Kampung "Moke" Brai

BRAI. Begitulah namanya. Kampung dan namanya telah dikenal masyarakat Kabupaten Sikka. Kampung ini berada di daerah pinggiran Kota Maumere, Kabupaten Sikka. Kampung ini penuh keunikan, lain dari yang lain.

Bagi masyarakat Kabupaten Sikka, Brai terkenal dengan suguhan moke (arak) yang menjadi sumber penghasilan dan pekerjaan warga setempat.

Kampung Brai merupakan salah satu dusun kecil di Desa Watugong, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka. Wilayah ini telah dikenal sebagai salah satu daerah penghasil moke terbesar di Kabupaten Sikka. Para pembuat moke dari wilayah ini mampu melayani permintaan konsumen hingga ke luar Kabupaten Sikka, seperti Kabupaten Ende, Flores Timur dan Lembata.

Sebenarnya pembuat moke di Kabupaten Sikka menyebar merata hampir di setiap desa di Kabupaten Sikka. Tapi, bila menyebut nama Brai, ingatan orang langsung pada moke.

Moke sendiri memiliki nilai historis dan tradisional bagi masyarakat Kabupaten Sikka. Hampir setiap acara adat harus ada moke sebagai salah satu suguhan hidangan. Ada yang memberi julukan tak ada moke, maka tidak ada pesta. Banyak rumah di Kabupaten Sikka sengaja menyimpan moke, baik untuk konsumsi sendiri maupun untuk menyuguhi tamu yang biasanya tamu yang dihormati.


Begitu kuatnya moke ini membuat jenis minuman lokal ini sulit untuk diberantas, apalagi kini moke tidak sekadar minuman pada acara adat, tetapi sudah memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Meski demikian, tidak semua orang Kabupaten Sikka selalu mabuk dan membuat anarkis karena minuman keras ini. Hanya oknum-oknum tertentu saja yang sengaja ingin mencari perhatian dengan cara minum moke ini berlebihan.

Tidak sedikit putra-putri Kabupaten Sikka yang sukses menempuh pendidikan dan menjadi orang-orang sukses karena moke. Para orangtua rela bekerja keras membuat moke demi menyekolahkan anak-anak mereka.

Lalu bagaimanakah pendapat warga setempat di tengah upaya banyak kalangan memberantas miras dan menertibkan penjualan miras?

Kepala Dusun Brai, Alfonsus Abraham (54), yang ditemui Pos Kupang, Rabu (20/1/2010), mengatakan, penyulingan moke di Brai dilakukan secara turun-temurun. Penyulingan moke bagi warga Brai sudah mejadi urat nadi kehidupan dan merupakan sumber mata pencaharian utama.

"Hampir semua warga Kampung Brai menyuling moke dan dengan moke mereka menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi. Moke telah menjadi andalan warga Brai," kata Abraham.

Mengenai proses pembuatan moke, Abraham mengatakan, usaha penyulingan hingga penjualan moke di wilayah ini harus melalui proses yang matang. Untuk pembuatan moke, ada tiga tiga tahap penting. Penyulingan moke dimulai dari menggunakan periuk tanah. Ada juga yang menggunakan drum, hingga mesin penyulingan moke yang diperoleh warga dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag), Kabupaten Sikka beberapa tahun lalu.

Proses penyulingan moke pun membutuhkan bahan bakar yang tidak sedikit. Untuk itu, warga penyuling moke harus rela mengeluarkan biaya besar untuk membeli kayu api, yang saat ini mencapai harga Rp 300.000 - Rp 400.000 per-truk. Untuk setahun menyuling moke, diperlukan delapan sampai sepuluh truk kayu.

Jika dilihat secara sepintas, semua orang akan berpikir memilih menjadi penyuling sekaligus pedagang moke merupakan pekerjaan yang gampang dan instant. Akan tetapi kenyataannya membuktikan bahwa setiap pembuat moke haruslah memiliki jiwa kerja keras yang tinggi. Sebab untuk menghasilkan bahan dasar pembuatan moke, harus memanjat pohon lontar dua kali sehari, pagi dan sore.

Setiap penyuling moke di Kampung Brai memiliki 30 sampai 40 pohon lontar, bahkan ada yang memiliki 50 pohon. Dengan demikian, secara akumulatif, setiap hari seorang penyuling moke mempertaruhkan nyawanya di atas pohon lontar, karena harus lebih dari 60 kali naik-turun pohon lontar.

"Kalau sudah jadi moke, terlihat gampang, tetapi kerjanya cukup sulit. Karena harus dua kali sehari panjat setiap pohon. Jadi kalau pas musimnya, kami bisa sampai jam 22.00 Wita baru bisa istirahat. Kalau tidak diiris sore, tingkat produksinya akan menurun drastis," jelas Abraham.

Berkat kerja keras tersebut, warga Kampung Brai dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka setiap hari. Darius Martinus, Gensius Rikus, dan Kandidus Gregorius mengungkapkan, hanya dengan menjadi penyuling moke, mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka, mulai dari bahan makanan, peralatan rumah tangga, bahkan sampai pada biaya pembangunan rumah tinggal.

Ketiganya mengisahkan, untuk menghasilkan 30 liter moke berkualitas, dibutuhkan 200 liter moke putih (nira), yang hanya dapat diperoleh dalam waktu dua sampai lima hari, tergantung banyaknya pohon lontar yang dimiliki seorang penyuling moke. Namun itu hanya dapat dihasilkan pada musim puncak produksi, antara bulan Maret sampai Agustus. Sedangkan untuk bulan Oktober sampai Februari, produksi moke berkurang, karena bunga lontar, yang menjadi media penghasil moke putih belum tumbuh, dan juga kualitas moke berkurang akibat adanya kadar air yang terlalu tinggi, tercampur air hujan.

Sedangkan untuk pemasaran moke, para penyuling belum memiliki tujuan pasar yang jelas, sehingga setiap kali memperoduksi moke, para penyuling mengadu nasib ke tempat-tempat pemasaran minuman yang 'wajib' disuguhkan di setiap pesta ini .

"Sampai saat ini, kami belum punya daerah tujuan pasar. Kami langsung jual ke pasar-pasar, sehingga kami sangat menjaga kualitas mokenya. Kami tidak ingin setelah sampai di pasar, mokenya tidak laku karena kalah kualitas. Sedangkan harganya berkisar antara Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu per botol, tergantung musim dan kualitas moke," jelas ketiganya.

Menyangkut adanya upaya dan larangan pihak pemerintah bagi masyarakat penyuling moke, ketiganya mengaku, tidak berkeberatan meninggalkan pekerjaan tersebut. Namun harus diberikan solusi berupa lapangan kerja pengganti. Sebab lokasi pertanian yang mereka miliki tidak dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka, apalagi biaya pendidikan anak.

Mereka juga berharap, adanya campur tangan pemerintah dalam melegalkan produksi moke, dengan cara memberi label paten, sehingga kualitas dan kadar alkohol moke dapat diatur, ada batas kadar alkohol moke yang boleh diedarkan secara bebas di pasaran. (Jumal Hauteas)

Pos Kupang Sabtu, 30 Januari 2010 halaman 5

ATM


DALAM hitungan detik ratusan juta uang milik sembilan nasabah BCA di Bali raib. Uang itu ditarik manusia siluman dari sejumlah lokasi Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dalam waktu hampir sama. Siapa yang tidak panik?

Kehebohan tak sebatas Bali. Pergerakan manusia siluman sangat cepat, serentak dan melintasi benua. Dalam tempo 48 jam, tercatat 200 nasabah BCA menjadi korban pencurian dengan total uang sekitar Rp 5 miliar, nasabah BNI 19 orang dengan kerugian sekitar Rp 200 juta dan 3 nasabah BRI dengan kerugian Rp 48,5 juta. Lokasi penarik duit mulai dari Denpasar, Jakarta hingga Makassar. Dari Moskow sampai Toronto. Waw!

Masuk akal bila orang lantas berkesimpulan bahwa pembobolan uang nasabah tersebut merupakan hasil kerja suatu jaringan menggunakan teknologi tinggi. Teknologi yang belum sempat diantisipasi manajemen bank sebelumnya. Laporan media massa yang mengutip para pakar menguatkan kesimpulan tersebut.


"Kartu kredit bobol. ATM pun sama. Kalau begini jadinya kita sebaiknya kembali ke cara lama. Simpan saja uang di bawah kasur dan bantal," tulis seorang teman facebookers dalam statusnya. Teman lain menimpali, "Pada akhirnya, satu-satunya tempat paling aman menyimpan uang adalah di balik kutang ibunda tersayang."

Tentu tak pernah ada tempat yang paling aman menyimpan uang. Sistem apapun punya kekurangan. Toh berpulang kepada manusia. Jika ada niat dan kesempatan tembok tebal pun bisa jebol.

Bobolnya anjungan tunai mandiri BCA sekadar menjelaskan, betapa pencuri selalu cerdik memanfaatkan setiap kelemahan. Otak mereka lebih keras berpikir soal cara membongkar sistem teknologi pengamanan ATM yang dianggap paling canggih sekalipun.
***
TEKNOLOGI anjungan tunai mandiri (ATM) yang telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia sungguh memanjakan nasabah bank. Kapan dan di manapun seseorang dapat mengambil uang tunai sesuai kebutuhannya.

Popularitas ATM rupanya menular ke lapangan hidup yang lain. Di wilayah hukum dan kriminal, misalnya, sejak lama orang mengenal istilah ATM. Tentu bukan hal baru bagi tuan dan puan apalagi bagi mereka yang pernah mengalami sendiri.
Seseorang atau sekelompok orang yang terkena kasus hukum kerap dijadikan "kartu ATM" oleh oknum penegak hukum yang haus duit.

Kasusmu menjadi semacam "mesin uang" yang kapan saja bisa diambil sesuka hati, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, pemberkasan BAP, penuntutan hingga ruang sidang lembaga peradilan yang mulia. Semua tahapan itu berpeluang sebagai "kartu ATM" untuk oknum tertentu.

Modus BAP bolak-balik, BAP jalan di tempat sampai berulang tahun atau tiba-tiba hilang lalu dinyatakan SP3 patut diduga bermotif "ATM" tadi. Uang bisa menjadi candu kehidupan. Beberapa korban pernah bercerita, ketika tabungan mereka di bank menipis, si pengurus kasus memberi saran dan usul. Jual rumah, jual mobil atau jual tanah. Jual mobil kepadanya dengan harga murah meriah. Atau jual rumah dan tanah dengan harga jauh di bawah standar pasar.

"Praktik ATM itu benar. Daripada uangmu habis, lebih baik jalani saja proses hukum. Lakukan perlawanan hukum dengan akal sehat. Kalau Anda beri uang kepada penyidik, pengacara atau hakim, uang Anda bakal habis dan tidak ada jaminan Anda bebas dari jeratan hukum," kata seorang teman yang berprofesi sebagai hakim.

Dalam kasus sel mewah bak kamar hotel berbintang lima yang dinikmati Artalyta Suryani alias Ayin di Rutan Pondok Bambu-Jakarta, sulit menampik kemungkinan praktik "kartu ATM" bagi petugas rumah tahanan. Di republik pelupa ini orang tidak malu mengumpulkan uang dengan cara-cara menjijikkan.

Dunia pendidikan kita pun tidak luput dari praktik "kartu ATM". Sejumlah sekolah, terutama sekolah favorit atau unggulan dengan cara halus menjadikan orangtua/wali murid sebagai "tambang uang". Demi masa depan anak, orangtua manapun rela mematuhi permintaan sekolah. Sebagai contoh, sekolah swasta unggulan di Pulau Jawa sudah membuka pendaftaran murid baru tahun ajaran 2010 jauh-jauh hari yakni sejak bulan Oktober dan November 2009.

Jangan dulu bicara uang muka atau uang pembangunan. Biaya formulir pendaftaran saja sudah bikin merinding. Sekolah mematok angka mulai dari terendah Rp 70.000 hingga Rp 210.000. Mahal betul formulir itu. Kira-kira terbuat dari bahan apa? Toh isi formulir bukan jaminan anak tuan lolos seleksi. Cukup sering sekolah tidak manusiawi. Adakah praktik itu di beranda Flobamora? Silakan tuan dan puan telusuri sendiri. Sulit mengatakan tak mungkin!


Lebih sadis "kartu ATM" yang satu ini, yakni perdagangan perempuan dan anak. Tahun 2009 tercatat 3.222 manusia Indonesia yang jadi korban perdagangan manusia (trafficking). Menyedihkan sebab dari jumlah ribuan itu, 219 orang adalah anak-anak Flobamora (baca Kompas, 18 Januari 2010 hal 1). Dari sisi gender sungguh mengerikan, yakni 2.873 adalah perempuan. Dari sisi kelompok umur tercatat bayi 5 orang, anak-anak 808 orang dan orang dewasa 2.409 orang. Motif perbudakan modern itu adalah uang dengan manusia sebagai komoditas.

"Bung lupa, masih ada satu jenis ATM lagi. Namanya SPPD. Tapi ini ATM yang sah dan halal karena ketentuannya memang demikian. Itu hak kami pegawai negara yang pakai lambang Garuda," kata seorang teman pamogpraja di Kupang. Oh ya? Beta tak sungguh percaya karena teman ini doyan bercanda.

"Sifat SPPD fleksibel banget," tambah kawan itu. Sekali perjalanan dinas luar seorang pegawai negara (apalagi pejabat eselon kelas kakap) bisa kantongi dua atau tiga SPPD, disesuaikan dengan urusan masing-masing. Lazimnya satu SPPD berlaku untuk empat-lima hari. Untuk satu urusan yang cuma habiskan waktu dua hari, misalnya, seorang pegawai tetap dapat jatah biaya SPPD empat atau lima hari yang telah dialokasikan. "Artinya kami bisa berhemat to? Lebihnya buat saving. Pokoknya SPPD kami tidak boleh diutak-atik," kata kawanku itu.

Wah, benar juga ya? Sontak teringat kabar terbaru tentang adanya `perang terbuka' antara legislatif dan eksekutif di beranda Flobamora gara-gara SPPD. "ATM" terganggu siapa pun pasti marah, bukan? Juga rumor tentang pejabat tertentu yang setiap akhir pekan terbang ke Surabaya, Yogyakarta, Medan atau Jakarta. Dia lebih lama melakukan perjalanan dinas sampai bawahan bingung bila hendak berkonsultasi untuk suatu urusan. Kira-kira berapa SPPD yang dia habiskan sebulan? Husss...jangan sirik, itu haknya. Ya, sudah! (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang edisi Senin, 25 Januari 2010 halaman 1

Penganan Khas Sumba yang Mulai Tergeser

SELAIN kacang tanah Sumba, masyarakat Sumba sesungguhnya memiliki penganan khas yang tidak kalah lezatnya. Penganan yang terbuat dari kacang tanah dan pisang itu dikenal dengan nama Manggulu.

Ukurannya kecil dan bentuknya mirip dodol. Makanan khas ini sudah jarang ditemui di Sumba Timur. Hanya di beberapa wilayah yang masyarakatnya masih membuat produk tersebut. Itu pun hanya pada waktu-waktu tertentu dan dalam jumlah tertentu.

Dalam kemasan aslinya, Manggulu dibungkus dengan daun pisang kering. Bagi orang Sumba, daun pisang kering memiliki nilai pengawet. Namun belakangan daun pisang mulai diganti dengan kemasan modern seperti plastik.

Manggulu saat ini memang masih ada. Namun keberadaannya mulai tergeser oleh penganan dari luar. Selain karena produksinya terbatas, perubahan gaya hidup masyarakat Sumba turut berpengaruh terhadap eksistensi dari produk tersebut. Keterbatasan produksi disebabkan oleh proses pembuatannya yang cukup memakan waktu.

Caranya, pisang kapok masak harus dikeringkan dahulu, kacang tanah goreng dikeluarkan kulit arinya. Kacang tanah kemudian ditumbuk. Demikian juga pisang masak kering. Setelah kedua bahan ini halus, dicampur lalu dibentuk. Kalau cara tradisional, pembentukan dengan menggunakan tangan. Namun belakangan pencampuran dan pembentukan bisa menggunakan mesin penggiling.

Manggulu saat ini memang masih ditemukan di wilayah-wilayah tertentu di Sumba Timur, seperti di Nggongi, Kahunga Eti. Di Kota Waingapu juga ada kelompok-kelompok binaan Badan Bimas Ketahanan Pangan yang masih membuat Manggulu. Namun produksinya tidak banyak. Karena itu, Manggulu jarang ditemukan di toko-toko kue. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit. Itupun jarang laku terjual karena Manggulu seakan tenggelam di antara penganan dari luar.

Hartini dari Badan Bimas Ketahanan Pangan Kabupaten Sumba Timur adalah orang yang masih konsisten untuk mempertahankan produk khas Sumba Timur ini. Melalui kelompok binaannya, Hartini mencoba untuk mengembangkan kembali penganan ini dan bertekad untuk menempatkan Manggulu menjadi tuan di negeri sendiri.


Sumba Timur sebenarnya kaya akan penganan lokal. Namun gaungnya kalah dengan penganan dari luar. Selain kemasan dan tampilan yang lebih menarik, pergeseran pola hidup masyarakat di daerah itu turut berpengaruh terhadap eksistensi penganan lokal. Masyarakat Sumba Timur lebih berkelas jika menenteng donat atau roti daripada Manggulu. Selain itu, promosi dan pencitraan pangan lokal yang masih terbatas membuat penganan ini tidak banyak dilirik oleh masyarakat Sumba Timur. Manggulu belum terkenal seperti kacang Sumba.

Jangankan untuk masyarakat luar, generasi Sumba saja bahkan sudah ada yang tidak mengenal Manggulu. Padahal kalau diperkenalkan terus-menerus, Manggulu bisa menjadi penganan yang diminati banyak orang karena rasanya khas.(Adiana Ahdmad)

Pos Kupang, 23 Januari 2010 halaman 5

DKP Tidak Tahu Keberadaan Kelompok Nelayan

LEWOLEBA, PK -- Dugaan pembentukan 41 kelompok nelayan fiktif di Lembata untuk menerima dana bantuan Departemen Kelautan dan Perikanan pusat semakin terkuak kebenarannya. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Lembata bakan tidak memiliki dan menyimpan data-data keberadaan kelompok nelayan yang menerima bantuan dana Rp 2,9 miliar itu.

Sesuai audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTT, kerugian negara dalam pengelolaan proyek tersebut mencapai Rp 2 miliar.

Informasi yang dihimpun Pos Kupang di Lembata, kelompok nelayan dadakan alias fiktif itu dimanipulasi pejabat dan oknum tertentu di DKP Lembata untuk kepentingan pencairan dana bantuan proyek tahun 2007 (bukan 2008) itu.

Kepala DKP Lembata, Kedang Paulus, S.Pi, M.Si mengatakan, DKP Lembata tidak memiliki data apa pun mengenai kelompok nelayan dalam proyek tersebut. Dia mengatakan sudah berulangkali meminta data itu kepada mantan Kepala DKP, Ir. Edy Sanyoto maupun staf di DKP yang terlibat dalam pengelolaan proyek itu, namun sampai setahun dia menjabat kepala DKP, data itu belum juga diberikan.

"Sampai hari ini tidak ada laporan tentang data itu kepada saya. Awal tahun 2009 bertugas di dinas ini, saya sudah minta berulang-ulang, di rapat staf dan apel, tetapi tidak pernah diberikan. Saya minta kepada Pak Edy, juga tak dikasih. Staf yang terlibat urus pembentukan kelompok nelayan, saya sudah minta, dia bilang ada di Pak Edy," tandas Paulus menjawab Pos Kupang di kantornya, Rabu (20/1/2010).

Karena itu, apakah kelompok nelayan yang dibentuk itu masih melakukan budidaya rumput laut sebagaimana sasaran kucuran dana bantuan dalam proyek dimaksud, DKP Lembata juga tidak mengetahuinya. "Kami sama sekali tidak tahu. Mau cari tahu kemana, kami tidak punya data apa pun," kata Paulus.

Dikatakannya, kelompok nelayan rumput laut yang dimiliki DKP hanya kelompok penerima bantuan dana yang bersumber dari DAK (dana alokasi khusus) dan kelompok usaha swadaya. DKP tahu betul keberadaannya dan aktivitasnya, tetapi data kelompok nelayan bentukan tahun 2007 itu sama sekali tidak dimiliki dinas. "Kelompok yang terima DAK dan swadaya itu kami bina terus," katanya.

Paul menambahkan pada12 November 2009, beberapa waktu setelah dia dilantik menjabat Kadis DKP, dia didatangi Yohanes Ganu Maran, pimpinan PT Mitra Timor Raya menawarkan pembentukan kelompok baru untuk menerima bantuan, namun tawaran itu ditolaknya. Dia menyarankan kepada Ganu Maran supaya menyelesaikan masalah pokdakan (kelompok dadakan) sebelumnya.

Demikian halnya ketika pemeriksaan dari Irjen DKP Jakarta tahun 2009, dinas tidak mampu memperlihatkan jumlah dan keberadaan kelompok nelayan penerima bantuan dana dari pusat itu. Dinas minta bantuan pada mitra lokal PT Mitra Timor Raya di Lewoleba, Muhammad Saleh. Tim pemeriksa mendapatnya, namun dinas sama sekali tiak memilikinya.

Beberapa staf DKP Lembata, kepada Pos Kupang, menyatakan mereka mengetahui ada proyek bantuan benih rumput laut ketika belasan kolompok asal Ile Ape dan Nubatukan mendatangi DKP Lembata mempertanyakan pengelolaanya.

"Saat itu, baru kami tahu ada proyek. Kami semua di dinas ini juga pernah di-BAP (mauskdnya diperiksa, Red), kami katakan kami tidak tahu. Yang tahu proyek ini Pak Edy (mantan kadis), Pak Ibrahim Isre dan kepala tata usaha," ungkap seorang pegawai DKP.

Staf Direktorat Jenderal Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Ir. Kurniasih berserta dua anggotanya, pada Rabu siang kemarin memenuhi panggilan penyidik Kejari Lewoleba. Kedatangan mereka untuk dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus penyimpangan dana proyek pengadaan benih rumput laut. Sebelum bertemu Kajari Lewoleba, mereka sempat bertemu Kepala DKP Lembata, Kedang Paulus, di kantornya.

Pantauan Pos Kupang di Kejari Lewoleba kemarin, Kurniasih berada di ruang tamu Kepala Seksi Intelijen Kejari Lewoleba, Nur Akhirman, S.H, M.Hum. Belum diketahui, apakah mereka langsung dimintai keterangannya atau belum. (ius)

Pos Kupang, 21 Januari 2010 hal 1

Kejari Lewoleba Pulbaket Kasus Jobber

LEWOLEBA, PK -- Saat ini aparat penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Lewoleba, mulai melakukan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) kasus pembangunan jobber milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata.

Pulbaket kasus jobber senilai Rp 18.7 miliar itu menyusul perintah dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT. Proyek pembangunan jobber ini terindikasi kolusi untuk menggolkan kontraktor tertentu dan penyimpangan keuangan yang merugikan keuangan daerah.

"Ini kasus besar, kita garap. Proyeknya saja nilainya Rp 18,7 miliar. Temuan Panitia Khusus (Pansus) DPRD Lembata yang yang sudah ada, akan kami kaji lagi. Temuan itu menjadi informasi awal yang bagus," kata Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Lewoleba, I Wayan Suwila, S.H, M.H, kepada Pos Kupang, Selasa (19/1/2010). Saat itu Wayan didampingi Kepala Seksi Pidana Khusus (Pidsus) Arif Mira Kanahau, S.H.

Data yang dihimpun Pos Kupang berdasarkan penyelidikan pansus DPRD, kerugian negara pada proyek fasilitas depo minyak mini dikerjakan PT Jasa Uber Sakti-Jakarta itu meliputi denda keterlambatan tahap pertama Rp 428.137.589,05, mobilisasi dan demobilisasi alat kerja beserta lima personil dari Jawa ke Lewoleba Rp 257.855.675,00 asuransi pembangunan Rp 309.426.510,00 reengineering Rp 205.222.980,00 dan mes
kerja yang tidak dibangun Rp 17.939.388,00.

Menurut Wayan, kasus jobber ini menjadi perhatian masyarakat. Karena itu, penyidik kejaksaan akan bekerja maksimal, obyektif dan transparan dalam proses penyelidikan dan penyidikannya. (ius)


Temuan Pansus DPRD :
1. SIUJK PT Jasa Uber Sakti-Jakarta mati sejak tanggal 31 Desember 2006. Seharusnya perusahaan ini gugur pada penelitian dokumen (sampul 1), sehingga penawaran tak perlu di evaluasi.Pembukaan penawaran proyek 21 Juni 2007.
2. Empat Sertifikat Badan Usaha PT Jasa Uber Sakti telah berakhir masa berlakunya pada 31 Desember 2006. Sertifikat dikeluarkan AKI 24 Juli 2007.
3. Kontrak induk dan addendum tidak diatur asuransi, namun afa alokasi Rp 309.426.810 untuk asuransi selama pembangunan jobber dan asuransi transpor.
4. Ada alokasi dana Rp 268.232.980 untuk reengineering, padahal tidak ada satu pasal dalam kontrak induk dan addendum yang mengatur reengineering. Keppres 80 Tahun 2003 menyatakan, konsultan perencana tidak cermat mengakibatkan kerugian pengguna barang dan jasa menjadi beban tanggungjawab konsultan.
5. Denda keterlambatan tidak dicantumkan dalam kontrak tahap satu merugikan daerah Rp 350.000.000.
Sumber : Pansus DPRD Lembata

Pos Kupang, 24 Januari 2010

Bayi "Harlequin" Lahir di Ende

Ende, Kompas - Bayi laki-laki yang lahir di Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, terlahir menderita sindrom harlequin baby. Orangtua bayi tersebut terikat perkawinan dengan hubungan kekerabatan yang sangat dekat.

Sindrom harlequin baby, seperti dikutip dari situs National Institutes of Health, AS, ditemukan oleh James W Lance dan Peter D Drummond tahun 1988 ketika mereka meneliti bayi yang sebelah tubuhnya memerah dan berkeringat. Kondisi asimetrik seperti itu kemudian dikenal dengan sebutan ”Harlequin Sign” (Tanda Harlequin).

Sindrom tersebut kadang tampak sebagai kondisi tubuh hangat dan tidak bisa berkeringat di bagian tangan dan kaki di satu sisi tubuh. Hal ini bisa agak berkurang dengan melakukan latihan. Kadang disertai dengan sakit kepala sebagian, hidung berair, jidat berkeringat, serta kontraksi (gerakan) pupil mata yang tak beraturan serta terbaliknya kelopak mata atas.

Penjelasan tentang penyebab fenomena tersebut belum sepenuhnya mendapat persetujuan secara luas.

Penyakit ini pun tergolong langka dan jarang terjadi. Rata-rata kasus itu terjadi satu di antara 300.000 kelahiran hidup.

Bayi laki-laki yang lahir pada hari Selasa (19/1) lalu dari pasangan Bernadus Bedi dan Agnes Nona, warga Desa Uluramba, Kecamatan Ende, Kabupaten Ende, itu hingga Jumat kemarin masih dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ende.

”Dari keterangan yang bersangkutan dan keluarga, pasangan itu menikah dengan status hubungan sebagai sepupu kandung. Ini sangat dekat sekali. Di Ende, pernikahan dengan sepupu kandung dianggap biasa. Secara adat tampaknya justru dianjurkan,” kata dokter spesialis anak RSUD Ende, Agustini Utari, kemarin di Ende.

Menurut Agustini, perkawinan sedarah atau yang masih memiliki hubungan atau pertalian keluarga (consanguinity) keturunannya sangat berisiko mengalami kelainan genetik.

Anak kelima (bungsu) pasangan Bernadus-Agnes itu mengalami kelainan pada bagian mata, mulut, dan kulit. Posisi kelopak mata bayi tersebut terbalik atau melipat ke arah luar (ectropion). Bentuk bibir bayi tebal atau besar dan terbuka, serta kulitnya mengering dan mengeras, bahkan beberapa bagian mengelupas karena kuatnya kerutan.

Ternyata dalam riwayat keluarga tersebut, dari 5 anak Bernadus, 2 orang mengalami kelainan genetik, yaitu anak sulung (laki-laki) dan yang bungsu. Anak pertamanya, Claudius Fridus Rado, kini berusia 8 tahun.

Saat lahir Claudius buta, kaki lumpuh, dan kondisi kulitnya serupa dengan adik bungsunya yang baru lahir ini. Adapun anak yang nomor 2 hingga nomor 4 semuanya perempuan, kondisi mereka normal.

Kondisi membaik

Menurut Agustini, kondisi bayi tersebut hingga hari ke-4 dirawat makin membaik. Saat dibawa keluarganya ke rumah sakit, bayi itu mengalami sesak napas dan susah minum. Sejak Kamis lalu dia sudah minum air susu ibu (ASI).

Mata bayi juga mendapatkan terapi dari dokter spesialis mata di rumah sakit setempat. Kornea matanya dalam keadaan jernih dan bola mata juga baik meskipun belum diketahui apakah mata bayi tersebut buta atau tidak.

Guna mencegah infeksi bayi juga diberi antibiotik serta diberi infus untuk mencegah kekurangan cairan. Adapun untuk kulit diberi pelembap dan krim tretinoin atau retinoin A.

”Sudah terlihat kemajuan, kerutan pada kulitnya agak berkurang dan kulit pun menjadi lembut. Mata bayi juga diberi salep. Belum dapat dipastikan kapan bayi itu bisa meninggalkan rumah sakit,” kata Agustini.

Saat ini pihak rumah sakit masih mengupayakan agar kondisi bayi itu stabil dulu. Setelah bayi dapat makan dan minum, kesehatannya mulai bagus, baru diperbolehkan pulang.

”Namun, untuk kulitnya tetap diperlukan perawatan jangka panjang sebab kulit yang terkelupas itu rawan terkena infeksi,” tambah Agustini. (SEM)

Pua Karapau: Ritual Pemulihan Alam di Pulau Palue

Musim kemarau panjang, hasil pertanian dan laut kurang menggembirakan, serta wabah penyakit melanda menjadi tanda serius bagi tetua adat untuk segera melakukan ”pendinginan” atau pemulihan alam. Ritual Pua Karapau merupakan salah satu jawabannya.

Pua Karapau (muat kerbau) merupakan salah satu ritual adat yang telah dilakukan turun-temurun oleh warga Dusun Cawelo dan Tudu, Desa Rokirole di Pulau Palue, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Pulau sendiri sekitar dua jam dengan morot laut dari Maumere (Kabupaten Sikka) atau satu jam dari Ropa (pesisir utara Kabupaten Ende).

Warga dua dusun itu yang berada di luar Palue pun berdatangan sebelum rangkaian Pua Karapau mulai dilakukan hingga puncaknya, yakni berupa pemotongan kerbau sebagai persembahan kepada Rawula Watu Tana (Tuhan penguasa alam semesta) dan para leluhur. Tahun ini puncak acara jatuh awal bulan 11 tahun 2009.

Termasuk Lakimosa (tetua adat) Cawelo, Cosmas Himalaya, yang tinggal di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, jauh-jauh hari sudah tiba di Palue, pulau kecil dalam kepungan Laut Flores itu.

”Dalam tradisi di Cawelo, Pua Karapau digelar dua kali dalam lima tahun, sedangkan di wilayah adat yang lain ada yang cuma satu kali. Pua Karapau di Cawelo tahap pertama dilakukan tahun 2006 dan kali ini yang kedua,” kata Cosmas.

Pua Karapau tahun ini memang agak unik karena semestinya hanya memuat dua kerbau. Namun, berhubung seekor kerbau yang dipersiapkan sejak tahun 2006 mati pada bulan Juni 2009, maka perlu dipersiapkan gantinya tahun ini sehingga yang dipersiapkan menjadi tiga ekor.

Pasalnya, untuk Pua Karapau tahap pertama akan dipersiapkan dua kerbau, seekor di antaranya untuk dipotong dalam ritual tersebut, sedangkan seekor lainnya dipersiapkan untuk dipersembahkan pada masa Pati Karapau (potong kerbau) pada tahun ke-5.

Sementara pada Pua Karapau tahap kedua juga dimuat lagi dua kerbau, seekor dipotong saat itu, sedangkan seekor lainnya untuk Pati Karapau. Dengan demikian, saat Pati Karapau tahun 2011 akan dipotong dua kerbau yang dipersembahkan bagi Rawula.

”Persembahan kerbau pada waktu Pua Karapau dimaksudkan sebagai pemberitahuan bahwa masyarakat Cawelo telah mempersiapkan persembahan (dua kerbau) untuk Rawula dan para leluhur, yang akan diberikan pada saat Pati Karapau,” kata Cosmas.

Dari delapan desa di Pulau Palue, tradisi Pua Karapau dan Pati Karapau dilakukan turun-temurun oleh komunitas adat di empat desa, yaitu Nitunglea, Rokirole, Tuanggeo, dan Ladolaka.

Namun, tata cara ritual antara satu wilayah adat dan wilayah yang lain berbeda-beda. Sebagai contoh di Rokirole yang berpenduduk 1.500 jiwa—yang meliputi tiga dusun—memiliki dua wilayah kelakimosaan, yaitu wilayah adat Cawelo dan Tudu, serta wilayah Lakimosa Koa. Di Cawelo, Pua Karapau dalam lima tahun dilakukan dua kali, sedangkan di Koa dilaksanakan sekali saja.

Serba lima

Satu hal yang menarik dalam Pua Karapau sejumlah ritual yang dilakukan serba lima. Begitu pula Pati Karapau digelar setiap lima tahun sekali. Bagi komunitas pendukung ritual itu, angka lima menyimbolkan keberuntungan.

Sebelum Pua Karapau dilaksanakan tanggal 28 Oktober, masyarakat Cawelo harus menjalani masa pantang, yaitu tidak melakukan pekerjaan di kebun, melaut, atau pekerjaan lain, selama lima hari. Selama hampir sepekan itu sejumlah warga menyeberang ke Ropa, Desa Keliwumbu, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende di daratan Pulau Flores, untuk membeli tiga kerbau sebagai hewan kurban.

Sebelum berangkat ke Ropa, rombongan adat masing-masing harus lima kali mengelilingi tubu ca (tugu besar) dan tubu lo’o (tugu kecil) di tengah kampung. Selanjutnya perahu yang juga bermuatan gendang dan gong harus berputar lima kali di sekitar pelabuhan sebelum bertolak ke Ropa.

Selama perjalanan juga dilantunkan lima lagu adat. Begitu pula ketika rombongan hampir tiba di Ropa, perahu harus berputar lima kali sebelum lego jangkar. Setelah kerbau dinaikkan ke dalam perahu di pantai Ropa, perahu kembali berputar lima kali sebelum bertolak pulang ke Pulau Palue.

Cosmas menjelaskan, dalam ritual Pua Karapau akan terbangun relasi yang baik, terutama dengan Rawula, lalu persahabatan dengan alam, serta hubungan yang harmonis dengan sesama. Ritual itu menuntut yang berkonflik menjadi rukun kembali karena di dalamnya ada proses perdamaian dan pemulihan.

Kerbau yang dipotong sebagai persembahan dalam ritual tersebut, ujar Lakimosa Cawelo yang lain, Bernadus Ratu, juga berperan sebagai korban penebusan sebagai ganti kesalahan yang dibuat manusia atau warga setempat.

Karena itu, tak heran, begitu kerbau yang telah dipotong tersungkur karena kehabisan darah, warga berebut menyentuhkan kakinya ke badan kerbau yang berlumuran darah. Tentu dengan harapan segala penyakit yang diderita juga tertumpah atau ditanggung ke darah kerbau tersebut.

Karena berfungsi sebagai korban penebusan kesalahan, daging kerbau tidak dikonsumsi oleh semua lakimosa dan keluarganya, serta warga Cawelo dan Tudu.

Sebaliknya warga dusun atau desa lain diperbolehkan mengambil dan mengonsumsi daging kerbau itu. Namun, pengambilan daging kerbau kurban itu harus dilakukan secara diam-diam seolah mencuri atau tanpa diketahui masyarakat Cawelo.

Warga juga berkeyakinan posisi kepala kerbau setelah jatuh dan tewas mempunyai makna sendiri. Arah kepala hewan kurban itu diyakini menunjukkan kawasan yang akan memberikan hasil panen berlimpah pada musim mendatang.

Pada ritual Senin (3/11), kepala kerbau sebenarnya menghadap ke gunung di bagian selatan, posisi yang tidak mendatangkan rezeki karena menghadap kawasan berbatu atau bukan lahan pertanian. Karena masih bernapas, kepala kerbau itu oleh sejumlah tetua cepat-cepat digeser dan diarahkan ke utara menghadap areal kebun dan perairan pantai tempat para nelayan memburu ikan.

”Lewat ritual ini diharapkan hasil dari kebun maupun laut berlimpah. Kalau demikian, masyarakat berkecukupan dan dijauhkan dari penyakit. Juga mereka yang bekerja di luar pulau akan mendapatkan perlindungan,” kata Lakimosa Cawelo, Neno Toni, seusai pemotongan kerbau.

Ketahanan pangan baik

Tradisi tua itu menunjukkan betapa masyarakat Cawelo masih berpegang kuat pada akar budaya mereka. Ritual Pua Karapau dan Pati Karapau juga menunjukkan masyarakat Cawelo adalah masyarakat yang religius. Tradisi itu juga berdampak positif pada pertanian mereka.

Masyarakat Palue tidak menanam padi untuk kebutuhan pangan. Mereka hanya menanam jagung, ubi-ubian, kacang-kacangan, dan pisang. Penunjang ekonomi mereka yang lain adalah dari tanaman perdagangan, seperti kelapa, vanili, jambu mete, dan kakao, serta hasil melaut.

Mereka tidak pernah mengalami krisis pangan alias kelaparan. Ketahanan pangan warga Palue secara umum baik, sebagaimana warga Cawelo, karena ditunjang dengan adat istiadat setempat.

Setelah masa Pua Karapau berakhir dalam lima tahun, yang ditutup dengan Pati Karapau, masyarakat adat Cawelo akan memasuki phije, yakni masa haram atau pantang selama lebih kurang lima tahun. Selama masa itu mereka dilarang melakukan aktivitas yang merusak alam, juga melukai tanah. Sebagai contoh, memetik daun, apalagi menebang pohon, merupakan larangan keras. Begitu pula penggalian, pengerukan, dan pembuatan jalan maupun fondasi rumah juga dilarang. Penguburan orang mati pun tak bisa dilakukan dalam masa phije. Orang mati pada masa itu terpaksa tidak dikubur dalam tanah, melainkan dibaringkan saja di pemakaman.

Pada masa phije, yang diperbolehkan adalah aktivitas untuk menunjang atau memberikan kehidupan seperti bertani. Jika masa pantang itu dilanggar, warga akan dikenai sanksi adat. Yang lebih fatal, sebuah pelanggaran diyakini dapat mengakibatkan korban jiwa atau kesialan. Itu sebabnya pada masa itu warga menjadi fokus pada kegiatan pertanian. Bahkan, kelestarian lingkungan juga terjaga dengan baik.

Namun, pengaruh adat itu juga berdampak kurang baik pada aspek pembangunan, salah satunya pembuatan jalan kabupaten pada bulan Oktober lalu menjadi terhambat. Hal itu terjadi untuk pembuatan jalan sepanjang 1 kilometer lebih, yang menghubungkan Dusun Cawelo dengan Koa.

Pembangunan tidak bisa berjalan karena di Dusun Koa telah dilakukan Pati Karapau pada bulan Januari sehingga saat ini telah memasuki masa phije lebih kurang hingga tahun 2014.

Camat Palue Fernandes Woda pun kemudian mengusulkan kepada Bupati Sikka Sosimus Mitang agar proyek jalan rabat beton Cawelo-Koa dialihkan dahulu ke daerah lain dalam wilayah Palue.

Dari pengalaman kasus ini memang sudah tidak zamannya lagi penetapan dan pengalokasian anggaran pembangunan desa dilakukan dari atas (top down), melainkan harus dari aspirasi arus bawah (bottom up).

Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Sikka sebelum menetapkan alokasi anggaran pembangunan desa perlu berkomunikasi terlebih dahulu dengan lembaga adat sehingga program pembangunan desa tidak terbengkalai. (Samuel Oktora/Kompas)

Dana Rp 2 Miliar Diselewengkan

LEWOLEBA, POS KUPANG. com -- Proyek pengadaan bibit rumput laut untuk para nelayan di Kabupaten Lembata pada tahun 2008, menuai masalah. Dana proyek Rp 2 miliar diselewengkan, antara lain melalui mark up harga bibit dan pembentukan kelompok nelayan fiktif.

Penyimpangan dana itu merupakan temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPK) Perwakilan NTT yang mengaudit proyek yang dikelola Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Lembata itu.

Kini, jaksa penyidik pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Lewoleba sedang mengusut dugaan korupsi dana dalam pengelolaan proyek itu. Jaksa sudah menaikkan statusnya dari penyelidikan ke tahap penyidikan dimana tersangkanya sudah dikantongi jaksa.

"Calon (tersangka, Red) memang sudah ada, tetapi tidak etis disebut saat ini. Pada waktunya akan disampaikan kepada publik. Total kerugaian negara hampir Rp 2 miliar," ujar Kepala Kejaksaan Negeri Lewoleba, I Wayan Suwila, S.H, M.H kepada Pos Kupang di Lewoleba, Selasa (19/1/2010).

Wayan yang didampingi Kepala Seksi Pidana Khusus (Pidsus), Arif Mira Kanahau, S.H, menambahkan proyek pengadaan benih rumput laut untuk para nelayan itu dibiayai dengan dana APBN Rp 2,9 miliar. Audit BPKP Perwakilan NTT menemukan kerugian sekitar Rp 2 miliar, meliputi mark up harga benih dan kelompok-kelompok nelayan fiktif.

Dalam tahap penyidikan ini, katanya, jaksa akan memeriksa 23 orang saksi dari kelompok nelayan penerima bantuan benih rumput laut. Mereka akan dimintai keterangannya secara maraton. Ada saksi yang bertempat tinggal di Mataram, Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan dua saksi berdomisili di Jakarta. Salah satunya kontraktor PT Mitra Timor Raya, Yohanes Ganu Maran.

Khusus saksi Yohanes Maran, tambahnya, jaksa sudah beberapa kali mengirim surat panggilan namun yang bersangkutan belum datang. Dia berharap, Maran kooperatif memenuhi penggilan jaksa penyidik.

"Kalau dia tidak datang, kita akan konsultasikan dengan pimpinan (Kajati NTT, Red), bagaimana jalan keluarnya. Apakah penyidik mencari dan memeriksanya di Jakarta atau bagaimana. Sedangkan saksi dari Mataram, informasinya dia sudah berada di Kupang. Mudah-mudahan segera datang ke Lewoleba," harap Wayan.

Dia mengimbau para saksi yang dipanggil jaksa agar kooperatif sehingga penyidikan kasus itu bisa diselesaikan secepatnya dan kasusnya dapat segera dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan. Kejari Lewoleba menargetkan waktu dua bulan untuk menuntaskan penyidikan kasus ini.

"Kalau ada kendala, kita akan konsultasikan dengan pimpinan dan revisi lagi. Kasus ini juga belum lama kita tingkatkan statusnya dari penyelidikan ke tahap penyidikan. Hambatan kita, karena ada saksi yang domisilinya jauh. Cepat atau lambat pasti selesai, supaya kita garap lagi kasus yang lain," tandas Wayan.

Informasi lain yang dihimpun Pos Kupang, menyebutkan temuan penyimpangan dana proyek tersebut merupakan kasus korupsi dengan kerugian negara terbesar sepanjang 10 tahun Kabupaten Lembata menjadi daerah otonom. Beberapa calon tersangka yang diincar penyidik berdomisili di Lewoleba dan sebagiannya berdomisili di luar Lewoleba.

Menurut catatan Pos Kupang, kasus proyek ini mencuat dari pembentukan kelompok nelayan oleh DKP Kabupaten Lembata untuk menerima bantuan selisih harga benih. Dana itu ditransfer langsung dari Departemen Kelautan dan Perikanan RI kepada kelompok nelayan di Lembata.

Pengelola kelompok nelayan penerima bantuan itu diminta pihak DKP dan kontraktor PT Mitra Timor Raya untuk menandatangani slip penarikan uang dari BRI Unit Lewoleba. Nilainya uang yang ditarik bervariasi mulai dari Rp 40 juta-Rp 160-an juta/kelompok nelayan. Sebagian kelompok menerima rumput laut disediakan kontraktor, namun sebagian kelompok tidak menerimanya dan sebagian besar kelompok nelayan adalah kelompok fiktif. Ada juga pengelola kelompok nelayan hanya menerima imbalan Rp 1 juta karena telah menandatangani pencairan dana tersebut. (ius)

Pos Kupang edisi Rabu, 20 Desember 2010 halaman 1

Bendahara


"MANUSIA yang bikin saya jengkel adalah bendahara gaji," kata Dorus dengan mimik serius saat kami `makan sore' di Wae Lengga, perbatasan antara Kabupaten Manggarai Timur dan Ngada pekan lalu. Jarum jam menunjukkan pukul 15.43 wita ketika kami menikmati menu masakan Padang di Wae Lengga yang diguyur gerimis sore itu.

Beta berkenalan dengan Dorus di dalam mobil Avansa plat kuning sejak meninggalkan Kota Ruteng. Di Pulau Flores, mobil plat kuning seperti itu populer disapa trevel (mungkin untuk membedakan dengan bus umum yang sudah lama dikenal). Di dalam mobil dengan tujuh kursi penumpang, hanya kami berdua penumpang dasar Ruteng-Ende. Lima kursi lain diisi bergantian oleh penumpang jalan. Ada yang naik dari Borong tujuan Aimere. Dari Aimere tujuan Bajawa dan terakhir dari Watujaji-Bajawa tujuan Nangapanda-Ende.


Penumpang dasar dan penumpang jalan adalah istilah khas para sopir angkutan umum di Flores. Dasar artinya penumpang sesuai trayek. "Kalau semua penumpang dasar, itu baru telak, Om," kata Roy, sopir Avansa yang kami tumpangi dengan logat Bajawa yang kental. Ternyata diksi telak mencerminkan kabar gembira bagi sopir di sana lantaran pendapatan mereka sesuai patokan majikan.

Kita kembali ke Dorus yang kesal dengan bendahara tadi. Dorus pegawai negeri golongan II. Sehari-hari mengabdi sebagai penyuluh di pedalaman. "Saya pegawai kampung, sama dengan guru SD terpencil dan bidan desa," katanya sambil terkekeh. Saban bulan Dorus wajib ke kota untuk terima gaji dari bendahara demi menyambung hidupnya selama sebulan

Kenapa jengkel? Meluncurlah kisah tentang perilaku bendahara dari mulut pria setengah baya itu. Menurut dia, ada dua tipe bendahara gaji. Bendahara lurus dan licik. Sebagai pegawai negeri yang telah mengabdi lebih dari 15 tahun, Dorus telah merasakan pelayanan dari kedua tipe bendahara tersebut. "Sekarang lagi sial, kami berurusan dengan bendahara licik," katanya.

Mobil bergerak meninggalkan Wae Lengga. Dorus melanjutkan kisahnya. Bendahara licik adalah bendahara mata duitan. Bendahara yang mengharapkan uang terima kasih. Tanpa uang terima kasih, urusan bayar gaji jadi rumit. Si bendahara pura-pura sibuk. Pegawai dari pedalaman mesti lama menunggu. Bisa seharian bahkan harus bermalam di kota. "Itu rahasia umum. Beberapa teman pegawai terpaksa menyelipkan satu dua lembar uang lima ribuan agar pembayaran gaji lancar. Mereka anggap itu lumrah. Saya tidak! Mungkin karena itu saya sering dipersulit," kata Dorus.

Selain butuh imbalan, bendahara licik punya motif cerdik. Ini berkaitan dengan ketersediaan doi lo'o (baca: uang kecil atau uang recehan). Misalnya gaji Dorus bulan Januari 2010 - setelah dikurangi potongan ini itu -- sebesar Rp 1.250.350. Syukur kalau bendahara punya uang receh. Lazimnya bendahara licik beralasan tidak punya uang kecil, sehingga yang dibayarkan kepada Dorus hanya uang pas Rp 1.250.000. Sisa Rp 350 masuk kantong bendahara sendiri.

"Bayangkan 50 pegawai diperlakukan seperti itu. Orang anggap remeh dengan pecahan uang kecil. Kalau dikumpul jadi banyak to Pak? Teman-teman bilang saya manusia pelit. Ini bukan soal pelit atau murah hati. Bendahara digaji negara untuk bayar gaji. Kenapa dia bikin macam-macam lagi?" tutur Dorus.

Avansa merangkak pelan. Meliuk-liuk di punggung bukit Kajuala yang berkabut tebal dengan jarak pandang hanya empat meter. Beta dapat kuliah kehidupan dari Dorus. Pegawai kecil dari pedalaman kerap diperlakukan kurang adil. Ironis, mengingat banyak pegawai negeri enggan mengabdi di dusun. Kalaupun mau, pengabdiannya setengah hati. Juga tentang oknum bendahara berperilaku purba. Tega 'mengkadali' sesama pegawai. Tuan dan puan mungkin pernah mengalami pengalaman serupa. Cuma tak peduli perilaku koruptif kelas teri semacam ini.

Mobil melintasi Mangulewa, kampung halaman Ros Woso, salah seorang wartawati senior Pos Kupang. Kisah bendahara dari mulut Dorus belum usai. Kali ini tentang bendahara lurus. "Bendahara lurus banyak. Saya kagumi mereka," ujarnya.

Mereka tak pernah minta imbalan. Uang kecil pun bukan alasan untuk menipu. Toh bank selalu menyiapkan uang nominal kecil hingga tertinggi. Koin Prita yang terkumpul hingga Rp 800 juta merupakan bukti betapa uang kecil tak mungkin habis stoknya. "Bendahara lurus membayar gaji kami dalam amplop tertutup. Uang yang kami terima utuh, sesuai dengan slip rincian gaji. Ada uang kecil lima puluh dan seratus rupiah. Pokoknya persis seperti angka dalam dalam slip," kata Dorus. Pengertian bendahara lurus bagi Dorus kira-kira begitu.

Darimana bendahara mendapatkan uang receh? Bukankah hal itu tak mudah? "Jangan salah, Pak. Bendahara lurus punya trik tersendiri. Dalam lacinya selalu tersedia uang kecil. Selain dari bank, uang kecil dia tukar di pom bensin (SPBU) atau pemilik toko dan kios kenalan. Bisa juga dari penjual sayur," kata Dorus. Beta termangu. Si Dorus paham betul lika-liku kerja bendahara.

Sontak terkenang Bapak Aloysius, pensiunan sebuah BUMN di Kupang. Selama 29 tahun jadi pegawai BUMN, Bapak Alo dipercaya sebagai bendahara. Apakah dia kaya? Punya rumah mewah? Tidak! Bapak Alo sungguh hidup dari gajinya saja.Kiranya banyak bendahara seperti Bapak Alo. Mereka bekerja dengan jujur.

Masih ada lagi tipe bendahara. Sikapnya plin plan, seperti kerbau dicocok hidungnya. Ikut saja perintah pimpinan meski dia tahu perintah itu salah alias melawan hukum. Pengalaman seorang teman anggota polisi berikut ini mungkin bisa menjadi contoh. Saat bertugas mengamankan jalannya pilkada suatu daerah di beranda Flobamora, mereka dapat honor pengamanan (Pam Pilkada) Rp 1 juta per orang. Tiba waktu pembayaran, bendahara menyodorkan kwitansi yang wajib ditandatangani. Tanda tangan kwitansi Rp 1 juta tapi yang diterima cuma Rp 750 ribu. "Kata bendahara, Rp 250 ribu dipotong untuk jatah bos-bos. Kita maklumi saja. Mau protes bisa bahaya. Hehehe," kata teman polisi itu.

Demikianlah tuan dan puan. Banyak bendahara masuk penjara karena ikut perintah secara membabi buta. Tiba di tikungan berbahaya, bendahara macam itu mudah ditumbalkan. Jadi korban kerapuhan prinsip kerja melanggar aturan dan terutama menipu hati nurani. Orang sering lupa para koruptor bergentayangan di mana-mana. Dan, koruptor itu bisa siapa saja. Tapi orang baru buka mata jika melihat uang yang dikorupsi dalam jumlah besar. Uang kecil dianggap biasa.

Maka waspadalah selalu dalam kemampuan kita yang rapuh ini. Ingatlah akan praktik korupsi yang telanjang terpajang di ruang publik. Hari-hari ini tuan dan puan melihat orang besar masuk penjara. Menatap orang yang dulu kuat kuasa tak berdaya digelandang ke lapas. Siapa yang memasukkan tuan ke dalam penjara? Ya, tuan dan puan sendiri. Sudahlah bos. Jalani saja! (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang, Senin 18 Januari 2010 halaman 1

Mantan Kadis Nakertrans Divonis 4,5 Tahun Penjara

WAINGAPU, PK---Mantan Kepala Dinas (Kadis) Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Kabupaten Sumba Timur, Yohanes Ola Samon, S.H, divonis bersalah dan dihukum 4,5 tahun penjara. Ola Samon terlibat dalam kasus KKN proyek pembangunan 75 unit rumah translok di Papuu, Kelurahan Watumbaka, Pandawai, Kabupaten Sumba Timur tahun 2007.

Putusan 4,5 tahun penjara bagi Ola Samon ini disampaikan dalam sidang yang dipimpin Majelis Hakim Pasti Tarigan, S.H (ketua), Fransiska Paula Dari Nini, S.H (anggota) dan Abang Marthen Bunga, S.H di Pengadilan Negeri Waingapu, Jumat (15/1/2010) sore.

Ola Samon dinilai bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama, baik sebagai orang yang melakukan atau turut melakukan secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang menyebabkan kerugian negara senilai Rp 172,400 juta.
Majelis hakim juga menilai perbuatan terdakwa menyebabkan masyarakat penerima 75 unit rumah translok itu tidak mendapatkan rumah layak huni.

Putusan majelin hakim tersebut sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Majelis hakim dalam amar putusannya, mengatakan, Ola Samon terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dan diancam pidana dalam pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Pertimbangan yang memberatkan, menurut majelis hakim, ialah perbuatan terdakwa mengakibatkan kerugian negara senilai Rp 172, 400 juta lebih, menyebabkan rakyat pemilik rumah translok tersebut kehilangan hak atas rumah layak huni. Sementara unsur yang meringankan terdakwa, yakni terdakwa sopan selama persidangan dan masih mempunyai tanggungan keluarga.

Selain Ola Samon, terdakwa lain, yakni Marthen Namudala, ST, menurut rencana akan divonis Selasa (19/1/2010). Tiga terdakwa lainnya masih dalam proses persidangan. Sedangkan Januar Untono proses hukumnya berlarut-larut dan belum ditahan karena alasan kesehatan. Satu lagi tersangka, Yopy Marambajawa, juga belum ditahan meski statusnya sudah tersangka.

Tim JPU yang diwakili Putro Haryanto mengaku puas dengan vonis tersebut. Sedangkan kuasa hukum terdakwa, Matius K Remijawa, S.H, yang ditemui di luar ruang sidang mengatakan akan menempuh upaya banding. "Kita pasti banding. Vonis yang dijatuhkan majelis hakim terlalu tinggi," kata Remijawa.
Majelis hakim memberikan waktu tujuh hari kepada terdakwa dan kuasa hukumnya untuk menyampaikan sikap. (dea)

Pos Kupang Minggu, 17 Januari 2010 halaman 1

Tukang


PANITIA pembangunan sebuah rumah ibadah sungguh dibikin repot. Batu bata, pasir, besi dan semen sudah tersedia. Demikian pula dengan seng, kosen pintu dan jendela. Dana cadangan pun sudah siap. Panitia tinggal mencari tukang untuk merampungkan rumah ibadah tersebut.

Selain mengumumkan lewat mimbar rumah ibadah saat kebaktian dan iklan lewat radio, anggota panitia juga mendatangi para tukang yang mereka kenal. Apa daya. Dari limabelas orang tukang yang dibutuhkan, yang mendaftarkan diri hanya tiga orang. Dengan tiga tenaga tukang, mustahil pembangunan rumah ibadah itu selesai tepat waktu. Rencana mulia tertunda.

Panitia menelusuri lebih jauh mengapa jumlah tukang yang mendaftar sangat minim. Padahal upah untuk mereka sesuai standar yang berlaku umum. Panitia kemudian mendapat jawaban mengejutkan. Sebagian besar tukang sudah mendapat order pekerjaan proyek fisik pemerintah dan perorangan. "Saat begini baru orang menyadari betapa pentingnya seorang tukang," kata arsitek rumah ibadah tersebut. Dia tergolong arsitek terkemuka di beranda Flobamora.


Tak mudah mendapatkan tukang rupanya bukan masalah NTT saja. Seorang teman asal Manado mengisahkan pengalaman serupa. Saat membangun gedung kantor surat kabar dan percetakan di ibu kota Propinsi Sulawesi Utara tersebut tahun lalu, pekerjaan sempat terbengkelai gara-gara kesulitan tukang di Manado.

Demi memenuhi target waktu, mereka mendatangkan para tukang dari Propinsi Jawa Timur. Meskipun menambah ongkos, keputusan tersebut harus diambil agar pembangunan kantor sesuai rencana perusahaan. Para tukang asal Jawa Timur diterbangkan dengan pesawat ke Manado. Mereka bekerja fulltime selama tiga bulan hingga gedung selesai.

Contoh lain, pemerintah dan pengusaha Malaysia pernah kelimpungan pada tahun 2007-2008 saat negeri itu mengusir secara paksa ratusan ribu TKI ilegal asal Indonesia. Selain bekerja di perkebunan atau rumah tangga, TKI asal Indonesia umumnya bekerja sebagai tukang. Saat mereka pulang ke Indonesia, pembangunan properti di Malaysia terbengkalai. Mereka mau mendatangkan Tenaga Kerja asal Filipina, tetapi upahnya jauh lebih mahal ketimbang TKI. Masalah ini menjadi laporan utama media massa di negeri itu. Pengusaha setempat menjerit lalu mendesak pemerintah Malaysia agar sedikit "melonggarkan" aturan bagi TKI.

Begitulah cerita remeh-temeh tentang tukang. Beta yakin tuan dan puan pernah mengalami kesulitan mencari tukang, entah untuk membangun rumah tinggal, kantor, tempat usaha atau bangunan lainnya. Tuan harus jauh-jauh hari menghubungi seorang tukang agar dia dapat mengerjakan pesanan tuan sesuai rencana. Cukup sering tuan mesti antre menunggu karena banyaknya order si tukang.

Tukang adalah profesi yang tak pernah masuk daftar utama cita-cita anak Indonesia. Juga putra-putri Flobamora. Sama seperti nihilnya cita-cita menjadi petani, nelayan, loper koran, penjual bakso dan atau penjual sayur di pasar. Tukang adalah profesi yang malu dimasukkan orang di dalam kolom kartu tanda penduduk (KTP).

Cara berpikir kebanyakan dari kita masih sama dan sebangun. Spirit gantungkan cita-citamu setinggi langit dimengerti sebagai cita-cita menjadi pilot, dokter, polisi, tentara, PNS, anggota DPR, gubernur, bupati, walikota, presiden. Gantungkan cita-cita setinggi langit dimaknai sekadar pekerjaan atau profesi yang dianggap "bersih". Bukan menjadi tukang kayu dan batu.

Beta ingat kata-kata bijak. Sebuah kota dibangun oleh para tukang, bukan dokter, bukan pilot. Bukan polisi atau tentara. Tukang menyumbang kontribusi besar terhadap peradaban manusia yang gilang-gemilang lewat berbagai wujud bangunan terkenal.

Ketika orang mengagung-agungkan Tembok Cina, Borobudur, Taj Mahal, Monas, Menara Eiffel bahkan kini Burj Dubai sebagai bangunan tertinggi di dunia, orang melupakan tukang yang telah menyusun batu, pasir, semen dan baja untuk kemegahan itu.

Jejak dunia adalah jejak para tukang. Itulah yang banyak orang lupa. Dunia hanya mengenang arsiteknya atau penguasa yang memerintah saat bangunan itu didirikan.

Jadi, tak ada salahnya mendorong putra-putri Flobamora menekuni pekerjaan tukang. Coba lihat sekitar tuan dan puan, siapakah tukang las, siapakah tukang mebeler, tukang fermak (baca: rombak) kursi sofa dan lain-lain. Mereka bisa hidup makmur dan sejahtera sebagai tukang.

Barangkali kita perlu belajar dari Om Lipus, tetanggaku asal Kefamenanu, Timor Tengah Utara (TTU) yang berprofesi sebagai tukang. Seperti umumnya anak TTU yang bekerja sebagai tukang, dia sangat bangga dan mencintai pekerjaannya. "Beta sewa anak kuliah karena tukang. Bisa bangun rumah tembok karena tukang. Beta bisa hidup karena tukang," begitu kata-kata Om Lipus. Bangga dan mencintai profesi apa pun yang kita jalani. Kiranya itu pelajaran dari Om Lipus. Terima kasih para tukang sedunia. (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang Senin, 11 Januari 2010 halaman 1

Pinjaman kepada Matutina Dimasukkan sebagai Piutang

ENDE, PK--Pemberian pinjaman kepada pengusaha Sam Matutina senilai Rp 3,5 miliar oleh Pemkab Ende dalam dua tahun anggaran (2005 dan 2008) dimasukkan sebagai piutang Pemkab Ende.

Dengan demikian total piutang Pemkab Ende hingga TA 2010 ini mencapai Rp 6 miliar, dengan perincian Rp 3,5 miliar kepada Sam Matutina dan sisanya adalah uang yang disalahgunakan oleh oknum PNS dalam lingkup Pemkab Ende.

Demikian dijelaskan Kepala Dinas (Kadis) Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (PKAD) Kabupaten Ende, Abdul Syukur Muhamad, menjawab Pos Kupang di ruang kerjanya, Jumat (15/1/2010) siang. Abdul ditanya mengenai penyelesaian uang Pemkab Ende yang dipinjamkan kepada Sam Matutina sebesar Rp 3,5 miliar.

Abdul mengatakan, alasan memasukkan uang yang dipinjamkan kepada Sam Matutina sebagai piutang Pemkab Ende karena nomenklaturnya adalah pinjaman. Sedangkan piutang lainnya adalah piutang Pemkab Ende pada oknum PNS dan juga instansi serta lembaga pemerintah dan non pemerintah yang meminjam uang dari pemerintah. Juga ada yang disalahgunakan. "Salah satunya adalah pinjaman yang dilakukan oleh orang yang melakukan evakuasi KM Nusa Damai senilai Rp 400 juta. Itu dimasukkan sebagai piutang Pemkab Ende," kata Abdul.

Dikatakannya, terungkapnya piutang Pemkab Ende senilai Rp 6 miliar itu berdasarkan hasil audit lembaga pengaudit keuangan negara seperti BPK dan juga BPKP NTT. Lembaga pengaudit ini melakukan audit terhadap penggunaan keuangan daerah setiap tahun anggaran hingga tahun anggaran 2009.

Abdul mengatakan, segala jenis piutang Pemkab Ende, termasuk di dalamnya uang yang dipinjamkan kepada Sam Matutina, senilai Rp 6 miliar akan dimasukkan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Ende dengan nomenklatur pendapatan lain-lain yang sah. Hal tersebut sudah dibicarakan dengan DPRD Kabupaten Ende.

Lebih lanjut Abdul mengatakan, karena dimasukkan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah, maka pihaknya akan berusaha menagih semua utang yang ada pada pihak ketiga. Dengan demikian, target PAD Kabupaten Ende di TA 2010 senilai Rp 26 miliar diharapkan dapat tercapai. Untuk menagih utang-utang di pihak ketiga, pemerintah telah membentuk tim yang dinamakan Tim Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi (TPTGR).

Secara terpisah anggota DPRD Kabupaten Ende, Heribertus Gani, S.Pd, mengakui bahwa utang Pemkab Ende senilai Rp 6 miliar itu telah dibahas di DPRD Kabupaten Ende. Utang tersebut disebabkan oleh pinjaman kepada pihak ketiga dan piutang hasil penjualan aset-aset pemerintah serta kesalahan pembayaran yang dilakukan oleh bendahara di masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD) lingkup Pemkab Ende.

Terhadap utang itu, Heribertus meminta kepada pemerintah melalui TPTGR yang telah dibentuk agar lebih intens melakukan penagihan.

Seperti diketahui, bobolnya APBD Ende ikut menyeret mantan Bupati Ende, Drs. Paulinus Domi, dan mantan Sekda Ende, Drs. Iskandar Mberu sebagai tersangka. Iskandar Mberu sudah ditahan Kejati NTT, Rabu (6/1/2010) pekan lalu. Untuk memeriksa Paulinus Domi, Kejati NTT masih menunggu surat izin dari presiden. Sementara Sam Matutina ditangkap aparat Kejati NTT di Bandar Udara (Bandara) El Tari Kupang, Kamis (7/1/2010), pukul 06.00 Wita.

Ketiga tersangka ini dijerat hukum karena diduga terlibat dalam kasus korupsi dana APBD Kabupaten Ende dua tahun anggaran (TA), yakni TA 2005 dan TA 2008 dengan total nilai Rp 3.540.058.855,00 (Rp 3,5 miliar lebih). Rinciannya, pada TA 2005 sebesar Rp 1.517.000.000,00 dan TA 2008 sebesar Rp 2.023.058.855,00. Dana itu dipinjamkan Pemkab Ende kepada Sam Matutina. (rom)

Pos Kupang 16 Januari 2010 halaman 1

Permintaan Penangguhan Penahanan Matutina Ditolak

KUPANG, PK -- Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTT, Faried Harianto, menolak permintaan penangguhan penahanan tersangka Samuel F Matutina yang diajukan penasehat hukumnya, Johanes Rihi, S.H dan Lorens Mega Man, S.H.

"Tidak akan diberikan penangguhan penahanan. Saya tolak jangan sampai kita dinilai hanya main-main saja dalam penanganan penyidikan suatu kasus korupsi yang melibatkan para tersangka kasus korupsi dana APBD Kabupaten Ende," kata Faried Harianto kepada Pos Kupang, Kamis (14/1/2010).

Kamis kemarin, Kajati NTT berangkat ke Jakarta. Kepergiannya ke Jakarta untuk mempercepat proses pengurusan izin pemeriksaan tersangka Drs. Paulinus Domi, mantan Bupati Ende.

"Hari ini (Kamis 14/1/2010, Red) saya berangkat ke Jakarta untuk mengurus surat izin pemeriksaan tersangka Paulinus Domi. Memang bulan lalu kita sudah kirim surat permintaan izin ke Mendagri melalui Jaksa Agung, tetapi suratnya belum diterima sampai sekarang, sehingga saya membawa lagi satu kopian surat tersebut," kata Harianto.

Dijelaskannya, pemeriksaan terhadap Drs. Paulinus Domi belum dapat dilakukan karena masih terbentur izin dari Mendagri.

"Saya berangkat ke Jakarta untuk mengurus izin pemeriksaan. Kita harapkan izin itu cepat dikeluarkan agar pemeriksaan tersangka cepat dilakukan sehingga kasus ini segera dilimpahkan ke pengadilan. Saya menginginkan penanganan kasus korupsi APBD Ende ini cepat selesai," kata Harianto. (ben)

Pos Kupang 15 Januari 2010 halaman 15

Mberu 'Pojokkan' Paulinus Domi

KUPANG, PK -- Keterangan mantan Sekda Ende, Drs. Iskandar Mberu saat diperiksa sebagai tersangka kasus korupsi dana ABPD Ende senilai Rp 3,5 miliar, "memojokkan" mantan Bupati Ende, Drs. Paulinus Domi, yang juga tersangka dalam kasus yang sama.

Hal itu dikatakan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTT, Faried Harianto, S,H, MH dan Wakajati NTT, Suhardi, S,H menjawab Pos Kupang di kantor Kejati NTT, Senin (11/1/2010).

Saat diperiksa penyidik jaksa di Kejati NTT, Mberu mengatakan bahwa pemberian pinjaman dana Rp 3,5 miliar kepada Samuel Matutina (juga tersangka dalam kasus yang sama), atas perintah Paulinus Domi. Dana Rp 3,5 miliar itu diambil dari dana APBD tahun 2005 dan 2008, dari pos anggaran tidak tersangka.

Saat itu, Mberu menjabat sebagai Sekda Ende dan Paulinus Domi menjadi Bupati Ende. Sedangkan Samuel Matutina adalah pengusaha. Saat ini Mberu sudah pensiun. Sedangkan Paulinus Domi sudah menjadi anggota DPRD NTT. Matutina dan Mberu sudah ditahan sedangkan Paulinus Domi belum ditahan.

Keterangan tersangka Mberu yang memberatkan Paulinus Domi itu disampaikan saat diperiksa di Kejati NTT, Senin (11/1/2010). Keterangan Mberu itu dalam kapasitasnya sebagai saksi terhadap Paulinus Domi dan Samuel Matutina.

"Sesuai keterangan dari tersangka Iskandar Mberu dalam BAP bahwa pencairan dana itu atas perintah Paulinus Domi. Tersangka Iskandar Mberu hanya memberikan paraf dalam urusan administrasinya. Paraf itu membuktikan tersangka Iskandar Mberu juga terlibat. Jadi ketiganya (Mberu, Domi dan Matutina, Red) terlibat," kata Faried Harianto.

Faried Harianto yang didampingi wakilnya, Suhardi, S.H, menjelaskan, sesuai keterangan Iskandar Mberu, dana Rp 3,5 miliar itu semuanya diserahkan kepada tersangka Samuel Matutina.

"Hal itu juga diakui tersangka Samuel Matutina dalam keterangannya kepada penyidik bahwa dana itu diterima oleh tersangka," kata Suhardi yang menjadi ketua tim penyidik kasus tersebut.

Sesuai keterangan tersangka Samuel Matutina, sebelum dilakukan pencairan dana Rp 3,5 miliar itu, ketiga tersangka (Paulinus Domi, Iskandar Mberu dan Samuel Matutina) sempat membahas proses pencairan dana tersebut di ruang kerja Paulus Domi yang saat itu menjabat Bupati Ende.

"Jadi unsur keterlibatan ketiga tersangka sudah jelas. Jadi tidak ada tersangka yang lepas dari jeratan hukum, Semuanya terlibat," tegas Faried Harianto.

Tentang siapa lagi yang mungkin ikut menikmati dana Rp 3,5 miliar itu, Faried Harianto mengatakan bahwa masih dalam proses penyelidikan.

"Saya tidak bisa menyampaikan kepada kalian siapa- siapa saja yang ikut menerima dana, itu tidak etis," ujarnya.

Dia menambahkan bahwa target penyelesaian proses penyidikan kasus tersebut adalah akhir Januari 2010. "Kita inginkan bulan Februari kasus ini sudah dilimpahkan ke JPU sehingga penyidik terus bekerja keras untuk merampungkan BAP ketiga tersangka," ujarnya.

Di tempat terpisah, Paulinus Domi yang dimintai komentarnya tentang statusnya sebagai tersangka dalam kasus tersebut, mengatakan bahwa biarlah proses hukum kasus itu berjalan.

"Biarkan proses hukum itu berjalan," ujarnya singkat menjawab Pos Kupang, kemarin

Ditanya tentang apa pertimbangannya sehingga mengambil dana dari APBD untuk dipinjamkan ke pengusaha, dia enggan berkomentar. "Kalau soal itu, jangan ganggu saya dulu," katanya. (ben/gem)


Kejati Tidak Punya Target

KEJAKSAAN Tinggi (Kejati) NTT tidak memiliki target jumlah kasus korupsi yang harus ditangani dalam tahun 2010. Namun apabila ditemukan ada kasus korupsi maka pasti diusut sampai tuntas.

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTT, Faried Harianto, S,H M.H mengatakan itu, menjawab Pos Kupang di kantornya, Senin (11/1/2010).

Dia mengatakan, selama ini tidak ada kasus korupsi yang tidak tuntas diselesaikan oleh Kejati NTT.
"Tidak ada kasus korupsi yang tidak tuntas di tangan kita, semua sampai ke pengadilan. Kalaupun ada kasus yang diputuskan bebas di PN, maka itu merupakan kewenangan hakim yang memutuskan. Prinsipnya Kejaksaan di NTT sudah bertindak profesional dalam mengusut kasus-kasus korupsi," kata Faried Harianto yang saat itu didampingi wakilnya, Suhardi, S,H.

Dia menyebut beberapa kasus korupsi yang ditangani
tahun 2009. Kasus-kasus itu di antaranya, kasus korupsi dana proyek pembangunan kantor Bupati Rote Ndao; kasus dana pensiun Bank NTT dengan kerugian negara Rp 28 miliar lebih; kasus korupsi dana proyek pengadaan benih di Kabupaten Kupang senilai Rp 1,4 miliar.

"Tidak ada (kasus) yang tertungak selama ini. Semua kasus itu sudah memasuki tahapan penuntutan di pengadilan," katanya.

Di awal tahun 2010 ini, kata dia, ada dua kasus korupsi yang ditangani termasuk kasus korupsi dana APBD Ende senilai Rp 3,5 miliiar. Kasus ini melibatkan tiga tersangka yaitu Samuel Matutina (pengusaha), Drs. Iskandar Mberu (mantan Sekda Ende) dan Drs. Paulinus Domi (mantan Bupati Ende).

"Dua kasus ini sedang dalam penyidikan dan pasti akan berujung ke pengadilan. Setelah dua kasus ini akan ada lagi yang kita proses. Kalian tunggu saja," kata Kajati sambil tersenyum.

Dia mengatakan, selama menjadi Kajati NTT dia tidak memiliki target berapa banyak kasus korupsi yang harus dituntaskan dalam tahun 2010. "Yang namanya kasus korupsi di NTT akan saya sikat. Ada bukti kuat, saya dan Pak Wakajati akan sikat. Siapa pun dia akan kita proses kalau terlibat," kata Faried Harianto dan diamini Wakajati Suhardi. (ben)

Pos Kupang 12 Januari 2010 halaman 1

Matutina Siap Bertanggung Jawab

KUPANG, PK--Samuel Matutina (40), tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana APBD Kabupaten Ende sebesar Rp 3,5 miliiar menyatakan siap bertanggung jawab terhadap kasus tersebut.

"Saya siap bertanggung jawab terhadap kasus ini. Dana Rp 3,5 miliar dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ende memang saya terima untuk penyewaan pesawat udara sesuai kontrak kerja sama dengan Pemkab Ende," ungkap Samuel Matutina, didampingi kuasa hukumnya, Lorens Mega Man, S,H, saat ditemui Pos Kupang di teras Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT, Jumat (8/1/2010).

Matutina ditemui usai diperiksa penyidik Kejati NTT, dan hendak menuju Lembaga Pemasyarakatan (LP) Penfui Kupang. Matutina diperiksa oleh Kepala Seksi (Kasi) Penyidikan Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejati NTT, Yoni E Mallaka, S,H (bukan Yoni Maulaka, Red). Matutina diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Drs. Iskandar Mberu (mantan Sekda Ende), dan tersangka Drs. Paulinus Domi (mantan Bupati Ende).

"Tadi saya diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Iskandar Mberu, dan Paulinus Domi. Saya sudah sampaikan semua keterangan kepada penyidik tadi," kata Matutina.
Matutina mengatakan, dana Rp 3,5 miliar itu digunakan untuk biaya kontrak kerja sama Pemkab Ende untuk menyewa pesawat carteran milik PT Nusantara Air Carter (bukan Pelita Air, Red) pada tahun 2005.

Ketika itu, jelas Matutina, pesawat udara Nusantara Air Carter (NAC) berkapasitas 84 tempat duduk sempat terbang dan melayani masyarakat Kabupaten Ende selama tiga bulan sejak Oktober hingga Desember 2005.

Pesawat tersebut melayani rute penerbangan Surabaya-Denpasar-Ende, Ende - Waingapu -Denpasar. Setelah tiga bulan, kata Matutina, aktivitas penerbangan dihentikan menyusul adanya larangan dari Menhub yang melarang pesawat NAC melakukan penerbangan.

Larangan itu, demikian Matutina dan Lorens Mega Man, karena usia mesin pesawat NAC yang sudah tidak laik terbang. "Setelah kontrak kerja ditandatangani, pesawat tiga bulan terbang ke Ende dan selama tiga bulan itu semua merugi. Tidak pernah untung. Setiap hari saya harus mengeluarkan dana 850 dolar Amerika Serikat (AS) untuk biaya operasional. Dan, dana dari Pemkab Ende itu digunakan biaya carter pesawat dan biaya operasional lainnya," papar Matutina.

Dia mengatakan, rencana keberangkatanya ke Jakarta hari Kamis (7/1/2010) pagi untuk urusan penting, yaitu pencairan dana di salah satu bank di Jakarta. Dana yang akan dicairkan itu, lanjut Matutina, semula untuk mengembalikan dana yang dipinjamkan dari Pemkab Ende.

"Tetapi karena sudah ditahan begini, maka pencairan dana di Jakarta itu batal. Saya tidak memiliki niat untuk melarikan diri. Saya siap bertanggung jawab dan menjalani proses hukum dalam kasus ini," kata Matutina. (ben)


Mberu dan Matutina Olahraga di LP

"SAAT pertama kali saya menyentuh lantai kamar tahanan di LP Penfui, hati saya kurang enak. Pikiran saya langsung teringat pada anak dan istri saya di Jakarta. Saya sempat tertegun beberapa saat dalam kamar karena ingat mereka."

Demikian Samuel Matutina (40), saat bincang-bincang dengan Pos Kupang di Kantor Kejati NTT beberapa saat sebelum ia menuju LP Penfui Kupang, Jumat (8/1/2010).
Matutina datang ke Kantor Kejati NTT mengenakan baju kaos hitam dipadu celana jeans biru tua. Ia tampak rapih. "Sebelum ke sini (Kantor Kejati NTT) tadi sempat mandi di LP," ujarnya.

Ia menyadari masuk tahanan karena terseret kasus korupsi dana APBD Kabupaten Ende sebesar Rp 3,5 miliar, merupakan risiko yang harus dijalani dengan hati yang lapang. "Saya tidak menginginkan hal seperti ini terjadi. Tetapi, mau bilang apa, semua sudah terjadi," kata Matutina.

Malam pertama mendekam di balik jeruji tahanan LP Penfui, Kamis (7/1/2010) sore bagi Matutina begitu berat. Tidak ada yang datang menghibur. Semua napi memilih berada dalam ruang tahanannya masing-masing, termasuk Drs. Iskandar Mberu, mantan Sekda Ende yang berbeda blok tahanan dengan Matutina.

"Saya mau tidur tidak bisa. Beberapa saat datang seorang tahanan yang masih mudah menyerahkan injil untuk saya baca. Saya baca injil itu sampai tertidur. Saya kaget ketika lonceng LP bunyi pada pukul 06.00 pagi. Banyak sekali nyamuk, tetapi karena kelelahan membaca injil membuat saya tidur lelap di lantai beralaskan karpet. Gigitan nyamuk tidak terasa lagi karena tertidur lelap," tutur Matutina. Ia bersebelahan kamar tahanan dengan Siswanto, tersangka kasus korupsi dana pensiun Bank NTT.

Hari Jumat (8/1/2010), bagi Matutina merupakan hari pertama untuk bersosialisasi dengan narapidana (napi) lainya di LP Penfui Kupang. Ada rasa canggung untuk keluar dari tahanan karena dihantui rasa malu. Namun, beberapa napi sempat memanggilnya agar keluar dari ruang tahanan.

"Saya dipanggil Pak Moedak, dan Valens Seran berkumpul di lapangan untuk berolahraga. Saya memberanikan diri keluar untuk berkenalan dengan mereka. Ternyata mereka juga terlibat dalam kasus seperti yang saya alami. Kami hanya olahraga ringan saja," ujarnya.

Saat menuju lapangan tempat olahraga di LP Matutina sempat berpapasan dengan Iskandar Mberu, tersangka kasus korupsi dana APBD Kabupaten Ende senilai Rp 3,5 miliar. Ketika itu Iskandar Mberu hanya mengenakan celana pendek dan baju kaos.

Matutina menuturkan, Iskandar Mberu olahraga ringan melenturkan kedua kakinya sambil menggerakan tubuhnya. "Saya lewat Pak Iskandar masih olahraga. Kami berdua sempat tegur sapa, tetapi tidak lama. Pak Iskandar sempat memintanya untuk memakai celana pendek yang sopan. Memang saya hanya pakai celana pendek yang tipis dan tembus pandang. Saya hanya tertawa saja saat dia ngomong itu. Sudah hampir dua tahun saya tidak bertemu lagi Pak Iskandar. Dan, akhirnya kami bertemu di LP," ujarnya.

Dia mengakui sebagai manusia ada perasaan kurang enak ketika berada di tahanan, karena ruang gerak sangat dibatasi. "Memang, saya ingat anak dan istri saya. Sampai saat ini ketiga anak saya tidak mengetahui kalau saat ini saya sudah ditahan di Kupang. Istri saya sudah tahu. Saya larang mereka datang menjenguk ke Kupang. Ini karerna saya khawatir anak-anak saya trauma. Biar kasus ini saya hadapi sendiri. Sudah menjadi riziko saya," kata Matutina. (benny jahang)

Pos Kupang 9 Januari 2010 halaman 1

Izin Penangguhan Mberu Ditolak

KAJATI NTT, Faried Haryanto, S,H, menolak memberikan penangguhan penahanan terhadap Drs. Iskandar Mberu, tersangka dugaan kasus korupsi dana APBD Kabupaten Ende senilai Rp 3,5 miliiar. Dalam kasus ini Iskandar Mberu, telah diperiksa dan ditahan penyidik Kejati NTT, Rabu (6/1/2010).

"Saya tidak penuhi permintaan itu. Nanti kita bisa dianggap main-main dalam kasus ini, baru ditahan lalu diberikan penangguhan penahanan. Kita tetap tahan tersangka," kata Haryanto, kepada wartawan di kantornya, Kamis (7/1/2010).
Haryanto mengaku telah menerima surat permohonan penangguhan penahanan tersangka Iskandar Mberu, yang diajukan kuasa hukumnya Aloysius Luis Balun (bukan Lois Balun-Red), Kamis (7/1/2010). Permohonan penangguhan penahanan itu, tegas Haryanto, tidak akan dipenuhi.

Dia menjelaskan, tahap pertama Iskandar Mberu akan ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Penfui Kupang selama 20 hari terhitung Rabu (6/1/2010) hingga Senin (25/1/2010). "Kita tahan tersangka selama dua puluh hari," tambahnya.

Dalam kasus korupsi dana APBD Kabupaten Ende sebesar Rp 3,5 miliar itu, demkian Haryanto, tidak perlu lagi meminta audit dari BPKP atau BPK karena unsur korupsinya jelas dengan kerugian negara sebesar Rp 3,5 miliar dari hasil pemeriksaan BPK.

Ketika ditanya surat izin pemeriksaan terhadap mantan Bupati Ende, Drs. Paulinus Domi, Haryanto mengatakan, ia akan segera mengutus Wakajati NTT, Suhardi, S,H, ke Jakarta pekan ini untuk mempercepat proses pemberian izin pemeriksaan terhadap tersangka Paulinus Domi.

Sementara itu, Aloysius Luis Balun, S,H, kuasa hukum tersangka Iskandar Mberu, mengatakan, selain mengajukan permohonan izin penangguhan penahanan terhadap Iskandar Mberu, pihaknya juga mengajukan permohonan izin kepada Kejati NTT agar keluarga dapat membesuk tersangka di LP Penfui Kupang.

"Saya juga sudah mengajukan izin membesuk karena keluarga klien saya ada yang datang dari Ende untuk membesuk beliau di LP. Izinnya sudah dikeluarkan penyidik. Secara umum kondisi Pak Iskandar stabil. Namun belakangan ini beliau menderita sakit ginjal sehingga masih mengkonsumsi obat," kata Luis Balun.

Diberitakan (Pos Kupang, 7/1/2010), Kejati NTT, Rabu (6/1/2010), menahan Drs. Iskandar Mberu, mantan Sekda Ende. Mberu ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Penfui-Kupang.

Iskandar Mberu ditahan karena diduga terlibat kasus korupsi dana APBD Kabupaten Ende dua tahun anggaran (TA), yakni TA 2005 dan TA 2008 dengan total nilai Rp 3.540.058.855,00 (Rp 3,5 miliar lebih). Rinciannya, pada TA 2005 sebesar Rp 1.517.000.000,00 dan TA 2008 sebesar Rp 2.023.058.855,00. Dana itu dipinjamkan Pemkab Ende kepada Samuel Matutina, seorang pengusaha di Ende.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTT, Faried Haryanto, S,H, didampingi Wakil Kajati NTT, Suhardi, S,H, kepada wartawan di kantornya, Rabu kemarin mengatakan, penahanan tersangka Drs. Iskandar Mberu, karena alat bukti yang dimiliki penyidik cukup kuat tentang keterlibatan Iskandar Mberu dalam kasus korupsi dana APBD Kabupaten Ende sebesar Rp 3,5 miliar.

Untuk diketahui Kejati NTT telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus bobolnya dana APBD dua tahun anggaran, yaitu TA 2005 dan 2008 sebesar Rp 3,5 miliar lebih dengan modus pinjaman dana kepada pihak ketiga. Tiga tersangka, yakni Drs. Paulinus Domi, mantan Bupati Ende, Drs. Iskandar Mberu, mantan Sekda Ende, dan Samuel Matutina, pengusaha. (ben)

Pos Kupang 8 Januari 2010 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes