|
ilustrasi |
"SALA...sala...sala... Tombaknya menikam rusuk kanan seekor babi hutan. Babi hutan itu sempat bangun dan ingin berlari lagi, lalu terguling beberapa kali, dan akhirnya mati.
Itulah teriakan Sipri Koba, ketika ia berhasil menombak seekor babi hutan saat berburu bersama warga sekampungnya, beberapa waktu lalu. Teriakan Sipri Koba disambut teriakan histeris kelompok perempuan, "Sa'i...sa'i...sa'i (dapat, dapat, dapat). Teriakan yang sama dilakukan kelompok perempuan lainnya yang sudah menunggu di pinggir kebun atau hutan.
Teriakan kegembiraan kaum perempuan ini bisa didengar sampai di kampung atau di bawah bukit. Dan, teriakan ini juga menjadi pertanda bahwa perburuan kali ini berhasil. Inilah kebiasaan orang Kampung Adat Bhela, ketika tikaman tombaknya mengenai sasaran.
Teriakan sala artinya salah, merupakan kebalikan dari kenyataan sesungguhnya bahwa ternyata yang ditombak tepat pada sasaran atau kena. Kebiasaan orang Bhela, setiap orang yang berburu sudah tahu posisi, siapa penombak pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Di posisi mana mereka harus menunggu atau berdiri.
Biasanya dengan kuda dan tombak, mereka sudah menunggu pada jalur-jalur jalan (nete), di mana babi hutan atau rusa melewati nete tersebut. Tidak ada teriakan atau dialog, tapi mereka sudah dalam posisi mengintai dan diam untuk siap menombak babi hutan atau rusa. Para pemburu segera tahu kalau babi hutan atau rusa melewati jalan atau nete, dari gonggongan anjing berburu yang mereka lepas ke hutan.
Sebelum berburu ada ritual yang harus dilakukan oleh kepala kampung. Dia akan memberi pengumuman kepada warga kampung untuk siap-siap pergi. "Eiiiiii... oga yeta oga lau. Eye poa woka toni, yua mai to'o tenge (memanggil orang-orang di kampung untuk pergi berburu)." Demikian Falentinus Nuga, tua adat Sa'o Beba di Kampung Adat Bhela berteriak pada malam hari memberitahukan kepada warga untuk siap berburu babi hutan dan rusa di hutan atau padang.
Saat melakukan ritual itu, kaki kanannya bertumpu pada watu meye (batu besar) dan kaki kirinya menginjak watu nabe (batu persegi yang rata) sang tua adat mewartakan (enga dai) kepada segenap warga suku Bhela tanda dimulainya masa berburu atau dai.
Menurut kalender adat suku Bhela, enga dai dilakukan pada puncak musim panas, saat bulan masih terpendam atau belum muncul (wula so'o). Sehari setelah enga dai dilakukan sang tetua adat, kira-kira pukul 18.00 Wita masing-masing bhisu atau rumah adat (semuanya ada enam bhisu) menyiapkan satu anakan pisang untuk ditanam pada lokasi yang telah disepakati dan menyiapkan enam ekor ayam sesuai jumlah rumah adat untuk dibuat ritual permohonan kepada Dewa Yeta -Ga'e Yale (Tuhan) dan leluhur.
Uniknya, ayam tidak disembelih tetapi lehernya diselipkan pada belahan aur yang ditancap. Setelah ayam dibakar, salah satu tetua adat yang berpengalaman akan melihat hati ayam (tanga ate manu) untuk memprediksikan hasil buruan. Dengan melihat hati ayam dapat diketahui apakah perburuan tahun ini berjalan sukes atau malah tidak dapat buruan sama sekali.
Keyakinan orang Bhela, ada korelasi antara hasil buruan dan hasil panen. Kalau hasil buruan banyak, maka panenan juga melimpah, sebaliknya kalau hasilnya kurang atau atau tidak dapat sama sekali maka berdampak pada berkurangnya hasil panen atau yang paling ekstrim adalah gagal panen.
Pada saat ini juga dibahas strategi berburu, termasuk titik-titik penyergapan, di wilayah mana anjing-anjing pemburu mulai dilepaskan. Senjata utama yang biasa dipakai untuk berburu adalah tombak (tuba) dan tombak berkait (bhou). Dai pada suku Bhela berlangsung selama empat hari dai berlangsung ada sejumlah pantangan yang harus diikuti seperti dilarang menyalakan api, dilarang ke kebun dan menggali hasil kebun, dan warga suku dilarang membawa kayu api ke dalam rumah. Pelanggaran terhadap pantangan ini adalah poke sega atau mengambil dan menikam secara paksa ternak piaraan milik warga suku yang melanggar.
Sistem pembagian hasil buruan pada masyarakat Bhela sudah diatur turun-temurun.
Penikam pertama biasanya berhak mendapat kepala. Sedangkan penikam berikutnya mendapat bagian ekor. Daging sisanya dimasak dan dibagi merata seluruh anggota suku yang hadir. Selain itu, anjing pemburu juga mendapatkan bagian (lama lako).
Rafael Susu, salah satu tokoh adat Suku Bhela mengatakan, dai pada orang Bhela menjadi penanda pembukaan kalender adat dan dimulainya pembersihan lahan. Selain mengusir hama dari kebun-kebun petani, dai juga menjadi sarana pemersatu dan pengikat tali persaudaraan dan kekeluargaan dalam suku dan antar suku.
Suku Bhela hanya salah satu dari suku-suku di Nagekeo yang melaksanakan dai atau perburuan adat. Suku-suku lain yang melakukan tradisi ini antara lain Doa, Lea, Geyu, Ute, Toto, Tedamude, Aja, Redu, Lape, Dhawe, Labo, Olaia, dan lain-lain.
Di Nagekeo, berburu tidak sekadar hobi, tetapi telah menjadi tradisi melalui serangkaian ritual yang diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Tradisi berburu di Nagekeo juga berkaitan erat dengan ketahanan pangan masyarakat setempat. Namanya saja yang berbeda. Ada yang menyebut berburu dengan dai seperti di Bhela, Lea, Ute, Toto, Geyu dan Ndora. Ada juga yang menyebut To'a Lako untuk masyarakat Boawae, Tedamude dan desa-desa di Kecamatan Aesesa Selatan.
Salah satu tokoh adat, Pius Mare, ditemui di Mbay pekan lalu, menuturkan, dai atau berburu bertujuan mengusir hama babi hutan, rusa dan monyet yang diyakini akan merusak tanaman pangan masyarakat setempat. "Tujuan utamanya mengantisipasi rawan pangan karena gagal panen akibat diserang babi hutan atau rusa" kata Pius.
Sejak zaman dahulu, rusa, babi hutan dan monyet menjadi hama perusak tanaman pertanian milik warga petani setempat. Karena itu, sebelum tanam, hama-hama itu harus disingkirkan. Dengan demikian, ketika musim hujan lahan milik petani sudah bersih dari hama-hama tersebut.
Sebagaimana terjadi pada komunitas adat Bhela, orang Ndora juga mengenal dai dengan keseluruhan tahapan-tahapan yang harus dilalui. Dai diawali dengan enga dai (undangan berburu) yang disampaikan dengan teriakan oleh fungsionaris adat setempat dari atas bukit tiga hari sebelum kegiatan berburu.
Isinya memberitahu masyarakat Ndora di dataran atau kampung (zili peda) musim berburu sudah tiba. Dalam enga dai itu juga disampaikan kalau esok hari (eza poa) pati kote bhego mao (semua masyarakat yang akan berburu lengkap dengan peralatan berburu seperti tombak, kuda dan anjing berkumpul di padang).
Waktu berkumpul malam hari. Pada malam itu, sambil menunggu pagi, masyarakat bersama-sama memasak nasi bambu (kose). Nasi bambu yang dimasak bukan untuk disantap malam itu. Nasi itu baru boleh disantap pada pagi hari sekitar pukul 04.00 Wita atau pukul 05.00 Wita. Pada malam kose, masyarakat hanya boleh makan umbi-umbian yang dibakar.
Pisang termasuk salah satu jenis pangan yang dilarang konsumsi selama musim berburu. Kalau ada yang melanggar, akibatnya celaka selama berburu. Yang bersangkutan bisa jatuh dari kuda, digigit babi hutan atau terkena tombak. Hari kedua disebut masa pemantapan persiapan baik berupa pengaturan strategi berburu dan pengaturan kelengkapan. Hari ketiga baru masuk dengan kegiatan berburu.
Menurut Pius Mare, waktu berburu sesungguh hanya empat hari, dua hari di padang (dai mala) dan dua hari di gunung (dai keli). Hari kelima disebut wono lako atau hari terakhir berburu. Seluruh kepala hewan hasil buruan dikumpulkan lalu digelar upacara sule ulu (upacara kemenangan dengan mempersembahkan kepala hewan buruan).Hari keenam disebut ie (masa tenang). Pada hari itu, seluruh orang Ndora tidak boleh melakukan aktivitas seperti masuk kebun dan lain-lain.
Frans Kogha, salah seorang masyarakat adat Ndora mengatakan, selama dai ada pantangan atau larangan yang tidak boleh dilanggar, seperti tidak boleh menyalakan api dan tidak boleh terima tamu. Orang yang hendak bertamu hanya bisa diterima sore hari, setelah para pemburu pulang dari hutan. Menerima tamu pada waktu berburu diyakini bisa mengusir rezeki, tidak akan mendapatkan hewan buruannya.
Pembagian hasil buruan ternyata dilakukan dengan cara yang tidak biasa. Setiap orang yang ingin mendapat bagian dari hasil buruan harus berebutan (papa ngebu). Mendapatkan daging buruan dengan cara berebutan ternyata lebih bergengsi karena cara mendapatkannya yang tidak mudah. "Ketika berebutan hasil buruan itu, dinilai ada unjuk kekuatan dan kelincahan. Siapa yang berhasil dapat daging, berarti dia pemenangnya," kata Pius.
Kalau ada anjing yang mengusir (weti lako), pemilik anjing dapat satu lengan. Tukang pikul juga dapat bagian tiga tulang iga. Sedangkan masyarakat seisi kampung tetap mendapat bagian daging hasil berburu. Selama berburu, masyarakat yang terlibat berburu dilarang membawa kayu api dari dalam hutan ke kampung. Begitu juga perempuan yang sedang datang bulan, dilarang ikut berburu. Satu lagi pantangan yang benar-benar tidak boleh dilanggar jika ingin selamat selama berburu. Tidak boleh berhubungan intim suami istri.
Menurut Pius, tidak ada perbedaan antara berburu di masa lalu dan saat ini. Perbedaannya hanya pada jumlah kuda yang digunakan untuk berburu. Kalau dahulu semua orang yang ikut berburu menggunakan kuda, dalam dasawarsa terakhir, jumlah kuda berkurang dan sebagian besar orang yang berburu berjalan kaki. (adiana ahmad/matilde dhiu)
Andreas Corsini Ndona, S.Fil
(Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Nagekeo)
Belum Dilirik BUDAYA berburu di Nagekeo belum dilirik Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sebagai obyek pariwisata. Ketidakpastian jadwal berburu dari setiap kampung menyulitkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisat Nagekeo untuk menjual tradisi ini kepada para wisatawan.
Padahal berburu syarat makna. Selain karena alasan budaya, berburu juga bisa menjadi sarana olahraga dan refreshing tanpa harus mendapatkan hewan buruan. Apalagi, budaya berburu ternyata tidak membatasi orang dari luar untuk mengambil bagian dalam ritual tersebut. Asalkan mematuhi aturan adat yang ada.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Nagekeo, Andreas C Ndona, yang ditemui di kantornya, Senin (28/9/2015), mengatakan, pihaknya kesulitan untuk menjadikan budaya berburu sebagai salah satu obyek wisata karena jadwal berburu tidak pasti. Sama seperti tinju tradisional atau etu.
"Sama sekali belum disentuh karena para fungsionaris adat dari setiap kampung jarang melibatkan kami. Dari cerita yang kami dengar, memang menarik dan bisa dijual kepada wisatawan. Tetapi jadwal yang tidak pasti menjadi kesulitan sendiri," kata Andreas.
Menurut dia, budaya berburu ada kaitan erat dengan ketahanan pangan di daerah-daerah yang memiliki budaya tersebut, seperti di Bhela, Ndora, Boawae, Lambo dan Tedamude.
Kalau budaya itu tidak digelar, demikian Andreas, masyarakat setempat meyakini akan terjadi bencana rawan pangan. Saat ini, lanjutnya, pihaknya masih mendata potensi budaya yang bisa dijadikan obyek pariwisata, termasuk ritual-ritual budaya seperti berburu.
Dari sisi tujuan, kata Andreas, berburu memang diyakini mendatangkan manfaat bagi kehidupan masyarakat setempat dengan tata aturan yang telah digariskan. Namun bagaimana dengan membakar hutan untuk alasan berburu?
Pius Mare, salah satu tokoh adat Ndora mengatakan, dalam budaya berburu tidak pernah
menyuruh orang membakar hutan. Hal yang sama dikuatkan Willem Mite, dari Komunitas Adat Bhela. Pada tradisi dai orang Bhela, tidak kenal membakar hutan atau padang. Alasannya lebih banyak merugikan. (dea)
BUDAYA BERBURU DI NEGEKEO
* Undangan disampaikan tiga hari sebelum berburu
* Senjata yang dipakai
-. Tombak (tuba)
- Tombak berkait (bhou) bentuknya seperti mata kail.
* Berburu pakai kuda dan jalan kaki
* Pantangan sebelum berburu
- Jangan menyalakan api
- Dilarang ke kebun dan menggali hasil kebun
- Dilarang bawa kayu api ke dalam rumah
- Tidak boleh berhubungan intim suami istri.
- Tidak boleh makan pisang
News Analysis Dr. Watu Yohanes Vianey, M.Hum
(Kepala Divisi Penelitian LPPM Unwira)
Strukturasi Praktik BerburuTRADISI berburu dalam budaya lokal pada sub-sub etnik Nage -Keo -Ngada biasanya ditempatkan dalam siklus kalender berbasis budaya pertanian lokal. Jika dikonversikan pada penanggalan Masehi, biasanya terjadi antara pertengahan Agustus dan pertengahan September (Molnar, 2000). Tradisi ini terkait erat dengan ritual dalam agama lokal ('annual ritual hunt'), yang intensinya terkait dengan usaha komunitas manusia untuk berburu 'keadilan kosmis' (cosmic justice) dalam rangka meraih derajat damai sejahtera dan sukacita bersama dengan seluruh isi makhluk 'jagad raya'.
Dalam versi mitos di wilayah sub etnik perbatasan Nage -Keo dan Ngada, yaitu di wilayah Hoga Sara, Hoga Taka, Hoga Are, dan Hoga Rowa (Molnar: 270-272), dikisahkan alasan mengapa tradisi berburu itu wajib dilakukan. Komunitas sub etnik ini legal dan "beriman" jika berburu babi hutan dalam rangka merayakan ritual berburu tersebut, yang di wilayah ini disebut Noe Lako. Istilah Noe Lako ini juga menjadi istilah dari kalender tradisionalnya yang berbasis peredaran bulan. Hal mana ritus itu dibuka pada malam hari saat "Wula Repa Telu" pada pertengahan September sampai pertengahan Oktober.
Korban tubuh dan darah dari Ine Wio yang dimangsa kawanan babi hutan pada masa lalu, dan korban dari tubuh tanaman masyarakat lokal yang dirusak oleh babi hutan dari masa ke masa, harus dibayar lunas dengan tubuh dan darah dari kawanan babi hutan yang terbantai pada bulan tersebut.
Makna filosofisnya adalah para saudara dari Ine Wio, yaitu Reku dan Rede, serta keturunannya hingga zaman sekarang, yaitu kaum pria, dipanggil untuk berburu kaum "babi hutan" perusak para "Ine Wio" (kaum wanita) dan kaum "babi hutan" perusak "tanaman pangan" (perusak lingkungan hidup). Dengan demikian akan tercipta dan dan terkonservasi keadilan sosial dan keadilan kosmis yang membawa damai sejahtera dan kegembiraan hidup.
Persoalannya adalah apakah praktik ritual berburu babi hutan pada masa sekarang masih relevan? Bukankah populasi babi hutan yang berkeliaran merusak kebun-kebun para petani sudah menuju kepunahan? Bagaimana mengeliminir bahaya kebakaran alam dan kerusakan alam lainnya waktu kegiatan berburu itu berlangsung? Bukankah warga lokal yang merayakan ritual berburu sudah menganut agama-agama universal? Dapatkah ritual berburu itu direkonstruksi atau distrukturasi sebagai salah satu bentuk olahraga dan pertunjukkan pariwisata budaya dan pariwisata alam?
Strukturasi itu dimaknai sebagai penataan relasi-relasi sosial lintas ruang dan waktu berdasarkan dualitas struktur. Dualitas struktur (duality of structre) dalam pandangan Giddens (1995, Watu,2015) menegaskan tentang struktur sosial dalam dunia kehidupan suatu masyarakat sebagai media dan hasil perilaku dari para pendukungnya, yang diorganisasikannya secara dinamis, baik dalam tindakan yang mempertahankan dan menumbuhkan kembangkan struktur yang ada secara produktif dan reproduktif, maupun yang sebaliknya.
Dalam kaca mata strukturasi itu, saya kira masyarakat pendukung budaya berburu dan Pemda Nagekeo dan Ngada sebagai pelayan masyarakat, dapat mereformasi ritual itu menjadi kegiatan olahraga dan pariwisata, tanpa mengabaikan dimensi inkulturasi dan kateketis dari ritualnya dengan kalender liturgi Gerejani dan isi pewartaan Kitab Suci serta doa-doa gerejanya.
Sebagai kegiatan olahraga, masyarakat lokal harus menyiapkan arena berburu. Melalui arena itu dapat diaktualkan semua potensi pariwisata budaya dan pariwisata alamnya. Selanjutnya dari sisi inkuturasi dan kateketisnya menurut saya dapat dilakukan. Bukankah bulan September itu Bulan Kitab Suci dan Bulan Oktober itu Bulan Rosario dalam kalender liturgi Gereja? Maka hemat saya, nilai-nilai dari tradisi berburu itu dapat berjumpa dengan nilai Kitab Suci dan Nilai Rosario.
Salah satu contoh katekesenya adalah sebagai berikut. Umat beriman yang terkasih, jika kita mau menjadi para pemburu hebat di bulan Kitab Suci dan Bulan Rosario ini, marilah kita memantaskan diri sebagai pemburu sejati, yaitu memburu dengan kuasa Allah di atas segala allah (Yes 40), yaitu Allah Tritunggal Maha Kudus. Tujuannya adalah untuk memperoleh kebenaran dan keadilan, damai sejahtera dan sukacita (Rom 14:17), seperti tujuan akhir ritual dan pertunjukkan dari adat istiadat kita di bulan ini.
Srateginya adalah dengan mulai belajar membunuh berbagai karakter "membabi buta" dalam diri sendiri. Modhe pu'u zale one ate -meku pu'u zale one weki. Selanjutnya dalam dan melalui semangat itu, mari di bulan Dai/Noe Lako/Paru Witu ini, kita lestarikan keutamaan keadilan sosial antar pria dan wanita. Modhe ne'e ine weta -meku ne'e ema nara. Selanjutnya terhilir tuntas dalam keutamaan keindahan keadilan kosmis antara manusia dan alam lingkungan. Modhe ne'e masa nama ngaza dia ota ola -meku ne'e masa nama nemi dia tuka tana. (*/nia)
Sumber: Pos Kupang 4 Oktober 2015 halaman 1