Minta Berkah di Benteng Lapis Tujuh

TIDAK mudah mencapai Benteng Lapis Tujuh Dirun di kawasan Gunung Lakaan, gunung tertinggi di Kabupaten Belu. Itulah yang dirasakan Pos Kupang  ketika menuju lokasi itu, Selasa (1/9/2015) lalu.

Banyak jalan menuju Benteng Dirun. Bisa melalui jalur Weluli atau lewat jalur Maudemu. Jalur Weluli terbilang mulus. Namun selepas Kota Weluli,Kecamatan Lamaknen, jalanan menanjak dengan kondisi rusak parah sekitar 10 kilometer.  Jika mengikuti jalur Desa Maudemu, jalanan berbatu dan menanjak langsung menyambut di simpang depan kantor Desa Bauho.

Untuk mencapai benteng, harus berjalan mengitari kawasan Gunung Lakaan melewati beberapa desa seperti Desa Halimodok, Desa Maudemu. Tiba di puncak Gunung Lakaan, rasa sakit dan lelahnya badan seketika hilang. Ketika hendak masuk ke benteng, hamparan  kaktus memanjakan mata. Hamparan batu karang di kiri dan kanan jalan seolah prajurit bersenjata berjalan mengiringi pengunjung menuju benteng.

Sekitar 500 meter sebelum mencapai benteng, ada pagar kawat berduri yang dipakai unuk mencegah sapi atau kuda masuk ke kawasan benteng. Mendekati gerbang benteng, ada satu bangunan  lopo yang nyaris roboh di sisi kiri jalan. Dari Kota Atambua, perjalanan ke lokasi ini menghabiskan waktu hampir dua jam.

Antonius Bele adalah orang pertama yang menyambut Pos Kupang hari itu. Antonius perkenalkan diri sebagai penjaga benteng sekaligus perawat anakan pohon cendana yang ditanam di sekitar benteng. Dia bersama tiga rekan sudah memiliki jadwal memandu wisatawan yang datang kesana. Mereka digaji Dinas Kehutanan Kabupaten Belu. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami menggelar ritual adat berupa permintaan izin untuk masuk ke benteng dengan meletakkan sirih pinang, rokok atau uang kertas.

Gerbang benteng ini menghadap ke selatan. Persis di pintu masuk benteng, terdapat tulisan tangan pada kardus yang meminta pengunjung wajib  menaruh 'uang permisi'.  Tinggi benteng batu karang ini diperkirakan mencapai dua meter dengan lebar  satu meter. Disebut Benteng Lapis Tujuh karena berbentuk tujuh lapis. Lapisan pertama paling luar dan paling dalam lapisan ketujuh berisi meriam dan kuburan tua. Untuk masuk ke setiap lapisan melewati pintu sempit berukuran sekitar 80 centimeter.

Pada sudut kanan lapisan pertama, terdapat lubang berdiameter sekitar 15 centimeter sebagai pengintai dan lubang untuk menaruh senjata. Lubang ini mengarah ke selatan. Setiap orang yang menuju ke gerbang benteng terlihat dengan jelas dari lubang ini.
Lubang yang sama juga ada di lapisan kelima, yang juga mengarah ke pintu gerbang utama benteng. Masuk lapisan keenam, mata langsung tertuju pada moncong meriam tua yang tepat mengarah ke pintu benteng. Meriam ini diletakkan di atas pagar batu dan tak goyah meski digoyang. Selain meriam, di sisi utara terdapat banyak kuburan tua. rapih. Ada satu kuburan batu besar yang dikenal sebagai makam raja pertama.

Di sebelahnya terdapat kuburan lain yang terbuat dari campuran semen dan pasir. Kuburan ini milik permaisuri pertama Kerajaan Dirun. Di kanan dan kiri terdapat bebatuan karang tinggi. Terdapat bekas batang jagung yang ditanam di dekat batu-batu. Diduga sebagai tempat  persembahan ketika musim panen jagung atau padi tiba. Ada juga sisa pembakaran lilin di atas batu-batu ini.

Di tengah lingkaran ketujuh atau disebut Saran Mot, terdapat satu batu yang ditanam. Menurut Anton Bele, batu itu merupakan tempat menaruh kepala musuh yang dipancung seusai perang. Lingkaran ketujuh atau disebut Saran Mot berdiameter sekitar 10 meter.  Di sisi utara benteng terdapat satu batu yang konon menjadi tempat mengintai musuh. Batu ini diberi nama Batu Makes. Makes dari bahasa bunaq (marae) yang artinya bambu belang. Di batu ini dulu ada pohon bambu belang yang ditanam panglima perang.

Daya magis Benteng Lapis Tujuh sudah diyakini turun-temurun oleh anak cucu keturunan Raja Dirun, yang kebanyakan keturunan Tionghoa. Orang luar atau orang- orang dari Kabupaten Belu tak jarang melakukan ritual adat di benteng itu.  Mereka yakin melakukan ritual adat di benteng, apapun yang diminta akan terpenuhi. Seperti berhasil dalam perantauan, bisnis, lulus ujian, direstui menjadi calon bupati atau wakil bupati. Dipercaya juga terbebas dari sial atau mimpi buruk.

Hal ini dibenarkan keturunan Raja Dirun, Gaspar Lesu (72).  Gaspar mengatakan, keturunan Raja Dirun, baik anak maupun cucu masih terus melakukan ritual adat di benteng itu. Namun sebatas saat acara panen jagung atau padi termasuk mengunjungi kuburan leluhur di lokasi benteng.  "Kami bangga karena saat ini Benteng Lapis Tujuh  sudah jadi obyek wisata," semua," katanya.

Gaspar mengaku sering mengalami pengalaman mistis di sekitar benteng. "Dulu, saat mau pergi perang. Daun apa saja atau lumut yang diambil dari benteng. Kalau sudah pakai itu, kena tembak kami tidak mati,” katanya. Namun bagi orang yang tidak percaya, maka orang itu tidak akan bisa pulang ke rumahnya.

Sebagai pemilik benteng, Gaspar merasa bangga karena benteng itu adalah sejarah peradaban yang tak ternilai harganya dan masih banyak masyarakat yang mengunjunginya. "Banyak  yang datang, terutama yang berdarah Tionghoa. Mereka bunuh babi atau ayam di benteng untuk minta rejeki. Mungkin mereka juga masih keturunan Raja Dirun karena dalam silsilah, ada anak raja yang suaminya berdarah Tionghoa,” ujarnya. 

Gaspar  menjelaskan, berdasarkan cerita orangtua dulu, pembuatan Benteng Lapis Tujuh ini ada campur tangan gaib. Pembuatan benteng ini hanya dilakukan 30 laki-laki, termasuk Raja Manu Loe beserta Bei Nai Koi, Bei Nai Naak dan Bei Nai Mali yang bekerja di atas puncak Makes (tempat benteng lapis tujuh). Serta 30 laki-laki yag bekerja di bawah kampung Nuawain.

Pamong Adat, Petrus Hale Oan, menambahkan, hal penting yang harus dilakukan wisatawan yakni perjalanan ke lokasi benteng dilarang melalui jalur Maudemu. Tetapi, harus melalui jalur Weluli dan pintu masuk melalui Kampung Nuawain. Hal ini untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Di gerbang masuk benteng yang ada di Kampung Nuawain, ada pos penjagaan. Dan dari pos menuju ke benteng sekitar dua kilometer. Di dekat pos  terdapat tempat untuk melakukan ritual adat sebelum menuju puncak Makes, tempat Benteng Lapis Tujuh Dirun. (edy bau)

Janji Seribu Tangga


BENTENG Dirun merupakan obyek wisata sejarah yang indah, namun  infrastruktur jalan dan fasilitas di sana belum baik. Masyarakat Dusun Nuawain, Desa Dirun, Roberta Lawa dan Maria Lese mengatakan, jalan masuk menuju benteng ini harus diperbaiki sehingga memudahkan akses menuju benteng.

Mereka menyayangkan pengerjaan jalan menuju benteng yang baru dikerjakan tetapi sudah rusak lagi. Selain itu, fasilitas seperti mandi cuci, kakus (MCK), air bersih harus ada.  Pembenahan hanya untuk fasilitas penunjang. Kondisi benteng harus tetap asli jangan sampai berubah,” pinta keduanya. 

Tokoh masyarakat setempat yang juga Pamong Adat Desa Dirun, Petrus Hale Oan mengatakan, bukti sejarah kerajaan Dirun itu telah menjadi situs sejarah dan salah satu obyek wisata daerah dan mulai dikenal secara luas.

Tahun 2013 peserta Sail Komodo pernah singgah di benteng ini. Dan tahun 2014, sejumlah guru besar dari seluruh Indonesia juga mendatangi benteng ini, termasuk petugas dari kantor Bahasa.

Petrus mengatakan, pemilik situs sudah berupaya membenahi benteng ini semampu mereka. Proposalpun sudah dibuat, namun belum mendapatkan jawaban dari pemerintah daerah dan pusat.  Bahkan Pemkab Belu pernah berjanji membuat 1.000 tangga dari Kampung Nuawain menuju Benteng. Pembangunan 1.000 tangga ini diyakini bisa menjadi pesona dan daya tarik untuk pengunjung wisatawan berkunjung ke benteng itu.  "Kami sudah usul, tapi sampai sekarang belum ada jawaban. Janji pemerintah mau buat seribu tangga juga belum direalisasikan,” katanya.

Kepala Desa Dirun, Agustinus Mali mengatakan, saat menjabat tahun 2012, ia mengumpulkan tetua adat dari sembilan dusun di desa untuk melakukan pembersihan dan penataan area Benteng Dirun. Pasalnya, kondisi benteng  dipenuhi semak belukar dan padang sabana hutan kaktus. Mereka kemudian melakukan ritual pemotongan ayam untuk meminta izin. Hutan kaktus dibabat habis untuk membuka jalan menuju benteng. Alhasil, saat ini bisa dilihat wajah benteng mulai nampak ada penataan.

"Saya sering mengundang anggota DPRD Belu dan Dinas Pariwisata untuk melihat langsung benteng. Harapannya ada perhatian untuk pembenahan aset daerah ini. Saya berharap ke depan ada pintu masuk seperti gapura, lopo-lopo yang bagus dan jalan masuk yang bisa dilalui dengan mudah. Semakin baik akses jalannya, semakin menghemat energi untuk mencapai benteng sehingga akan lebih banyak waktu untuk menikmati keindahan dan suasana di benteng ini,” katanya.

Mali mengatakan, setiap tanggal 7 Oktober ada wisata rohani di puncak Gunung Lakaan. Dan di Benteng Lapis Tujuh selalu ada acara adat panen jagung atau panen padi. Tanggal 2 November seluruh keturunan kerajaan Dirun akan mendatangi benteng untuk membakar lilin dan membersihkan kuburan leluhur. (roy)

Drs. Dominikus Mali (Kadis Pariwisata Belu): Butuh Arkeolog

BENTENG Dirun atau Ranu Hitu Dirun merupakan benteng unik dan telah menjadi situs sejarah. Benteng ini mengandung makna tentang akar budaya orang Dirun, makna tentang kebesaran dan keagungan karya nenek moyang orang Dirun.

Pemerintah Kabupaten Belu melihat Benteng Dirun ini sebagai suatu bukti adanya peradaban, sebagai sebuah situs dan akar budaya orang Belu khususnya Dirun. Karena itu, situs ini harus dilestarikan. Kami sudah melakukan berbagai upaya untuk melestarikan Benteng Dirun itu seperti pembersihan, memperbaiki kerusakan, menyusun kembali bagian-bagian yang rusak termasuk mempromosikan situs ini sebagai salah satu obyek wisata di Kabupaten Belu.

Mengingat situs ini satu kawasan dengan Gunung Lakaan, Balok Ama, Fulan Fehan, Benteng Kikit, maka telah dimasukkan dalam rencana induk pengembangan pariwisata daerah (Riparda). Riparda akan diturunkan ke dalam masterplan dan menjadi kawasan terpadu antara lain wisata alam, wisata budaya dan wisata minat khusus.

Namun, kami  mengalami kendala yaitu keterbatasan anggaran. Pemerintah tidak bisa mengandalkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), tetapi dibutuhkan intervensi dana dari pusat.

Selama ini, APBD Belu hanya mengalokasi dana Rp 1 miliar. Rinciannya, Rp 500 juta untuk operasional kantor dinas dan Rp 300 juta untuk partisipasi kegiatan di provinsi, sisanya Rp 200 juta. Jumlah ini tentu sangat kecil untuk  mengembangkan potensi pariwisata dan seluruh obyek wisata yang ada di wilayah Belu. 

Dalam APBD kami pernah usulkan, tapi dana terbatas. Kawasan Benteng Dirun ini mencapai radius satu kilometer sehingga dibutuhkan dana sampai  Rp 2 miliar.  Pemerintah pusat bisa memberikan perhatian dengan syarat, harus ada rekomendasi dari tim arkeologi daerah bahwa situs ini layak menjadi situs daerah atau situs nasional. 

Hasil penelitian tim arkeologi bisa diketahui usia benteng lalu dihubungkan dengan peristiwa besar yang terjadi hingga benteng itu dibangun. Dan tim arkeologi itu minimal tiga orang, terdiri dari seorang doktor atau minimal sarjana arkeologi, sarjana kebudayaan dan sarjana sejarah. Dan nantinya tim arkeologi ini akan dikukuhkan dengan surat keputusan (SK) Bupati Belu. 

Namun, sampai saat ini kami belum memiliki tim arkeologi daerah yang bisa melakukan penelitian tentang usia benteng dan membuat profil benteng itu.  Kalau tim arkeologi sudah ada, maka bisa dikeluarkan rekomendasi agar situs ini mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat. Dan barulah bisa segera dikembangkan dan dibenahi sesuai rencana induk pengembangan pariwisata daerah.

Meskipun tahun lalu kami sudah buat proposal kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan sudah ada dukungan dari 12 suku pendukung, tapi kami belum dapat jawaban positif dari Kemendikbud. (roy)

Pos Kupang, 6 September 2015 hal 1

Herman Kesal Masuk Pantai Harus Bayar

KAMIS, 9 September 2015 pukul 05.00 Wita, suasana di Pantai Kelapa Lima, belakang Hotel On The Rok Kupang tampak sepi. Di belakang jalan tersebut ada jogging track yang disiapkan Pemerintah Kota Kupang, masuk dari samping Rumah Makan Padang Mie Tanjoeng atau depan Hotel Aston Kupang. Jogging track  kira-kira sepanjang 400 meter sampai di ujung barat pekuburan Kelapa Lima.

Hanya beberapa pemuda yang berdiri di atas tembok pembatas pantai menikmati udara laut dan hamparan laut luas sambil menikmati mata hari terbenam. Ada tiga mobil yang masuk, mereka mengajak istri dan anak ke pantai.

Warga Pasir Panjang, Herman Dettan mengatakan, semua ruang terbuka pesisir pantai Pasir Panjang sudah habis dibeli untuk bangun hotel dan restoran. Ia menjelaskan, kawasan pesisir pantai yang dulunya menjadi ruang terbuka hijau dan dimanfaatkan warga untuk berekreasi, mandi, bermain bola dan sebagainya, kini tidak ada lagi. Walau masih ada beberapa tanah yang kosong, tapi sudah ada pemiliknya.

"Saya lahir dan besar di Pasir Panjang. Dulu kami sering mandi di pantai dan terapi pasir. Saat ini susah karena masuk kawasan pantai harus bayar. Harus izin lagi karena sudah menjadi milik pribadi. Harus lewat dulu rumah dan di belakang pantai sudah dipagar," kata kata Herman. Lelaki setengah baya ini berharap Pemkot Kupang membuat satu lokasi untuk ruang terbuka sehingga orang mudah  akses ke pantai. Saat ini, katanya, sudah tertutup dan kasihan nelayan yang mau ke pantai harus berputar-putar. Mereka yang bangun hotel dan restoran sudah membuat pagar juga di sana.

Warga Kelapa Lima, Yos Usboko, mengatakan, pantai di Kota Kupang, terutama di Kelurahan Kelapa Lima dan Pasir Panjang sudah  ditutupi  bangunan.  Ia menyesalkan sikap Pemerintah Kota Kupang yang membiarkan investor dan warga membangun apa saja di sepanjang pantai tersebut.

Yos menuturkan, sebelum ada bangunan di sepanjang pantai tersebut, dulu dipenuhi lontar, bakau dan gamal. Pasir coklat dan putih yang memenuhi sepanjang pantai tersebut membuat dirinya sering membawa keluarga untuk mandi dan terapi pasir.

Menurut Yos, ia mengajak keluarga dan teman yang datang ke Kupang untuk sekadar melepas kepenatan dari rutinitas kerja pada sore hari sepulang kantor. Yah, dulu kami sangat menikmatinya, tetapi sekarang akses menuju pantai sangat susah. "Kita harus berputar-putar dulu baru bisa ke pantai. Memang di belakang Hotel On The Rock ada jogging track, tetapi karena sudah tinggi, susah  untuk turun ke pantai atau duduk-duduk. Karena sudah tidak ada pohon-pohon lagi di sana.


Ia mengatakan, pantai dalam konteks wisata  merupakan salah satu tempat orang bersantai di akhir pekan.  Karena orang senang ada pasir, ada laut, ini hanya bisa terjadi kalau pantai terbuka untuk publik. Di Kota Kupang sudah repot, setelah begitu banyak tanah di pinggir pantai dan sepanjang pantai dikapling dan dibeli untuk bangun gedung yang tinggi dan megah, sehingga area publik seperti pantai tertutup.

Orang tidak bisa lagi berekreasi dengan nyaman, padahal untuk masyarakat Kota Kupang membutuhkan banyak ruang terbuka, terutama pantai. Anak-anak bisa mengenal laut, mandi, bermain pasir, merupakan hal yang menyenangkan bagi anak-anak dan orang tua.
"Saya tidak melihat ada upaya yang serius dari Pemkot Kupang untuk melindungi kepentingan publik. Yang terjadi adalah melindungi kepentingan para investor. Okelah, mereka bisa memberikan kontribusi kepada PAD," ujarnya.

Ia mengatakan, area pantai dalam konteks berekreasi di pinggir laut dan menikmati suasana laut, melakukan terapi mandi air laut (penyakit kulit, rematik dan stroke ringan) bisa tertolong. Ada  yang gali pasir lalu menguburkan badan di pasir, itu juga  terapi.
Kalau kondisi pantai seperti ini, kata Yos, masyarakat melihat pantai menjadi area tertutup dan eksklusif. Parahnya lagi, kalau pemilik modal seperti hotel dan restoran mengklaim pantai menjadi milik privat.

 "Saya tidak melihat langkah riil yang dilakukan Pemkot Kupang melindungi kepentingan publik untuk mengakses pantai. Dengan banyaknya pembangunan, lalu membuat jogging track atau jalan-jalan sepanjang pantai, fungsi pantai tergeser. Masyarakat melihat laut, tetapi tidak menikmati laut," ujarnya.

Yos mengatakan, beberapa tahun lalu sebelum jogging track dibangun orang masih ke pantai, mandi dan sebagainya. "Itu mengasyikkan sekali. Tetapi, saat ini mulai sepi," katanya.  Yos berharap, ada itikad baik Pemkot Kupang. Sampai saat ini Pemkot Kupang dan DPRD Kota Kupang sepertinya tidak ada itikad baik, terjadi pembiaran.  Selain itu, tergas Yos didiklah para investor untuk membuka akses bagi publik. Dan, jangan mengkapling-kaplingkan  kawasan pantai menjadi  milik privat. "Cobalah belajar dari pengelolaan Pantai Kuta di Bali. Walau ada banyak hotel, tapi orang tetap menikmati keindahan Kuta," kata Yos.

Hal senada disampaikan  Oktovianus Giri dan Dion Radja, di belakang Hotel On The Rock. Keduanya mengatakan, mereka adalah warga Kelapa Lima. Untuk pergi ke pantai mereka melewati kuburan yang ada.  Di pekuburan tersebut tidak ada pagar sehingga mereka masih bisa bebas masuk ke pantai. Sementara jika melalui pintu masuk jogging track,  harus membayar Rp 2.000 untuk sepeda motor dan Rp 3.000 untuk mobil.

Oktovianus mengatakan, saat ini masih ada ruang untuk masyarakat masuk. Tetapi tidak tertutup kemungkinan suatu saat sudah tidak ada lagi jalan masuk karena tertutup bangunan.  Ia berharap, pemerintah dan pemilik bangunan di sepanjang pantai memberikan ruang terbuka bagi warga agar mereka kembali menikmati keindahan alam pantai Kota Kupang. "Sekarang bangunan hotel dan restoran menghadap ke jalan dan di belakang mereka pagar. (apolonia metil dhiu)

Pendukung Pariwisata


KEPALA Dinas Tata Kota dan Permukiman Wilayah Kota Kupang, Hengky Ndapamerang, mengatakan, Pemerintah Kota Kupang akan menjadikan pantai di Kota Kupang sebagai kawasan pendukung pariwisata.  Karena itu, lanjutnya, harus ada perubahan pola pikir masyarakat bahwa pantai ini merupakan 'teras' kota.

"Kami terus berusaha mengedukasi masyarakat melalui kelurahan. Ada rencana pertemuan dengan pihak  Dinas Pekerjaan Umum (PU) NTT pada  14-16 September di Timor Hotel untuk menyamakan persepsi. Salah satu topik yaan dibahas yaitu mengurangi kawasan kumuh di perkotaan," ujarnya.

Ditanya konsepnya seperti apa karena hotel, pertokoan dan restoran bangunananya membelakangi pantai, Hengky mengatakan, saat ini pemerintah sudah membangun jalan pesisir, pemerintah provinsi bangun jogging track dengan dinding penahan pantai.
Ia berharap dengan bangunan ini, pantai menjadi pusat kegiatan masyarakat dan obyek wisata.  Hengky mengatakan, jalan pesisir itu merupakan akses bagi masyarakat yang ingin menikmati pantai. Selain itu, pemerintah minta investor sediakan jalan masuk  selebar empat meter sebagai akses menuju ke pantai.

Diakuinya, sesuai tata ruang pantai direncanakan sebagai kawasan pendukung pariwisata, sehingga dibolehkan  membangun apa saja seperti restoran, hotel dan lainnya. Hengky menyatakan, restoran, hotel, rumah makan yang ada di pesisir pantai Kota Kupang saat ini  umumnya milik pribadi. "Ini bukan kewenangan Dinas Tata Kota. Entah mereka bisa mendapatkannya dengan cara apa, tapi rata-rata ada sertifikat kepemilikan pribadi masing-masing. Kecuali di Teluk Kupang dan SubaSuka merupakan tanah milik Pemkot Kupang," ujarnya.

Mengenai kawasan pertokoan di Jalan Siliwangi, Kota Lama, ia mengatakan, sudah ada rencana tata bangunan lingkungan (RTBL), di mana akan dilakukan reklamasi pantai. "Saya tidak terlalu hafal berapa meter yang akan direklamasi, tetapi cukup untuk
Sementara  Kepala Dinas Pariwisata Kota Kupang, Dra. Ester Muhu, melalui Kepala Bidang Produk Pariwisata, Drs. Matheus Eusthakius, mengatakan, di Kota Kupang ada 65 hotel, terdiri atas hotel melati dan  hotel bintang 4.  (nia)



Hotel dan Restoran di Pantai Kupang
--------------------------------------------------
Hotel                             !     Restoran/Cafe                 !
------------------------------------------------------------------
On The Rock Hotel       !   Phonix                              !
Aston Kupang               !  Ima Restoran/cafe              !
Ima Hotel                      !  House Cafe                        !
Royal Hotel                   !  Oriental Restoran              !
King Stone                    !  Pala Restoran                     !
Palm Beach                   !  Lung Hoa Restoran            !
Swiss Bellin Kristal       !  Courmet Coffie Shop         !
Sotis Hotel                    !  Timor Raya Restoran         !
Pantai Timor                 !  Teluk Kupang Restoran      !
Hotel Maya                   !   Batu Nona Retoran/Cafe   !
Hotel Maliana               !   Beer and Barel                  !
Hotel Susi                     !   Candana Restoran             !
Kupang Sea View         !  Grand Mutiara                   !
Kupang Beach              !  Nelayan Restoran              !
Hotal Lumba-Lumba     !  Suba Suka Paridze             !
                                     !  In and Out                         !
                                     ! Roterdam Restoran             !
                                     ! Pantai Timor Restoran        !
                                     ! Maya Restoran                   !
-------------------------------------------------------------------
Sumber data: Dinas Pariwisata Kota Kupang (nia)



Don Arkian, ST, MT, Ketua Jurusan Arsitek Unwira Kupang
Pemkot Harus Berani

KOTA Kupang adalah kota pantai, seharusnya pantai dijadikan teras kota. Artinya, sudah semestinya pembangunan restoran, hotel dan  perumahan menghadap ke pantai. Jika pantai menjadi teras, sudah tentu pantai akan terjaga kebersihannya. Tidak mungkin sampah akan dibuang di teras atau depan.

Tetapi kenyataanya pembangunan gedung yang ada di sepanjang pantai di Kota Kupang ini membelakangi pantai. Pantai dijadikan bagian belakang bangunan sehingga tidak mendapat perhatian ekstra dari pemilik bangunan. Ibarat bagian belakang rumah adalah tempat pembuangan berbagai macam sampah dan kotoran.

Begitulah potret pantai di sepanjang Kota Kupang ini. Padahal, terkait penataan pantai, Satuan Kerja (Satker) Penataan Bangunan dan Lingkungan (PBL) NTT sudah punya program penataan kawasan pantai. Sejak tahun 2013, sudah ada Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Kupang tentang penataan kawasan pantai, malah ada Peraturan Walikota (Perwali) dan sudah dilanjutkan dengan mulai dari Oeba sampai  Lasiana sudah ada rencana tata bangunan kawasan pantai.

Tinggal sekarang persoalanya adalah pengendalian, yakni Pemerintah Kota Kupang. Karena selama ini lemahnya pengendalian dari pemerintah. Konsep pantai sebagai teras kota adalah teori kota pantai yang seharusnya menghadap pantai.

Kenyataan Kota Kupang tidak seperti itu, padahal garis pantai Kota Kupang adalah salah satu garis pantai terpanjang di Indonesia yang namanya kota pantai. Kita tidak memanfaatkan sebagai teras kota, malah membelakangi, terutama bangunan-bangunan milik privat yang menutup akses publik.

Pantai dan sepadan pantai adalah daerah milik publik, dan kalau sudah ditutupi, suatu saat kita mau lihat apa karena sudah menjadi milik privat. Ketika bangunan menghadap ke laut, pertama menjadikan beranda kota, dari segi estetika sudah pasti lebih bagus.
Bahkan kamar hotel yang view-nya ke laut biasanya nilai komersialnya tinggi. Sebut saja Aston Hotel, untuk setiap kamar yang menghadap ke laut, harganya lebih mahal daripada kamar yang menghadap bukan ke laut.

Kedua, terkait dengan rutinitas perkotaan, kita tidak mungkin membuang sampah di depan rumah, tetapi ke belakang rumah. Kalau membelakangi rumah atau bangunan membelakangi yah sudah pasti macam-macam yang dibuang ke laut.

Terkait toko-toko di Pantai Kupang, dalam Perda tahun 2013 sudah ada, fungsi komersil tetap dipertahankan tetapi harus tetap diatur. Bahwa mereka tetap berjualan, kalau di amenghadap ke jalan, terpaksa dibuat reklamasi. Masih ada ruang yang cukup untuk mengakses. Memang di situ belum direkomendasikan fungsi-fungsi komersil, tetapi dengan cara di-carring, seperti semua toko yang ada dijadikan satu mal.

Problem di Jalan Siliwangi, soal jalan dan parkir karena di situ bukan saja kendaraan, tetapi manusia cukup padat ditambah aktivitas pedagang kaki lima (PKL) begitu tinggi. Kalau toko sudah menjadi milik pribadi, dalam rekomendasi kami FGD dengan maksud dari Pos Polisi sampai ke Arjuna yang ada parkiran kecil.  Parkiran ini digunakan sebagai aktivitas warga saat kegiatan HUT Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus untuk lomba dayung dan sebagainya.

Satu segmen lagi dari Arjuna sampai di Jalan Sumatera, itu juga fungsi komersil tetapi di-carring. Toko-toko tetap ada tapi dibangun dalam satu mal yang besar dan PKL ditempatkan di pesisir pantai yang direklamasi sesuai jenis jualan.  Kami sudah merekomendasikan sejak tahun 2013. Memang butuh investasi yang besar sekitar Rp 1,3 miliar dan ini tugas Pemkot Kupang. Tahun 2015 dilanjutkan kembali perencanaan desain dari Oeba sampai Pantai Batu Nona.

Ke depan, harus ada konsep pengendalian seperti insentif dan disinstentif. Insentif misalnya, memberikan penghargaan kepada mereka yang sudah melakukan. Sedangkan disintensif berupa sanksi terhadap yang tidak mengikuti peraturan tata ruang.

Sekarang bagaimana cara bagai mereka yang sudah terlanjur dan tidak mau ikut aturan yang ada, mereka harus tetap mengikuti karena itu aturan. Tetapi, kalau tidak ikut harus diberikan sanksi dan Pemkot harus berani memberikan sanksi, karena kalau bukan dia yang mengendalikan siapa lagi ? Jadi tinggal eksekusi saja.  (nia/vel)

Sumber: Pos Kupang 13 September 2015 hal 1

Baleo... Laut itu Kebun Kami

Tangkap ikan Paus di Lamalera
ORANG Lamalera punya dua kebun. Kebun pertama ada di darat, yang ditanami jagung, kacang-kacangan  dan aneka benih tanaman pertanian lainnya. Kebun kedua ada di laut. Kebun di darat baru ada sekitar 50 tahun terakhir, sementara kebun di laut sudah ada sejak ratusan tahun silam.

Hal itu disampaikan Yos Bataona, tokoh masyarakat Lamalera, Rabu (16/9/2015) siang. Dikatakannya, meski ada kebun di darat, tapi kebun di laut merupakan yang paling utama. Sebab seluruh hasil dari laut, membawa banyak manfaat bagi hidup masyarakat.

Sejak berabad-abad lamanya, tutur Yos, orang Lamalera menggantungkan hidupnya pada laut. Laut tak hanya untuk menangkap ikan paus, tetapi juga jenis ikan lain, di antaranya ikan pari. Hanya saja, paus merupakan pilihan yang utama.

Untuk menangkap mamalia itu, demikian Yos, harus melewati banyak tahapan, baik ritual adat oleh tetua adat maupun misa pemberkatan leva oleh pastor. Misa setiap tanggal 1 Mei tak hanya momen untuk memberkati laut, tetapi juga memberkati seluruh sarana dan prasarana yang digunakan untuk menangkap ikan paus.

Pemberkatan leva itu juga bermakna amat luas. Artinya, laut yang merupakan kebun bagi orang Lamalera, harus disucikan terlebih dahulu agar dengan penyucian tersebut, laut bisa memberikan hasil melimpah. Hasil melimpah itu berupa banyaknya ikan paus yang dapat ditangkap dan dibawa sampai ke darat.

Bagi orang Lamalera, lanjut Yos, ikan paus merupakan hadiah dari Tuhan. Artinya, Tuhan memberikan hadiah itu kepada orang Lamalera untuk dimanfaatkan sebaik- baiknya bagi hidup.  Lantaran merupakan hadiah Tuhan, maka seluruh proses hingga paus ditangkap, senantiasa diwarnai rangkaian seremoni adat dan misa leva. Untuk menangkap ikan paus, jelas Yos, orang Lamalera melakukannya dengan cara tradisional. Sang raja laut itu ditangkap dengan peralatan  amat sederhana. Hanya dengan tempuling yang dihujamkan berkali-kali ke tubuhnya, ikan paus itu akhirnya mati akibat kehabisan darah.

Bagaimana caranya agar ikan paus itu dapat dilumpuhkan, Yos mengatakan, itu tergantung pada lamafa. Ketajaman instingnya, keberaniannya, kecepatan, ketepatan dan ketangkasannya, menjadi penentu. Berikutnya, adalah kepekaan asisten lamafa dan kekompakan para awak peledang.

Saat lamafa hendak melompat untuk menghujamkan tempuling pada tubuh paus, tuturnya, asisten lamafa juga harus pandai membaca olah gerak ikan paus, ke mana arah ikan paus itu berenang, bagaimana kondisi laut saat itu, bagaimana kecepatan arus laut, besarnya gelombang dan lainnya. Ini penting agar tali yang diikat pada tempuling dan ujung tali lainnya diikat pada bodi  peledang, tidak sampai melilit sang lamafa seusai menghujamkan tempuling pada ikan paus yang oleh orang Lamalera disebut sebagai kotek lema.

Jika salah mengatur tali, maka nasib lamafa bisa menjadi lain. Sang juru tikam itu dapat mengalami kecelakaan yang fatal. Makanya, saat memburu ikan paus, antara lamafa dan asistennya harus terus berkoordinasi. Bila memungkinkan, naluri asisten pun harus sama tajamnya dengan lamafa. Yang juga sama pentingnya, adalah peran seluruh awak peledang. Saat lamafa meloncat menjemput ikan paus, misalnya, para awak peledang juga wajib  konsentrasi penuh.

Para awak peledang juga perlu memberi suport kepada lamafa, sehingga kekuatannya diarahkan seluruhnya pada penikaman itu. Suport para awak peledang itu akan ikut menambah keberanian lamafa kala menikam ikan paus. Bila paus sudah tertikam, tuturnya, maka sesuai tradisi orang Lamalera, tidak seorang awak peledang membantu lamafa naik kembali ke atas perahu. Lamafa harus berjuang sampai ke atas perahu.
"Biasanya lamafa sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Jadi tidak mungkin lamafa meminta bantuan, karena saat itu seluruh awak peledang sudah konsentrasi menaklukan paus,” ujarnya.

Para awak peledang juga, harus pandai-pandai  mengikuti ke mana arah ikan paus berlari. Mereka juga harus selalu memperhatikan simpul tali yang menghubungkan peledang dengan ikan paus. Jika paus itu tak terlalu besar, maka waktu yang dibutuhkan untuk menaklukannya, tak terlalu lama. Tapi jika sebaliknya, paus itu besar, maka proses penaklukannya pun lama. Adakalanya peledang itu ditarik jauh ke tengah laut sampai ke lautan lepas.

Menangkap paus itu ada risikonya. Ada kalanya paus menarik peledang sehingga sama-sama 'menyelam'.  Dalam  kondisi demikian, awak peledang sudah tahu apa yang harus diperbuat. Kalau ada peristiwa semacam ini, orang tua di Lamalera sudah tahu. Mereka akan menggelar ritual adat untuk menyelamatkan para awak peledang itu. "Cepat atau lambat orang yang ikut dalam peledang itu akan selamat dari bahaya,” tutur Yos. (frans krowin)

Nanti Paus yang Tunjuk

BERNADUS
Batafor menuturkan, penangkapan ikan paus merupakan muara dari sebuah proses panjang, mulai dari pembuatan peledang. Kayu untuk perahu, merupakan kayu pilihan. Namanya kayu merah yang oleh warga setempat disebut knaa.

Untuk mendapatkan jenis kayu ini, jelasnya, pembuat perahu harus ikut mencarinya. Maksudnya, ketika mendapat kayu knaa di hutan, molan (pembuat perahu) bisa memberitahu, apakah kayu tersebut bisa untuk pembuatan peledang atau tidak.
Makanya bersama warga, molan juga harus ikut keluar masuk hutan. Dari Lamalera, mereka mencari knaa sampai wilayah Atadei. Bahkan masuk ke hutan Lodoblolong dan sekitarnya di Kecamatan Lebatukan.  Kalau ada breung (teman), maka saat kita cari knaa kita bisa tanya ada tidaknya knaa di wilayah hutan yang hendak kita tuju,” kata Bernadus,  ditemui Pos Kupang, Rabu (16/9/2015).

Selepas mendapatkan knaa, lanjutnya, urusan berikutnya  membuat perahu. Pembuatannya bisa cepat, bisa lambat, tergantung ketersediaan kayu. Pemasangan papan juga tak boleh menggunakan paku  atau unsur besi lainnya. Peran paku digantikan pasak yang oleh masyarakat setempat disebut ketilo.

Penyambungan antarpapan tidak boleh salah. Pemasangan ketilo pun demikian. Pemasangan ketilo harus berselang seling dan tidak boleh bersentuhan satu sama lain. Kalau ada yang salah, maka ikan paus yang akan menunjukkan, di mana letak kesalahan tersebut.

 Jadi buat peledang-nya di darat,  tapi jika ada kesalahan, nanti paus yang akan menunjukkan kesalahan pada peledang itu. Paus menunjukkannya dengan cara memukul-mukulkan ekornya ke peledang,” ungkap Bernadus.

Kalau dulu, demikian Bernadus, satu peledang berukuran 11x3 meter bisa dikerjakan berbulan-bulan lamanya. Tapi sekarang, setelah ada kemudahan, pembuatan peledang lebih cepat.

Apakah pembuatan perahu ada kaitannya dengan latarbelakang ekonomi keluarga? Ia mengatakan, sejak dulu pembuatan peledang berasaskan kebersamaan. Anak-anak suku saling membantu saat membuat perahu mulai dari awal sampai selesai.

  Yang buat perahu juga bukan sembarang orang. Orang tersebut harus terampil dan memiliki kemampuan lain. Biasanya kami sebut sebagai molan atau sering pula disebut laba ketilo. Tukang laba ketilo itu merupakan orang-orang pilihan,” ujarnya.
Jika laba ketilo tak mampu lagi membuat peledang karena faktor usia, misalnya, maka akan ada turunannya yang diyakini pasti mewarisi kemampuan tersebut. Jadi, semuanya seperti sudah digariskan. Dan itu terjadi sampai saat ini.


 Kalau pembuatan peledang berjalan mulus sampai selesai, tidak ada kesalahan di sana sini,  maka saat peledang itu digunakan untuk mengejar dan memangkap paus,  maka pemilik peledang akan mendapat jatah khusus. Pembagiannya sudah jelas dan itu berlaku sampai sekarang,” ujarnya. Yang unik dari pembagian itu, tutur Bernadus, adalah pemilik peledang membagi ikan paus itu dengan cara membuat garis menggunakan parang atau benda tajam lain. Setelah pembagian tersebut, silakan warga memotong sendiri untuk dibawa pulang.

Pembagiannya pun adil, di mana semua warga mendapatkan jatah daging paus. Bahkan sampai saat ini, tidak pernah ada yang mengklaim jatahnya kurang dari warga lainnya.  Selama ini tidak pernah ada yang protes, si A dapat jatah lebih besar atau si B dapat bagian lebih banyak. Ini karena pembagiannya adil. Semua warga mendapat jatah dari paus yang ditangkap itu,” ujarnya.

Ibu-ibu yang Penetan
Kisah tentang penangkapan ikan paus, tak bisa diceritakan cuma semalam. Kisahnya teramat panjang, sebab tradisi yang satu ini sudah dilakukan sejak abad 15 silam. Ceritanya pun tak akan bosan didengar, karena di balik penangkapan ikan paus itu, terpendam aneka khasanah budaya yang sungguh menawan.

 Kalau daging paus sudah dipotong dan dibawa pulang, maka hari-hari berikutnya adalah ibu-ibu mulai penetan (jual). Mereka jual dari desa ke desa, dari pasar ke pasar. Wulandoni merupakan pasar yang  menjadi tempat penetan, kata Markus Sidhu Batafor, saat ditemui di kediamannya, Rabu (16/9/2015) siang.

Dia menuturkan, pada masa lalu, ibu-ibu yang hendak penetan, meninggalkan rumah tatkala hari masih gelap.  Ketika jarum jam menunjukkan pukul 03.00–04.00 dini hari, kata Markus, ibu-ibu mulai meninggalkan rumah untuk penetan daging ikan paus ke desa-desa. Mereka membawa obor di tangan sambil menjunjung daging paus yang hendak dijual.

Ibu-ibu tersebut tak hanya menjualnya untuk dapatkan uang, tapi juga menukarkan dengan barang lain (barter) milik warga pegunungan. Ada yang menukarkan daging paus dengan jagung, kacang, pisang, ubi, asam, kemiri dan lainnya. Saat penetan itu, ibu-ibu membawa jualan yang berat di kepala, pulang juga membawa hasil yang sama pula beratnya. Barang hasil jualan itu tak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi juga untuk membiayai kebutuhan lainnya.

Prinsipnya, daging paus yang dibawa harus habis dibeli atau ditukar dengan barang lain. Hasilnya dibawa pulang untuk kebutuhan keluarga. Makanya, bukan orang Lamalera kalau tidak kerja keras,” tutur purnawirawan TNI berpangkat kolonel ini. Sisi menarik lainnya, adalah penetan itu bukan hanya dilakukan ibu-ibu di Lamalera, tetapi wisatawan mancanegara. Ada  profesor dari Inggris yang datang ke Lamalera bersama istri untuk penelitian. Mereka menetap dua tahun.

Selama berada di Lamalera, sang istri membaur bersama ibu-ibu, lalu melakukan penetan bersama ke desa-desa juga ke pasar.  (kro)


Yohanes Blikololong: Ada yang Hilang

SAYA
mulai gusar melihat Lamalera saat ini. Tradisi penangkapan ikan paus masih terwarisi secara baik. Namun ada hal tertentu yang mulai redup, bahkan hilang dari Lamalera. Kalau dulu, saat orang berteriak baleo..., baleo..., saat itu juga para pria dewasa langsung bergegas menuju pantai dan mendorong peledang masuk laut.

Ketika semua sudah di atas perahu, terdengar nyanyian yang syairnya membangkitkan semangat awak peledang untuk lebih kuat mendayung perahu. Sepanjang peledang didayung, sepanjang itu pula syair-syair adat dinyanyikan bersama-sama.
Syair lagu itu tak hanya terdengar saat peledang memburu paus. Saat mereka pulang dari pengejaran pun, syair-syair adat dinyanyikan lagi. Bahkan dari nyanyian itu, bisa diketahui apakah mereka berhasil mendapat paus ataukah tidak.

Melalui nyanyian pula dapat diketahui apakah paus yang diburu tersebut terlepas saat ditangkap, ataukah paus itu dikejar tapi tak didapat. Semua perjuangan untuk mendapatkan paus bisa diketahui melalui lagu.

Akan tetapi, lagu-lagu tersebut, kini tak terdengar lagi. Bahkan syair lagu pun sepertinya sudah hilang dari ingatan para pria pemburu paus. Ini terjadi, karena proses pengejaran paus sudah berbeda dengan masa lalu.

Kalau dulu, ketika terdengar suara teriakan baleo..., saat itu juga para pria dewasa langsung menuju pantai tempat peledang didaratkan. Sejurus kemudian, mereka mendorong peledang masuk laut dan mereka mulai menerjang gelombang pantai selatan.

Saat-saat itulah terdengar nyanyian untuk membangkitkan spirit mengejar paus. Tapi sekarang, para awak peledang hanya mendorong peledang masuk laut. Setelah itu,  jonson (perahu motor yang dilengkapi mesin tempel) langsung mengambil peran, menarik peledang itu sampai ke tengah laut, mendekati paus yang diburu.
Bila sudah mendekati sasaran, maka anak buah kapal (ABK) memisahkan diri dari peledang lalu menunggu sampai drama penangkapan ikan paus itu berakhir. Perahu itu berlabuh tak jauh dari peledang dan menanti sampai adegan penangkapan ikan
paus itu selesai.

Jika ikan paus berhasil ditangkap, maka saat kembali ke darat perahu motor  tersebut yang menarik semua peledang bersama ikan paus hasil perburuan. Seperti itu kondisi penangkapan paus saat ini. Ada banyak yang berubah, ada pula yang sudah hilang.
Untuk menyelamatkan keadaan itu, saat ini sedang ada upaya pelestarian kembali. Dalam lagu itu ada tingkatan. Dolo baru ketingkatan berikutnya sole-oha, dan berikutnya oreng. Saat ini sudah dibentuk komunitas kecil untuk mewarisi budaya yang mulai redup itu.

Saya berharap Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lembata untuk bisa mendukung upaya pelestarian budaya Lamalera itu. Karena dukungan pemerintah sangat berarti bagi upaya merawat budaya Lamalera agar tak hilang digusur budaya luar. (kro)


Sumber: Pos Kupang 20 September 2015 halaman 1

Tradisi Matita di Timor Tengah Utara

Tradisi Matita di Timor Tengah Utara
PENANCAPAN paku oleh Atoin Amaf (orang tua) pada titik kiri peti jenazah Gasper Bana  di Maslete-Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) hampir selesai. Beberapa saat lagi peti jenazah diangkat untuk dibawa  ke luar rumah dan selanjutnya menuju tempat pemakaman terakhir.

Sebelum jenazah dimakamkan pada 7 September 2015 itu, semua anggota keluarga inti berada di dalam rumah. Di dalam sana Atoin Amaf  masih menghitung pakaian dan sarung adat yang diantar para pelayat atau rakyat sebagai pemberian terakhir dari keluarga dan masyarakat kepada Gasper Bana almarhum.

Pakaian dan sarung lalu disusun rapi rapi di kaki peti  jenazah. Ada harta yang disimpan di dalam peti. Jumlah sarung  di sisi kaki kiri dan kaki kanan jenazah Gasper Bana harus sama. Peti pun diangkat. Tak berselang lama tempurung kelapa dipecahkan.  Suara tangis  keluarga dan kerabat yang duduk mengelilingi peti jenazah sontak pecah di ruangan berukuran 5x6 meter persegi itu.

Tangisan memecahkan keheningan. Bagian depan pintu rumah duka sudah dipadati warga yang ingin mengangkat dan menggoyang-goyang peti jenazah. Ada sebuah tempurung kelapa yang disiapkan untuk dipecahkan oleh salah seorang Atoin Amaf. Setelah peti jenazah diangkat dan hendak  diarak keluar, tempurung kelapa dipecahkan.
Di depan jalan masyarakat tumpah ruah. Ada yang tertawa, dan ada yang seperti ingin melakukan sesuatu. Entah apa. Tak banyak bicara, sejumlah warga menuju peti jenazah yang dipikul.

Beberapa warga menyerbu peti jenazah, terjadi saling dorong, dan mereka menggoyang peti jenazah. Ada yang memakai daun dan memukul-mukul peti jenazah tersebut. Meski demikian, peti tetap dipegang erat sehingga tidak jatuh.  "Ini masih kurang, kadang ada yang naik dan duduk di atas peti dan menggoyang-goyangkan peti," kata seorang warga.

Putra sulung almarhum yang dianggap sebagai pengganti almarhum, berjalan di depan peti jenazah yang diarak dan digoyang-goyang. Dia mengenakan pakaian adat lengkap. Jarak rumah duka ke tempat pemakaman sekitar 400 meter.

Saat diserbu dan digoyang-goyangkan peti jenazah nyaris jatuh. Untung ditahan sekuat tenaga oleh mereka yang memikul peti. Prosesi itu berjalan lancar. Saat pulang dari tempat pemakaman, sebelum memasuki rumah duka, para pengusung peti jenazah satu per satu diperciki Oe Maniki  atau air berkat. Mereka diperciki air agar aura negatif  saat mengarak peti jenazah dibersihkan sehingga masuk rumah dengan nyaman. Setelah diperciki air berkat barulah disuguh minuman dan makanan.


Demikian  tradisi matita (menggoyang) peti jenazah di wilayah Bikomi, Kabupaten TTU. Ada dua poin penting dalam tradisi menggoyang peti jenazah, yakni kepercayaan dan adat istiadat.  Tradisi menggoyang peti jenazah ini berlaku di wilayah Bikomi yang terdiri dari Bikomi Utara, Bikomi Tengah, Bikomi Nilulat, Bikomi Selatan dan di sekitar Kota Kefamenanu.

Tradisi  matita dilakukan hanya untuk keturunan bangsawan atau keturunan raja, baik ianak-anak maupun orang dewasa untuk suku Ato-Bana dan Lake-Sanak yang mempunyai hubungan kekerabatan erat sebagai empat suku utama penguasa di wilayah Bikomi.

Kepada Pos Kupang, Rabu (23/9/2015), tokoh adat yang juga penjaga rumah adat Us Bana, Agustinus Bana, Bendiktus Sanak, Baltasar Sanak, dan Hironimus Sanak,  mengatakan,  sejak dahulu kala jenazah keturunan raja harus dipikul keluarga dan masyarakat hingga liang lahat. Menurutnya, saling dorong dan menggoyang peti jenazah merupakan wujud gotong- royong. Meski berat dan jarak rumah duka ke tempat pemakaman jauh, peti jenazah akan tetap dipikul dan digoyang-goyang.

Agustinus Bana menjelaskan, ada ritual sebelum pemakaman. Apabila dilakukan di Sonaf,  ritual adat dipimpin oleh Usif.  Jika dilakukan di rumah duka, upacara pemakaman dipimpin Atoin Amaf  dalam hal ini paman kandung almarhum. Menurutnya, tidak ada pantun, puisi dan ayat-ayat khusus yang diucapkan sebelum peti jenazah diarak ke luar rumah untuk digoyang. Yang diucapkan saat iring-iringan peti Jenazah menuju liang lahat  untuk dimakamkan adalah tutur adat oleh Atoin Amaf.

Ia mengatakan, tutur adat itu disebut takanab atau seonesbasnes yang artinya ucapan terakhir dan pemberitahuan kepada keluarga dan masyarakat, bahwa jenazah akan segera dibawa ke liang lahat.

Hironimus Sanak, mengatakan, makna menggoyang peti jenazah, yakni  sebagai ungkapan rasa hormat terakhir kepada jenazah. "Kami tetap menggoyang peti jenazah dengan penuh semangat. Bersorak-sorai dan bersuka cita, namun tetap dijaga sedemikian rupa agar tidak jatuh. Menggoyang peti jenazah ini sebagai ucapan rasa memiliki atau rasa menyatu dengan jenazah," ujarnya.

Saat proses menggoyang peti jenazah, kata Hironimus, tidak pernah terjadi niutsae atau kerasukan. Namun, kerasukan sering terjadi ketika selesai pemakaman dan tiba di rumah duka. Saat itu salah satu keluarga dekat akan dimasuki roh dari almarhum, bisa juga roh dari nenek moyang dengan maksud menyampaikan sesuatu. "Saat Pak Gasper Bana meninggal terjadi kerasukan di rumah saat malam hari," katanya.


Mereka bertugas memikul peti jenazah, jelas Hiro, yakni keluarga terkait dan masyarakat yang hadir saat itu. Biasanya  keluarga dekat pun terkadang tidak dapat mengambil bagian  memikul peti jenazah. Antuasiasme masyarakat yang tinggi kerap menimbulkan aksi saling dorong antara sesama pemikul peti jenazah.

Kalau sudah terjadi demikian, keluarga tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya berjalan mengikuti perarakan hingga ke pemakaman.  "Kadang kami kakak-adik juga tidak dapat memikul peti jenazah karena manusia begitu banyak. Belum lagi saling dorong," kata Hiro.  (apson benu)

Hampir Punah

SEKRETARIS
Dinas Pariwisata Kabupaten TTU, Yohanes Sanak mengatakan, tradisi menggoyang peti jenazah sebelum dimakamkan merupakan wisata budaya yang harus dilestarikan. Kebijakan untuk melestarikan tradisi budaya tersebut, kata Sanak, sudah dilakukan  pemerintah.

Tahap pertama, jelas Sanak, sudah dilakukan oleh Dinas Pariwisata TTU, yakni   inventarisasi lembaga adat dan tradisi-tradisi yang yang hampir punah.  Langkah berikutnya membenahi lembaga adat. Tahun 2015 ini merupakan tahap terakhir proses inventarisiasi ditindaklanjutkan pertemuan para pemangku adat tahun 2016.

Pertemuan tersebut untuk mencari solusi guna mengembalikan tradisi budaya yang hampir punah. Sementara yang masih berjalan hingga saat ini, kata Sanak, diupayakan tetap bertahan dan bisa dikembangkan sesuai keunikan masing-masing daerah.

Diakuinya, setiap wilayah di TTU memiliki keunikan dan karateristik budaya yang berbeda. Wisata budaya paling diminati oleh wisatawan mancanegera. Jika nilai dan tradisi budaya ini dilestarikan akan menjadi magnet menarik wisatawan datang ke TTU. "Dalam konteks budaya, yang mahal itu adalah bagaimana pengembangan dan pemeliharaan,"  ujarnya. (abe)

Sumber: Pos Kupang Minggu 27 September 2015 hal 1

Mari Melawan Pungli

ilustrasi
SEBAGAI Kepala Perwakilan Ombudsman Nusa Tenggara Timur (NTT), Darius Beda Daton hampir   saban hari menerima pengaduan masyarakat terkait pelayanan publik. Salah satu masalah yang kerap diadukan ke Ombudsman adalah soal pungutan liar (pungli).

Medio pekan lalu, Darius sendiri malah yang menjadi korban. Dia pun terkena pungutan liar  ketika  hendak mengurus perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM) C di mobil keliling Polri di Pos Polisi El Tari Kupang, Rabu (26/8/2015) siang.

"Ada dua petugas di sana, satu berpakaian seragam Polri satu berpakaian bebas. Saya tanya berapa biaya perpanjangan SIM. Petugas mengatakan, biayanya Rp 150.000. Saya langsung komplain ke dia dan mengatakan, berdasarkan PP Nomor 50 tahun 2010, biaya perpanjangan SIM C hanya Rp 75.000. Kenapa dia minta Rp 150.000? Berarti ada pungli sebesar Rp 75.000," kata Darius.

Petugas itu tidak menjawab dan malah menyuruh Darius masuk saja ke dalam mobil SIM. "Saya menolak. Sudah jelas bahwa terjadi praktek pungli saat pengurusn SIM di mobil keliling ini," kata Darius. Darius menyesal karena praktek pungli itu memang belum sirna sama sekali.

"Saya sudah tiga kali surati secara resmi ke Kapolda NTT. Terus ke Kapolresta, ke Kasat Lantas pun sudah sering saya telepon beritahu mengenai praktek pungli itu. Mereka mengatakan akan menindaklanjuti dan menghentikannya, namun sampai sekarang ternyata tidak bisa teratasi. Saya menilai praktek pungli itu sepertinya sudah terjadi secara sistemik. Bahkan, saya lapor ke Irswasda Polda pun praktek pungli itu belum juga bisa diatasi," demikian Darius.

Menduga praktek pungli itu sistemik, Darius menganggap pungli itu tidak semata karena kemauan petugas di lapangan. "Karenanya, saya tidak setuju kalau anggota di lapangan diperiksa kode etik dan diberi sanksi oleh Propam Polda," kata Darius.
Dugaan Darius boleh jadi benar. Praktek yang sangat merugikan masyarakat tersebut terorganisir rapi sehingga tidak bijaksana serta merta hanya menyalahkan petugas di lapangan. Memang, bisa jadi juga pungli terjadi karena niat dari petugas itu sendiri bukan atas perintah atau arahan orang lain yang lebih kuat kuasa.

Untuk kasus yang menimpa Darius kita tunggu hasil  penelusuran yang obyektif dari otoritas berwenang di daerah ini. Publik NTT  menanti dengan penuh harap agar semuanya dibuka terang benderang.

Tentu saja kasus ini dipandang menarik bukan karena yang mengalami langsung pungli itu seorang kepala Ombudsman NTT. Siapa pun warga negara  yang diperlakukan secara tidak adil harus dibela dan dilindungi.

Lebih dari itu pungli dalam wujud apapun merupakan sesuatu yang melawan hukum serta merugikan orang banyak. Dengan demikian kita patut memeranginya dengan beragam  cara. Kita tidak boleh memberi toleransi atau memaafkan begitu saja. Kita belajar dari pengalaman pahit, betapa negeri tercinta ini mengalami keterpurukan hampir di semua bidang lantaran kita gagal meredam praktek suap, pungli,  korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kita tahu praktek itu marak terjadi di sekitar kita. Namun, kebanyakan dari kita lebih memilih diam bahkan ikut menikmatinya. Mari melawan pungli! (*)

Sumber: Pos Kupang 31 Agustus 2015 halaman 4

Keselamatan Penerbangan

POS KUPANG.COM - Dalam rentang waktu sembilan bulan terakhir sudah terjadi tiga kecelakaan pesawat terbang yang menyebabkan seluruh awak dan penumpangnya meninggal dunia.

Peristiwa pertama terjadi pada bulan Desember 2014 beberapa saat setelah hari Natal tepatnya tanggal 28 Desember. Kala itu pesawat AirAsia dengan nomor penerbangan QZ8501 rute Surabaya-Singapura jatuh di perairan Selat Karimata, Kalimantan Tengah.  Pesawat naas tersebut mengangkut 155 orang penumpang.

Kecelakaan berikutnya menimpa pesawat Hercules tipe C-130 yang jatuh di Jalan Letjen Djamin Ginting Medan beberapa menit setelah lepas landas dari Lanud  Soewondo Medan, hari Selasa 30 Juni 2015 sekitar pukul 11.45 WIB. Sedianya pesawat angkut militer itu menuju Tanjung Pinang. 

Dalam musibah ini  seluruh penumpang dan awak pesawat juga tidak ada yang terselamatkan. Berdasarkan data manifes, jumlah penumpang Hercules sebanyak 122 orang terdiri dari 33 anggota TNI AU, enam anggota TNI AD dan 83 orang anggota keluarga prajurit TNI.

Kecelakaan pesawat terkini melanda pesawat Trigana Air nomor penerbangan  IL-257 pada hari Minggu 16 Agustus 2015 atau sehari menjelang Indonesia berusia 70 tahun. Pesawat yang terbang dari Bandara Sentani Jayapura menuju Oksibil jatuh di daerah Pegunungan Bintang, Papua. Sebanyak 49 penumpang dan lima awak pesawat meninggal dunia. Hari-hari ini masih berlangsung proses evakuasi jenazah para korban dari lokasi kejadian.

Setiap kali terjadi musibah kecelakaan pesawat udara, perasaan kita selalu teriris-iris  sedih lantaran kemungkinan sangat kecil ada penumpang atau awak pesawat yang selamat. Banyak faktor pemicu terjadinya kecelakaan penerbangan. Sebut misalnya faktor cuaca yang tidak bersahabat serta topografi medan yang sulit, armada yang tidak laik terbang atau karena faktor kesalahan manusia (human error). Sejumlah pengamat menduga jatuhnya pesawat Trigana Air di Pegunungan Bintang boleh jadi disebabkan beratnya medan di Papua serta perubahan cuaca yang ekstrem. Bisa juga karena faktor  manusia.

Guna mendapat jawaban pasti kita perlu menunggu hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang diberi waktu selama satu bulan oleh Menteri Perhubungan RI. Analisa terhadap kotak hitam yang sudah ditemukan Tim SAR akan mengungkap misteri mengapa pesawat yang diawaki pilot senior Hasanuddin tersebut jatuh menabrak tebing hingga hancur berkeping-keping.

Menyangkut kemungkinan faktor kesalahan manusia, kita tiada henti mendorong agar operator penerbangan di negeri ini tidak bermain-main soal keselamatan. Prinsip safety first itu keniscayaan!  Perawatan pesawat secara rutin sesuai standar dunia penerbangan hendaknya ditaati dengan sungguh-sungguh.

Kerapkali demi efisiensi serta mengejar profit manajemen maskapai tertentu menomorduakan kelaikan terbang armadanya. Rute dan  jadwal terbang awak pesawat pun perlu diatur sedemikian rupa agar tidak melampaui kemampuan fisik mereka. Kebugaran fisik dan mental mutlak  bagi awak pesawat udara. Di ketinggian langit sana satu kekeliruan kecil saja bisa berakibat fatal bagi nyawa manusia.

Tentu saja prinsip mengutamakan keselamatan tidak hanya berlaku untuk moda transportasi udara. Moda transportasi darat dan laut pun mutlak mematuhinya. Kita tiada bosan  untuk menggarisbawahi  hal itu mengingat layanan transportasi publik di Indonesia masih jauh dari harapan yaitu murah, aman dan nyaman.*

Sumber: Pos Kupang 20 Agustus 2015 halaman 4

Kegaduhan Politik Lokal

MASYARAKAT kita agaknya makin merasa biasa saja menyaksikan  kegaduhan politik yang dengan senjaga dimainkan para  elit politik di negeri ini. Kegaduhan tersebut tidak hanya buah karya  elit politik  di level nasional. Keriuhan yang tercipta bahkan terjadi sampai di pelosok tanah air dengan pelaku elit lokal.

Selama era reformasi ini, kegaduhan paling riuh selalu melibatkan dua aktor utama yakni kelompok eksekutif (pemerintah) di satu kubu berhadapan  dengan kubu legislatif (DPR/DPRD). Bahan-bahan yang mereka racik guna memicu kegaduhan pun beragam mulai dari hal remeh-temeh hingga sesuatu yang sangat penting menyangkut hajat hidup orang banyak.

Cukup sering kita menyaksikan perkara yang menjadi sumber keributan para aktor politik tersebut sesungguhnya bukan hal yang luar biasa. Tetapi di mulut, sikap dan aksi  para politisi urusan sepele terkesan  seolah-olah super rumit hingga memerlukan diskusi panjang dan alot guna menemukan solusi yang tepat.
Bahkan dalam banyak kasus kita menyaksikan para elit politik dengan sengaja membiarkan masalah berlarut-larut sehingga energi dan  waktu  nyaris tersedot habis ke sana. Mereka mengabaikan hal yang lebih penting untuk diurus yaitu melayani serta memenuhi kebutuhan masyarakat.

Pertikaian tidak hanya monopoli eksekutif versus legislatif. Di panggung politik Indonesia kegaduhan juga berlangsung di kalangan legislatif sendiri. Pertarungan di sana melibatkan utusan fraksi yang berkoalisi. Misalnya Koalisi A melawan B. Mereka saling menghujat atau  menuding. Mengklaim diri sebagai yang benar sambil menyalahkan yang lain.

Pengalaman menunjukkan, dampak dari kegaduhan semacam ini selalu kontraproduktif. Sebut misalnya penetapan APBD tidak tepat waktu, lemahnya pengawasan terhadap jalannya roda  pemerintahan dan pembangunan serta tidak bergulirnya program pembangunan daerah.

Ada banyak contoh pola kegaduhan seperti itu. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT)  kegaduhan yang kontraproduktif  kerap terjadi. Masyarakat NTT kiranya  tahu daerah mana saja yang elit politiknya tidak rukun. Yang menonjol dari perilaku mereka adalah saling menghujat, menjegal dan menghambat.

Hari-hari ini kita mendengar kabar dari Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Ada fraksi di DPRD setempat berniat mengajukan hak interpelasi terhadap Bupati TTS. Rencana tersebut ditentang empat fraksi lainnya. Jadilah dua kubu berbeda pendapat dan beda sikapnya.

Dalam alam demokrasi perbedaan merupakan hal yang wajar. Demokrasi akan semakin matang jika kita bisa menerima perbedaan. Namun, yang kita khawatirkan adalah perbedaan tersebut jangan sampai menimbulkan kegaduhan politik yang hanya menghabiskan energi positif. Sekarang ini yang sangat dibutuhkan rakyat TTS adalah membantu mereka agar tidak makin terpuruk akibat dampak kekeringan di daerah tersebut. Maka berhentilah memicu polemik yang tidak perlu. Kalau dapat diselesaikan secara elegan, mengapa tidak menempuh langkah itu? *

Sumber: Pos Kupang 6 Agustus 2015 halaman 4

Kenyamanan Peserta Diklat

ilustrasi
POS KUPANG.COM - Kenyamanan peserta pendidikan dan latihan kepemimpinan 4 (Diklat Pim 4)  angkatan VI tahun 2015 dari berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT)  sungguh terusik. Sebanyak 12 orang di antara mereka tidak kebagian kamar tidur di Badan Diklat Provinsi  NTT di Kupang, Rabu (9/9/2015).

Sebanyak 12 peserta yang  tidak mendapat kamar tidur meminta tambahan kasur dari panitia. Kasus itu mereka bentangkan di lantai ruang tengah gedung Nusa Lontar II  yang diubah menjadi ruang tidur. Peserta Diklat yang mendapatkan kamar tidur  pun tidak merasa nyaman karena  selain kondisi WC tersumbat, sejumlah pintu kamar, pintu WC dan lemari  rusak, sehingga tidak bisa dikunci.

Ada lagi kamar tidur  yang kaca jendelanya pecah sehingga peserta berinisiatif sendiri mencari tripleks, memotong lalu menutupi lubang jendela itu. Kamar Diklat itu berukuran  3x3 meter persegi, dengan dua tempat tidur dan satu kasur yang diletakkan di  lantai di antara dua tempat tidur. Seprei yang dipakai umumnya berwarna kecoklatan.
Di salah satu kamar, dua kasur berselimutkan seprei baru bermotif warna coklat dan merah. Seprei itu ternyata dibeli sendiri peserta Diklat Pim 4. Setiap kamar memiliki satu lemari kayu yang beberapa di antaranya alami kerusakan kunci.

Ketua Kelas Pim IV Angkatan VI, Ibrahim Isreng, SPi menjelaskan, peserta Diklat 40 orang dan sudah mengikuti pelatihan sejak 19 Agustus 2015.  Pada 3 September 2015, mereka pulang ke daerah asal untuk menyusun program perubahan dan masuk kembali  9 September 2015. Saat datang kembali itu, 12 peserta tidak dapat kamar karena kamar  sudah ditempati peserta Diklat angkatan yang baru.

Kepala Badan Diklat Provinsi NTT, Klemens Meba yang dikonfirmasi di ruang kerjanya, Kamis (10/9/2015), menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh peserta Diklat  atas ketidaknyamanan itu. Didampingi Domi Taek dari panitia, Meba mengatakan, Badan Diklat NTT baru memiliki 40 kamar. Jika satu kamar ditempati tiga orang, maka total daya tampung 120 orang. Namun saat ini, peserta sudah melebihi kapasitas yaitu 160 orang, sehingga 40 peserta tidak mendapat pelayanan yang baik.

Meba menyesalkan sikap panitia yang tidak mengatur jadwal Diklat peserta sesuai ketersediaan sarana di sana. Peserta angkatan VI sebanyak 80 orang (40 orang Pim 3 dan 40 orang Pim 4) dan Diklat angkatan VII  peserta 80 orang.  Mengenai sarana prasanara yang tidak memadai, Meba mengakui. Usia gedung Diklat NTT hampir 12 tahun. Meskipun ada dana pemeliharaan rutin, tapi hal itu belum mengatasi kerusakan. "Atas kekurangan dan ketidaknyaman para peserta Pim, saya minta maaf. Itu kekurangan kami, tolong dimaklumi. Kami benahi secepatnya," kata Meba.


Kita beri apresiasi untuk peserta Diklat Pim 4 yang berani mengungkap ketidaknyaman  ini. Apresiasi yang sama juga kita berikan untuk Klemens Meba yang dengan ksatria mengakui kekurangan sekaligus memohon maaf kepada peserta. Tentu saja tidak berakhir di sini. Pembenahan menyeluruh mesti segera dilakukan agar  Badan Diklat Provinsi NTT sungguh menjadi tempat yang nyaman untuk mendidik para calon pemimpin unit atau SKPD di lingkungan pemerintah daerah.

Menurut catatan kita, Badan Diklat Provinsi NTT itu pernah menjadi tempat yang menyenangkan hingga dipercaya menyelenggarakan Diklat Pim level regional. Para peserta berasal dari sejumlah provinsi di Indonesia. Indah nian kalau 'prestasi' masa lalu itu terulang bahkan lebih cemerlang lagi di hari-hari mendatang. **

Sumber: Pos Kupang 12 September 2015 hal 4
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes