Kenangan di Lekebai



Di Lekebai, Sikka Flores 27 Oktober 2005
Waiara, 27 Oktober 2005. Jarum jam menunjuk pukul 12.20 Wita. Di kejauhan sana, puncak Gunung Egon berselimut kabut tipis. Egon sedang ramah. Kota Maumere tampak membentang berhiaskan nyiur melambai.

Persis di depan mata, Pulau Besar, Pemana dan Pulau Babi anggun berdiri. Laut utara Flores tenang membiru. Udara bersih. Semilir angin Waiara Beach menyapu lembut wajah kami. Tapi tak ada keheningan.

Gelak tawa dan canda membahana sepanjang acara makan siang. Sungguh jauh dari suasana formal. Benar-benar bersahaja, apa adanya.

Mereka yang menyantap menu makan siang di restoran Flores Sao Resort hari itu adalah dua tokoh nasional, Frans Seda dan Jakob Oetama serta para petinggi Kelompok Kompas Gramedia (GKG) yaitu August Parengkuan, St. Sularto, Rikard Bagun, Petrus Waworuntu, Wandi S Brata, Julius Pour.

Hadir pula pendiri sekaligus Pemimpin Umum Harian Pos Kupang, Damyan Godho dan Kepala Biro Kompas di Bali, Frans Sarong.


Itulah pertama kali saya mengenal lebih dekat Om August Parengkuan. Om August mendampingi Pak Jakob Oetama dalam kunjungan beliau ke Kupang dan Flores tanggal 26-29 Oktober 2005. Orangnya hangat. Murah senyum. Cepat akrab dengan siapa saja.

Kami sempat pose bersama di depan rumah keluarga Frans Seda di Lekebai, sekitar 40 km barat Kota Maumere. Hari Kamis tanggal 27 Oktober 2005 itu setelah makan siang di Waiara.

Frans Seda mengajak Pak Jakob dan seluruh anggota rombongan dari Jakarta ke Lekebai, kampung asal Frans Seda. Di sana mereka bakar lilin di makam orangtua Frans Seda.

August Parengkuan
Kamis malam itu Frans Seda menjamu sahabatnya Jakob Oetama makan malam di rumahnya di Maumere. Saya ingat malam itu setelah acara di rumah Pak Frans Seda, Om August Parengkuan mengajak Om Damyan Godho dan Frans Sarong melanjutkan acara santai di Flores Sao Resort, Waiara.

Setelah Pak Jakob istirahat, Om August, Om Damyan Godho, Frans Sarong dan lainnya ngobrol macam-macam sambil minum bir. Malam agak larut baru mereka menuju ke pembaringan.

Om August Parengkuan merupakan wartawan perintis di Harian Kompas. Pria kelahiran Surabaya 1 Agustus 1943 bergabung dengan Kompas sejak awal terbit dan menempati sejumlah jabatan penting di antaranya Redaktur Pelaksana Harian Kompas, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Direktur Komunikasi KKG (Kelompok Kompas Gramedia), Presiden Direktur TV7 dan staf Presiden Direktur Kelompok Kompas Gramedia.

August Parengkuan muda sempat bercita-cita menjadi tentara mengikuti jejak ayahnya. Dia juga berniat menjadi diplomat tapi batal. August melamar ke Harian Kompas yang terbit tahun 1965 dan diterima.

Cita-citanya menjadi diplomat baru tercapai setelah pensiun dari Kompas Gramedia. Om August ditunjuk sebagai Duta Besar RI untuk Italia tahun 2012-2017.

Om August memang wartawan hebat. Jaringannya luas dan dikenal piawai dalam melakukan lobi. Tahun 2011 ketika Kupang dipercayakan menjadi tuan rumah peringatan Hari Pers Nasional (HPN), Om August ikut berperan meyakinkan pengurus pusat PWI dan komunitas masyarakat pers nasional. Dalam kapasitasnya sebagai penasihat PWI Pusat, suara Om August didengar.

Meskipun akomodasi di Kupang sangat terbatas kala itu, beliau menyatakan Kupang harus diberi kesempatan jadi tuan rumah agar memberi efek positif di kemudian hari. Saya dengar cerita itu dari Om Damyan Godho (almarhum).

Hari Kamis 17 Oktober 2019 pukul 05.50 WIB, Om August Parengkuan meninggal dunia di Rumah Sakit Medistra Jakarta. Meninggalkan seorang istri dan empat anak dan sembilan orang cucu. Selamat jalan Om August. Tuhan maharahim mendekapmu dalam keabadian. Amin.

Ketewel, Sukawati Gianyar Bali, 17 Oktober 2019

Elegi Buat Badil

Rudy Badil (kiri/CNN.Indonesia)
Oleh Albert Kuhon

+ Adiknya Badil ya?

- Bukan. Kenapa?

+ Tampangnya mirip.

Pertanyaan serupa muncul lagi dari seorang perempuan yang baru datang di lantai III RS Hermina Depok, dekat ruang ICU, Selasa 8 Juli 2019 sore.

Tidak lama kemudian datang seorang lelaki yang usianya sekitar 60 tahun dan menanyakan ha yang sama kepadsaya. Jawaban saya tetap sama: “Bukan.”

Saya memang bukan siapa-siapanya Badil. Saya cuma merasa dekat dengannya, seperti sejumlah teman-temannya yang lain.

Bayangkan, kami berkenalan sekitar tahun 1981, tetapi Kamis 11 Juni 2019 saya baru tahu bahwa nama lengkap Badil adalah Rudy David Badil Mesmana. Sebelumnya saya cuma tahu namanya Rudy Badil. Titik.

Padahal selama kurun waktu 1981-1986, sewaktu kami masih bersama-sama jadi wartawan Harian Kompas, kami sering berpergian bersama ke pelosok.

Kami juga sering tidur bersama di kursi-kursi kantor redaksi Kompas, karena menulis laporan sampai larut malam dan sudah tidak ada kendaraan umum buat pulang ke tempat kos.

Kamis 11 Juli 2019 itu, saya baru paham bahwa Badil lahir 25 November 1945. Artinya, lebih tua dibandingkan Raymond Toruan yang pernah jadi bos kami berdua di Redaksi Kompas.

Sore itu Raymond pun baru sadar bahwa selama puluhan tahun ini dia ‘kecolongan’, sewaktu kami melayat Badil di Rumah Duka Heaven di RS Dharmais, Slipi, Jakarta Barat.

Beberapa meter dari jarak kami berbincang, Badil terbujur kaku dalam peti. Tubuhnya gagah berpakaian jas.

Jauh lebih gagah katimbang kondisi terakhirnya. Beberapa tahun terakhir, Badil selalu menggunakan tongkat sehabis kakinya patah akibat ketabrak ojek.

Jumat 12 Juli 2019 siang saya baru tahu bahwa sebetulnya Badil adalah nama julukan yang dicomot dari nama seorang tukang becak asal Tegal.
Tukang becak itu dulu sering mangkal di dekat rumah Badil ketika dia tinggal di Pondok Rotan, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat. Nasib Badil palsu, jauh lebih baik katimbang Badil yang asli.

 “Kalau ketemu lagi, gua mau kasihduit buat bantu kehidupan dia di kampungnya,” Don Hasman menuturkan kembali kalimat Badil tentang tukang becak itu.

Hebat

Badil itu hebat lho! Dia masuk sebagai wartawan Kompas dua tahun lebih awal dari saya. Tetapi, sebelumnya sekitar tahun 1976-78 saya pernah ‘bertemu’ dengannya.

Ketika itu saya masih wartawan Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta. Waktu itu di Yogya sedang dilaksanakan syuting film November 1928.

Saya mengomentari naskah yang mendasari syuting film tersebut dalam salah satu laporan di Kedaulatan Rakyat.

Saya bilang, sebetulnya ada beberapa adegan dalam film itu yang dijiplak dari naskah drama Monserrat karya Emmanuel Robles, penulis Perancis.
Keesokan harinya Teguh Karya, sutradara film November 1928, memberi keterangan pers menanggapi komentar saya.

Dalam salah satu masa sekitar pertengahan dekade 1980an di Redaksi Kompas, saya dan Badil bersama beberapa teman mengobrol tentang dunia perfilman serta drama.

Lalu muncul nama Teguh Karya dan film November 1928 dalam perbicangan itu. Saya ceritakan betapa saya pernah mengulas naskah yang menurut saya sebagian ‘dijiplak’ dari naskah drama perjuangan kemerdekaan di Amerika Latin yang berjudul ‘Monserrat’.

Saya ingat reaksi Badil dalam diskusi itu: “Sekarang gue inget. Gara-gara tulisan di Kedaulatan Rakyat itu, kita harus ubah naskah dan retake adegan-adegannya. Ternyata loe biang keroknya...”

Sungguh, saya tidak tahu bahwa tangan Badil juga menjamah naskah dan pembuatan film tersebut. Saya paham jejak kaki Badil ada di semua gunung yang pernah saya daki.

Jumlah gunung yang sudah dikencingi Badil (bersama Don Hasman, Norman Edwin dan Utun maupun tidak), jauh lebih banyak dibanding jumlah gunung yang pernah saya kencingi.

Tapi sewaktu saya jadi wartawan di Yogyakartta tahun 1970-an, saya belum kenal Badil. Dan saya tidak tahu bahwa Badil ada di balik pembuatan film November 1928 yang sempat terkenal pada zamannya.

Jejak Badil

Badil sudah menyandang ‘nokeng’ dari pedalaman Papua sewaktu saya baru sempat berkelana di pelosok Jawa dan Sumatera. Badil yang memperkenalkan ukiran Suku Asmat lewat tulisan-tulisannya.

Saking seringnya Badil keluar-masuk pedalaman Papua (waktu itu kita sebut Irian Jaya), saya dan teman-teman menjulukinya ‘ondoafi’ (bangsawan Papua).

Badil juga dekat dengan kegiatan mahasiswa dan tokoh-tokoh mahasiswa Universitas Indonesia. Salah satu sosok yang sangat dekat dengannya adalah Soe Hok Gie (adik Arief Budiman).

Soe Hok Gie adalah penentang kediktatoran, dari zaman Presiden Soekarno sampai zaman Presiden Soeharto.

Ia lebih tua sekitar tiga tahun dibandingkan Badil. Keduanya sama-sama pendaki gunung dan sama-sama berkuliah di Fakultas Sastra UI. Soe Hok Gie meninggal di Gunung Semeru tahun 1969.

Jejak Badil sungguh ada di mana-mana. Badil bersama Erna Witoelar (pegiat lingkungan hidup yang sempat jadi menteri) dan George Aditjondro (pegiat lingkungan hidup yang kemudian lulus doktor dan jadi dosen dan pengamat ekonomi-politik), pada tahun 1980an, adalah orang-orang yang memelopori berdirinya Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).

Konon, Badil dan Erna Witoelar juga yang mengajari Emil Salim (mantan menteri di zaman Orde Baru), cara memperpanjang masa pakai celana dalam di daerah terpencil sewaktu kita tidak punya kesempatan mencuci pakaian.

Mau tahu caranya? Dipakai secara bolak-balik alias ‘double sided’!

Kita semua tentu kenal atau pernah mendengar Bentara Budaya, panggung atau etalase budaya yang kini jadi sejenis pelaksanaan corporate social responsibility atau CSR pihak Kompas-Gramedia.

Badil adalah salah satu pelopornya. Awal dekade 1980-an, Badil sempat bolak-balik ke berbagai pelosok menyiapkan acara-acara Bentara Budaya di Jakarta dan Yogyakarta yang baru dirintis.

Banyak temuan dalam kluyuran Badil di berbagai pelosok, yang kemudian dipajang di Bentara Budaya.

Ukiran dan patung Asmat, serta tenun serta kebudayaan Baduy, adalah dua temuan Badil yang diunggah ke panggung etalase grup Kompas-Gramedia tersebut.

Selain urusan pendakian dan urusan kesenian di daerah pedalaman, Badil juga mahir menulis hal-hal serius melalui laporan kocak.

Badil yang kadang-kadang nyebelin dan pemberang, sering membuat kita tersenyum-seyum sendiri ketika membaca tulisannya. Badil memang paling jago menulis laporan feature.

“Jangan terlalu serius, kudu didangdutin dikit,” ujar Badil dalam logat Betawi, kepada saya di dekade 1980an sewaktu kami masih sama-sama di Harian Kompas.

Badil juga salah satu sosok di balik “Operasi Ganesha” tahun 1982, sewaktu 242 ekor gajah yang terperangkap di dekat pemukiman transmigran Air Sugihan di Sumatera Selatan, digiring guna diselamatkan ke Lebong Hitam di Lampung.

Operasi pemindahan ratusan gajah sejauh sekitar 70 km itu dipimpin oleh Letkol I Gusti Kompyang Manila. Dan Badil pada masa itu ikut dalam salah satu tim penggiringan gajah.

Perkasa

Kemampuan dan jejaring Badil memang mengagumkan. Dia dikenal di kalangan pecinta alam dan pegiat lingkungan hidup.

Jauh sebelum kita ribut-ribut soal kelestarian alam, Badil dan teman-temannya sudah menerapkan pola 3 R (reduce, reuse, recycle) guna mengurangi pencemaran lingkungan hidup di pe ndakian maupun puncak-puncak gunung.

Badil yang tampaknya ceroboh dan tidak menaruh perhatian terhadap keadaan sekitarnya, sebetulnya orang yang sangat teliti. Dia bisa ingat nama-nama orang yang baru berkenalan dengannya.

Dalam urusan kesenian dan kebudayaan lokal, Badil ibarat kamus berjalan. Dia bisa bercerita tentang kesenian dan kebudayaan masyarakat di pelosok Aceh, sampai masyarakat di pedalaman Kalimantan maupun pelosok Papua.

Badil bisa menghilang berminggu-minggu, lalu muncul beberapa hari di Jakarta dan menghilang kembali. Badil bisa tidak pulang ke rumah, walaupun sedang di Jakarta.

Badil bisa meninggalkan istrinya, Xenia, sendirian bersama putra tunggal mereka yang bernama Banu, karena ditugasi berjaga-jaga di kantor Redaksi Kompas pada saat kerusuhan Mei 1998.

Badil bisa tertawa terbahak-bahak, atau mengocok perut kita denganb anyolan-banyolannya yang konyol. Tapi dia bisa juga meledak dan marah besar jika merasa tersinggung atau dikhianati.

Badil orang yang sangat tangguh. Badil mermang enak dijadikan teman atau kawan, tapi belum tentu kita kita bisa bertahan lama mendampinginya.

Karenanya, saya sungguh kagum pada Xenia, istri Badil, yang bisa tahan dan bahkan tetap menyemangati Badil dengan segala keunikannya. Saya bertemu Xenia Selasa (9/7) siang sampe sore di rumah sakit dan Kamis (11/7) petang di rumah duka.

Perempuan kecil itu terlihat tegar dan tidak menitikkan airmata, menjawab pertanyaan dan menceritakan proses bagaimana dia ditolak oleh beberapa rumahsakit sewaktu berusaha mencari tempat perawatan Badil yang sudah tidak sadarkan diri di hari Senin 8 Juli 2019.
Si mungil Xenia memang perkasa!

Badil dan saya

Saya beberapa kali bepergian bersama Badil dalam peliputan. Badil selalu punya cara tersendiri buat ‘mengecoh’ para petinggi redaksi dan staf administrasi.

Wartawan lain umumnya meliput berdasarkan penugasan redakturnya. Badil adalah salah satu wartawan Kompas yang meliput sesuai yang dia mau. Biasanya Badil menyusun dan mengusulkan rencana peliputan.

Setelah disetujui, dia menghilang 1-2 minggu atau kadang-kadang sampai beberapa minggu.

Setelah kembali ke redaksi, dia berhari-hari sibuk menulis laporannya. Pada masa-masa dia sibuk di redaksi itulah, kami sering bersama-sama sampai larut malam. Dulu naskah laporan kami buat dengan bantuan mesin tik.

Jadi kami bisa saling menyadari kehadiran satu sama lain di ruang redaksi di tengah malam melalui suara mesin ketik. Menjelang tidur di kursi rapat yang kami susun berderet, biasanya kami ngobrol dulu.

Jauh sebelum Jalan Sultan Agung di pinggir Kali Ciliwung dilebarkan seperti sekarang, saya dan Badil pernah menyusuri jalan sempit itu. Awal dekade 1980an itu, Badil sudah memberitahu saya bahwa jalan yang dipakai buat inspeksi Kali Ciliwung itu bakal dilebarkan.

Saya dan Badil juga pernah ke pelosok-pelosok di pinggir kota Jakarta ke arah Bogor. Kami mampir menengok sejumlah pabrik tapioka di Kandanghaur dan Kedunghalang.

Kebetulan saya sangat menguasai masalah teknologi ekstraksi pati dari singkong atau ubikayu tersebut. Laporan saya yang terbilang serius, kemudian disunting oleh Badil menjadi laporan enteng tapi berisi.

Di lain kesempatan, saya pergi meliput berkeliling pelosok Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Mengumpulkan informasi tentang lahan tidur, teknologi yang membantu para petani kecil dan perkebunan rakyat. Dalam perjalanan itu, kami ajak Don Hasman, sahabat karib Badil.

Kami sempat menemukan lahan tidur di beberapa tempat di Jabar dan Jateng. Juga sempat singgah di pabrik jamur milik perusahaan Mantrust di Dieng (sekarang sudah tutup) di Jawa Tengah. Juga melihat-lihat kebun carica, sejenis pepaya kecil, yang dibudidayakan di Dieng.

Badil tidak sependapat dengan saya sewaktu saya memelopori berdirinya serikat pekerja di Redaksi Kompas tahun 1986. Sejumlah wartawan senior dan petinggi di Redaksi Kompas memang tidak menyetujui adanya serikat pekerja di sana.

Saya tidak dipecat, gaji saya tetap dibayar, tetapi semua tulisan saya tidak dipublikasikan oleh Harian Kompas. Saya tidak tahu, apakah ‘larangan’ itu masih berlaku sampai saat ini.

Namun beberapa kali kiriman tulisan saya ke Kompas ditolak dengan alasan yang normatif. Resminya saya berpisah dengan Badil tahun 1989, sewaktu saya mengundurkan diri dari Kompas.

Hubungan kami tetap baik. Kebetulan Banu, putranya, pernah menjadi mahasiswa dalam beberapa kelas saya di salah satu universitas swasta terkemuka. Setelah bertongkat, Badil pernah juga mampir di kantor konsultan saya.

Penakut juga

Badil tidak takut naik ke puncak gunung yang dianggap mengerikan oleh banyak orang. Badil juga tidak takut keluar-masuk hutan, maupun ke pedalaman yang jarang dirambah wartawan lain. Badil tidak takut badak, atau gajah dan dia juga tidak pernah takut terhadap birokrasi.

Hanya sedikit orang yang tahu Badil sebetulnya tergolong penakut menghadapi beberapa hal dalam hidup ini. Badil adalah salah seorang konseptor lawakan Prambors yang terkenal itu. Ciri lawakannya kritis, nakal dan lucu.

Jarang ada yang tahu bahwa Prambors adalah singkatan dari nama-nama jalan yaitu Prambanan, Mendut, Borobudur dan sekitarnya yang masih terbilang kawasan Menteng di Jakarta.

Pelawaknya yang terkenal adalah Kasino, Dono dan Indro, selain Pepeng, Nana Krip dan lain-lain. Badil pernah glagapan di ajak manggung, sehingga akhirnya memutuskan buat berperanan di belakang layar.

Badil juga sangat takut berkendaraan mobil dengan kecepatan tinggi. Dalam beberapa kali perjalanan dengan saya, Badil berkali-kali menyuruh saya memperlambat kecepatan dan membatasi hanya sampai maksimum 60 km per jam.

Dia mengancam akan turun jika saya membandel. Pernah juga dia menyuruh saya menghentikan mobil di penggir jalan yang sepi di jalur selatan antara Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Alasannya dia kebelet kencing.

Ternyata, dia cuma minta Don Hasman menggantikan saya mengemudikan mobil kami karena dia ketakutan melihat saya melajut pada kecepatan 80 km per jam.

Saya tahu satu hal lagi yang membuat Badil takut. Badil sangat takut foto pernikahannya dipajang di Harian Kompas. Padahal, redaksi Kompas punya kebiasaan memajang foto wartawannya yangh menikah.

Menjelang pernikahannya di gereja, Badil masih hadir di redaksi. Dia dengan bersungguh-sungguh mengancam: “Awas ya, jangan ada yang majang foto gue kawin. Gue serius nih, bakal gue ajak berantem!”

Kebetulan saya sedang menyusun buku yang berisi pengalaman sejumlah wartawan Kompas. Isinya bukan ingin menyoroti kesejahteraan para pensiunan wartawan, melainkan menggambarkan elan generasi wartawan Kompas sebelum era milenial.

Badil pernah mengirimkan tulisan tentang pengalamannya bekerja di Harian Kompas. Naskahnya sudah saya sunting, tapi saya masih bergulat dengan naskah dari teman-teman yang lain.

Badil menyelesaikan penziarahannya Kamis 11 Juli 2019. Badil banyak menulis buku dan laporan di media massa. Dia tidak pernah sibuk berjihad maupun menghujat di media sosial.

Badil dicintai banyak teman karena tidak pernah berkhianat meski kadang-kadang lidahnya tajam dan nada suaranya geram. Buat saya, cerita tentang Badil cuma satu jilid, tapi banyak penerbitnya.

Badil yang baik, pertemananmu nyaris tidak bercacat. Teman-temanmu yang sejak dulu, tetap juga jadi temanmu saat ini. Tidak banyak orang yang mampu jaga pertemanan. Apalagi jangka panjang!

Okay Dil, mudah-mudahan loe sekarang lagi tenang ngobrol dengan teman-teman lama yang sudah nunggu di alam sana. Gue liat Xenia dan Banu cukup tegar di sini. Nanti pasti gue nyusul dan kita bisa ngobrol bareng lagi.

Bintaro, 12 Juli 2019.

Sumber: : Obituari yang indah ini saya ambil dari akun Facebook Om Albert Kuhon (Kopral Jabrik). Saya berteman dengan beliau di FB dan selalu suka membaca tulisan-tulisannya. Satu di antara wartawan senior yang luar biasa.

Obituari Aristides Katoppo


Aristides Katoppo (wowkeren.com)
Oleh Albert Kuhon


+ Masak you gak bisa dapat sih?

- Nanti dicarikan

+ Kan sudah 25 tahun. Pasti sudah di-declassified. Coba you cari Marshal Green, bekas Dubes Amerika yang pernah tugas di Jakarta tahun 1965an.

- Oke

Begitu kira-kira percakapan singkat saya dengan Aristides Katoppo, yang akrab disapa Tides di akhir tahun 1990. Waktu itu saya Kepala Biro Harian Suara Pembaruan di Washington DC.

Wartawan senior Aristides Katoppo, bukan petinggi di redaksi. Tapi suaranya tetap berpengaruh. Percakapan itu diakhiri dengan komentar agak sinis: “Masak Albert Kuhon gak bisa dapat sih?”

Kami berbincang singkat tentang dokumen rahasia yang dibuat oleh pihak Kedubes Amerika Serikat di Indonesia menghenai Peristiwa G30S.


Sampai dengan tahun 1990 tersebut, sudah banyak informasi berkembang yang menyatakan pihak CIA (Central Intelligence of America) terlibat dalam tragedi 30 September 1965 dan penggulingan Presiden Sukarno.

Tides

Tides mengawali karir jurnalistik sejak tahun 1957, sewaktu ia bergabung dengan Pers Biro Indonesia. Tahun 1961, Tides bergabung dengan HG Rorimpandey dkk memperkuat redaksi koran sore Sinar Harapan. 

Tahun 1968, Tides menjabat Redaktur Pelaksana Sinar Harapan.  Ia menjadi pemimpin redaksi Sinar Harapan sampai ditutup tahun 1986.

Ia sempat belajar di Stanford University di Amerika Serikat selama lima tahun.

Tides juga pernah belajar di Center for International Affairs, Harvard University di Boston. Ketika kembali ke Indonesia, Tides mengajar jurnalistik di Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.

Dalam penugasan kewartawanan, Tides memang selalu ‘menuntut’. Tides bersama Sabam Siagian menjadi tulang punggung koran sore Sinar Harapan yang diterbitkan tahun 1961oleh Hendrikus Gerardus Rorimpandey bersama JCT Simorangkir, Subagyo PR dan kawan-kawan.

Produk-produk jurnalistik Tides sangat mewarnai koran sore tersebut. Banyak wartawan (yang sekarang sudah senior) hasil didikan Tides. Di antaranya, Atmadji Sumarkidjo, Upa Labuhari, Bernadus Sendouw, Yuyu AN Mandagie, dan lain-lain.

Penghargaan prestasi jurnalistik berupa Trofi Adinegoro (dari Persatuan Wartawan Indonesia) maupun Kalam Kencana (dari Departemen Penerangan) banyak diterima oleh para wartawan Sinar Harapan.

 Para wartawan Sinar Harapan penerima penghargaan tersebut antara lain Subekti, Panda Nababan, Yuyu A.N Mandagie, Tinnes Sanger dan Bernadus Sendouw, Indra Rondonuwu, Suryanto Kodrat, Samuel Pardede, Pramono R Pramoedjo dan Thomas Lionar.

Piawai

Di lingkungan Redaksi Kompas, almarhum Polycarpus Swantoro adalah orang yang meletakkan dasar-dasar penulisan laporan jurnalistik sejak terbitnya harian tersebut Juni 1965.

Swantoro adalah orang yang melatih para wartawan senior seperti J. Widodo, Raymond Toruan, R. Sugiantoro, Indrawan dll. Di lingkungan Sinar Harapan, Aristides Katoppo adalah salah seorang arsitek peliputan yang sangat handal.

Kepiawaian Tides dalam menakhodai Sinar Harapan patut diacungi jempol. Pada era kepemimpinannya, koran sore Sinar Harapan digemari pembacanya karena keunggulan dalam news getting atau peliputan.

Sikap Tides yang sangat menuntut (demanding) merupakan salah satu faktor penyebab keunggulan tersebut. Koran sore itu menjadi sangat kritis dalam menerapkan motto “Memperjuangkan Kemerdekaan dan Keadilan, Kebenaran dan Perdamaian berdasarkan Kasih”.

Sinar Harapan harus mengalami beberapa kali pembredelan oleh pemerintah sebagai konsekuensi dari konsistensi dalam pemberitaannya.

Tides nyaris tidak peduli dan berkali-kali harus berbeda pendapat dengan para pemilik modal. Bagi Tides, fakta merupakan sesuatu yang suci dan tidak perlu ditutup-tutupi.

Larangan terbit yang pertama dialami Sinar Harapan (dan sejumlah media lain) tanggal 2-8 Oktober 1965, karena penguasa tidak menghendaki peristiwa G 30 S-PKI diekspos secara bebas oleh media.

Hanya media-media tertentu saja yang boleh terbit. Pada tanggal 8 Oktober 1965 Sinar Harapan diperbolehkan kembali terbit. Bulan Juli 1970, Sinar Harapan mendapat ‘teguran’ memberitakan temuan Komisi IV DPR RI mengenai adanya korupsi di kalangan pemerintah Orde Baru.

Jurnalistik

Tides nyaris tidak terlalu memikirkan urusan bisnis. Baginya, jurnalistik harus menggambarkan fakta dan diwarnai kekritisan berpikir. Penggalian data dan informasi harus dilakukan secara teliti dan laporannya kudu analitis.

Keterbatasan waktu karena Sinar Harapan adalah koran sore, tidak boleh mengurani nilai-nilai dasar jurnalistik tersebut. Karenanya, tidak jarang Tides berbeda pendapat dengan para pemilik modal korannya.

Pemberitaan Sinar Harapan tanggal 31 Desember 1971 yang berjudul “Presiden Larang Menteri-menteri Beri Fasilitas pada Proyek Mini” mengakibatkan pihak Redaksi Sinar Harapan beroleh teguran.

Tanggal 2-12 Januari 1973 Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) mencabut sementara Surat Izin Cetak Sinar Harapan akibat pemberitaan yang ‘membocorkan’ RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).

Sejumlah wartawan Sinar Harapan sempat diperiksa pihak Kejaksaan Agung akibat pemberitaan tersebut.

Sinar Harapan dan sejumlah media dibreidel lagi tahun 1974, sehubungan pemberitaan tentang kegiatan demonstrasi mahasiswa yang disebut Malari (lima belas Januari).

Koran itu dibolehkan terbit kembali 4 Februari 1978 Sinar Harapan diperbolehkan. Breidel terakhir terjadi Oktober 1986, ketika Sinar Harapan ‘membocorkan’ rancangan undang-undang antimonopoli yang sedang digodok di DPR.

Tangan Tides menyentuh hampir semua pemberitaan ‘panas’ Sinar Harapan. Tides memang tidak pernah kompromi dalam soal kekritisan.

 Pada tahun-tahun itu, penerbitan media massa telah beralih dari yayasan ke PT (perseroan terbatas) dan Surat Izin Cetak telah berganti menjadi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).

 Akibat pemberitaan tentang rancangan undang-undang antimonopoli yang ‘menyerang’ sejumlah kepentingan bisnis keluarga pejabat tinggi, pemerintah yang dipimpin Presiden Soeharto membatalkan SIUPP koran Sinar Harapan.

Para wartawan dan karyawan yang mengerjakan koran Sinar Harapan, dialihkan dari PT Sinar Kasih (penerbit Sinar Harapan) ke PT Media Interaksi Utama (MIU) di alamat yang sama. PT MIU kemudian sejak tahun 1987 menerbitkan koran sore Suara Pembaruan. Namun Tides, Rorimpandey dan Subagio PR tidak dibolehkan duduk di lingkungan redaksi.

Saya dan Tides

Saya kenal Tides secara pribadi pada awal dekade 1980an. Akhir dekade 1980an, saja diajak bergabung ke harian Suara Pembaruan, penjelmaan dari Sinar Harapan yang dibreidel tahun 1986. Sejak itu saya sering bertemu dengan Tides.

Sebagian lingkaran pertemanan Tides, ternyata teman-teman saya juga. Teman-teman Tides ada di mana-mana dan dari berbagai kalangan. Tides juga berteman dengan para mahasiswa, mulai dari Angkatan 66 sampai para aktifis tahun 1998.

Bayangkan, Tides bersahabat dengan Soe Hok Gie (aktifis Angkatan 1966 yang wafat di Gunung Semeru) dan akrab juga dengan wartawan muda para aktifis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang didirikan pertengahan dekade 1990an. Bahkan Tides adalah salah seorang pendiri AJI!

Tides akrab dengan alam. Ia seorang pendaki gunung, yang me njadi bagian tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan Wanadri maupun Mapala UI.

Teman-teman lamanya di lingkungan pecinta alam antara lain Herman Lantang, almarhum Rudy Badil, almarhum Norman Edwin, dan Don Hasman.

Tides sangat pandai menjaga persahabatannya. Ia masih aktif hadir dalam berbagai acara.

Saya bertemu terakhir dengannya ddalam peringatan 40 hari wafatnya Badil yang diselenggarakan Yosephine Komara (Obin) dan teman-teman Badil lainnya September lalu. Sebelum Tides pergi ke Semeru.

Berkali-kali Tides mengundang saya buat ngopi, tapi belum sempat terlaksana. Undangannya disampaikan lewat Jossi Katoppo, adiknya yang juga sobat lama saya.

Seorang mantan reporter SCTV (Surya Citra Televisi), Iwan Setiawan, juga beberapa kali menyampaikan pesan tentang ajakan Tides.

Bahkan dalam acara pemakaman Rudy Badil di Tanahkusir Agustus lalu, Mimis (istri Tides) yang mendampingi Tides dan Herman Lantang, masih mengingatkan tentang undangan tersebut.

Tides meninggal dunia dalam usia 81 tahun di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Jakarta Pusat, Minggu (29/9/2019) siang.

Beberapa hari sebelumnya, ia bersama sobat-sobatnya Herman Lantang dan Don Hasman bernostalgia di Gunung Semeru, napak tilas pendakian terakhir Soe Hok Gie.

Di Rumah Duka RSPAD Gatot Subroto, Herman Lantang sempat menangis tersedu-sedu di pinggir peti jenazah, Senin 30 September siang.

Herman berjalan tertatih-tatih dengan tongkatnya, mengenakan pakaian warna khaki, kacamata gelap, dan topi lebar yang biasa dipakai para pendaki. Beberapa menit Herman ‘berbincang’ dengan sobatnya yang terbaring dalam peti jenazah itu.

Tides yang perkasa, Tides yang kritis, Tides yang punya banyak sahabat, Tides yang jurnalis, Tides yang pecinta alam, kini telah berpulang.

Teman-temannya seperti Soe Hok Gie, Norman Edwin dan Rudy Badil mungkin sudah menunggu Tides di alam sana buat bercengkerama.

Masak you gak bisa dapat sih? Selamat jalan, Senior!

Bintaro, 1 Oktober 2019
ak


Sumber: Obituari yang indah ini saya ambil dari akun Facebook Om Albert Kuhon (Kopral Jabrik). Saya berteman dengan beliau di FB dan selalu suka membaca tulisan-tulisannya. Satu di antara wartawan senior yang luar biasa.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes