerjaan jurnalistik yang bakal dijalaninya. Ada hal-hal yang mengejutkan mereka, mengubah pandangan mereka tentang dunia kewartawanan.

Setelah lolos pelatihan selama satu bulan, seorang calon reporter bisa mulai bekerja dengan masa magang 6 bulan. Setelah enam bulan masa magang, barulah seorang bisa disebut reporter SKH Pos Kupang. Tentu saja perlakuan berbeda jika wartawan yang direkrut sudah berpengalaman. Biasanya kepada kelompok seperti ini yang utama adalah menanamkan kesadaran dan tanggung jawab  profesinya serta bagaimana seharusnya sikap seorang wartawan sesuai standar yang digariskan lembaga Pos Kupang serta norma yang berlaku umum.

Sejumlah upaya kecil

    Menyadari kompetensi sebagai kebutuhan, terutama pada masa “pers kebablasan” karena eforia Reformasi 1998, Pos Kupang melakukan sejumlah upaya untuk mempertahankan kredibilitas di mata pembaca. Beberapa bisa disebut di sini.

1. Buku panduan

Sejak tahun 2000, Redaksi Pos Kupang memiliki buku panduan tentang sikap dasar wartawan Pos Kupang. Buku untuk kebutuhan intern itu menjadi semacam “kitab suci” yang menjadi rujukan untuk membangun kesadaran wartawan (selengkapnya lihat lampiran). Dalam buku panduan tersebut juga terdapat kategorisai level seorang wartawan (dari pemula sampai tingkat senior).

Namun, yang utama ditekankan bahwa menjadi wartawan itu suatu panggilan hidup. Mereka yang memilih profesi ini seolah-olah ditarik oleh suatu kekuatan dari luar diri mereka untuk menjadi khusus dan mengemban kewajiban khusus. Tanggung jawab yang dipikul wartawan merupakan tanggung jawab yang murni muncul dari dalam lubuk hatinya  sendiri. Motivasi menjadi wartawan adalah motivasi intrisik. Wartawan laksana  orang Samaria yang baik hati  (the good Samaritan role).

    Dengan demikian wartawan mempunyai tujuan mulia. Senang rasanya bagi seorang wartawan Pos Kupang  bila bisa menolong orang yang sedang menghadapi kesulitan dengan menyampaikan berita dan gagasan tentang dunia sekitar mereka. Dan memang inilah yang dibutuhkan pembaca koran kita. Untuk lebih meningkatkan kredibilitas, wartawan Pos Kupang wajib menghargai pembaca dengan menyajikan apa yang diinginkan pembaca sebagai berita. Jadikan prioritas utama tidak menyakiti orang karena hakekat jurnalisme merupakan bisnis bagi orang-orang etis. Demikian yang selalu ditanamkan para pendiri koran ini dalam berbagai kesempatan.

2. Pendidikan dan latihan

    Selain dasar pendidikan formal yang dipersyaratkan saat rekruitmen awal, Pos Kupang secara rutin memberi kesempatan kepada setiap wartawan (baik pemula, tingkat madya maupun wartawan senior) untuk mengikuti pendikan dan pelatihan sesuai kebutuhan. Tujuannya menambah pengetahuan dan keterampilan. Sudah menjadi program tahunan mengirim wartawan/redaktur mengikuti pelatihan di lembaga Diklat KKG (Kelompok Kompas Gramedia) di Jakarta. Pelatihan juga berlangsung di daerah (Kupang).

    Selain Diklat pada level grup, manajemen Pos Kupang juga rutin mengutus para wartawan mengikuti pelatihan atas undangan/sponsor serta kerja sama dengan pihak ketiga. Pelatihan semacam ini termasuk yang berlangsung di luar negeri. Secara intern juga berlaku in house training tentang  materi kontekstual sesuai kebutuhan. Yang paling sering kami lakukan adalah apa yang kami sebut sebagai “penyegaran” secara periodik. Biasanya tiga bulan sekali.  Penyegaran Bahasa Indonesian, teknik penulisan features, teknik penulisan berita hukum dan  kriminal, berita politik  dan lain-lain.

Penutup


    Demikianlah beberapa hal yang dapat kami sampaikan sebagai bahan untuk diskusi lebih jauh tentang Kompentensi Wartawan yang diselenggarakan Dewan Pers di Kupang, 19 Juli 2007. Kami menyadari materi yang disiapkan ini sangat jauh dari sempurna. **

Sumber:  Materi ini saya sampaikan dalam diskusi bertopik Upaya Pencapaian Kompetensi Wartawan yang diselenggarakan oleh Dewan Pers di Hotel Kristal-Kupang, hari Kamis tanggal 19 Juli 2007. Saya diundang sebagai narasumber dalam kapasitas sebagai Pemimpin Redaksi SKH Pos Kupang.


Peranan Media Massa dalam Penyuluhan Hukum

Oleh  Dion DB Putra

I. Pengantar
Suatu kehormatan bagi kami untuk menjadi salah seorang nara sumber dalam forum Bimbingan Teknis Penyuluhan Hukum tahun 2006 yang diselenggarakan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Propinisi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Bagi kami forum ini lebih tampan dilukiskan sebagai kesempatan berbagi pengalaman (sharing), bukan forum untuk “mengajari” Ibu/Bapak sekalian tentang hukum, apalagi aspek penyuluhannya. Kami tidak dalam kompetensi seperti itu. Anda semua dalam bidang tugas masing-masing tentunya lebih memahami cara memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat yang dilayani.

Sesuai permintaan penyelenggara kegiatan ini, kami membuat beberapa catatan tentang “Peranan Media Massa dalam Penyuluhan Hukum”. Sebagian besar catatan ini mengacu pada pengetahuan dan pengalaman keseharian kami sebagai wartawan media massa cetak (Surat Kabar Harian Pos Kupang). Materi ini sekadar pengantar untuk kita mendiskusikannya lebih jauh dalam spirit berbagi pengalaman.

II. Peranan media massa

Media massa, baik media massa cetak maupun elektronik di belahan dunia manapun memiliki fungsi dan peranan  yang kurang lebih sama. Sering dikatakan pers atau media massa memiliki empat fungsi dan peranan  yang menonjol yaitu sebagai media informasi (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain) dan menggugah atau mempengaruhi (to influence).

a.   Memberikan informasi.
Media massa memberikan informasi  (to inform), entah informasi tentang peristiwa yang sedang terjadi, gagasan atau pikiran seseorang. Orang membaca surat kabar (koran), majalah, menonton televisi, mendengar radio atau mengakses media online terutama karena mereka ingin mencari informasi yang dibutuhkannya. Misalnya, informasi tentang lapangan kerja, informasi tentang cuaca, kesehatan, lembaga pendidikan berkualitas, informasi bisnis dan sebagainya.

Hadirlah surat kabar harian (koran), mingguan, majalah bulanan, radio, televisi. Ada media yang bersifat umum, artinya media tersebut menyajikan informasi dalam cakupan yang luas.  Ada juga media yang membatasi penyajiannya untuk soal-soal khusus. Misalnya, koran bisnis/ekonomi, majalah hukum dan kriminalitas, majalah politik, televisi berita (CNN, Metro TV) dll. Sering dikatakan media merupakan sumber informasi publik.


b.   Mendidik
Media massa melakukan edukasi (to educate). Lewat pemberitaannya, media massa ikut memberi pencerahan, mencerdaskan dan menambah wawasan khalayak pembaca, pendengar atau pemirsanya. Dalam konteks hukum, pers menyadarkan mereka akan hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat maupun sebagai warga negara. Dalam kenyataan sehari-hari, tidak sedikit orang yang tidak tahu apakah sesuatu sudah menjadi produk hukum positif atau belum. Mereka tidak menghiraukannya dan baru merasakan atau  memikirkannya apabila telah melanggar hingga merasakan akibat pelanggaran tersebut. Mereka baru  merasakan adanya hukum apabila kepentingannya dibatasi oleh peraturan hukum yang ada. Di sinilah pers atau media massa ikut memberikan pencerahan, memberi tuntunan.

c.   Menghibur
Media massa juga menghibur (to entertain). Hal hal yang bersifat menghibur sering Anda temukan di media massa seperti berita seputar selebritis, cerita tentang gaya hidup, hobi komunitas, dll. Sulit dipungkiri bahwa media massa  sudah merupakan panggung tontonan.  Media dikemas serba entertain, populer. Kecuali menarik juga menghibur. Unsur entertain sangat menonjol di media elektronik terutama televisi. Media massa cetak juga menyajikan hal-hal yang menghibur itu tapi dengan pola kemasan yang berbeda.

d.   Mempengaruhi (kontrol sosial).
Media massa menggugah atau mempengaruhi (to influence). Media yang independen dan bebas dapat mempengaruhi dan melakukan fungsi kontrol sosial (social control). Yang dikontrol bukan cuma penguasa, pemerintah, parlemen, institusi pengadilan, bisnis, militer, institusi hukum tetapi juga berbagai persoalan di dalam kehidupan masyarakat.  Dia menjadi “anjing penjaga” yang terus menggongong. Media massa juga menggugah perhatian dan perasaan khalayak terhadap suatu permasalahan yang sedang terjadi. Misalnya, mengangkat fenomena tingginya anak usia sekolah di NTT yang terpaksa bekerja  karena kesulitan ekonomi keluarganya. Dengan mengungkap realitas itu diharapkan muncul perhatian atau bantuan konkrit dari berbagai pihak yang peduli.
           
III. Perintah UU Pers

Bagi  media massa di Indonesia atau insan pers nasional, fungsi dan peranannya sudah digariskan secara jelas dan tegas dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam pasal 3 ayat 1 UU No. 40 Tahun 1999 disebutkan, pers nasional mempunyai fungsi sebagai:
a.    Media informasi
b.    Pendidikan
c.    Hiburan
d.    Kontrol Sosial.

Disamping fungsi-fungsi tersebut (ayat 1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.  UU No. 40 Tahun 1999 juga menegaskan secara khusus tentang peranan pers. Dalam pasal 6 UU tersebut dikatakan pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:

a.    Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;

b.    Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi dan hak asasi manusia  (HAM) serta menghormati kebhinekaan;

c.    Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;

d.    Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;

e.    Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Penjelasan tentang pasal 6 tersebut lebih menekankan  lagi peranan pers nasional.  Pers nasional mempunyai peranan penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, dengan menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong ditegakkannya keadilan dan kebenaran serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib.

Kiranya sangat jelas perintah UU tersebut bagi pekerja media massa di Indonesia. Insan pers nasional menjalankan fungsi dan peranan yang sangat mulia meskipun pelaksanaannya bukan perkara sepele. Dan, tepatlah bila forum Bimbingan Teknis Penyuluhan Hukum yang diselenggarakan Kanwil Departemen Hukum dan HAM NTT tahun 2006 ini  memandang penting peranan media massa untuk ikut mendorong terciptanya masyarakat sadar hukum di daerah ini. Masyarakat yang tahu hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat yang terikat dengan norma sosial/hukum.


IV. Penyuluhan hukum

Penyuluhan hukum bukan sesuatu yang baru bagi masyarakat kita. Penyuluhan hukum sudah berlangsung lama  yaitu sejak masa pemerintahan Orde Baru. Penyuluhan hukum giat dilaksanakan pemerintah sejak awal tahun 1980-an dan masih berlangsung sampai sekarang. Masyarakat kita tidak asing lagi dengan istilah Kadarkum (Keluarga Sadar Hukum) atau Desa Sadar Hukum. Tetapi apakah masyarakat kita sudah sadar hukum?
Pertanyaan ini tampak sederhana saja, namun jawabannya bisa sangat panjang dan berliku. Sebagaian besar warga masyarakat kita baru menyadari pentingnya hukum ketika ia berurusan dengan persoalan hukum.

Baru sadar bila terkena kasus hukum. Itulah sebabnya tidak sedikit pula mereka yang menjadi korban karena ketidaktahuannya tentang hukum.
Dengan demikian penyuluhan hukum sangatlah penting dan tidak boleh berhenti.  Dan menjadi penyuluh hukum adalah pekerjaan yang mulia! Penyuluhan hukum tentunya diarahkan kepada terwujudnya pengetahuan  masyarakat tentang hukum dan terwujudnya perilaku masyarakat menurut hukum.

Tujuannya meningkatkan pemahaman dan kesadaran hukum, meningkatkan kepatuhan hukum dan memberikan akses informasi hukum kepada masyarakat. Banyak cara yang ditempuh seperti melalui forum tatap muka, panel diskusi, seminar atau lewat media cetak dan elektronik serta multi media.

V. Bukan isu yang tampan

V.1. Sosialisasi produk hukum?
Idealnya media massa menjalankan fungsi dan peranannya sebagaimana tertuang dalam UU No.40/1999. Namun, perlu dikatakan dengan jujur dalam forum ini bahwa peranan itu belum optimal dilaksanakan. Sesuai amanah  UU Pers, salah satu peranan media adalah memenuhi rasa ingin tahu masyarakat. Maka media seharusnya terlibat aktif mensosialisasikan setiap produk hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada publik (masyarakat).

Kenyataanya tidak semudah itu. Sosialisasi hukum (bisa juga dibaca: penyuluhan hukum) bukanlah isu yang tampan atau seksi bagi pengelola media massa, baik cetak maupun elektronik. Isu tersebut belum menjadi perhatian utama media massa nasional dalam kebijakan redaksionalnya. Nasibnya kurang lebih sama dengan isu lingkungan atau pemberdayaan ekonomi rakyat melalui program usaha kecil dan menengah (UKM) atau koperasi. Nilai beritanya sangat kecil.

Mengapa demikian? Kiranya disadari bahwa pers senantiasa berpijak pada prinsip “bad news is a good news”. Hadirnya suatu produk hukum yang baru barangkali tetap diberitakan pers, tetapi porsinya sangat kecil dan sekadar informasi di permukaan. Media tidak mengungkap substansinya secara mendalam. Porsi yang kecil akan kecil pula pengaruhnya terhadap khalayak.

Media massa umumnya merasa rugi bila kolom atau program acaranya hanya dipakai untuk mempublikasikan produk hukum atau perundang-undangan. Itu dipandang sebagai pekerjaan instansi yang lebih berkompeten seperti Departemen Hukum dan HAM atau institusi hukum lainnya.

Kalau sekadar sosialisasi produk hukum, maka tempatnya di media massa dikenal sebagai iklan layanan masyarakat (advertorial). Hal ini tentu membutuhkan dana atau biaya, sesuatu yang mudah dipercakapkan tetapi tidak enteng diwujudkan karena beragam kendala dan keterbatasan.

V.2. Aplikasi hukum, bidikan media!


Media massa cenderung bergerak pada aplikasi hukum dalam kehidupan masyarakat. Untuk yang satu ini peranan media sangat menonjol. Anda tentunya tidak asing dengan berita surat kabar, majalah, televisi atau radio tentang beragam kasus hukum. Misalnya, berita tentang pencuri sandal jepit yang dihukum 2 tahun penjara, berita tentang bebasnya koruptor kelas kakap. Berita pembunuhan, perkosaan, pencemaran nama baik, kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan oleh petugas LP terhadap narapidana dan sebagainya. Singkatnya, media massa menyajikan berita berita aktual dari berbagai isu. Hal itu menunjukkan bahwa media memiliki kontribusi yang tidak kecil dalam mendukung proses pembangunan demokrasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia serta terwujudnya penegakan hukum yang adil.

Salah satu agenda besar reformasi adalah meminimalisir praktek KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Maka dapat dimengerti bila media massa nasional cukup intens mengungkap kasus-kasus korupsi serta penyimpangan lainnya. Dengan memberitakan masalah tersebut, media melaksanakan perannya seperti tertuang dalam Undang undang Pers 40/1999 yaitu melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. 

Media juga membentuk pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. Masih segar dalam ingatan kita kasus hukum yang melanda Tibo cs, tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso yang telah dieksekusi akhir bulan September lalu. Selama berbulan-bulan kasus itu menjadi liputan utama media massa nasional bahkan mendapat perhatian cukup besar dari komunitas masyarakat internasional. Media massa mengembangkan pendapat umum dengan mengangkat kembali proses peradilan terhadap Tibo cs, tahapan hukum yang telah diupayakan serta vonis hukuman mati yang harus mereka jalani.

Media memberi ruang yang lebih dari cukup tentang masalah tersebut. Terjadi polemik. Muncul simpati dan antipati. Ada sikap pro dan kontra. Demonstrasi di mana-mana. Bahwa pada akhirnya Tibo cs tetap dieksekusi, hal itu soal kepastian hukum. Tetapi masyarakat setidaknya mendapat gambaran yang cukup tentang adil tidaknya proses hukum terhadap Tibo cs, tentang prosedur hukum yang masih bisa ditempuh, tentang  konsekwensi dan implikasi hukum bila seseorang divonis mati dan masih banyak hal lainnya.

Contoh lain adalah kontroversi Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP). Media massa nasional sejak awal melakukan koreksi dan kritik terhadap RRU tersebut sebelum diundangkan. Sikap protes atau keberatan masyarakat terhadap RUU APP tertuju pada sejumlah ketentuan yang dapat merugikan suatu kelompok masyarakat tertentu di Indonesia dan menguntungkan kelompok masyarakat lainnya. Sementara prinsip hukum harus berlaku sama dan adil untuk semua orang. Media berperan besar dalam menggugah kesadaran masyarakat Indonesia untuk memperjuangkan haknya. Dapat juga disebut hadirnya UU Perlindungan Saksi antara lain berkat kontribusi media massa yang terus-menerus mempublikasikannya.

Di tingkat lokal NTT, media massa pun tidak tinggal diam. Banyak peraturan daerah (Perda) yang merugikan kepentingan masyarakat dibuka menjadi konsumsi publik. Media menunjukkan hal-hal yang tidak rasional dan memberatkan masyarakat.  Media menghimpun pandangan mereka. Wacana yang dibangun media mendapat tanggapan dari pemerintah sehingga ada sejumlah Perda ditunda pemberlakuannya. Media massa  juga cukup konsisten mengkritisi produk hukum yang kontrapoduktif bagi pengembangan investasi di daerah serta urusan lainnya. Dalam praktek, media massa sering menjadi benteng terakhir bagi warga masyarakat untuk memperjuangkan keadilan.


VI. Manfaatkan media


Lantas, bagaimana memanfaatkan media untuk menggolkan tujuan penyuluhan hukum? Apakah mungkin memanfaatkan kekuatan media massa untuk mensoalisasikan hukum kepada masyarakat?

Media menyiapkan kolom/space untuk itu. Artinya sosialisasi itu tidak datang semata-mata dari pihak media, tetapi Anda sendiri proaktif melakukannya. Misalnya dengan menulis artikel di media massa. Anda menjelaskan duduk soalnya secara baik, sehingga masyarakat memperoleh gambaran yang benar dan utuh tentang implikasi dari  suatu produk hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagaimana sebaiknya?
Bagaimana kita merajut hubungan dua kubu yang berbeda? Media massa di satu pihak dan pemerintah di pihak yang lainnya. Adakah 'jembatan' menuju tujuan bersama? Adakah 'benang merah' yang bisa dipilin tanpa mencederai tugas dan peranan masing-masing? Benang merah itu jelas ada karena kedua pihak melayani/mengabdi kepada pihak yang sama yaitu masyarakat, rakyat, publik.

Pers melayani publik sesuai fungsinya sebagai media informasi, pendidikan dan kontrol sosial. Pers tidak bekerja di hutan rimba secara liar. Ada ketentuan hukum yang mengikatnya. Pemerintah pun melayani publik sesuai ketentuan yang berlaku. Yang berbeda cuma soal cara. Di sinilah titik pijak untuk membangun komunikasi yang positif dan saling mendukung satu sama lain.

Pengalaman kami menunjukkan, rekan-rekan dari unsur pemerintah belum sepenuhnya tahu bagaimana cara mendekatkan diri dengan media massa dan bagaimana memanfaatkan kekuatan media untuk meningkatkan citra daerah, menjual potensi daerah demi pengembangan ekonomi, pembangunan dalam pelbagai bidang.

Asal tahu saja, kemenangan pasangan SBY-JK pada Pilres 2004 bukan karena mereka lebih berkualitas dari empat paket calon yang lain. Salah satu faktor kunci kemenangan SBY-JK adalah cerdas memanfaatkan kekuatan media massa untuk meningkatkan citra diri. Pencitraan SBY-JK melalui media sebagai pembawa berubahan dalam jargon "Bersama Kita Bisa" terbukti ampuh. SBY-JK menang telak.

Bagaimana memanfaatkan media, beberapa tips berikut ini mungkin dapat dipertimbangkan.

a). Hilangkan fobia bahwa media massa hanya menggarap berita tentang kelemahan pemerintah. Bahwa media melakukan kontrol sosial itu sudah kewajibannya sesuai perintah UU. Toh tidak semua media menggelorakan jurnalisme perang. Banyak media yang sejuk-bernafaskan jurnalisme damai. Anda bisa memilah-milah dan memilih mana yang layak dipercaya dan perlu memanfaatkan kekuatannya.

b). Proaktif menjalin komunikasi dengan wartawan, pimpinan media   massa. Tidak salah jika mengenal secara pribadi. Dengan saling kenal niscaya Anda akan lebih mudah mengkomunikasikan pesan pemerintah. Anda mendapat kesempatan yang cukup untuk memberikan penjelasan tentang sesuatu. Di sana ada ruang diskusi, ada keterbukaan. Saling pengertian.

c). Tidak saatnya lagi Kepala Bagian Humas/Kepala Biro Humas, Kepala Badan atau Dinas Infokom atau apapun predikatnya menunggu ditemui wartawan, merasa diri penting, dibutuhkan. Tinggakan cara berpikir seperti itu. Di beberapa tempat, pertemuan periodik dengan insan pers masuk dalam agenda kerja bagian Humas atau Badan Infokom. Namanya bisa "minum kopi bersama" atau kongkow-kongkow. Dalam forum ini seorang bupati bicara apa saja tentang daerahnya. Ada yang ditulis, ada yang cuma informasi bagi pengelola media agar mereka dapat mengerti duduk perkara suatu masalah. Bahkan dia dapat memperoleh masukan berharga dari pengelola media bagaimana seharusnya menyikapi suatu problem sosial. Budaya seperti itu belum tercipta di NTT. Bupati/Gubernur di sini masih merasa bahwa dialah yang dibutuhkan wartawan. Maaf saja, cara berpikir demikian bergaya feodal. Tidak cocok lagi dengan dunia yang terus berubah amat cepat.


d). Tugas aparat Humas tidak sebatas kliping koran. Menumpuk bundelan koran/majalah. Diperlukan pengetahuan dan keterampilan membaca atau mengalisa kliping koran/majalah, siaran radio dan televisi serta menarik implikasinya dengan kondisi setempat. Syaratnya policy maker tertinggi di daerah perlu menerapkan prinsip manajemen: the right man on the right place. Menempatkan personel di bagian Humas atau Badan Informasi dan Komunikasi secara tepat. Tenaga profesional mungkin masih jauh-- tetapi setidaknya dia memiliki hasrat untuk belajar, menambah wawasan, pengetahuan dan keterampilan di bidang kehumasan dan teknologi informasi.

f). Idealnya Humas/Badan Infokom menjadi pusat data dan informasi pemerintah daerah yang mudah diakses oleh siapapun dalam semangat globalisasi. (Pemkab Ende misalnya sudah memiliki website sendiri, tetapi mohon maaf data dan informasinya cukup lama baru diperbarui). Menjadi pusat data menuntut adanya sarana dan prasarana kerja yang memadai. Menurut pandangan kami, jaringan internet mutlak ada di ruang kerja Humas/Badan Infokom. **


Sumber: Materi ini saya sampaikan dalam forum Bimbingan Teknis Penyuluhan Hukum Tahun 2006 yang  diselenggarakan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM NTT di Hotel Charvita Kupang, hari Rabu tanggal 15 November 2006. Saya diundang sebagai pembicara dalam kapasitas sebagai Pemimpin Redaksi SKH Pos Kupang.

Hanya Bermodal Semangat

Damyan Godho
Oleh Damyan Godho

PADA
tanggal 1 Desember 2007 usia Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang genap 15 tahun. Pada momen penting ini, saya bersama seluruh karyawan patut memadahkan syukur kepada Tuhan dan terima kasih kepada para pembaca. Berkat campur tangan Tuhan dan dukungan para pembaca, surat kabar ini bisa tumbuh dan bertahan mencapai tahapan dan kondisi seperti saat ini.

Ketika merencanakan penerbitan Harian Pos Kupang 15 tahun lalu, kami tidak punya apa-apa.  Modal dan kemampuan manajerial untuk mengurusi surat kabar kami tidak punya.  Yang kami punya cuma semangat dan sedikit pengalaman. Kami menyadari bekerja dengan peralatan yang tidak memadai.

Meskipun sudah mengalami banyak kemajuan, harapan yang kami bentangkan dalam visi dan misi ketika mendirikan surat kabar ini sampai saat ini belum terwujud. Visi dan misi Pos Kupang terkait erat dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yaitu terciptanya masyarakat NTT yang memiliki budaya baca dan akses terhadap informasi.

Semua kita tahu berapa persen warga atau kepala keluarga (KK) di NTT yang suka membaca. Rasanya belum sampai 5 persen. Sebagai orang yang percaya bahwa membaca itu penting, saya harus katakan bahwa upaya mencerdaskan bangsa itu masih sangat jauh dari harapan.

Kendati demikian, kami harus menggelutinya. Kami  harus menghadapi perjuangan yang sangat berat, sebab mau tidak mau usaha ini bersentuhan  dengan bisnis. Kalau masyarakat tidak bisa atau tidak mau membeli koran, bagaimana usaha ini bisa hidup dan berkembang? Perjuangan itulah yang kami rasakan selama ini.

Pos Kupang didirikan oleh tiga orang, yaitu Valens Goa Doy,  Rudolf Nggai, dan saya sendiri. Valens Doy menangani bagian redaksi, Rudolf Nggai menangani percetakan. Sedangkan saya  mengurusi hal-hal di luar yang diurus kedua orang ini.

Inisiatif mendirikan Harian Pos Kupang bermula pada tanggal 12 April 1992. Pada waktu itu saya sebagai wartawan Kompas di NTT bertemu Harmoko di Bajawa, Kabupaten Ngada. Harmoko datang dalam kapasitas sebagai Ketua Umum DPP Golkar dan Menteri Penerangan RI. Bersama dengan Ansel da Lopez (wartawan Kompas) dan disaksikan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Departemen Penerangan (Deppen) NTT, Sinuraya, Harmoko menantang saya untuk mendirikan koran di NTT. Dia berjanji memberikan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).

Sebagai Menpen, Harmoko ingin paling kurang di setiap ibu kota propinsi ada koran harian. Waktu itu hanya ada Surat Kabar Mingguan (SKM) Dian yang terbit di Ende. Saya sendiri pun pernah mendirikan Mingguan Kupang Pos pada tahun 1977, tapi mingguan ini tidak bertahan lama karena keterbatasan dana dan lemahnya manajemen.

Ketika mendapat tantangan Harmoko itu, saya langsung menyatakan siap mendirikan koran harian. Saya menghubungi Valens Goa Doy (Direktur Kelompok Persda-KKG), yang sudah merintis pendirian enam koran daerah di bawah Kelompok Kompas Gramedia (KKG/Persda) dari Sabang sampai Merauke. Dia turut mendirikan Harian Serambi Indonesia di Banda Aceh, Harian Sriwijaya Post di Palembang, Harian Bernas di Yogyakarta, Harian Surya di Surabaya, Tifa Irian di Jaya Pura, dan Post Maluku di Ambon.
Valens sebagai orang NTT memang sudah lama merindukan agar di NTT ada koran harian. Begitu saya kontak, dia spontan datang, mengurus segala  persiapan untuk mendirikan koran ini. Karena itulah saya tidak habis-habisnya berterima kasih kepada Valens (almarhum), karena tanpa dia tidak mungkin Pos Kupang ada.

Pada saat dia tiba di Kupang, kami langsung memulai proses pengurusan SIUPP. Waktu itu lebih dari 10 persyaratan administratif harus kami penuhi untuk penerbitan SIUPP.  Kami bertiga (Valens, Rudolf dan saya) juga menghadap notaris untuk mengurus pendirian PT yang sampai saat ini disebut PT Timor Media Grafika.

Pada tanggal 12 Juli 1992, kami mengajukan permohonan SIUPP kepada Direktorat Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (PPG), Departemen Penerangan RI. Saya sendiri yang mengurusnya di Jakarta.

Sebagai orang Kompas, saya mendapat izin dari Pemimpin Umum Kompas, Jacob Oetama untuk mendirikan koran di daerah ini dengan status tetap sebagai wartawan Kompas.  Ketika saya bertemu Pak Jacob Oetama pada bulan Juli 1992, beliau mengatakan, "Bung, coba-cobalah!" Artinya, mudah-mudahan jalan. Padahal saya berharap Kupang mendapat perhatian seperti koran-koran daerah lainnya yang didirikan Kompas waktu itu. Tapi saya bisa memahami kebijakan ini karena dari sudut bisnis NTT belum menguntungkan.

Karena berbagai kesibukan Harmoko, SIUPP No: 282/SK/Menpen/SIUPP/A.6/1992 tanggal 6 Oktober 1992  itu baru kami terima  pada tanggal 12 Oktober 1992. Saya dan Valens yang menerima SIUPP itu. Begitu mendapatkan SIUPP, Wens John Rumung langsung melamar dari Jakarta untuk menjadi wartawan Pos Kupang.

Bantuan GMIT

Namun, mendapatkan SIUPP tidak otomatis semuanya langsung bisa dimulai. Kami masih harus merekrut wartawan. Pius Rengka ketika itu sebagai dosen Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang yang juga aktif sebagai koresponden SKM Dian, mulai bergabung dengan kami. Dialah yang menangani perekrutan wartawan dan tenaga-tenaga lainnya. Untuk mendapatkan tenaga-tenaga itu, kami mengumumkan melalui radio dan pasang iklan di koran terbitan Surabaya. Alhasil, sebanyak 300-an orang mengajukan lamaran.

Pada tanggal 1 November 1992, kami mulai mengadakan pelatihan wartawan selama dua minggu. Pelatihan dimulai dari jam 08.00 pagi sampai jam 12.00 malam, melelahkan. Valens Goa Doy bertindak sebagai instruktur tunggal. Hasil dari pelatihan itu, beberapa orang masih bertahan di Pos Kupang sampai saat ini, seperti Dion DB Putra, Beni Dasman, Paul Burin, Ferry Jahang dan Mariana Dohu. Itu juga makanya sejumlah wartawan di sini merasa begitu dekat dan menyebut Valens guru.

Untuk perekrutan, kami juga meminta bantuan Sinode GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor). Kami bertemu dengan Pdt. Dr. A A. Yewangoe sebagai Rektor Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang untuk membantu rekrut tenaga. Sinode menanggapinya dengan mengirim enam sarjana lulusan Fakultas Theologia UKAW, di antaranya Eben Nuban Timo, Esther Gah, Yulius O Lopo  dan Mesakh Dethan. Mereka juga mengikuti pelatihan wartawan angkatan pertama.

Kami juga merekrut loper. Tapi karena mereka menganggap menjual koran sebagai pekerjaan hina, mereka menjual dengan menyembunyikan koran dalam kantong plastik. Mereka malu-malu. Padahal pada tahun 1966-1967, saya menjadi loper Harian Kompas di Kupang. Waktu itu saya sedang menjadi anggota DPRD GR Propinsi NTT. Sehabis sidang DPRD, saya langsung pergi ke Kantor Pos untuk mengambil koran lalu menjualnya. Karena itu bisa dimengerti kalau sampai sekarang orang-orang Kupang masih mengenal saya sebagai loper Kompas.

Setelah melalui tiga kali menerbitkan nomor percobaan, pada tanggal 1 Desember 1992 Pos Kupang secara resmi terbit enam hari seminggu dengan 12 halaman. Bentuknya tabloid berukuran 41 X 30 cm, disesuaikan dengan kemampuan mesin cetak milik Rudolf Nggai. Motonya, Suara Nusa Tenggara Timur.

Pada waktu kami mempersiapkan percetakan, kami diberi tempat oleh Rudolf Nggai di bangunan reyot berdinding bebak, yang sebenarnya warung. Di bangunan tersebut tidak ada WC. Kami hanya diperlengkapi dengan empat unit komputer tua yang tiada hari tanpa ngadat (hang).

Saya harus mengambil komputer, meja dan rak di rumah saya, dibawa  ke kantor. Wartawan harus bekerja antre dengan dukungan perangkat kerja telex Antara dan jaringan koran daerah KKG (Persda). Meski demikian, di tempat itu jugalah kami dikunjungi Harmoko pada tahun 1993.

Begitu mulai terbit, kami langsung menghadapi masalah baru yang sifatnya sangat politis. Kehadiran Pos Kupang tidak begitu saja diterima. Muncul banyak sinisme yang menganggap penerbitan Pos Kupang sebagai pekerjaan orang gila. Gila karena kami tidak punya apa-apa, tetapi berani menerbitkan koran apalagi mengklaim sebagai Suara Nusa Tenggara Timur.

Masalah lainnya berkaitan dengan figur Valens dan saya yang memang pernah berkecimpung di partai politik. Muncul banyak kecurigaan bahwa Pos Kupang terbit untuk memenuhi kepentingan politik kami berdua. Apalagi Pos Kupang hadir menjelang suksesi gubernur NTT waktu itu. Tantangan itu kami hadapi dan menganggapnya sebagai hal wajar.

Tantangan yang lebih serius justru datang dari dalam diri Pos Kupang sendiri. Sarana kerja yang serba terbatas. Bagaimana membuat masyarakat NTT menjadikan koran sebagai salah satu dari sepuluh kebutuhan pokoknya; suatu upaya yang tidak gampang berhadapan dengan kebiasaan orang NTT yang kurang gemar membaca. Bahkan sampai dengan usia 15 tahun ini, masalah yang tidak pernah terselesaikan dalam perusahaan ini adalah masalah etos kerja, disiplin yang memprihatinkan, sikap mapan, puas dengan apa yang ada, lemahnya spirit dari setiap karyawan untuk membangun cakrawala baru.

Sebagai pendiri dan sebagai pemimpin umum, kadang-kadang saya sedih menyaksikan sejumlah orang yang tidak mau berubah. Mereka tidak sadar bahwa menghadapi perubahan di luar yang begitu cepat dan tak terduga membutuhkan kesadaran dari setiap karyawan di dalam perusahaan ini.

Harus disadari bahwa posisi Pos Kupang saat ini tidak lagi seperti ketika dia pertama kali hadir pada tahun 1992. Kalau pada tahun 1992, Pos Kupang satu-satunya koran harian di daerah ini, maka ketika memasuki era reformasi posisi itu langsung berubah. Pos Kupang hanya salah satu di antara sekian banyak media baru yang bermunculan.

Kehadiran media-media ini juga sebenarnya terinspirasi oleh kehadiran Pos Kupang. Sejak tahun 1992, Pos Kupang menjadi semacam persemaian wartawan dan pekerja-pekerja media di Indonesia. Tercatat sebanyak 198 orang pernah bekerja di Pos Kupang, 98 orang di antaranya wartawan, sekarang bekerja di mana-mana di seluruh Indonesia. Bahkan ada yang menjadi pemimpin media baru, baik di NTT maupun di Jakarta. Ada  yang menjadi politisi (anggota DPRD, wakil bupati) dan aktivis LSM. Ada juga yang bekerja sebagai PNS. Akan tetapi, semua itu belum membuat Pos Kupang cukup bangga karena visi Pos Kupang adalah membentuk masyarakat NTT yang gemar membaca.

Mengembangkan Pos Kupang pada tahun-tahun awal tidak gampang. Selain berhadapan dengan kurangnya minat baca di semua lapisan masyarakat NTT dan daya beli yang rendah, kondisi wilayah NTT yang berpulau-pulau sungguh menjadi masalah yang sangat berat. Yang jelas usaha surat kabar juga bisnis. Dia harus dikembangkan secara bisnis. Tetapi kenyataan yang kami hadapi bahwa kami tidak punya pasar. Kami juga tidak meminta bantuan pemerintah daerah (Pemda). Pasar itu kami kembangkan sendiri. Jadi bisa dibayangkan betapa beratnya mengembangkan usaha koran di NTT.

Untuk mendistribusi koran ke daerah-daerah  (Flores, Sumba dan Alor), kami menggunakan jasa pesawat terbang setiap hari. Itu pun kami tetap menghadapi kendala. Selain sering tidak terangkut, koran yang kami distribusi hanya bisa menjangkau ibukota-ibukota kabupaten.

Kami juga sempat mendistribusikan Pos Kupang ke Bali, Jawa Timur dan Jakarta. Untuk mendukung pemberitaan kami juga menugaskan wartawan ke daerah-daerah tersebut. Tapi kemudian terasa bahwa upaya ini tidak efisien. Karena itu, kami hanya berkonsentrasi pada pengembangan di wilayah NTT.

Oplah kami awalnya mencapai 3.000-an. Kondisi itu bertahan sampai tahun 1995; suatu tingkat oplah yang tidak memungkinkan untuk keberlangsungan suatu usaha penerbitan pers. Jangankan bisa maju, bertahan pun tidak. Pendapatan kami semata-mata dari hasil penjualan koran. Iklan waktu itu sama sekali belum ada. Iklan kami baru mulai tumbuh pada saat kami memuat iklan dari Toko Tiflos. Namun tetap saja sampai saat ini penghasilan kami dari iklan belum ideal sebagai salah satu sumber penghasilan di perusahaan penerbitan pers. Penghasilan kami masih didominasi oleh penjualan koran; suatu usaha koran yang sebenarnya tidak sehat.

"Sonde usah pakai iklan ju, orang tahu," begitu jawaban para pengelola toko di Kupang ketika petugas iklan Pos Kupang menawarkan jasa pemasangan iklan kepada mereka.

Dalam tiga tahun pertama Pos Kupang jatuh bangun. Tak satu pun bank yang percaya pada Pos Kupang ketika mengajukan permohonan kredit karena usaha ini dianggap tidak memiliki prospek masa depan.

Kami benar-benar mengalami krisis pertama pada tahun 1994. Kami tidak punya apa-apa lagi karena manajemen yang kurang baik. Kami mencatat piutang yang tidak tertagih sebanyak Rp 1,7 miliar. Kami menurunkan orang-orang untuk melakukan penagihan, tapi mereka tidak menemukan orang-orangnya.

Meski begitu, Pos Kupang tetap bertahan. Karena kehabisan kertas koran, kami mulai mencetak koran pakai kertas warna-warni yang kami beli di toko-toko di Kupang. Penampilan ini malah menimbulkan kesan pada pembaca seolah-olah Pos Kupang sudah sangat berkembang.

Dalam keadaan bisa bertahan itu, Kelompok Kompas Gramedia (KKG) melakukan survei dan melihat pertumbuhan, prospek dan daya tahan kami. Maka pada April 1995 saya langsung menawarkan merger dengan KKG. Tawaran itu ternyata diterima. Merger dengan KKG dilakukan pada tanggal 30 Juli 1994 dengan akta notaris No. 158, dan direalisasikan mulai tanggal 9 Maret 1995. Merger dilakukan karena Rudolf Nggai menyatakan ingin berkonsentrasi pada bisnis utamanya. Karena itu, kami terpaksa bubar. Tinggal saya dan Valens Goa Doy.

Pada saat Rudolf Nggai mundur, kami langsung mengalami krisis cash flow. Saat itu tingkat pendapatan karyawan sangat menyedihkan. Ya, antara Rp 60 ribu sampai Rp 100 ribu perorang per bulan ditambah uang makan. Hal yang membanggakan saya adalah pada saat krisis itu sebagian wartawan angkatan pertama rela gaji mereka dipotong 50 persen asalkan Pos Kupang tetap terbit.

Dalam beberapa bulan pun proses merger selesai. Kami keluar dari tempat lama yang disediakan Rudolf di Jl. Soeharto No.53 pada tanggal 1 Maret 1995, bertepatan dengan liburan lebaran. Kami pindah ke Jl Kenari No. 1 Naikoten 1 Kupang, kantor yang kami tempati sampai saat ini.

Kantor yang sekarang ini awalnya rumah toko milik Suwarno Suyanto. Ketika kami masih bingung mencari tempat, dia menawarkannya dengan biaya kontrak Rp 10 juta per tahun untuk jangka waktu lima tahun. Selanjutnya, KKG membeli bangunan dua lantai dan tanah ini dengan harga Rp 500 juta. Ini yang saya sebut penyelenggaraan Tuhan.

Pada waktu merger, kami hanya memiliki satu mesin cetak tua dengan fasilitas kredit bank karena sudah dinilai memiliki prospek. Kredit ini pun diperoleh atas dukungan Gubernur Herman Musakabe yang bertindak sebagai Ketua Pengawas Bank NTT waktu itu. Dengan uang kredit itu, kami membeli mesin cetak dan sarana kerja lainnya. Pinjaman itu kami lunaskan dalam tiga tahun kemudian.

Pada tahun 1996, kami mulai mendapat bantuan tenaga dari KKG/Persda), yaitu Marcel Weter Gobang, Januari 1996, diikuti Hyeronimus Modo, mulai 1 Februari 1996. Sebelumnya kami juga mendapat tenaga percetakan Setya MR.

Untuk efisiensi waktu itu, kami mendapat inspirasi untuk coba mengembangkan Sistem Cetak Jarak Jauh (SJJ) di Ende mulai 25 Maret 1998, bekerja sama dengan Percetakan Arnoldus Ende. Hal ini tidak terencanakan, tetapi menjadi blessing indisguise (berkat terselubung) karena beberapa bulan kemudian Indonesia dilanda krisis moneter. Distribusi koran kami ke daerah-daerah tertolong oleh cetak jarak jauh ini.

Cetak jarak jauh yang kami kembangkan itu ternyata menjadi satu-satunya yang dikembangkan koran daerah ketika itu, sehingga pada suatu hari saya ditelepon oleh Dirjen PPG Deppen, menanyakan teknologi cetak jarak jauh itu. Pada waktu itu Deppen sedang membahas peraturan cetak jarak jauh.

Kemudian KKG juga ingin agar Pos Kupang mengubah format dan memperbaiki mutu percetakan. Maka kami mendapat bantuan mesin cetak web pada tahun 1999. Gedung baru untuk mesin cetak web ini diresmikan pada Februari 2000. Akibatnya kami melakukan percetakan dalam dua versi. Di Ende Pos Kupang tetap dicetak dalam ukuran tabloid, sedangkan di Kupang dalam ukuran broadsheet.

Selanjutnya pada tahun 2000 kami pun mendapat bantuan satu unit mesin web dari KKG untuk Flores. Maka cetak jarak jauh kami pindahkan dari Ende ke Maumere menggunakan mesin web ini. Sejak itu ukuran koran Pos Kupang di Flores sama dengan di Kupang yaitu broadsheet. Bedanya, di Flores tetap dicetak hitam putih, sedangkan di Kupang dicetak warna untuk halaman-halaman luar.

Dengan cetak jarak jauh di Flores, kelihatan ada prospek di Flores. Maka mulai 1 November 2004, kami juga merintis cetak jarak jauh di Ruteng sampai sekarang. Kami juga bermimpi untuk membangun cetak jarak jauh di Sumba. Mudah-mudahan mimpi itu bisa terealisasi pada waktu mendatang. Apa yang kami lakukan ini intinya untuk mengatasi kesulitan distribusi.

Selain cetak jarak jauh, sejak tahun 1997 kami juga sudah memiliki website. Sejak itulah berita-berita Pos Kupang bisa diakses di seluruh dunia. Website ini mengambil bagian dalam website Harian Kompas. Di balik upaya ini kami ingin agar Pos Kupang menyebar luas.

Sampai dengan usia 15 tahun ini, Pos Kupang tidak pernah lepas dari masalah, bahkan akan terus menghadapi masalah. Selain masalah distribusi, sebagai media cetak Pos Kupang menghadapi revolusi teknologi multi-media yang sedang menyerbu dunia saat ini. Kendati demikian, sebagai pemimpin di sini saya tidak cemas. Saya yakin media cetak tidak akan pernah tergusur karena multi-media pun dimulai dengan membaca.

Yang menjadi persoalan bagi kami adalah pengembangan diri orang-orang yang mengelola Pos Kupang. Ada yang menulis berita belum benar, bahasa yang jelek dan logika yang tidak jalan. Yang terakhir inilah sebenarnya yang mengancam kami. Karena itu, kami merasa perlu setiap orang dalam perusahaan ini mengoreksi diri. Setiap karyawan harus peka terhadap perubahan yang serba cepat saat ini.

Sayangnya, ada di antara kami yang belum sadar akan hal ini. Saya tidak membutuhkan semuanya. Cukup 50 persen saja dari karyawan memiliki visi maju, maka kami berani mengatakan bahwa kami tidak takut perubahan. Kami sudah banyak melakukan perubahan selama ini. Tapi kalau ada yang tidak mau berubah, dia akan mati (If you don't change, you die!).

Saat ini pun hadir begitu banyak media di NTT, selain Pos Kupang. Terhadap kehadiran media-media ini, Pos Kupang patut berbangga karena Pos Kupang ikut  mendidik jurnalis dan pekerja-pekerja pers yang bisa merintis media baru.

Dalam posisi sebagai salah insan pers di NTT, saya bangga dengan kehadiran media-media ini. Kita sama sekali tidak alergi terhadap kehadiran mereka. Kehadiran mereka justru memperkuat Pos Kupang dalam mencapai visi dan misinya membangun budaya baca di NTT. Kehadiran media-media ini membantu kami untuk saling mengoreksi.

Kami senantiasa sadar bahwa mati hidupnya usaha ini sangat tergantung pada masyarakat pembaca. Kami tidak mungkin hidup tanpa pembaca, baik dengan membeli dan memasang iklan Pos Kupang maupun melalui kritik dan sarannya untuk kemajuan Pos Kupang. Kami yakin dengan demikian Pos Kupang masih bisa merayakan ulang tahunnya pada waktu-waktu mendatang. Dirgahayu Pos Kupang. Ad multos annos.*

Sumber: Buku 15 Tahun Pos Kupang, Suara Nusa Tenggara Timur (editor Dion DB Putra, Tony Kleden, Maria Matildis Banda)

Biodata
 
DAMYAN Godho lahir di Boawae-Flores, 25 Maret 1945. Menyelesaikan SR Boawae (1957), SMP Kota Goa Boawae (1960) dan SGA Ndao-Ende (1963). Pernah kuliah di IKIP Malang Cabang Kupang, Fakultas Hukum Berdikari (cikal bakal Fakultas Hukum Undana), tapi drop out.
 

Ayah empat anak ini sarat pengalaman. Dia pernah menjadi Guru SD Frateran Kupang (1963), karyawan Perusahaan Daerah Perdagangan NTT (1966), loper koran (1967-1968), kontraktor bangunan (1969),  pedagang ternak kecil-kecilan (awal 1970-an), wartawan Harian Kompas (1975), Pemimpin Redaksi Mingguan Kupang Post (1977) dan akhirnya mendirikan SKH Pos Kupang sekaligus menjadi Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi (1992). Setelah merger dengan KKG, menjadi Direktur PT Timor Media Grafika (1995-sekarang).  Motto: Percaya diri, peduli sesama dan jujur.
 

Damyan Godho juga matang di bidang organisasi. Dia menjadi anggota dan pengurus PMKRI Cabang Kupang (1963-1965), Ketua KAMI Konsulat NTT (1967),  Anggota Panitia Persiapan pembentukan Kabupaten Nagekeo (1967),  aktif di Partai Katolik (1967) lalu menjadi pengurus Komisariat Daerah NTT (1969). Dalam usia sangat muda ia  menjadi anggota DPR GR NTT (1967-1971), aktif di Partai Demokrasi Indonesia (1973) dan menjadi salah satu Wakil Ketua DPD PDI NTT (1976-1982). Ketua Cabang PWI NTT (1997-2008).

Kirim Duka Lewat Sungai

Oleh Dion DB Putra

BEGITULAH Julianus Akoit memilih judul pertama untuk laporannya tentang sejumput soal di perbatasan  Indonesia-Timor Leste. Laporan Julianus Akoit dipublikasikan secara serial  oleh Harian Pos Kupang tanggal 14-16 Februari 2008. Saya mengutip kembali beberapa bagian di bawah ini.

Nyonya Maria Cun Romea (50) mengacungkan jari tangannya lalu berdiri. Sejenak ia menarik napas dalam dalam. Matanya berkaca kaca, menahan isak tangis. Suaranya terbata bata dan terdengar parau.

"Kalo on bin le susar, ela le'uf, het tamat fin, ka tem teu batas sonu, hit paok ninik nok hit loet pilu taba batas noel," ujarnya.

Artinya kurang lebih seperti ini: Kalau ada keluarga yang meninggal dunia, kami tidak bisa menyeberang ke desa sebelah untuk menyampaikan ucapan turut berduka cita. Kami hanya datang di batas tepi sungai lalu mengirim nyala lilin, air mata dan uang duka cita lewat air yang mengalir di sungai.

Sejenak perempuan paruh baya asal Sakato, Oekusi itu mengedarkan pandangannya berkeliling. Semua yang hadir hanya tertunduk diam. Tidak ada yang bersuara. Semua membisu.

Lalu ia melanjutkan, "Hit toet neu hit palenat nua sin, nan sa moe kit on ia?" ujarnya dalam nada tanya.

Artinya kira kira demikian: Coba kita tanya kepada dua pemerintah (maksudnya Indonesia dan Timor Leste, Red), kenapa kita diperlakukan seperti ini? (Pos Kupang, 14 Februari 2008, halaman 1)

Siapa yang hari ini sanggup memberi jawaban kepada Maria Cun Romea? Apakah Pemerintah  Republik Indonesia (RI) melalui Pemerintah Propinsi NTT, Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Belu, Pemerintaha Distrik Oekusi atau siapa?

Curahan hati Maria Cun Romea sekadar menegaskan soal besar di depan mata bahwa kehidupan masyarakat di perbatasan kedua negara masih menyisakan banyak perkara, pekerjaan rumah dan kemungkinan banyak jatuh korban baru kalau  para pemangku kepentingan di Propinsi NTT  cuma berpangku tangan.

Sebagaimana dilaporkan Pos Kupang, menjelang akhir 2007 Fundacao Fatu Sinai Oe Cusse, sebuah LSM dari Distrik Oekusi, Timor Leste, dibantu Lembaga Advokasi Anti Kekerasan Masyarakat Sipil (Lakmas) NTT, menggelar dialog yang melibatkan 600-an warga 24 desa di 10 titik sepanjang garis perbatasan RI   Timor Leste.

Isu yang dibahas dalam dialog yaitu masalah pemberlakuan Pas Lintas Batas (PLB), pasar tapal batas dan pembentukan lembaga adat bersama. Akhir Januari 2008, Direktur Departemen Bilateral Kementerian Luar Negeri Timor Leste, Marcos da Costa, memberi sinyal PLB segera diberlakukan Juli 2008. Tapi harapan itu sirna ketika Presiden Timor Leste, Ramos Horta, terluka parah ditembak gerombolan tentara pemberontak yang dipimpin Mayor Alfredo Reinado, Senin 11 Februari 2008. Konflik berdarah ini berdampak pada kelanjutan realisasi hasil dialog itu.

Pemberlakuan PLB yang disetujui pemerintah kedua negara melalui pendandatangan nota kesepahaman (MoU) tanggal 11 Desember 2003 -- agaknya sulit direalisaskan bulan Juli mendatang. Maka jika terjadi lagi peristiwa duka di tapal batas, keluarga kembali hanya memandang dari kejauhan. Mengirim air mata duka lewat sungai. Ini tragedi. Timor yang satu utuh -- terbelah atas nama panji negara berbeda. Indonesia-Timor Leste.


Api dalam sekam


Terkatung-katungnya pemberlakuan PLB merupakan salah satu sumber keresahan masyarakat di perbatasan. Tali persaudaraan, hubungan kekerabatan mereka seolah "dikekang" oleh ketentuan pemerintah dua negara, RI   Timor Leste.

Misalnya, untuk mengunjungi saudara laki lakinya yang tinggal di Desa Sakato (Okusi - Timor Leste) karena menikah dengan gadis di sana, seorang warga Wini (TTU-Indonesia) harus ke Atambua, Kabupaten Belu untuk mengurus paspor dan visa, baru bisa menyeberang ke desa sebelah.

Padahal jarak rumahnya dengan rumah saudara laki lakinya itu cuma 150 meter. Jika nekat menyeberang diam diam, sangat mungkin ditangkap tentara yang menjaga perbatasan. Kalau ditangkap, urusannya bisa panjang dan berliku. Kita sudah biasa mendengar warta penangkapan. Bahkan kejadian yang lebih miris hingga jatuh korban jiwa.

Pas Lintas Batas (PLB) merupakan terobosan yang sangat baik dan telah dipraktekkan di beberapa negara. Usul yang muncul adalah  PLB RI-Timor Leste itu diurus masing masing kepala desa di tapal batas. Jika ada warga yang mau menghadiri acara kedukaan, pesta adat, pesta nikah, pesta Natal dan Paskah, bisa pakai PLB. Boleh ada uang administrasi yang dipungut kepala desa. Tapi pungutan itu tidak membebani penduduk setempat. Jika PLB diberlakukan, akan sangat membantu penduduk di perbatasan. Mereka dapat bepergian tanpa dihantui perasaan takut melanggar batas negara dan dihukum.

Saya kembali mengutip kata-kata Direktur Lembaga Advokasi Anti Kekerasan Masyarakat Sipil (Lakmas) NTT, Victor Manbait, S.H, yang memprakarsai dialog warga di tapal batas akhir tahu 2007 lalu. Ia menjelaskan tanda khusus PLB harus disepakati bersama dua negara.

"Soal pemberlakuan PLB, mesti ada kesepakatan teknis pelaksanaannya oleh Timor Leste dan RI. Sambil menunggu kebijakan pemberlakuan PLB, saya kira pemerintah desa di dua negara yang ada di tapal batas bisa memberlakukan surat jalan dengan diketahui oleh aparat keamanan yang bertugas di tapal batas," demikian Manbait (Pos Kupang, 14 Februari 2008).

Terkatung-katungnya regulasi yang memudahkan bagi penduduk di kawasan perbatasan RI-RDTL hanyalah salah satu masalah dari litani persoalan di sana.  Kecuali karena masalah politik dalam negeri Timor Leste yang belum stabil, pemerintah Indonesia tidak cukup dengan menyalahkan atau menuding. Toh sekecil apapun kejadian di tapal batas, masyarakat dan pemerintah kedua negara sama-sama merasakan dampaknya.

Masih banyak perkara lain yang urgen. Beberapa bisa disebut, misalnya kepastian titik batas antara Indonesia-Timor Leste. Sampai saat ini pemerintah kedua negara masih memegang peta wilayah  berbeda. Persoalan ini ibarat api dalam sekam. Sesewaktu akan menyala dan meledak. Tidak sekadar terpaut motif politik, tetapi juga ekonomi, sosial dan budaya.

Di bidang ekonomi, pemerintah RI sudah melakukan sejumlah langkah guna menghidupkan aktivitas di tapal batas. Pemerintah membangun pasar tradisional di sejumlah titik di kawasan tapal batas Kabupaten Belu seperti di Motaain, Turiskain dan Motamasin. Selain di Belu, pemerintah Indonesia juga membangun tiga unit tradisional di wilayah Kabupaten TTU yang berbatasan langsung dengan wilayah kantung (enclave) Timor Leste, Oekusi.

Ketiga pasar tradisional itu berlokasi di Napan (Kecamatan Miomafo Barat), Wini (Kecamatan Insana Utara), Haumeniana (Kecamatan Miomafo Timur) dan sebuah pasar di Nekliu, Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Kupang. Tetapi sudah berulang dilaporkan media massa, pasar-pasar itu tidak berfungsi. Tidak ada aktivitas perdagangan di sana. Akar soalnya kembali ke titik semula, PLB. Usia MoU PLB hampir lima tahun. Namun, realisasinya masih sebuah tanda tanya.

Pers berbuat apa?

Catatan di atas sekadar ilustrasi kecil tentang masalah yang dihadapi masyarakat di perbatasan RI-Timor Leste. Pertanyaan penting sesuai tema diskusi kita hari ini adalah: Insan pers di Nusa Tenggara Timur (NTT)  berbuat apa? Apa yang telah dan akan mereka kerjakan untuk mendorong masyarakat perbatasan RI-Timor Leste dapat hidup berdampingan secara damai?

Mengingat saratnya bibit dan potensi  konflik di perbatasan RI-Timor Leste, maka pendekatan jurnalisme yang perlu dikembangkan terus-menerus oleh insan pers Indonesia (NTT) adalah jurnalisme damai. Tidak bisa lain!

Pengamatan sambil lalu yang saya lakukan menunjuk pada kenyataan berikut ini. Insan pers di NTT belum memainkan peran yang dibutuhkan untuk mendorong terciptanya masyarakat di perbatasan untuk hidup berdampingan secara damai. Arus utama jurnalisme yang berkembang di daerah ini masih memperlihatkan peran jurnalis sebagai anjing penjaga (watch dog).

Di tingkat praksis, wartawan cenderung menunggu terjadinya kekerasan atau konflik di tapal batas baru meliput fakta dan data dengan menganut prinsip cover both side. Pilihan ini tidak salah. Tetapi peran wartawan sekadar melaporkan peristiwa atau kejadian.

Menurut saya, peran semacam itu tidak cukup. Wartawan NTT hendaknya menyadari bahwa mereka berkarya di daerah dengan potensi konflik yang tinggi. Maka arus utama yang dikembangkan adalah jurnalisme alternatif.Pilihannya jatuh pada jurnalisme damai, bukan jurnalisme perang.

Jurnalis tidak berperan sebagai anjing penjaga semata. Tidak menunggu datangnya peristiwa atau konflik. Sebaliknya mereka proaktif untuk mencegah terjadinya kekerasan atau konflik dan meliput peristiwa secara berimbang dari segala sisi secara kualitatif (cover multisides). Aliran ini berpandangan mengakomodir kedua pihak yang berkonflik saja tidak cukup, tapi harus melibatkan semua pihak terkait.

Jurnalisme damai dikembangkan oleh Johan Galtung, seorang profesor perdamaian asal Norwegia. Galtung mempopulerkan istilah jurnalisme damai tahun 1970 an. Ketika itu dia mencermati banyaknya jurnalis yang menerapkan prinsip jurnalisme perang.

Diasumsikan, jurnalisme perang sama halnya dengan jurnalis yang meliput pertandingan olahraga. Yang ada hanyalah fokus pada kemenangan pihak yang bertanding. Jurnalisme damai diasumsikan sebagai orang yang meliput kesehatan. Jurnalis kesehatan akan menjelaskan perjuangan seorang penderita kanker melawan sel sel kanker yang menggoroti tubuh penderita.

Sang jurnalis tentu akan menceritakan penyebab terjadinya kanker dan memberikan gambaran tentang upaya penyembuhannya serta pencegahan yang bisa dilakukan. Sekarang setiap wartawan NTT (Indonesia) dapat bertanya kepada dirinya sendiri, di manakah dia berada ketika melaporkan masalah yang melanda masyarakat di perbatasan RI-Timor Leste? Pewarta damai atau menebarkan perang?


Bagian dari solusi

Sering diingatkan bahwa media massa bukan hanya menyuguhkan fakta dan realita, tapi perlu menjadi bagian dari solusi. Jurnalisme damai adalah praktek jurnalistik yang bersandar pada pertanyaan pertanyaan kritis tentang manfaat aksi kekerasan dalam sebuah konflik dan tentang hikmah konflik itu sendiri. Jurnalisme damai mengembangkan liputan yang berkiblat kepada masyarakat (people oriented).

Berbeda dengan jurnalisme perang yang lebih tertarik pada konflik, kekerasan, korban yang tewas dan kerusakan material. Pola seperti ini banyak dianut infotaiment di Indonesia yang lebih suka melaporkan konflik rumah tangga selebritis.

Penganut jurnalisme perang enggan menggali asal usul konflik, mencari alternatif penyelesaian dan berempati pada dampak kemanusiaan yang ditimbulkannya. Jurnalisme perang lebih suka memperjauh jarak pihak berkonflik dalam kerangka kalah menang, bukan mendekatkan keduanya untuk berdamai.

Galtung  mendorong pers mengubah teori klasik jurnalisme perang menjadi jurnalisme damai (peace journalism). Pers harus mengambil peran memprovokasi pihak yang bertikai menemukan jalan keluar. Pers melakukan pendekatan menang menang dan memperbanyak alternatif solusi konflik.

Jurnalisme damai melihat perang atau pertikaian bersenjata sebagai sebuah masalah, sebagai ironi kemanusiaan yang tidak seharusnya terjadi. Dalam konteks ini, jurnalisme damai pada dasarnya adalah seruan kepada semua semua pihak memikirkan hikmah konflik. Yaitu dengan senantiasa menggarisbawahi kerusakan dan kerugian psikologis, budaya dan struktur dari kelompok masyarakat yang menjadi korban konflik. Jurnalisme damai lebih mementingkan empati kepada korban konflik daripada liputan kontinyu tentang jalannya konflik.

Jurnalisme damai memberi porsi sama kepada semua versi yang muncul dalam wacana konflik. Jurnalisme damai juga berusaha mengungkapkan ketidakbenaran di kedua belah pihak, bahkan menyebutkan nama pelaku kejahatan  di kedua belah pihak.

Bagi penggagas junalisme damai itu, pers bukanlah sekadar penyampai informasi apa adanya soal darah dan kemarahan, melainkan harus kreatif membangun debat publik yang sehat bagi kepentingan umum yang luas: memberikan empati pada anak anak yang telantar, penderitaan rakyat tak berdosa akibat konflik. Wartawan perlu menyadari bahwa masyarakat tidak suka dengan pemberitaan konflik, kekerasan dan kurang manusiawi. Masyarakat membutuhkan laporan dengan bingkai (frame) lebih luas, lebih berimbang dan  akurat.


Tidak lagi menunggu

Jurnalisme damai diharapkan menjadi referensi bagi wartawan di NTT dalam mengemas laporan tentang kehidupan masyarakat di perbatasan RI-Timor Leste. Sudah saatnya kita mengembangkan jurnalisme alternatif ini. Kita tidak cukup lagi hanya menunggu peristiwa bernilai berita tinggi di perbatasan baru bergegas meliput. Hari ini pun kita bisa ke sana untuk menggali dan menemukan persoalan yang dihadapi saudara-saudari kita sendiri. Jujur saja, liputan semacam itu masih sangat minim. Dapat dihitung dengan jari.

Mari kita belajar dari konflik Aceh ketika para jurnalis menjadi sangat sulit mengungkap kebenaran secara cover both side akibat patron patriotisme bahkan nasiolisme. Atas nama patriotisme, argumen tentang obyektivitas, etika atau kebenaran menjadi kabur.

Timor Leste jelas berbeda dengan Aceh. Patriotisme tidak mungkin diletakkan secara keliru ketika kita memotret persoalan di perbatasan kedua negara. Sebagaimana saya sebut pada bagian lain tulisan ini, hanya ada satu TIMOR. Kita tidak patut memilih diksi "mereka" orang Timor Leste dan  "kami"

warga NRI.  Media massa di NTT hendaknya tidak menebarkan bahasa perang dalam  pemberitaannya.

Konflik memang tidak serta merta berhenti karena media hadir dan leluasa meliput. Namun, liputan yang berimbang dan akurat, liputan yang mendalam dan menawarkan solusi bisa menciptakan dalam. Sebab, salah satu fungsi media adalah memberikan pencerahan.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin menggugah insan pers di NTT untuk kembali membaca buku Sembilan Elemen Jurnalisme yang terbit di Indonesia tahun 2003. Dalam buku itu, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme yang harus diketahui wartawan dan sangat diharapkan  publik.

Ingatlah selalu bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran dan loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga. Hari ini Bill Kovach dan Tom Rosenstiel kembali bertanya kepada wartawan yang berkarya di NTT, kepada siapakah loyalitas itu Anda persembahkan? Jangan-jangan loyalitas kepada elite saja! **


* Tulisan ini merupakan bahan bacaan bagi peserta  Forum Peningkatan Peran Media Massa Dalam Mempersiapkan Masyarakat untuk Hidup Berdampingan secara Damai dengan Masyarakat Timor Leste di Aula El Tari Kupang, Kamis 19 Juni 2008. Saya diundang menjadi nara sumber dalam kapasitas sebagai Ketua PWI Cabang Nusa Tenggara Timur.

Sang Provokator

Damyan Godho
UNTUK anak-anak seusia saya, 11 tahun, peristiwa seram tentang tertembak-matinya dua polisi di Teluk Kelambu – Kabupaten Ngada medio 1956 oleh segerombolan Kahar Muzakar, tidaklah menarik. Juga terhadap cerita lanjutan dari mulut ke mulut bahwa ratusan gerombolan Kahar Muzakar merampok dan membunuh di pantai utara Flores dan menginfiltrasi wilayah Flores lainnya. Bahkan ada rasa aneh dan lucu ketika menyaksikan sejumlah warga, termasuk ayah saya, diam-diam menyiapkan bambu runcing guna dijadikan senjata menghadapi kemungkinan serbuan gerombolan pemberontahak dari Sulawesi ini ke Boawae.

Saya baru tertarik, ketika suatu hari, dua truk penuh pasukan polisi, bedil dan mortir, muncul dari Boawae, tempat lahir saya dan langsung bergerak ke utara Boawae, sekitar 15-20 kilometer. Begitu tiba, sejumlah kawasan bukit yang dilaporkan sebagia ‘sarang’ sejumlah Kahar Muzakar, langsung dihujani ribuan peluru. Namun, hasil pengamatan setelah operasi ini, tidak menemukan sedikit pun tanda-tnada bahwa daerah ini memang sarang gerombolan.

Maka dua warga, Tangi dan Logo, sumber informasi dan penunjuk jalan, menjadi sasaran pertanyaan polisi yang kelelahan setelah turun-naik menyisir kawasan bukit sehari penuh. Akhirnya Tangi dan Logo dengan tergagap-gagap mengaku salah dan minta maaf. Kata mereka, cerita tentang gerombolan Kahar Muzakar hanyalah omongan main-main (mungkin juga sok tahu) di antara sesama kala minum moke. Tetapi, tanpa diduga, omongan main-main ini beredar begitu cepat sehingga warga jadi resah dan takut, Kepala Kerajaan kerepotan dan akhirnya polisi harus didatangkan

Lain lagi di Kupang, suatu hari di tahun 1965. Dua kawan saya, Yos (sudah almarhum) dan yang satu, Michael (masih hidup). Keduanya tiba-tiba dijemput polisi berkaitan dengan  ‘kabar’ jatuhnya pesawat DC3/Dakota Garuda dalam penerbangan Kupang– Maumere-Denpasar sehari sebelumnya. Kepada polisi, Yos Mengaku bahwa berita itu didengarnya kala memangkas rambut di kawasan Kampung Solor Kupang.  Michael lalu meneruskannya kepada temannya, yang ternyata diteruskan lagi dari mulut ke mulut dengan sangat cepat. Akibatnya, Kantor Garuda kebingungan menghadapi jejalan puluhan warga yang mencari tahu nasih anggota keluarganya. Setelah diusut polisi, terungkap bahwa berita ini ‘bohong’. Berasal dari seorang penumpang yang tidak kebagian tempat di pesawat. Karena kesal, di tempat pangkas rambut Kampung Solor,ia tumpahkan amarahnya dengan kata-kata lepas ‘masuk lautlah pesawat itu!”
Yos, yang mendengar kata-kata itu samar-samar lalu menyampaikan kepada Michael bahwa pesawat Garuga jatuh ke laut. Dan tersebar luas berita menggelisahkan masyarakat Kupang  ini hingga keduanya dijemput polisi.
Dua kisah nyata di atas menggambarkan bahwa cerita iseng atau juga cerita sok tahu oleh Tangi dan Logo serta Yos dan Michael yang meneruskan kabar yang tidak benar, secara tidak sadar telah melakukan provokasi. Tangi dan Logo menyebabkan warga Boawae resah, takut dan bisa berbuat nekad serta berakibat polisi membuang-buang peluru. Sedang Yos dan Michael, membikin warga Kupang resah dan untung saja kantor Garuda diserbu. Namun, perbuatan provokasi Tangi, Logo, Yos dan Michael tidak berdampak luas karena akar ceritanya segera diketahui.

Pekan lalu, menjelang Hari Damai Natal 1999, berkaitan dengan batalnya testing Calon Pegawai Negeri Sipil di Wilayah Kota Madya Kupang dan Kabupaten Kupang, Gubernur NTT Piet Tallo mengungkapkan kepada pers bahwa dil ingkungan Pemda NTT ada provokator yang mau menjatuhkannya dari jabatan Gubernur NTT. Seorang Gubernur tentu saja tidak asal omong. Dan seorang Piet Tallo yang kini Gubernur NTT, rasanya tidak mungkin mau meresahkan masyarakatnya sendiri, jika tidak ada buktinya.
Tetapi susahnya ialah, orang lalu hanya bisa mereka-reka apa alasan Gubernur berkata demikian? Mengapa pula pembocoran bahan testing Calon Pegawai Negeri Sipil di Kupang sepertinya kronis dan seolah merupakan tradisi? Namun yang pasti, pelaku pembocoran sebenarnya bermaksud agar adik, kakak, saudara/i, konco atau relasinya bisa lolos testing. Orang ini mungkin tidak membayangkan bahwa yang dilakukannya itu termasuk perbuatan provokatif. Artinya, bias memancing dan/atau melahirkan ketidakpuasan ‘politisi’ dan Gubernur menjadi sasaran tembak.

Tetapi bisa juga suatu provokasi untuk menghantam Piet Tallo, Gubernur NTT melalui rekayasa yang sistematis memang sedang dimainkan. Caranya, dengan membocorkan bahan testing Calon Pegawai Negeri Sipil di Kupang sehingga terbangkitlah ketidakpuasan massal. Mengapa di Kupang? (Kota Madya Kupang dan Kabupaten Kupang)? Karena di sini berkumpul politisi dan birokrat-politik yang bisa dan biasa berpolitik, campur-aduk. Otak provokasi dan pelaku pembocoran mungkin saja berharap, “syukur-syukur” bisa terulanglah semacam peristiwa berdarah di Sumba Barat setahun lalu dan pada gilirannya Gubernur yang bertanggung jawab.

Jika rekaan di atas benar, maka ungkapan Gubernur bahwa ada provokator di lingkungan Pemda NTT memang tidak bisa disangsikan kebenarannya. Artinya ada. Dan yang seperti ini berbeda dengan Tangi, Logo, Yos dan Michael. Yang terakhir ini, semuanya orang-orang partikulir, rakyat kebanyakan tanpa NIP dan Karpeg yang hanya karena omong iseng bisa dianggap provokator. 

Sebaliknya, pelaku pembocoran bahan testing calon pegawai negeri sipil sudah pasti adalah birokrat yang punya NIP dan Karpeg. Ia mungkin sekali sedang berprovakasi alias berpolitik terhadap gubernurnya melalui  birokrasi.  (damyan godho)


Sumber: SKH Pos Kupang edisi Senin 27 Desember 1999 hal 1

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes