Thomas Bata: Ayahku dan Guru Jurnalistikku

Thomas Bata (2000)
1. Ayahku punya  nama yang simpel,  Thomas Bata. Dia lahir di Ratenggoji pada 6 Januari tahun 1933. Ratenggoji itu so pasti tidak ada dalam peta Pulau Flores. Dia cuma kampung kecil di Kecamatan Kotabaru, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia saat ini.

2. Konon, ayahku lahir di pondok kebun orangtuanya Yosef Dede Dosi dan Maria Badhe Wangge. Sejatinya pasangan Dede dan Badhe tinggal di Wolonio, kampung kecil yang jaraknya belasan km di selatan Ratenggoji.

3. Ayahku Thomas Bata adalah putra bungsu dari istri kedua Dede Dosi. Dia anak kembar. Semuanya pria. Kembarannya lebih dulu dipanggil Sang Pencipta saat usia remaja. Total anak Dede Dosi 18 orang dari dua istri. Istri pertama namanya Polu Sawa.


4. Thomas adalah satu-satunya putra Dede Dosi yang sempat mengenyam pendidikan dasar di zaman kolonial Belanda dan Jepang.  Salut buat kakek dan nenekku yang masih buta huruf itu. Mereka sempat sekolahkan ayahku.

5. Sekolah membuka cakrawala ayahku. Dia kemudian berjuang keras agar terus sekolah sampai level tertinggi yang bisa diraih pada masanya.

6. Ayahku rela menjadi pencuci piring dan kakus di rumah pengusaha Tionghoa di Ende agar dia bisa terus sekolah. Dia bahkan mau menjadi pembantu rumah tangga di rumah Yan Sali di Boawae demi menikmati pendidikan Sekolah Guru Bawa (SGB).

7. Tamat SGB Boawae, ayahku masih bernafsu untuk studi lanjut. Sambil mengajar SD di Kota Ende,dia lanjut sekolah di SGA (Sekolah Guru Atas) di Ndona dan tamat tepat waktu. Tak puas sampai di situ, Thomas  kuliah di Universitas Nusa Cendana (Undana) Cabang Ende. Tekadnya waktu itu meraih gelar sarjana hukum. Apa daya belum tuntas kuliah dia sebagai guru PNS dimutasikan ke kampung yang jauh dari Ende. Kuliah putus di. tengah jalan.

8. Mutasi ayahku ke kampung di Lio Timur  pada awal tahun 1970-an, konon karena penguasa waktu itu merasa terganggu dengan kiprah Thomas Bata sebagai guru muda (aktivis buruh) yang vokal bicara di forum-forum umum. Apalagi dia aktif dalam organisasi buruh. Ayahku pun pengagum Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Bung Karno.

9.  Bekerja tanpa neko-neko. Taat asas, lurus, sesuai rule of the game. Itulah prinsip hidup ayahku Thomas Bapa. Saking taatnya pada nilai tersebut, Guru Toma atau Guru Bata, demikian dia biasa disapa, kerap dicap sebagai orang yang kaku. Bahkan super kaku.

10. Dia bahkan dianggap orang yang pelit karena tidak sembarangan mengeluarkan uang. Thomas Bata dengan penghasilan sebagai guru yang minim amat, mengeluarkan uang dengan cermat. Uang hanya untuk kebutuhan, bukan keinginan. Itupun pakai skala  prioritas.

Di Watuneso  awal tahun 1980-an
10. Lahir dari keluarga petani miskin, bisa sekolah karena mau bekerja pada orang membentuk karakter Thomas sebagai pengelola uang yang bijaksana. Dia makin ketat kelola uang setelah berkeluarga dan dikaruniai tujuh orang anak. Satu anak (nomor dua) meninggal saat masih balita. Membesarkan enam orang anak bukan perkara enteng, bung!

11. Fokus Thomas Bata investasi pendidikan. Kami enam bersaudara menikmati pendidikan terbaik pada masa kami. Empat anaknya bergelar sarjana, dua orang lulusan pendidikan selevel SMA. Luar biasa sukses bila dibandingkan dengan guru SD seangkatannya atau lebih senior atau  yunior daripada dia.  Setidaknya di wilayah Watuneso (Lio Timur) orang tahu kesuksesan  Guru Thomas Bata menginvestasikan pendidikan bagi  anak-anaknya. Sukses bukan dalam artian kaya materi!

12. Dalam hal mengelola keuangan, ayahku mencatat dengan rapi pendapatan dan pengeluaran. Hukum akutansi dia terapkan dengan disiplin. "Saya catat semua supaya pengeluaran terkontrol dengan baik," kata ayahku saat saya iseng bertanya padanya mengapa semua hal dicatat. Nah, gen ini rupanya menurun pula pada  anaknya. Si bungsu dan sulung itu mewarisi bakatnya.
Ayah dan Ibuku

13. Mencatat segala hal. Begitulah ciri khas Thomas Bata. Dia mengoleksi buku tulis besar beberapa buah. Ada yang khusus soal keuangan, catatan tentang tanah dan sejarahnya, soal adat-istiadat, ada yang berisi masalah pendidikan, gereja, dll. Ayahku rajin mencatat. Hampir tiap hari dia menulis. Tulisan tangannya rapi dan mudah dibaca. Jadi titisannya itu menurun pada diriku ini yang memilih jalan hidup sebagai wartawan dan penulis. Hahahaha....

14. Waktu saya meniti karier sebagai wartawan sejak masih di semester 3 Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Nusa Cendana (Kupang), ayahku bilang begini: "Kau yakin? Bapa lebih senang Dion jadi pegawai negeri." Saya jawab sekenanya saja waktu itu. "Bapa, biar saya coba lakoni dulu profesi ini. Siapa tahu nanti lebih terkenal dari Bapa sebagai guru. Toh Bapa juga ikut bangga to?" Ayahku ngakak.

Woda Rasi Wika Tana

Dion DB Putra, cucu Rasi Leu
Oleh Dion Dosi Bata Putra

WODA Rasi adalah putra bungsu Rasi Leu, generasi keempat sejak kedatangan dari Malaka.  Rasi Leu  memiliki enam orang anak yaitu Pati, Mboti, Mali,Ngeo. Bao dan Woda. Jika kelima saudaranya yang lain menetap di Wolowaru Wawo (rumah adatnya masih tegak berdiri sampai sekarang), Woda Rasi lebih suka bertualang ke arah utara dan  timur. 

Masa hidupnya lebih lama di hutan rimba, baik untuk berkebun, mengiris tuak atau berburu. Karena jarang pulang ke rumah,  termasuk bila ada acara besar keluarga, Woda Rasi selalu mendapat bagian bupa `muku sa wunu, au salaru."

Woda Rasi pada masa  itu dikenal sebagai pemberani dan berkali-kali menaklukkan suku lainnya di Lio Timur, Kabupaten Ende  sekarang ini. Salah satu kisah kepahlawan Woda Rasi adalah saat dia "wika"" (merebut atau mendapatkan tanah Waru Jeja). Lokasi tanah itu kini di wilayah Desa Detupera dan sekitarnya.

Kisahnya demikian. Pada suatu hari ketika Woda Rasi sedang berburu di kawasan hutan Nonu Bua dan Nenda - di sebelah utara Kampung Wololele A sekarang, Woda menemukan sebatang pohon enau yang anak aneh. Pohon enau itu memiliki tiga mayang yang bentuknya sangat bagus untuk diiris menjadi tuak, aren (moke).

Lazimnya enau mengeluarkan satu atau dua mayang, itupun bentuknya kecil-kecil. Tapi enau yang ditemukan Woda memiliki mayang yang besar dan berbulir padat. Karena sifatnya yang berani dan suka tantangan, Woda memutuskan mengiris moke tersebut. Ketiga-tiganya diiris semuanya. Selang tiga hari kemudian, irisannya mengeluarkn aren yang manis dalam jumlah berlimpah.

Beberapa hari berselang ketika dia datang pagi hari untuk mengambil aren yang ia tamping dengan seruas bambu, bambunya tak ada isi sama sekali. Ia hanya menemukan tetesan aren yang tumpah di pangkal pohon enau. Woda bertanya-tanya dalam hati, siapakah gerangan yang mengambil  aren milikku ini? Kejadian serupa terus berulang hingga tiga hari kemudian. "Aku harus menunggui pohon enau ini, aku harus tahu siapakah sesungguhnya yang mencuri," Woda bergumam dalam hati.

Pada malam itu juga dia tidur di sekitar pohon enau tersebut. Dia tidak kembali ke pondoknya yang berjarak sekitar 2 km dari pohon enau tersebut. Keesokan harinya saat matahari terbit di ufuk timur, Woda Rasi bangun dan bersembunyi di balik pohon ara besar dekat pohon enau. Tidak lama kemudian Woda melihat ada bayangan yang mendekati bambu  yang dia gantung di pohon enau. Bayangan itu berwarna pelangi yang sekilas terlihat seperti tiga ujud. Tetapi tidak dalam bentuk atau rupa manusia biasa. Dengan mata telanjang, Woda Rasi melihat ketiga bayangan pelangi itu meminum aren dengan lahapnya.

"Oo. sekarang saya sudah tahu. Jadi kaulah yang minum arenku sampai habis. Saya yang iris, kau yang minum hasilnya. Kau harus saya bunuh," teriak Woda dengan suara lantang sambil keluar dari tempat persembunyiannya. Woda pun menghunus pedang dan menyiapkan anak panahnya untuk ditembakkan ke arah bayangan pelangi tersebut.


"Memang benar kamilah yang selama ini minum kau punya moke (aren). Dan kami melakukan ini dengan sengaja agar kami bisa bertemu dengan dirimu. Ada sesuatu yang akan kami berikan kepadamu," kata bayangan pelangi. Mendengar kata-kata tersebut, Woda Rasi mengurungkan niatnya melepaskan anak panah.

Bayangan pelangi selanjutnya berpesan kepada Woda Rasi supaya pergi ke Nusa Toe di Pantai Lia Tola tujuh hari berikutnya. "Di sanalah kami akan memberikan sesuatu untukmu," kata bayangan pelangi.

"Tapi apa tandanya bagi saya bahwa kalian tidak berbohong," kata Woda. Bayangan pelangi minta Woda Rasi memotong kayu bercabang dua. Kayu bercabang dua itu dimasukkan ke dalam gua yang disebut Ola Ngai. "Inilah tandanya bagimu. Jika kau sampai di Pantai Lia Tola dan menemukan kayu bercabang dua, maka kami ada di sana," kata bayangan pelangi.  Woda mengikuti saran itu dan secara tiba-tiba bayangan pelangi menghilang entah ke mana. Woda Rasi pulang ke pondoknya.

Tujuh hari kemudian pergilah Woda ke Pantai Lia Tola yang jaraknya sekitar 12 km dari pondoknya. Dalam perjalanan itu, Woda tetap membawa perlengkapan senjata seperti parang, busur dan anak panah. Woda Rasi meninggalkan pondoknya dengan modal obor sebelum fajar menyingsing atau kira-kira jam empat subuh. Dia turun dari lereng Nonu Bua melewati Kampung Wolobheto, Wololele Loo, terus menyusur pinggir sungai Lowo Ria lewat Detupera, Aemalu, Puujita, Watuneso, Kolijana hingga tiba di Pantai Lia Tola kira-kira jam 09.00 pagi.
Sesampai di sana dia langsung mencari kayu bercabang dua yang menjadi tanda kehadiran bayangan pelangi. Dia tidak membutuhkan waktu lama. Setelah menemukan kayu bercabang dua itu, Woda berteriak, "Sekarang saya sudah datang, di manakah kalian? Tunjukkan diri kalian kepadaku."

Tiba-tiba Woda mendengar suara nyaring dari arah laut."Kami di sini, di Nusa Toe. Datanglah ke sini, kami akan memenuhi janji kami kepadamu," demikian suara itu yang langsung dikenal Woda. Nusa Toe adalah sebuah pulau karang kecil yang letaknya persis di depan Pantai Lia Tola. Ajakan suara pelangi untuk datang  ke Nusa Toe dianggap Woda Rasi sebagai cara memperdayainya. "Kalian jangan mempermainkan saya. Saya orang gunung, tidak bisa berenang. Bagaimana mungkin saya bisa mencapai Nusa Toe," kata Woda Rasi dengan suara tinggi.

"Jangan takut dan cemas. Datanglah ke mari dengan berjalan kaki. Kau tidak akan tenggelam," jawab bayangan pelangi. Woda merasa gamang dan ragu-ragu sehingga bayangan pelangi meyakinkan sekali lagi. Woda berpikir kalau dia mundur, maka perjalanan jauhnya akan sia-sia saja.  Dia pun tertantang dan memberanikan diri masuk laut dan siap menerima apapun risikonya. Maka berjalanlan dia menuju Nusa Toe, karang  atol dengan puncak mirip kerucut itu.  Kecemasan Woda tidak menjadi kenyataan. Dia sampai di Nusa Toe dengan selamat. Saat  Woda berjalan ke Nusa Toe. Sejumah nelayan yang sedang membersihkan jalanya di pinggir pantai bergumam, orang ini nekat!!

Sesampainya di Nusa Toe Woda disambut ramah bayangan pelangi yang telah berubah wujud menjadi manusia normal. Setelah berbasa-basi sejenak dan minum, bayangan pelangi mengajak Woda Rasi masuk ke dalam laut bersama-sama. Woda tidak takut lagi. Ketika masuk ke dalam laut, Woda merasakan perjalanan yang sangat menakjubkan. Woda seolah bermimpi. Mereka berenang dan menyelam sampai ke dasar laut terdalam.

Di sana bayangan pelangi mengambil kerang mutiara dan memberikan kepada Woda. Kerang mutiara (wuli dalam bahasa Lio), merupakan biota laut yang langka. "Dengan wuli ini, kau akan mendapat berkat asalkan digunakan secara benar, bukan untuk kejahatan terhadap sesama  manusia," kata bayangan pelangi ketika mereka hendak berpisah di Nusa Toe. Woda Rasi mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.

Setelah mengumpulkan sekeranjang kecil siput di Pantai Lia Tola, pulanglah Woda Rasi ke kampungnya dengan langkah gagah dan tegap. Woda Rasi merasa mempunyai kekuatan dan semangat hidup yang baru. Wuli pemberian bayangan pelangi dikalunginya di leher. Rupanya wuli itulah yang mengantar Woda mendapatkan tanah Waru Jeja.  Dan inilah kisah lanjutannya.
Dalam perjalanan pulang ke pondoknya dari Lia Tola, Woda Rasi melintasi perkampungan sepanjang daerah aliran sungai  (DAS) Lowo Ria mulai dari Kolijana, Watuneso, Kopo Watu, Puu Jita,Aemalu dan Waru Jeja. Sesampainya di kampung Waru Jeja yang sedang berlangsung acara adat sehingga banyak orang berkumpul, Woda Rasi menghadapi cobaan  berat.

Saat dia melintasi kampung itu, pandangan orang-orang tertuju kepadanya. Mereka melihat penampilan Woda Rasi dengan pakaian kebesarannya dilengkapi senjata parang dan panah. "Sombong betul orang itu. Dia seperti jagoan sehingga jalan di kampung orang juga masih bergaya," kata mosalaki kampung itu. Matanya terus tertuju ke Woda yang berjalan  pulang ke pondoknya. Saat Woda Rasi hampir mencapai ujung Kampung Waru Jeja, mosalaki itu bergegas menyusulnya. Mosalaki ini hendak mencobai Woda Rasi.

"He eja. pulang dari mana dan mau ke mana?" sapa mosalaki itu ketika ia mendekati Woda. "Saya pulang mencari siput di Pantai Lia Tola," jawab Woda sambil terus melangkah. "Sabar dulu eja, istirahatlah sebentar di sini," kata mosalaki. "Maaf eja, hari sudah beranjak senja, saya harus melanjutkan perjalanan karena kampung masih jauh di gunung," kata Woda.
Walaupun tawarannya ditolak, mosalaki it uterus berusaha menahan Woda Rasi. Lantaran Woda tidak peduli dengan ajakannya, mosalaki yang sejak tadi menahan geram karena menilai Woda bersikap sombong, mulai mengeluarkan jurus cobannya.

"Saya sudah tahu bahwa eja memang orang hebat dan jagoan. Eja punya ilmu tinggi sehingga eja selalu bersikap sombong dan angkuh. Tapi kalau eja benar-benar hebat, coba tunjukkan kepada kami di kampung ini," kata mosalaki. Hati Woda tergelitik juga dengan pernyataan yang memancing ini. Woda tetap berusaha tenang. "Mungkin eja salah dengar, saya hanya orang biasa. Saya ke Lia Tola semata-mata untuk cari siput dan masak air laut untuk garam,"kata Woda. Namun, mosalaki it uterus memanas-manasi Woda dengan tantangannya yang lebih serius.

"Kalau  kau benar-benar seorang lelaki, harus terima tawaran saya ini. Jangan jadi pengecut eja. Kalau kau berani lompat `musu mase' kami itu, kau berhak atas kampung ini dan seluruh lahan tanah yang kami miliki. (musu mase= menhir, tiang batu lonjong yang dipancang di tengah kampong). Kalau eja tolak, berarti eja harus kami habisi," kata mosalaki sambil bercakak pinggang. Tantangan si mosalaki didengar orang seluruh kampung yang sejak tadi mengerumuni kedua orang ini.

Karena tawaran itu sudah ketiga kalinya, Woda pun memutuskan untuk menerima. "Baiklah, saya coba akan melompat musu mase itu," kata Woda Rasi sambil berjalan ke musu mase yang berada di tengah kampung. Tinggi musu mase itu kurang lebih 7 meter. Mata orang-orang di Kampung Waru Jeja tertuju kea rah Woda Rasi. Mereka bertanya-tanya adalam hati apakah pria ini sanggup melompat melewati musu mase yang berdiri menjulang di tengah kampung.

Sampai sekitar dua meter dari musu mase, tanpa aba-aba Woda langsung melompat melewati puncak musu mase.Woda Rasi melompat bolak-balik sebanyak tiga kali tanpa melepas parang dan busurnya. Orang-orang di kampung itu melihat Woda seperti terbang melewati musu mase dan badannya ringan seperti burung. Mereka terheran-heran dan membelalakkan maata seolah tak percaya dengan apa yang barusan mereka lihat.

"Orang ini benar-benar punya ilmu tinggi," kata orang Waru Jeja. Mereka tidak tahu kalau ilmu itu berupa wuli yang baru saja Woda terima dari bayangan pelangi di Nusa Toe. Setelah sukses melompat musu mase, Woda meninggalkan kampung itu tanpa berkata sepatah katapun. Dengan gayanya yang cuek berat, Woda melanjutkan perjalanannya kembali ke pondok di gunung. Sang mosalaki yang tadinya banyak berceloteh diam seribu bahasa. Ia hanya sanggup melihat kepergian Woda dengan langkah tegap dan gagah hingga menghilang di ujung Kampung Waru Jeja.

Sepeninggal kepergian Woda, sejumlah orang di kampung itu dilanda ketakutan terutama kaum wanita dan anak-anak.  Mereka menyadari bahwa Woda menjawab tantangan mosalaki sehingga kampung itu harus dikosongkan karena sudah menjadi milik Woda Rasi. Namun, sang mosalaki mengatakan warga sukunya tetap tenang karena tidak akan terjadi apa-apa. Menurut mosalaki, dia dan semua kaum lelaki di kampung itu siap menghadapi  Woda yang ia tahu tidak punya banyak saudara.

Woda sendiri berjalan sampai di Kampung Wololele Loo kemudian beristirahat di tempat itu. Wololele Loo berjarak sekitar 2,5 km dari Kampong Waru Jeja dan berada di daerah perbukitan. Dari kampong ini Waru Jeja yang berada di lembah, di pinggir kali Lowo Ria terlihat jelas demikian pula sebaliknya dari kampung Waru Jeja bisa melihat sayup-sayup ke Wololele Loo.

Saat beristirahat di tempat itu Woda Rasi menghisap tembakau dan bersandar pada sebatang pohon. Ia mulai menyusun strategi. Ia berpikir bahwa pengosongan Kampong Waru Jeja harus segera direalisasikan sesuai janji si mosalaki. Kalau menunda selama beberapa waktu artinya member kesempatan kepada mosalaki Waru Jeja menyusun kekuatan guna mempertahankan tanahnya. "Hari ini juga mereka harus meninggalkan kampong itu dan seluruh lahan pertanian mereka," gumam Woda membatin.

Woda membuat petasan bambu yang dari jauh akan terdengar seperti bunyi tembakan. Pada masa itu buah damar sudah dipakai sebagai bahan untuk obor dan api. Buah damar kering tidak sulit diperoleh di sekitar kawasan Wololele Loo. Dengan buah damar, ia membuat petasan bambu.

Ia membunyikan petasan sebanayak tujuh kalidan terdengar jelas orang-orang di sekitar Kampung Wololele Loo.  Pada masa itu bila mendengar  bunyi seperti itu berarti ada peperangan. Woda sengaja membunyikan itu sebagai tanda ada perang. Beberapa saat kemudian tibalah di sana enam orang dari daerah sekitar. Mereka itu merupakan teman-teman Woda yang yakin bahwa pada subuh tadi hanya Woda yang keluar dari kampong. Setibanya di Wololele Loo, dugaan enam orang itu terbukti benar.

Saat kenam pria itu datang, Woda menceritakan apa yang baru dialaminya dan menjelaskan strateginya untuk membalas tindakan mosalaki Waru Jeja. "Saya punya cara yang membuat orang-orang Waru Jeja itu meninggalkan kampungnya. Sekarang saya minta tolong kalian buatkan bambu  untuk obor sebanyak 14 buah," kata Woda.  Mereka segera memenuhi permintaan Woda. Mereka bertanya-tanya dalam hati apa gerangan yang hendak Woda lakukan dengan obor sebanyak 14 buah itu? Ketika hari menjelang malam kira-kira pukul 19.00, Woda
meminta mereka menyalakan 14 obor itu dengan olesan minyak buah damar.

"Kita masing-masing pegang dua obor. Kita masing-masing pegang dua obor di tangan kiri dan kanan, obor diangkat setinggi mungkin. Kita turun bersama-sama dari bukit Wololele Loo ini sampai di lembah itu yang jaraknya sekitar 200 meter. Sampai di lembah itu, kita berhenti dan matikan obor lalu naik lagi ke bukit sini.Obor kita nyalakan lagi dan turun lagi ke lembah. Kita lakukan ini bolak-balik sebanyak tujuh kali. Percayalah, dengan cara ini orang Waru Jeja akan melihat ratusan orang turun dari sini menuju kampung mereka," kata Woda Rasi. Keenam sahabatnya mengangguk-anggukkan kepala. Sekarang mereka baru mengerti strategi yang dimainkan Woda Rasi.

Di Kampung Waru Jeja, orang-orang di sana melihat jelas nyala obor di bukit Wololele Loo. Si mosalaki pun serius memperhatikannya. Mula-mula ia merasa biasa saja karena jumlah obor hanya 14 artinya hanya 14 orang yang turun dari bukit itu.  Boleh jadi orang-orang itu hendak ke kampung terdekat seperti Wolo Mage dan Detu Rau. Tapi lama kelamaan ia mulai merasa cemas karena jumlah obor yang turun dari bukit itu sambung-menyambung dalam jumlah banyak (7x14 = 98). Mosalaki mulai berpikir bahwa orang-orang Woda Rasi sudah mengepung kampung mereka dari berbagai penjuru.

Ketika hitungan mereka jumlah obor yang turun dari bukit itu sudah melewati angka  70, sebagian warga Waru Jeja mulai lari meninggalkan kampung dengan membawa barang seadanya. Suasana kampung yang berada di tanah datar di pinggir Sungai Lowo Ria itu panik dan mencekam. Kaum perempuan dan anak-anak menangis histeris.

Tak ada pilihan lain bagi si mosalaki untuk memerintahkan warganya segera meninggalkan kampung. Mereka menyalakan obor dan lari ke arah timur dan selatan. Mengungsi adalah pilihan terbaik saat itu. Dari ketinggian bukit Wololele Loo, Woda dan keenam rekannya melihat suasana huru-hara itu.

Pengungsian warga Waru Jeja akhirnya sampai ke daerah sekitar Paga dan Maulolo (wilayah Kabupaten Sikka sekarang). Di sanalah mereka menetap dan berkembang biak. Untuk mengenang kampung asalnya, di daerah baru itu nama kampong mereka diabadikan, misalnya Kampung Mase Bewa, Puu Bheto, Wolofeo dan lain-lain.

Sementara itu ketika menyaksikan orang Waru Jeja meninggalkan kampung, Woda dan keenam rekannya menyaksikan dengan perasaan bangga, lucu bercampur haru. Woda tersenyum tapi hatinya merasa iba karena kesombongan mosalaki justru mengorbankan warga kampungnya. "Itulah kalau orang angkuh. Saya tidak bermaksud mengusir mereka. Itu karena kesalahan pemimpin mereka sendiri. Cara yang saya pakai ini merupakan keputusan hati saya yang tidak menginginkan terjadi pertumpahan darah," kata Woda kepada enam saudaranya. Woda mengisap tembakaunya dalam-dalam.

Sejak pengungsian warga Waru Jeja itu, lokasi kampung dan tanah pertanian milik mereka selanjutnya menjadi milik Woda Rasi yang dia wariskan kepada anak cucunya sampai sekarang. Di bekas kampung itu masih berdiri musu mase, cuma sudah terpotong separuhnya. Mungkin karena termakan usia. *

Di sini kutulis tentang asal-usulku. Juga kucatat penggalan-penggalan kisah leluhur. Aku bagian dari darah daging mereka yang ada dan mengalir adanya hingga anak cucu Lise mendatang.

Dion Dosi Bata Putra
Embu Woda, Ana Mbete, Wewa Tani Woda, Mamo Ngaba Tani, Benge Dede Dosi, Putra Bata. Gelombang yang tiada henti bergelora dalam arus zaman.
 

Mbete Woda Jatuh Cinta

Dion Dosi Bata Putra
Oleh Dion Dosi Bata Putra

MBETE Woda adalah anak dari Woda Rasi. Dari tokoh inilah kemudian beranak-pihak warga suku Lise Nggonderia dan Lise Kurulande. Mbete Woda dikenal sebagai pemuda tampan dan suka bertualang seperti ayahnya Woda Rasi. Kisah cinta unik dengan seorang gadis asal daerah Bu (sekitar Desa Bu Utara, Kecamatan Paga Kabupaten Sikka sekarang).

Gadis itu berlesung pipi, rambut hitam panjang lurus bak mayang terurai. Matanya lentik, kulit kuning langsat, hidung mancung, betis laksana padi yang hamil. Pembawaannya ramah. Sambe boleh dikata merupakan kembang di kampungnya dan menjadi incaran banyak perjaka. Kecantikan Sambe suah terkenal luas di kampong sekitar.

Syahdan, menurut cerita turun-temurun, Mbete Woda yang suka bertualang itu pada suatu hati tiba di kampung Nona Sambe. Kebetulan saat itu ada pesta syukuran di kampung itu. Mbete rupanya sudah mendengar cerita tentang kecantikan Sambe bahkan diam-diam dia pun sudah melihat kecantikan gadis itu. Makanya saat ke kampong gadis ini,  Mbete membawa serta wea ngawu (perhiasan dari emas) yang diisi dalam periuk tanah.

Ketika tiba di kampung Bu, Mbete Woda melihat gadis incarannya sedang menumbuk padi  sendirian di samping rumah orangtuanya. Sebagaimana lazimnya orang-orang pada masa itu, Sambe hanya mengenakan busana yang menutup dada ke bawah. Keduanya belum pernah bertemu muka sebelumnya.

Dengan tenang  Mbete menghampiri Sambe dan serta-merta memberikan periuk emas kepada sang dara ayu dengan mengucapkan kata-kata sebagai berikut. "Weta e.aku rina weta deo ngawu neku ina. Saya harus pergi buru-buru karena ada urusan yang penting sekali." Artinya, "nona saya minta tolong nona simpan perhiasan emasku ini. Saya h" Mbete Woda hanya mengucapkan kata-kata itu lalu bergegas pergi begitu saja. Sambe yang pangling dan bingung, bahkan tak sempat mengeluarkan sepatah kata pun karena pemuda itu sudah pergi entah ke mana.

Sambe yang bingung mengharu-biru perasaannya karena pertemuan dengan sang pemuda begitu mendadak dan cepat. Sambe heran, mengapa pemuda yang belum dikenalnya itu berani menitipkan perhiasan emas kepadanya. Sambe kemudian melaporkan insiden itu kepada ayah dan ibunya.  Ayahnya sangat terkejut bahkan sempat memarahi Sambe mengapa mau menerima begitu saja titipan itu?

Sambe Cuma bisa meyakinkan ayahnya bahwa ia masih mengingat dengan baik wajah pemuda tampan itu. Kebetulan pada malam harinya  saat pesta syukuran di kampong itu Mbete Woda menampakkan dirinya dengan ikut gawi (tarian missal tanda syukur, kegembiraan dan kebahagiaan dalam tradisi Lio). Sambe kemudian memberi tahu ayahnya bahwa itulah pemuda yang pada siang tadi menitipkan perhiasan emas kepadanya.

Sang ayah mengamati dengan teliti wajah pemuda itu yang sedang menari bersama-sama orang. Dia menunggu waktu sang pemuda istirahat dan akan langsung menemuinya. Entah  Mbete sudah tahu diamati seseorang, dia pun mencari waktu yang tepat dengan tiba-tiba keluar dari lingkaran tarian gawi dan menghilang dalam kegelapan malam. Menurut pengakuan Woda Mbete di kemudian hari, setelah ia melihat Sambe pada malam itu, dia langsung meninggalkan tari gawi dan kembali ke kampong halamannya di Nua Tu, Desa Lise Lowobora Kecamatan Wolowaru (sekarang). Jarak dari kampong Bu puluhan kilometer harus naik gunung dan turun ke lembah. Pada masa itu antarkampung terisolir dan kawasan masih lebat dengan hutan rimba.
Ulah Mbete Woda tentu saja membuat Sambe dan ayahnya gundah.

 Ayah Sambe berembuk dengan keluarganya dan mereka berkesimpulan bahwa pemuda itu pasti punya maksud dan bisa ditebak dia naksir Sambe sejak lama. Perhiasan emas dalam tradisi Lio adalah pemberian istimewa sebagai belis saat seseorang dipinang.  Mereka coba mengumpulkan informasi tentang siapa sesungguhnya pemuda itu. Cuma dapat informasi yang minim kalau pemuda itu berasal dari daerah barat, dari kampong di sebelah gunung. Juga disebut-sebut mungkin dia putra Woda Rasi yang namanya sudah tersohor.

Sambe sendiri pun tak bisa tidur pulas sejak kejadian itu. Dia terus dibayangi wajah sang pemuda yang dengan senyum ramah dan sedikit cuek memberikan wea ngawunya kepada Sambe. Seminggu setelah pertemuan itu akhirnya Sambe memilih jalan ini meskipun sempat ditentang keras orangtuanya. Ditemani sepupunya, seorang peremuan yang lebih tua dan seorang pria paruh baya, Sambe meninggalkan kampung Bu menuju arah barat mencari tahu keberadaan sang pemuda misterius. Mereka membawa bekal secukupnya mengingat tempat tujuan tdak diketahui secara pasti.

Sambe berkali-kali menangis sepanjang perjalanan mencari pemuda itu. Makin ke barat setelah melewati kampong demi kampong, Sambe dan kedua sepupu yang menemaninya makin dapat informasi yang lebih jelas tentang pemuda itu. Sambe meninggalkan kampungnya dan melewati  Kampung Nuanula, Wolowuwu, Wolonia, Detuweru, Watuwisa, Wolobheto, Tebo Laka. Di Tebo Laka Sambe tahu nama pemuda itu  Mbete Woda dan kampungnya di Nua Tu. Sambe pun terus berjalan melewati kampung Ae Tunggu, Wololele A, Wololele B dan akhirnya sampai di Nua Tu.

Di kampung ini Sambe dan kedua sepupunya diantar langsung ke rumah orangtua  Mbete Woda.  Woda Rasi dan istrinya menerima gadis itu dengan baik dan mengertilah mereka bahwa inilah gadis pilihan Mbete. Sudah lama  Woda Rasi meminta putranya segera menikah namun baru kali  ini datang seorang gadis ke rumah itu.

Dua hari kemudian dua sepupu Sambe pulang ke Kampung Bu, sedangkan Sambe tetap tinggal di rumah Mbete Woda. Dalam istilah orang Lise, Sambe paru haki atau paru dheko ata haki (lari ikut laki-laki atau kawin lari) sehingga dia tidak mungkin kembali lagi ke orangtuanya. Tabu bagi seorang gadis yang masuk rumah laki-laki untuk kembali.

Berselang beberapa hari kemudian berangkatlah utusan keluarga  Mbete Woda menemui ayah dan ibu Sambe di Kampung Bu. Sesuai tradisi mereka menyatakan bahwa Sambe sudah "paru haki" sama Mbete Woda. Ditentukan waktu dan hari untuk antaran belis dan kedua sejoli akhirnya resmi menjadi suami istri. Acara pernikahan mereka berlangsung meriah.

Dari hasil perkawinan Woda Mbete dan Sambe inilah lahir anak-anaknya yaitu Ndopo Mbete, Laka Mbete, Tani Mbete (ada dua orang yaitu Tani Loo dan Tani Dua), Woda Mbete dan Wangge Mbete. Woda Mbete kemudian memperanakkan Dosi, Mbete, Tani, Senda, Kewa dan Kemba. Keturunan Mbete Woda itulah di kemudian hari menjadi mosalaki Puu Lise Tana Telu serta Riabewa di Wololele A dan Mulawatu.

Perkawinan Sambe dengan Mbete Woda menunjukkan bahwa sejak berabad-abad yang lalu sudah ada ikatan genealogis yang rapat antara orang Lise dengan orang Bu. Pertalian darah itu bahkan masih bertahan sampai sekarang. Kedua etnis kawin-mawin. Dalam banyak sisi kehidupan maupun tradisi, orang Bu, Paga, Mauloo, Lekebai dengan Lise umumnya sama saja. Hanya ada beberapa perbedaan yang tidak prinsipil. Karena itulah masyarakat Kecamatan Paga, Mego dan Bu selalu dengan bangga menyebut dirinya orang Lio atau Ata Lio, bukan orang Sikka.

Kedekatan geografis dan kultur sebenarnya soal lazim bagi masyarakat Pulau Flores secara keseluruhan. Apabila ditelusuri ke masa silam, ada persamaan-persamaan  yang tetap ada sampai sekarang ini. Kalau ada perbedaan, itu bisa dimengerti mengingat kondisi lingkungan setempat serta perpaduan dengan berbagai unsur budaya. *

Hukum Adat Suku Lise

Dion DB Putra
Oleh Dion Dosi Bata Putra

SUKU
Lise memiliki seperangkat hukum adat yang diwariskan secara turun-temurun. Perkembangan zaman, intevensi agama (Gereja Katolik) ikut melunturkan hokum dat tersebut apalagi dengan praktik hukum kolonial dan hukum positif  Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI. Beberapa hukum adat Suku Lise yang masih dikenal antara lain:

1.    Wale Pela

Hukum berupa sanksi atau denda terhadap seseorang yang terbukti berzinah atau istilah pop selingkuh. Zinah dalam pengertian masayarakat Lise sama dengan zinah yang dikenal umum. Artinya seseorang (baik pria maupun wanita) melanggar norma kesusilaan. Yang dikenai wale atau denda dalam kasus zinah adalah pria, sedangkan wanita mendapat sanksi secara moral. 


Pria yang ketahuan berzinah biasanya diadili para hakim adat di rumah pertemuan yang dinamai kuwu, letaknya persis di tengah perkampungan. Kuwu itu semacam tempat mengaso juga dan tempat untuk acara makan bersama dan lain-lain. Kecuali anak di bawah umur, proses peradilan adat itu terbuka untuk umum, menghadirkan pelaku dan saksi-saksi. Yang berzinah harus memberikan wale kepada perempuan berupa hewan, uang, emas serta kain tenunan. Jumlahnya sudah ditentukan sesuai standar umum dalam suku tersebut.

2.    Ngiri Tolo Ata Fai Rio

Kedapatan mengintip perempuan atau laki-laki mandi pun ada sanksinya. Di suku Lise mengenal aturan ini. Biasanya tempat pemandian umum untuk kaum laki-laki dan perempuan sudah ditentukan. Bisa saja lokasinya berbeda dengan letak tak berjauhan. Bisa juga lokasinya sama. Untuk lokasi yang sama, maka waktu mandi bagi kaum perempuan dan laki-laki diatur sedemikian rupa agar tidak bersamaan. Biasanya kaum wanita didahulukan.

Lokasi pemandian pun lazimnya tidak seberapa jauh dari jalan umum, sehingga setiap orang yang melewati jalan itu bertepatan dengan jam mandi harus berteriak dengan suara nyaring rioo...rioooo.. rio.. (rio = mandi, apakah ada orang yang mandi). Kalau ada sahutan rio. berarti di sana masih ada orang mandi, sehingga langkah harus dihentikan menunggu orang itu selesai mandi baru Anda boleh melanjutkan perjalanan. Orang yang mandi akan memberi tahu dengan teriakan pula bila dia sudah selesai membersihkan tubuh dan berpakaian.

Sebaliknya jika tidak ada jawaban sampai panggilan ketiga, berarti tidak ada orang yang mandi di sungai atau kolam tersebut. Cara mandi orang Lise di tempat pemandian umum biasanya telanjang bulat alias bugil, baik perempuan maupun laki-laki. Karena haram hukumnya bagi yang tidak sejenis kelamin untuk melihatnya secara langsung  bagian tubuh vital yang harus dirahasiakan. Saya di masa kecil pada usia sampai 10 tahun masih melihat praktik itu di kampong kami di Mulawatu, Wolonio dan kampung lainnya di wilayah Lise.

Walaupun tidak tertulis waktu mandi untuk kaum perempuan dan laki-laki berbeda. Untuk kaum wanita pagi hari sekitar pukul 06.00-06.30. Sedangkan sore hari sekitar pukul 16.30-17.30 Wita. Untuk kaum pria jadwalnya setelah kaum wanita, baik pagi  maupun sore hari, terutama untuk lokasi pemandian yang sama atau berdekatan. Jika lokasinya berjauhan waktu mandi bisa saja sama atau fleksibel.

Aturan ini cukup ketat dan ditaati warga suku. Barangsiapa melanggar (lazimnya kaum lelaki yang usil mengintip perempuan mandi (ngiri tolo ata fai rio), akan dikenakan sanksi adat. Perempuan yang suka mengintip akan dikenai sanksi, bentuk sanksi berupa denda Cuma lebih ringan dibandingkan wale pela (berzinah).

Dalam urusan mandi di masa lalu, orang Lise tidak mengikuti syarat kesehatan modern yaitu mandi dua kali sehari. Rata-rata orang Lise mandi sekali sehari  yaitu pada sore hari. Pagi hari setelah sarapan mereka langsung ke kebun, ke padang menggembalakan ternah atau mengambil nira (bahan baku moke). Karena itu jangan heran bila pada sore hari tempat pemandian relative lebih ramai ketimbang pagi hari. Kecuali kalau pada hari Minggu, hari libur atau ada suatu hajatan, pastilah ada yang mandi pagi. Atau kaum perempuan yang datang bulan (haid) akan ketahuan karena pagi-pagi ia pergi mandi di lowo (kali, sungai) atau ke gomo (kolam kecil, sumber mata air).

Sebagai alat mengeluarkan daki, kotoran dari tubuh, orang Lise menggunakan batu. Sedangkan sikat gigi menggunakan sabut kelapa atau kulit buah  pinang. Cukup digosok di gigi akan kelihatan bersih dan sehat. Hukum adat soal mandi masih berlaku, walaupun cara mandi kaum perempuan dan laki-laki orang Lise sekarang ini sudah disesuaikan dengan perkembangan zaman. Misalnya, kaum perempuan terutama nona-nona sudah jarang mandi telanjang ramai-ramai di tempat pemandian umum. Saat mandi mereka memakai kain penutup sekitar dada (toko kasa) dan paha (puu paa). Pun dengan budaya kamar mandi dan WC sebagai bagian dari rumah tinggal, sehingga makin jarang yang mandi di lokasi pemandian umum.

Perempuan Lise sekarang pun sudah mengenal shampoo (cream pencuci rambut atau membersihkan ketombe).  Pada masa silam kaum perempuan Lise merawat rambut mereka dengan santan kelapa dicampur kemiri. Istilah setempat  adalah koso holo/kolo. Santan kelapa untuk perawatan rambut dipilih dari buah kelapa terbaik dan diolah secara khusus, lazimnya cukup kental dan harum lalu digosok-gosokkan di kepala, dipijat sedemikian rupa hingga terasa menyegarkan. Setelah beberapa jam kemudian baru dibilas dengan air bersih.

Menyaksikan perempuan Lise koso holo belakangan ini sudah langka karena serbuan shampoo. Perlu diketahui hampir 60 persen perempuan Lise berambut lurus panjang dan hitam mengilap. Yang berambut keriting kemungkinan besar gennya dari suku asli, penduduk pribumi Flores yang menurut Weber masuk kategori manusia Polynesia  dengan cirri fisik hitam-keriting-kecil. Budaya wege fu dalam tradisi Lise dan Lio umumnya logis jikalau perempuan berambut panjang dan lurus, bukan rambut keriting yang akan sulit untuk digulung melingkar (wege).

Sebagai bandingan, kaum perempuan dalam suka Jawa, Sumatera dan Sulawesi juga mengenal wege fu. Itu artinya ada benang merah budaya, ada mata rantai yang terkait sebagai sama-sama keturuan Malaka (Melayu).

3.    Naka Nowi


 Orang yang tangan panjang atau suka mencuri juga dikenai hukuman. Pencuri juga diadili di dalam kuwu dengan menghadirkan saksi-saksi, pelaku dan korban. Jika bukti-bukti mendukung, maka hakim adat memvonis si pencuri dengan hukuman atau sanksi adat antara lain ia harus memberi makan orang sekampung dengan bunuh seekor babi ukuran delapan pikul. Pencuri juga harus mengganti kerugian korban serta dihukum cambuk dengan ekor pari atau berguling keliling tujuh kali di dalam heda hanga (lapangan adat).

Hukuman yang sangat berat ini dimaksudkan agar si pencuri jera dan tidak mengulangi perbuatannya sekaligus berfungsi mendidik bagi warga suku lainnya. Jika pencuri mengulangi perbuatannya, ia dapat diusir keluar dari kampung dan dinyatakan murtad (tidak diakui lagi sebagai warga suku).

Saya pernah menyaksikan sendiri hukuman terhadap pencuri buah pinang di kampu ng Mulawatu tahun akhir tahun 1970-an.  Dia dihukum berguling di heda hanga yang penuh kotoran hewan . Da juga diwajibkan menyembelih seekor babi jantan besar untuk memberi makan orang sekampung sebagai dendanya. Sejak itu si manusia ringan tangan itu tobat.  Secara socsal dia pun merasa bakal dituduh kalau terjadi pencurian lagi.

4.    Pake Ragi Holo Hai

Hukum ini terkait kasus asusila. Misalnya, seorang ayah kawini anak perempuannya (inces), ibu dengan anak lelakinya atau pria dan wanita  melakukan hubungan badan yang melanggar norma umum. Katakanlah ponakan dengan tantenya dan lain-lain. Contoh lain mosalaki yang seharusnya patut digugu dan ditiru malah melanggar susila seperti berzinah atau pelapani.
Untuk mereka yang melakukan pelanggaran ini hukumannya antara lain diisolir dari pergaulan dan hak-hak adatnya dihilangkan sama sekali. Bagi mosalaki, hak segala prestisenya dicabut.

Bahkan jika dia meninggal dunia, jenazahnya dikuburkan di luar kampung, ini pertanda dia murtad. Pake ragi holo hai termasuk kasus serius dan mendapatkan sanksi hukuman yang berat. Pelaku seperti dipenjara selama hidupnya karena relasi sosial serta hak-haknya dipreteli.

5.    Nara Nio, Feo dan Kopi

Hukum ada ini berkaitan dengan dunia pertanian. Sebagai masyarakat agraris, larangan ditetapkan dalam periode waktu tertentu (pada musim kemiri (feo) berbuah, kopi dan kelapa. Biasanya selama tiga sampai enam bulan tergantung jenis komoditi pertanian itu.

Larangan itu ditetapkan mosalaki setelah menerima usul saran dari warga suku atau warga kampung. Mereka yang melanggar akan dikenakan sanksi. Walau memetik kelapa sendiri di masa larangan, dia tetap menerima sanksi. Larangan ini sangat bermanfaat bagi masyarakat. Tanaman kelapa, misalnya, tidak boleh dipetik sembarang waktu untuk makan atau dijual. Hanya dibolehkan memungut kelapa tua yang jatuh sendiri karena sudah tiba saatnya. Pengecualian untuk kondisi force major misalnya seseorang digigit ular berbisa dan bisa ular itu harus ditawarkan dengan air kelapa muda maka kelapa boleh dipetik hanya untuk keperluan itu saja.

Sedangkan kemiri dikumpulkan dalam jumlah banyak baru dijual atau ditukarkan dengan bahan kebutuhan lain. Sesuai kebutuhan masyarakat setempat, larangan bisa juga dikenakan pada kopi, jeruk dan komoditi lainnya. Unsur fleksibilitas tetap dijunjung.

Menurut kacamata ilmu perdagangan modern, larangan ini mencegah sistem ijon yang pada galibnya justru menjerat leher petani sendiri. Oleh karena itu, salah kaprah jikalau kita sekarang yang menyebut diri manusia millenium menilai orang pada masa lalu tidak mengerti hukum demi kesejahteraan bersama.

Pola pertanian di Lise umumnya kebun ladang karena dari sono alamnya memamg demikian dan
hanya sedikit daerah lahan basah untuk persawahan. Persawahan luas ada di wilayah pesisir utara seperti Kotabaru, Hangalande dan sekitarnya. Di selatan daerah persawahan umumnya di sekitar daerah alisan sungai (DAS) memanfaatkan kelimpahan air.

Satu ladang dikerjakan atau diolah untuk jangka waktu tertentu, sekitar dua sampai tiga tahun lalu berpindah lagi ke ngebo (lahan kebun) yang baru. Karena itulah secara tradisi orang Lise pun punya budaya tebas bakar, tetapi bukan tebas bakar dalam konteks berburu binatang seperti di daerah lainnya di Flores serta pulau lain di Nusa Tenggara Timur.

Setelah menikmati hasil kebun ladang selama dua sampai tiga tahun, ladang itu ditinggalkan untuk menjadi hutan lagi dan mereka pindah membuka lahan yang baru. Pada masa sekarang sistem ladang berpindah sudah banyak ditinggalkan. Hanya sedikit yang masih mengusahakannya. Petani Lise beralih menanam komoditi perdagangan yang lebih produktif dan bernilai ekonomis tinggi. Memamg masih sekitar 50 persen menggunakan lahan kebun berpindah dengan pola tanam tumpang sari (beragam jenis sayuran dan palawija pada satu lahan).

Secara tradisional orang Lise mengenal model terasering yang belakangan, dimulai sekitar tahun 1970-an diperkenalkan pemerintah melalui instansi pertanian. Istilah lokal adalah kebe uma rema. Kebun ladang orang Lise selalu menggunakan kebe atau hebe sebagai pencegah erosi dan menyiapkan humus tanah. Jarak antara hebe sekitar 3-4 meter tergantung kemiringan lahan kebun, sehingga bila hujan turun humus tanah tetap bertahan, tidak mengalami erosi. Kayu untuk kebe dipilih kayu yang bagus dan bisa bertahan lama seperti kayu kera.

6.    Ru'u Ra'a

Leluhur kami orang Lise sudah mewariskan prinsip hidup selaras alam. Juga prinsip ramah lingkungan. Wilayah Lise yang membentang dari selatan hingga utara (Eko Take Tola Ndale - Ulu Soe Endo Mbawe) merupakan wilayah pegunungan, perbukitan, lembah, ngarai dan pantai yang elok. Gugusan pegunungan itu menghijau lebat dengan hutan perawan yang dipenuhi aneka flora dan fauna. Bagi saya , Lise diciptakan Tuhan ketika suasana batinnya sedang ceria.

Di wilayah Lise terdapat beberapa sungai (kali) besar. Dengan muara di pesisir utara ada Kali  Lowo Lise dan muara di Pantai Selatan Flores ada Kali Lowo Ria. Khusus Lowo Ria alurnya membentang dari pegunungan Watu Kio yang tak jauh dari Kampung Wolonio di Desa Fatamari, Kecamatan Lio Timur Kabupaten Ende sekarang  hingga muaranya di  Pantai Lia Tola. Lowo Ria (Lowo = Sungai. Ria = Besar) merupakan gabungan dari puluhan anak sungai sepanjang jazirah wilayah Kecamatan Lio Timur.

Sungai merupakan sumber kehidupan suku Lise. Di sana ada ikan, udang, belut, katak, kepiting dan lain-lain sebagai sumber pangan bagi keluarga. Oleh karena itu perlu dijaga dengan  bijaksana. Tidak diperkenankan bagi warga suku mengeksploitasi secara serampangan.  Di sini berlaku hukum adat yang namanya Ru'u Ra'a (larangan mengambil udang, belut dan ikan) dalam periode waktu tertentu. Lazimnya minimal enam bulan sekali baru diizinkan mengambil ikan, belut, udang, kepiting di lokasi alur sungai yang sama. Paling bagus setahun sekali sehingga panenannya berlimpah ruah. Juga dilarang keras menggunakan obat-obatan kimia dari pabrik karena akan merusak ekosistem sungai.

Warga suku Lise punya cara yang khas. Mereka mengeringkan alur kali atau sungai yang disebut Ra'a dengan  membendung lalu membelokkan air ke alur baru di bagian lain yang bersebelahan atau bersisian. Nah, di alur yang kering itulah mereka memanen udang, kepiting, belut dan ikan air tawar yang dalam bahasa Lise disebut ngoka woro. 

Ngoka woro di Lise biasanya  berlangsung pada musim kemarau, mulai bulan Agustus hingga Oktober dalam tahun berjalan. Ngoka woro melibatkan beberapa keluarga. Mereka bergotong-royong membendung dan mengeringkan alur sungai (Ra'a). Hasilnya dibagi secara adil. Tentu saja pemilik Ra'a akan mendapat porsi lebih besar. Di kampung Mulawatu misalnya, kami mengenal beberapa pemilik alur sungai atau Ra'a seperti Ra'a Dawa (pemiliknya bernama Dawa), Ra'a Dosi, Ra'a Rangga Rega,  Ra'a Nggubhu Nggai dan sebagainya.  Sudah menjadi konvensi bahwa sepanjang alur sungai itu ada pemiliknya. Tapi ada pula lokasi tertentu yang milik umum, artinya siapa saja boleh mengambil hasilnya. *

"Kembali" ke Kupang


bildad11.jpg


IKAN BAKAR — Menikmati ikan bakar di pantai Kupang (1997) bersama Bildad (paling kiri), Paul Bolla dan pasangannya, kemudian Ana Jukana, Peter A Rohi, dan Hans Christian Louk. Ikan termasuk murah di Kupang, terutama kalau kita mau beli langsung dari nelayan pas mereka naik dari laut. Ikan segar itu langsung dibersihkan dengan air laut, dibakar, disantap. Gurih sekali.

Buku Kiriman Dion

KAKA.. Ini be kirim buku 15 Tahun Pos Kupang. Baca sudah! Tapi jang bilang-bilang orang laen. Be cuma bawa beberapa sa untuk ketong pung teman yang perna di Kupang, na!”

ITULAH yang dibisikkan Dion Dosi Bata Putra, Pemimpin Redaksi Pos Kupang di sela-sela Rapat Kerja pimpinan koran-koran daerah Persda di Ciater, Subang, Jawa Barat, 5 Desember 2007. Ia merogoh ransel, mengeluarkan buku bersampul biru.

Saat membacanya kemudian, saya tersedot kembali ke Kupang. Kembali ke masa-masa belajar dari para guru, mulai dari Bildad sampai Pius Rengka. Dari pendeta Paul Bolla, sampai Pater Jan Menjang (alm). Dari Daniel Rattu sampai guru besar Damyan Godho, dan masih banyak nama lagi yang harus saya sebut dengan rasa hormat karena telah begitu bermurah hati membagikan ilmu mereka.

Saya teringat kembali ketika untuk pertama kali menjejakkan kaki di Pulau Karang itu pertengahan tahun 1995. Apa yang disaksikan lewat jendela pesawat, tanah tandus kecoklatan dengan tonjolan-tonjolan karang, jadi lebih nyata beberapa saat setalah mendarat di bandara El Tari.

Sepanjang perjalanan menuju kantor, Domu Warandoy dan Evi H Pello yang menjemput saya, menunjukkan tempat-tempat di kiri kanan jalan yang kami lalui. Aduh! Tak terbayangkan bagaimana sulitnya mengembangkan koran di tempat seperti ini. Tempat di mana beli dan baca koran entah jadi prioritas keberapa dalam kehidupan sehari-hari warganya.

Pertama terbit 1 Desember 1992, sampai saat itu (1995) Pos Kupang terbit teratur sebagai koran harian berformat tabloid delapan halaman. Ya, tabloid. Ya, cuma 8 halaman. Atau setara dengan selembar koran broadsheet! Dicetak hitam-putih, dengan logo POS KUPANG di kiri atas. Jadi, meskipun “setebal” delapan halaman, koran ini jadi tipis jika selesai dibaca langsung kita lipat-lipat, masuk saku.

Sekarang, setelah berusia 15 tahun, tentu saja Pos Kupang tidak seperti dulu lagi. Ia terbit dalam bentuk broadsheet 16 halaman, dengan empat halaman warna. Ia pun sudah melakukan cetak jarak jauh di Ende dan di Maumere (Flores) di seberang laut. Nah, buku kiriman Dion itu antara lain berkisah tentang jejak langkah perjalanan Pos Kupang.

Ada testimoni dari pada pelaku, maupun mantan pelaku (banyak yang sudah berhasil di berbagai bidang, baik di NTT maupun di ibu kota dan di daerah lain), dan lebih banyak lagi berisi telaah mengenai peran Pos Kupang pada berbagai sisi kehidupan masyarakat di provinsi itu. Tokoh masyarakat, ilmuwan, kaum rohaniwan, kalangan birokrat, mantan pejabat dan lain sebagainya menuliskan pandangan kritis mereka terhada surat kabar ini.

Dus, meski buku ini diterbitkan menandai 15 tahun surat kabar itu, ia terhindar dari kesan sebagai kecap dapur yang biasanya lebih banyak berisi puji-pujian atas diri sendiri. Ia sekaligus jadi referensi yang cukup bernas mengenai perkembangan pers dan perannya di dalam kehidupan masyarakat setempat.

Tapi, bagi saya, buku itu seakan membawa saya kembali ke Kupang. Melalui buku ini, saya “bertemu” lagi dengan para guru yang luar biasa gairahnya membangun koran di negeri kering dan serba minim. Saya “bertemu” lagi dengan Pius Rengka yang kata-katanya luar biasa tajam, kokoh, dan indah.

“Bertemu” lagi dengan Hans Ch Louk yang ramah, suaranya pelan dan seperti tak pernah punya marah, namun tulisan-tulisannya lugas dan menyentak. “Betemu” lagi dengan pak pendeta, Yulius O Lopo yang kini jadi direktur pemberitaan Top TV Papua. Kepada merekalah –tentu pula dengan Dion dan Om Damyan Godho yang jadi tokoh sentral Pos Kupang– saya belajar banyak bagaimana gairah, ruh, spirit, bahu-membahu untuk menjalankan sebuah niat, membangun koran. Dan, mereka berhasil.

di-bandung-nasi-pun-berpayung-kaka.jpg
Santap malam sebelum rapat kerja: “Ai Kaka… di Bandung, nasi pun berpayung ko?
***
SAYA masih ingat betul, bagaimana sulitnya merekrut tenaga wartawan. Ketika itu, Pos Kupang baru saja ditinggal “bedol desa” oleh sejumlah wartawan dan redakturnya yang ikut Valens Goa Doy yang diberi kepercayaan mengelola Berita Yuda versi baru. Belakangan, proyek Berita Yuda itu tak berlanjut.

Rekrutmen pertama, berhasil menghimpun kemudian menyaring calon wartawan. Empat orang! Kami melatihnya secara penuh, kelas dan lapangan. Sampai akhir masa pelatihan, tak ada satu pun yang memadai. Bisa dipaksakan, tapi akan menyiksa mereka sendiri dan mungkin mengganggu sistem. Maka, buka lagi rekrutmen. Hasilnya, nihil lagi.

Toh, akhirnya dapat juga. Itu setelah berlangsung rekrutmen “ronde” ketiga. Dari sejumlah pelamar yang masuk dan lulus testing, kali ini tampak bibit-bibit yang sangat potensial. Dan terbukti, sebagian di antara mereka kini menduduki posisi-posisi penting di Pos Kupang. Satu dua lainnya, juga jadi tokoh jurnalis di luar Pos Kupang.

Itu dari satu sisi, SDM. Sisi lain, infrastruktur, jalur distribusi, persebaran penduduk di puluhan pulau, adalah tantangan lain yang hanya akan bisa diterobos dengan gairah yang dimiliki para awak Pos Kupang. Jika tidak, koran itu mungkin kini tinggal nama, bukan lagi jadi satu pilar yang kokoh dalam kehidupan demokrasi dan bisnis di NTT sebagaimana sosoknya yang tampak hari-hari ini.

Sebelum belajar ke Pos Kupang, saya sudah “sekolah” di Bandung (Bandung Pos, Mingguan Pelajar, Salam, dan kemudian Mandala – saat koran ini digandeng Kelompok Kompas-Gramedia), di Yogya (Bernas), di Palembang (Sriwijaya Post). Sarana, fasilitas dan infrastruktur di koran-koran itu boleh dibilang termasuk sederhana untuk ukuran sebuah industri koran di Jawa dan Sumatera saat itu. Tapi, begitu masuk ke Pos Kupang, saya seperti sedang menyaksikan dan ikut dalam sebuah gegar tekonologi (jika istilah ini ada).

Sampai pada proses pracetak, infrastruktur Pos Kupang tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang digunakan di Bernas. Tapi begitu masuk proses cetak, ya ampun. Saya seperti terlontar ke masa silam. Masa sekitar tahun 70-an, manakala saya sering ngintil paman saya mengantarkan naskah untuk korannya ke percetakan Ganaco NV di Bandung. Itu pun, mesinnya sudah agak lebih “modern” dibanding dengan yang digunakan Pos Kupang.

Sebagai ilustrasi, untuk mencetak 3000-4000 Pos Kupang saat itu, kami membutuhkan waktu antara 6-7 jam! Selain mesin, puluhan orang –tetangga sekitar– juga terlibat dalam penerbitan surat kabar ini. Tiap pagi, mulai pukul 03.00 belasan orang berderet di meja lipat di sisi lain percetakan. Ya, mereka jadi juru lipat dan juru sisip koran tabloid “setebal” delapan halaman itu!

Itu jika mesin tidak ngadat. Namanya mesin sepuh yang “berpengalaman” panjang, tentu pula acapkali macet. Ada saja gangguannya. Sampai-sampai pernah Om Damy meminta khusus pastor memberkati mesin itu. Menyembahyangi, kemudian memercikkan air suci.

Toh, mesin tak jua mau kompromi, sesekali penyakitnya datang lagi. Sampai sekali waktu, Om Damy mendatangkan paranormal untuk –jika ada– mengusir demit penyakit yang ngendon di itu mesin. Upacara pun digelar di lantai pelat baja sisi mesin. Potong ayam dan mengucurkan darahnya di lantai. Lalu ditaruhlah telur di atas genangan kecil darah itu. Beberapa saat kemudian, darah terserap entah ke mana!

Paranormal itu bermeditasi, merapal mantra, lalu bangkit bergerak ke arah mesin. Ia menunjuk sebuah titik hitam di sisi luar dinding mesin itu. Mengorek-ngoreknya sebentar, dan…. seperti ujung rambut, sepotong kawat mencuat. Ditariklah kawat itu, ternyata panjang. Seperti terkait ke suatu mekanisme di dalam mesin.
Dan ternyata, mesin itu tetap saja dengan sifat tuanya. Sesekali masih ngadat dan ogah mencetak. Jika sudah begini, tak ada jalan lain kecuali memindahkan cetakan ke Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) milik Deppen setempat.

Tapi, bagi saya, “pastor” maupun “pawang” mesin itu yang sesungguhnya adalah Ign Setya Mudya Rahartono (kini mengepalai unit cetak Pos Kupang). Putra Yogya inilah yang dengan telaten ngopeni mesin peninggalan zaman “purba” itu hingga mampu mengantar Pos Kupang menuju masa-masa kejayaan.

Tokoh lain yang menurut saya berperan besar adalah Bildad yang berhasil memegang kunci pengelolaan infrastruktur teknologi informatika Pos Kupang. Yang mengagumkan saya dari Bildad, adalah dia belajar secara otodidak mengenai IT. Pada masa itu, di Kupang belum ada lembaga, bahkan sebatas, kursus mengenai komputer/IT. Ilmu yang berhasil dikuasasinya ternyata menjadi tulangpunggung kelancaran proses kerja penerbitan surat kabar di Tanah Timor itu.

Selain  soal mesin dan keterbatasan infrasutrktur pendukung,  kertas juga jadi masalah utama, karena sangat tergantung pada pengriman dari Surabaya. Kapal pengirim, tergantung cuaca. Pernah sekali waktu, proses pracetak sudah rampung, tapi percetakan tak bisa bergerak karena kertas habis. Kiriman belum masuk karena kapal tertahan jauh dari pelabuhan. Belum bisa merapat.

Maka, menjelang tengah malam, Om Damy dan Domu melesat ke seantero pojok kota Kupang, menggedori toko yang menjual kertas ukuran plano. Dapat! Beberapa rim, cukup untuk oplaag hari itu. Mesin cetak pun bergerak. Dan hari itu Pos Kupang terbit warna warni. Kertasnya, yang warna warni! Ada yang warna telur-asin, hijau muda, kuning muda, putih, ada yang gabungan antara kertas putih dan warna lain!
Hebatnya, koran itu tetap laris dibeli orang!

***
borong-abis-na.jpg
ayo-foto-bersama-yang-melirik-nona-sendiri.jpg
Usai rapat kerja, 6 Desmber 2007, singgah ke Tribun Jabar. Ayo foto bersama! ajak Dion. Klik, dan di antara “kebersamaan” itu, cuma satu orang yang melirik ade nona! Hehehehehe…. Atas: Sempat pula pi pesiar sambil borong abis macam-macam barang. Saya diapit Dion dan Daud (Pemimpin Perusahaan Pos Kupang)
***
ITU cuma sekelumit dari gambaran nyata keadaan saat itu. Kini cerita itu tentu tinggal kenangan. Para kerabat kerja Pos Kupang telah mulai mereguk hasil kerja keras mereka yang tiada henti. Koran ini sudah mendarah daging dan jadi bagian hidup warga NTT, menjadi ruh informasi mereka, menjadi penerang, jadi penggerak opini publik, jadi pengontrol yang awas dan dipercaya.

Dion yang kini jadi pemimpin redaksi koran itu selalu bersemangat saat menceritakan, membandingkan dan menggugat, jika kami sedang rapat kerja, setidaknya setahun sekali. Keadaan sekarang, mungkin sudah jauh berubah. Setidaknya, sarana, fasilitas, dan infrastruktur pendukung, mungkin sudah lebih baik dibanding 12-15 tahun silam.

Tapi, tentu segalanya masih jauh tertinggal oleh perkembangan yang terjadi di daerah-daetah lain di luar NTT, terutama di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Toh Dion Cs tetap dalam spiritnya, tetap dalam gairah yang sama dengan saat-saat saya mulai berguru kepada mereka 12 tahun silam. Hebat!
Buku yang dihadiahkannya itu sedikit mengobati kerinduan saya untuk menghirup kembali udara Kupang. Setidaknya, lewat buku itu saya bertemu dan “mendengar ” pembicaraan mereka, tidak saja mengenai Pos Kupang, melaikan mengenai hal-hal lain yang ingin saya ketahui dalam konteks kekinian.

Terimakasih, Dion. Terimakasih Om Damyan Godho. Terimkasih para guru besar saya di Kupang !! **
orang-bandung-makan-daun-ko.jpg
“Orang Bandung cuma makan daun ko, Kaka?”

Sejarah Pers di Nusa Tenggara Timur

KALAU kita membolak-balik buku-buku sejarah pers nasional, mulai dari zaman kolonial sampai era Orde Baru, nyaris tidak disinggung tentang pers Nusa Tenggara Timur. Yang ada hanya sejarah pers di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan di Maluku (Ternate).

Dari ketiadaan informasi ini, orang bisa saja berkesimpulan bahwa tidak ada pers di NTT pada masa itu. Tidak terlalu salah kesimpulan itu. Tetapi, coba kita sedikit memperluas penelitian kita. Artinya, tidak hanya berpusat pada dokumen-dokumen atau buku-buku yang diterbitkan oleh negara atau lembaga swasta nasional.

Cobalah menelusuri sejarah perkembangan gereja di wilayah ini. Mengejutkan, gereja yang sudah masuk ke wilayah ini sejak masa kolonial memiliki dokumentasi yang lengkap mengenai berbagai hal yang terjadi, termasuk kehidupan pers di daerah ini.

Hanya memang harus diakui, penerbitan pers di NTT sejak masa kolonial secara nasional dilihat sebagai pers golongan. Jelasnya, pers yang berhaluan Kristen (Katolik). Media-media tersebut terbit sebagai sarana pewartaan gereja. Pemimpinnya hampir semua dari lembaga gereja.
Kendati demikian, dalam prakteknya tidak semata-mata hal-hal berbau gereja yang menjadi subyek pemberitaannya. Hal-hal umum berkaitan dengan kepentingan profan masyarakat pun menjadi perhatiannya.

Sejak masa kolonial masyarakat NTT sudah bisa membaca koran karena gereja pada waktu itu sudah mendirikan sekolah-sekolah. Di Larantuka sekolah putra dibuka pertama kali pada tahun 1862 diikuti sekolah putri pada tahun 1879. Di Maumere sekolah putra pertama dibuka tahun 1875, diikuti sekolah putri pada tahun 1882. Di Lela sekolah putra pertama tahun 1897 dan sekolah putri 1899. Di Ndona (Ende) sekolah putra dibangun pertama kali pada tahun 1915 dan sekolah putri 1920. Di Todabelu (Ngada) sekolah putra pertama dibangun tahun 1921 dan sekolah putri 1931. Di Ruteng sekolah putra pertama tahun 1921 dan sekolah putri tahun 1943.

Di Lahurus (Belu-Timor) sekolah pertama tahun 1890 dan sekolah putri tahun 1921. Sekolah-sekolah ini antara lain mendidik masyarakat lokal untuk bisa membaca.
Karena itu, sebenarnya tidak ada alasan bagi pers nasional untuk mengabaikan fakta sejarah ini.

***
MAJALAH pertama Bintang Timoer terbit di Ende pada tahun 1925, dengan sub-judul: Soerat Boelanan Katolik yang Bergambar. Majalah ini diterbitkan oleh Serikat Sabda Allah (SVD/Societas Verbi Divini). Ukurannya 19 x 26,5 cm, tebal 16 halaman, bergambar dengan kulit khusus.

Majalah ini memberitakan pokok-pokok keagamaan, masalah-masalah pertanian, pendidikan, keluarga, dan sebagainya. Juga berita-berita daerah dan internasional. Alamat redaksinya: R.K. Missie, Lela-Maumere, di bawah pimpinan P. Fries, SVD, kemudian dilanjutkan oleh P. F. Cornelissen, SVD.

Selama beberapa tahun Bintang Timoer dicetak di Percetakan Kanisius Yogyakarta (mulai 1925). Tapi, sejak tahun 1928 dicetak di Percetakan Arnoldus Ende. Percetakan ini pun milik SVD Ende.

Majalah Bintang Timoer tidak terbit lagi sejak Juni 1937. Faktor-faktor penyebabnya terutama kurangnya minat masyarakat dan sumbangan finansial. Sejak itu sampai dengan Indonesia merdeka nyaris tidak ada penerbitan di NTT.

Baru sesudah Perang Dunia II (1942-1945) diterbitkan dua mingguan Bentara dalam tahun 1946. Ukurannya, 25 x 32 cm, tebal 8 halaman, bergambar, tanpa kulit. Secara garis besar isinya sama seperti Bintang Timoer. Tapi, dalam perkembangannya muncul banyak tulisan mengenai perkembangan negara dan kehidupan masyarakat umum, di samping tulisan-tulisan bersifat agama (renungan-renungan).

Bersamaan dengan terbitnya Bintang Timoer, tahun 1925 terbit dalam bahasa Sikka majalah bulanan Kristus Ratu Itang. Ukurannya, 21 x 14,8 cm. Isinya, soal-soal agama, pokok-pokok sosial ekonomi, pendidikan, budaya dan sebagainya, berita-berita daerah dan juga dunia internasional. KRI lenyap bulan Desember 1938.

Pada tahun 1950-an, terbit majalah Bentara, yang dipimpin P. A. Conterius, SVD, kemudian oleh P. Markus Malar, SVD, dan akhirnya oleh Frans Tan. Sempat mencapai oplah 3.300, Bentara terbit sampai 1959, tak lama setelah terbentuknya Propinsi NTT dan sejumlah kabupaten pada akhir 1958.

Sejalan dengan Bentara diterbitkan majalah bulanan untuk anak-anak, Anak Bentara. Ukurannya, 21 x 14,8 cm, tebal 16 halaman, dihiasi gambar-gambar. Peredarannya mencakup seluruh Indonesia dengan oplah 35.000. Yang banyak berjasa untuk Anak Bentara adalah P. G. Kramer, SVD bersama para siswa Seminari Mataloko. Sejak tahun 1961 Anak Bentara tidak terbit lagi.

Untuk para guru diterbitkan, majalah Pandu Pendidikan sejalan dengan sistem pendidikan Sekolah Pembangunan yang dicetuskan Menteri P dan K waktu, Mashuri. Pemimpin redaksinya berturut-turut, P. Cornelissen, P. Swinkels, P. Lambert Lame Uran. Pandu Pendidikan terbit sampai tahun 1959.

Menjelang pemberontakan Permesta pada tahun 1956/1957, di Ende terbit sebuah majalah Gelisah. Majalah ini dicetak di Percetakan Arnoldus Ende. Bagaimana kelanjutannya dan kapan berakhirnya tidak diketahui. Hampir pasti majalah itu berjalan tidak sampai tahun 1960.
Pada tahun 1960 terbit pula beberapa majalah yang berumur singkat: Ekonomi, Sebuk, Muda Katolik, Serbukin, Pemuda Penjaga (dari Manggarai). Untuk Flores, pemerintah daerah Flores menerbitkan Zaman Baru dan Sinar Sembilan.

Pada tahun 1960-an Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Comite Daerah Besar (CDB) menerbitkan Mingguan Pelopor di Kupang. Pelopor lahir mengikuti Instruksi Presiden ketika itu, supaya setiap partai politik memiliki terbitan sendiri. Mingguan Pelopor terbit dalam bentuk stensilan setebal 12 halaman, karena waktu itu belum ada percetakan di Kupang. Pelopor berhenti terbit pada tahun 1965, sejak penumpasan G30S/PKI.

Untuk mengimbangi Pelopor waktu itu, Petrus Kanisius Pari selaku aktivis Pemuda Katolik menerbitkan Mingguan Pos Kupang pada tahun 1962. Kopnya dicetak di Percetakan Nusa Cendana, selebihnya dalam bentuk stensilan. Majalah ini hanya terbit selama beberapa bulan.
Selanjutnya, pada tahun 1965, Kanis Pari menerbitkan Mingguan Kompas dalam bentuk stensilan. Tapi, umurnya cuma tiga bulan karena tidak mengantongi surat izin terbit (SIT) sendiri. Dia hanya menggunakan izin terbit Harian Kompas Jakarta. Pada akhir tahun 1965, Mingguan Kompas tidak terbit lagi.

SKM Dian

Sejak lahirnya Orde Baru yang sarat dengan tuntutan pembangunan, NTT praktis ketiadaan surat kabar. Informasi terutama berkaitan dengan pembangunan sepi. Terdorong oleh situasi demikian, maka pada tanggal 24 Oktober 1973 surat kabar Dian terbit berdasarkan Surat Izin Terbit (SIT) yang diperoleh melalui Keputusan Menteri Penerangan RI No.
01455/SK/DIRJEN-PG/SIT/1973, tanggal 6 Agustus 1973. Pada waktu itu Dian terbit sebagai majalah dua mingguan dengan ukuran 21 X 29 cm, setebal 12 halaman dan oplah 6.000 eksemplar. Pemimpin umum/pemimpin redaksinya, P. Alex Beding, SVD.

Dian diterbitkan oleh Yayasan St. Paulus di Ende, sebuah badan hukum milik Serikat Sabda Allah (SVD), yang bergerak di berbagai bidang kerasulan serikat tersebut, termasuk kerasulan komunikasi.

Sebagai sebuah surat kabar, Dian mempunyai visi sebagai pedoman bagi arah perjuangannya. Visi itu termaktub dalam motonya Membangun Manusia Pembangun. Dengan motto ini Dian menawarkan dirinya sebagai salah satu agen pembangunan (change agent) sumber daya manusia dalam lingkup pembacanya sekaligus agen pembangunan fisik dan sumber daya alam dalam lingkungan penyebarannya.

Sesuai dengan moto di atas dan searah dengan tujuan pers Indonesia sebagai alat perjuangan nasional dan media yang bersifat aktif, dinamis, kreatif, informatoris dan mempunyai fungsi kemasyarakatan sebagai pendorong dan pemupuk daya pikir kritis dan progresif yang meliputi segala perwujudan kehidupan masyarakat, Dian terbit sebagai upaya gereja setempat (dalam hal ini Serikat Sabda Allah--SVD) untuk melibatkan diri secara langsung dalam upaya pembangunan mental-rohani dan ekonomi masyarakat pembacanya.

Selain itu, Dian secara sadar hadir sebagai alat kontrol sosial dalam upaya pembangunan sikap politik sesuai dengan asas dan semangat Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila demi penegakan hukum, kebenaran dan keadilan serta perdamaian.

Singkatnya, Dian bertujuan untuk menjadi partner pemerintah dan gereja dalam upaya meningkatkan mutu hidup manusia menuju pembangunan manusia seutuhnya (integral human development).

Dalam kerangka itu sejak awal Dian sudah secara konsisten menyebarkan informasi-informasi yang berdampak positif bagi pembangunan manusia seutuhnya itu, yang meliputi bidang politik, ekonomi, keagamaan, hukum, keamanan dan ketertiban, keadilan dan perdamaian, serta hak dan tanggung jawab manusia sebagai warga suatu bangsa dan negara, termasuk tanggung jawab di bidang IPTEK.

Setelah sekian tahun diterbitkan oleh Yayasan St. Paulus, pada tahun 1986 penerbitannya dialihkan kepada Yayasan Dian yang juga mengelola majalah bulanan untuk anak-anak, Kunang-Kunang. Pada akhir tahun 1986, Dian maju selangkah lagi. Ia mulai terbit berdasarkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) No. 218/SK/Menpen/SIUPP/B.1/1986, tertanggal 2 Desember 1986. Oleh karena itu, Dian merasa perlu mengubah bentuk dan wajahnya. Sejak Januari 1987, Majalah Dua Mingguan Dian berubah menjadi Surat Kabar Mingguan (SKM) Dian dalam bentuk tabloid berukuran 29,5 X 43 cm, setebal 12 halaman. Sejak saat itu, SKM Dian selalu terbit secara teratur sekali seminggu. Dalam setahun sesuai dengan jadwal, Dian selalu berhasil terbit sebanyak 48 nomor (edisi). Pada pertengahan tahun 1993, SKM Dian terbit dengan 16 halaman. Tetapi sejak minggu terakhir Juli 1995, akibat melonjaknya harga kertas, Dian kembali terbit dengan 12 halaman.

Dian senantiasa bekerja sama dengan pemerintah dalam upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya. Sikap ini mendapat tanggapan positif dari pemerintah karena pada dasarnya pers merupakan sarana pemerintah dalam menyebarluaskan berbagai gagasan pembangunan.
Pada tahun 1986, Dian dipercayakan oleh pemerintah RI untuk terlibat dalam program nasional Koran Masuk Desa (KMD) dengan tujuan utama membangun dan mengembangkan masyarakat desa lewat jasa pers.

Program KMD ini terwujud dalam bentuk penerbitan lembaran khusus sebanyak empat halaman yang diterbitkan sebagai suplemen dengan kop Dian untuk Desa. Lewat program ini misi Dian untuk membangun manusia pembangun semakin dipertajam oleh  penyebaran berbagai informasi pembangunan lewat rubrik-rubrik pedesaannya, seperti teknologi tepat guna, kampanye lingkungan sehat, pendidikan keterampilan dan sebagainya.

Sejalan dengan tujuan Dian, sasaran misi Dian adalah masyarakat desa yang terdiri dari petani/nelayan dan para pejabat desa. Sasaran lain adalah kaum muda yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, dan pemuda remaja lepas sekolah. Kecuali itu, juga para pengusaha kecil dan wiraswasta, para guru dan pegawai dan terutama pemerintah sebagai agen pembangunan dalam jalur formal. Semua pembaca tersebut tersebar di seluruh wilayah NTT dan di tempat-tempat di mana terdapat orang-orang asal NTT. Oplah Dian sempat mencapai 7500 eksemplar per edisinya.

Posisi Dian mulai tergeser sejak lembaga yang sama menerbitkan Harian Flores Pos pada tanggal 9 September 1999, berdasarkan SIUPP No. 169/SK/Menpen/SIUPP/1999, tanggal 19 Agustus 1999. Dian yang biasanya terbit pada setiap hari Jumat bergeser ke hari Minggu sampai sekarang. Penampilan dan penyajiannya pun banyak berubah, nyaris menjadi edisi Minggu-nya Harian Flores Pos. Bedanya hanya ada kop Dian.

Terbitan lain SVD adalah Berita Regio Ende (BRE), Pastoralia dan Vox (Seminari Tinggi Ledalero). Pada tahun 173, Keuskupan Agung Ende juga menerbitkan Penyalur Berita Dioses. Sementara Keuskupan Larantuka menerbitkan Warta Dioses Larantuka.
Mingguan Kupang Post

Atas dorongan Gubernur NTT El Tari, pada tanggal 5 Desember 1977 terbit Mingguan Kupang Post di Kupang. Dicetak di Percetakan Arnoldus Ende setebal empat halaman. Isinya menyangkut hal-hal umum berkaitan dengan kebijakan pemerintah daerah dan kepentingan masyarakat. Kupang Post terbit atas rekomendasi Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Penerangan (Deppen) NTT dan surat izin terbit (SIT) dari Menteri Penerangan RI. Pemimpin redaksinya Damyan Godho yang pada waktu itu juga wartawan Harian Kompas Jakarta untuk wilayah NTT.

Ketika Damyan berhenti sebagai Pemred pada tahun 1978, pengelolaan Kupang Post diteruskan oleh Kanwil Deppen NTT. Namun karena pengelolaan yang tidak profesional, Kupang Post berhenti terbit sekitar tahun 1983/1984.

Pada tahun 1980-an, Yayasan Karya Sosial (YKS) Maumere menerbitkan Majalah Duta Masyarakat sampai awal 1990-an. Sementara di Kupang, sejak matinya Kupang Post, nyaris tidak ada terbitan. Masyarakat hanya bisa membaca Majalah Dian dan sejumlah surat kabar harian terbitan Jakarta, seperti Kompas, Suara Karya, Sinar Harapan, Media Indonesia, Majalah Tempo, Mingguan Hidup dan Bali Post. Media-media ini juga menempatkan wartawannya di NTT, yang secara rutin mengirim berita-berita menyangkut NTT ke kantor redaksinya.
Kendati demikian, pemerintah senantiasa mendorong supaya ada media cetak lokal di Kupang. Maka, pada tahun 1987 Menteri Penerangan RI Harmoko mendirikan Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Kupang. Maksudnya, untuk mendorong tumbuhnya media cetak lokal di Kupang. Harmoko bahkan sempat mendorong Damyan Godho, namun hal itu tidak segera terwujud karena terbatasnya modal dan wartawan.

Sampai pada tahun 1992, NTT tercatat sebagai salah satu dari enam propinsi yang belum memiliki media cetak harian. Karena itu Harmoko sekali lagi mendorong Damyan Godho dengan memberi kemudahan memperoleh SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), sehingga terbitlah Harian Pos Kupang pada tanggal 1 Desember 1992. Harian Pos Kupang didirikan bersama oleh Damyan Godho, Valens Goa Doi dan Rudolf Nggai, berdasarkan SIUPP No: 282/SK/Menpen/SIUPP/A.6/1992, tanggal 6 Oktober 1992.

Sejak itu ketiga orang ini mulai mengumpulkan orang-orang NTT, baik untuk menjadi wartawan maupun menjadi pengelola bisnisnya. Harian Pos Kupang tercatat sebagai harian pertama dalam sejarah NTT dengan peredaran menjangkau semua kabupaten yang ada.

Untuk mengatasi kesulitan distribusi akibat kondisi NTT sebagai daerah kepulauan, pada tahun 1998 Pos Kupang melaksanakan cetak jarak jauh di Percetakan Arnoldus Ende untuk melayani pembaca di seluruh Flores dan Lembata. Namun pada tahun 2000, Pos Kupang berhenti cetak jarak jauh di Ende lalu mulai dengan cetak jarak jauh di Maumere menggunakan mesin cetak sendiri. Hal yang sama dilakukan di Ruteng sejak November 2003 sampai sekarang, untuk melayani pembaca di Manggarai, Manggarai Barat dan Ngada. Sejak tahun 1997, Pos Kupang juga menjadi media elektronik yang bisa dibaca melalui internet di seluruh dunia.

Krisis ekonomi pada tahun 1997 menjadi tantangan tersendiri bagi Pos Kupang. Kenaikan harga material cetak yang sangat tajam ketika itu sempat membuat Pos Kupang seperti kapal yang sedang dihempas gelombang hebat. Tapi, Pos Kupang berhasil melewati tantangan itu, bahkan boleh dibilang tantangan membuat Pos Kupang semakin matang. Pos Kupang semakin maju. Pada tahun 2006 Pos Kupang menerima penghargaan sebagai salah satu dari 10 koran terbaik nasional pada tahun 2005 menurut penilaian Dewan Pers.

***
Eforia yang dialami sebagian besar masyarakat Indonesia sejak kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998 juga dialami pers. Terlebih setelah Menteri Penerangan Junus Josfiah mencabut semua ketentuan era Orde Baru yang menghambat kebebasan pers, diikuti pengesahan Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers.

Meskipun negara sedang dilanda krisis ekonomi, gairah masyarakat untuk mendirikan penerbitan pers tidak surut. Hanya dalam dua pekan sejak ketentuan baru diberlakukan, Deppen sudah mengeluarkan 20 SIUPP baru. Hingga tanggal 15 April 1999 jumlah SIUPP baru meningkat lagi menjadi 852, selanjutnya terus meningkat hingga ribuan penerbitan.

Eforia itu juga menggerakkan orang-orang di NTT untuk mendirikan penerbitan pers. Pada tanggal 29 April 1999, sejumlah wartawan yang hengkang dari Harian Pos Kupang mulai menerbitkan Harian Umum Surya Timor di Kupang. Tebalnya 12 halaman. Eforia reformasi mewarnai kehadiran media ini. Selain terungkap dalam motonya, Suara Masyarakat Indonesia Baru, juga terlihat dalam isi, gaya pemberitaan serta cara-cara memperoleh informasi yang benar-benar bebas.

Harian Surya Timor terbit berdasarkan SIUPP No:1114/SK/Menpen/SIUPP/1999, tanggal 23 Maret 1999. Pemimpin umumnya, Servatius Djaminta, pemimpin redaksi, Wens John Rumung, redaktur eksekutif, Alex Dungkal, dan redaktur pelaksana, Fredy Wahon.

Namun, segera pula terasa bahwa mengelola media baru di era reformasi tidak gampang. Baru berjalan dua tiga tahun Surya Timor tampaknya tidak bisa bertahan di Kupang. Sejumlah wartawan yang diandalkan pun hengkang. Pada tahun 2001, redaksi Surya Timor pindah ke Maumere, Kabupaten Sikka. Namanya pun berubah menjadi Surya Flores, kemudian pindah lagi ke Ruteng, Kabupaten Manggarai. Sekarang Surya Timor/Surya Flores tinggal nama.

Pada saat yang bersamaan Harian Pos Kupang menerbitkan tabloid mingguan Kompak. Tapi juga tidak bertahan lama. Orang-orang yang hengkang dari Surya Timor kemudian ada yang mendirikan Harian Independen NTT Ekspres, ada juga yang mendirikan Harian Suara Timor dan Metro Kupang. NTT Ekspres terbit berdasarkan SIUPP No: 1563/SK/MENPEN/SIUPP/1999, tanggal 3 Agustus 1999, dengan moto, Aktual, akurat dan tuntas berlandaskan kasih. NTT Ekspres diterbitkan oleh Yayasan Lentera Kehidupan. Pemimpin umumnya, Ir. Alex Foenay, pemimpin redaksi: Hans Christian Louk, pemimpin perusahaan, Decky Budianto, redaktur pelaksana, Paul Bolla, dan manajer produksi, Anna Djukana. Terbit dengan 12 halaman tujuh kolom, NTT Ekspres pun menghilang dari peredaran sekitar 2002/2003.

Pada tahun 1999 juga terbit Harian Sasando Pos. Pemimpin redaksinya Pius Rengka dan redaktur pelaksana Yos Lema. Harian ini coba tampil sebagai koran ekonomi bisnis di Kupang, tapi juga tidak bertahan. Dalam satu sampai dua tahun saja, Sasando Pos hilang dari peredaran.
Pada tahun 2000 terbit Harian Umum Radar Timor di Kupang. Terdaftar di Pengadilan Negeri Kupang Nomor 65/AN/YS, tanggal 21 Agustus 2000. Motonya, kritis, objektif dan rasional. Pemimpin umumnya, H. Maria Pinto Soares, pemimpin redaksi Fredy Wahon. Terbit 12 halaman dengan ukuran tabloid. Kehadirannya cukup menyaingi Harian Pos Kupang, tetapi akhirnya menghilang sekitar tahun 2004/2005.

Beberapa staf redaksi yang hengkang dari Radar Timor mendirikan Harian Kupang News pada akhir 2003 atau awal 2004.

Pada tahun 2001/2002 terbit pula Harian Cendana Pos di Kupang. Pemimpin umumnya, Drs. Valentinus Seran, pemimpin redaksi, Cyriakus Kiik, dan koordinator liputan Yesayas Petruzs. Tapi tidak bertahan juga, lalu Cyriakus Kiik mendirikan Harian Suara Masyarakat sekaligus menjadi pemimpin redaksinya.

Ketika Harian NTT Ekspres menghilang pada akhir tahun 2002 atau awal tahun 2003, Ana Djukana langsung beralih dengan mendirikan Harian Kursor sekaligus bertindak sebagai pemimpin umum/pemimpin redaksinya. Kursor terdaftar di PN Kupang No. 1/AN/PMT/LGS/2003/PN Kupang, tanggal 21 Maret 2003, dan mulai terbit 1 April 2003. Kursor masih terbit hingga saat ini. Semboyannya, Untuk Keadilan dan Kesetaraan. Fokus pemberitaannya, Kota Kupang dan kesetaraan jender.

Pada pertengahan tahun 2003 juga di Kupang terbit Harian Pagi Timor Express (Jawa Pos Group). Timor Express terbit 16 halaman berwarna masing-masing pada halaman muka dan belakang. Pada tahun 2007, Timor Express merayakan hari ulang tahun (HUT) keempat dan tampaknya akan terus berkembang dan menjadi penyaing berat Harian Pos Kupang. Pemimpin redaksi/penanggung jawabnya, Yusak Riwu Rohi, dan redaktur pelaksana, Simon Petrus Nilli.
Masih banyak lagi media yang terbit pada masa reformasi. Selain harian, banyak juga yang terbit mingguan dan bulanan, baik di Kupang maupun di daerah-daerah.

Contohnya Mingguan Berita Rote Ndao Pos, yang terdaftar di PN Kupang No. 18/AN/YS/LGS/R001/PN.Kpg, tanggal 14 Maret 2001. Dicetak di PNRI Kupang, mingguan ini terbit mulai 2002 dan masih terbit sampai sekarang. Pemimpin redaksi/penanggung jawabnya, Kanis Mone SP, redaktur pelaksana, Mixcris Seubelan.

Juga pernah terbit tabloid mingguan Swara Lembata (cover depan berwarna) mulai 20 Desember 2001, setebal 12 halaman. Alamat redaksinya di Lewoleba, Kabupaten Lembata. Mulai April 2006 Swara Lembata tidak terbit lagi.

Media cetak lainnya adalah tabloid mingguan Flotim Pos/Asas, mingguan Suara Flobamora (Kupang), Duta Flobamora (Waingapu), Sinar Alor Pos (Kalabahi), Ngada Pos (Kupang), Udik (Kupang), Duta Flobamor (Kupang), Alor Pos (Kalabahi), Saksi (Kupang), Marturia (Kupang), Suara Selatan Daya (Kupang), Media Entete (Kupang), Sabana (Waikabubak), Global (Atambua), Buser Timur, Expo Lamaholot (Kupang), Belu Pos (Atambua), Gelora Info (SoE), Bentara (Kupang), Talenta (Kupang), Solusi (Kefamenanu), Lontar (Kupang), Delegasi (Lewoleba), Start Sport (Kupang), Asmara (Kupang), Wunang Pos (Waingapu), Media Info (Larantuka), Biinmaffo (Kefamenanu), Media Rakyat (Ruteng), Tamsis (Kupang), dan yang terakhir mingguan Spirit NTT, yang merupakan kerja sama Harian Pos Kupang dengan sejumlah Pemda di NTT.

Tabloid yang terbit mingguan di NTT umumya berumur pendek. Selain karena tidak didukung modal yang cukup kuat, media-media ini umumnya kalah bersaing atau kurang diminati pembaca. Setelah satu media berhenti terbit, personelnya menerbitkan media baru dengan pemodal yang baru pula.

Namun, satu hal positif yang bisa diambil dari muncul tenggelamnya usaha media cetak di NTT bahwa ternyata orang memiliki jiwa perintis dan minat besar dalam bidang pers. Semangat ini bukan hal baru dalam lintasan sejarah NTT. Hanya di masa lalu para perintis itu terbentur dengan keterbatasan fasilitas.

Tidak hanya di NTT, wartawan NTT juga banyak merintis penerbitan pers nasional. Gerson Poyk dikenal sebagai perintis berdirinya Harian Sinar Harapan pada tahun 1960-an sekaligus menjadi wartawan andalan. Drs. Frans Seda adalah orang yang berada di balik berdirinya Harian Umum Kompas. Aco Manafe, selain menjadi wartawan Sinar Harapan sejak tahun 1968, juga menjadi perintis berdirinya Harian Sore Suara Pembaruan tahun 1989.

NTT juga masih punya nama-nama seperti Petrus Kanisius Pari (Indonesia Raya, Penabur), Hendrik Ola Hadjon (Asas, terbit di Surabaya), Pius Karo (Harian Kompas), Damyan Godho (Kompas), Louis Taolin (Suara Karya), Marcel Weter Gobang (Suara Karya, Surya, Pos Kupang), Cypri Aoer (Suara Pembaruan).

Saat ini pun sejumlah orang NTT tampil sebagai pemimpin media-media terkemuka di Jakarta: Rikard Bagun (Kompas), Piter Gero (Kompas), Cyrilus Kerong (Bisnis Indonesia), Laurens Tato (Media Indonesia), Hermin Kleden (Tempo), , Claudius Boekan (Metro TV), dan masih banyak lagi.

Kehadiran media dan wartawan di NTT akan terus dibutuhkan untuk mendorong pembangunan. Harus diakui masih banyak keluhan mengenai kualitas wartawan di daerah ini. Menjadi tugas perusahaan media dan para wartawan sendiri untuk membenahi diri sehingga kualitasnya semakin baik.

Tidak hanya di media cetak, orang NTT pun harus mulai melirik media elektronik, seperti radio, televisi dan terlebih internet (media online). Media online diramalkan bakal menggeser posisi media cetak.Untuk itu, tidak ada cara untuk bisa menggapainya, selain belajar dan belajar.* (Agus Sape, wartawan Pos Kupang)

Daftar Pustaka
1. Suryomiharjo, Abdurrachman, dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Januari 2002.
2. Suranto, Hanif, dkk, Pers Indonesia Pasca Soeharto Setelah Tekanan Penguasa Melemah (Laporan Tahunan 1998/1999), LSPP dan AJI, 1999.
3. Haryanto, Ign dan Setiawan, HW, Pers Diterpa Krisis, AJI dan LSPP, April 1998.
4. Daros, Henri, Karya SVD di Bidang Komunikasi dalam Dalam Terang Pelayanan Sabda (Kenangan Tujuh Puluh Lima Tahun Karya SVD di Indonesia, Provinsi SVD Ende, 1990.
5. Sape, Agustinus, Ketidakadilan Dalam Perspektif 'Asal Omong' Dian (Skripsi), STFK Ledalero, 1996.
6. Godho, Damyan, wawancara, Kupang, 18 Juli 2007.
7. Embuiru, Dr. Herman, SVD, Menelusuri Pendidikan di NTT (Refleksi Sejarah dalam Perspektif Katolik) dalam Perspektif Pembangunan, Dinamika dan Tantangan Pembangunan Nusa Tenggara Timur, Yayasan Citra Insan Pembaru Kupang, 1994.


Sumber: Blog Agus Sape

Media Seharusnya Menjaga Rasa

ilustrasi
KELUARGA korban kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501 memprotes tayangan langsung yang dilakukan berbagai media saat serah terima jenazah di halaman Polda Jatim di Surabaya.

Hal itu disampaikan Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol. Awi Setiyono usai menerima keluhan dari keluarga korban terkait dengan adanya tayangan langsung saat serah terima jenazah dari tim identifikasi kepada keluarga korban.

"Mulai besok, kami harapkan kepada rekan media agar prosesi serah terima jenazah tidak perlu diliput. Hal ini karena keluarga korban merasa keberatan dan merupakan masalah pribadi, mari bersama kita hargai," kata Awi Setiyono dalam keterangan pers tentang AirAsia di Surabaya, Jumat (2/1/2015).

Ia berharap kepada sejumlah media nasional maupun media asing untuk menghargai "privasi" para keluarga korban yang keberatan dengan adanya tayangan langsung serah terima jenazah.

Sementara itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengimbau lembaga penyiaran agar berempati terhadap keluarga korban dalam peliputan kecelakaan pesawat AirAsia QZ 8501 dari Surabaya menuju Singapura.

"Lembaga penyiaran dalam peliputan yang melibatkan pihak-pihak yang terkena musibah wajib mempertimbangkan perasaan duka, dan kondisi psikologis keluarga korban," kata Komisioner KPI Pusat Bidang Pengawasan Isi Siaran Agatha Lily melalui surat elektroniknya yang diterima di Jakarta.

Pihaknya minta agar lembaga penyiaran tidak memaksa dan menekan keluarga korban untuk menjawab pertanyaan yang akan menambah rasa duka dan trauma, apalagi memaksa mengambil gambar kondisi keluarga yang sedang terpukul.

Agatha menegaskan bahwa Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran KPI secara jelas telah mengatur pedoman peliputan bencana yang wajib dipatuhi oleh seluruh lembaga penyiaran.

Bahkan, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengingatkan kembali stasiun televisi swasta di Tanah Air untuk mematuhi teguran keras dari KPI terkait pemberitaan mengenai jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501terutama terkait penayangan gambar jenazah korban secara vulgar.

"Teguran kan lebih keras dari peringatan. Lewat batas selangkah lagi kena sanksi yang lebih berat," katanya di kantor Wakil Presiden, Jakarta, 2 Januari.

Tiga media televisi mendapat teguran dari KPI terkait penayangan gambar jenazah korban AirAsia QZ8501 yang terapung di laut.

Menurut Rudiantara, media massa seharusnya memperhatikan etika dan kaidah-kaidah jurnalisme, terutama dalam pemberitaan yang terkait bencana.

Ia menampik bahwa teguran KPI hanya formalitas semata karena lembaga itu tidak bertaring. "KPI punya taring. Ada dua dalam hal ini, KPI dan Kemenkominfo. Dua-duanya harus jalan sama-sama. Bukan satu punya taring, satu tidak. Kita akan koordinasi terus bagaimana caranya untuk lebih mendisiplinkan industri media," tandas dia.

Meminta Maaf
Menkominfo Rudiantara meminta media untuk mematuhi etika jurnalistik dalam memberitakan musibah AirAsia QZ8501. Apabila merasa melanggar etika, menurut dia, sudah sepantasnya media yang bersangkutan meminta maaf.

"Saya minta agar mengikuti etika yang berkaitan dengan fungsi media. Media juga bukan hanya televisi, tapi juga cetak, online. Itu semuanya punya kode etik, ada Dewan Pers juga," katanya.

KPI telah mengeluarkan teguran tertulis kepada satu televisi swasta yang menayangkan gambar jenazah korban kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501 dalam proses evakuasi dengan kondisi mengapung di laut tanpa busana lengkap.

Selain itu, KPI memberi peringatan kepada satu televisi swasta lainnya, dan satu lembaga penyiaran publik atas tersiarnya gambar-gambar korban musibah jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501.

"KPI sudah mengeluarkan teguran lisan, dan tanggal 31 Desember suratnya sudah dikeluarkan oleh KPI. Dua teguran, dan satu peringatan tertuju untuk lembaga penyiaran swasta dan LPP (lembaga penyiaran publik)" kata Rudiantara.

Ketiganya dinilai terlalu vulgar menampilkan jasad korban yang sedang dalam proses evakuasi di laut, dalam kondisi yang tanpa proses editing atau proses blur yang tidak sempurna.

Atas teguran dan peringatan tersebut, menurut Rudi, salah satu televisi swasta telah menyampaikan permintaan maafnya.

Lembaga penyiaran swasta tersebut, kata Rudi, berjanji tidak mengulangi lagi kesalahan dalam penyiaran semacam itu. "Seharusnya jadi efek jera," ujar dia.

Sementara itu, KPI menyesalkan masih adanya stasiun televisi yang tidak mengindahkan imbauan KPI, dengan tetap menayangkan isi siaran yang tidak layak dipertontonkan.

Terkait pemberitaan mengenai musibah AirAsia tersebut, KPI menerima banyak pengaduan dan keberatan dari masyarakat atas tayangan di beberapa televisi yang meliput langsung proses evakuasi korban.

Pengaduan itu disampaikan langsung ke KPI, baik melalui SMS, email, media sosial, serta telepon.

Sumber: ANTARA
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes