“KAU punya orang itu bodoh sekali, ngero! Mereka jual pisang lalu beli molen. Kenapa tidak bikin molen untuk makan sendiri atau jualan macam saya, kan keuntungannya berlipat ganda.” Itu kata-kata seorang kawan asal Jawa Tengah. Sebagai putra Jawa yang sudah belasan tahun menetap di Kota Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), gaya bicaranya Ende banget. Langsung tembak ke sasaran. Tidak berputar-putar lagi.
Beta tersentak. Sungguh merasa kena tembak yang bikin kuping memerah. Setiap hari kawanku itu jual gorengan tahu, pisang goreng, pisang molen dan lainnya di pinggir jalan dekat pertokoan yang ramai dipadati pengunjung.
“Saya jual mulai jam empat sore sampai delapan malam. Kadang sebelum jam delapan malam, sudah habis. Kau bayangkan, kerja tidak sampai empat jam tapi hasilnya pasti. Bisnis makanan itu untungnya seratus persen.” Melihat beta tidak segera merespons kata-katanya, dia melanjutkan penjelasan. “Ndoe, kalau kau tidak percaya, coba kau tanya di orang-orang yang kerja macam saya ini ka,” katanya sambil terbahak.
Tentu saja beta percaya dengan kata-katanya. Toh dia hidup dari usaha itu dan sangat menikmati pekerjaannya. Di Kota Ende, penjual gorengan macam dia ada di banyak tempat. Dan, umumnya raut wajah mereka merupakan ata mai (baca: pendatang) dari luar pulau. Kondisi serupa agaknya sama persis di daerah lain Nusa Tenggara Timur. Belum banyak anak kampung Flobamora yang serius menekuni pekerjaan sebagai penjual gorengan, tahu, tempe, kripik pisang, singkong dan lainnya. Kalau penjual pisang atau ubikayu gelondongan, banyak.... sekali dan pasti orang kita. He-he-he...
Bagi masyarakat Pulau Flores, Adonara, Solor dan Lembata, pisang telah menjadi komoditi primadona dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir selain hasil perkebunan dan pertanian lainnya semisal kopi, vanili, kemiri, jambu mete, kakao, kelapa dan sebagainya. Sekarang ini kalau tuan dan puan masuk ke wilayah itu akan mudah berpapasan dengan dump truk yang mengangkut ribuan ton pisang. Pisang dari Pulau Flores dan sekitarnya biasanya keluar lewat dua pintu utama, yakni Pelabuhan L Say, Maumere di Kabupaten Sikka dan Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.
Tujuan akhir perjalanan pisang Flores adalah Bali dan Surabaya, Jawa Timur. Apakah di sana namanya dikenal dengan pisang Flores? Oh jangan salah, kawan. Pisang asal Flores, tetapi kesohor sebagai pisang Bali. Sedih betul nasib pisang Flores... belum menjadi brand dagang. Maklumlah. Kehebatan petani Flores baru sebatas menjual pisang gelondongan. Apalagi masuk ke Pulau Dewata Bali yang namanya lebih populer ketimbang Indonesia.
Meskipun pisang menjadi komoditi yang menghasilkan duit, namum pola tanamnya masih bersifat tradisional. Tanaman tersebut ditanam secara sporadis di kebun milik petani. Belum ada usaha pisang secara besar-besaran di lokasi tertentu. Maka wajar jika sebanyak-banyaknya pisang dari Flores dan sekitarnya, belum bisa masuk pasaran ekspor. Produksi pisang Flores masih terbatas untuk kebutuhan lokal dan regional.
Tahun 2007 yang lalu di Ende pernah digalakkan tanaman pisang beranga yang terkenal enak itu.
Pemerintah setempat lewat Dinas Pertanian membudidayakan pisang beranga Kelimutu pada kawasan percontohan di dua desa seluas 10 ha yaitu Desa Wolokota, Kecamatan Ndona dan Desa Ndito, Kecamatan Detusoko. Peroncontohan itu diperluas lagi di 29 desa pesisir yang tersebar di sembilan kecamatan di Kabupaten Ende. Kesembilan kecamatan untuk perluasan lahan budi daya dimaksud adalah Ndona, Ndori, Lio Timur, Kotabaru, Wewaria, Maurole, Maukaro, Nangapanda, dan Kecamatan Ende. Sudah menjadi pengetahuan banyak orang kalau pisang Beranga Kelimutu asal Ende merupakan varietas unggulan nasional. Pisang jenis ini sangat diminati masyarakat setempat, karena buahnya memiliki keunggulan spesifik antara lain rasa manis yang khas tidak asam, dan aromanya wangi ketika dimakan. Pokoknya ingat Ende, ingat pisang beranga!
Bagaimana kelanjutan dan hasil dari program pengembangan pisang beranga itu sekarang, belum diumumkan lagi pemerintah Kabupaten Ende. Mudah-mudahan hasilnya memuaskan. Jangan sampai bahkan pemerintah sudah lupa dengan program yang sangat bagus tersebut. Mestinya setelah lima tahun, pisang beranga Kelimutu asal Ende sudah masuk pasar ekspor. Begitu idealnya.
Omong-omong soal pisang, orang Flores pasti bangga bukan main mendengar pujian dari Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Mari Eka Pangestu. “Saya beli pisangnya. Pisangnya enak dan manis,” begitu kata Ibu Menteri saat berdialog dengan penjual pisang di Pasar Wairloka, Maumere, Kabupaten Sikka hari Sabtu, 2 Juli 2011. Di hadapan para pedagang dan Bupati Sikka, Drs.Sosimus Mitang, Menteri Pedagangan mencicipi sebuah pisang masak. Para penjual pisang kagum menikmati spontantitas Ibu Mari. Pejabat tinggi negara makan pisang di tengah pasar merupakan momen yang manis dan langka bagi mereka.
Maklumlah. Jarang nian orang kita kalau sudah jadi pejabat mau masuk ke pasar-pasar. Takut baju dan celana mereka kotor berlepotan lumpur atau sepatu yang disemir licin bisa lecet lusuh. Mereka baru mau masuk ke pasar-pasar lagi dan sontak ramah dengan orang-orang kecil pada detik-detik menjelang pemilu demi mempertahankan kursi kekuasaan. Pasar adalah tempat menebar pesona jika mereka ada maunya. Bukan cuma pejabat kelas teri di daerah. Bahkan calon presiden di negeri ini pun memanfaatkan pasar untuk tebar pesona dan mengail dukungan suara.
Pasar adalah tempat di mana orang berkumpul. Orang dari segala lapisan. Pasar adalah isi perut. Pasar merupakan sumber napas kehidupan meski banyak orang yang punya kewenangan kerap menomorduakan pasar. (dionbata@yahoo.com)
Yang tak terpublikasikan Pos Kupang. Senin, 4 Juli 2011. Akhir perjalanan BETA?