Sui Wu'u: Makin Lama Makin Enak

Sui Wu'u
SIAPA yang sudah pernah mencicipi sui wu'u, kuliner khas Kabupaten Ngada, sudah pasti akan ketagihan. Sui wu'u merupakan daging babi yang diawetkan secara tradisional dicampur tepung jagung dan garam yang diisi dalam bambu (tuku).

Orang yang membuat sui wu'u adalah kaum perempuan yang terampil. Keterampilan sangat dibutuhkan karena untuk menghasilkan sui wu'u yang berkualitas dan lezat, harus bisa mencampur bahan daging, tepung dan garam dengan aturan yang tepat.

Campuran yang tepat bukan hanya bisa membuat sui wu'u terasa lezat, tapi juga tidak gampang rusak atau berulat, meski disimpan berbulan-bulan.  Bahkan ada moto, semakin lama disimpan, semakin enak dan lezat disantap. Su'i wu'u menimbulkan aroma khas.

Salah satu tokoh adat di Bajawa, David Lado Bara, Selasa (4/7/2015) mengatakan, aroma sui wu'u memiliki ciri khas tersendiri. Meski dibakar di halaman rumah, aroma sui wu'u akan menyebar ke satu kampung.

"Kalau dagingnya sudah dibakar, orang bisa bedakan aroma sui wu'u dengan aroma daging babi yang baru dibunuh. Kita cium aromanya saja, sudah bisa tahu bahwa ada orang yang sedang membakar sui wu'u.. Dan hal itu bisa meningkatkan nafsu makan kita," tutur David.

Keunikan lain dari sui wu'u bisa mengurangi, bahkan menghilangkan unsur pahit pada daun pepaya dan markisa yang hendak kita makan. Caranya, sui wu'u dibakar lalu minyak yang menetes diteteskan secukupnya ke daun pepaya atau daun markisa. Alhasil, ketika daun itu kita makan, tidak terasa pahit.

Menurut David, pembuatan sui wu'u  itu punya makna. Secara ekonomis menunjukan makna adanya penghematan. Pada zaman dulu, ketersedian daging sangat terbatas sehingga untuk menyantap daging biasanya hanya terjadi pada saat ada acara adat, seperti Rebha, ka Ngadhu, ka Sao dan ka Nua.

Pada saat ritual adat itu, biasanya banyak kelebihan daging yang tidak bisa dimakan. Dari situlah, masyarakat kemudian mengolah daging sisa itu menjadi sui wu'u  yang bisa disimpan  berbulan-bulan. Ketika tiba musim paceklik daging atau tidak ada daging, maka warga bisa makan sui wu'u sebagai menu makannya.
Berbeda dengan zaman modern saat ini. Kapan saja seseorang menginginkan makan daging, jika memiliki ternak atau jika memiliki uang, bisa mendapatkan daging dan mengolah serta mengonsumsinya.

Makna adat lainnya dari  sui wu'u, yakni makanan ini merupakan sesajian untuk nenek moyang.  Pada musim tanam, biasanya sui wu'u disimpan di setiap sudut kebun. Fungsinya untuk mengusir hama penyakit tanaman sehingga tanaman bebas dari serangan hama dan hasil penen bisa melimpah.

Cara membuat sui wu'u pun unik. Ada suatu kepercayaan yang diyakini masyarakat Ngada, saat membuat sui wu'u, tidak boleh ada orang lain yang melihatnya. Jika ada orang lain yang melihat, maka rasa sui wu'u itu tidak enak, bahkan bisa cepat rusak dan tidak bisa disimpan berbulan-bulan.

Karena itu, pembuatannya harus  'rahasia'. Daging babi bagian lemak dipotong seukuran kepalan tangan lalu dicuci hingga bersih. Bahan lainnya tepung jagung yang sudah kering dan garam secukupnya.  Kemudian bahan itu disusun berurutan ke dalam bambu yang sudah dibersihkan. Cara pengisiannya bersusun, tepung jagung, daging, tepung jagung dan daging lagi.

Begitu susunannya terisi penuh dalam bambu. Lalu bambu ditutup rapat-rapat dan kemudian diletakan di para-para. Yang perlu diperhatikan, yakni bambu tempat penyimpanan sui wu'u  harus benar-benar bersih dan ditutup rapat.
Ukuran bambu biasanya satu ruas bambu. Untuk menghasilkan sui wu'u dengan cita rasa yang menggoda, harus disimpan sekitar tiga bulan baru dibuka untuk dimakan. Bisa juga kurang atau lebih dari tiga bulan.

Meski dagingnya sedikit karena kebanyakan lemak, namun minyak sui wu'u bisa menambah kelezatan sayur. Biasanya, warga tidak akan langsung makan daging sui wu'u, tetapi makan duluan sayur daun pepaya atau daun markisa yang sudah ditetesi minyak sui wu'u barulah makan daging lemak tadi. (teny jenahas) 


Warisan Nenek Moyang

MEMBUAT
sui wu'u merupakan salah satu bentuk keterampilan para nenek moyang zaman dulu untuk mengawetkan daging babi menggunakan tepung jagung dan garam yang diawetkan di dalam bambu (tuku).

Pembuatan sui wu'u masih dipertahankan dan dilestarikan oleh sejumlah keluarga di Bajawa, Kabupaten Ngada.  Salah satunya keluarga Theresia Nau, warga Bouwa, Desa Ubedolumolo, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada.  Ditemui di kediamannya di Bouwa, Jumat (10/7/2015), Thresia mengatakan, membuat sui wu'u merupakan kebiasaan yang sudah diwariskan nenek moyang. Dan  dia bersama saudaranya selalu melanjutkan tradisi itu.

Setiap ada daging, ia selalu membuat sui wu'u. Karena orang-orang dalam rumah baik, suami maupun anak-anak suka makan sui wu'u. "Ini warisan nenek moyang dulu yang kami  harus jaga. Kami tetap buat sampai sekarang. Kami punya di rumah buat terus dan simpan sampai dua tahun. Kalau ada lebih daging, saya selalu simpan sedikit untuk buat sui wu'u," ujar Thresia.

Bahan dasar sui wu'u  adalah daging babi bagian lemak, tepung jagung yang ditumpuk dan garam. Daging dipotong kecil-kecil seukuran satu genggam lalu dicampur dengan garam.

Pada zaman dulu, sui wu'u disimpan di para-para, namun saat ini ada rumah yang tidak memiliki para-para sehingga disimpan di tempat yang aman saja.
Thresia menambahkan, jika ada acara adat tertentu seperti Rebha dan Meghe, dan ada sisa daging babi khususnya bagian lemak, maka ia selalu menyimpan dan membuat Sui Wu'u.

Daging yang baru dan daging yang lama bisa dicampur dalam satu tuku, namun penempatannya diatur. Daging yang masih baru ditempatkan paling dasar. Lalu disusul dengan sui wu'u  yang sudah lama.

Idealnya sui wu'u dimakan setelah disimpan enam bulan. Semakin lama simpan semakin enak rasanya. Jika baru disimpan dua-tiga bulan, rasanya kurang lezat. Sebab, kelezatan sui wu'u  bukan pada daging, tetapi tepung jagung yang dicampur daging.

Thresia mengatakan, cerita orangtua dulu bahwa pada saat membuat sui wu'u tidak boleh dilihat banyak orang. Jika tidak, sui wu'u bisa rusak, dan aromanya tidak bagus.  Dan Thresia masih mempercayai hal itu sampai saat ini karena memang terbukti.

"Satu kali saya sementara buat sui wu'u, ada mas (orang Jawa) jual alat dapur lewat. Saya langsung teriak, mas jangan dulu lewat. Saya masih awetkan daging. Akhirnya orang itu mengerti," tutur Thresia sambil tertawa.

Suami Thresia Nau, Wenslaus Naru, mengaku sangat suka makan sui wu'u. "Saya suka makan sui wu'u. Karena sui wu'u punya cita rasa sendiri. Rasanya enak," aku Wens.

Menurut dia, pesan moral yang tersirat dari pembuatan sui wu'u adalah sikap penghematan. Pada zaman dulu, nenek moyang tidak pernah membuang daging sedikitpun, meski itu hanya bagian lemak saja. Karena untuk mendapatkan daging sangat susah. Karena itu, mereka membuat lemak daging babi menjadi menu yang bisa bertahan lama dan dikonsumsi pada musim tertentu. (jen)


Tunggu Master Plan Riparda

MESKIPUN sui wu'uu merupakan menu tradisional yang sudah dikenal oleh masyarakat di luar Bajawa. Namun kuliner lezat ini belum dipromosikan oleh Pemerintah Kabupaten Ngada sebagai kuliner tradisional khas Bajawa.

Kepala Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika (P2KI) Sidhu Paulinus melalui Kabid Pariwisata, Ivan Botha, Selasa (7/7/2015), mengatakan, promosi wisata kuliner baru bisa dilakukan setelah master plan Riparda (Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah) selesai dibuat.

Ivan menjelaskan, saat ini pihaknya masih mendata sejumlah pangan tradisional atau lokal yang menjadi potensi wisata untuk dipromosikan. Setelah seluruhnya terdata dan  master plan Riparda masih digodok oleh beberapa pakar pariwisata di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, barulah pangan lokal itu bisa dipromosikan.

Menjawab Pos Kupang, Ivan juga mengatakan, selama ini pihaknya sudah pernah menggelar lomba khusus untuk membuat beberapa pangan lokal namun khusus untuk pembuatan sui wu'u, belum pernah dilombakan.

Kendalanya, sui wu'u bukan menu siap saji seperti menu lainnya. Sui wu'u menu khusus yang dibuat secara khusus dan setelah dibuat tidak langsung dinikmati karena harus disimpan. Sehingga belum ditemukan formulasi yang tepat untuk penilaian lomba dimaksud. Namun hal itu akan dipikirkan kedepannya.


Ivan menambahkan, menu tradiisonal lainnya selain sui wu'u adalah rapa, yakni daging yang diawetkan dengan asap. Rapa mirip dengan Sei babi (daging asap). Bahan rapa   dari daging kerbau dan kuda, lalu daging yang diambil hanya bagian isinya. Lalu diiris tipis dan disimpan di para-para untuk proses pengawetan dengan asap.

Sedangkan bahan sui wu'u dari bahan lemak daging babi lalu diawetkan dalam tuku (bambu) dengan campuran tepung jagung kering dan garam.
Daging yang diambil untuk pembuatan sui wu'u juga harus berasal dari daging pada saat ada upacara adat seperti Rebha, ka Ngadhu, ka Sao. Sedangkan pada acara kematian, daging babinya tidak bisa dijadikan bahan untuk membuat sui wu'u. (jen)

NEWS ANALISYS

Hilangkan Racun

Oleh  dr. Emerentiana Renni Wahyuningsi

SAYA pernah makan sui wu'u. Daging itu wanginya unik dan lezat. Sui wu'u adalah makanan dari bahan daging (lemak) babi yang diproses dengan cara pengawetan.

Pengawetan daging menggunakan garam sangat tepat apalagi dicampur dengan tepung jagung sebagai bahan pembantu untuk penyerapan minyak pada daging. Daging semakin awet ketika komposisi bahan yang dicampur dalam sui wu'u sudah tepat.

Tepung jagung atau tepung maizena adalah pati yang didapatkan dari endosperma biji jagung. Pada dasarnya tepung jagung tidak mengandung lemak, sehingga sangat baik untuk dicampur dengan daging berlemak.

Tepung jagung yang memiliki banyak kandungan karbohidrat dan nutrisi dapat menyerap kelebihan minyak pada daging. Tepung jagung juga menjadi bahan pembantu untuk melembutkan daging.

Tepung jagung berfungsi untuk menyerap kelebihan minyak pada daging sekaligus menghilangkan unsur racun pada daging. Dengan demikian, daging yang dimakan tidak menimbulkan diare, meski (sui wu'u) disimpan lama.

Garam bermanfaat untuk mengawetkan daging agar tidak mudah rusak. Kelebihan garam selain membantu mengawetkan daging, juga bisa menghilangkan rasa pahit.
Itu sebabnya, ketika minyak sui wu'u diteteskan pada daun pepaya, rasa pahit daun pepaya bisa hilang. Hilangnya rasa pahit pada daun pepaya karena minyak daging yang sudah tercampur dengan garam.  

Selain itu, tempat penyimpanan sui wu'u harus disteril dari jenis-jenis binatang. Seperti tikus, lalat dan serangga. Sepanjang hal itu dijaga dengan baik, maka menu sui wu'u tersebut tidak mengandung unsur racun.

Selain memahami komposisi bahan yang dicampur, kebersihan (hygine), baik daging maupun alat simpan daging (bambu tuku), sistem penyimpanan dan sirkulasi udara juga harus menjadi perhatian. 

Ketika daging yang disimpan dalam bambu itu kondisi tertutup rapat, maka udara tidak akan masuk. Proses penguraian daging, tepung dan garam hanya terjadi dengan udara yang ada di dalam bambu (tuku).

Karena itu, udara baru 'tidak boleh' masuk (ke dalam lubang bambu yang berisi daging bercampur tepung jagung), karena itu pentingnya menutup rapat bambu saat proses pembuatan sui wu'u. (jen)

Sumber: Pos Kupang edisi Minggu 26 Juli 2015 halaman 1

Anak-anak Mbay Pertaruhkan Nyawa Demi Sekolah...

Anak-anak dari  Boarebhe dan Boanage pulang sekolah
Baju-baju itu dijemur di bebatuan di tepi sungai dan dikenakan kembali ketika mereka pulang sekolah dan hendak menyeberang sungai kembali ke rumah.

SIANG itu, 30 April 2015. Terik matahari  membakar kulit. Namun di tepi sungai Aesesa segerombolan anak-anak bertelanjang dada tampak semangat. Sebagian lagi berlari-lari kecil melintasi jalan setapak menuju sungai. Ada yang masih berseragam putih merah.  Ada yang  mengenakan alas kaki, ada juga yang bertelanjang kaki. 

Gelak tawa dan raut wajah ceria mewarnai perjalanan mereka menuju sungai.  Mereka adalah anak-anak dari  Kampung Boarebhe, Kelurahan Dhawe, Kabupaten Nagekeo yang baru pulang menimba ilmu di SDI Rata, sebuah sekolah dasar yang letaknya sekitar 2  kilometer (km) dari sungai itu.

Di tepi sungai Aesesa, di jalur yang akan mereka lintasi, berserakan baju dan celana anak-anak. Baju siapakah gerangan?  "Itu baju kami. Baju yang akan kami gunakan  ketika menyeberangi sungai," kata seorang bocah bernama Riano. Ternyata setiap hari anak-anak dari Kampung Boarebhe dan Boanage harus membawa satu pasang baju ganti. Baju khusus menyeberang sungai. Ketika sampai di seberang sungai, baju-baju itu ditanggalkan dan diganti dengan seragam sekolah. Baju-baju itu dijemur di bebatuan di tepi sungai dan dikenakan kembali ketika mereka pulang sekolah dan hendak menyeberang sungai kembali ke rumah.

Panas matahari yang menyengat seperti tak mereka hiraukan. Yang ada hanya semangat untuk sekolah. Rasa panas seakan sudah menyatu dengan mereka. Mereka sudah terbiasa bertelanjang dada, mereka sudah bersahabat dengan dinginnya air dan derasnya arus sungai. Bahkan mereka tak peduli jika setiap waktu  maut mengintai mereka di sungai itu.


Sebuah pemandangan yang mengiris hati. Bagaimana tidak, Boarebhe berada di pinggiran Kota Mbay, anak-anak itu  adalah keturunan dari para pemilik tanah di Kota Mbay, ibukota Kabupaten Nagekeo. Namun mereka seperti terabaikan, terisolir. Anak-anak itu hanya membutuhkan sebuah jembatan gantung untuk melintasi sungai yang nilainya mungkin tidak seberapa.Mereka membutuhkan jembatan yang dapat memberikan rasa aman bagi mereka untuk ke sekolah, untuk tumbuh dan berkembang seperti anak-anak di wilayah lain.

Riano, bocah 11 tahun itu merupakan satu dari belasan anak Boarebhe dan Boanage yang setiap hari berjibaku  melintasi sungai Aesesa demi bisa mengenyam pendidikan. Setiap kali hendak menyeberang sungai, Riano dan teman-temannya harus menanggalkan seragam sekolah dan mengenakan celana pendek berbahan kaus dan baju kaus oblong berwarna putih yang mulai usang. Pasangan baju itu yang setiap hari melekat di tubuhnya ketika menyeberang sungai.


Libur Saat Hujan
Saat ditemui sebelum melintasi sungai Aesesa akhir April lalu, Riano mengungkapkan, setiap tahun waktu liburan sekolah mereka lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak lain yang tinggal satu daratan dengan sekolah tempat mereka belajar. Bukan karena sekolah baik hati namun karena banjir.
"Kalau musim hujan tiba dan banjir, kami terpaksa berhenti sekolah. Tidak ada tempat lain yang bisa kami lewati untuk ke sekolah. Bapak ibu guru sudah tahu. Jadi mereka tidak marah kalau kami tidak ke sekolah," kata Riano lirih.

Seorang warga bernama Martinus Bheo juga mengatakan,  anak-anak di Boarebhe dan Boanage sudah melakoni situasi seperti  itu sejak puluhan tahun lalu. Martinus membenarkan anak-anak dari dua kampung itu selalu berhenti sekolah ketika musim hujan tiba.

Martinus mengatakan, sebenarnya di sungai itu bisa dibangun jembatan gantung yang bisa membantu anak-anak melintasi Sungai Aesesa.  Namun harapan itu baru sebatas harapan karena sampai saat ini belum ada tanggapan dari pemerintah terhadap kondisi anak-anak di kedua kampung itu. "Kami berharap pemerintah bangun jembatan gantung di sini. Selain untuk anak-anak ke sekolah, juga sebagai lintasan pipa air bersih. Selama ini pipa air bersih dari Boarebhe ke Dhawe hanya diletakkan di atas dahan pohon," kata Martinus.

Ketua Komisi B DPRD Nagekeo, Sambu Aurelius yang dikonfirmasi  saat meninjau langsung kondisi anak-anak  usia sekolah dari Boarebhe dan Boanage  mengatakan, akan memperjuangkan anggaran untuk jembatan gantung di daerah itu. "Kita akan perjuangkan di Perubahan Anggaran 2015 atau di APBD tahun 2016. Semoga perjuangan kita mendapat dukungan dari teman-teman di DPRD," kata Aurelius.

Aurelius mengatakan, anak-anak di dua kampung itu harus  mendapatkan rasa aman saat ke sekolah dan tidak lagi ketinggalan mata pelajaran hanya karena alasan banjir. Jembatan gantung juga, katanya, akan membuka akses ke Boarebhe dan Boanage yang selama ini masih terisolir. (adiana ahmad)

Sumber: Pos Kupang 26 Juli 2015 halaman 5

Asal Usul Nama Kota Ende

Bandara Haji Hasan Aroeboesman Ende 2015
KOTA Ende di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)  yang dikenal saat ini memiliki rekam jejak dan sejarah yang panjang. Dalam buku sejarah Kota Ende yang ditulis F.X Soenaryo, dkk di halaman 29 menyebutkan bahwa kata Ende diperkirakan berasal dari kata cindai. Dalam kamus disebutkan cindai adalah nama kain sutera yang berbunga-bunga. Pendapat lain mengatakan kemungkinan Ende berasal dari kata Cinde, yaitu nama sejenis ular sawa. Sawa adalah ular yang agak besar (pyton) di antaranya Sawa Rendem, Sawa Batu dan Sawa Cindai. Jadi ular Sawa Cindai ialah ular yang kulitnya berbunga  bunga seperti warna cndai.

Menurut cerita yang ada di daerah Kota Jogo, Kinde dan Wewa Ria yaitu wilayah Mautenda di sana banyak ular sawa yang disebut Sawa Lero atau Python reticulatus. Ular ini disamakan dengan Sawa Cindai. Jadi pada awalnya penduduk setempat hanya mengenal Sawa Lero, kemudian orang-orang Melayu dan pendatang dari Goa, Makassar, Bajo,  Bima menyebut Sawa Cindai sesuai dengan nama yang mereka kenal di daerah asalnya.

Lama kelamaan penduduk juga menyebut Sawo Lero itu Sawa Cindai. Berdasarkan cerita lisan dikatakan bahwa di masa lampau disebutkan ada ular ajaib di Gunung Meja atau Gunung Pui dan di Nusa Cilik yaitu Nusa Songo di Nusa Eru Mbinge. Di sekitar Kaburia, nama tempat, nama Ciendeh, Cinde, Kinde, dan Sinde seperti : Pulau Ciendeh, Tanjung Ciendeh dan Pelabuhan Ciende (Schetskaart van de Onderafdeeling Endeh,1918)

Selanjutnya nama tersebut di atas digunakan untuk nama kota, teluk dan Nusa Ende yang pada awalnya disebut Endeh, kemudian menjadi Ende. Hingga kini belum dapat dipastikan kebenarannya apakah nama Endeh, Ende itu berhubungan dengan nama Sawa Cindai. Tentu disebabkan adanya banyak perubahan dalam ucapan. Jadi nama  nama Cendau, Cindau, Sandau, Ciendeh, Cinde, Kinde, Sinde, Endeh dan Ende adalah nama yang setingkat, dilihat dari nama yang beretimologi sama yaitu dari istilah Cindai atau Sawa Cindai.


Guna meneliti perkembangan cara penulisan nama Ende, telah dikemukakan dalam beberapa tulisan, Van Suchtelen yang menulis nama  nama yang berkualitas dengan Ende sebagai berikut . Teluk dan Nusa cilik dekat Kota Jogo dan Mbotu Nita, ditulis dengan ejakan Ciendeh. Teluknya ditulis sebagai Teluk Ciendeh dan Nusa Cilik itu dikenal menjadi Ciendeh. Tulisan dan nama ini digunakan untuk nama tempat  tempat di pantai utara. Sedangkan nama  nama di pantai selatan yaitu Tanjung, Teluk, Nusa dan Kota, disebut Endeh. Nama Tanjung menjadi Tanjung Endeh, Teluk Endeh, Kota Endeh dan Nusa Eru Mbingu menjadi Nusa Endeh.

Apabila dibandingkan cara penulisan nama  nama tempat di Utara dan di Selatan oleh penulis tersebut, ternyata memiliki perbedaan yang relatif kecil atau sama yaitu Ciendeh dan Endeh, sedangkan latar belakang nama itu sama yaitu cindai dalam pengertian Sawa Cindai. Ini berarti sama  sama berlatar belakang ular sakti (Orinbao, 1969 : 160).

Penulis E.F Kleian seorang Civiel Gezaghebber dari Pulau Solor menulis nama Nusa Eru Mbinge itu menjadi Nusa Endeh, sedangkan nama teluk dekat Kota Jogo ditulis dengan ejakan Cinde (Kleian, 1875: 529  532). Ini berarti huruf h pada kata Ciendeh dan Endeh mulai dihilangkan. Walaupun demikian nama Endeh untuk tulisan Nusa Endeh masih tetap dipertahankan.

Penulis lainnya, C.C.FM. Leroux, menulis nama Ende dengan ejaan yang bermacam-macam sesuai dengan ejaaan yang ada pada sumber yang digunakan. Beberapa tulisan itu antara lain Endeh, Ende, Ynde,Inde, sehingga agak sulit untuk menghubungkan dengan istilah Sawa Cindai. Dilihat dari istilah Endeh masih dapat dihubungkan dengan istilah Ciendeh, sehingga melalui istilah Ciendeh semua istilah yang disampaikan Lerroux dapat dikembalikan pada etimologi yang sama ialah istilah (Sawa) Cindai yang berkaitan dengan ular raksasa (Orinbao, 1969 : 160).

Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Pua Mochsen yang mengatakan kata Ende berasal dari kata Ciendeh yang ada hubungannya dengan kata Cindai dan Cinde yaitu nama kain adat yang terbuat dari sutera yang biasa dipakai oleh penduduk dalam upacara  upacara adat. Cindai atau Cinde ini menjadi barang dagangan yang berasal dari India. Dengan demikian diperkirakan Ende berasal dari Cinde dan Cindai yang kemudian berubah menjadi Ciande dan Ciendeh, dan dalam perkembangannya menjadi Ende atau Endeh (Mochsen, 1984: 1).

Dengan adanya hubungan etimologik bagi nama Kota Ende dan Pulau Ende yang disinyalir dari istilah Sawa Cindai, maka dapat diketahui bahwa dalam perjalanan waktu nama Kota Ende dan Nusa Ende telah mengalami penggantian sebutan. Tulisan dan ucapan nama kota dan Nusa Ende sekarang biasa tanpa huruf h, akan tetapi dalam tulisan dan ucapan terjemahan kata Ende dalam ejakan latin masih biasa ditulis dengan huruf h menjadi Endeh.

Sejak masa Portugis penyebutan nama Ende memang tidak konsisten dan ditulis sesuai kemampuan yang mendengar dan sumber yang digunakan sehingga nama Ende kadang  kadang ditulis Ende. Orang  orang Portugis memberikan nama juga semaunya. Pigafetta menamai Nusa Gede ini Zolot sedangkan nama Zolot yang sebenarnya adalah Nusa Cilik di sebelah timur, itu telah disebutkan dalam Kakawin Negara Kertagama dari Zaman Kerajaan Majapahit seperti telah diuraikan di atas. Pada masa kekuasaan Portugis Nusa Gede disebut Ilha de Larantuca yang diartikan sebagai Nusa Larantuka. Selanjutnya dari pusat pertahanan Portugis di Nusa Cilik Ende, Nusa Gede dinamai Endeh Ilha Grande yang artinya Nusa Gede.

Terlepas dari asal nama Ende yang sampai sekarang belum dapat dipastikan, nama Ende sudah cukup lama dikenal oleh dunia internasional. Hal ini dapat dilihat dalam majalah Belanda BKI jilid ketiga yang terbit tahun 1854, halaman 250 nama Ende sudah disebutkan dengan jelas. Salah satu artikelnya berupa laporan tertulis Predicant (pendeta) Justus Heurnius yang menceritakan keadaan daerah Ende pada masa awal perkembangan agama Kristen dan tentang keadaan di Bali tahun 1638.
Setelah masa penjajahan Belanda Nama Ende yang sering juga ditulis Endeh dikenal sebagai ibukota Afdeeling Flores dan sekaligus ibukota Ondeerafdeeling Ende. Sejak itu nama Ende atau Endeh selalu digunakan dalam buku  buku untuk sekolah  sekolah Bumi Putera dalam Karesidenan Timor seperti Kitab Pengetahoean dari hal Residen Timoer dan daerah takoeknja karangan Arn. J.H. Van Der Velden yang diterbitkan pada tahun 1914.

Van Suchtelen dalam bukunya berjudul Endeh yang terbit tahun 1921 juga menulis pada tahun 1560 seorang Pater Dominican dari Portugis yaitu Pater Taveira telah membaptis orang  orang di Timor dan Endeh sebanyak 5.000 orang lebih. Pada tahun 1570 disebutkan  ada bajak laut dari Jawa yang membajak dan membunuh di Pulau Endeh (Suchtelen, 1921:1). Orang  orang Kristen mengungsi dan dikumpulkan Pater Simon Pacheo yang mendirikan benteng  Fortolessa de Ende Minor di Pulau Ende untuk melindungi para misionaris Dominican dari Solor. 

Dengan adanya beberapa tulisan yang menyebutkan nama Ende seperti itu di atas dapat disimpulkan nama Ende sekurang  kurangnya sudah sejak tahun 1560 dikenal dan digunakan sampai sekarang. (*/romualdus pius)

Sumber: Pos Kupang 26 Juli 2015 halaman 5

Kisah dari Bandara El Tari

ilustrasi
Dalam sepuluh tahun terakhir terjadi banyak perubahan di Bandar Udara (Bandara) El Tari Kupang. Kita coba membuat perbandingan ala kadarnya. Dulu bandara yang mengabadikan nama gubernur kedua Provinsi  Nusa Tenggara Timur (NTT)  tersebut hanya ramai beberapa saat bahkan tidak sampai setengah hari karena minimnya pesawat yang datang dan pergi. Dulu ruangan tunggu tak seberapa luas. Itupun belum tentu penuh dengan para penumpang. Ruang kedatangan penumpang juga kurang lebih sama kondisinya.

Wajah Bandara El Tari hari ini sudah jauh berbeda. Secara fisik sudah beberapa kali mengalami perombakan dan penambahan fasilitas. Kesibukan di bandara tersebut nyaris berlangsung selama 24 jam karena padatnya jadwal penerbangan sejak fajar menyingsing hingga menjelang tengah malam. Praktis hanya sekitar empat jam para pekerja di bandara tersebut  beristirahat. Mulai pukul 04.00 Wita El Tari sudah bergeliat lagi melayani penumpang yang datang dan pergi ke berbagai penjuru tanah air bahkan hingga ke mancanegara.

Hampir semua maskapai penerbangan di negeri ini menyinggahi Bandara  El Tari Kupang bahkan menjadikan Kupang sebagai home basenya. Maskapai terkemuka sekelas Garuda Indonesia  tidak hanya mengoperasikan pesawat berbadan lebar. Garuda  malah menyediakan pesawat berbadan sedang untuk melayani  rute jarak pendek di wilayah NTT. Dia mengikuti jejak maskapai Lion Air yang lebih dulu melayani rute jarak pendek di NTT pasca ambruknya maskapai perintis di wilayah kepulauan ini, Merpati Nusantara Airlines.

Perubahan drastis di Bandara El Tari menunjukkan ekonomi bertumbuh di daerah ini. Bersamaan dengan itu posisi bandara tersebut semakin penting dan menentukan. Dia merupakan pintu gerbang utama NTT. Kesan pertama orang luar tentang Flobamora pun terpatri di sana. Baik buruknya NTT, pada awal jumpa justru hadir di El Tari sebagai pintu utama keluar masuk Nusa Tenggara Timur.

Itulah sebabnya kita agak terusik dengan berita yang dirilis harian ini tentang dugaan pungutan liar (pungli) yang menimpa wisatawan di bandara tersebut.

Dugaan pungli berkaitan dengan tarif mobil taksi.  Angka yang tertera dalam karcis resmi Rp 70.000 tetapi pengguna taksi diminta membayar Rp 100.000 karena jumlah mereka lebih dari empat orang. Sesuai ketentuan, satu taksi hanya boleh membawa empat orang penumpang. Wisatawan pun kesal karena sempat "diminta" agar menggunakan dua mobil taksi.

Masalah ini memang sudah selesai dan pihak pengelola taksi Bandara El Tari telah menyampaikan permohonan maaf. Walau demikian, kesan tidak nyaman tersebut tentu masih melekat di benak wisatawan yang mengalaminya. Kalau dia bercerita kepada orang lain, sebut misalnya anggota keluarga, rekan kerja, sahabat, kenalan,  maka kisah tentang  pelayanan umum di Bandara El Tari Kupang yang tersebar luas kuranglah elok, tidak sedap.

Tentu saja ini merugikan kita warga NTT yang tiada henti berikhtiar menyebarluaskan kesan baik tentang daerah ini. Kita sudah lelah dengan beragam stigma negatif tentang NTT. Sudah saatnya kita lebih banyak menumbuhkan sisi positif tentang Flobamora. Semoga!

Sumber: Pos Kupang 23 Juli 2015 halaman 4

Inilah Bahasa Sandi Para Koruptor Indonesia

Masih ingat apel malang dan apel washington? Ini bukan tentang jenis-jenis apel yang dijual di pasar, melainkan tentang bagaimana pihak-pihak yang terlibat suap menyamarkan tindak kejahatannya dengan kode-kode permintaan uang agar tidak terkesan vulgar dan terdeteksi petugas penegak hukum yang menyadap pembicaraan telepon mereka.

Penggunaan bahasa sandi oleh pelaku korupsi bisa jadi sudah berlangsung lama. Namun, sandi-sandi korupsi tersebut memang mencuat sejak terbongkarnya percakapan antara Angelina Sondakh, mantan politisi Partai Demokrat, dan Mindo Rosalina Manulang, Direktur Pemasaran PT Anak Negeri yang didirikan M Nazaruddin. Seperti tercantum dalam salinan putusan pada 19 Juni 2010, terjadi percakapan BlackBerry Messenger (BBM) di antara keduanya yang antara lain mengatakan, "Nanti ibu ditel sama orang kita ya?" dan "Tapi apel Washinton ya bu," serta "1 kilo dulu ya bu. Krn stock ku habis. Diusahakan sebelum selesai istirahat sdh ada."

Pesan itu dibalas oleh terdakwa (Angie), "Oke deh, tapi jangan lupa kekurangannya apel malang aja ya."

Selain apel, Angie dan Rosa juga meminjam nama-nama buah lainnya. Ada semangka yang artinya miliar rupiah, melon yang artinya ratusan juta rupiah, sementara apel diasosiasikan dengan puluhan juta rupiah.

Penggunaan nama-nama makanan untuk menyamarkan uang "tidak halal" tersebut tak hanya dilakukan oleh Angie. Sebut saja mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar ketika mengisyaratkan perlunya uang dalam penanganan perkara sengketa Pilkada Kota Palembang, Sumatera Selatan.

Salah satu saksi dalam perkara tersebut, Miko Panji Tirtayasa, dalam persidangan 8 Januari 2015 di Pengadilan Tipikor Jakarta mengungkapkan, Muhtar Effendy (perantara) memberitahukan bahwa "Bos Besar" meminta kiriman empek-empek tiga dus ke Kiai Palembang. Adapun yang dimaksud Bos Besar adalah Akil, sementara Kiai Palembang adalah Romi Herton. Selain empek-empek, Akil juga pernah menggunakan sandi ton emas.

Ada juga istilah kopi coro yang terungkap dalam sidang kasus suap APBD Kota Semarang, Jawa Tengah, yang melibatkan mantan Wali Kota Semarang Soemarmo HS. Istilah itu diungkapkan Sekda Kota Semarang Akhmad Zainuri pada persidangan 2 Juli 2012 di Pengadilan Tipikor Jakarta. Kopi coro artinya "kopi kecoak", diidentikkan dengan sesuatu yang tidak enak. Dalam kasus ini, istilah kopi coro digunakan ketika uang yang diberikan tidak sesuai harapan. Artinya, nilainya terlalu sedikit.


Selain itu, terungkap pula istilah susu kaleng, nyam-nyam, dan luwak. Susu kaleng mengacu uang dalam hitungan miliar, sedangkan uang yang akan diberikan kepada anggota DPRD disebut nyam-nyam. Sementara itu, luwak adalah pihak yang meminta uang.

Ragam sandi yang digunakan oleh pelaku korupsi cukup luas. Semua berkaitan dengan latar belakang orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Apakah kosakata sandi atau bahasa kode korupsi akan bertambah dengan operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap tiga hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan dan advokat pada kantor hukum OC Kaligis dan Partner di Medan, Sumatera Utara, Kamis (9/7/2015)?

Saat hal ini ditanyakan kepada Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji, ia mengungkapkan bahwa kasus masih terus didalami. Ia belum bisa mengungkapkan sandi-sandi apa yang digunakan oleh para tersangka suap karena hal itu bisa berdampak pada pengembangan kasus yang sedang ditangani.

Bisa jadi, kita akan segera mendapatkan lagi kosakata baru dalam kamus bahasa sandi para koruptor ini. (Susana Rita)

Sumber: Kompas.Com

Si Sandel pun Ditunggangi Arwah

Kuda Sumba
SUMBA timur identik dengan kuda Sandel atau Sandelwood. Tapi coba bertanya kepada warganya, apakah memiliki kuda Sandel? Anda akan mendapat dua jawaban: 'tidak ada' dan 'tinggal sedikit.'

Si Sandel merupakan hasil perkawinan silang kuda poni lokal dengan kuda Arab. Kuda Arab pertama kali masuk Sumba Timur dibawa Al Jufri, penyebar agama Islam. Dalam perjalanan, kuda Arab dikenal juga dengan sebutan kuda Al Jufri.

Nama Sandelwood berasal dari kata 'sandel' yang berarti kuda, dan 'wood' artinya kayu cendana. Penamaan Sandelwood oleh bangsa Belanda. Pada masa lampau, kuda dan cendana menjadi komoditas unggulan yang diekspor dari Sumba Timur.
Kuda Sandel memiliki postur rendah. Tinggi punggung 1,15-1,35 meter. Bentuk kepala besar dengan wajah rata, leher tegak dan lebar serta ekornya tinggi. Kaki berotot dan kukunya kuat. Keistimewaan lain, warna bulu bervariasi, ada yang hitam, putih, merah, krem, abu-abu dan belang.

Saat ini populasi kuda Sandel menurun. Hasil sensus ternak yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur melalui Dinas Peternakan tahun 2008, menyebutkan data populasi kuda secara umum yang mencapai 30.000 ekor.

Rinciannya betina 18.958 ekor dan jantan 9.846 ekor. Mengingat sebelum ada 2008 sudah banyak kuda cross yang dipelihara masyarakat. Belum ada data khusus yang bisa menjelaskan populasi kuda Sandel di Sumba Timur. "Memang Sandel masih ada, tapi populasinya menurun," ujar Lukas Kaborang yang menyebutkan sejumlah daerah yang masih memiliki kuda Sandel yaitu Paberiwai, Matawai Lapau, Pinupahar, Karera dan Tabundung.

Kalau dulu tersebar di semua wilayah. Di Kanatang sangat banyak kuda Sandel, sekarang sudah tidak ada. Begitu juga di Waingapu dan daerah sekitarnya.
Padahal kuda Sandel mempunyai ikatan historis dengan orang Sumba Timur. Kuda Sandel telah menjadi bagian hidup masyarakat sejak abad ke-18.

Kuda Sandel sebagai alat transportasi. Karena kuat, kuda Sandel mampu melakukan perjalanan lebih dari 70 km. Kuda Sandel juga diyakini sebagai kendaraan leluhur.  Hal ini dapat dilihat pada saat upacara penguburan. Saat jenazah dibawa ke kubur, di barisan depan ada seekor kuda Sandel yang sudah 'didandan' dan ditunggangi seseorang.


Masyarakat percaya arwah orang meninggal menunggang kuda Sandel sampai ke Kampung Marapu bertemu leluhur, yang diyakini sebagai Surga (kepercayaan Marapu). Selain itu, kuda Sandel sebagai belis dan cenderamata untuk urusan adat.
Lukas Kabarong, mantan Bupati Sumba Timur mengaku sudah tidak punya kuda sandel. Namun yang ada hanya kuda cross (hasil kawin silang). Lain halnya, Umbu Remi, warga Kelurahan Prailiu, yang memiliki satu ekor kuda Sandel. "Itupun hasil tukar dengan kuda cross. Kuda saya ini dipersiapkan untuk ikut lomba pacuan kuda di kelas yang diikuti kuda Sandel," kata Umbu Remi.

Umbu Hapu, Anggota DPRD Sumba Timur, mengaku memiliki kuda sekitar 300 ekor, saparuhnya adalah kuda Sandel. (alfons nedabang)



Jatuh Hati Pada Kuda Cross


ADA beberapa faktor penyebab menurunnya populasi kuda Sandel yang selalu mengemuka, yaitu meluasnya penyakit antrax dan sura, pengantarpulaan kuda yang tidak terkontrol, maraknya pencurian serta beralihnya peternak memelihara sapi ongol.

Faktor lain yang juga tidak bisa dipungkiri pengaruhnya, yaitu terjadinya kawin silang pasca masuknya kuda-kuda lain dari luar Pulau Sumba. Pada awalnya abad ke-19, sudah terjadi kawin silang kuda Australia dengan betina Sandel. Namun jumlahnya masih sangat terbatas. Sekitar tahun 1990-an, secara perorangan, beberapa pengusaha keturunan Tionghoa membawa kuda jantan dari Pulau Jawa, untuk dijadikan kuda pacu.

Pada masa itu terjadi juga kawin silang dengan kuda betina Sandel, tapi tetap terbatas. Karena biaya kawin kuda mahal dan pemilik kuda jantan selektif terhadap kuda betina yang mau dikawinkan.

Dalam perjalanan, pemerintah daerah membuat kebijakan memasukan kuda thoroughbred dari Australia. Tujuannya untuk perbaikan kualitas, termasuk kecepatan serta meningkatkan daya tahan tubuh kuda Sandel yang pada saat itu kualitas serta populasinya menurun.

Sewaktu Sumba Timur dipimpin pasangan Umbu Mehang Kunda dan Gidion Mbilijora, dibuatlah breeding center (fasilitas pembibitan) kuda thoroughbred di Matawai Maringu.

Sejak saat itu semakin banyak kuda dari luar dibawa masuk ke Sumba Timur. Kalau dulu hanya pengusaha keturunan Tionghoa dan pemerintah, sekarang siapapun bisa membawa masuk kuda asal punya uang. Beberapa jenis kuda yang dibawa masuk di antaranya kuda Jawa, kuda Bali, kuda Sumbawa, Ujung Pandang dan kuda Manado. Bahkan ada pengusaha mendatangkan dari luar negeri.

'Kuda-kuda pendatang' kemudian dikawinkan dengan betina Sandel. Mulanya hanya beberapa orang yang berminat. Namun lambat laun, apalagi setelah mengetahui hasil dari kawin silang bagus, masyarakat ramai--ramai mengawinkan kudanya dengan kuda-kuda pendatang.

Karena kualitas, termasuk kecepatannya bagus sehingga kuda cross dijadikan masyarakat Sumba Timur sebagai kuda pacu.

Tidak heran kalau event lomba pacuan kuda atau palapang njara yang dilaksanakan di lapangan Rihi Eti Prailiu, Waingapu setiap bulan Juni, Agustus dan Oktober dianggap sebagai ajang unjuk kebolehan kuda-kuda cross.
Kalau beberapa tahun sebelumnya, dalam lomba pacuan kuda hanya 4 kelas (ABCD) yang diperlombakan, didominasi kuda Sandel. Kini bertambah menjadi 15 kelas, yaitu A, B, C, D, A1, A2, A Super, Pemula (P) Mini, P1, P2, P3 dan P Super. Ada juga kelas E1, E2 dan E Super. Pembagian kelas berdasarkan tinggi punggung kuda.

"Dari lima belas kelas ini, yang diikuti kuda sandel kelas pemula mini, D dan kelas D mini karena postur sandel rendah. Kalau pun ada itu untung-untung. Pada tiga kelas ini masih lebih banyak kuda cross," kata Kalendi Manangahau.
Kelas selebihnya didominasi kuda cross. Artinya, penambahan kelas untuk mengakomodir kuda-kuda cross yang memiliki postur tinggi.

Masyarakat semakin jatuh hati pada kuda cross karena selalu menjuarai lomba pacuan. Dampak selanjutnya, harga kuda cross pun melambung, berkisar puluhan hingga ratusan juta rupiah.

"Masuknya kuda dari luar tujuan utamanya perbaikan kualitas untuk kuda pacuan. Ternyata dampaknya menurunkan populasi kuda Sandel juga. Ini menjadi salah satu penyebab populasi untuk kuda pacuan asli Sandel jadi minim," kritik Umbu Angga, aktivis LSM.

Penurunan populasi Sandel dirasakan ketika ada urusan adat, semisal adat pernikahan. Kalau sebelum-sebelumnya biasa menggunakan kuda Sandel untuk belis, sekarang kuda cross.

"Kalau untuk adat tetap kuda Sandel. Kalau tidak punya kuda Sandel terpaksa kasih kuda cross. Kadang di forum adat mereka tau, tapi dibilang ini anak kuda pacuan maka pihak sebelah terima. Tidak bisa menghindar lagi," ujarnya.
Mengingat Sandel sebagai identitas Sumba Timur, maka perlu ada kebijakan pemerintah daerah untuk mempertahankan kuda Sandel.

"Sandel identitas Sumba. Jangan beralasan perbaikan genetik sandel tapi justru merusak Sandel sendiri. Mestinya mempertahankan nilai lokal yang ada," kritik Umbu Remi.

Ide adanya breeding center Sandel perlu segera disikapi pemerintah. Perlu juga diadakan event lomba pacuan khusus kuda Sandel. Perlombaan tidak hanya tingkat kabupaten tapi mulai dari tingkat kecamatan. Upaya-upaya ini tentunya dengan semangat menggairahkan masyarakat untuk memelihara kuda Sandel agar Sumba Timur tidak kehilangan identitasnya. (alfons nedabang)

Sumber: Pos Kupang 12 Juli 2015 halaman 1

Sekali Kawin Rp 7 Juta

Kuda Sumba
Oleh Kalendi Manangahau, Peternak Kuda Sandel Sumba

PERKAWINAN
kuda pacu mendapat perhatian serius pemilik kuda. Urusan kawin mengawini juga terbilang mahal. Penggemar kuda pacu di Waingapu, Sumba Timur, harus merogoh kocek jutaan rupiah. Kenapa? Contoh saya, saya punya pengalaman saya  mengawinkan kuda betina dengan kuda jantan milik ongko Kiang, pengusaha keturunan Tionghoa.

Perkawinan terjadi tahun 2005. Kuda betinanya jenis Sandel, pernah juara lomba pacuan kuda. Sedangkan pejantan milik ongko Kiang jenis thoroughbred yang didatangkan dari Australia. Terjadilah perkawinan di kandang kuda milik ongko Kiang. Beberapa waktu kemudian, ketahuan kuda betinanya tidak bunting.
Dan, saya kembali mendatangi ongko Kiang untuk minta kembalikan uang Rp 7 juta. Karena tidak berhasil sehingga uang dikembalikan. Memang ada kesepakatan seperti itu. Ya, di sini mengawinkan kuda mahal. Tarifnya berkisar Rp 3 juta sampai Rp 7 juta rupiah untuk sekali kawin/'tembak' satu betina. Ongko Kiang bukan satu-satunya pemilik kuda jantan bagus.

Memelihara kuda pacu beda dengan memelihara kuda biasa. Dan jika ingin meraih juara, maka kuda diperlakukan agak istimewa. Perlakuan terhadap kuda menjelang event pacuan sangat menentukan kualitas kuda pada saat berlomba. Kalau mau kuda tampil bagus, maka tiga bulan sebelum event lomba pacuan kuda sudah melakukan persiapan.

Makanan dan minum juga harus diperhatikan serius. Bahkan memandikan kuda juga ada caranya. Bahkan kuda juga harus dikompres. Sebelum dan setelah lari, kuda dikompres dengan air panas biar kuda tidur nyenyak.

Bahkan sebelum diberangkatkan ke arena pacuan, hendaknya dibuat seremoni atau ritual adat. Dan saya juga melakukan hal itu. Kalau dulu seremonial itu sering dilakukan karena masih percaya Marapu. Namun sekarang tidak lagi. Namun dengan rumit dan besarnya biaya memelihara kuda pacu ternyata tidak sebanding dengan hadiah yang diperebutkan. Pengeluaran lebih besar dari hadiah yang diterima pemilik kuda juara. Hadiahnya tidak sebanding. Saya senang saja karena hobi tersalur. (aca)

Sumber: Pos Kupang 12 Juli 2015 halaman 1

Joki Citarasa Bima

Joki cilik saat latihan di lapangan Prailiu, Waingapu, Sumba Timur.

SALAH satu elemen penting dalam lomba pacuan kuda adalah joki, penunggang kuda. Joki berperan menuntun kudanya berlari mengitari lintasan pacu. Joki mengendalikan kudanya menjadi yang tercepat menginjak garis finis.

Umumnya joki anak-anak, berusia 6 hingga 12 tahun. Berat tubuh berkisar 17-21 kg. Dengan tubuh kecil dan ringan, joki mahir menuntun kudanya berlari.
Sebagai joki harus memiliki keberanian. Mental yang bagus menjadi modal untuk bertarung di arena pacuan. Bagaimana joki di Sumba Timur? Pemilik kuda pacuan, Umbu Hapu punya penilaian.

Politisi Partai Golkar ini mengatakan, joki Sumba mengalami penurunan jumlah. Sudah sedikit, mentalnya juga kurang bagus. Keahliannya masih kurang. Selain itu, postur tubuh gemuk. Dominannya kekurangan joki Sumba membuat Umbu Hapu menggunakan joki asal Bima, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. "Sudah lima enam tahun saya pakai joki Bima," kata Umbu Hapu.

Joki Bima memiliki kelebihan yang tidak dimiliki joki Sumba, di antaranya postur tubuh kecil, ringan dan mental bagus. Joki Bima punya keahlian dan keberanian. "Keahliannya lebih, bisa tergantung di leher kuda. Joki Bima kecil-kecil, berani dan tidak ragu. Netralitasnya bagus, tidak terpengaruh bila disogok," ujarnya. "Mereka hebat. Kalau jatuh tidak mau naik ambulance ke rumah sakit. Bapaknya berdoa dan usap-usap sedikit langsung bangun," puji Umbu Hapu.

Joki Bima tahu event lomba pacuan kuda di Waingapu. Beberapa hari sebelum event dimulai, joki Bima sudah ada. Umumnya para joki datang bersama orang tua. Ada juga datang atas permintaan khusus pemilik kuda.

Kebutuhan akan joki Bima dibicarakan pemilik kuda saat berada di lapangan. Biasanya pemilik kuda mendekati dan meminta orang tua atau koordinator menyiapkan joki untuk menunggang kudanya. Tidak menutup kemungkinan joki yang sama menjadi pilihan pemilik kuda lainnya.


Setiap pemilik kuda yang menggunakan jasa joki Bima harus membayar. Sekali menunggang kuda dibayar Rp 50.000. Juara atau tidak joki tetap dibayar. Kadang kalau pemilik kudanya senang tarifnya bisa lebih.

Agus Hungameha juga mengatakan, jumlah joki Sumba menurun. "Yang punya keberanian itu anak-anak Wairinding. Dulu banyak, tapi sekarang sudah berkurang," kata Hungameha.

Menurutnya, joki Bima memiliki teknik. Kalau joki Sumba, kuda hilir (keluar lintasan) mereka gerogi lalu loncat. Beda dengan joki Bima yang punya teknik menahan kuda dengan bagus.

Pemilik kuda pacu, Umbu Remi, mengakui bahwa saat ini joki Sumba masih tersedia tapi tidak sebanyak waktu dulu.

Penurunan terjadi karena adanya kesadaran orangtua menjaga dan melindungi anaknya. Para orangtua khawatir saat menunggang kuda anaknya terjatuh dan cidera. Orangtua tidak mengizinkan padahal anaknya berminat menjadi joki. Berbeda dengan anak-anak Bima yang mendapat dukungan orangtuanya.
Anak-anak Sumba juga banyak yang sekolah. Program pendidikan gratis yang dicanangkan oleh pemerintah daerah menjadi faktor pendorong bagi orangtua menyekolahkan anaknya. Hal ini ikut memberi dampak menurunnya jumlah joki Sumba.

Umbu Remi tidak sependapat jika dikatakan menurunnya jumlah joki karena faktor kurang perhatiannya pemilik kuda terhadap joki. Mengenai keberanian dan keahlian, menurutnya, joki Sumba dan joki Bima sama-sama memilikinya.
Makanya dia menggunakan joki Sumba dan joki Bima. Pada putaran pertama atau babak penyisihan dipakainya joki Bima. Kalau sudah masuk babak semifinal menggunakan joki Sumba. Upaya ini disebutnya sebagai trik untuk mengantisipasi kecurangan yang dilakukan joki Bima.

"Saya khawatir joki Bima kasih hilir (keluar dari jalur pacu) atau menahan kuda. Jadi, mengganti joki upaya saya mengantisipasi kecuraangan. Karena biasanya dalam pacuan, saya punya kuda kuat, ada yang mau kalahkan kuda saya, maka dia akan berusaha untuk membayar joki yang saya pakai," katanya.

Kalendi Manangahau, pemilik kuda pacu lainnya, lebih suka joki Sumba. Anak-anak anggota keluarganya dari kampung yang dijadikan joki. "Saya tidak sewa joki Bima. Bagi saya, anak-anak di kampung yang dijadikan joki. Mereka sudah menyatu dengan kuda karena selama ini selalu berada di padang menggembalakan kuda. Mereka dibentuk secara alami semenjak menggembala kuda di padang dan menyatu dengan kuda," kata Kalendi.

Mantan joki kuda pacu, Domu (71), sudah menduga akan terjadi menurunnya jumlah joki Sumba karena kurang berminatnya anak-anak menjadi joki. Bercermin pada dirinya, pria beruban yang pertama kali menjadi joki tahun 1958 saat berusia 14 tahun, mengakui belum berhasil menurunkan ilmu perjokian kepada anak dan cucu-cucunya. "Anak dan cucu-cucu saya tidak ada yang jadi joki. Mereka tidak berminat. Mau bagaimana lagi kalau joki kurang. Banyak dari Bima itu karena keterbatasan kita," katanya.

Kondisi kekinian perjokian kuda pacu melengkapi cerita kian memudarnya kuda Sandel di negeri padang savana. Lomba pacuan kuda bukan lagi menjadi ajang unjuk kebolehan kuda Sandel dan kemahiran joki Sumba. (aca)

Sumber: Pos Kupang 12 Juli 2015 halaman 1

Kerbau Bule untuk Arwah Leluhur

Sembelih kerbau bule (foto Egy Mo'a)
PULUHAN tahun silam di Kampung Lada, Mpo (nenek) Podang tinggal bersama seorang istri dan beberapa orang anaknya. Beragam perasaan berkecamuk di sanubari Mpo Podang. Apakah  hanya dia bersama keluarganya yang akan terus menempati wilayah seluas itu yang kini tergabung dalam Desa Manong di Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai. Mpo Podang membatin.

Kegaulauan Mpo Podang itu dicurahkan kepada arwah nenek-moyangnya. Dia berharap agar diberikan keturunan yang banyak untuk mendiami Kampung Lada. Bila permintaan itu terkabulkan, Mpo Podang berjanji suatu waktu keturunannya akan mempersembahkan seekor kerbau bule sebagai tanda syukur.

Waktu pun berjalan, hari berganti minggu, bulan berganti tahun demi tahun, sampailah di tahun 2015. Telah ratusan  warga keturunan Mpo Podang yang beranak pinak memenuhi seisi kampung itu yang kemudian membentuk komunitas Compang (rumah adat) Lada dalam garis keturunan Suku Manong.

Janji mempersembahkan kaba rae atau kerbau bule itu mungkin tak diingat lagi oleh sebagian keturunan Mpo Podang. Beberapa pertanda yang sulit diterima akal sehat datang silih berganti mengancam warga keturunan suku Monang. Ada yang mengalami waa le wae gelo atau  mati dibawa air sungai jernih. Ada juga mati terbunuh. Demikian juga tetua atau warga di kampung itu sering mengalami mimpi ditagih leluhur agar menyembelih kerbau bule.

Kejadian demi kejadian menjadi bahan refleksi warga Mpo Podang. Pemuka Compang Lada bererembuk. Mereka sepakat menyelenggarakan syukuran dengan menyembelih kaba rae (kerbau bule). Bersyukur kepada nenek-moyang yang telah mengabulkan permintaan Mpo Podang.

Perayaan syukur itu berlangsung hari Kamis (9/7/2015). Sekitar 500-an orang mulai dari anak-anak hingga orang  tua dari keturunan Mpo Podang berkumpul di Gendang Lada. Seekor kerbau bule terikat di tengah halaman rumah adat itu. Bunyi gong gendang bertalu-talu dimainkan kaum wanita usia paruh baya.

Beberapa pria berpakaian adat Manggarai berdiri mengitari seorang algojo dengan kelewang panjang di tangan. Dalam sekali tebasan tepat mengenai leher kerbau jantan itu.  Kerbau bersimbah darah. Roboh ke tanah. Daging kerbau lalu dipotong-potong untuk makan bersama seluruh warga kampung.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Manggarai, Wens Sene, menyaksikan upacara langka tersebut. Kehadiran pejabat pemerintah sebagai saksi atas penyelenggaraan upacara yang berbau mistis regilius itu. "Yang namanya upacara adat yang diselenggarakan semua komunitas di Manggarai, bupati dan wakil bupati pasti diundang hadir menyaksikan. Aspek budaya daerah menjadi urusan wajib selama pemerintahan Pak Chris Rotok dan Deno Kamelus. Kalau mereka berhalangan, saya diutus," kata Wens.

Pemerintah Kabupaten Manggarai memberi apresiasi tinggi kepada semua komunitas masyarakat yang menyelenggarakan upacara adat. Pemerintah dan masyarakat tidak bisa dipisahkan dari budayanya, meski ilmu pengetahuan dan teknologi informasi berkembang pesat tak mengena ruang dan waktu.

Dengan menyelenggarakan kaba rae, kata Wens, semua keturunan Mpo Podang mengharapkan nenek moyang (terimplisit Tuhan Yang Maha Esa) melimpahkan kesejahteraan secara ekonomi dan dijauhkan dari segala macam musibah.

Wens yang  sudah sering hadir dalam berbagai ritus adat di Manggarai, mengakui penyembelian kabe rae, jarang diadakan komunitas di Manggarai. "Memang ada kecemasan ritus-ritus adat yang aktif seperti congko lokap, jarang bolong, kaba maring beka, kaba oke lalo, kaba kaer ulu wae, dan kaba kelas akan punah.  Tapi  kami percaya setiap generasi dalam komunitas itu akan setia kepada ritus itu,"  demikian Wens. (egy mo'a)

Sumber: Pos Kupang 12 Juli 2015 halaman 5

Melihat Lumpur Keramat di Malaka

Kubangan lumpur di Litamali, Malaka, Timor
Warga Litamali percaya lumpur keramat yang bergelembung mengikuti pasang surut air laut itu merupakan tempat  nenek moyang mereka berada.

MALAKA memiliki masinlulik yaitu lumpur bergelembung membentuk dua kubangan seperti gunung kecil berada di tengah hutan bakau Litamali, Kecamatan Kobalima. Masinlulik diyakini oleh warga masyarakat Litamali  sebagai lumpur yang keramat. Warga percaya lumpur keramat yang bergelembung mengikuti pasang surut air laut itu merupakan tempat  nenek moyang mereka berada.

"Lumpur keramat itu ada sejak nenek moyang Kami percaya setiap orang yang mati akan memperlihatkan wujudnya di kubangan Masinlulik itu,'' ujar Vincentius Manek, kepala Desa Litamali kepada Pos Kupang, Jumat (3/7/2015) siang.

Diakuinya, lumpur Masinlulik begitu keramat sehingga warga setempat tidak sembarangan mengunjungi tempat tersebut. "Waktu kami masih kecil, orangtua melarang kami bermain di sana. Cerita orangtua dulu banyak yang meninggal dunia di kubangan ini. Jika berkunjung ada yang membuang ludah di kawasan lumpur,  pasti dia  tidak selamat. Begitu juga saat pulang berkunjung tidak boleh menoleh ke belakang,  katanya bisa saja gila, sakit hingga meninggal,'' demikian Vincentius Manek.

Masinlulik di kawasan hutan bakau laut Litamali memiliki dua kubangan, satu kubangan berukuran kecil berada di barisan pertama area jalan masuk dan kubangan besar berikutnya bersebelahan dengan kubangan kecil. Jarak antara keduanya kira-kira 200 meter. Sedangkan lumpur yang keluar dari mulut Masinlulik bergelembung mengikuti pasang surut air laut.

"Masinlulik berjumlah dua kubangan, satu kubungan kecil dengan lebar mulut kubangan kira-kira mencapai satu hingga dua meter, sedangkan kubangan berikutnya sangat besar ukuranya mencapai belasan meter. Untuk dapat menyaksikan kubangan besar pada saat air laut surut karena  kita bisa berjalan kaki melintasi hutan bakau. Saat laut pasang kita harus mengunakan perahu," ujarnya.

Bau Minyak Menyengat

Vincentius menjelaskan, semburan lumpur dari kedua kubangan mengeluarkan bau minyak yang menyengat. "Tekanan semburan lumpur akan semakin kuat saat air laut pasang, semburan akan semakin pelan saat air laut surut,'' jelasnya.

Diakuinya, hingga saat ini Masinlulik belum dijadikan obyek wisata daerah oleh pemerintah setempat. Meski demikian sejak lama keindahan dan keanehan alam itu telah menyedot perhatian pengunjung dari berbagai daerah hingga wisatawan asing.

"Belum dijadikan obyek wisata daerah pun sudah banyak wisatawan  berkunjung ke sini. Mereka bertanya-tanya tentang keramatnya dua kubangan tersebut. Para pengunjung diberitahukan agar berhati-hati karena kawasan lumpur bisa saja membahayakan keselamatan mereka. Sejak dibuka jalan rabat menuju Masinlulik kini banyak wisatawan datang, baik dari Kupang, daerah lain hingga para turis dari luar negeri," katanya.

Vincentius mengatakan, beberapa waktu lalu terjadi goyangan gempa di wilayah Betun hingga Kobalima. Warga saat itu  berteriak histeris dan khawatir terjadi sesuatu dengan kubangan lumpur keramat Masinlulik.  Bahkan mereka menduga bakal terjadi tsunami.

"Semua orang sudah lari ke bukit, naik kendaraan masing-masing menuju arah puncak. Saat pagi hari kondisi sudah aman saya bersama warga lain ramai-ramai ke Masinlulik,  di sana tidak terjadi apa-apa. Selama ini dua kubangan tersebut benar mengeluarkan lumpur, hanya tidak pernah mengganggu kami,''ujar Vincentius.

Romana Luru (43) yang  rumahnya berada di kawasan pantai tak jauh dari  lumpur Masinlulik, mengakui sesekali terdengar bunyi seperti gong yang mengaung dari gunungan lumpur itu. Bunyi itu sering ia dengar pada malam hari ketika air laut pasang,  terdengar agak menyeramkan.

"Bunyi gemuruh seperti bunyi gong kalau air laut pasang. Masinlulik seperti bersuara memecahkan kesunyian malam di hutan bakau. Bunyi menyeramkan seperti itu sudah sering sehingga keluarga saya tidak takut lagi. Kami percaya bahwa bunyi itu suara nenek-moyang. Kalau kami tidak mengusik mereka pun pasti tidak akan mengusik kehidupan kami,'' demikian Romana Luru. (simon petrus seli tupen)


Sumber: Pos Kupang 5 Juli 2015 halaman 5

Kemasan Jagung Titi

Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) agaknya tidak asing lagi dengan jagung titi. Makanan khas ini dihasilkan masyarakat beberapa daerah di NTT terutama di sebagian Pulau Flores, Adonara, Solor, Lembata dan Alor. Namun, kuliner jagung titi yang paling terkenal berasal dari Kabupaten Flores Timur (Flotim). Jagung titi bahkan telah menjadi semacam ikon daerah tersebut.  Cita rasa jagung titi asal Flotim memang menggoda lidah.

Proses pembuatan jagung titi di Flotim masih berlangsung secara manual. Jagung disangrai hingga setengah matang menggunakan periuk tanah (tembikar) kemudian ditempah (dipukul)  dengan batu sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Jagung dipukul sampai pipih atau menyerupai emping.

Jagung titi dianggap berkualitas tinggi bila rasanya gurih. Umumnya masyarakat Flotim memilih bahannya dari jagung pulut warna putih. Jagung tidak hanya disangrai hingga setengah matang baru dipukul, tapi membutuhkan insting untuk memastikan jagung itu sudah pas "dititi" atau belum. 

Biasanya proses pembuatan jagung titi berlangsung di dalam pondok atau rumah khusus. Namun, ada juga yang dilakukan di atas tungku yang dipakai untuk keperluan memasak makanan sehari-hari di rumah atau di pondok kebun.
Bagi masyarakat setempat jagung titi umumnya dinikmati sebagai sarapan pagi, makanan kecil saat menjamu tamu (jajanan)  atau sebagai bekal dalam suatu perjalanan jauh. Salah satu keistimewaan jagung titi adalah bertahan lama asalkan ditempatkan pada wadah yang kering.

Jika Anda berkunjung ke Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur, tidak sulit mendapatkan oleh-oleh jagung titi. Makanan khas Flotim tersebut dijual para pedagang di beberapa tempat umum seperti Pasar Inpres Larantuka,  Pelabuhan Larantuka serta Pelabuhan Penyeberangan Kapal Feri di Kelurahan Waibalun.

Jagung titi merupakan hasil olahan industri rumah tangga di Flores Timur yang cukup konsisten diusahakan masyarakat setempat. Pekerja utama adalah kaum perempuan. Bagi sebagian masyarakat Flotim khususnya di Pulau Adonara, usaha ini tidak lagi sekadar sampingan. Hasil penjualan jagung titi malah menjadi pendapatan utama bagi keluarga sehingga mereka menekuni usaha tersebut dengan sungguh-sungguh.

Soal branding jagung titi Flores Timur sudah  lumayan terkenal, setidaknya untuk konteks regional NTT. Satu sisi yang  kurang adalah kita masih sulit mendapatkan jagung titi di luar Flores Timur. Di Kota Kupang, misalnya, tidak mudah pula bagi penggemar wisata kuliner mendapatkan jajajan ini. Itu berarti pasar jagung titi masih sangat terbatas.

Demikian pula kemasannya masih seadanya saja sehingga tidak cukup menarik. Dari sisi kemasan, jagung titi masih kalah jauh dibandingkan emping jagung yang juga diproduksi industri rumah tangga di NTT. Tentu saja ini menjadi catatan kritis bagi pemerintah kabupaten Flores Timur yang sejak lama banggakan jagung titi sebagai ikon kuliner daerah tersebut. *

Sumber: Pos Kupang 7 Juli 2015 halaman 4

Suara Dentang Batu Beradu di Dapur


Jagung Titi
PULAU Adonara bukan hanya terkenal karena perang tanding antar-saudara memperebutkan lahan, tapi juga sangat terkenal karena jagung titi. Inilah kekhasan Pulau Adonara, bahkan Kabupaten Flores Timur (Flotim).

Belum lengkap jika seseorang berkunjung ke Flotim saat pulang tidak membawa oleh- oleh jagung titi. Jagung titi merupakan pangan lokal yang dibuat dengan cara tradisional. Bukan seperti kebanyakan sekarang emping jagung --mirip jagung titi-- hasil olahan industri rumah tangga.

Ketika berkunjung ke Flotim, Anda bisa saksikan  di Pulau Adonara, Pulau Solor dan sebagian di Kota Larantuka, Ibukota Kabupaten Flotim, hampir semua rumah pasti punya alat pembuat jagung titi. Sebab, hampir semua perempuan dan sedikit laki-laki dewasa hingga anak-anak mahir membuat jagung titi.

Jagung titi adalah jagung yang dititi pakai batu lempeng hingga jagung menjadi lempeng.  Cara membuat jagung titi sangat sederhana, jagung dipipil dari tongkolnya lalu disangrai atau digoreng tanpa menggunakan minyak selama 5-7 menit menggunakan periuk tanah hingga setengah matang.

Lalu jagung diangkat menggunakan tangan kosong dan dititi di atas batu kali yang dikepalkan dengan tangan. Prosesnya dilakukan satu per satu hingga butiran jagung itu memipih. Dan jadilah jagung titi.

Batu yang digunakan untuk meniti jagung, yaitu batu kali (pantai) yang kokoh dan lempeng, sebagai landasan, kemudian sebuah batu sebesar genggaman tangan orang dewasa untuk  meniti. 

Jagung titi yang berkualitas tinggi adalah jagung titi yang saat dikunya rasanya gurih. Karena itu, ibu-ibu dan anak putri yang biasanya titi jagung selalu memilih jagung pulut. Jagung pulut warnanya putih dan memiliki kekhasan sendiri. Rasanya benar- benar enak dan gurih.

Sedangkan jagung yang warnanya kuning membutuhkan tenaga yang kuat. Tukang titi jagung juga harus paham saat meniti jagung, terutama saat menggoreng jagung. Jagung tidak hanya setengah matang baru dititi, tapi dibutuhkan insting untuk merasakan apakah itu sudah pas untuk dititi atau belum.

Jika insting peniti jagung bagus, maka jagung yang dititi hasilnya gurih dan enak rasanya, walaupun tanpa digoreng atau dioven. Selain itu, jagung titi yang rasanya enak adalah jagung titi yang terbuat dari jagung muda. Jika hendak makan jagung titi muda, bahannya diambil dari jagung yang baru saja dipanen.

Kulitnya dikupas lalu jagung dijemur sampai kering  (kadar air harus rendah) baru kemudian dititi. Dan, jika sudah diolah sedemikian rupa, rasanya enak sekali dan harganya lebih mahal dari jagung titi biasa.  Namun jagung titi muda hanya dapat ditemukan pada saat musim panen jagung.

Biasanya proses pembuatan jagung titi dilakukan di dalam pondok atau rumah kecil yang dibuat khusus untuk pengolahan jagung titi. Namun, ada juga yang jagung titi dalam rumah di atas tungku tiga batu, yang juga dipakai untuk keperluan memasak makanan sehari-hari di rumah, di pondok di kebun, atau di mana saja ada orang tinggal.

Dan, tahukah Anda, bahwa segenggam jagung titi yang Anda pegang, tidak dibuat secepat kita menghabiskannya? Jagung dititi dalam butiran-butiran, dan sekali titi hanya terdiri dari satu, dua, atau tiga butir jagung. Satu tempayan jagung seukuran satu toples bisa diselesaikan dalam waktu lebih dari satu jam.

Jagung sejak nenek moyang menjadi makanan pokok. Sebab dulu, masyarakat Adonara dan sekitarnya tidak mengenal beras.  Baru setelah masyarakat mengenal beras, maka dilakukan konversi jagung ke beras. Karena itu, bisa dibayangkan tiga kali sehari atau dua kali  sehari warga Adonara atau warga  Flotim pada umumnya akan memakan jagung.

Untuk balita, selain makan pisang, ada  orangtua yang memberi balita jagung. Prosesnya, jagung dipipil kemudian direbus hingga menjadi bubur atau yang sekarang dikenal dengan sebutan jagung sereal.  Cara membuat bubur jagung zaman dulu sederhana, jagung titi diletakan di wajan dan tambah air lalu direbus hingga hancur seperti bubur baru kemudian ditambah garam secukupnya.

Selain sebagai pengganti makanan pokok, kini jenis jagung titi sudah banyak, seperti kerupuk. Bahkan sekarang jagung sudah diolah dalam berbagai rasa antara lain, rasa original, rasa coklat, dan rasa asin.

Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, sebagaimana dikutip dari simpetadonara.blogspot.com, pernah mengisahkan begini.  "Di desa saya, jagung titi cukup mewarnai kehidupan warga. Tidak sekadar kata. Kalau beberapa tahun lalu Anda berada di kampung saya, maka pagi-pagi akan kedengaran suara dentang batu beradu di dapur-dapur rumah tempat ibu-ibu membuat jagung titi. Seperti musik. Pernah dalam waktu tertentu, dentang batu bahkan dijadikan pertanda waktu. Saya bangun tepat dentang batu pertama berbunyi, demikian orang menunjukkan kapan waktunya bangun. Atau saya terjaga waktu terdengar dentang batu itu."

Sebagian besar ibu-ibu dan anak gadis hampir pasti diberi kewajiban untuk melakukan pekerjaan ini, meniti jagung. Sedangkan bagi laki-laki, ini dipandang sebagai pekerjaan dapur dan urusan para wanita.

Tidak cuma menyiapkan hidangan itu. Di ladang jagung, kaum wanita juga berperan. Mereka menugal, menanam, hingga memanen. Sedangkan laki-lakinya dominan di membuka kebun, membersihkan ladang, dan urusan pergudangan di lumbung. Pada acara-acara kebersamaan, jagung titi adalah hidangan yang utama. Setiap keluarga bisa mengumpulkan masing-masing jagung titi kepada petugas untuk kemudian dibagikan lagi pada saat acara minum bersama.

Bagi sahabat maupun anggota keluarga yang lagi perantauan, jagung titi akan menjadi tanda cinta mereka yang di kampung untuk kalian.

Mahir Sejak Kecil
Jagung titi bisa ditemukan  di beberapa tempat seperti di pertokoan, di Pasar Inpres Larantuka dan Pelabuhan Larantuka, Pelabuhan Penyeberangan Kapal Feri di Kelurahan Waibalun dan di galeri koperasi di Taman Kota Larantuka.  Para ibu kelompok industri rumah tangga asal Solor selalu siaga menyiapkan jagung titi dalam berbagai kemasan. Jagung titi dalam kemasan bisa ditemukan di galeri koperasi di Taman Kota, namun ketersediaan kadang terbatas.

Beberapa pembuat dan penjual jagung titi, Ina Benga, warga Desa Muda, Kecamatan Kelubagolit, dan Mina Perada, warga Boleng, Kecamatan Ile Boleng serta Somi Lipat, warga Waiwerang, Kecamatan Adonara Timur, ditemui Pos Kupang di kediaman masing-masing, mengatakan, mereka sudah mahir membuat jagung titi sejak kecil. Ini warisan turun temurun dari orangtua mereka.

Menurut Ina Benga,  jagung titi selalu dibuat oleh masyarakat Flotim sampai kapanpun karena peminatnya ada. "Sampai kapanpun, orang suka makan jagung titi, baik orang lokal maupun tamu dari luar. Karena itu, jagung titi pasti tetap abadi dan tidak akan lenyap dimakan zaman," kata Ina.


Sementara itu Somi, mengkritik proses pengolahan jagung titi yang tidak pernah berubah dari dulu hingga saat ini. Jagung titi merupakan makanan khas masyarakat Lamaholot, namun  cara pengolahannya hingga sekarang belum berubah. Padahal, jagung adalah sumber karbohidrat alami. Jagung bisa diolah menjadi sirup dan tepung, juga beragam makanan.

Di negara lain, mungkin jagung titi ini menjadi makanan istimewa. Karena bentuknya yang unik dan  khasiatnya bagus untuk penderita gula. Karena itu, mestinya harus dicari solusi agar jagung titi bisa menjadi makanan primadona masyarakat Indonesia, bukan hanya untuk orang Adonara atau Flotim dan NTT," kata Somi. (syarifah sifat)



Ikon Wisata Kuliner


KEPALA Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Flores Timur (Flotim), Drs. Andreas Ratu Kedang,  mengaku hingga kini belum ditemukan cara titi jagung yang lebih modern. Masyarakat Flotim masih menggunakan cara tradisional, yakni jagung dititi pakai (dua) batu lempeng (satu ukuran kecil untuk titi dan satunya ukuran sedang/besar untuk simpan jagung saat dititi).

Kedang mendengar informasi bahwa biji jagung sempat diolah menggunakan alat-alat canggih seperti pres jagung, namun sekarang informasi itu sudah tidak lagi terdengar.  "Ada informasi bahwa di Kupang, jagung titi sempat diolah menggunakan alat pres dan bentuknya seperti emping melinjo, tapi pengolahan dengan cara itu sekarang tidak terdengar. Yang paling populer dari dulu hingga sekarang adalah dengan cara dititi, dan itu sangat mudah dilakukan," katanya.

Andreas menjelaskan, jagung titi di Flotim dijual masih dengan cara tradisional. "Ketika kita kembangkan dengan cara yang agak profesional dengan menggoreng pakai minyak goreng atau mentega, penyimpanannya tidak bertahan lama," ujar Kedang.

Ia mengatakan, saat ini sedang mencari cara yang tepat untuk memroses jagung titi agar bisa bertahan lama. Karena selama ini, lanjutnya, kalau jagung titi yang sudah digoreng dan disimpan lama, kadang menimbulkan bau pengab. "Karena itu, kami sedang mencari cara dan ini sudah masuk lintas sektoral," ujarnya.

Kedang menjelaskan, saat ini jagung titi sangat diminati wisatawan domestik dan mancanegara sebagai salah satu jenis makanan ringan yang menggoda selera. Para wisatawan merasa belum lengkap menikmati keindahan panorama alam laut dan obyek wisata lainnya di Flotim, jika belum mengantongi jagung titi untuk menemani makan mereka selama berwisata di wilayah itu.

Kedang pernah memrogramkan cara membuat jagung titi di Taman Kota Larantuka agar bisa menjadi salah satu ikon wisata kuliner. Cara pembuatan jagung titi itu secara tradisional dan menggunakan kayu, batu dan api. Namun karena kesulitan mendapatkan bahan, maka program itu tidak berjalan baik.

Kadis Koperasi Flotim, Drs. Frederik Bili, Selasa (30/6/2015) mengatakan, walau  tugas Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Flotim, namun pendidikan dan pelatihan (diklat) usaha emping jagung lebih banyak dibuat oleh Dinas Koperasi Flotim atas permintaan para pengusaha kecil menengah.

"Kami buat diklat bagi ibu-ibu untuk sejumlah kuliner, termasuk emping jagung. Mulai dari proses pembuatan jagung hingga pengepakan dan pemasaran. Bahkan, saya juga sudah minta ke pihak Bandara agar bisa dikasih satu saja etalase untuk pangan lokal, termasuk emping jagung dan kerajinan tangan lainnya tapi sampai saat ini belum ada kabar. Emping jagung jika dipasarkan cukup menjanjikan bagi UKM," kata Bili.

Diklat pengolahan jagung yang dilakukan Dinas Koperasi Flotim, demikian Bili, mulai dari pengolahan jagung titi. Jagung titi dibuat  berbagai rasa, original, coklat dan asin. Setelah diolah baru dikemas dalam kemasan.  "Ibu-ibu sudah banyak yang tahu cara mengolah jagung titi. Hanya saja, pasaran kita yang masih terbatas dan tingkat promosi kita yang belum baik," ujar Bili.

Menurut dia, jika jagung titi diolah secara baik akan kalah dengan emping jagung bulat yang dijual di sejumlah pasar se-Nusantara. "Sekarang jagung bulat, emping jagung dari Jawa cukup banyak. Dijual dengan harga Rp 1.000/bungkus. Ini memang butuh proses dan diklat yang lebih khusus. Selama ini kami buat diklat, tapi tidak khusus jagung," katanya.

Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Flotim, Theresia Sabu Hadjon Herin mengatakan, kebanyakan diklat untuk semua jenis usaha mikro masyarakat digelar Dinas Koperasi.

"Kami kerja sama dengan Dinas Koperasi gelar diklat untuk memodifikasi penjualan jagung titi. Setahun sekali dan ini berjalan. Bahkan, sudah ada jagung titi yang dijual dalam kemasan. Namun, kita punya kendala terkait anggaran dengan kepekaan terhadap para UKM. Kadang kami anggarkan dana untuk diklat, tapi dicoret. Ke depan kami akan lebih fokus," ujarnya. (iva)



Terkendala Izin

Oleh Theresia Sabu Hadjon Herin
Ketua Tim Penggerak PKK Flotim


IBU-ibu Dekranasda Flotim sudah mencoba berbagai bentuk pangan jagung titi. Dan, sebagian sudah dipasarkan, tapi masih terkendal perizinan dari Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk kehalalan. Tetapi, kami selalu mendampingi ibu-ibu untuk terus berinovasi menciptakan pangan lokal dari jagung titi.

Pasalnya, jagung titi tidak bisa disimpan hingga berbulan-bulan. Jika ingin disimpan sampai setahun, maka jagung titi  harus dijemur terus. Karena kadar airnya rendah, jagung titi sangat awet disimpan. Lebih awet ketimbang jajanan biasa karena jagung titi tidak punya minyak dan gula. Akan lebih awet lagi jika disimpan rapat-rapat di dalam kaleng kedap udara atau ditutup dengan lakban.

Dan, orang zaman dulu jika hendak merantau dengan menempuh perjalanan berbulan- bulan hanya membawa bekal jagung titi dicampur kenari atau kacang-kacangan dan sagu.  Jagung titi saat ini sudah diminati masyarakat luas. Bahkan di dunia pariwisata, jagung titi juga sangat diminati wisatawan domestik dan mancanegara sebagai salah satu jenis makanan ringan.

Apalagi ketika prosesi Jumat Agung/Semana Santa saat paskah, banyak peziarah  yang datang ke Kota Reinha-Larantuka selalu mencari jagung titi sebagai oleh-olehnya. Namun,  pemerintah kita lamban mengemas jagung titi sebagai pangan lokal yang diminati.

Padahal, pemerintah dalam hal ini Dinas Perindag, Pariwisata, PKK dan Koperasi bisa  kerja sama untuk menggolkan pangan lokal  jagung titi menjadi makanan khas Flotim yang mendunia. 


Hingga kini belum ada kesamaan pemahanan antar lintas sektor dalam pengembangan pangan lokal. Untuk itu, ke depan kita terus mencoba meyakinkan legislatif dan bekerja sama dengan dinas terkait untuk menjual produk pangan lokal kita khusus jagung titi sebagai jajanan khas Flotim.

Untuk memenuhi kebutuhan jagung titi bagi para wisatawan lokal dan internasional yang masuk ke Flotim, maka jagung titi dijual oleh pedagang di beberapa tempat pelayanan umum seperti Pasar Inpres Larantuka dan Pelabuhan Larantuka, serta Pelabuhan Penyeberangan Kapal Feri di Kelurahan Waibalun.

Untuk inovasi, ke depan, kami akan berusaha agar jagung titi bisa menjadi pangan lokal yang dikemas dalam kemasan yang memiliki nilai jual lebih besar dibanding sebelumnya. Saat ini jagung titi yang diproduksi secara manual/tradisional dijual dengan harga sekitar Rp 10.000 per toples atau ukuran satu piring nasi. Saya pikir jika sudah dikemas dengan baik, maka setengah piring nasi harganya bisa Rp 10 ribu.
Beberapa jenis jagung yang bisa dibuat sebagai jagung titi yakni jagung metro, bisma, hibryda dan jagung pulut. Namun, yang paling enak untuk dibuat jagung titi adalah jagung pulut. Saat ini jagung titi selain dibuat secara manual tradisional, juga dibuat dengan mesin pres.

Meskipun telah ada mesin teknologi baru untuk pembuatan emping jagung yang mirip jagung titi, namun jagung titi tradisional lebih diminati karena nilai ekonomisnya meningkat. Juga menjadi menu harian yang bisa dimakan dengan kopi, teh, susu, kuah asam, bubur kacang hijau dan lain-lain. (iva)

Sumber: Pos Kupang 5 Juli 2015 halaman 1

Kami Titi Sampai Tangan Melepuh

ilustrasi
MENGENAKAN baju kaos lengan pendek, Ina Benga (40), warga Desa Muda, Kecamatan Kelubagolit, setiap hari bergelut mengolah jagung titi. Pekerjaan yang membutuhkan tenaga itu dilakoninya saban hari demi membiayai pendidikan anak- anaknya. Ina Benga memiliki dua putra bersama pasangannya, Samuel Loho (42).

Suaminya sebagai tukang kebun  tidak setiap hari mendapat uang, padahal untuk makan minum dan membiayai pendidikan anak-anak harus butuh uang setiap hari. Karena itu, Ina Benga bisa diandalkan sebagai salah satu tulang punggung meniti dan menjual jagung titi untuk makan dan biaya pendidikan anak-anak mereka.

"Setiap hari kami butuh uang. Kalau titi jagung, uang masuk setiap hari. Tapi kalau berkebun belum tentu. Karena itu, sehari-hari saya titi jagung dan ini  sudah menjadi pekerjaan saya. Saya jual satu kantong kresek biru jagung titi harganya Rp 100 ribu. Sehari bisa satu kantong, tapi kalau tidak setengahnya," tutur Ina Benga.

Hal senada diakui Mina Perada, warga Boleng, Kecamatan Ile Boleng. Ia juga  menyekolahkan anak-anaknya dengan menjual jagung titi. "Sudah belasan tahun saya menyekolahkan tiga orang anak dari hasil menjual jagung titi," ujarnya.

Setiap hari, ia bergelut dengan batu yang digunakan untuk mengolah biji jagung menjadi jagung titi. Meskipun pekerjaan titi jagung menjadi rutinitas ibu rumah tangga di hampir seantero masyarakat pegunungan di Pulau Adonara, namun harga jagung titi masih dinilai murah oleh warga setempat.

"Pekerjaan ini cukup berat, tapi harganya masih murah. Satu kantong kresek biru Rp 100 ribu. Ini kami titi sampai tangan melepuh. Tapi kami  tetap lakukan ini untuk sekolahkan anak,” kata Mina.

Ia mengatakan, selain menekuni pekerjaan rutinnya mengolah jagung menjadi jagung titi, setiap musim tanam ia juga bercocok tanam. Dari hasil menanam diolahnya menjadi jagung titi. "Jagung yang saya titi ini adalah hasil dari kebun. Kebiasaan kami simpan untuk menunggu permintaan masyarakat yang mau pesan jagung. Biasanya mereka pesan untuk keluarga di luar desa atau daerah," jelasnya.

Sementara itu, Somi Lipat, warga Waiwerang, Kecamatan Adonara Timur mengaku pekerjaan meniti jagung sangatlah mudah. Ia sudah melakoninya sejak puluhan tahun untuk membiayai sekolah anaknya.  "Walau anak saya hanya tamat SMA, tapi saya bangga. Karena mereka semua sekolah dari hasil jerih payah titi jagung,” kata Somi. (iva)

Sumber: Pos Kupang 5 Juli 2015 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes