Bedanya Malinda Dee (47) diduga mendapatkan kekayaan dengan cara haram. Karyawati senior Citibank itu menggarong uang nasabah senilai Rp 17 miliar! Sejak pekan lalu perempuan berparas ayu dengan belahan dada yang bikin iri artis Julia Perez tersebut ditahan polisi. Dia berurusan dengan proses hukum yang berpeluang menghantarnya ke balik jeruji besi. Sudah ada bukti permulaan yang cukup bahwa Malinda Dee memang mengambil uang nasabah Citibank untuk memperkaya diri. Modus yang ditempuh Malinda adalah memindahkan dana nasabah ke beberapa perusahaan.
Terkuaknya kasus Malinda Dee mempertegas fakta tentang kejahatan perbankan yang sulit dibasmi. Dari waktu ke waktu ada saja karyawan-karyawati bank yang menyalahgunakan wewenang dan tanggung jawabnya. Sebagai orang dalam mereka tahu betul bagaimana memanfaatkan celah untuk mencuri. Hasil survai menunjukkan, pembobolan bank di Indonesia dominan dilakukan oleh orang dalam, bekerja sama dengan orang dalam atau pelakunya mantan orang dalam. Hanya kurang dari 5 persen dilakukan pihak luar memanfaatkan kelemahan sistem keamanan perbankan.
Hampir semua bank di Indonesia pernah mengalami pembobolan dana oleh orang dalam. Harian Kompas mencatat delapan kasus besar terjadi sejak tahun 2009 dengan total dana yang dirampok lebih dari Rp 270 miliar. Pembobolan terbesar terjadi tanggal 4 Februari 2009 di Bank Mandiri, Jelambar, Jakarta Barat. Cek milik Pemerintah Kabupaten Aceh Utara senilai Rp 200 miliar dipindahkan ke deposito berjangka tiga bulan. Dalam kasus ini Kepala Cabang Bank Mandiri, Jelambar jadi tersangka. Pembobolan oleh Malinda Dee yang terungkap akhir Maret 2011 merupakan kasus ketiga terbesar dalam empat tahun terakhir (Kompas, 31 Maret 2011 hal 1).
Jauh sebelum Malinda Dee beraksi di Jakarta, kasus serupa sudah menghebohkan beranda Flobamora. Enam tahun lalu Kota Kupang geger saat seorang karyawati bank berparas ayu ketahuan mencuri uang nasabah. Dia pun masuk penjara. Hal yang sama terjadi di Kalabahi, Kabupaten Alor. Karyawati bank milik pemerintah melarikan uang nasabah miliaran rupiah.
Begitulah kalau orang gagal mengendalikan diri terkait dengan uang. Kata orang bijak, sifat uang itu hanya dua: kurang dan selalu ingin pergi. Uang selalu ingin pergi dari dompet, dari rekening, dari kartu kredit untuk memuaskan hasrat primitif manusia yaitu belanja. Tidak penting apakah belanja itu atas nama keinginan semata atau benar-benar karena kebutuhan. Bersamaan dengan itu uang hanya mengenal kata kurang. Orang tak pernah mengaku kelebihan uang. Kalau kurang uang, banyak!
Kejahatan oleh orang dalam ibarat tikus yang hidup di dalam rumah atau gedung. Rumah mewah sekalipun tak mungkin luput dari hewan mamalia tersebut. Dia akan selalu bersama dengan penghuni rumah. Jika penghuni lengah si tikus akan mencuri makanan, menggigit kasur, bantal atau pakaian. Itulah hukum alam. Hukum yang menuntut agar manusia senantiasa waspada. Tikus mengingatkan pemilik rumah atau gedung tidak membiarkan segala sesuatu berjalan tanpa kontrol.
Nah, lembaga mana pun perlu menyadari adanya fenomena tikus. Kejahatan perbankan akibat ulah orang dalam bisa terjadi pada lembaga keuangan lainnya atau perusahaan swasta. Jangan sekali-kali percaya bahwa karyawan-karyawati semuanya orang baik dan jujur. Di antara mereka pasti ada yang berkelakuan buruk. Menurut teori kejahatan, penyalahgunaan keuangan terjadi tidak semata karena adanya niat. Jika ada peluang dan kesempatan, orang baik pun bakal tergoda. Prinsipnya tidak ada malaikat di dunia fana ini, sehingga kemungkinan terjadi pencurian uang harus dikunci lewat alat kontrol yang terukur.
Omong-omong soal orang dalam, terminologi ini merupakan warisan Orde Baru. Orang dalam adalah mereka yang memiliki hak istimewa, kesempatan spesial dan peluang emas. Untuk jadi pegawai di suatu instansi, misalnya, peran orang dalam amat menentukan. Jika tuan dan puan tidak punya koneksi dengan orang dalam, jangan harap akan mudah meraih kesempatan kerja. Orang dalam merupakan tokoh kunci. Maka banyak memo atau titipan diberikan kepada orang dalam. Memo itu tidak gratis. Rupa-rupa namanya. Bisa disebut uang terima kasih, uang transport, uang rokok dan sebagainya.
Apakah di zaman ini orang dalam sudah sirna? Aih, jangan salah bro. Orang dalam masa kini menyembul dalam rupa berbeda tetapi tabiatnya masih sama dan sebangun. Ada beberapa kelompok orang dalam yang berbiak di era Reformasi. Sebagai misal, orang dalam yang populer disapa pembisik. Mereka masuk lingkaran dalam kekuasaan. Setiap saat mereka berkesempatan untuk memberi masukan kepada si Bos. Bisikan-bisikan mereka lebih didengar ketimbang bisikan dari orang yang secara formal memang bertanggung jawab soal itu. Pertimbangan dari pembisik lebih mempengaruhi si Bos dalam mengambil keputusan.
Di lingkungan pemerintah, orang dalam masih bertualang bebas. Seorang teman, birokrat tulen dan sarat pengalaman sebagai pamong praja membocorkan rahasia kepada beta belum lama berselang. Menurut dia, dalam proses rekruitmen calon pegawai negeri sipil daerah (CPNSD), yang punya kuasa dan wewenang akan mengatur sedemikian rupa agar formasi itu sesuai dengan latar belakang pendidikan anak atau anggota keluarganya. Cara itu dibalut dengan manis dan rapi sebagai kebutuhan daerah setempat.
Masyarakat umum tak banyak tahu kalau itu cuma akal-akalan orang dalam agar anggota keluarganya bisa masuk. Jadi, tidak penting formasi pegawai disesuaikan dengan kebutuhan riil daerah. Maka tuan dan puan tak perlu heran bila CPNSD yang ahli rancang bangun pesawat, misalnya, justru ditempatkan di Dinas Perkebunan. He-he-he... Bangsa kita terkenal piawai mengutak-atik urusan semacam begini.
Apakah bocoran dari kawan birokrat tadi benar adanya, silakan tuan dan puan telusuri sendiri. Beta sekadar membagi cerita. Jika benar maka sangat disayangkan karena penerimaan pegawai tidak sesuai dengan kebutuhan daerah. Penerimaan pegawai negeri sekadar memenuhi kepentingan orang atau kelompok tertentu.
Fenomena orang dalam juga kasat mata terjadi dalam alokasi proyek pembangunan setiap tahun anggaran. Kontraktor yang masuk kelompok orang dalam atau lingkaran dalam so pasti memiliki peluang lebih besar untuk menang tender.Keributan dalam tender proyek di berbagai daerah di NTT mencerminkan indikasi tersebut benar. (dionbata@yahoo.com)
Pos Kupang, Senin 11 April 2011 halaman 1