Efek Tuan Rumah HPN bagi Nusa Tenggara Timur

Oleh Tony Kleden
Wakil Ketua Bidang Pendidikan PWI Provinsi NTT, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Majalah Kabar NTT

UNTUK apa  menjadi tuan rumah suatu even? Atau apa untungnya menjadi tuan rumah suatu hajatan, apalagi hajatan skala besar?

Data-data memperlihatkan begitu banyak untung yang bisa diraih  suatu daerah atau negara ketika menjadi tuan rumah sebuah even. Pada Piala Dunia Sepakbola, misalnya,  banyak negara berlomba-lomba menjadi tuan rumah, meski disadari begitu banyak uang yang harus digelontorkan menyiapkan banyak fasilitas untuk menjadi tuan rumah.

Brasil mengeluarkan dana sekitar 200 triliun rupiah memperbaiki dan membangun fasilitas penunjang ketika menjadi tuan rumah Piala Dunia Sepakbola 2014. Afrika Selatan harus menghabiskan 28 miliar rand  (1 rand = 1.100 rupiah) ketika tampil sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010. Dana sangat banyak dibutuhkan untuk menyiapkan berbagai fasilitas  yang perlu untuk mendukung sebagai tuan rumah.


Ketika Kupang menjadi tuan rumah  peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2011, banyak sekali orang yang ragu dan cemas. Entahkah Kupang  siap menjadi tuan rumah untuk even sebesar HPN? Apakah sarana dan fasilitasnya menunjang? Hotel-hotelnya cukup untuk menampung ribuan tamu dari seluruh Indonesia?

Sampai dengan tahun 2011, saat penyelenggaraan HPN Kupang, sarana penunjang seperti hotel, hall atau ruang pertemuan skala besar di Kupang masih bisa dihitung dengan jari. Hotel berbintang cuma dua, selebihnya hotel melati.  Hall atau aula untuk pertemuan skala besar masih sulit. Singkatnya, dilihat dari fasilitas penunjang Kupang sepertinya jauh dari harapan.

Itu sebabnya, pada rapat-rapat awal membahas persiapan menjadi tuan rumah, ada suara yang menolak Kupang menjadi tuan rumah HPN. Malu-malu saja, begitu pendapat segelintir orang.
Tetapi Pemda NTT sudah bertekad bulat. Kupang  harus jadi tuan rumah, apa pun yang terjadi dan seperti apa pun juga kondisinya. Panitia pelaksana dibentuk dan mulai bekerja. Fasilitas yang belum ada diadakan, yang kurang dan rusak diperbaiki. Maka banyak dana dialokasikan Pemda NTT untuk menyukseskan HPN Kupang. Masyarakat dari berbagai elemen dilibatkan.

Pengusaha hotel, pemilik restoran, gerai kerajinan dilibatkan untuk menyukseskan HPN Kupang.
Sejujurnya harus diakui bahwa sebelum diselenggarakan HPN Kupang, image tentang Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya tentang Kupang, masih minor. NTT miskin, terkebelakang, susah maju. Kupang sangat jauuhh.. Ada yang mengira Kupang lebih jauh dari Ambon jika dilihat dari Jakarta.

Gambaran, image miring seperti ini wajar dan masuk akal,  karena NTT, Kupang jarang tampil dan ditampilkan di pentas nasional. Kecuali sektor olahraga, khususnya yang berurusan dengan adu otot seperti tinju, kempo, karate dan atletik, NTT jarang berkibar di tingkat nasional.
HPN Kupang kemudian  dianggap sebagai saatnya menunjukkan kepada dunia luar bahwa NTT bisa, bahwa Kupang juga bisa menjadi tuan rumah. Ada target jangka  panjang yang ingin dicapai menjadi tuan rumah. Dengan kata lain, dengan serba keterbatasannya, Pemda NTT ingin menjadikan HPN Kupang sebagai kesempatan memperbaiki image, menaikkan pamor NTT di mata dunia luar dan menciptakan merek. Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya selalu mengingatkan, NTT boleh dibilang miskin, tetapi kalau sudah menjadi tuan rumah, jadilah tuan rumah yang baik. Jangan sekali-kali membuat tamu kecewa di Kupang.

Jika semangatnya seperti ini, maka targetnya adalah branding. Dalam ilmu pemasaran, merek itu sangat penting dan vital. Orang pemasaran menjadikan merek itu branding. Terjemahan lurusnya cap. Cap, itu sederhana sekali, tapi manfaatnya luar biasa. Ijazah seseorang tidak diakui kalau tidak ada cap. Semua surat penting baru resmi dan legal kalau ada cap.

Dengan cap atau merek itulah sesuatu dikenal. Para sales  menjual sebuah produk dari mereknya. Merek itu membentuk brand image. Dengan brand image itulah sesuatu produk dikenal, dicintai dan diminati.

Semua sabun mandi fungsinya sama, yakni membersihkan badan. Tetapi mana ada sabun mandi yang mampu mengalahkan lux? Pasta gigi, tak ada yang mampu menyaingi pepsodent.
Kerabat saya yang bekerja di Zaire punya cerita menarik. Di Zaire, Indonesia dikenal dari sabun giv. Sabun mandi ini kalah pamor dengan merek sabun mandi lain yang dianggap lebih berkelas seperti lux, dethol, lifebuoy, camay  di Indonesia. Tetapi giv sudah punya merek di Zaire.

Sepuluh tahun lalu, nokia menguasai pasaran handphone di jagat ini. Sekarang samsung mengambil alih. Kualitas produk, nokia lebih unggul. Yang tidak unggul dari nokia adalah lemahnya pencitraan yang menjatuhkan brand image-nya. Mereka yang menggunakan HP nokia dianggap `jadul', jaman dulu. Sebaliknya mereka yang menggunakan HP merek samsung dianggap pintar `jaim', jaga image.

Dilandasi semangat seperti itulah Kupang akhirnya menjadi tuan rumah HPN 2011 dengan segala kelebihan dan terutama kekurangannya. Kekurangan fasilitas diimbangi dengan pelayanan yang baik kepada semua tamu.  Ibu gubernur yang sekaligus sebagai Ketua Dekranasda NTT tak mau malu menjadi tuan rumah. Kepada semua tamu yang datang dihadiahi sarung tenun ikat khas daerah-daerah di NTT.

Boleh dibilang, HPN Kupang cukup bagus. Terbukti Presiden SBY dalam pidatonya pada HPN tahun berikutnya di Jambi tiga kali menyebut penyelenggaraan HPN Kupang sebagai HPN yang cukup berhasil. Pada HPN 2013 di Manado, sukses HPN Kupang masih disebut-sebut sejumlah rekan wartawan dari daerah lain.

Efek yang diperoleh
Pertanyaan penting selanjutnya, apa efek menjadi tuan rumah HPN di Kupang? Beberapa efek nyata bisa disebut. Pertama, perubahan luar biasa terjadi dengan pembangunan sejumlah fasilitas umum di Kupang pasca HPN 2011. Geliat pembangunan di Kupang sangat terasa dan terlihat di mana-mana. Ruko menghiasi jalan umum. Restoran  serba rasa dengan aneka menu menjamur. Hotel berbintang dan melati dibangun menjulang membelah angkasa.

Kedua, di  sektor transportasi udara. Arus manusia yang datang dan pergi melalui bandar udara meningkat tajam. Maskapai penerbangan menambah frekuensi terbang. Saat ini, jumlah penumpang yang datang dan pergi melalui Bandara El Tari Kupang sekitar 4000-5000 orang setiap hari. Jumlah ini belum termasuk bandara-bandara di Pulau Flores, khususnya Bandara Frans Seda di Maumere dan Bandara Komodo di Labuan Bajo.

Ketiga, pamor NTT meningkat. Setelah sukses menyelenggarakan HPN 2011, Kupang sepertinya kebanjiran order menjadi tuan rumah sejumlah even nasional dan internasional. Selain beberapa even olahraga nasional, even lain seperti Munas Gerakan Pramuka juga diadakan di Kupang. Teranyar Kupang menjadi tuan rumah Munas Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).

Kepercayaan menjadi tuan rumah sejumlah even ini tak lain berarti pamor NTT, khususnya Kota Kupang semakin terangkat. Tak ada lagi kekhawatiran menyelenggarakan even nasional, bahkan internasional di Kupang.  Kupang siap selalu manakala ditunjuk menjadi tuan rumah even-even nasional dan internasional.

Di balik ketiga efek yang sangat nyata ini, terdapat pertumbuhan ekonomi yang luar biasa.  Biar kecil, hampir semua sektor memperlihatkan geliat pertumbuhan yang luar biasa. Geliat pertumbuhan ini selanjutnya mendongkrak pendapatan masyarakat.  Dana miliaran rupiah yang dibelanjakan untuk menyukseskan HPN Kupang tidak sia-sia. Tentu dana yang dikeluarkan tahun 2011 adalah investasi jangka panjang yang ternyata sudah mulai terlihat manfaatnya di berbagai sektor.  Peningkatan arus manusia yang masuk ke Kupang langsung menggerakkan mata rantai ekonomi. Dari transportasi darat, belanja makan dan minum hingga cenderamata.

Bagi masyarakat, efek paling  terasa adalah meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya mendongkrak pendapatan. Tetapi bagi pemerintah, efek paling penting dari HPN Kupang adalah perbaikan image dan penciptaan brand image tentang NTT dan tentang Kupang.  Bahwa NTT tidak semiskin seperti yang tergambar selama ini. Bahwa orang NTT tidak sekasar seperti yang diperkirakan sekian lama. Bahwa NTT juga punya apa-apa untuk dibanggakan.

Belakangan brand image ini semakin penting dan urgen mengingat kerja sama  golden triangle (segitiga emas) antara Kupang-Darwin-Dili.  Sudah beberapa  pertemuan dalam kerangka segitiga emas digelar di Kupang. Pastilah, ke depan banyak program yang bisa digagas dan direncakan dalam kerja sama golden triangle ini.

Tiga tahun sudah Kupang mencatat sejarah sebagai tuan rumah peringatan Hari Pers Nasional. Lepas dari kekurangannya, Kupang telah menginvestasi banyak dana untuk kepentingan dan kebutuhan demi kemajuan NTT ke depan.  *

Sumber: Buku Geliat NTT, Jambi dan Bengkulu Pasca HPN. Diterbitkan PWI Pusat dan diluncurkan pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2015 di Batam, Kepri 9 Februari 2015.

Investasi di NTT Tumbuh Pesat Setelah HPN 2011

Oleh Laurensius Molan
Wakil Ketua Bidang Organisasi PWI Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kepala LKBN ANTARA Biro Kupang

PESONA Hari Pers Nasional (HPN) 2011 di Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 9 Februari 2011 agaknya masih melekat dalam ingatan setiap insan pers, masyarakat dan pemerintahan daerah setempat. Mengapa? Aura HPN 2011 saat itu, tidak hanya sekadar menghadirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  untuk membuka acara tersebut, tetapi kepala negara malah mengikutsertakan pula hampir sebagian besar menterinya serta para pengusaha papan atas untuk melihat dari dekat sosok NTT lewat HPN tersebut.

Kepala negara tidak hanya sekadar berkantor di Kupang selama tiga hari untuk mengendalikan pemerintahan dari atas wadas tanah karang, tetapi melakukan pula napak tilas dengan melakukan perjalanan darat dari Kupang menuju Atambua sejauh sekitar 400 kilometer, untuk mengenang masa mudanya sebagai prajurit TNI-AD ketika menjadi Komandan Batalyon Infanteri (Yonif) 744/Satya Yudha Bhakti (SYB), pasukan organik milik Kodam IX/Udayana.


Batalyon ini mencatat prestasi gemilang dalam operasi penumpasan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) di Timor Timur, ketika wilayah bekas jajahan Portugis dan bekas provinsi ke-27 Indonesia itu, masih menjadi bagian dari NKRI. Ketika Timor Timur memilih lepas dari Indonesia lewat referendum pada Agustus 1999, Batalyon kebanggaan ini tetap dipertahankan eksistensinya dan menjadi bagian dari pasukan organik Korem 161/Wirasakti Kupang.

Batalyon ini bermarkas di Atambua, ibu kota Kabupaten Belu dan di Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara dengan tugas permanen menjaga tapal batas negara dengan Timor Leste. Atas dasar inilah, Presiden SBY kemudian memilih jalan nostalgia dengan melakukan napak tilas dari Kupang ke Atambua untuk bersua dengan para prajurit TNI-AD dari Yonif 744/SYB di wilayah perbatasan RI-Timor Leste itu.

Dampak dari HPN 2011 di Kupang itu, tidak hanya membuat para pekerja pers di Nusa Tenggara Timur bangga, karena sukses dalam menyelenggarakannya serta menjadi model atau semacam studi banding bagi daerah lain di Indonesia yang bakal menjadi tuan rumah HPN, tetapi lebih dari itu, mengalirlah investasi ke daerah ini untuk membangun NTT yang sering dianekdotkan dengan sebutan Nasib Tidak Tentu atau Nanti Tuhan Tolong (NTT).

Data yang disuguhkan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) NTT memaparkan bahwa dalam kurun waktu 2011-2012, tercatat 103 investor asing menanamkan modalnya di NTT dengan nilai investasi sekitar Rp3 triliun. Bidang investasi yang digarap antara lain perhotelan, pertambangan umum dan pertambangan mangan serta kegiatan ekspor impor dengan menyerap sekitar 2.371 orang.

Sementara investasi dalam negeri (PMDN) hanya tercatat tujuh investor dengan nilai investasi sekitar Rp588 miliar. Lahan usaha mereka di sektor pemurnian mangan dan kehutanan. Sedang, total investasi untuk tahun 2013 hanya mencapai sekitar Rp50 miliar. Namun, pada 2014, jutru mengalami peningkatan yang sangat spektakuler.  

Saat ini, NTT menjadi incaran para penanam modal, baik PMA maupun PMDN. Hal ini terlihat dari tingkat pertumbuhan investasi yang cukup mendebarkan, yakni Rp2,9 triliun dari target yang ditetapkan BKPMD NTT hanya Rp2 triliun untuk tahun 2014.

"Pertumbuhan investasi tersebut menunjukkan bahwa iklim investasi di wilayah provinsi kepulauan ini cukup menjanjikan. Sarana dan prasarana penunjang investasi sudah cukup tersedia, tidak ada bentuk perizinan yang bertele-tele serta adanya kepastian hukum atas lahan untuk berinvestasi," kata Kepala BKPMD NTT Semuel Rebo.

Hal ini cukup terlihat jelas dengan geliat pembangunan di Kota Kupang sebagai ibu kota Provinsi NTT, seperti pembangunan rumah toko (Ruko) dan hotel-hotel berbintang. Hampir di semua sudut kota ini, para pemilik modal seakan berlomba untuk membangun ruko, hotel berbintang dan berbagai fasilitas umum lainnya, sehingga membuat wajah kota "karang" ini--sebutan khas untuk Kota Kupang--perlahan berubah menjadi kota modern.

Pesatnya pertumbuhan investasi tahun ini, dinilai cukup spektakuler karena total investasi pada tahun sebelumnya hanya mencapai Rp50 miliar. "Target kami tahun ini hanya Rp2 triliun, tetapi belum mencapai akhir 2014, nilai investasinya justru sudah melampaui target menjadi Rp2,9 triliun," kata Rebo menambahkan.

Menurut dia, investasi paling besar terjadi di sektor perhotelan yang menyebar di Kota Kupang dan Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat, sebagai pintu masuk utama ke Taman Nasional Komodo (TNK) yang telah ditetapkan sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia (New7wonders).

Investasi asing (PMA) dalam tahun ini berkonsentrasi pada 41 proyek, sedang investasi dalam negeri (PMDN) hanya berkonsentrasi pada 19 proyek dengan nilai investasi mendekati Rp1 triliun.

"Kepastian hukum dan keamanan serta kenyamanan merupakan syarat mutlak bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, termasuk di NTT," tambah Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia wilayah NTT Fredy Ongko Saputra.

Geliat pembangunan di Kota Kupang pasca HPN 2011 memang cukup terasa seperti dengan hadirnya hotel-hotel berbintang, yang ketika berlangsungnya HPN membuat panitia nasional dan lokal berdebar-debar, karena hotel berbintang di Kupang hanya Kristal dan Sasando, sementara sisanya adalah hotel kelas melati.

Hotel kelas melati yang jarang penghuninya, akhirnya di-book-ing pula oleh panitia untuk menampung para peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Ketua Umum PWI Pusat Margiono hanya bisa berseloroh..."fasilitas penginapan di Kota Kupang bukan sedikit jumlahnya, namun karena tamu undangannya terlalu banyak sampai akhirnya tidak bisa tertampung semuanya".

Meskipun demikian, para peserta merasa nyaman untuk mengikuti kegiatan tersebut sampai tuntas. Jika Kupang terpilih kembali menjadi tuan rumah, tampaknya tidak ada rasa khawatir lagi bagi panitia, karena fasilitas hotel berbintang sudah cukup banyak berdiri tegar di atas batu karang ini yang merupakan dampak dari pelaksanaan HPN 2011 di Kupang. *

Sumber: Buku Geliat NTT, Jambi dan Bengkulu Pasca HPN. Diterbitkan PWI Pusat dan diluncurkan pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2015 di Batam, Kepri 9 Februari 2015.

Wajah Kupang Berubah Secara Signifikan

Buku yang diluncurkan saat HPN 2015 di Batam
(Catatan mengenang HPN 2011)

Oleh Dion DB Putra
Ketua PWI Provinsi Nusa Tenggara Timur, Wartawan Harian Pos Kupang


SAYA menghabiskan waktu hampir enam jam saat pulang dari Manado ke Kupang hari itu,  Selasa 18 Desember 2012 atau dua hari sebelum Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merayakan Hari Ulang Tahunnya ke-54. Kabut tipis  dan renai gerimis menyelimuti Bandara Sam Ratulangi tatkala pesawat Lion Air  take off sekitar pukul 06.10 Wita menuju Surabaya dengan transit selama 25  menit di Bandara Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur.

Penerbangan Surabaya-Kupang berlangsung lebih nyaman lantaran cuaca siang itu lumayan cerah.  Bumi Kupang baru saja bermandikan hujan ketika Lion Air mendarat tak seberapa  mulus di run way Bandara El Tari sekitar pukul 14.50 Wita. Saya pulang untuk kesekian kalinya ke kota ini. Pulang untuk libur bersama keluarga setelah hari-hari menjalani penugasan di Harian Tribun Manado, salah satu Koran daerah  Grup Kompas Gramedia, kolega Harian Umum Pos Kupang.

Om Ali, sopir taksi langgananku batal menjemput karena mendadak ibunya sakit. Saya pilih taksi Om Sius menuju perumahan Lopo Indah Permai, Kolhua Kupang. Saat meninggalkan area parkir Bandara El Tari, Om Sius langsung berceloteh  tentang Hypermart, pasar modern pertama di  Kota Kupang yang  baru dibuka sehari sebelumnya. "Ramai sekali.  Orang Kupang  berbondong-bondong belanja, mungkin barang-barang di sana sudah habis dibeli," katanya sambil terkekeh.

Om Sius menyebut lokasi pasar modern tersebut berada  di Bundaran PU, kira-kira hanya  selemparan baru dari Jembatan Liliba Kupang. Rupanya Om Sius sengaja menunjukkan kepada saya karena dia memilih jalur itu sebelum memutar mobil taksi  ke arah Oebufu, Maulafa terus menuju ke perumahan  Kolhua.

Ketika melintas di bundaran PU mata saya  masih menangkap sisa-sisa pesta pembukaan Hypermart oleh Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya. Ada kerumunan spanduk dan umbul-umbul aneka rupa dan warna. Juga sampah yang belum seluruhnya disingkirkan.

Perasaan senang sekaligus bangga menghiasi batin. Luar biasa Kupang, kota tempatku menjalani hidup lebih dari 25 tahun terakhir. Kalau pasar modern telah masuk di ibu kota provinsi  ini berarti secara ekonomis Kupang bukanlah yang terletih geliat bisnisnya di antara ibu kota provinsi lain di ini negeri.

Sontak pikiranku melayang jauh ke awal tahun 2010. Suatu hari di penghujung April tahun itu,  ponselku bordering nyaring. Telepon masuk dari Hendri Ch Bangun, wartawan senior Harian Kompas yang sehari-hari menjabat Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

"Dion, kami baru selesai rapat pleno pengurus harian PWI Pusat. Dalam rapat tadi pimpinan PWI setuju kalau  peringatan Hari Pers Nasional tahun 2011 berlangsung di Kupang sebagaimana permintaan PWI  NTT tahun yang lalu. Apakah NTT siap? Tugasmu diskusikan segera dengan gubernur dan wakil gubernur serta pimpinan Dewan. Kami tunggu jawaban secepatnya. Kalau NTT tidak siap akan dialihkan ke daerah lain yang mau. Ini sudah antre Sulsel, Sulut dan Jambi bahkan Jatim. Saya tunggu kabar balik segera ya.." Klik! Sambungan telepon terputus.

NTT Pasti Bisa

Perasaaanku campur aduk. Provinsi NTT menjadi tuan rumah HPN, sebuah event akbar berskala nasional dengan tamu undangan lebih dari 1.000 orang?  Ah mengapa tidak? NTT pasti bisa kalau ada kemauan!  Saya ingat tahun 2003 ketika mengikuti Kongres PWI di Palangkaraya, Kalimantan Tengah untuk memilih kembali Drs. Tarman Azzam sebagai ketua umum PWI Pusat.

Akomodasi hotel di Palangkaraya minim amat, tetapi PWI Cabang setempat berani ambil tanggung jawab sebagai host. Saya bersama Bernard Tokan dan Aser Rihi Tugu, delegasi PWI  Cabang NTT kala itu, bahkan nginap di rumah penduduk karena keterbatasan hotel dan penginapan.  Selama tiga hari kami merepotkan mantan kepala stasiun RRI Kupang sekeluarga di Palangkaraya.

Fokus pikiran saya langsung tertuju ke gubernur, wakil gubernur dan pimpinan DPRD Provinsi NTT. Malam itu juga saya bersama anggota Dewan Kehormatan Daerah (DKD) PWI Cabang NTT, Damyan Godho serta Wakil Ketua Bidang Organisasi PWI NTT, Bernard Tokan bertemu Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya dan Wakil Gubernur, Ir. Esthon L Foenay, MSi di rumah jabatan gubernur di Jalan El Tari  Kupang.

Kebetulan saat itu gubernur dan wakil gubernur akan menggelar acara  dengan para tokoh agama. Sebelum menuju tempat acara di aula rumah jabatan, kami mencuri waktu bertemu kedua pasangan yang akur ini sekitar 15 menit.

Gubernur Frans Lebu Raya  terdiam sekitar dua menit setelah menyimak penjelasan saya soal keputusan PWI Pusat memilih NTT sebagai tuan rumah HPN 2011. Sambil menatap saya, dia berkata, "Kita harus siap. Kalau tidak sekarang kapan lagi. NTT pasti bisa." Jawaban singkat dan mantap. "Kita memang banyak keterbatasan, tetapi kalau terus berpikir soal keketerbatasan kita tidak akan pernah jadi tuan rumah event nasional. Saya setuju dengan Pak Gub. Kita pasti bisa jadi tuan rumah yang baik," kata Wagub Esthon Foenay. Plong sudah perasaan saya.

Baru sekitar 10 menit meninggalkan rumah jabatan gubernur malam itu di tengah hujan lebat, saya angkat ponsel. Memencet nomor Hendri Ch Bangun dan mengabarkan kepastian NTT siap jadi tuan rumah. "Wah, cepat sekali keputusannya. Oke Dion, ini tantangan sekaligus momentum emas bagi NTT mempromosikan dirinya di mata nasional," kata Hendri.

Tugas saya dan teman-teman Pengurus PWI Provinsi NTT selanjutnya adalah bertemu dengan pimpinan DPRD NTT kala itu, Drs. Ibrahim Agustinus Medah. Justru yang terjadi di luar prediksi. Bahkan sebelum kami temui secara resmi Medah yang membaca statement gubernur di media soal HPN, langsung menggelar jumpa pers dan menegaskan bahwa DPRD NTT mendukung penuh Kupang menjadi tuan rumah HPN 2011. "Sejauh kegiatan itu untuk masyarakat NTT, Dewan sebagai representasi dari 4,6 juta penduduk NTT pasti  mendukung," kata Medah seperti diberitakan Harian Pos Kupang hari Rabu, 16 Juni 2010 halaman 6.

Pengurus PWI secara resmi bertemu dengan pimpinan DPRD NTT pada tanggal 13 Juli 2010 di gedung Dewan, Jl. El Tari Kupang. Pengurus PWI NTT antara lain, Zacky W Fagih, Indra Alvian, Tony Kleden, Laurens Molan dan Bernard Tokan diterima pimpinan DPRD NTT, Nelson Matara dan LS Foenay. Sama seperti sikap Medah, Matara dan LS Foenay pun menyatakan  mendukung suksesnya HPN.

"DPRD NTT pasti setuju soal pengalokasian anggaran asal tidak melanggar rambu-rambu. Kami bangga karena PWI NTT sudah berjuang menyelenggarakan kegiatan nasional di NTT. DPRD akan memberikan dukungan penuh agar pelaksanaan HPN di Kupang bisa berjalan lancar dan sukses," kata Nelson Matara.

Persetujuan pimpinan tertinggi eksekutif dan legislatif di NTT merupakan jaminan event ini bakal sukses. Sekarang tinggal urusan operasional. Pertanyaan berikut adalah siapakah sosok yang pantas menjadi  ketua dan sekretaris Panitia Pelaksana HPN 2011 tingkat lokal NTT? Panitia Pusat bukan masalah karena itu otomatis ditekel pengurus pusat. Sebagai mantan aktivis mahasiswa yang  sarat pengalaman berorganisasi, Gubernur Frans Lebu Raya  dan Wagub Esthon Foenay paham dan tahu betul siapa orang yang tepat.

Pada bulan Agustus 2010 terbitlah SK Gubernur NTT tentang komposisi kepanitian HPN Kupang 2011. Ketua Panitia Pelaksana Ir. Andre W Koreh, MT (Kepala Dinas  PU Provinsi NTT)  dan Sekretaris Drs. Ary Moelyadi, MPd (Kepala Bidang Keolahragaan  Dinas PPO NTT). Secara pribadi saya mengenal baik figur Andre dan Ary. Cukup lama kami bekerja sama dalam kapasitas sebagai pengurus KONI Provinsi NTT. Itulah yang menguatkan saya dan pengurus PWI bahwa hajatan besar ini  dikelola orang yang tepat.

Komposisi kepanitian HPN Kupang 2011 merupakan gabungan unsur birokasi, pers, aktivis sosial dan relawan. Saya sebagai ketua PWI provinsi NTT adalah penanggungjawab bersama dengan Sekretaris Daerah. Gubernur, Wagub, Ketua DPRD NTT  serta Forum Pimpinan Daerah merupakan pelindung dan penasihat. Klop sudah! Tapi bukan tanpa soal. Melihat sosok birokrat dalam diri Andre Koreh dan Ary yang aktif dalam kepantian, ada ada teman-temanku sesama wartawan yang menyindir dengan memplesetkan HPN sebagai "Hari Pejabat Nasional, Hari Pemerintah Nasional". Andre dan Ary pun diganggu dengan pertanyaan macam- macam via SMS, telepon atau tatap muka langsung.

Saya pun tidak luput dari sasaran tembak. Selain lewat SMS, telepon atau bicara tatap muka,  komentar- komentar di jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook sungguh membuat kuping sempat panas. HPN Kupang dilukiskan sebagai gawenya PWI saja yang hanya menghabiskan uang daerah. Ketika mereka membaca rencana agenda penyambutan Presiden SBY dengan menghadirkan murid SD dan SMP di Kupang berdiri berjejer di sisi jalan dengan memegang bendara Merah Putih mini, itu dilukiskan sebagai  gaya Orba (Orde Baru).

Dalam hati saya tertegun. Apakah semua yang berbau Orde Baru itu buruk? Tidak tiap hari seorang Presiden RI datang ke kampong Nusa Tenggara Timur  ini. Anak-anak itu akan lama mengenang dalam benaknya bahwa pada masa bocah mereka berjejer di pinggir jalan menyambut SBY, Presiden Republik Indonesia. Siapa tahu di antara mereka kelak akan menjabat presiden atau pemimpin negeri ini dalam bidang yang lain. Tapi sudahlah.  Ini era Reformasi  Bung! Bahkan presiden dan kepresidenan bukan lagi person dan institusi yang imun kritik.  Bukan lagi lembaga yang nihil dari hujatan dan makian.

Saya sungguh tidak kaget dengan sindiran itu. Saya dan teman-teman pengurus PWI  Provinsi NTT sadar sepenuhnya bahwa hajatan besar selevel HPN pasti penuh warna. Bahkan ada beberapa rekan wartawan yang beritahu akan bikin demonstrasi. Kalau tidak mempertanyakan segala sesuatu itu bukan wartawan namanya. Maka sindiran dan ancaman bukan alasan bagi saya untuk marah apalagi putus asa. Kuanggap semua itu sebagai dinamika lumrah. Malah diramu secara positif sebagai pelecut semangat menyiapkan diri sebagai tuan rumah HPN yang baik. Kami  pun salut pada Bung Andre dan Ary, dua orang yang sudah berpengalaman dalam berorganisasi sehingga mereka tetap fokus.

Malam-malam yang panjang serta hari kerja ekstra mulai menyertai panitia HPN sejak bulan Oktober 2010.  Praktis hampir setiap hari selalu berkoordinasi antarseksi dan setiap minggu rapat pleno lengkap. Rapat-rapat secara bergantian dipimpin Bung Andre, saya  atau Ary. Bahkan banyak kali langsung dipimpin Sekda NTT, Frans Salem di Aula Setda NTT, lantai II Kantor Gubernur. Setiap seksi pun menggelar rapat sendiri mempersiapkan segala sesuatunya.

Venue untuk  acara puncak HPN pada 9 Februari 2011 yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan topik yang hangat. Berdasarkan hasil survei  panitia pusat, hanya ada dua tempat yang representatif di Kupang yang bisa menampung 700 hingga 1.000 orang yaitu GOR Flobamora atau Aula El Tari.  Dilema muncul tatkala melihat wajah GOR Flobamora  yang butuh dana besar untuk renovasi. Pilihan akhir jatuh pada Aula El Tari. Yang dibenahi hanya sistem akustiknya agar suara tidak berdengung lagi. Pembenahan akustik selesai tepat waktu. Aula El Tari dipercantik dan memang indah memanjakan mata.

Sejak awal Gubernur NTT,  Frans Lebu Raya menekankan satu hal penting. Di tengah berbagai keterbatasan,  NTT harus menjadi tuan rumah yang baik dan memberi perbedaan dengan tuan rumah HPN tahun-tahun sebelumnya. Berikan sesuatu yang berkesan dan lama diingat 1.000-an tamu yang datang pada HPN 2011 di Kupang.  Panitia pun menerjemahkan pesan itu melalui beberapa hal cara yang spesial dan belum pernah ada pada HPN sebelumnya. Sebut misalnya, menyiapkan tenaga Liaison Officer (LO) yang akan mendampingi delegasi dari 33 provinsi, duta besar negara sahabat serta mitra pers nasional dari dalam dan luar negeri.

Bung Dr Johny Lumba dari Universitas Kristen Artha  Wacana Kupang dan Sipri Seko bersama timnya sukses merekrut 70 putra- putri NTT sebagai LO. Mereka smart dan jadi penghubung yang mengesankan. Ada mahasiswa, mahasiswi. Ada pula dosen dan karyawan. Mereka itu minimal bisa berbahasa Inggris. Bahkan ada yang cakap berbahasa Jerman dan Prancis. Panitia HPN Kupang juga menyiapkan mobil untuk setiap delegasi, sesuatu yang belum pernah ada pada penyelenggaraan HPN terdahulu.

HPN Kupang akan lama dikenang peserta karena mereka disambut ramah sejak kedatangan di Bandara El Tari hingga  pulang dengan membawa sekian banyak souvenir khas NTT seperti patung Komodo, topi Ti'i Langga yang mirip Sombrero Meksiko, selendang tenun ikat, Sasando dan lainnya. Di Bandara El Tari saat kedatangan semua bagasi milik degelasi dari 33 provinsi diurus panitia. Dua nama patut saya sebut yaitu Ferdy Amatae dan Hermensen Ballo yang  bersama anggota timnya, sebagian besar atlet berbagai cabang olahraga di NTT,  sigap dan rapi mengurus semua bagasi tanpa komplain. Peserta HPN Kupang 2011 sungguh mendapat pelayanan istimewa.

Spirit Kebersamaan

Dana untuk HPN merupakan masalah krusial. Dalam banyak kesempatan berkomunikasi dengan pimpinan eksekutif dan legislatif kami selalu menggarisbawahi bahwa HPN Kupang jangan sampai menjadi beban bagi APBD Provinsi ataupun kabupaten dan kota di NTT. Mesti dicari cara yang bijaksana agar seluruh pembiayaan HPN bisa terkover dengan sumber bukan satu-satunya dari APBD.

Melalui diskusi, dialog dan debat yang tentu diwarnai beda pendapat akhirnya kami tiba pada satu kesimpulan yakni HPN Kupang 2011 bisa sukses jika putra-putri Flobamora menyatukan spirit kebersamaannya. Harus bakutopang dan bakubantu. Bahu-membahu. Beri kontribusi dari apa yang dimiliki. Gubernur Frans Lebu Raya dalam banyak kesempatan bertemu bupati, walikota, wakil rakyat NTT baik tingkat daerah serta pusat, pimpinan BUMD dan BUMN serta kalangan dunia usaha  memompakan spirit bakutopang itu.

Semangat "urunan" sungguh tercipta di HPN Kupang 2011. Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Setya Novanto  yang kini menjabat Ketua DPR RI, misalnya menyumbangkan baju tenunan bermotif NTT untuk 500  tamu undangan HPN termasuk buat Presiden  SBY, Ibu Negara Ani Yudhoyono serta para menteri Kabinet Indonesia Bersatu  jilid II dan  para duta besar negara sahabat. Setya Novanto melibatkan perancang busana kondang Oscar Lawalata dan timnya.

Wali Kota Kupang kala itu Drs. Daniel Adoe menanggung jamuan makan malam untuk seluruh peserta pada tanggal 7 Februari 2011, Bupati Rote Ndao Lens Haning menyumbang 250 buah topi Ti'ilangga sebagai souvenir, Bupati Kupang Ayub Titu Eki memberikan miniatur Sasando  sebagai buah tangan, Bank NTT, Bank BNI serta pimpinan perbankan di Kupang pun urunan memberikan bantuan sesuai kemampuan. Juga patut disebut peran ibu-ibu Dekranasda.  Ketua Dekranasda NTT, Ny. Lusia Adinda Lebu Raya bersama para ketua Dekranasda kabupaten dan kota se-NTT menyumbangkan selendang tenun ikat yang dikalungkan di leher sekitar 1.000 tamu saat tiba di Bandara El Tari mulai tanggal 6, 7 dan 8 Februari 2011, serta aneka makanan ringan khas NTT yang ditempatkan dalam sebuah tas rajutan untuk peserta HPN.

Kalangan dunia usaha  pun tak mau ketinggalan. Mereka menyumbang baliho, spanduk dan lainnya yang membuat semarak Kota Kupang selama rangkaian kegiatan HPN tanggal 4-11 Februari 2011. Dari momentum HPN Kupang 2011,  ada satu  best practise (praktek cerdas)  yang bisa dipetik yakni indahnya kebersamaan. NTT yang terbatas ini bisa menjadi kekuatan maha dashyat manakala ada kebersamaan. Putra- putri NTT dari sononya sudah terlahir sebagai orang yang berbeda, berbeda asal- usul, beda partai politik dan lainnya,  tetapi untuk nama baik Nusa Tenggara Timur (NTT) mereka sehati sesuara. Sukses HPN Kupang 2011 membuktikan hal itu.

HPN Kupang meninggalkan sejumlah catatan historis. Itulah pertama kali dalam sejarah HPN seorang Presiden Republik Indonesia dan Ibu Negara menginap dan berdinas di lokasi tuan rumah HPN lebih dari dua hari. Presiden SBY bahkan pertama kali melewati jalan darat lebih dari 300 km dari Kupang sampai Atambua, Kabupaten Belu dan tidur semalam di barak TNI lalu kembali ke Kupang via Pelabuhan Atapupu dengan kapal perang. Atambua adalah daerah perbatasan antara  Indonesia dan negara Timor Leste.

Gara-gara Presiden SBY berkantor di Kupang selama tiga malam empat hari, dalam sekejap NTT menjadi pusat perhatian seluruh bangsa Indonesia. Wujud perhatian tersebut saya kira masih membekas dan akan terus berlanjut hingga hari-hari mendatang.  Pada tanggal 18 Oktober 2012,  Presiden SBY dan Ibu Negara Ani Yudhoyono lagi-lagi menikmati perjalanan darat dari Kota Labuan Bajo ke Ruteng PP saat menghadiri peringatan Yubelum 100 Tahun Gereja Katolik di Manggarai, Pulau Flores. Rasanya hanya di NTT Presiden RI sungguh menikmati perjalanan semacam itu.


Pening Kepala

Saya merasa perlu berbagi cerita tentang suasana menjelang dan saat kedatangan tamu HPN Kupang tanggal 6, 7 dan 8 Februari 2011. Tak banyak yang tahu betapa peningnya kepala kami, khususnya panitia HPN  seksi akomodasi mengatur penginapan bagi para tamu yang datang hampir bersamaan dalam jumlah lebih dari 1.000 orang. Tamu dan undangan HPN Kupang sungguh di luar prediksi awal lantaran Presiden SBY menginap selama tiga malam. Jumlah menteri yang datang ke Kupang kala itu sebanyak 24 orang atau lebih dari separuh anggota Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Kedatangan pejabat negara serta tamu VIP, VVIP dan tokoh pers nasional dari 33 provinsi bukan sesuatu yang mudah.

Lain ceritanya bila Kupang memiliki akomodasi perhotelan yang memadai. Nah, kita semua maklum bahwa hotel di Kupang selain jumlahnya sudah  terbatas, standar hotel berbintang pun bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Saya melihat sendiri betapa Ketua Panitia HPN, Bung Andre Koreh terlibat diskusi alot (untuk tidak melukiskannya sebagai bersitegang)  dengan staf protokoler Istana juga komandan Paspampres saat mengatur penempatan para tamu VIP dan VVIP. Rata- rata hanya mau  memilih Hotel Kristal atau minimal Hotel Sasando, sementara kapasitas kedua hotel itu tidak sanggup menampung semuanya. Tentu harus ada yang mengalah dan hal tersebut butuh penjelasan yang santun sehingga mereka bisa memahami keterbatasan Kupang sebagai tuan rumah.

Alhamdulilah. Cara panitia memberi penjelasan dapat dimaklumi para tamu meskipun gerutuan dan sindiran-sindiran kecil tak bisa dipungkiri. Tak apalah. Ini konsekwensi dari kesiapan Kupang menjadi host event akbar. Keterbatasan akomodasi perhotelan di Kupang merupakan fakta tak terbantahkan.

Pada tanggal 7 Februari 2011 kira-kira pukul 21.24 Wita, seorang LO menemui saya di Sekretariat Panitia HPN Kupang. Dia baru saja mendampingi seorang duta besar dari negara Asia Selatan ke salah satu hotel di Kupang. "Saya sempat risih dan malu, Om. Beliau nginap di kamar hotel yang sangat sederhana untuk standar seorang duta besar. Tapi setelah mendengar penjelasan saya,  syukurlah beliau mengerti bahwa Kupang adalah daerah Indonesia Timur yang dalam banyak hal masih berkekurangan," kata LO itu, mahasiswi dari Undana Kupang. Saya salut. Dia telah menjadi duta NTT yang smart.

Praktis hanya empat bulan setelah peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Kupang tanggal 9 Februari 2011, saya bertugas di luar Kota Kupang. Memang saya masih bolak-balik ke Kupang saban bulan, namun perkembangan kota ini tidak bisa saya ikuti setiap saat. Setidaknya saya kini menjadi semacam outsider,  melihat Kupang (NTT) dari luar. Cara memandang semacam itu jauh lebih elok untuk menemukan perbedaan, perkembangan dan perubahan wajah Kupang, kota yang dalam banyak sisi menjadi barometer bangunan  Nusa Tenggara Timur.

Dalam tiga tahun terakhir, harus diakui wajah Kupang telah banyak berubah. Lebih dari 10 hotel yang baru dibangun dalam kurun waktu tahun 2011-2014. Bahkan beberapa saat ke depan akan hadir lagi hotel berbintang dari grup ternama di Indonesia. Pusat-pusat perbelanjaan baru pun tumbuh pesat.

Sebagai orang yang kerap bepergian karena tugas, indikator yang saya pakai simpel saja. Setiap kali menumpang pesawat baik dari Surabaya, Bali atau Jakarta tujuan Kupang, semakin banyak saja muka baru alias orang yang saya tak kenal. Artinya apa? Itu menandakan betapa tingginya mobilitas manusia dari dan ke Kupang, Ibu Kota Provinsi NTT. Tingginya mobilitas manusia dan barang mencerminkan bisnis tumbuh. Perputaran uang tidak lagi berjalan di tempat.  Kupang atau NTT umumnya  sebagai tujuan investasi bukan lagi isapan jempol.

Tanggal 29 Desember 2012 atau sepekan setelah PWI NTT menggelar Konferensi Cabang di Hotel Sylvia Kupang,  saya bersama pengurus harian PWI Cabang NTT periode 2012-2017 beraudiensi dengan Gubernur NTT Drs. Frans Lebu Raya. Dalam pertemuan itu Gubernur Frans Lebu Raya menyampaikan beberapa event berskala nasional yang berlangsung di Kota Kupang dalam tahun 2013.  Dia menyebut di antaranya Kupang dipercaya sebagai tuan rumah Kongres Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) serta  Sail Komodo 2013. Jumlah peserta, tamu serta undangan untuk event sekelas itu kurang lebih 1.000 orang. "Soal hotel bukan masalah lagi di Kupang," kata Lebu Raya dengan wajah sumringah.

Tahun 2014  juga telah berlangsung sejumlah event berskala nasional dan internasional di ibu kota Provinsi NTT ini. Sebut misalnya Musyawarah Nasional (Munas) PKBI,  Pekan Olahraga Pelajar Wilayah (Popwil) IV yang melibatkan atlet dan ofisial dari delapan provinsi dan Lomba Bintang Radio tingkat Nasional dan ASEAN pada bulan Oktober 2014.  Kini sudah menjadi hal biasa bagi Kupang dipercaya sebagai tuan rumah.

Ya,  Kupang  sebagai barometer wajah Provinsi NTT  sudah mengalami perubahan signifikan wajah dan profilnya setelah tiga tahun berlangsungnya HPN 2011.  Pemerintah dan masyarakat NTT  menyadari sungguh HPN telah membuat perubahan itu.  Tentu saja masih ada kekurangan di sana-sini, namun kekurangan itu selalu mungkin untuk disempurnakan terus-menerus.

Kolegaku para ketua PWI dari berbagai daerah di Indonesia serta rekan-rekan wartawan masih saja menyampaikan kesan manis tentang HPN Kupang 2011. Saat ditunjuk menjadi tuan rumah tahun 2012, teman-teman dari PWI Provinsi Jambi melakukan studi banding ke Kupang.  Demikian pula dengan Bengkulu yang dipercaya sebagai tuan rumah HPN tahun 2014.

  Tentu saja bukan kesan itu yang utama dan terus dibangga-banggakan sekadar romantisme nostalgik. Dengan menulis catatan ini saya secara pribadi dan dalam kapasitasku sebagai ketua PWI Provinsi NTT mau menyuarakan sekali lagi bahwa momentum peringatan Hari Pers Nasional tidak sekadar seremoni rutin tahunan.  Peringatan HPN mendorong daerah di tanah air tercinta ini untuk bangkit meraih kemajuan demi kesejahteraan rakyat yang empunya kedaulatan. *

Sumber: Buku Geliat NTT, Jambi dan Bengkulu Pasca HPN. Diterbitkan PWI Pusat dan diluncurkan pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2015 di Batam, Kepri 9 Februari 2015.

Paolus Nong Susar: Lahir dan Besar di Jalan

Dion menyerahkan buku kepada Paolus Nong Susar, 9 Februari 2015
MAUMERE, PK--Wakil Bupati Sikka, Drs. Paolus  Nong Susar, meluncurkan buku biografi "PNS (Paolus Nong Susar) Lahir dan Besar di Jalan." Peluncuran buku ini dilakukan di Aula Hotel Benggoan III, Maumere, Senin (9/2/2014).

Buku ini berisi kisah perjuangan dan pergulatan hidup PNS  sejak lahir hingga puncak perjuangan mencapai posisinya kini sebagai wakil bupati Sikka. Tidak banyak orang yang tahu tantangan, perjuangan dan pergulatan hidup PNS. Melalui bukunya itu, dia membagikan pengalaman dan perjuangan, menjadi inspirasi kepada masyarakat kecil di Sikka dalam perjuangan hidup.

Royalti penjualan biografi PNS itu pun akan didonasikannya sesama saudaranya di Sikka yang kurang beruntung, masyarakat yang kini dia abdikan seluruh tenaga dan pikirannya.
Penyunting biografi tersebut, wartawan senior Pos Kupang, Dion DB Putra mengungkapkan kekagumannya akan detail kisah dalam buku yang akan memberi inspirasi bagi banyak orang di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Buku ini menginspirasi bahwa keterbatasan, kekurangan, pengalaman pahit yang dialami sebagian besar masyarakat NTT bukan  menjadi alasan untuk tidak berjuang meraih cita-cita.

"Ketika menyunting kisah ini, air mata saya jatuh. Hidup saya lebih baik dari PNS, ini bukan cerita romantisme belaka. Ini adalah mutiara bahwa kesusahan kita bukan alasan untuk kita tidak berjuang," ujar Dion.

Peluncuran buku saat masih aktif menjabat sebagai kepala daerah, kata Dion adalah tindakan  nekat dan berani.

"Apakah ini bukan menjadi bumerang bagi PNS? Bukankah akan dikritik banyak orang? Tetapi PNS terbuka dan sangat jarang orang menulis saat masih menjadi pemimpin," kata Dion.
Biografi PNS itu juga, kata Dion, adalah gambaran realistis tentang Sikka karena masih banyak orang susah.

"Dengan menuliskan ini, mau mengingatkan diri dari mana dia berasal dan kepada siapa dia mengabdi," kata Dion.

Pater John M. Prior SVD, dosen pembimbing skripsi PNS saat kuliah di Ledalero dipercayakan menulis prolog buku dan E.P Da Gomez menuliskan epilog.

Sedangkan PNS, wakil bupati Sikka dalam pesannya mengungkapkan terima kasih kepada semua undangan yang hadir dalam peluncuran. Diharapkan PNS agar buku itu menjadi inspirasi dan sebagai tantangan bagi pembaca dan tidak rendah diri dalam berjuang bagi kesejahteraan masyarakat Sikka. Hadir dalam peluncuran itu forum komunikasi pimpinan daerah, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh muda  dan berapa pimpinan SKPD Sikka. (lik) 

Sumber: Pos Kupang 11 Februari 2015 halaman 11

Semangat Perempuan Flores Menenun Songke


KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Tenun Songke Manggarai Raya bermotif mata manuk.

  Seiring perkembangan promosi pariwisata Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur yang sangat pesat membawa dampak positif bagi masyarakat. Walaupun tidak semua. Pulau Flores yang terkenal dengan binatang Komodo dan sudah menggelar puncak Sail Komodo pada September 2013 lalu ikut memberikan andil dalam membangkitkan kembali keunikan-keunikan budaya Manggarai Raya. Salah satunya adalah tenun Songke.

Tenun songke merupakan kain khas adat orang Manggarai Raya yang diwariskan leluhur mereka. Berpuluh tahun yang lalu, secara tradisional leluhur orang Manggarai yang mungkin dimulai dari Kampung Todo menenun kain songke dari bahan alamiah. Sejalan dengan perkembangan modern dan Indonesia memasuki zaman orde baru membawa perubahan yang sangat drastis.

Salah satunya adalah masuk kain dari daerah lain yang dijual kepada masyarakat Manggarai Raya. Kain untuk dipakai kaum perempuan dan laki-laki di kampung-kampung bermotif modern atau hasil olahan pabrik dari daerah lain.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR -Tenun Songke Manggarai Raya bermotif Bajawa.
 
Perlahan tapi pasti kain songke kian terpinggirkan ditambah dengan harganya yang sangat mahal. Oleh karenanya, warga berebut membeli kain olahan pabrik untuk digunakan. Namun, sebagian warga masih mempertahankan kain songke, apalagi dipakai pada upacara adat, upacara perkawinan secara adat orang Manggarai Raya.

Bahkan manfaat ekonomi dari kain songke belum dirambah oleh masyarakat Manggarai Raya sehingga menenun kain songke sebagai kegiatan tambahan di rumah setelah mengolah pertanian.

Gencarnya perkembangan pariwisata yang ditandai kunjungan wisatawan asing dan domestik membuat warga mulai membangkitkan kembali usaha menenun kain songke. Ditambah lagi, orang asing dan domestik mencari keunikan-keunikan kain khas tiap daerah di Indonesia. Dampak dari menenun kain songke meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Baju dari kain Songke
 
Selain itu, peminat kain-kain khas di setiap daerah Indonesia gencar mengunjungi wilayah Manggarai Raya untuk membeli kain bermotif unik. Koreografer yang terjun ke fashion show dengan pakaian khas masing-masing daerah selalu mengunjungi kampung-kampung yang masih menenun kain songke.

Di Flores, masing-masing kabupaten memiliki motif kain tersendiri. Itulah keunikannya, seperti di wilayah Manggarai Barat, motif kain songke yang terkenal adalah motif kain songke mata manuk. Motif ini selalu dicari oleh warga lokal maupun orang-orang Manggarai yang berdomisili di Jakarta dan didaerah lainnya.

“Motif kain songke mata manuk selalu dibeli oleh orang lokal Manggarai Raya, orang asing, orang-orang Manggarai yang berdomisi di Jakarta dan di daerah lain di Indonesia. Mereka selalu memesan kain songke bermotif tersebut,” kata Leli Maria Goreti (42) kepada Kompas.com di Pameran Sentra Kreatif Rakyat (SKR) di Youth Center Labuan Bajo, Sabtu (22/11/2014) lalu.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Tas dari anyaman daun pandan pada Pameran Sentra Kreatif Rakyat (SKR) di Youth Center Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (22/11/2014).
 
Dikenal dengan panggilan Leli Artshop, Leli menjelaskan, di art shopnya di kawasan Bandara Komodo dia menjual berbagai jenis tenun dari wilayah Nusa Tenggara Timur dan kerajinan-kerajinan lokal Manggarai Raya seperti patung komodo, topi songke Manggarai Raya, topi Rea khas Manggarai Barat.

"Saya memiliki kelompok penenun di Kampung Todo dan di beberapa kampung di wilayah Manggarai Raya. Saya sudah 12 tahun menekuni penjualan kain tradisional bermotif Nusa Tenggara Timur. Banyak turis membeli patung, topi, kain bermotif Nusa Tenggara Timur. Banyak orang di Jakarta yang selalu memesan ke saya. Saya sering mengikuti pameran, baik yang dilaksanakan pemerintah maupun pihak swasta,” jelas perempuan asal Kampung Sita, Manggarai Timur yang bersuamikan orang Manggarai Barat dan tinggal di Labuan Bajo itu.

Leli menjelaskan, kain songke bermotif Mata Manuk dijual seharga Rp 500.000 karena cara pembuatannya sangat berbeda dan membutuhkan waktu lama dan ketelitian.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Kain bermotif binatang komodo pada Pameran Sentra Kreatif Rakyat (SKR) di Youth Center Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (22/11/2014).
 
Ketua Kelompok Tenun Songke Waenakeng, Desa Poco Rutang, Kecamatan Lembor, Manggarai Barat, Rofina Kartini didampingi anggotanya, Katarina Nurtiyati kepada Kompas.com, disela-sela pameran sentra Kreatif Rakyat menjelaskan, pendampingan dari tim sentra kreatif rakyat pusat memberikan harapan baru bagi kaum perempuan yang memiliki keterampilan dalam menenun.

Setelah diinformasikan pada 2012, sebelum Sail Komodo, keduanya mengakui mulai memiliki gairah untuk menekuni kembali menenun songke. Hasilnya, tiga kali mereka mengikuti pameran di Kota Labuan Bajo. Hasil penjualan kain songke sangat bagus dan membantu membiayai pendidikan anak-anak di perguruan tinggi.

“Ke depan ini kami mulai fokus untuk mengembangkan tenun songke sebab kami sudah merasakan keuntungannya. Kami berharap program Sentra Kreatif Rakyat tidak boleh dihentikan melainkan program ini diteruskan. Kami merasakan peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat,” jelas Katarina.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR -Tas bermotif binatang komodo dan rusa pada Pameran Sentra Kreatif Rakyat (SKR) di Youth Center Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (22/11/2014).

 Sentra Kreatif Rakyat (SKR) adalah Program Pengembangan Ekonomi Kreatif dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di bawah Direktorat Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya yang bertujuan untuk mengembangkan wilayah-wilayah produk kreatif bercirikan lokalitas rakyat di wilayah tersebut.

Koordinator program Sentra Kreatif Rakyat Kabupaten Manggarai Barat, Niniek Dhiniyanti memaparkan, daerah-daerah percontohan Program SKR antara lain Kabupaten Batang dan Kabupaten Magelang di Jawa Tengah, Kabupaten Pacitan di JawaTimur, Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara di Sulawesi Selatan dan Kabupaten Manggarai Barat  di Nusa Tenggara Timur.

Menurut Dhiniyanti, kegiatan Program Pengembangan SKR di Manggarai Barat antara lain penelitian dan pengembangan motif-motif tradisional produk kreatif, peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas teknik dan desain produk Tenun Songke Manggarai Barat, Batik,dan Produk Kayu.


KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Topi Songke Manggarai Raya pada Pameran Sentra Kreatif Rakyat (SKR) di Youth Center Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (22/11/2014).
 
Sebagai langkah publikasi kegiatan SKR dan promosi hasil karya kelompok SKR, diselenggarakan Pameran Sentra Kreatif Rakyat Manggarai Barat pada 22–24 November 2014 yang diikuti 30 perajin dari Kecamatan Lembor, Lembor Selatan, Desa Komodo, Kota Labuan Bajo dan Kota Ruteng.

Pada pameran ini akan dipamerkan dan diperdagangkan produk-produk kreatif antara lain tas tenun songke, selendang tenun songke pewarna alam, tas dan kain batik pewarnaan alam dengan motif komodo dan biota laut, produk suvenir dari patung kayu, kain destar (ikat kepala) pewarna alam dengan motif rumah adat Manggarai dan sawah lodok serta inovasi-inovasi desain produk batik, tenun dan kayu lainnya hasil karya kelompok SKR. 

Sumber: Kompas.Com

Keunikan Sawah Lodok di Manggarai Raya


KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Wisatawan di persawahan Lodok Cancar, di Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
 
RENCANAKAN kunjungan anda jauh-jauh hari ke Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Ada apa di Pulau Flores yang selalu dipublikasikan media massa, khususnya media traveler. Untuk mengetahui jawabannya, berkunjunglah bersama keluarga, anak-anak, rekan bisnis, kawan ke Pulau Flores yang sudah dinyatakan masuk daerah keajaiban dunia.

Bahkan, terakhir penerbit buku wisata terbesar dunia Lonely Planet di Inggris sudah memasukkan Pulau Flores sebagai salah tujuan wisata top dunia pada 2015. Apakah anda sebagai peneliti, arsitektur, ahli persawahan atau pertanian sudah mempelajari cara pembagian lahan pertanian, baik persawahan maupun lahan kering di Manggarai Raya?

Jika belum maka jelajahi wilayah Pulau Flores Barat untuk melihat keunikan-keunikan pembagian lahan persawahan seperti yang dilakukan masyarakat agraria di Flores Barat. Bahkan tidak semua kabupaten di Flores memiliki persawahan yang berbentuk jaring laba-laba. Barangkali film Spiderman menginspirasi dari persawahan lodok di Manggarai Raya selain dari jaring laba-laba.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR-  Persawahan Lodok di Lembor yang terletak di pinggir Jalan Transflores tujuan Labuan Bajo-Ruteng, Nusa Tenggara Timur.
 
Dari sembilan kabupaten di Pulau Flores, pembagian lahan persawahan berbentuk lodok hanya di Manggarai Raya (Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur). Selain binatang Komodo yang sudah masuk dalam tujuh keajaiban dunia, persawahan lodok di Manggarai Raya juga sudah masuk dalam kategori persawahan unik di Asia Pasifik dan juga salah satu tujuan wisata unik.

Persawahan Lodok di Lembor

Persawahan ini mudah dijangkau dari Kota Labuan Bajo, Ibu Kota Kabupaten Manggarai Barat. Saat ini Labuan Bajo sudah dikenal dengan nama Labuan Bangsa-bangsa. Kenapa? Karena turis dari berbagai negara berada di Kota Labuan Bajo sejalan dengan gencarnya pertumbuhan pariwisata di Manggarai Barat, di ujung barat Pulau Flores.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Persawahan Lingko Lodok Rawang di Kampung Rawang, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
 
Pengunjung bisa menumpang kendaraan umum dari Labuan Bajo dengan jarak tempuh dua jam. Namun, lebih singkat lagi apabila mengendarai kendaraan roda dua. Wisatawan mancanegara yang memiliki minat khusus bisa menyewa motor dari Labuan Bajo. Letak persawahan ini berada di pinggir Jalan Transflores tujuan Labuan Bajo-Ruteng. Namun, dari pinggir jalan tidak nampak kelihatan, wisatawan harus berjalan di sebuah bukit untuk melihat keunikan persawahan tersebut.

Setelah anda berada bukit, arahkan pandangan kita ke persawahan lodok. Kita pasti tersentak dengan keunikan-keunikan yang dibuat oleh leluhur warga Manggarai Barat zaman dahulu.

Beberapa waktu lalu tim dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang dipimpin Ibu Gayatri bersama dengan sejumlah wartawan Jakarta pada pergelaran Festival Komodo di Labuan Bajo menyempatkan diri berkunjung persawahan Lodok Lembor.

Setelah melihat keunikan persawahan Lodok di Lembor, pemandu menghantarkan wisatawan asing dan domestik untuk berkunjung persawahan lainnya yang terletak di Cancar, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR -  Persawahan Lingko Lodok Rawang di Kampung Rawang, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.Hamparan persawahan Lodok yang terbesar ada di Cancar.

Blasius Nogot (56), penjaga pintu masuk ke Puncak Weol beberapa waktu menjelaskan, setiap hari turis asing yang dipandu oleh pemandu Flores selalu mengunjungi Persawahan Lodok Cancar. Turis berjalan kaki menuju ke puncak Weol untuk melihat keseluruhan hamparan persawahan yang terluas di Cancar. Turis asing dan domestik sering mengabadikan keunikan persawahan ini dengan kameranya.

“Setiap hari saya melayani tamu-tamu yang ingin melihat persawahan Lodok di Cancar dari puncak Weol,” jelasnya.

Nogot menjelaskan, ada 11 hamparan sawah lodok di Cancar dari delapan kampung. Semuanya bisa dilihat dari Puncak Weol. Persawahan ini berada di Desa Meler, Kecamatan Ruteng. Ke 11 sawah lodok adalah, Lingko Molo, Lingko Lindang, Lingko Pong Ndung, Lingko Temek, Lingko Jenggok, Lingko Lumpung, Lingko Purang Pane, Lingko Sepe, Lingko Wae Toso, Lingko Ngaung Meler, Lingko Lumpung II.


KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR -Atap rumah berbentuk lodok di Manggarai Raya, Nusa Tenggara Timur.

 Nogot menjelaskan, banyak pembagian lahan untuk ladang-ladang juga berbentuk lingko lodok, tetapi yang terbesar di tiga Manggarai ini adalah persawahan lingko Lodok Cancar.

"Kunjungan wisatawan asing dan domestik memberikan masukan pendapatan ekonomi keluarga. Penghasilan per bulannya bisa Rp 1,5 juta. Apalagi saat musim kunjungan wisatawan ke Pulau Flores. Pemandu lokal dan internasional selalu membawa turis ke Puncak Weol untuk melihat persawahan Lingko Lodok Cancar. Bahkan, General Manager PLN NTT beberapa waktu lalu juga mengunjungi persawahan Cancar dari Puncak Weol,” jelasnya.

Ke persawahan lingko Lodok di Rawang

Jika ingin lebih mengetahui keseluruhannya, berkunjunglah ke persawahan Lingko Lodok Rawang di Kampung Rawang, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur. Akses jalan ke kampung itu dari arah Ruteng, Ibu Kota Kabupaten Manggarai sangat bagus dengan melewati Karot menuju ke Pagal. Jalannya sangat bagus karena masuk dalam jalan Negara Ruteng-Reo.


KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Gereja tua dengan arsitektur Lodok di Flores, Nusa Tenggara Timur.
 
Nah, dari Pagal kita belok kanan ke arah utara. Kita harus hati-hati dalam mengendarai kendaraan karena jalannya sempit dan mendaki. Setelah mendaki, kita menuruni jalan di beberapa kampung yang berkelok menuju ke kali Wae Nao. Kali adalah perbatasan antara wilayah administrasi Kabupaten Manggarai dengan Manggarai Timur.

Letak persawahan Lingko Lodok Rawang berada di sebelah kali Wae Nao. Untuk dapat melihat secara keseluruhan, wisatawan mengunjungi sebuah bukit di sebelah kampung Rawang. Wisatawan bisa melihat secara keseluruhan keindahan persawahan di sini.

Sumber: Kompas.Com

Menari Bersama Penari Vera di Flores


KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR-  Tarian Vera yang dilakukan warga masyarakat Suku Rongga di wilayah Selatan Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.

TARIAN Vera adalah salah satu tarian khas warga masyarakat Suku Rongga di wilayah selatan Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur. Selain itu ada juga Tarian Caci, Tarian Ndundu Ndake, Tarian Kerangkuk Alu dan berbagai tarian lainnya yang ada di budaya seni orang Manggarai Raya.

Tarian Vera hanya ada di Suku Motu Kaju, salah satu sub klan dari Suku Besar Rongga. Memang dalam Suku Rongga ada tujuh suku besar. Namun, tidak semua sub suku memiliki Tarian Vera.

Bagi peminat seni tari di Indonesia dan mancanegara, apabila berwisata ke Flores, jangan hanya mempelajari seni Tarian Caci, mereka juga bisa mempelajari keunikan-keunikan tarian lainnya. Salah satunya Tarian Vera tersebut. Apa uniknya Tarian Vera yang masih dipertahankan warga Suku Rongga?

Tarian ini hanya dipentaskan pada upacara kematian. Namun, sejalan dengan perkembangan pariwisata Flores, tarian ini bebas dipentaskan pada berbagai upacara, seperti upacara Kemerdekaan Republik Indonesia, festival budaya di Kabupaten Manggarai Timur dan Flores.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Gerak Tari Vera melingkar saat dipentaskan.
 
Tarian ini dipentaskan warga Suku Rongga saat kematian tokoh suku. Untuk upacara kematian dipentaskan selama tujuh hari tujuh malam sampai pada puncak "ngua" atau kenduri. Sementara pada upacara umumnya hanya dipentaskan satu atau dua bentuk tarinya.

Tidak semua sub suku di Suku Rongga memiliki tarian Vera, hanya beberapa suku saja yang bisa mementaskan tarian Vera.
Demikian dijelaskan seorang penari dari Suku Motu Kaju di Suku Rongga, Kornelia Jaghung (69) kepada Kompas.com di kediamannya di Jalan Transflores Ruteng-Waelengga, Minggu (30/11/2014).

Kornelia menjelaskan, Tarian Vera memiliki rumah tersendiri seperti di Kampung Lekeng yang dimiliki Suku Motu Kaju. Tidak semua rumah ada Tarian Vera, ada rumah khusus Tarian Vera di Suku Rongga. Seperti di Suku Motu Pumbu di Kampung Pandoa, Suku Raghi di Kampung Waewole. Selebihnya tidak memiliki rumah khusus Tarian Vera.

Mengenai asal warga masyarakat Suku Rongga, Kornelia menuturkan, berdasarkan penuturan nenek moyang Suku Rongga Motu Kaju yang terus dituturkan kepada anak-anak mereka bahwa keturunan Suku Rongga sub klan Motu Kaju berasal dari Kalimantan. Dikisahkan dua pasang suami istri yang berlayar dari Kalimantan dan turun di Pantai Sari Kondo bersama dengan dua anak bayi. Pasangan ini juga membawa seekor anjing.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Tari Vera pada upacara keagamaan di Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.

 Saat mereka tiba di Sari Kondo, mereka kesulitan air minum karena di daerah itu adalah padang savana. Nah, pada suatu pagi mereka melihat tubuh anjing ini basah kuyup. Suami-istri ini lantas berpikir bagaimana caranya mengetahui sumber air tersebut. Lantas keduanya menggosok tubuh anjing dengan abu supaya mereka bisa mengikuti anjing dari belakang kemana arah anjing berjalan. Mereka mengikuti anjing tersebut sampai berhenti di sumber mata air Wae Motu.

Hingga saat ini bukti sejarahnya masih ada di sumber mata air Wae Motu di Kelurahan Watu Nggene. Buktinya adalah mata air dan batu megalitik yang masih ada sampai sekarang.

“Mulai saat ini ketika ada mata air ada dua pasang keluarga yang datang dari Kalimantan bersama anak bayi mereka bertumbuh menjadi besar hingga tersebar di sejumlah sub-sub suku di Suku Besar Rongga. Nah, mulai saat itulah ada Tarian Vera. Saya sendiri tidak tahu apa arti Vera, tetapi itu merupakan tarian adat yang diwariskan leluhur hingga sekarang,” paparnya.

Para penari Vera pada umumnya berpakaian putih, baik untuk kaum laki-laki maupun perempuan. Entah pada upacara "ngua" atau kenduri tetap memakai pakaian berwarna putih. Namun, kini sudah bervariasi yaitu pakaian berwarna putih untuk laki-lakinya dan baju berwarna pink bagi penari perempuan ditambahkan dengan selendang dan kain Songke.


KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tari Vera saat mengantar tamu di Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Selain itu, penari laki-laki memakai topi dan penari perempuan memakai ‘Neo Weti’ atau keranjang kecil yang terbuat dari daun lontar muda ditaruh di kepala.

Gerakan Tarian Vera
    
Penari perempuan dan laki-laki menari searah dengan membentuk sebuah lingkaran. Kedua, penari kaum perempuan dan laki-laki berjejeran sambil berlari-lari dengan saling memegang tangan. Saat saling pegang tangan tidak boleh lepas. Sebelum Tarian Vera dipentaskan, terlebih dahulu peserta menari Mbata yang dipadukan dengan musik gong dan gendang. Sementara pada tarian Vera tidak dibunyikan gong dan gendang melainkan seseorang memimpin dalam bentuk lingkaran sambil menyanyikan lagu-lagu daerah dengan penuh semangat.

Biasanya tarian Vera dilaksanakan pada malam hari selama semalam suntuk sementara tarian Vera pada siang hari dipentaskan pada puncak acara "Wela Kamba" atau bunuh kerbau. Kornelia sekaligus Ketua Kelompok Kerajinan Tangan "Rebo Ndii" menjelaskan, pada upacara kenduri, tarian Vera dipentaskan searah yaitu ke arah kiri dan menarinya selama tujuh kali dalam sebuah lingkaran besar.

“Tahun 1986, saat puncak Kenduri orangtua, Gabriel Inge dengan Marta Jaja dipentaskan tarian Vera dengan ‘Wela Kamba’ sebanyak tujuh ekor serta tahun 2013 lalu digelar lagi Tarian Vera saat acara upacara 'ngua' atau kenduri kakak saya dengan membunuh satu ekor kerbau,” jelasnya.

Untuk diketahui bahwa asal usul keturunan orang Manggarai sangat bervariasi, seperti di wilayah Kolang berasal dari Minangkabau, wilayah Cibal juga dari Minangkabau, wilayah Todo dan sekitarnya nenek moyangnya berasal dari Gowa bercampur dengan Minangkabau sedangkan beberapa suku kecil di Manggarai Raya ada yang berasal dari keturunan Belu.
    

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Tari Vera saat mengantar tamu di Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
 
Agustinus Nggose, seorang tokoh masyarakat di Manggarai Timur menjelaskan, nenek moyang Suku Nggai berasal dari Belu. Dikisahkan Agustinus, sesuai yang dituturkan nenek moyang mereka, orang Belu berlayar menuju ke Aimere lanjut berjalan ke wilayah Rajong, Wukir di Elar Selatan. Dari situ menuju ke Watu Tonda dengan membentuk sebuah kampung. Kemudian pindah lagi ke Kampung Munde, Desa Komba hingga saat ini.

"Jadi asal usul nenek moyang orang Manggarai Raya sangat bervariasi dari seluruh Nusantara. Untuk itu tariannya juga bervariasi di berbagai wilayah di Manggarai Raya walaupun satu kesatuan budaya,” jelasnya.

Sumber: Kompas.Com

Berwisatalah ke Puncak Wolowio di Bajawa


KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR-  Patung Bunda Maria di Puncak Wolowio, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.

ADA apa sesungguhnya di Bukit Wolowio, Kampung Wolowio, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur? Pertanyaan itu disampaikan sekelompok Komunitas Tritunggal Mahakudus, dari Paroki Santo Arnoldus dan Yoseph, Waelengga, Keuskupan Ruteng sebelum berwisata sambil berziarah ke Bukit Wolowio, Minggu (7/12/2014) lalu.

Berawal dari sebuah informasi bahwa ada bukit di Kabupaten Ngada yang sering dikunjungi dan menjadi tempat ziarah baru di Keuskupan Agung Ende. Setelah mengumpulkan informasi itu, komunitas doa ini berdiskusi untuk berziarah ke tempat itu. Mereka sepakat mengumpulkan uang masing-masing Rp 50.000 per orang untuk membiayai transportasi dari Kota Waelengga ke bukit tersebut.

Bahkan Kompas.com pun tertarik dengan informasi itu. Akhirnya wartawan Kompas.com bersama keluarga ikut dalam rombongan sambil dalam hati menulis tentang keindahan bukit tersebut.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR- Para peziarah naik kendaraan menuju Puncak Wolowio, di Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.
 
 
Mulailah perjalanan dari Kota Waelengga dengan truk beratap kayu. Rombongan bergegas naik truk yang disopiri oleh Om Flori dengan kendaraannya, Credo. Sebanyak 30 orang rombongan bertanya-tanya dalam hati tentang Puncak Wolowio yang selalu dibicarakan warga masyarakat lainnya yang sudah pulang dari sana. Sebagian rombongan menggunakan sepeda motor.

Dari Kota Waelengga berjalan di pinggir pantai Aimere. Berjalan terus sampai di perjalanan berkelok-kelok dari Kota Aimere sampai di terminal Watu Jaji. Ada satu tikungan yang seperti ular merayap. Nama tikungan itu adalah Tikungan Kaju Ala. Semua sopir yang melintasi jalan negara itu baik dari arah Maumere menuju Labuan Bajo dan sebaliknya harus hati-hati mengendarai kendaraan karena ada beberapa kali kejadian kecelakaan di jalan tersebut. Beruntung penumpang tidak mabuk dan muntah.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Kota Bajawa dipotret dari Puncak Wolowio, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.

 Selanjutnya, rombongan memasuki kota dingin Bajawa dan meneruskan perjalanan menuju ke Puncak Wolowio. Sebanyak dua kali, rombongan yang diantar Om Flori tersesat. Beruntung berbekal pepatah, "Malu Bertanya Sesat di Jalan", akhirnya sang sopir bertanya kepada warga di pinggir jalan di pedesaan Wolowio. Dengan keramahan sebagai orang Flores, warga memberikan petunjuk jalan menuju ke Puncak Wolowio.

Ada yang sangat menarik, sebelum tiba di Puncak Wolowio, rombongan melewati kebun kopi Arabika ratusan hektar milik petani di pedesaan tersebut. Untuk diketahui bahwa kopi Arabika Bajawa sudah diekspor ke luar negeri.

“Ah kita beruntung berwisata sekaligus berziarah ke Puncak Wolowio karena kita bisa melihat perkebunan kopi Arabika yang ditanami petani di Kabupaten Ngada. Selama ini kita hanya mendengarkan nama Kopi Arabika Bajawa. Nah, hari ini kita melihat sendiri betapa kekayaan kebun kopi Arabika dimiliki warga petani Bajawa," ujar Ibu Margaretha Bupu sekaligus Bendahara Komunitas Tritunggal Mahakudus (KTM), Minggu (7/12/2014), dalam perjalanan ziarah yang didampingi Pastor Paroki Santo Arnoldus dan Yoseph Waelengga, Romo Hieronimus Jelahu, Pr.


KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR -Pintu masuk Puncak Wolowio, di Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.

 Perjalanan melintasi perkebunan Kopi Arabika di pedesaan Wolowio penuh semangat dengan tujuan sampai di Puncak Wolowio. Rombongan perlahan-lahan menuju ke puncak dengan melihat tulisan di pintu masuk bertuliskan, "Selamat Datang di Taman Wisata Rohani Bunda Maria Ratu Semesta Alam".

Nah, mulai dari situ, kekaguman menyelimuti hati dan pikiran rombongan dengan melihat sebuah Patung Bunda Maria yang sangat tinggi. Sang sopir terus mengendarai kendaraan dengan membawa rombongan. Lalu, mata dari seluruh rombongan tertuju ke kemegahan Patung Bunda Maria yang dibangun oleh pekerja yang didatangkan khusus dari Pulau Jawa serta sebuah salib tinggi di sebelahnya. Di bawah salib itu ada Patung Bunda Maria sedang memangku Yesus.

Hanya kekaguman demi kekaguman yang diungkapkan para peziarah yang pertama kali mengunjungi Puncak Wolowio tersebut.


KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR -Peziarah berjalan kaki menuju Puncak Wolowio, di Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.
 
“Tidak sia-sia mengunjungi Puncak Wolowio yang ada Patung Bunda Maria yang sangat tinggi. Bahkan ada salib yang paling tinggi di Pulau Flores. Sepertinya tempat ziarah ini masih baru dibangun sebab masih ada peralatan-peralatan pertukangan. Saya akan ajak orang lain lagi untuk berwisata sambil berziarah ke Puncak Wolowio,” ujar seorang peziarah, Maria Daflora Echo kepada Kompas.com.

Peziarah lainnya, Agustinus Nggose mengajak semua satu keluarga untuk berziarah ke Puncak Wolowio. Berawal dari rasa penasaran dan informasi tentang tempat doa baru di Pulau Flores yaitu di Kabupaten Ngada.

Nggose menjelaskan, tinggi patung Bunda Maria di puncak itu adalah 14 meter. Sementara tempat duduknya setinggi 3 meter. Jadi, keseluruhan tinggi Patung Bunda Maria di Puncak Wolowio adalah 17 meter.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Para peziarah bergembira di Puncak Wolowio, di Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.
 
“Saya sangat kagum dengan tukang yang membangun Patung Bunda Maria di daerah ketinggian di Pulau Flores. Informasi diperoleh bahwa tukangnya didatangkan dari Pulau Jawa. Saya sangat mengagumi upaya yang dilakukan Pastor Paroki di Wolowio yang berani membangun tempat ziarah di daerah puncak. Di Pulau Jawa ada Puncak Bogor sementara di Flores ada Puncak Wolowio. Bahkan beberapa puncak di Pulau Flores juga dibangun salib seperti di Puncak Ranaka, hanya tidak terawat dan tidak dikunjungi para peziarah,” katanya.

Nggose menjelaskan, apa yang dilihatnya pada Minggu itu akan disebarluaskan kepada keluarga lain di Keuskupan Ruteng agar berziarah ke Puncak Wolowio sambil berdoa di atas puncak.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Berpose di depan Salib Yesus di Puncak Wolowio, di Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.
 
Setelah berbincang-bincang di puncak itu, Kompas.com, bersama dengan rombongan berdoa di bawah Salib di mana terdapat Patung Bunda Maria memangku Yesus dibawah kaki salib.

Flores Kaya Tempat Ziarah Rohani

Pulau Flores sudah terkenal dari zaman dahulu di seluruh Eropa. Bukan hanya obyek wisata budaya dan bahari yang menarik di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, melainkan juga obyek wisata ziarah rohani bagi penganut Kristiani.

Sebagaimana catatan Kompas.com, di Kabupaten Lembata, ada Taman Doa. Bergeser ke Kabupaten Flores Timur di Larantuka, ada ziarah Paskah yang unik, dan sekarang ada Taman Doa bekerja sama dengan Pemerintah Portugal. Selain itu, di Larantuka ada tempat Ziarah Kapela Mgr. Gabriel Manek, SVD yang saat dibawa dari Amerika Serikat, tubuhnya masih utuh. Banyak mujizat bagi peziarah yang berdoa di depan kuburan Mgr. Gabriel Manek, SVD.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Gereja Katolik Wolowio, di Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.
 
Lalu bergeser ke Kabupaten Sikka, ada tempat ziarah di puncak serta Museum Santo Yohanes Paulus II. Bahkan ada kamar Paus dari Polandia saat berkunjung ke Kabupaten Sikka beberapa tahun silam. Peziarah terus berjalan menuju ke Kabupaten Ende. Di sana ada Gereja Katedral tertua. Bahkan ada sebuah gedung tempat Presiden Pertama RI, Soekarno, bermain teater saat diasingkan di Kota Ende.

Lalu ke wilayah Manggarai Raya, ada Gereja Katedral yang usianya lebih dari 100 tahun serta Gereja di Lengko Ajang yang berbentuk Sawah Lodok orang Manggarai Raya. Nah, berziarahlah ke Pulau Flores, maka anda akan menemukan kedamaian dan kesejukan dengan tempat-tempat ziarah yang unik.

Sumber: Kompas.Com

Mengagumi Padang Sabana Mausui di Flores


KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR-  Kuda-kuda berlarian di Padang Sabana Mausui, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
 
MINGGU sore, 18 Januari 2015, sekitar pukul 16.00 Wita, saya bergegas menuju ke Padang Sabana Mausui, di sekitar perkampungan Mausui, Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur. Menggunakan sepeda motor dari Kota Waelengga, saya melewati perkampungan Lekolembo dan terus melaju ke hamparan padang.

Perkampungan Lekolembo yang dipadati Suku Rongga, hidup warga masyarakat yang kebanyakan menjadi pengembala kuda, sapi dan kerbau di Padang Sabana Mausui. Warga Lekolembo, yang berada di bibir Pantai Mbolata, Alo Paka sangat lincah menunggang kuda karena untuk mengembalakan sapi, kuda dan kerbau tak sanggup dengan berjalan kaki karena hamparan padang Sabana Mausui sangat luas.

Setelah melewati perkampungan itu, saya terus menuruni jalan raya yang baru diaspal dengan melewati pinggir pantai. Saya terus bergegas menuju sebuah tempat kubangan ratusan kerbau untuk berendam dan sekali-sekali kerbau minum air laut di pinggir pantai. Berhenti sejenak untuk menikmati keindahan kubangan kerbau sambil melihat ratusan kerbau yang berendam ditempat tersebut. Satu-satunya di Flores dengan kubangan kerbau terbesar ada di tempat ini. Kubangan ini juga disebut Kubangan Mausui.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR -Pengembala menunggang kuda dengan latar belakang Gunung Inerie di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.
 
 
Sesungguhnya nama Mausui adalah nama sebuah lembah yang hidup sekelompok masyarakat dari Suku Rongga. Setelah mengabadikan sejumlah foto dengan kamera, saya terus melaju dengan sepeda motor mendaki menuju ke sebuah padang yang sangat luas di Manggarai Timur. Ketika memasuki padang, saya terkagum dan terkejut dengan pemandangan Padang Sabana Mausui yang terluas di Flores, Nusa Tenggara Timur.

Melaju dengan sepeda motor menuju ke pertengahan padang, ternyata itu masih berada di pinggiran padang. Masih sangat luas untuk menjangkaunya. Maunya satu atau dua hari menyusuri Padang Sabana Mausui sambil melihat keindahan-keindahan dan berinteraksi dengan pengembala sapi, kuda dan kerbau di tempat tersebut. Jalan menuju ke Padang Sabana Mausui yang baru diaspal memberikan kemudahan kepada warga masyarakat yang ingin berwisata dan menikmati pemandangan padang yang terluas di Manggarai Timur.

Ternyata pemandangan lain berada di hamparan padang tersebut, dari Padang Sabana Mausui, kita dapat melihat keindahan Gunung Inerie di Kabupaten Ngada dan juga Gunung Komba di wilayah Desa Komba. Kalau lebih jauh kita berwisata ke Gunung Komba, kita dapat melihat batu megalitikum dan batu berbentuk, maaf, seperti payudara perempuan. Kalau Anda memiliki waktu luang, buatlah jadwal untuk berkunjung ke Padang Sabana Mausui saat melintasi jalan Transflores. Bahkan jarak tempuh dengan sepeda motor dari pusat Kota Waelengga membutuhkan waktu 20 menit saja.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Kerbau berendam di kubangan Padang Sabana Mausui di Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
 
 
Selain melihat keindahan Gunung Inerie dan Gunung Komba, pengunjung dapat menikmati kuda-kuda yang dilepas di padang tersebut. Bahkan, ratusan kerbau dan sapi juga dilepas di padang tersebut.

Pantai Pasir Putih Mausui

Saya terkejut dengan ratusan pengunjung domestik dari berbagai kabupaten di Pulau Flores yang berkumpul dibawah pohon yang berada di tengah Padang Sabana Mausui tersebut. Pengunjung domestik itu membawa serta anak-anak serta sanak saudara serta kerabat untuk menikmati keindahan Padang Sabana Mausui. Bahkan, Padang Sabana Mausui sangat bagus untuk anak-anak muda untuk melepaskan kepenatan hidup di perkotaan.

Edmon, salah satu pengunjung domestik, Minggu (18/1/2015) menuturkan, keindahan Padang Sabana Mausui yang diceritakan selama ini, kini dapat dinikmati bersama keluarga dan teman-teman kantor. Itu karena, dulunya, jalan menuju ke Padang Sabana Mausui belum diaspal. Kini setelah jalan diaspal membuat orang tergerak untuk berwisata ke padang terluas di Pulau Flores itu.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR- Warga beranjak pulang setelah mengunjungi Padang Sabana Mausui di Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
 
 
"Saya bersama keluarga dan rekan kerja serta kerabat berwisata ke Padang Mausui untuk menikmati keindahan alam yang dianugerahkan Tuhan. Akhir-akhir ini, wisatawan domestik mulai bergeser ke Padang Sabana Mausui untuk berwisata, sebab selama ini pengunjung dari berbagai kabupaten selalu menghabiskan waktu liburan ke Pantai Mbolata,” jelasnya.

Edmon menjelaskan, liburan ke Padang Sabana Mausui sangat lengkap di mana wisatawan dapat menikmati keindahan laut dan bisa mandi dan berjemur di Pantai Pasir Putih Mausui. Inilah tempat terindah di wilayah Selatan dari Kabupaten Manggarai Timur. Bahkan, apabila orang yang penat dengan berbagai pekerjaan kantor, di padang ini tempat untuk melepaskan stres dan melupakan kepenatan tersebut.

Setelah berbincang-bincang dengan pengunjung, saya terus menyusuri padang luas itu untuk melihat keindahan Pantai Pasir Putih yang selalu diceritakan orang di Pusat Kota Waelengga.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Menikmati matahari terbenam di Padang Sabana Mausui, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur
.
Wow, ternyata, sejumlah wisatawan domestik sedang menghabiskan liburan mereka dengan keluarga di Pantai Pasir Putih. Saya menuruni jalan sampai tiba di Pantai Pasir Putih.

Saat itu saya melihat sekelompok wisatawan domestik sedang mandi, membakar ikan bersama keluarga dan kerabat kerja. Saya sangat kagum dengan keindahan alam yang diberikan Sang Pencipta bagi warga masyarakat Manggarai Timur yang selama ini yang masih ‘tertidur’ dan belum terpromosi secara luas.

"Di manakah Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur selama ini?" ungkap saya dalam hati. Memang kawasan ini belum tertata dengan baik sebab kondisi pantainya masih alami dan belum ramai dikunjungi. Bahkan Padang Sabana Mausui bisa dijadikan tempat untuk shooting film dan latar untuk klip musik.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Keindahan pantai berpasir putih di pantai selatan Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur
.
Selama ini, warga dunia dan warga Nusa Tenggara Timur hanya mengenal Padang Sabana di Pulau Sumba. Tak kalah dengan Padang Sabana Sumba, pemandangan dari Padang Sabana Mausui juga memberikan keindahan tersendiri bagi wisatawan domestik dan internasional.

Di Padang Sabana Mausui, wisatawan dapat menikmati aktivitas warga masyarakat yang mengembalakan sapi dan kerbau serta kuda dengan menunggang kuda. Ayo, ajak keluarga dan kerabat kerja untuk berwisata ke Padang Sabana Mausui yang berada di Manggarai Timur, Flores, NTT.

Sumber: Kompas.Com

Reba, Pesan Persatuan Warga Ngada


KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA-  Para tetua adat memperlihatkan tarian adat Reba, sebagai salah satu bagian penting dalam pesta Reba Ngada di Desa Langa, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, Jumat (16/1/2015).

MENGENAKAN bawahan sarung hitam, kemeja putih, dan kepala berbalut kain merah, ribuan warga Ngada berbaur di pelataran rumah adat Desa Langa, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, Jumat (16/1/2015). Mereka datang atas panggilan leluhur untuk merajut kembali hubungan harmonis sebagai satu leluhur, yang tersimbol dalam pesta adat Reba dengan Uwi sebagai pemersatu.

Empat puluh lima rumah adat dibangun di pelataran rumah adat terletak di Sub Kampung Bhorani seluas hampir satu hektar. Hampir semua rumah memakai bahan bangunan hasil pabrik, seperti seng, paku, kayu, dan lainnya.

Tujuh rumah di antaranya cuma berukuran 1 meter x 2 meter, dengan atap lonjong, terletak di tengah perkampungan, dibangun menggunakan bahan lokal dengan tiang penyangga bangunan itu dari kayu lokal berkualitas. Tiang dicor dengan kekuatan tertentu agar hewan kurban (kerbau), yang ditambatkan saat disembelih tidak menggoyahkan rumah itu.

Willem Beo Paru (82), tokoh adat Ngada, mengatakan, Reba diselenggarakan sedikitnya di tujuh titik di Ngada, terhitung sejak 27 Desember hingga 28 Februari. Pembukaan Reba di kampung tua, Bena, sekitar 16,7 kilometer selatan Bajawa, berlangsung 27 Desember. Reba lalu berlanjut di kampung lain, termasuk Desa Langa pada 15-17 Januari, dan berakhir 27 Februari di Dusun Beiposo, Ngada. Reba Langa adalah Reba terbesar dengan menghadirkan sekitar 10.000 warga Langa dari berbagai provinsi dan kabupaten.

Seluruh keturunan Langa, tempat Reba diselenggarakan, wajib hadir pada kegiatan itu. Jika mereka tetap di luar Ngada, wajib menyelenggarakan Reba dengan cara menyembelih ayam, bertepatan dengan penyembelihan ayam di rumah adat keluarga besar, Sao Meze, termasuk memasak dan mengonsumsi hewan kurban.

Pada Reba kali ini, hadir sejumlah warga Langa, mulai anggota DPR RI hingga biarawan dan biarawati katolik. Para mahasiswa dan mahasiswi, serta pelajar asal Langa di berbagai daerah pun ikut hadir.

Desa Langa yang terletak 2,5 kilometer dari Bajawa, memiliki tujuh dusun (kampung) yang disebut Nuwa. Selain itu masih terdapat sembilan sub dusun yang disebut Bho, artinya bertunas. Pelaksanaan Reba bertujuan merajut kembali hubungan persaudaraan yang lebih harmonis warga Langa, di mana pun mereka berada, dengan adat dan tradisi warisan leluhur yang sama.
Refleksi

Wakil Bupati Ngada Paul Soli Woa mengatakan, Reba sebagai refleksi tahunan di kalangan masyarakat Ngada tentang kehidupan. Refleksi itu melibatkan semua orang Ngada, yang tersimbol dalam pengambilan bagian, pada perjamuan makan malam bersama di rumah induk atau Sao Meze. Mereka berkumpul sebagai orangtua, saudara, kakak beradik, kakak ipar, adik ipar, anak, cucu, dan cicit.

Refleksi siklus kehidupan itu terdiri atas tiga tahap Reba yakni kobe dheke, malam awal, semua warga berkumpul dengan niat dan janji hati masing-masing, yang disebut Gua Reba. Keluarga dari berbagai tempat datang dengan membawa uang, hewan kurban, beras, dan minuman tradisional sebagai persembahan kepada leluhur.

Barang-barang yang dibawa ke Sao Meze, adalah ungkapan syukur dan terima kasih atas rezeki, perlindungan, dan umur panjang yang telah diperoleh. Barang-barang itu disampaikan secara tulus. Ternak kurban ayam dan babi, disembelih secara adat oleh kepala Sao Meze.

Hewan kurban itu dibelah untuk diamati jantung, hati, dan usus sambil menghadap mesbah rumah atau maga raga, tempat penyimpanan benda-benda purba seperti keris, mas kawin, mata uang purba, mangkuk tua, dan seterusnya. Saat itu semua anak laki-laki harus berada di dalam Sao Meze. Jika ada bagian tertentu dari hewan kurban rusak, tidak ada, berarti ada kesalahan dari pemilih hewan kurban itu, mereka harus mengakui kesalahan di depan ”mata raga”.

Kobe dhoi yakni saat mendekati akhir pesta Reba, sebelum bubar, semua anggota keluarga besar berkumpul pada malam hari untuk pesta Reba.

Zaman dulu kala, pesta yang dimaksud adalah perjamuan asli, yang disebut uwi, jenis umbi-umbian rambat yang biasa tumbuh di hutan dengan isi yang panjang (1,5 meter) dan lebar (80 cm). Ubi itu dibawa ke tengah pelataran, dimakan bersama sambil menari dan bernyanyi, mengelilingi kampung. Sisa dari ubi itu dimasukan ke dalam rumah sebagai persiapan Sui Uwi, makan bersama dalam keluarga masing-masing.

Uwi dipahami sebagai anugerah Tuhan dalam kehidupan masyarakat Ngada, dengan berbagai ungkapan adat seperti uwi meze go lewa laba atau ubi sebesar gong setinggi gendang, khoba rapuh lizu (menjalar sampai ke langit). Ladhu wai poso berbentuk tiang agung bagaikan gunung tinggi. Kehebatan ubi jenis ini yakni meski dimakan babi hutan, tidak pernah punah, dan tetap bertahan sepanjang masa. Lalu, kutu koe koe koe, ana koe, meski landak menjungkir balik tanah dengan duri tajam sampai dalam, ubi tetap ada untuk anak cucu. Inilah makanan hutan milik leluhur.

”Dalam perkembangan, setelah gereja Katolik masuk tahun 1800-an, pemahaman Reba dengan pesta uwi seperti ini masuk dalam inkulturasi gereja, sehingga upacara Reba selalu diawali dengan misa. Ubi kemudian diterjemahkan sebagai simbol anugerah Tuhan, dewa zetha nitu zale atau Tuhan penguasa yang tersirat dalam pribadi Yesus,” kata Soli.

Tahun 1900-an ketika padi mulai dibudidayakan, Reba tidak lagi menyajikan uwi, tetapi makanan berbagai jenis, dengan mempertahankan menu tradisional yakni beras, daging hewan kurban, dan minuman tradisional, arak, dengan ungkapan, kha maki nazi, inu thua theme, makan nasi yang enak, minum tuak yang sedap. Setelah sesajian hewan kurban diberikan kepada leluhur, kepala rumah besar mengajak semua peserta untuk makan pesta bersama. Pada pesta ini semua orang yang datang dipanggil makan.

Marselinus Ngamo, tokoh Langa yang juga dosen Unika Kupang, mengatakan, malam perjamuan dilaksanakan bersamaan dengan khobe sui (malam perutusan).

Kepala Soa Meze menyampaikan pesan-pesan moral, antara lain, jangan menjelekkan orang lain dengan lidah dan mulut, jalan lurus ke depan (perilaku jujur dan adil), dan pergi mencari hidup yang lebih baik.

Hari berikutnya, dilaksanakan tarian tradisional secara massal, yang disebut Oouwi Reba. Tarian tradisional itu digelar setelah desa-desa tetangga hadir di pelataran kampung adat, tempat pesta Reba diselenggarakan. Warga Bhorani sebagai penyelenggara Reba wajib memberi makan dan minum tamu. (Kornelis Kewa Ama)

Sumber: Kompas.Com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes