Kini Tidak Sekadar Centang Lagi

Pungli Pengurusan SIM di NTT

KUPANG, PK -Pemeriksaan kesehatan bagi pemohon Surat Izin Mengemudi (SIM) di Kota Kupang sudah diberlakukan lagi. Sebelumnya, surat keterangan dokter hanya diberi tanda centang tanpa adanya pemeriksaan dari dokter atau perawat.

Pantauan Pos Kupang, Selasa (20/10/2015) pukul 08.30 - 11.30 Wita,  terlihat antrean di depan tempat praktek dr. Fany Angelia Djubida. Para pemohon berdiri menunggu giliran untuk dipanggil menuju ruangan praktik dokter  yang berukuran sekitar 2 x 3 meter persegi. 

Ketika tiba giliran, para pemohon masuk ke ruang praktek dr. Fany Angelia Djubida. Pemohon menjalani beberapa tes kesehatan seperti tekanan darah, berat badan dan kesehatan mata yang dilakukan seorang perawat pria berbaju putih. Kira-kira proses tes kesehatan itu menghabiskan waktu kurang lebih 10 menit setiap orang.

Seusai diperiksa dan mendapatkan surat keterangan dokter, setiap pemohon dikenakan biaya Rp 20 ribu. Surat keterangan berwarna merah muda itu selanjutnya diantar pemohon ke loket pendaftaran pembuatan SIM.

Elisa Dyah Kurniasih (36), warga RT 006, RW 002, Kelurahan Airnona, Kecamatan Kota Raja Kupang, Selasa (20/10/2015) mengatakan, dirinya membutuhkan surat keterangan dokter untuk mengurus SIM C. "Tadi ada ukur tinggi dan berat badan serta baca. Bayar Rp 20.000," katanya.

Pemohon lainnya bernama Obet (55), warga Lasiana, Kecamata Kelapa Lima, Kota Kupang mengaku dirinya bermasalah dengan mata dan tekanan darahnya yang tinggi. Akibatnya, surat kesehatan dokter untuk mengurus SIM tidak bisa diperolehnya. "Saya mau perpanjang SIM, tapi tadi tekanan darah tinggi dan masalah dengan  mata jadi tidak bisa," tandasnya.

Antrean juga terlihat di ruang tunggu Satlantas Polres Kupang Kota. Sejumlah pemohon tampak duduk sambil mengisi formulir dan lainnya sedang menunggu namanya dipanggil petugas. Di loket informasi, seorang petugas lalulintas  memberi penjelasan yang diikuti dengan menunjuk loket pemeriksaan kesehatan di seberang jalan Nangka, Kota Kupang atau sekitar 30 meter dari tempat pengurusan SIM.

Di dalam ruangan berukuran kurang lebih 8 x 4 meter, sejumlah pemohon SIM baru maupun yang hendak memperpanjang SIM terus duduk mengantre. Beberapa di antaranya yang telah mendaftar dan membayar di loket BRI,  mengayunkan langkah menuju ruang ujian teori di bagian belakang aula tersebut.

Ujicoba SIM Online

Saat ini, Satuan Penyelenggaraan Administrasi SIM (Satpas) Polres Kupang Kota menjadi satu dari 45 kota di Indonesia yang menyelenggarakan ujicoba penerapan SIM online.  Menurut Kasalantas Polres Kupang Kota, AKP Multazam Lisendera, Selasa (6/10/2015), Satpas Polres Kupang Kota sudah ujicoba sejak 7 September 2015. 

Sistem SIM online itu, tambah Multazam,  terintegrasi dengan data Kemendagri. Artinya semua data warga yang memiliki SIM bisa diakses pada 45 kota itu sehingga memudahkan apabila hendak memperpanjang SIM di mana saja. Untuk menunjang pengoperasian sistem SIM online,  Polri bekerjasama dengan pihak ketiga seperti bagian IT, Telkom dan  BRI.

"Melalui sistem itu maka warga yang mendapatkan SIM adalah orang yang benar-benar kredibel karena telah lulus pada semua tahapan itu," kata Multazam.
Mengenai ketersediaan blangko SIM, Multazam mengatakan, rata-rata per hari ada sekitar 60 blangko SIM yang dikeluarkan untuk masyarakat sehingga dalam 1 bulan atau 25 hari kerja, dibutuhkan 1.500 blangko SIM. Blangko SIM itu dikirim langsung dari Korlantas Mabes Polri ke setiap Polda dan diteruskan ke Satpas masing-masing.

"Jika ada blangko yang dicetak salah itu harus dibuatkan berita acara sehingga tidak ada oknum yang bisa 'mengambil' blangko untuk membuat SIM di luar mekanisme yang berlaku," kata Multazam.

Mengenai ujian praktik, Multazam mengatakan, jika praktik pertama dinyatakan tidak lulus maka pemohon diberi kesempatan ujian kedua yakni tujuh hari kemudian, berikutnya 14 hari kemudian dan kesempatan terakhir pada hari ke-30. Jika ujian praktik berhasil maka peserta dinyatakan lulus dan berhak mendapatkan SIM. Jika tiga kali kesempatan ujian praktik tidak lulus juga maka biaya SIM yang dibayarkan ke BRI bisa diambil kembali," kata Multazam.

Terkait ujian dalam pengurusan SIM, Tenaga ahli pendaping SIM Online, Mustafit, Selasa (6/10/2015) menjelaskan, setiap pemohon SIM  akan mengerjakan 30 dari 300 soal ujian yang tersedia di komputer. Setiap pemohon mendapat soal yang berbeda karena secara otomatis soal-soal itu diacak komputer. Satu soal dikerjakan selama 30 detik sehingga waktu yang dibutuhkan 15 menit untuk 30 soal ujian.

Untuk kepentingan program SIM online, tambahnya, telah disediakan 20 unit komputer di ruang ujian tertulis di Satpas Polresta Kupang Kota. Setiap komputer dirancang secara manual dan touchcscreen sehingga masyarakat bisa menggunakan mouse atau langsung menyentuh layar.

Berty Marcus petugas loket BRI Satpas Polresta Kupang Kota, menjelaskan pembayaran SIM online bisa dilakukan di loket resmi BRI yang ada di Satpas Polresta Kupang Kota atau ATM BRI di Rumah Sakit Bhayangkara Kupang sekitar 25 meter dari Satpas. Di tempat yang sama, M  Ali Husein, Engginering Obside Telkom Area NTT menegaskan, Telkom menggunakan traffic link untuk mempermudah pengoperasian sistem SIM online," kata Husein. (vel/jet)

Sumber: Pos Kupang 21 Oktober 2015 hal 1

Kepala Ombudsman NTT Dapat Hadiah Bra

ilustrasi
PADA bulan Agustus 2015 sebuah paket dihantar petugas Posindo Kupang ke Kantor Ombudsman Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada pembungkus bingkisan itu  terpampang tulisan  Kepada Pimpinan OMBUDSMAN d/a Jalan Veteran Nomor 4, dekat Hotel Pelangi, Kelurahan Pasir Panjang Kupang yang diikuti tulisan Pengirim Agustinus Polo Dadi.

Setelah menerima paket itu, Kepala Perwakilan Ombudsman NTT  Darius Beda Daton, SH  langsung  membuka guna mengetahui isinya. Darius tersentak karena paket yang dia terima adalah pakaian dalam wanita berupa celana dalam (CD) berwarna merah dan bra berwarna ungu dan hitam.

Tidak hanya itu, secarik kertas dengan tulisan tangan juga disertakan dalam bingkisan. "INI HADIAH UNTUK BAPAK DAN ANGGOTA-ANGGOTANYA KARENA TIDAK MAMPU MENUNTASKAN KASUS UNTUK URUSAN SIM BAIK SIM C MAUPUN SIM B1 YANG SAAT INI DITANGANI OLEH POLWAN LILI YANG HARGANYA MENCAPAI RP 270.000 DAN 550.000.

NB. Silahkan Bapak ke kantor Lantas untuk menyaksikan kepengurusannya dan mendapatkan informasi yag lebih jelas.
Sekian dan terima kasih.
Dari orang yang sangat kecewa dengan kinerja OMBUDSMAN karna lamban bertindak.

Ditemui Pos Kupang, Senin (5/10/2015), Darius Beda Daton mengaku sedih sekaligus senang mendapat kiriman itu. "Saat saya menerima dan membuka paket itu sekitar dua bulan lalu, sepanjang hari itu saya sangat sedih. Namun saya juga senang dan memberikan apresiasi kepada pengirimnya. Saya sedih karena saya belum bisa menghapus praktik pungli SIM oleh oknum polisi di tempat pembuatan SIM Polres Kupang Kota itu," kata Darius.

Darius memahami jika warga masyarakat kecewa mengigat tindaklanjut  dari Ombudsman atas pengaduan mereka belum membuahkan hasil. "Setiap pengaduan masyarakat selalu kami tindaklanjuti dengan cepat. Namun tentunya kami tidak bisa menyelesaikannya sendiri karena harus melibatkan intitusi bersangkutan apakah mau atau tidak menindaklanjuti pengaduan itu," kata Darius.

Darius mengatakan, seharusya, pakaian dalam itu juga dikirimkan kepada Irwasda Polda NTT sebagai pengawas internal institusi Polri itu agar keluhan masyarakat ditanggapi lewat aksi konkrit.


Selain sedih, Darius Bed Daton  merasa senang mendapat paket unik itu. "Saya senang karena dengan paket itu juga berarti masyarakat masih memberikan perhatian kepada Ombudsman. Kinerja kami diperhatikan oleh masyarakat," katanya. (vel)

Polda NTT: Tidak Ada Pungli SIM Rp 6 M

KEPOLISIAN Daerah (Polda) NTT membantah adanya dugaan praktik pungli dalam pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM)  di wilayah hukum  Polda NTT sebesar Rp 6 miliar per  tahun. Polda NTT menilai pemberitaan soal pungli itu tidak benar.

Bantahan Polda tertuang dalam surat perihal hak jawab dari Kepala Kepolisian Daerah NTT yang ditandatangani Kabid Humas Polda NTT, AKBP Jules Abraham Abast, S.IK kepada Pos Kupang, Senin (19/10/2015).

Dalam surat nomor B/208/X/2015/Bidhumas tertanggal 19 Oktober 2015 itu, Jules mengucapkan terima kasih atas kerjasama Pos Kupang dalam rangka penyampaian informasi khususnya tentang keberadaan dan kinerja Polda NTT kepada publik.

"Dengan tidak mengurangi apresiasi kami terhadap jajaran Harian Pos Kupang, kami perlu mengklarifikasi berita Pos Kupang tanggal 19 Oktober 2019 halaman 1 dengan judul Pungli SIM Mencapai Rp 6 M karena secara substansial berita dimaksud tidak benar," tulis Jules.

 "Pengurusan SIM dengan biaya Rp 250.000 yang dialami oleh pasangan suami istri Itha dan Jimy tidak benar karena tidak ada bukti yang otentik. Sedangkan Bapak Darius Beda Daton, SH dan Bapak Marthen Salu belum memberikan uangnya. Mereka hanya kecewa terhadap petugas SIM yang tidak memberikan pelayanan sesuai harapan mereka berdua," tulis Jules.

Ditambahkan Jules, terhadap biaya pengurusan SIM secara manual di 15 Polres jajaran Polda NTT yaitu Polres Kupang, Polres TTU, Polres TTS, Polres Belu, Polres Sumba Timur, Polres Sumba Barat, Polres Lembata, Polres Flotim, Polres Sikka, Polres Ende, Polres Ngada, Polres Manggarai, Polres Manggarai Barat, Polres Alor dan Polres Roe Ndao tidak dapat dikategorikan sebagai pungli yang besarnya Rp 150 000 per SIM.

"Karena pungli sebesar Rp 150.000 per SIM belum terbukti secara otentik, hal itu baru sebatas pengandaian (asumsi) atau perkiraan wartawan Harian Pos Kupang," kata Jules. Menurutnya, pengambilan sampel sebanyak 1314 pemohon SIM setiap hari di masing-masing Polres oleh wartawan Pos Kupang lalu dirata-ratakan sebesar 50 persen tidak dapat diterima, perlu dibuktikan terhadap setiap orang yang mengurus atau memperpanjang SIM-nya.

"Sehingga pungli menurut wartawan Harian Pos Kupang sebesar Rp 4.725.000.000 (15 Polres) ditambah Rp 1.350.000.000 (Polres Kupang Kota) ditambah dengan Rp 6.075.000.000 adalah tidak benar," tulis Jules.

Karena itu, tulis Jules, pemuatan berita tersebut tidak menjalankan prinsip cover both side sehingga informasi yang diangkat  Harian Pos Kupang pada hari Senin 19 Oktober 2015 halaman 1 kolam I sampai 7 adalah tidak benar atau tidak akurat dan tidak proporsional, yang berakibat pembaca atau publik mendapat informasi yang salah. (vel)


"Karena pungli Rp 150.000 per SIM belum terbukti secara otentik, hal itu baru sebatas pengandaian (asumsi) atau perkiraan wartawan Pos Kupang."
Jules Abraham Abast
Kabid Humas Polda NTT

Propam Periksa Pelayanan SIM

KUPANG, PK -Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah (Polda)  NTT, Komisaris Besar (Kombes) Polisi Dr. Eriadi langsung meminta Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda NTT mengecek dugaan praktik pungutan liar (pungli) pelayanan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Satlantas Polres Kupang Kota.

Permintaan Eriadi itu  terkait pemberitaan Pos Kupang  edisi Senin (19/10/2015) dengan judul Pungli SIM Mencapai Rp 6 M. Menurut Eriadi yang ditemui di ruang kerjanya, kemarin, apabila ditemukan adanya penyimpangan maka pihaknya akan menindak  oknum petugas yang melanggar aturan.

Terkait berita Pos Kupang, Eriadi menyatakan simpulan nilai dugaan pungli dalam pengurusan SIM di NTT hingga total mencapai Rp 6 miliar per tahun itu berdasarkan asumsi saja. Faktanya, pengurusan SIM banyak yang sesuai aturan.

"Kalau temuan pungli itu dirata-rata kemudian dikalikan dengan jumlah produksi SIM ya tidak benar. Harus dipisahkan mana yang sesuai aturan dan mana yang pungutan liar. Tidak bisa dikumulasikan dan dirata-ratakan seperti itu," ujar Eriadi.
Menurut Eriadi, harus dipisahkan pengurusan SIM yang pembayaran sesuai aturan dan sebaliknya, baru disimpulkan total pungutan liarnya. "Dengan demikian tidak ada nilai sebesar Rp 6 miliar itu," kata Eriadi.

Eriadi mengatakan laporan para kasat lantas menyatakan banyak pemohon SIM yang melakukan pembayaran sesuai aturan. Sementara dugaan pungutan liar yang dilakukan oknum itu berdasarkan laporan masyarakat.  "Kapolda dan saya tegaskan untuk menindak pungutan yang tidak sesuai aturan. Kalau ada oknum yang bermain seperti itu kami sudah lakukan tindakan," tandasnya.

Kendati demikian Eriadi memberikan apresiasi  kepada Pos Kupang yang telah memberitakan dugaan praktik pungli itu. "Ini momentum  positif bagi kami. Kegiatan yang kami programkan adalah percepatan pelayanan  masyarakat dan memberikan kepercayaan kepada publik dengan sistem online bisa terlaksana," katanya.

Secara terpisah, Kepala Satuan Lalulintas Polres Kupang Kota, AKP Multazam Lisendera mengatakan apa yang menjadi temuan Pos Kupang di lapangan dalam pelayanan SIM akan menjadi instrospeksi diri dan jajarannya. Multazam mengatakan hal itu saat ditemui  di ruang kerjanya, Senin (19/10/2015) siang.

Ia mengatakan, pengurusan SIM di Satlantas Polres Kupang Kota, Senin (19/10/2015) berjalan seperti biasanya. Jumlah pemohon SIM 51 orang. Dari 51 pemohon ada yang gagal ujian teori juga gagal ujian praktek. Namun beberapa di antaranya lulus hingga mendapatkan SIM sesuai permohonan masing-masing.

Multazam mempersilahkan wartawan mewawancarai pemohon SIM apakah prosesnya sudah sesuai prosedur atau sebaliknya. Dengan demikian akan mengetahui secara pasti apakah proses pelayanan pengurusan SIM sudah sesuai aturan atau sebaliknya.

Pantauan Pos Kupang di Satpas Polres Kupang Kota, siang kemarin, ada tiga pemohon  menunggu panggilan mengikuti ujian teori dan praktik. Tiga pemohon lainnya sedang membaca pertanyaan di layar komputer. Tiga anggota Polantas berjaga-jaga di halaman kantor itu melayani ujian praktik.  Mercy, warga Sikumana yang ditemui di sela-sela ujian mengaku sudah tiga kali mengikuti ujian teori dan praktik namun masih gagal. Kendati demikian dirinya tidak akan berhenti untuk berupaya mendapatkan SIM dengan berlatih agar lulus ujian praktik dan teori.

Seperti diwartakan (Pos Kupang 19/10/2015),  pungli oleh oknum polisi diduga masih terjadi  dalam pengurusan SIM di NTT  baik ketika  masih manual maupun secara online. Berdasarkan penelusuran Pos Kupang, total nilai pungli di NTT bisa menembus angka sekitar Rp 6 miliar per tahun.

Adanya pungli dalam pengurusan SIM  diakui Kepala Satuan Lalulintas Polres Kupang Kota AKP Multazam Lisendera dan Kepala Ombudsman Wilayah NTT Darius Beda Daton. Keduanya mengakui itu sesuai pengaduan dari masyarakat. Darius bahkan mengalami sendiri saat hendak memperpanjang SIM.

Penelusuran Pos Kupang selama sepekan sejak Kamis (1/10/2015) hingga Rabu (7/10/2015) di tempat pengurusan SIM Polres Kupang Kota di Jalan Nangka Kota Kupang mendapatkan indikasi tersebut.  Polanya beragan di antaranya, pemohon tidak perlu mengurus formulir di BRI tetapi diurus oknum petugas atau mampir ke loket BRI selanjutnya diurus oknum polisi, tidak mengikuti ujian tertulis dan praktek, tanpa melampirkan surat keterangan dokter.

"Bayar di BRI Rp 100.000, kalau yang Rp 150 ribu itu langsung kasih ke petugas di loket. Saya tidak mau ribet, pokoknya diminta seperti itu ya dikasih saja biar cepat beres,"  ujar seorang pria di lokasi itu Senin (5/10/2015) sekitar pukul 11.00 Wita.  
Hal yang sama dialami seorang ibu hari yang sama. Ibu berbaju warna kuning itu mendaftar lalu menuju loket pemeriksaan kesehatan. Setelah  mengantongi  formulir merah muda, wanita itu memasukkan dokumen ke petugas di loket pelayanan. Sekitar  30 menit kemudian, namanya dipanggil petugas  masuk ke satu ruangan dan beberapa saat kemudian dia keluar dengan memegang  SIM yang sudah dicetak.

"Di dalam loket itu bayar Rp 150 ribu, selain bayar Rp 100 ribu di BRI. Daripada ikut tes ini dan itu lebih baik bayar saja. Tadi waktu daftar sudah dikasih tahu petugas, kalau cepat bayar saja," katanya menjawab  Pos Kupang. Ditemui  Selasa (6/10/2015), AKP Multazam Lisendera, menjelaskan  rata-rata per hari ada sekitar 60 blangko SIM yang dikeluarkan untuk masyarakat sehingga dalam satu bulan atau 25 hari kerja, dibutuhkan 1.500 blangko SIM. (aly/vel)       

Sumber: Pos Kupang 20 Oktober 2015 hal 1
           

Nafsiah Beruntung Jadi Istri Pertama Ben Mboi

Nafsiah Mboi (tribunnews)
Ben Mboi sangat gemar membaca. Nafsiah Mboi mengaku pusing mengurus buku yang sangat banyak tersebut.

NAFSIAH MBOI membuka rahasia almarhum suaminya, Brigjen Purn  dr Aloysius Benedictus Mboi atau akrab disapa Ben Mboi. Secara bercanda, Nafsiah menyebut Ben Mboi memiliki tiga istri.

Ia beruntung menjadi istri pertama. Sedangkan istri kedua dan ketiga Ben adalah buku dan tenis.  Tiga istri itulah yang dikisahkan Nafsiah Mboi saat peluncuran buku karya almarhum yang berjudul  Ben Mboi -Percikan Pemikiran Menuju Kemandirian Bangsa.

Nafsiah yang kini berusia 75 tahun terlihat begitu bersemangat saat meluncurkan buku Ben Mboi. Meski harus dibantu  tongkat penyangga tubuh, mantan Menteri Kesehatan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu  mampu bertutur sekitar 1,5 jam dalam acara yang dihelat di Bentara Budaya Kompas Gramedia Jakarta (BBJ), Jumat (16/10/2015) lalu.

Di mata Nafisah, Ben Mboi adalah seorang yang tak pernah berhenti belajar, pemikir sekaligus guru.  Menurut Nafsiah, guru yang paling baik adalah pengalaman. Apalagi, sewaktu kuliah, sang suami jarang belajar di kelas.

Ia lebih memilih belajar langsung dari pengalaman bersentuhan dengan masyarakat.
"Kalau dia mau ujian, dia berdoa pada ayahnya, almarhum Pak Mathias Mboi. Dan ternyata dia selalu lulus," kisah Nafsiah disambut tawa pengunjung. 

Saat mendampingi sang suami sebagai Gubernur  Nusa Tenggara Timur (NTT)  1978 -1988, ia sangat merasakan betul sang suami menjadikan jabatan sebagai tantangan untuk mengabdi kepada masyarakat.  Oleh karena itu, Ben Mboi selalu belajar dan menyiapkan diri menjadi pemimpin yang hadir untuk rakyat NTT.

"Karena itu, setiap kali saya ke luar negeri,  selalu yang dipesan hanya buku dan buku," ujarnya  Menurutnya, sang suami sangat gemar membaca. Di mana pun tempat, ia pasti membaca buku.

Saking banyaknya koleksi buku, mencapai ribuan, Nafsiah mengaku kini pusing mengurusnya. "Saya sekarang yang pusing karena bukunya banyak sekali. Saya tidak tahu mau bikin apa. Ada ribuan buku dan cakupannya luas sekali. Kami sekarang mau bikin katalog dari semua buku itu, kemudian baru mau diapain, kami pikirkan nanti," lanjut Nafsiah yang lagi-lagi disambut tawa.

Nafsiah berseloroh beruntung menjadi istri pertama Ben Mboi. "Saya masih beruntung menjadi istri pertamanya. Karena dia selalu bilang, istri kedua adalah buku. Istri ketiga adalah tenis. Sebagaimana diketahui, istri kedua dan ketiga itulah yang lebih disayangi daripada istri pertama," ujar Nafsiah disambut tawa.

Bahkan, sang suami selalu menantang pemikirannya sendiri. Ia sering mengetes ide-ide, pengalaman, dan penglihatan dengan apa yang dibaca dari buku.
Selain seorang yang suka belajar dan pemikir, Nafsiah  mengenang Ben Mboi juga seorang guru. Karena itu, Ben Mboi suka sekali berbagi apa yang dimiliki dan yang diketahui.

"Dia tidak pelit. Dan paling happy kalau banyak orang yang duduk di sekitarnya bisa berpidato. Saya lihat ada banyak wajah di ruangan ini yang sudah pernah dikuliahi berjam-jam oleh suami saya," ujarnya sambil tersenyum.

Baginya, Ben Mboi adalah seorang patriot bangsa. Di semua jabatan yang diembanya,  Ben Mboi selalu berpikir bagaimana hari depan yang lebih baik demi bangsa Indonesia.

Sebagai warisan yang ditinggalkan bagi bangsa Indonesia, Ben Mboi menuliskan sendiri pemikirannya yang kemudian dijadikan buku ini.

Sebelum menghadap Tuhan, Ben Mboi terus menanyakan agar bukunya segera diterbitkan. Nafsiah mengingat, pada Mei 2015 atau sebulan sebelum Ben Mboi wafat. Ketika itu, Ben Mboi sedang dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah.
Beberapa hari setelah dirawat dan kondisinya membaik, dokter melepas ventilator atau alat bantu napas. Begitu dilepas, Ben Mboi yang bisa bersuara lepas, langsung menanyakan kapan bukunya segera diterbitkan.

Sayang, sampai Ben Mboi meninggal dunia pada 23 Juni 2015, bukunya belum terbit.  Buku ini baru diterbitkan pada 16 Oktober 2015 untuk memeringati 100 hari meninggalnya Ben Mboi.

Menangis Lihat NTT Gersang

Tangis Brigjen (Purn) dr Aloysius Benedictus Mboi alias Ben Mboi pecah saat melihat pabrik pupuk di tanah kelahirannya terpaksa ditutup. Begitu pula ketika menyaksikan embung-embung yang dibangunnya menjadi kering.

Ben Mboi juga meneteskan air mata ketika mengunjungi desa-desa yang dulu menghijau karena penuh tanaman, namun kemudian habis tak bersisa akibat kekeringan. "Saya melihat sendiri Pak Ben Mboi menangis,"  ujar FX Bambang Ismawan, sahabat Ben Mboi  saat berkualiah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), dalam acara peluncuran buku karya Ben Mboi di Jakarta, Jumat (16/10/2015) lalu.

Bambang mengungkapkan, ketika itu Ben Mboi sudah purna tugas dari jabatan sebagai Gubernur Provinsi  Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurut Bambang, persitiwa yang diceritakan itu terjadi lima tahun lalu (2010).

Saat menjadi Gubernur NTT  (1978-1988) , Ben Mboi menggalakkan gerakan masyarakat yang dikenal sebagai Operasi Nusa Hijau (ONH). Kala itu bisa dikatakan di seluruh NTT  pepohonan dan  tanaman tumbuh subur. Upaya Ben Mboi itu merupakan bentuk kecintaan kepada NTT.

Bambang juga melihat sosok Ben Mboi punya keberanian luar biasa. Diungkapkannya,  saat Soeharto menjadi Panglima Operasi Mandala, ia  menantang sejumlah personel Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD)  termasuk Ben Mboi. Ketika itu Ben Mboi menjadi anggota pasukan yang terlibat "Operasi Naga" yang akan diterjunkan di Merauke, Papua.

"Sebelumnya, orang yang diterjunkan ke Merauke semuanya meninggal. Angkatan kalian ini 60 persen meninggal dan hanya 40 persen kembali. Saya beri satu menit kepada kalian, mau terus atau mundur?" ujar Soeharto seperti ditirukan Bambang Ismawan.

Ternyata Ben Mboi tidak mundur. "Saya tidak bisa membayangkan bagaimana menatap istri saya  kalau tidak berani terjun," ujar Ben Mboi saat itu. Ternyata Ben Mboi selamat meski diterjunkan ke rimba Papua.

Selama sepuluh tahun memimpin NTT, Ben Mboi telah melaksanakan beberapa program pembangunan NTT, di antaranya  Dana Kesehatan Rakyat (DKR), Operasi Nusa Makmur (ONM), Operasi Nusa Hijau (ONH), Panca Warsa Benah Desa, dan lain-lain. "Saat dia jadi gubernur, ada istilah antara panggilan tugas dan cinta. Mben Mboi memilih panggilan tugas. Dia meninggalkan keluarga dan  anak-anaknya yang sekolah di Jakarta dan memilih hidup bersama rakyat NTT," ujar Johny G Plate, Wakil Ketua Fraksi Nasdem DPR, asal NTT.

Mantan Menteri  Negara Otonomi Daerah, M Ryaas Rasyid, menyebut Ben Mboi merupakan seorang punya karakter kepemimpinan yang sangat kuat dan percaya diri.  "Kelaparan dan kemiskinan, disadari Ben Mboi sebayai tantangan untuk disingkirkan dari masyarakat NTT," katanya.

Diakuinya, Ben Mboi menyimpan sejumlah kekecewaan. Sejumlah impiannya tidak terealisir, di antaranya industrilisasi. Ia inginkan Semen Kupang membawa bendera industrilisasi di NTT. "Sayang sekali impian beliau untuk industrilisasi tidak dilanjutkan para penerusnya. Itu sangat disesalkan beliau. Mengapa ide-ide yang sudah baik dan jalan tidak dilanjutkan," demikian Ryaas Rasyid.  (tribunnews/andri malau)


Sumber: Pos Kupang 19-20 Oktober 2015 halaman 1

   

Pungli SIM di NTT Mencapai Rp 6 Miliar

ilustrasi
KUPANG, PK - Praktik pungutan liar (pungli) oleh oknum polisi diduga masih terjadi  dalam pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Nusa Tenggara Timur (NTT) baik ketika  masih manual maupun secara online. Berdasarkan penelusuran Pos Kupang, total nilai pungli di NTT bisa menembus angka sekitar Rp 6 miliar per tahun.

Adanya pungli dalam pengurusan SIM  diakui Kepala Satuan Lalulintas Polres Kupang Kota AKP Multazam Lisendera dan Kepala Ombudsman Wilayah NTT Darius Beda Daton. Keduanya mengakui itu sesuai pengaduan dari masyarakat. Darius bahkan mengalami sendiri saat hendak memperpanjang SIM.

Penelusuran Pos Kupang selama sepekan sejak Kamis (1/10/2015) hingga Rabu (7/10/2015) di tempat pengurusan SIM Polres Kupang Kota di Jalan Nangka Kota Kupang mendapatkan indikasi tersebut.  Polanya beragam di antaranya, pemohon tidak perlu mengurus formulir di BRI tetapi diurus oknum petugas atau mampir ke loket BRI selanjutnya diurus oknum polisi, tidak mengikuti ujian tertulis dan praktek, tanpa melampirkan surat keterangan dokter.

"Bayar di BRI Rp 100.000, kalau yang Rp 150 ribu itu langsung kasih ke petugas di loket. Saya tidak mau ribet, pokoknya diminta seperti itu ya dikasih saja biar cepat beres,"  ujar seorang pria di lokasi itu Senin (5/10/2015) sekitar pukul 11.00 Wita.  
Hal yang sama dialami seorang ibu pada hari yang sama. Ibu berbaju warna kuning itu mendaftar lalu menuju loket pemeriksaan kesehatan. Setelah  mengantongi  formulir merah muda, wanita itu memasukkan dokumen ke petugas di loket pelayanan. Sekitar  30 menit kemudian, namanya dipanggil petugas  masuk ke satu ruangan dan beberapa saat kemudian dia keluar dengan memegang  SIM yang sudah dicetak.

"Di dalam loket itu bayar Rp 150 ribu, selain bayar Rp 100 ribu di BRI. Daripada ikut tes ini dan itu lebih baik bayar saja. Tadi waktu daftar sudah dikasih tahu petugas, kalau cepat bayar saja," katanya menjawab  Pos Kupang.

Pengalaman serupa  dialami pasangan suami istri  Itha dan Jimy, warga Kelurahan Kayu Putih, Kupang.  Betapa terkejutnya mereka berdua karena petugas meminta sebesar Rp 230 ribu setelah mereka membayar Rp  20.000 di loket kesehatan.
Ditemui  Selasa (6/10/2015), Kasalantas Polres Kupang Kota, AKP Multazam Lisendera, menjelaskan  rata-rata per hari ada sekitar 60 blangko SIM yang dikeluarkan untuk masyarakat sehingga dalam satu bulan atau 25 hari kerja, dibutuhkan 1.500 blangko SIM.

Seandainya 50 persen dari 60 pemohon SIM yang dikeluarkan Polres Kupang Kota dipungli maka ada 30 pemohon setiap hari. Berdasarkan beberapa pengakuan dari pemohon mereka menyetor Rp 150.000 di luar setoran wajib ke BRI Rp100.000 dan Rp 20.000 untuk biaya surat keterangan dokter, maka dalam sehari jumlah pungutan liar mencapai Rp 4.500.000 atau dalam 25 hari kerja sebesar Rp 112.500.000 atau Rp 1.350.000.000/tahun

Sementara untuk pengurusan SIM manual di  15 Polres  berdasarkan data bulan Mei, Juni dan Juli 2015 yang diterima Pos Kupang dari Dirlantas Polda NTT menyebutkan total selama tiga bulan itu sebanyak 14.885 pemohon.15 Polres itu adalah  Polres Kupang, TTS, TTU, Belu, Sumba Timur, Sumba Barat, Lembata, Flotim, Sikka, Ende,  Ngada, Manggarai, Manggarai Barat, Alor, Rote Ndao.

Jika dirata-ratakan maka ada 13 - 14 pemohon SIM setiap hari di masing-masing 15 Polres. Apabila 50 persen dari pemohon SIM tersebut dipungli sebesar Rp150.000 maka dalam setahun jumlah uang yang diraup Rp  4.725.000.000. Dengan demikian dugaan pungli dalam setahun untuk Polres Kupang Kota dan 15 Polres lainnya adalah  Rp 1.350.000.000 (kota) + Rp. 4. 725.000.000 (15 Polres)  = Rp 6.075.000.000

                    Korban Pungli
Kepala Perwakilan Ombudsman NTT, Darius Beda Daton, SH  juga menjadi korban pungli saat memperpanjang SIM C, Rabu (26/8/2015) pada di mobil SIM  keliling yang parkir di perempatan  Budaran PU Kupang.

Saat itu Darius dilayani petugas yang berpakaian sipil dan seragam Polri yang meminta fotokopi KTP Darius.  Polisi itu mengatakan biaya perpanjangan SIM C  Rp 150.000. Darius komplain. Mendengar itu, petugas meminta Darius masuk ke dalam mobil SIM dan akan dilayani sesuai aturan. Namun ditolaknya karena sudah terkena pungli.  "Saya berulangkali diminta Dirlantas untuk mengurus SIM namun saya sudah tidak mau urus lagi. Biar saya tidak punya SIM, silahkan tilang saya. Daripada SIM yang saya peroleh itu karena prosedur yang tidak sesuai aturan," kata Darius.

Korban lainnya Marthen Salu, Asisten Kordinator Penghubungan Komisi Yudisial RI Wilayah NTT. Pada Kamis (26/4/2015), Marthen mengurus perpanjangan SIM. Dia mengikuti prosedur sesuai aturan. "Saya ikut prosedur dari awal, ujian praktek, naik motor simulator itu. Saya ikut semua tahapan simulasinya sampai selesai, tapi sebelum sampai di garis finis, saya menurunkan kaki. Saya dinyatakan tidak lulus. Lalu petugas minta saya ikut ujian praktik kembali 7 hari mendatang," kata Marthen.

Pada hari ketujuh dari tanggal 26 April, Marthen datang lagi untuk ujian praktik. Saat itu dia melihat ada beberapa orang tidak ke ruang ujian praktik tapi langsung ke ruang foto dan saat keluar sudah membawa SIM baru. "Saya protes kepada petugas. Kok saya harus ikut ujian praktek selama dua kali, sementara yang lainnya tidak," kata Marthen lalu menelepon Kepala Ombudsman Perwakilan NTT, Darius Beda Daton untuk melaporkan hal itu. 

Mendengar pembicaraan itu, seorang Polwan bertanya asal  Marthen. "Setelah saya jelaskan, Polwan itu mengatakan, kenapa bapak tidak bilang dari tadi supaya  kami bisa percepat penerbitan SIM," kata Marthen mengutip si Polwan. Marthen kecewa karena  itu mengindikasikan  pelayanan cepat hanya  dirasakan pejabat atau orang yang dikenal polisi.  (vel/jet/aly)


Centang Saja Rp 30 Juta

SENG bangunan itu berwarna coklat. Bangunan berukuran 8 x 6 meter persegi itu memiliki satu jendela di kanan yang ditutupi lembaran kaca nako. Sedangkan dua  lembaran  pintu sudah tidak utuh lagi. Setengah bagian tripleksnya sudah rusak dan pintunya diganjal menggunakan batu bata agar tidak tertutup.

Di sisi kanan pintu terdapat dua buah plat papan bertuliskan praktek dokter umum Fany Angelia Djubida yang membuka praktek dari pukul 08.00 hingga pukul 13.00 setiap hari kecuali hari minggu atau hari libur tutup.

Di bawah papan nama dokter itu terdapat sebuah papan bertuliskan tempat pengurusan surat keterangan dokter SIM.

Pada  Selasa (6/10/2015) Pos Kupang mendatangi tempat itu. Seorang pria perpakaian putih bercelana hitam duduk di kursi berwarna hijau sedang berhadapan dengan seorang pria berjaket biru. Di atas meja terdapat alat pemeriksa tensi darah, stempel, buku register dan lembaran kertas warna merah muda. Di ruang itu juga terdapat alat pengukur tinggi badan dan timbangan berat badan. Di dinding ruangan itu ditempel dua gambar berupa gambar jantung dan alat pencernaan manusia.

Di tempat inilah para pemohon SIM mendapatkan surat keterangan dokter sebagai satu dari sekian persyaratan. Beberapa pemohon yang datang tidak menjalani pemeriksaan kesehatan seperti tensi, tes buta warna, timbang berat badan dan ukur tinggi badan.  Pemohon hanya membutuhkan waktu tiga menit untuk mendapatkan selembar kertas warna merah muda bertuliskan surat keterangan kesehatan. Pemohon hanya cukup memberikan fotokopi KTP dan menjawab pertanyaan tinggi badan, berat badan lalu membayar uang administrasi sebesar Rp 20.000.

Petugas yang memberikan surat keterangan dokter itu menolak ketika dikonfirmasi Pos Kupang terkait standar pemeriksaan hingga pungutan Rp 20.000. Ia meminta menanyakan perihal itu kepada dokter Fany yang membuka praktik pemeriksaan di tempat itu. Ia pun menolak memberikan nama lengkap dengan dalih tidak memiliki kewenangan menyampaikan informasi kepada wartawan.

Dokter Fanny yang dihubungi Pos Kupang via telpon selulernya, Selasa (6/10/2015) keberatan dikonfirmasi terkait persoalan penarikan jasa pemeriksaan kesehatan dan standar operasional pemeriksaan untuk pemohon SIM. Di ujung telpon, dr. Fanny mengaku saat itu masih mengikuti prajabatan di Bali. Ia meminta Pos Kupang mengkonfirmasi persoalan tersebut langsung kepada Kabid Dokkes Polda NTT, AKBP Moh Haris selaku atasannya.

Kabid Dokkes Polda NTT, AKBP Moh Haris yang ditemui di ruang kerjanya, Rabu (7/10/2015), mengatakan, pemeriksaan terhadap pemohon SIM tidak harus dilakukan dokter, terkecuali si pasien berada di rumah sakit maka pemeriksaan harus dilakukan dokter.

Haris mengatakan penunjukan dokter itu dari Biddokes lantaran menggunakan fasilitas RSB Bhayangkara. Sejatinya Biddokes Polda NTT hendak membangun klinik kecil untuk periksa kesehatan pemohon SIM tetapi terkendala anggaran.
Ia mengatakan prosedur pemeriksaan harus dilakukan dari pemeriksaan tinggi badan, berat badan, tensi darah dan test bebas buta warna. Semua prosedur itu harus dilakukan tanpa terkecuali.

Ditanya tidak ada fasilitas test buta warna pada pemohon SIM di ruang pemeriksaan kesehatan, Haris mengatakan, semestinya fasilitas itu ada. Bila tidak ada ia akan menegur dokter atau perawat yang bertugas. Pasalnya test bebas buta warna sangat penting untuk pemohon SIM. Pemohon SIM yang buta warna tidak mungkin diberikan SIM lantaran tidak bisa membedakan warna.

Menyoal penarikan jasa pemeriksaan sebesar Rp 20.000, Haris menjelaskan, dana itu sebagai dana operasional bagi dokternya. Ia menyatakan ada aturan yang mengatur penarikan  uang jasa pemeriksaan kesehatan tersebut.

Bila mengacu pada data yang disampaikan Kasatlantas Polres Kupang Kota rata-rata  setiap hari menerbitkan 60 SIM, maka jumlah surat keterangan kesehatan yang diterbitkan juga 60 lembar. Dengan demikian dari surat keterangan dokter saja sudah dikutip dari para pemohon  Rp 30.000.000/bulan.

Haris menjelaskan sebenarnya pemohon bisa meminta surat keterangan kesehatan ke puskesmas atau dokter praktik lain. "Tadi kami datang bawa surat keterangan dokter dari Puskesmas Air Nona, tapi ditolak. Katanya harus urus di sini, tapi waktu ke sana tidak diperiksa. Petugas hanya centang formulir yang sudah ada terus kita bayar Rp 20.000," demikian seorang pemohon SIM di lokasi tersebut. (aly/jet/vel)

APA KATA MEREKA

Dian Lenggu
PUNGLI saat mengurus SIM sudah biasa. Tawaran bayar lebih untuk mempercepat SIM terbit itu bisa dari masyarakat atau dari oknum petugas. Jadi ada simbiosis mutualisme sehingga susah diberantas.

Helmid
SAYA sudah dua kali mengurus SIM. Saya lihat memang ada indikasi sengaja tarik ulur yang membuat pemohon jenuh. Akhirnya pemohon mau memberi uang  lebih biar SIM cepat terbit.  (vel)

NEWS ANALYSIS
Darius Beda Daton, SH, Kepala Ombudsman NTT

Takut Dipersulit

PUNGUTAN liar atau pungli  sering terjadi di tempat pembuatan Surat Izin mengemudi (SIM) Polresta Kupang. Kami sebagai lembaga yang mengawasi pelayanan publik, selama setahun terakhir ini sudah banyak menerima laporan dari masyarakat yang menjadi korban baik secara tertulis, SMS dan telepon.

Ada sekitar 40-an laporan secara lisan dan hanya sedikit yang dilaporkan secara tertulis. Bahkan saya sendiri nyaris kena pungli oleh oknum di kendaraan SIM keliling saat hendak mengurus perpanjangan SIM C. Umumnya masyarakat enggan melaporkan pungli secara tertulis ke Ombudsman NTT karena mereka takut dipersulit di kemudian hari. Dan terhadap pengaduan masyarakat itu, saya langsung menindaklanjutinya berkoordinasi dengan pihak terkait.

Saya berulangkali kordinasi dengan Kasatlantas Polresta Kupang, Dirlantas Polda NTT, Irwasda hingga Kapolda NTT. Bahkan Ombudsman sudah mengirimkan surat sebanyak tiga kali kepada Kapolda NTT untuk menyikapi aksi pungli di tempat pembuatan SIM.

Saya kritisi dan menduga praktik pungli itu sebenarnya terjadi secara sistemik. Saya sangsi jika perbuatan oknum polisi di lapangan itu tanpa diketahui atasannya.
Namun, para petinggi Polri menegaskan secara institusi Polri, mereka tidak pernah memerintahkan petugas di loket SIM melakukan pungutan lebih dari ketentuan tarif SIM yang diatur dalam PP Nomor 50 tahun 2010 tentang Pendapatan Negara bukan Pajak (PNBP). Itu yang selalu dikatakan para petinggi Polri di NTT.

Pertanyaannya, jika tidak pernah memerintah, kenapa terus saja terjadi pungli oleh oknum anggota di loket pembuatan SIM? Padahal jika Kapolda langsung turun tangan, memerintahkan stop pungli, maka saya yakin, praktik pungli itu tidak akan terjadi lagi. Tapi kalau masih terjadi, berarti ada apa?

Pungli yang terjadi itu beragam modus dan nilainya berbeda untuk setiap orang. Misalnya, untuk perpanjangan SIM C, sesuai aturan perundangan bayar hanya Rp 75.000 namun kenyataan dipungut hingga Rp 150.000 atau lebih. Begitu pula saat mengurus  baru SIM C dari yang seharusnya hanya Rp 100.000 bisa dipungut hingga R 200.000 atau Rp 280.000 hingga lebih. Belum lagi  SIM untuk roda empat.

Belum lagi pemeriksaan dokter yang tidak ditangani langsung dokter yang namanya tertulis pada surat keterangan dokter itu. Namun, pemeriksaan bukan dilakukan dokter. Dalam surat terahir saya kepada Kapolda NTT, saya sudah menegaskan agar masalah pungli SIM i segera dihentikan. Jika tidak, Ombudsman akan membawa persoalan ini dalam rakor di Mabes Polri bulan Desember 2015.

Pungli yang dilakukan oknum Polisi itu menjadi pembelajaran buruk bagi penegakan hukum di masyarakat. Bisa saja masyarakat tidak lagi patuh terhadap hukum karena melihat langsung buruknya perilaku aparat penegak hukum.

Saya berharap masyarakat berpartisipasi untuk bersama-sama memerangi pungli. Ombudsman punya nomor telepon pengaduan 085239018829, 081337190903, 085239092872 dan 08123788320. Jika mengalami pungli di tempat pembuatan SIM atau di tempat pelayanan umum lainnya, silahkan adukan dengan cara sms atau telepon ke nomor tersebut. Kami akan merahasiakan nama jika ada yang tidak mau menyebutkan namanya. (vel)

Tips Agar Tidak Dipungli

1. Bawa Persyaratan lengkap
2. Ikuti prosedur yang ada
3. Tolak ketika dimintai biaya tambahan
4. Jika ada oknum yang pungli, laporkan ke Kasatlantas Polres Kupang Kota
4. Atau sms atau telepon Ombudsman NTT
    08123788320, 085239018829, 081337190903, 085239092872 .

Sumber Pos Kupang 19 Oktober 2015 (edisi khusus Reborn)

Kenaikan Status Bandara Komodo

Bandara Komodo (ist)
KABAR gembira datang dari Kabupaten Manggarai Barat di ujung barat Pulau Flores, Provinsi  Nusa Tenggara Timur (NTT). Kepala Kantor  Bandar Udara (Bandara) Komodo, Fuadani mengatakan status bandara tersebut dinaikkan menjadi Bandara Internasional. Untuk itu Bandara Komodo Labuan Bajo bakal dilengkapi semua fasilitas yang dibutuhkan  termasuk untuk melayani  penebangan pada malam hari.

Kepada Pos Kupang, Kamis (22/10/2015), Fuadani menjelaskan, rapat persiapan untuk status baru bandara itu akan berlangsung di Kantor Bandara Otoritas Wilayah IV Denpasar tanggal 27 Oktober 2015 ini.

"Dengan kenaikan status itu maka peralatan pendukung akan segera dilengkapi, termasuk instansi terkait akan berkantor di terminal Bandara  seperti Bea Cukai, Imigrasi dan Kesehatan. Demikian juga dengan lampu-lampu landasan. Itu merupakan aturan standar bagi bandara internasional," kata Fuadani. Menurut dia,  semua pembenahan itu akan dilaksanakan secara bertahap.

Kementerian Perhubungan RI tentu tidak begitu saja  menaikkan status suatu bandara. Jika Bandara Komodo naik status berarti kapasitasnya memang harus ditingkatkan demi memenuhi kebutuhan. Sebagai kota wisata di ujung barat Flores dengan jualan utama Taman Nasional Komodo yang tiada duanya di dunia,  dapat dimengerti bila frekwensi penerbangan dari dan ke Labuan Bajo makin tinggi.

Kita memberi apresiasi  yang tinggi untuk manajemen Bandara Komodo  yang segera membenahi sarana dan prasarana di sana. Selama ini penerbangan ke Bandara Komodo memang hanya berlangsung pada siang hari. Dengan demikian jadwal untuk maskapai pun terbatas.

Bila sudah bisa melayani penerbangan malam hari seperti Bandara Ngurah Rai Denpasar dan Bandara Lombok, Nusa Tenggara Barat,   maka frekwensi penerbangan dari dan ke Labuan Bajo otomatis meningkat. Dan, itu merupakan kabar gembira bagi  geliat ekonomi masyarakat Kabupaten Manggarai Barat serta Flores pada umumnya. Wisawatan dari berbagai belahan dunia juga akan lebih leluasa datang dan pergi ke Labuan Bajo.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana pemerintah dan masyarakat Manggarai Barat menyambut kenaikan status bandara tersebut? Jangan-jangan sekadar menjadi penonton yang pasif karena menganggapnya sebagai hal biasa. Pemerintah dan masyarakat setempat hendaknya memanfaatkan dengan baik peluang emas tersebut.

Kota Labuan Bajo perlu dipercantik menjadi kota hunian yang nyaman bagi siapa saja. Dengan kata lain jadikanlah dia sebagai kota yang manusiawi. Masih kuat kesan Labuan Bajo tidak lebih dari sebuah kampung besar  berlabel kota. Tidak dianjurkan  mesti merias diri menjadi Bali atau Lombok. Labuan Bajo tetap mempertahankan ciri khasnya. Yang utama adalah tunjukkan diri sebagai kota wisata yang dikelola secara baik dan bermanfaat bagi masyarakat.*

Sumber: Pos Kupang 26 Oktober 2015 hal 4

Selamatkan Gunung Ebulobo

Gunung Ebulobo (ist)
EBULOBO adalah satu di antara gunung berapi aktif di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dengan ketinggian 2.124 meter di atas permukaan laut (6.968 kaki), Ebulobo merupakan jenis gunung stratovolcano. Bagian atas kuva lava gunung yang menjulang di Flores tengah itu  berbentuk datar. Menurut data wikipedia, sejarah letusan yang tercatat sejak tahun 1830, antara lain berupa lelehan lava di lereng utara serta letusan-letusan eksplosif pada puncak kawahnya.

Sejak tanggal 30 September 2015 kebakaran hebat melanda gunung di  Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo tersebut.  Kawasan hutan yang sudah ludes dilalap si jago merah mencapai enam hektar lebih bahkan terus meluas  sampai memasuki wilayah Majamere, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo.

Sampai kemarin upaya pemadaman yang dilakukan aparat  pemerintah bersama masyarakat setempat belum membuahkan hasil positif.  Langkah melokalisir titik api ternyata tidak efektif. Api masih terus saja berkobar menghanguskan hutan di gunung yang masuk dalam Kawasan Konservasi Keo Kelituka tersebut.

Langkah terbaru yang ditempuh Pemerintah Kabupaten Nagekeo melalui Dinas Kehutanan Nagekeo adalah mengerahkan 1.000 orang ke lokasi kebakaran untuk memadamkan api yang masih menyala.

Tambahan tenaga manusia itu  berasal dari SMA St. Klemens Boawae sebanyak 400 orang, personel TNI Kodim 1625 Ngada 28 orang, anggota Satuan Polisi Pamong Praja Nagekeo 20 orang, Tim Tagana 17 orang,  pelajar SMPN 4 Boawae, SDK Mulakoli, masyarakat dari Desa Mulakoli, Kelimado dan Desa Majamere, Kecamatan Mauponggo. 

Kita memberi apresiasi  terhadap langkah pemerintah setempat bersama masyarakat bergotong-royong memadamkan api di Gunung Ebulobo. Upaya pemadaman mesti terus dilakukan hingga api benar-benar padam atau tidak lagi menghanguskan vegetasi Ebulobo.

Selamatkan Gunung Ebulobo! Seruan ini kita gaungkan mengingat gunung itu merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat sekitarnya. Dampak kebakaran hutan di Ebulobo akan sangat serius bagi kehidupan sebagian besar warga Kecamatan Boawae dan Mauponggo hari ini dan ke depan. Ebulobo tidak sepenuhnya gersang. Sisi selatan gunung itu, misalnya, merupakan daerah tangkapan air yang menghidupi masyarakat selama berabab-abad. Jika semuanya ludes dimakan api maka  malapetaka segera tiba.


Kita dorong pemerintah dan masyarakat Kabupaten Nagekeo mengerahkan segala kemampuan untuk memadamkan api. Bila sumber daya lokal tak sanggup lagi, minta bantuan pemerintah dan masyarakat kabupaten lain di Flores. Bahkan bila perlu melibatkan pemerintah provinsi dan pusat. Kita hendaknya tidak menganggap remeh musibah kebakaran di Ebulobo sekarang. Lebih baik segera dicegah daripada kita menanggung risiko lebih buruk di masa mendatang. Kabut asap di Sumatera dan Kalimantan yang kini menjadi bencana permanen tahunan karena kita tidak serius menanganinya. Masalah itu jangan terulang di Flobamora. Semoga. *

Sumber: Pos Kupang 10 Oktober 2015 hal 4

Dai, Tradisi Berburu Orang Nagekeo

ilustrasi
"SALA...sala...sala... Tombaknya menikam rusuk kanan seekor babi hutan. Babi hutan itu sempat bangun dan ingin berlari lagi, lalu terguling beberapa kali, dan akhirnya mati.

Itulah teriakan Sipri Koba, ketika ia berhasil menombak seekor babi hutan saat berburu bersama warga sekampungnya, beberapa waktu lalu. Teriakan Sipri Koba disambut teriakan histeris kelompok perempuan, "Sa'i...sa'i...sa'i (dapat, dapat, dapat). Teriakan yang sama dilakukan kelompok perempuan lainnya yang sudah menunggu di pinggir kebun atau hutan.

Teriakan kegembiraan kaum perempuan ini bisa didengar sampai di kampung atau di bawah bukit. Dan, teriakan ini juga menjadi pertanda bahwa perburuan kali ini berhasil.  Inilah kebiasaan orang Kampung Adat Bhela, ketika tikaman tombaknya mengenai sasaran.

Teriakan sala  artinya salah, merupakan kebalikan dari kenyataan sesungguhnya bahwa ternyata yang ditombak tepat pada sasaran atau kena.  Kebiasaan orang Bhela, setiap orang yang berburu sudah tahu posisi, siapa penombak pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Di posisi mana mereka harus menunggu atau berdiri.
Biasanya dengan kuda dan tombak, mereka sudah menunggu pada jalur-jalur jalan (nete), di mana babi hutan atau rusa melewati nete tersebut. Tidak ada teriakan atau dialog, tapi mereka sudah dalam posisi mengintai dan diam untuk siap menombak babi hutan atau rusa. Para pemburu segera tahu kalau babi hutan atau rusa melewati jalan atau nete, dari gonggongan anjing berburu yang mereka lepas ke hutan.


Sebelum berburu ada ritual yang harus dilakukan  oleh kepala kampung. Dia akan memberi pengumuman kepada warga kampung untuk siap-siap pergi. "Eiiiiii... oga yeta oga lau. Eye poa woka toni, yua mai to'o  tenge (memanggil orang-orang di kampung untuk pergi berburu)."  Demikian Falentinus Nuga, tua adat Sa'o Beba di Kampung Adat Bhela berteriak pada malam hari memberitahukan kepada warga untuk siap berburu babi hutan dan rusa di hutan atau padang.

Saat melakukan ritual itu, kaki kanannya bertumpu pada watu meye (batu besar) dan kaki kirinya menginjak watu nabe (batu persegi yang rata) sang tua adat mewartakan (enga dai) kepada segenap warga suku Bhela tanda dimulainya masa berburu atau dai.

Menurut kalender adat suku Bhela, enga dai dilakukan pada puncak musim panas, saat bulan masih terpendam atau belum muncul (wula so'o).  Sehari setelah enga dai dilakukan sang tetua adat, kira-kira pukul 18.00 Wita masing-masing bhisu atau rumah adat (semuanya ada enam bhisu) menyiapkan satu anakan pisang untuk ditanam pada lokasi yang telah disepakati dan menyiapkan enam ekor ayam sesuai jumlah rumah adat untuk dibuat ritual permohonan kepada Dewa Yeta -Ga'e Yale (Tuhan) dan leluhur.

Uniknya, ayam tidak disembelih tetapi lehernya diselipkan pada belahan aur yang ditancap. Setelah ayam dibakar, salah satu tetua adat yang berpengalaman akan melihat hati ayam (tanga ate manu) untuk memprediksikan hasil buruan. Dengan melihat hati ayam dapat diketahui apakah perburuan tahun ini berjalan sukes atau malah tidak dapat buruan sama sekali.


Keyakinan orang Bhela, ada korelasi antara hasil buruan dan hasil panen. Kalau hasil buruan banyak, maka panenan juga melimpah, sebaliknya kalau hasilnya kurang atau atau tidak dapat sama sekali maka berdampak pada berkurangnya hasil panen atau yang paling ekstrim adalah gagal panen.

Pada saat ini juga dibahas strategi berburu, termasuk titik-titik penyergapan, di wilayah mana anjing-anjing pemburu mulai dilepaskan. Senjata utama yang biasa dipakai untuk berburu adalah tombak (tuba) dan tombak berkait (bhou). Dai pada suku Bhela berlangsung selama empat hari dai berlangsung ada sejumlah pantangan yang harus diikuti seperti dilarang menyalakan api, dilarang ke kebun dan menggali hasil kebun, dan warga suku dilarang membawa kayu api ke dalam rumah. Pelanggaran terhadap pantangan ini adalah poke sega atau mengambil dan menikam secara paksa ternak piaraan milik warga suku yang melanggar.


Sistem pembagian hasil buruan pada masyarakat Bhela sudah diatur turun-temurun.
Penikam pertama biasanya berhak mendapat kepala. Sedangkan penikam berikutnya mendapat bagian ekor. Daging sisanya dimasak dan dibagi  merata seluruh anggota suku yang hadir. Selain itu, anjing pemburu juga mendapatkan bagian (lama lako).

Rafael Susu, salah satu tokoh adat Suku Bhela mengatakan, dai pada orang Bhela menjadi penanda pembukaan kalender adat dan dimulainya pembersihan lahan. Selain mengusir hama dari kebun-kebun petani, dai juga menjadi sarana pemersatu dan pengikat tali persaudaraan dan kekeluargaan dalam suku dan antar suku.

Suku Bhela hanya salah satu dari suku-suku di Nagekeo yang melaksanakan dai atau perburuan adat. Suku-suku lain yang melakukan tradisi ini antara lain Doa, Lea, Geyu, Ute, Toto, Tedamude, Aja, Redu, Lape, Dhawe, Labo, Olaia, dan lain-lain.

Di Nagekeo, berburu tidak sekadar hobi, tetapi telah menjadi tradisi melalui serangkaian ritual yang diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Tradisi berburu di Nagekeo juga berkaitan erat dengan ketahanan pangan masyarakat setempat. Namanya saja yang berbeda. Ada yang menyebut  berburu dengan dai seperti di Bhela, Lea, Ute, Toto, Geyu dan Ndora. Ada juga yang menyebut To'a Lako untuk masyarakat Boawae, Tedamude dan desa-desa di Kecamatan Aesesa Selatan. 

Salah satu tokoh adat, Pius Mare, ditemui di Mbay  pekan lalu, menuturkan, dai atau berburu bertujuan mengusir hama babi hutan, rusa dan monyet yang diyakini akan merusak tanaman pangan masyarakat setempat. "Tujuan utamanya mengantisipasi rawan pangan karena gagal panen akibat diserang babi hutan atau rusa" kata Pius.

Sejak zaman dahulu, rusa, babi hutan dan monyet menjadi hama perusak tanaman pertanian milik warga petani setempat. Karena itu, sebelum tanam, hama-hama itu harus disingkirkan. Dengan demikian, ketika musim hujan lahan milik petani sudah bersih dari hama-hama tersebut.

Sebagaimana terjadi pada komunitas adat Bhela, orang Ndora juga mengenal dai dengan keseluruhan tahapan-tahapan yang harus dilalui. Dai diawali dengan enga dai (undangan berburu) yang disampaikan dengan teriakan oleh fungsionaris adat setempat dari atas bukit tiga hari sebelum kegiatan berburu.

Isinya memberitahu masyarakat Ndora di dataran atau kampung (zili peda) musim berburu sudah tiba. Dalam enga dai itu juga disampaikan kalau esok hari (eza poa) pati kote bhego mao (semua masyarakat yang akan berburu lengkap dengan peralatan berburu seperti tombak, kuda dan anjing berkumpul di padang).

Waktu berkumpul malam hari. Pada malam itu, sambil menunggu pagi, masyarakat  bersama-sama memasak nasi bambu (kose). Nasi bambu yang dimasak bukan untuk disantap malam itu. Nasi itu baru boleh disantap pada pagi hari sekitar pukul 04.00 Wita atau pukul 05.00 Wita. Pada malam kose, masyarakat hanya boleh makan umbi-umbian yang dibakar.

Pisang termasuk salah satu jenis pangan yang dilarang konsumsi selama musim berburu. Kalau ada yang melanggar, akibatnya celaka selama berburu. Yang bersangkutan bisa jatuh dari kuda, digigit babi hutan atau terkena tombak.  Hari kedua disebut masa pemantapan persiapan baik berupa pengaturan strategi berburu dan pengaturan kelengkapan. Hari ketiga baru masuk dengan kegiatan berburu.

Menurut Pius Mare, waktu berburu sesungguh hanya empat hari, dua hari di padang (dai mala) dan dua hari di gunung (dai keli).  Hari kelima disebut  wono lako atau hari terakhir berburu. Seluruh kepala hewan hasil buruan dikumpulkan lalu digelar upacara sule ulu (upacara kemenangan dengan mempersembahkan kepala hewan buruan).Hari keenam disebut ie (masa tenang). Pada hari itu, seluruh orang Ndora tidak boleh melakukan aktivitas seperti masuk kebun dan lain-lain.

Frans Kogha, salah seorang masyarakat adat Ndora mengatakan, selama dai ada pantangan atau larangan yang tidak boleh dilanggar, seperti  tidak boleh menyalakan api dan tidak boleh terima tamu. Orang yang hendak bertamu hanya bisa diterima sore hari, setelah para pemburu pulang dari hutan. Menerima tamu pada waktu berburu diyakini bisa mengusir rezeki,  tidak akan mendapatkan  hewan buruannya.

Pembagian hasil buruan ternyata dilakukan dengan cara yang tidak biasa. Setiap orang yang ingin mendapat bagian dari hasil buruan  harus berebutan (papa ngebu). Mendapatkan daging buruan dengan cara berebutan ternyata lebih bergengsi karena cara mendapatkannya yang tidak mudah.  "Ketika berebutan hasil buruan itu, dinilai ada unjuk kekuatan dan kelincahan. Siapa yang berhasil dapat daging, berarti dia pemenangnya," kata Pius.

Kalau ada anjing yang mengusir (weti lako), pemilik anjing dapat satu lengan. Tukang pikul juga dapat bagian tiga tulang iga. Sedangkan masyarakat seisi kampung tetap mendapat bagian daging hasil berburu.  Selama berburu, masyarakat yang terlibat berburu dilarang membawa kayu api dari dalam hutan ke kampung. Begitu juga perempuan yang sedang datang bulan, dilarang ikut berburu. Satu lagi pantangan yang benar-benar tidak boleh dilanggar jika ingin  selamat selama berburu. Tidak boleh berhubungan intim suami istri.

Menurut Pius, tidak ada perbedaan antara berburu di masa lalu dan saat ini. Perbedaannya hanya pada jumlah kuda yang digunakan untuk berburu. Kalau dahulu semua orang yang ikut berburu menggunakan kuda, dalam dasawarsa terakhir, jumlah kuda berkurang dan sebagian besar orang yang berburu berjalan kaki.  (adiana ahmad/matilde dhiu)


Andreas Corsini Ndona, S.Fil
(Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Nagekeo)

Belum Dilirik

BUDAYA berburu di Nagekeo belum dilirik Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sebagai obyek pariwisata. Ketidakpastian jadwal berburu dari setiap kampung menyulitkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisat Nagekeo untuk menjual tradisi ini kepada para wisatawan. 
Padahal berburu syarat makna. Selain karena alasan budaya,  berburu juga bisa menjadi sarana olahraga dan refreshing tanpa harus mendapatkan hewan buruan. Apalagi, budaya berburu ternyata tidak membatasi orang dari luar untuk mengambil bagian dalam ritual tersebut. Asalkan mematuhi aturan adat yang ada.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Nagekeo,  Andreas C Ndona,  yang ditemui di kantornya, Senin (28/9/2015), mengatakan, pihaknya kesulitan  untuk menjadikan budaya berburu sebagai salah satu obyek wisata karena jadwal berburu tidak pasti. Sama seperti tinju tradisional atau etu.

"Sama sekali belum disentuh karena para fungsionaris adat dari setiap kampung  jarang melibatkan kami. Dari cerita yang kami dengar, memang menarik dan bisa dijual kepada wisatawan. Tetapi jadwal yang tidak pasti menjadi kesulitan sendiri," kata Andreas.

Menurut dia, budaya berburu ada kaitan erat dengan ketahanan pangan di daerah-daerah yang memiliki budaya tersebut, seperti di Bhela, Ndora, Boawae, Lambo dan Tedamude.
Kalau budaya itu tidak digelar, demikian Andreas, masyarakat setempat meyakini akan terjadi bencana rawan pangan. Saat ini, lanjutnya, pihaknya masih mendata potensi budaya yang bisa dijadikan obyek pariwisata, termasuk ritual-ritual budaya seperti berburu.

Dari sisi tujuan, kata Andreas, berburu memang diyakini mendatangkan manfaat bagi kehidupan masyarakat setempat dengan tata aturan yang telah digariskan. Namun bagaimana dengan membakar hutan untuk alasan berburu?

Pius Mare, salah satu tokoh adat Ndora mengatakan, dalam budaya berburu tidak pernah
menyuruh orang membakar hutan.  Hal yang sama dikuatkan Willem Mite, dari Komunitas Adat Bhela. Pada tradisi dai orang Bhela, tidak kenal membakar hutan atau padang. Alasannya lebih banyak merugikan. (dea)


BUDAYA BERBURU DI NEGEKEO

*  Undangan disampaikan tiga hari sebelum berburu
*  Senjata yang dipakai
   -. Tombak (tuba)
   -  Tombak berkait (bhou) bentuknya seperti mata kail.
*  Berburu pakai kuda dan jalan kaki
*  Pantangan sebelum berburu
    - Jangan menyalakan api
    - Dilarang ke kebun dan menggali hasil kebun
    - Dilarang bawa kayu api ke dalam rumah
    - Tidak boleh berhubungan intim suami istri.
     - Tidak boleh makan pisang


News Analysis Dr. Watu Yohanes Vianey, M.Hum
(Kepala Divisi Penelitian LPPM Unwira)

Strukturasi Praktik Berburu

TRADISI berburu dalam budaya lokal pada sub-sub etnik Nage -Keo -Ngada biasanya ditempatkan dalam siklus kalender berbasis budaya pertanian lokal. Jika  dikonversikan pada penanggalan Masehi, biasanya terjadi antara pertengahan Agustus  dan pertengahan September (Molnar, 2000).  Tradisi ini terkait erat dengan ritual dalam agama lokal ('annual ritual hunt'), yang intensinya terkait dengan usaha komunitas manusia untuk berburu 'keadilan kosmis' (cosmic justice) dalam rangka meraih derajat damai sejahtera dan sukacita bersama dengan seluruh isi makhluk  'jagad raya'.

Dalam versi mitos di wilayah sub etnik  perbatasan Nage -Keo dan Ngada, yaitu di wilayah Hoga Sara, Hoga Taka, Hoga Are, dan Hoga Rowa (Molnar: 270-272), dikisahkan alasan mengapa tradisi berburu itu wajib dilakukan. Komunitas sub etnik ini legal dan "beriman" jika berburu babi hutan dalam rangka merayakan ritual berburu tersebut, yang di wilayah ini disebut Noe Lako. Istilah Noe Lako ini juga menjadi istilah dari kalender tradisionalnya yang berbasis peredaran bulan. Hal mana ritus itu dibuka pada malam hari saat "Wula Repa Telu" pada pertengahan September sampai pertengahan Oktober.

Korban tubuh dan darah dari Ine Wio yang dimangsa kawanan babi hutan pada masa lalu, dan korban dari tubuh tanaman masyarakat lokal yang dirusak oleh babi hutan dari masa ke masa,  harus  dibayar lunas dengan tubuh dan darah dari kawanan babi hutan yang terbantai pada  bulan tersebut.

Makna filosofisnya adalah para saudara dari Ine Wio, yaitu Reku dan Rede, serta keturunannya hingga zaman sekarang, yaitu kaum pria, dipanggil untuk berburu kaum "babi hutan" perusak para "Ine Wio" (kaum wanita)  dan  kaum "babi hutan" perusak "tanaman pangan" (perusak lingkungan hidup). Dengan demikian akan tercipta dan dan terkonservasi keadilan sosial dan keadilan kosmis yang membawa damai sejahtera dan  kegembiraan hidup.

Persoalannya adalah apakah praktik ritual berburu babi hutan pada masa sekarang masih relevan? Bukankah populasi babi hutan yang berkeliaran merusak kebun-kebun para petani sudah menuju kepunahan? Bagaimana mengeliminir bahaya kebakaran alam dan kerusakan alam lainnya waktu kegiatan berburu itu berlangsung? Bukankah warga lokal  yang merayakan ritual berburu sudah menganut agama-agama universal? Dapatkah ritual berburu itu direkonstruksi atau distrukturasi sebagai salah satu bentuk olahraga dan pertunjukkan pariwisata budaya dan pariwisata alam?  

Strukturasi itu dimaknai sebagai penataan relasi-relasi sosial lintas ruang dan waktu berdasarkan dualitas struktur. Dualitas struktur (duality of structre) dalam pandangan Giddens (1995, Watu,2015) menegaskan tentang struktur sosial dalam dunia kehidupan suatu masyarakat sebagai media dan hasil perilaku dari para pendukungnya, yang diorganisasikannya secara dinamis, baik dalam tindakan yang mempertahankan dan menumbuhkan kembangkan struktur yang ada secara produktif dan reproduktif, maupun yang sebaliknya.

Dalam kaca mata strukturasi itu, saya kira masyarakat pendukung budaya berburu dan Pemda Nagekeo dan Ngada sebagai pelayan masyarakat, dapat mereformasi ritual itu menjadi kegiatan olahraga dan pariwisata, tanpa mengabaikan dimensi inkulturasi dan kateketis dari ritualnya dengan kalender liturgi Gerejani dan isi pewartaan Kitab Suci serta doa-doa gerejanya.

Sebagai kegiatan olahraga, masyarakat lokal harus menyiapkan arena berburu. Melalui arena itu dapat diaktualkan semua potensi pariwisata budaya dan pariwisata alamnya. Selanjutnya dari sisi inkuturasi dan kateketisnya menurut saya dapat dilakukan. Bukankah bulan September itu Bulan Kitab Suci dan Bulan Oktober itu Bulan Rosario dalam kalender liturgi Gereja? Maka hemat saya, nilai-nilai dari tradisi berburu itu dapat berjumpa dengan nilai Kitab Suci dan Nilai Rosario.

Salah satu contoh katekesenya adalah sebagai berikut. Umat beriman yang terkasih, jika kita mau menjadi para pemburu hebat di bulan Kitab Suci dan Bulan Rosario ini, marilah kita memantaskan diri sebagai pemburu sejati, yaitu memburu dengan kuasa Allah di atas segala allah (Yes 40), yaitu Allah Tritunggal Maha Kudus. Tujuannya adalah untuk memperoleh  kebenaran dan keadilan, damai sejahtera dan sukacita (Rom 14:17), seperti tujuan akhir ritual dan pertunjukkan dari adat istiadat kita di bulan ini.

Srateginya adalah dengan mulai belajar membunuh berbagai karakter "membabi buta" dalam diri sendiri. Modhe pu'u zale one ate -meku pu'u zale one weki.  Selanjutnya dalam dan melalui  semangat itu, mari di bulan Dai/Noe Lako/Paru Witu ini, kita lestarikan keutamaan keadilan sosial antar pria dan wanita. Modhe ne'e ine weta -meku ne'e ema nara.  Selanjutnya terhilir tuntas dalam  keutamaan keindahan  keadilan kosmis antara manusia dan  alam lingkungan. Modhe ne'e masa nama ngaza dia ota ola -meku ne'e masa nama nemi dia tuka tana. (*/nia)

Sumber: Pos Kupang 4 Oktober 2015 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes