Oma Mogot 10 Tahun Tinggal di Bawah Pohon

Oma Wilhelmina Mogot (kiri)
INI  bukan fiksi. Seorang perempuan berusia 82 tahun tinggal di bawah pohon hanya beratapkan terpal selama 10 tahun terakhir. Dia memilih cara itu demi menjaga anaknya berusia 40 tahun yang menderita gangguan jiwa. Wanita itu bernama Wilhemina Mogot.

Hanya beratapkan terpal berukuran sekitar tiga kali empat meter yang mulai bocor, perempuan tua ini melewati hari-hari bersama anaknya, Benna Rintjap yang menderita gangguan jiwa. Tidak ada dinding yang menghalau angin dingin saat malam hari dan  hujan.

Kondisi hidup seperti ini harus dijalani Oma Wilhemina karena rasa sayangnya pada sang anak dan himpitan ekonomi. Sejak Benna menderita gangguan jiwa, dia sering kumat dan dikhawatirkan melukai atau mengganggu orang lain. Keinginan untuk melakukan perawatan di rumah sakit jiwa harus dipendam dalam-dalam karena tidak ada uang untuk biaya perobatan. Dengan berat hati, Oma Wilhemina mengambil keputusan pahit untuk menjauhkan anaknya dari warga.

Lokasi yang dipilih adalah sebuah pohon besar setinggi sekitar 15 meter yang berada di pinggiran Desa Kaima, Kecamatan Remboken Kabupaten Minahasa. Jarak pohon ini sekitar 20 meter dari jalan utama desa tersebut. Pada tempat bernaung, Oma Wilhemina dan anaknya tidur beralaskan papan.

"Saya terpaksa menempuh kehidupan seperti ini untuk anak saya. Saya tidak mau dia menggangu apalagi sampai melukai warga. Saya sayang pada anak saya dan saya akan menjaga dia walau dalam kondisi apapun," ujar Oma Wilhemina saat diwawancarai Tribun Manado, Sabtu (10/8/2013).

Untuk memenuhi kebutuhan makan sehar-hari, Oma Wilhemina hanya berharap pada uluran tangan warga, dekat tempat tinggalnya. Sering dia harus ke pasar untuk menjual hasil kebun yang diberikan warga padanya. Dalam keterbatasan tersebut Oma Wilhemina dan anaknya telah terbiasa menahan lapar. Sering dia hanya makan ubi yang diambil dari kebun tetangga. "Paling sulit kalau musim hujan karena kami sering basah saat malam. Sering merasa sedih melihat kehidupan ini namun tidak bisa berbuat apa-apa," ujarnya.

Di balik kondisi kehidupan yang sangat tidak layak, ternyata Oma Wilhemina tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah. Dia tidak pernah terdaftar sebagai penerima beras miskin dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Dapat dikatakan dalam kondisinya saat ini Oma Wilhemina tidak terdaftar sebagai warga miskin bahkan keberadaannya tidak diketahui pemerintah setempat.
Hukumtua Desa Kaima, Marten Tombeng saat dikonfirmasi kondisi Oma Wilhemina dan anaknya ini bahkan mengatakan mereka baru mengetahui kondisi Oma Wilhemina bulan lalu sejak dilakukan pendataan warga lanjut usia.

Menurutnya selama ini tidak pernah ada laporan soal keberadaan keluarga tersebut.
"Baru sebulan terakhir kami mengetahui keberadaan Oma Wilhemina dan anaknya yang tinggal di bawah pohon. Sejak saat itu kami mulai mengumpulkan bantuan seadanya untuk mereka," ujarnya.


Bantuan Mengalir

Bantuan dari berbagai pihak mulai mengalir untuk Wilhemina Mogot (82) yang selama 10 tahun terakhir tinggal di bawah pohon bersama anaknya yang mengalami gangguan jiwa. Bantuan itu berupa pakaian, bahan makanan, uang, bahkan janji untuk dari pengusaha membelikan tanah.

Pantauan Tribun Manado, Senin (12/8/2013), posko pengumpulan bantuan untuk Oma Wilhemina dan anaknya banyak didatangi warga. Mereka tergerak hatinya untuk membantu dan malihat langsung kondisi Oma Wilhemina dan anaknya yang diberitakan telah 10 tahun tinggal di bawah pohon hanya beratapkan terpal.

Sekitar 50 anak sekolah minggu dari jemaat GMIM Abraham, Tataaran Patar, Kecamatan Tondano Selatan tampak berkumpul dekat pohon kemiri tempat Oma Wilhemina berlindung. Mereka antusias melihat sosok Oma Wilhemina dan kondisi tempat tinggalnya.

Ketua rombongan, Olvie Masinambow mengatakan setelah membaca berita di media massa, mereka tergerak untuk membantu. Menurutnya sangat tragis mengetahui ada orang yang telah 10 tahun tinggal di bawah pohon. "Kami selalu mengajarkan anak-anak untuk peduli dan mengasihi sesama. Kami ingin melihat langsung kondisi kehidupan Oma Wilhemina dan memberikan bantuan. Anak-anak mengumpulkan pakaian dan bahan makanan. Ada anak yang mengambil pakaian oma mereka untuk diberikan pada Oma Wilhemina," ujarnya.Olvie mengatakan pada hari  Minggu (18/8)  mereka berencana mengajak Oma Wilhemina untuk beribadah bersama di gereja.

Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) yang menjadi penggagas gerakan bantuan untuk Oma Wilhemina mengatakan, sejak terekspos di media massa, banyak orang yang mulai memberikan bantuan. Menurutnya selain pengumpulan uang dan bantuan lain dari warga yang berkunjung, mereka juga mengumpulkan dana melalui transfer rekening bank.

"Kami telah membuka rekening tabungan atas nama Oma Wilhemina dan telah banyak orang yang telah mengirimkan bantuan. Kami bersyukur respon masyarakat untuk membantu Oma Wilhemina sangat besar," ujarnya.

Dia menjelaskan, dalam akun jejaring sosial yang memberitakan kondisi Oma Wilhemina dan anaknya banyak mendapat perhatian warga dalam daerah bahkan sampai luar negeri. Menurutnya ada warga Kawanua yang berada di luar negeri menyatakan keprihatinan dan menyatakan kesiapan  membantu.

"Tadi ada seorang pengusaha yang menghubungi kami dan menyatakan akan membantu. Pengusaha ini meminta kami mencari tanah seharga Rp 5 juta sampai Rp 10 juta untuk tempat mendirikan rumah untuk Oma Wilhemina dan anaknya. Pengusaha ini berjanji membayar tanah tersebut," ujarnya.

Oma Wilhemina terlihat menikmati saat-saat melihat banyak orang yang berkunjung padanya. Walau pendengarannya mulai lemah namun dirinya tetap coba berinteraksi dengan orang-orang yang datang.

"Saya bersyukur karena sekarang banyak orang yang datang memberikan bantuan. Bantuan ini sangat berarti bagi saya dan anak saya," ujarnya. Pemerintah Kecamatan Remboken Kabupaten Minahasa dibantu warga sedang menyelesaikan pembangunan tempat tinggal sementara untuk Oma Wilhemina dan anaknya. Bangunan beratap seng dan berdinding triplek hampir selesai dibangun. (lucky kawengian)

Sumber: Tribun Manado 12-13 Agustus 2013 hal 1

MBH yang Kusam, Kumuh dan Angker

MANADO, TRIBUN - Aset Pemerintah Provinsi (Pemprov)  Sulawesi Utara (Sulut) yakni  Manado Beach Hotel (MBH) di Desa Mokupa Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa yang lama terbengkalai akan dikembangkan lagi.

Setelah lama bernegosiasi, kini sudah ada titik terang untuk pengembangan aset bernilai ratusan miliar itu. Negosiasi sejak lama dilakukan Biro Ekonomi Sekretariat Daerah Provinsi Sulut. Menurut mantan Kepala Biro Ekonomi Adry Menengkey,  sudah ada investor yang berminat mengelola MBH. "Nantinya  dibangun fasilitas baru di sana," ucapnya kepada Tribun Manado, Minggu (4/8/2013).


Menurut Manengkey,  dalam negosiasi tersebut  Pemprov Sulut tak akan melepas hak sebagai pemilik aset. Investor akan diberi hak kelola. Dalam negosiasi itu, jelas dia, pemprov mendapat 20 persen dari keuntungan yang disetor ke kas daerah per tahun. Manengkey menyebut perusahaan Semesta Maju Jaya sebagai pihak yang sudah berminat mengelola MBH.

"Tetap akan dibangun tapi pemerintah tidak kehilangan aset, jadi kerja sama akan diberikan hak kelola kepada investor. Aset MBH tetap milik pemerintah,  milik masyarakat Sulut. Setiap tahun ada keuntungan dari sana menjadi sumber PAD pemerintah provinsi. Pengelola tidak dirugikan," ujarnya.

Bentuk kerja sama seperti ini,  kata Menengkey,  sudah terbukti keberhasilannya. Dia memberi contoh pengelolaan aset Pemprov Sulut di Jakarta yakni Aero Hotel. Aset tetap menjadi milik Pemprov, keuntungan yang dihasilkan pengelola Aero Hotel disetorkan tiap tahun ke kas daerah.

"Konsepnya sama seperti pengelolaan Aero Hotel di Jakarta," katanya. Walau demikian, lanjut dia, penanganan aset daerah harus tetap mengacu pada aturan agar tidak memakan korban yang berurusan dengan masalah hukum.

Wakil Ketua DPRD Provinsi  Sulut, Arthur Kotambunan mengatakan beberapa waktu lalu MBH sempat ditawar pengusaha nasional  Tommy Winata sebesar Rp 55 miliar. "Saat itu hampir disetujui, namun pihak Tommy Winata mengajukan syarat kalau nantinya masih terjadi masalah, Pemprov Sulut harus bertanggung jawab," kata Kotambunan, Minggu (4/8/2013).


Syarat tersebut, kata dia,  dinilai berat sehingga MBH tak jadi dikelola pihak swasta. "Siapa yang berani nanggung sekiranya ada masalah,"imbuhnya. Setelah tawaran dari Winata itu,  menurut Kotambunan belum ada lagi pembicaraan serius soal MBH. Apalagi setelah ditaksir oleh BPK RI harga MBH lebih tinggi. "Terakhir BPK RI menaksir nilai MBH sekitar Rp 150 miliar. Sejak itu belum ada pengusaha yang melirik," jelasnya. Pria yang sebentar lagi mengaku akan pensiun dari dunia politik ini berharap MBH bisa dikelola pengusaha. "Tapi kali ini harus dengan cara yang benar, jangan sampai ada MBH-gate seri dua. "Saya ingin segera saja MBH ada di tangan pengusaha dan dikelola dengan profesional," kata Kotambunan.

Anggota DPRD Sulut dari Fraksi Golkar Sherpa Manembu pun mengakui sudah lama dewan tidak membahas aset MBH semenjak aset itu bermasalah secara hukum yang membelit sejumlah elit pejabat di Sulut. "Setahu saya terakhir pembicaraannya beberapa tahun lalu, setelah itu tidak ada lagi," katanya, Minggu (4/8).

Manembu menilai, ada persoalan status tanah yang belum jelas. Saat ini, kata dia,  bangunan MBH yang terbengkalai itu sudah tidak lagi bernilai. Tinggal tanahnya saja yang menjadi aset utama daerah. Manembu setuju pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta. Tugas pemerintah adalah menyelesaikan masalah yang masih membelit MBH.  "Jangan pemerintah yang mengelola, harus swasta," katanya.

Kilas Kasus 
Kasus hukum yang membelit  Manado Beach Hotel berawal dari kepimilikan saham Pemprov Sulut sebesar 19 persen di PT Pengembangan Pariwisata Sulawesi Utara (PT PPSU). Pemprov Sulut menalangi utang PT PPSU ke BBPN Rp 25 miliar, yang dialokasikan dalam APBD 2002-2004, dengan kompensasi kepemilikan saham Pemprov Sulut berubah dari 19 persen menjadi 80 persen di PT PPSU.  Ternyata, proses pelelangan di BPPN, dana yang digunakan hanya Rp 18 miliar melalui mediasi PT Tribrata Mitra Jakarta.

Dalam proses pembayarannya, pemprov mencairkan dana sebesar Rp 18 miliar yang disalurkan melalui BNI Sekuritas. Setelah negosiasi, disetujui hanya Rp 6,8 miliar yang dibayarkan ke BPPN. Sisa dana sekitar Rp 11,3  miliar  dibagi-bagikan ke sejumlah pihak, yakni pejabat Pemprov Sulut Rp 1 miliar, anggota DPRD Sulut Rp 1 miliar, dan untuk pimpinan PT Tri Brata Mitra sebesar Rp 8 miliar.

Pejabat yang terlibat dalam kasus ini antara lain mantan wakil gubernur Fredy Sualang, mantan asisten II Setdaprov Sulut J Saruan, mantan sekprov Sulut Alm Johanis Kaloh, Abdi Buchari, mantan Ketua DPRD Syachrial Damapolii, Mieke Nangka, Jos Patty, Elizabeth Winokan, Direksi PT Tribrata Mitra Jakarta yaitu Jhony Ishak dan Ronny J serta pejabat BPPN Thomas Maria. (ryo/rob/aro)

Kusam, Kumuh dan Angker


MANADO Beach Hotel (MBH) yang diresmikan Presiden Soeharto pada tanggal 11 September 1991 merupakan hotel bintang pertama di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut).  Namun, dua puluh dua tahun kemudian kondisinya bisa dilukiskan dengan tiga kata berikut ini kusam, kumuh dan angker.

Kusam dan kumuh langsung terlihat saat Tribun Manado melakukan pantauan di lokasi itu, Jumat (2/8/2013) sekitar pukul 11.26 Wita.  Halaman depan hotel penuh rerumputan yang tak terawat. Lapisan aspal pada jalan masuk ke dalam hotel sudah terkelupas. Jalan itu dimanfaatkan warga  Desa Mokupa Kecamatan Tombariri, Kabupaten Minahasa untuk menjemur cengkih.

Ketika Tribun Manado berada di sana beberapa orang warga Mokupa sedang duduk santai di lobby hotel MBH. Warga Desa Mokupa, Salihi Andrikus mengatakan, hampir tiap tahun mereka gunakan lokasi hotel tersebut untuk jemur cengkih. "Kami sudah minta izin sama penjaga hotel ini untuk jemur cengkih. Hanya cengkih saja, kalau hasil kebun lainnya seperti kopra tidak," kata Salihi.

Tribun  menyusuri semua bagian hotel, mulai dari lobby hingga ke kamar hotel. Di lobby masih ada lampu hias yang terpasang dan terdapat prasasti hotel yang diresmikan Presiden Soeharto 11 September 1911. Kondisi lobby hotel kusam dan kumuh. Tak jauh dari lobby, ada bangunan lima lantai. Lantai satu sampai empat terdiri dari kamar hotel, sedangkan lantai paling atas merupakan ruang pertemuan.
Seluruh bagian atap hotel mengalami kerusakan sehingga air hujan langsung membasahi lantai. Dinding hotel berlumut. Saat memasuki ruangan dalam langsung disambut sarang laba-laba dan debu yang menempel di dinding dan lantai keramik.
Lorong di dalam hotel gelap dan tercium aroma tak sedap. Di setiap kamar hotel  sudah tidak ada perabotan satu pun. Yang terlihat hanya cermin besar ukuran 1 x 2 meter yang menempel pada dinding kamar.

Pada salah satu ruangan besar seperti convention center, banyak debu yang menebal. Beberapa kursi lipat yang telah rusak dibiarkan begitu saja di dalam ruang tersebut. Plafon  di ruang Pub & Fitness sudah terjatuh hingga ke lantai. Aroma kelembaban, pengap  dan hawa agak dingin sangat terasa di bagian lantai bawah hotel tak jauh dari ruang Pub & Fitness. Beberapa kaca yang terdapat dalam ruangan tersebut pecah berserakan di lantai. Ada beberapa ruangan yang tidak bisa dimasuki karena untuk ke ruangan tersebut harus menggunakan kunci dan ruangan yang lain gelap gulita hingga menghadirkan kesan angker.

Keangkeran MBH diakui Sali Andrikus (55) dan Melky, warga setempat.  "Waktu jaya-jayanya dulu hotel ini dipenuhi para tamu. Tapi semua itu tinggal kenangan," kata Sali sedih. Kini Sali sering mendengarkan suara aneh dari dalam hotel yang membuat bulu kuduk berdiri. Melky pun mengakui hal serupa. "Saya sudah beberapa kali mendengar suara perempuan manangis, bunyi orang sementara mandi dan suara-suara aneh yang membuat saya takut", kata Melky. (def/kel)

Sumber: Tribun Manado 5 Agustus 2013 hal 1

Blusukan Presiden Timor Leste Lebih Gila!

Presiden Taur Matan Ruak
Fenomena pemimpin yang 'turun' menyambangi rakyat lewat cara mendatangi langsung lokasi-lokasi yang dinilai punya masalah sepertinya kembali dipopulerkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo.

Jokowi kemudian mengistilahkan hal tersebut sebagai 'blusukan'. Cara 'blusukan' Jokowi kemudian dikenal cukup 'ekstrem'. Tak sekadar mendatangi kawasan yang belum tertata apik, Jokowi 'berani' datang ke tempat-tempat yang sangat tidak nayaman bagi seorang petinggi pemerintahan. Kawasan kumuh di mana rumah penduduk saling berhimpitan, berjalanan becek, dan berbau tak sedap misalnya tak jarang jadi lokasi Jokowi blusukan.

Blusukan pun rupanya dilakukan di negeri yang tadinya jadi bagian dari Republik Indonesia, Timor Leste. Di sana, bahkan presidennya, melakukan cara blusukan yang lumayan 'gila' untuk ukuran seorang pejabat tinggi negara.

Kalau Gubernur DKI Jakarta, Indonesia Jokowi blusukan di kawasan kumuh untuk menemui warganya. Di Timor Leste, Presiden Taur Matan Ruak, harus berjalan kaki berhari-hari demi bertemu rakyatnya di pedalaman.

Maklum banyak pemukiman warga di pedalaman Timor Leste tidak bisa dijangkau dengan kendaraan bermotor. Karena itu, si presiden harus berjalan kaki berhari-hari untuk mengunjungi warganya pada 17 Agustus sampai 19 Agustus 2013 silam.

Timor Leste yang memiliki penduduk sekitar 1,1 juta orang ini, kini sedang membangun berbagai fasilitas umum seperti jalan, pelabuhan bandara, dan tempat wisata. Cara yang lumayan ekstrim bukan? Namun tunggu dulu, cara Presiden Taur Matan blusukan mungkin lebih ekstrim ketimbang cara blusukan Jokowi, namun latar belakangnya selaku mantan panglima gerilyawan di Timor Leste ini, membuat cara blusukan keluar masuk bukit yang terjal untuk menyapa warganya menjadi sesuatu yang 'biasa'.

Foto perjalanan Presiden Taur Matan Ruak itu diabadikan oleh fotografer kepresidenan Timor Leste.  Simak foto-foto blusukan ekstrem sang presiden di sini.

Sumber: Tribunnnews

Mengembangkan Indonesia Kecil

Oleh Jakob Oetama
Pendiri Kompas Gramedia


KETIKA Majalah Intisari terbit pertama kali, 17 Agustus 1963, tidak terbayangkan itulah awal hadirnya kelompok usaha Kompas Gramedia. Lima puluh tahun kemudian, masuk akal jika Kompas Gramedia telah bersosok, atau mengutip ungkapan Prof de Volder sebagai "lembaga yang organik sekaligus yang organis."

Serupa lembaga surat kabar, Kompas Gramedia (KG) dengan bisnis inti industri informasi, atau pabrik tulisan atau kata-kata-Gramedia: grafika media-terdiri atas berbagai bagian yang beragam. Bagian-bagian itu bekerja sama dan berinteraksi melaksanakan fungsi masing-masing. Fungsi-fungsi yang beragam itu secara organis bekerja sama dan bersinergi menjalankan peran dan panggilan yang terikat oleh tujuan dan falsafah bersama.

Dalam statusnya yang organik sekaligus organis itulah hidup, berkembang, dan berfungsi Kompas Gramedia, dinamis dan dan senantiasa berubah sejalan perkembangan masyarakat (medium is the  extension of man). Sejalan itu, bidang yang menjadi perhatian dan sarana pun beragam.

KG yang awalnya berusaha di bidang knowledge industry --Intisari 1963, Harian Kompas 1965, Toko Buku Gramedia 1970, Percetakan Gramedia 1971, Radio Sonora 1972, Majalah Bobo 1973, koran-koran  daerah dengan brand Tribun baru setelah tahun 1987-- dengan segala variasi bidang usahanya diikat dalam satu falsafah bersama. Yakni opsi dasar (optio fundamentalis) yang digagas, dibayangkan, sekaligus menjadi tali simpul kebersamaan.

 Small Indonesia in the making. Ungkapan itu menggambarkan cita-cita bahkan mimpi para perintis dan pendiri Kompas Gramedia 50 tahun lalu. Para perintis dan pendirinya berangkat tidak dengan modal uang tetapi ide dan cita-cita. Selain sebelumnya bertemu dalam berbagai kegiatan, kami --Saudara PK Ojong dan saya-- juga bertemu dalam kesamaan cita-cita, persepsi, dan impian untuk ikut ambil bagian  mengembangkan Indonesia.

Inklinasi dan pandangan politik kami sama: Indonesia Kecil. Indonesia bukanlah kotak-kotak yang terbagi-bagi dalam sektor-sektor dan bagian-bagian yang terpisah secara rigid, tetapi Indonesia yang satu berwarna-warni, beragam dalam segala hal.
Bagian-bagian memiliki kekhasan yang tidak luluh karena kebersamaan, tetapi menjadi mosaik indah dan produktif yang disebut Indonesia. Saling menunjang secara sinergik, organik sekaligus organis. 

Gagasan dan cita-cita ini tidak orisinal, sebab para bapak bangsa Indonesia sudah menggagas dan menjabarkannya ketika ingin membangun sebuah negara Indonesia. Cita-cita besar dan semangat keberagaman dalam kebinekaan kami dan kemudian kita kembangkan dalam lingkup yang kecil: Kompas Gramedia. Indonesia Kecil atau Indonesia Mini menjadi ideologi yang terus dikembangkan, juga setelah KG merambah keluar dari pakem knowledge industry.

Tekadnya KG ingin terus menjadi sarana, jembatan, dan titik temu berbagai kebedaan negara-bangsa Indonesia. Tidak hanya dalam cita-cita tetapi juga dalam membangunnya sebagai lembaga yang organik sekaligus yang organis.

Salah satu pembawa obor

Ungkapan small Indonesia in the making jauh dari rasa jumawa dan arogan. Serba tahu diri dan penuh pengertian, Kompas Gramedia dengan roh yang mendasari berbagai kegiatan bisnisnya, hanya salah satu pembawa obor. Banyak perusahaan lain, yang dari sisi finansial jauh lebih besar dan jauh lebih pantas menyandang gelar pembawa obor. 

Akan tetapi, sejak awal para pendirinya merintis, mendirikan dan mengembangkan usaha ini tidak hanya usaha bisnis. Ketika mendirikan Intisari, mungkin belum sedetail seperti ketika mendirikan Kompas, kami mengambil posisi  dan menjabarkan independensi  kami: usaha ini sebagai bagian dari ikut serta membangun sebuah Indonesia.

Dasarnya kesamaan kemanusiaan Indonesia, heterogenitas Indonesia yang beragam dan di atas keberagaman itulah Indonesia yang satu. Bhinneka Tunggal Ika. Ikut serta berusaha terus-menerus Indonesia menjadi lebih baik.

Sebagai salah satu bentuk usaha bisnis, saya teringat kata-kata Matsuhita tentang kelompok usahanya. Laba bukanlah cermin kerakusan perusahaan. Laba, tanda kepercayaan masyarakat. Laba, pertanda efisiensi.  Setiap perusahaan memiliki kebudayaan korporat yang berbeda satu sama lain. Kebudayaan korporat memberikan corak yang khas. Kebudayaan korporat hanya bisa ditumbuhkan  kalau ada nilai-nilai sebagai roh yang dihayati bersama oleh seluruh pimpinan dan karyawan.


Nilai-nilai itu disampaikan sebagai tradisi lisan dan tertulis, dalam keteladanan dan sosok-sosok manusia yang terlibat di dalamnya. Kami meninggalkan falsafah, etika, dan budaya kerja-secara tertulis pernah disampaikan Saudara PK Ojong dalam Falsafah Perusahaan Kita, secara tradisi dalam jatuh bangun mengembangkan Kompas Gramedia bersama para pimpinan dan karyawan selama 50 tahun ini.
Bersamaan pula dikembangkan kebiasaan yang mendukung etika dan etos dalam bekerja. Jujur, bekerja tuntas, tegas, tetapi juga punya hati; turunan semangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam bentuk terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari --relatif memang-- karyawan dan keluarganya yang kini mencapai lebih dari 19.000 orang.

Kami bahu-membahu, memperkaya dan mengembangkan etos dan etika itu, menstranfernya sebagai budaya korporat. Budaya itu terus diperkaya, dipraktikkan, dan dirumuskan menjadi kerangka dan pedoman kerja.  Muaranya plus-minus ikut serta mengambil bagian dalam membangun Indonesia yang lebih baik.  Jiwa dasarnya Indonesia kecil, kemanusiaan yang beriman, demi kemaslahatan manusia dan kemanusiaan.

Jiwa dasar itu menjadi tali pengikat, sumber referensi yang senantiasa dalam penerjemahannya disesuaikan dan diperkaya oleh kondisi dan perkembangan zaman. Perusahaan ini berkembang selain karena kerja keras, kompetensi dan sinergi, juga berkat penyelenggaraan Allah (providentia dei) lewat tangan-tangan kita manusia dengan kelebihan dan kekurangan kita.

Selayaknya rasa terima kasih dan bersyukur disampaikan. Jauh dari sikap jumawa dan arogan, KG menjadi sarana dan jalan bagi kebahagiaan banyak orang. Bekerja senantiasa merupakan praktik dan refleksi ibadah, ora et labora, berdoa dan bekerja.  Lima puluh tahun Kompas Gramedia tumbuh dan berkembang berkat kerja sama kita yang berpilin tangan secara sinergik, memperoleh kepercayaan masyarakat, didasari atas cita-cita tidak sekadar usaha bisnis tetapi juga mengembangkan ide-ide Keindonesiaan.

Keberhasilan ini berkat bantuan banyak pihak, para pemangku kepentingan.  Kesempatan ini sekaligus untuk mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak, karena saling menyertai dan saling mendukung perjalanan KG sebagai bagian dari mengembangkan Indonesia Kecil. Tantangan ke depan semakin berat, tetapi niscaya beban itu menjadi ringan manakala kita dukung bersama. Hari ini niscaya endapan hari kemarin sekaligus proyeksi esok hari! *

Sumber: Tribun Manado edisi Senin 19 Agustus 2013 hal 1

Mantan Pastor Ini Divonis Seumur Hidup

Herman Jumat Masan, mantan pastor di Maumere, divonis penjara seumur hidup oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Maumere.

Herman divonis penjara karena terbukti membunuh seorang perempuan bernama Mery Grace dan dua bayi hasil "hubungan gelap" mereka, sepuluh tahun silam di TOR Lela, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka.

Vonis tersebut dijatuhkan majelis hakim dalam persidangan di Pengadilan Negeri Maumere, Senin (19/8/2013) pagi.

"Herman adalah seorang pastor, yang seharusnya memberikan contoh yang baik pada umatnya. Herman juga seorang berpendidikan teologi dan seorang pembina calon imam. Perbuatannya sungguh meresahkan masyarakat," kata Ketua Majelis Hakim Beslin Sihombing, ketika membacakan vonisnya.

Sebelumnya diberitakan, Herman kali pertama berkenalan dengan Mery Grace pada tahun 1995. Ketika itu, Herman sedang menjalani praktik pastoral, sementara Mery adalah mahasiswa di STFK Ledalero. 

Selanjutnya pada tahun 1997, Herman bertugas di Lela, dan Mery Grace bekerja di RSU Lela. Pada tahun 1998 Herman dan Mery menjalani hubungan pacaran.

Hasil dari hubungan itu, Mery Grace hamil tiga bulan pada tahun 1998. Kehamilan itu, disembunyikan oleh Mery agar tidak diketahui orang lain.

Pada Juni 1999 pukul 19.00 Wita bertempat di kamar Herman, lahir anak pertama hasil pacaran dengan Herman. Bayi laki-laki itu ditutup mulutnya karena takut ketahuan orang hingga bayi laki-laki tersebut meninggal dunia.

Selanjutnya, bayi itu dikuburkan di depan kamar Herman dan ditanami bunga di atasnya sebagai tanda. Pada tahun 2001, Herman dan korban kembali menjalin hubungan, dan melahirkan anak kedua pada Maret 2002. Anak itu dibiarkan mati, lalu dikuburkan di depan kamar Herman dan ditandai bunga.

Seusai melahirkan anak kedua, korban mengalami pendarahan dan tidak dibawa ke dokter selama sembilan hari. Akhirnya, korban meninggal dunia dan dikuburkan di depan kamarnya Herman, dan lagi-lagi ditandai dengan bunga.

Sumber: Tribun Manado

Butet Memiliki Tangan Karunia...

Butet dan Owi
SRIKANDI bulutangkis asal Manado ini telah menorehkan tinta emas bagi Indonesia.  Dengan meraih juara dunia nomor ganda campuran bersama pasangannya Ahmad Tontowi di Guangzhou-China, 11 Agustus 2013,  Liliyana Natsir menjadi pemain Indonesia pertama yang menjadi juara dunia sebanyak tiga kali dengan pasangan berbeda.

Siapa sebenarnya Liliyana Natsir atau akrab disapa Butet?  Bagaimana dia dibentuk menjadi atlet bulutangkis terkemuka saat ini?  Berikut  penuturan Benno Natsir dan Olly Maramis,  ayah dan ibu Butet kepada Tribun Manado hari Rabu 14 Agustus 2013.

Menurut Benno, saat masih di bangku SD, Liliyana belum menunjukkan kecintaannya terhadap olahraga bulutangkis. '' Semua olahraga digelutinya, '' kata lelaki  yang masih energik di usia 57 tahun ini.

Benno pun mengaku belum mengarahkan putrinya ke satu cabang olahraga tertentu. ''Saya memilih mensupport semua yang dia (Liliyana)," ujar Benno saat ditemui di  tempat usaha Bengkel Karona, Kelurahan Teling, Kecamatan Wanea, Kota  Manado.
Olly Maramis dengan medali dan trofi yang diraih Butet

Pada usia sembilan tahun Liliyana memutuskan mengikuti latihan bulutangkis di PB Pisok, Manado. Di sini dia mulai serius menggeluti bulutangkis, sehingga berhasil menjuarai pertandingan yang diadakan waktu itu di Sulawesi Utara (Suut).

Begitu sukses menjuarai pertandingan di tingkat Sulut, Liliyana terus diasah kemampuannya memainkan bulutangkis oleh pelatih di PB Pisok ini.

Singkat cerita Liliyana yang dinilai memiliki potensi luar biasa dipanggil mengikuti pelatnas bulutangkis dan menjadi andalan Indonesia di nomor ganda campuran. 

Sambil bercerita Benno mengantar dan menunjukkan kepada Tribun Manado beberapa piala dan medali yang pernah diraih putrinya. Di ruangan itu terdapat tujuh belas piala mulai dari berukuran kecil hingga besar serta terdapat empat medali yang diraih Liliyana. Satu di antaranya piala empat kaki yang berhasil  Butet dapatkan ketika  mengikuti turnamen Remaja se-Sulut saat usia 12 tahun. "Piala-piala ini ia (Liliyana) peroleh sewaktu turnamen digelar di Sulut saat remaja, '' kata Benno.

Medali-medali yang berada di ruangan itu didapat sewaktu meraih juara I di Palembang, 14 September 2004, medali mixed double yang digelar di Jakarta oleh Djarum, medali Parama Krida Utama dan medali berlambangkan Burung Garuda.
Sebagian koleksi piala Butet di rumah orangtuanya di Mando

Benno mengatakan, sebagian besar piala, medali dan dokumen foto yang diperoleh anaknya di dunia bulutangkis berada di rumahnya di Sumompo, Kecamatan Tuminting, Kota Manado. '' Semua ada di sana, termasuk foto bersama presiden dan juara dunia lainnya, '' ujarnya.

Beberapa prestasi yang diraih Liliyana Natsir yang diingatnya kata Benno, juara tunggal Garuda Remaja Indonesia Open 2001, juara dunia ganda campuran 2005, 2007 dan tahun 2013 serta  Finalis Kejuaraan Dunia di India 2009.

Ayahanda Liliyana menceritakan, anaknya semakin intens dan terlihat potensinya di bulutangkis saat berusia 14 tahun. Awal karier Liliyana yang paling diingatnya yaitu, ketika menjuarai Piala Rektor Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado kala itu, dan mendapat beasiswa untuk kuliah.

 Sayang anaknya ini  memilih tak melanjutkan sekolah, sehingga beasiswa pemberian Rektor Unsrat saat itu tak digunakan.

Benno juga menceritakan, ibunda Liliyana, Olly Maramis (56) mempunyai hobi bermain bulutangkis. Karena itu, anaknya itu juga sempat mendapat ilmu dari ibunda tercinta. ''Barangkali dia (Liliyana) ikut ibunya yang hobi bulutangkis, sehingga menjadi terkenal seperti saat ini, '' ujarnya.

Dia menambahkan, putrinya Liliyana mempunyai kakak bernama Kalista Natsir, saat ini berusia 33 tahun dan berprofesi sebagai dokter umum di Jakarta.
Ahsan, Hendra, Butet dan Owi. Juara Dunia 2013

Atas prestasi anaknya yang ikut mengharumkan nama Sulut dan Indonesia,  kata Benno, Gubernur Sulut Dr Sinyo Harry  Sarundajang pernah mengundang Liliyana bersama keluarga untuk bertemu di rumah dinas. Ketika itu, gubernur menjanjikan apresiasi terhadap prestasi anaknya.

"Saya ingat jelas apa yang dikatakan Gubernur ketika itu. Pak gub bilang dia lagi pikir- pikir hadiah apa yang akan di berikan kepada Liliyana,'' kata Benno sambil menambahkan anaknya pernah kecewa karena janji itu tak terealisasi.

Hanya saat ini sebagai ayah dan anggota keluarga lainnya berharap Liliyana bisa memperoleh medali emas di Olimpiade Brasil 2015.

Ramalan Sang Pelatih


Pada usia 11 tahun Butet  masuk pelatihan di Klub Bina Tangkas, Jakarta, dengan pelatih Hendri Syahputra. Suatu ketika Hendri mengatakan bahwa Liliyana mempunyai tangan karunia yang akan mendunia.

''Benar saja saat ini Liliyana dengan tangannya telah mendunia, setelah menjadi juara dunia tiga kali di nomor ganda campuran, '' kata ibunya Olly Maramis, Kamis (15/8/2013) di rumahnya, Jalan Santiago, Sumompo tepatnya di kompleks Lapas Tuminting-Manado.

Olly yang saat itu didampingi Kalista Natsir, sang kakak juara dunia itu, mengatakan  medali yang diperoleh Liliyana dan berada di rumah itu berjumlah 44 medali dengan rincian medali emas 26, medali  perak 10, medali  perunggu delapan. Medali lain berada di Jakarta dan belum sempat di bawah ke Manado.


Sang ibunda juga menceritakan, saat berusia 15 tahun Liliyana pernah ditawari Taiwan dengan kontrak Rp 15 juta per bulan pada tahun 1998.

 "Tawaran itu tak diterima Liliyana dan keluarga, karena kami sangat mencintai Indonesia terlebih Manado, ''kata Olly.  Olly mengenang pernah suatu ketika, tepatnya Liliyana duduk di bangku kelas IV SD Eben Heazer Teling ada pertandingan Basket antar Sekolah Dasar. Anaknya ini terpilih satu di antara pemain yang memperkuat tersebut.

Saat partai final Liliyana tak bisa ikut, meski guru dan temannya datang mengajak. Ini karena Liliyana sakit cacar air.

Ketika kelas 5 SD , Ia terpilih sebagai pemain bulutangkis walaupun belum pernah memegang raket kala itu. Dalam pertandingan Ia berhasil keluar sebagai juara I, tapi tidak terpilih  mewakili Sulut ke tingkat Nasional dengan alasan tidak memiliki teknik memukul bola dengan baik. Tapi dengan tekat dari orangtua Ia tetap pergi ke Jakarta bersama ibunya.

Setelah selesai SD ayahnya mendaftarkannya masuk PB Pisok Manado, tapi  hanya beberapa bulan berlatih Ia pindah di Pusdiklat. Di situpun anaknya berlatih tak sampai setahun.

Olly mengaku dengan keberadaan anaknya. Karena, meski berada di rantau namun memberikan prestasi terbaik buat orangtua, keluarga dan negara.
Owi dan Butet

Olly mengatakan, selalu mengingatkan kepada anaknya agar disiplin saat menjalani latihan di pelatnas. '' Saya bilang walau sudah senior di pelatnas jangan sombong, tetap rendah hati dan jangan membantah perintah pelatih, '' ujarnya.

Sang ibunda juga mengenang pada tahun 2002, anaknya pernah dikeluarkan di pelatnas, tapi Ia tidak patah semangat dan turun di kejuaraan bebas dan membuktikan bahwa Ia memang memiliki bakat luar biasa. "Semua atlet pelatnas yang ikut dalam kejuaran terbuka dikalahkannya dan menjadi juara satu," kata Olly.

Dia menambahkan, hadiah paling besar diperoleh anaknya, ketika menjuarai turnamen All England tahun 2012 dengan total hadiah Rp 700 juta. Untuk juara dunia saat ini belum tahu berapa total hadiah yang akan Ia terima. "Kontrak Lilyana saat ini selama satu tahun mencapai Rp 1,3 miliar," ujar Olly.

Olly juga menceritakan, sewaktu mengandung anaknya Liliyana, ada pertandingan bulutangkis siapapun yang bertanding baik tengah malam dia tetap menonton pertandingan itu. "Ya mungkin sejak itu juga ia memang sudah mengenal bulutangkis, tanggal lahirnya juga bertepatan dengan hari olahraga nasional 9 September 1985," tuturnya.

Dia mengaku sering berpesan kepada anaknya, kalah menang biasa, tapi kalah harus dengan terhormat. '' Jangan bermain jelek, tetap bermain dengan baik walaupun pasanganmu jelek jangan mengikuti. Saya tidak pernah memojokkannya saat kalah tetap memberikan motivasi terbaik agar bangkit dari kekalahan," demikian Olly Maramis. (maickel karundeng)

Rekor Si Butet!


Luar biasa Liliyana Natsir! Pebulutangkis Indonesia kelahiran Manado 9 September 1985 itu meraih gelar juara dunia ketiga kalinya. Rekor terbanyak untuk pemain Indonesia di kejuaraan dunia bulutangkis.

Tahun 2013 ini Liliyana meraih gelar juara dunia ganda campuran bersama pasangannya Tontowi Ahmad. Indonesia juga meraih gelar juara di nomor ganda putra lewat pasangan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan.

Liliyana Natsir kini menjadi pemain Indonesia pertama yang pernah menyandang predikat juara dunia sebanyak tiga kali. Hendra Setiawan juga menyamai prestasi pendahulunya sebanyak dua kali. Butet -- sapaan Liliyana -- untuk ketiga kalinya menyandang predikat juara dunia setelah memenangi nomor ganda campuran di BWF World Championship 2013 di Guangzhou, China.
Owi dan Butet

Berpasangan dengan Tontowi Ahmad, di final mereka menaklukkan unggulan teratas asal China,  Xu Chen/Ma Jin dengan skor ketat 21-13, 16-21, 22-20 di Guangzhou, Minggu 11 Agustus 2013.
.
Sebelumnya Liliyana mengukir prestasi serupa di tahun 2005 dan 2007, kala berpasangan dengan Nova Widianto. Butet pun menjadi pemain ke-13 yang pernah menjadi juara dunia minimal tiga kali -- dan satu-satunya dari Indonesia. Khusus di nomor ganda campuran, ia mengikuti jejak legenda Korea Selatan, Park Joo Bong, yang pernah tiga kali meraihnya.

Khusus bersama Tontowi alias Owi, kemenangan di Guangzhou ini merupakan gelar keempat tahun ini. Sebelumnya mereka menjadi juara di All England, India Open dan Singapura Terbuka. Owi/Butet juga tercatat sebagai juara All England tahun 2012 dan 2013. Sementara  Hendra Setiawan menambahkan koleksi gelar juara dunianya menjadi dua, setelah meraihnya  tahun 2007 bersama Markis Kido.

Bersama Kido pula pria kelahiran Pemalang, Jawa Tengah, 25 Agustus 1984, itu mempersembahkan medali emas untuk Indonesia di Olimpiade 2008. Hendra juga kini tercatat sebagai pemain Indonesia keempat yang pernah empat kali menyandang status juara dunia.
Butet dan Owi

Tiga nama sebelumnya adalah spesialis ganda, yaitu Christian Hadinata, Ricky Subagja, dan Nova Widianto. Bersama Ahsan, Hendra telah mengumpulkan empat titel juara  tahun 2013 ini setelah Malaysia Terbuka, Indonesia Terbuka, dan Singapura Terbuka.

Para juara dunia asal Indonesia
1977 - Tjun Tjun/Johan Wahyudi
1980 - Rudy Hartono, Verawaty Fajrin, Christian Hadinata/Ade Chandra, Christian              Hadinata/Imelda Wiguna
1983 - Icuk Sugiarto
1993 - Joko Surprianto, Susi Susanti, Ricky Subagja/Rudy Gunawan
1995 - Heryanto Arbi, Ricky Subagja/Rexy Mainaky
1997 - Candra Wijaya/Sigit Budiarto
2001 - Hendrawan, Tony Gunawan/Halim Haryanto
2005 - Taufik Hidayat, Nova Widianto/Liliyana Natsir
2007 - Markis Kido/Hendra Setiawan, Nova Widianto/Liliyana Natsir
2013 - Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir (osi/berbagai sumber)

Sumber: Tribun Manado cetak edisi 11,  15-16 Agustus 2013 hal 1

Cerita Sejumlah Rekan Sebelum Udin Meninggal

Tidak ada yang aneh ataupun istimewa dan semuanya berjalan biasa-biasa saja, pada Selasa 13 Agustus 1996 sebelum penganiayaan yang berakhir kematian wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafrudin atau lebih dikenal sebagai Udin.

Redaktur Bernas Heru Prasetya, atasan Udin saat itu terakhir kalinya berkomunikasi dengan almarhum mengenai berita yang baru saja dikirim. Heru, ingat betul ketika itu sekitar pukul 20.00 WIB menyampaikan kepada wartawannya yang bertugas di Kabupaten Bantul tersebut bahwa berita yang baru saja dikirim tidak dapat dimuat pada keesokan harinya karena sudah terlalu malam.

Dua berita terakhir yang ditulis dan tidak sempat dibaca oleh Udin sampai menutup mata selama-lamanya itu, satu diantaranya adalah mengenai proyek pelebaran jalan yang tidak sesuai dengan rencana awal di Kabupaten Bantul. “Beritamu kuwi ora iso terbit sesuk (beritamu itu tidak bisa terbit besok),” kata Heru mengenang kalimat terakhir yang disampaikannya kepada Udin, saat diwawancarai Tribun Jogja.

Setelah sempat berkomunikasi, tidak lama kemudian Udin pulang ketempatnya bermukim di daerah Bantul sedangkan dia berkonsentrasi meneruskan pekerjaannya. Kemudian, ia mendengar pria berperawakan tinggi besar tersebut dianiaya oleh orang tak dikenal.

Selama mengenal Udin, Heru mengenangnya sebagai pribadi yang ramah dan suka bercanda walaupun tidak setiap saat. Selain, sering mengajak sharing dan diskusi mengenai apa yang harus dilakukannya ketika melakukan peliputan, berita yang harus segera ditulis seperti apa dan angel (sudut pandang) pemberitaannya.

“Pertama kali bertemu, saya takut karena perawakannya tinggi besar, brewok dan jarang bicara terus terang agak ragu ketika itu tetapi ternyata ramah dan suka bercanda,” tuturnya mengenang saat pertama kali bertemu Udin.

Kemudian, setelah Udin meninggal dan dimakamkan Heru baru mendapatkan keterangan dari beberapa wartawan yang juga merupakan rekan di Bernas pada malam itu sebelum pulang dia menemui dua orang tamu di kantor. Kedua tamu tersebut, sambungnya sebelumnya mencari Joko Mulyono wartawan yang juga bertugas liputan di Kabupaten Bantul tetapi karena yang bersangkutan sudah pulang akhirnya Udin yang menemui.

Setelah pertemuan itu, menurut beberapa teman-teman Udin terlihat seperti gelisah memikirkan sesuatu lalu membaca koran dan pulang.

Diakuinya, beberapa bulan sebelum kematian Udin sempat almarhum bercerita kepadanya dipanggil Dandim Kabupaten Bantul untuk dating ke Kodim tetapi dia tidak tahu untuk keperluan apa. Heru lalu menyarankan, untuk mencari tahu terlebih dahulu apa keperluan Dandim memanggilnya ke Kodim, apakah pertemanan biasa atau keperluan lainnya.

“Saya ketahui, belakangan Udin tidak pernah mendatangi Kodim untuk memenuhi undangan tersebut sampai hari kematiannya,” jelasnya.

Sebelum kematiannya, lanjut Heru kantor redaksi Bernas juga pernah didatangi rombongan dari Pemkab Bantul diantaranya Kabag Humas saat itu bersama staf kecamatan, meminta klarifikasi mengenai pemberitaan pemotongan dana Inpres Desa Tertinggal (IDT) di Karang Tengah Imogiri. Mereka, menyatakan bahwa tidak ada pemotongan seperti yang diberitakan oleh Bernas dan ditulis oleh Udin. Tetapi, saat dimintai konfirmasi Udin sanggup memberikan bukti-bukti beserta kuitansi pemotongan dana tersebut dan mempertanggungjawabkan bahwa berita yang ditulisnya bukan karangan.

Rekan Udin yang lainnya Adi Prabowo, mengingat almarhum sering sekali bercerita mengenai apa saja yang dilakukan selama seharian liputan termasuk berita-berita yang disebut-sebut sebagai pemicu penganiayaan tersebut. Dari cerita-cerita tersebut, Udin bukanlah tipe wartawan yang duduk manis di Humas tetapi wartawan yang benar-benar mencari data di lapangan.

“Saya sebagai yuniornya, banyak belajar dari dia bagaimana membuat jaringan dan di lapangan saat mendengar cerita yang disampaikannya hampir setiap hari,” kenang pria yang akrab disapa Aldo.

Aldo yang saat itu duduk bersebelahan dengan Udin ketika di kantor, menceritakan satu hal yang paling dikenangnya sampai saat ini adalah beberapa hari sebelum kematiannya sempat mengajak dia dan teman-temannya ke kediamannya dan memamerkan koleksi terbarunya berupa mobil Civic. Ia, masih ingat betul saat itu rekannya memamerkan bagaimana mengemudikan mobil yang baru saja dibeli dari cucuran keringatnya.

“Saya tahu betul, Udin wartawan yang jujur tidak pernah menerima apapun dari narasumber dan justru banyak memberi ke mereka. Ia, mengajarkan kepada kami untuk membuka usaha yang tidak bertabrakan dengan profesi dan tidak mengandalkan dari profesi wartawan meski saat itu gaji kami bisa dibilang lumayan,” paparnya.

Irkhamhadi sesama wartawan Bernas rekan Udin, mengingat beberapa saat sebelum kejadian pada Kamis 7 Agustus 1996. Ketika itu, mereka berdua liputan ke Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta saat di tengah perjalanan Udin yang memboncengkannya sedikit kesal karena membuat berita bagus tidak disenangi apalagi membuat berita jelek tambah tidak disenangi. “Wis ta niati kok ir menulis berita yang bahaya-bahaya (sudah saya niati Ir menulis berita yang berbahaya),” tirunya mengenang Udin.

Udin, menurutnya pembawaannya serius, jarang bercanda dan lebih banyak bekerja. Kehidupan pribadinya, setahunya rekannya yang bertugas di Kabupaten Bantul tersebut sangat sayang kepada sang istri dan sering mengajak keluar untuk sekedar makan bersama. Irkhamhadi, mengaku pernah bertemu keduanya sedang makan jagung bakar di Alun-alun utara.

Lain halnya Philipus Jehamun, rekannya di Benas ketika itu mengaku tidak ada firasat apapun sebelum kematian Udin. Ia, mengenang Udin sebagai wartawan yang sangat rajin menulis dan tulisannya pun sangat banyak tetapi tidak banyak berkomunikasi dengan rekan-rekannya yang lain. “datang, mengetik dan kemudian pulang,” jelasnya.

Kenangannya yang paling membekas, ia mempunyai panggilan khusus pada Udin. Philipus menyebutnya dengan panggilan pak Kapolres karena badannya yang tegap dan tinggi besar dibandingkan rekan-rekannya yang lain. (*)

Sumber: Tribun Manado

Prestasi Liliyana Natsir

Butet dan Owi
JIKA  Anda  menonton siaran langsung babak final kejuaraan dunia bulutangkis 2013 di Guangzhou China, Minggu (11/8/2013) petang, agaknya sepakat bahwa perjuangan pebulutangkis asal Manado, Liliyana Natsir luar biasa!

Bersama pasangannya di nomor ganda campuran,  Tontowi Ahmad, atlet kelahiran Manado 9 September 1985 yang akrab disapa Butet itu hampir saja gagal meraih gelar juara dunia.

Di game ketiga yang sangat  menentukan, mereka tertinggal poin 18-20 dari pasangan tuan rumah China,  Xu Chen/Ma Jin. Semestinya tinggal satu poin lagi andalan China akan merebut gelar juara dunia. Ribuan penonton  di Tianhe Indoor Stadium Guangzhou bahkan sudah mengelu-elukan nama Xu dan Jin.

Dalam posisi di bibir jurang kekalahan, Butet dan Owi -- sapaan akrab Tontowi tetap tenang. Menerima servis dari Xu, Butet menyodorkan bola ke sudut lapangan yang sulit dikembalikan lawan. Poin berubah 19-20. Kini giliran Owi yang pegang servis. Namun,  gemuruh suara penonton tuan rumah di Tianhe Indoor Stadium Guangzhou tetap membahana. Butet dan Owi benar-benar dalam tekanan yang luar biasa.

Lagi-lagi Butet dan Owi menunjukkan kelasnya sebagai pemain terbaik. Smes keras Owi menyamakan skor 20-20 (deuce). Ketegangan mulai merebak di Tianhe. Stadion berubah hening. Tekanan mental berbalik menghantui pasangan Xu dan Jin. Owi kembali servis dibalas neting tipis lawan. Butet kembali membunuh lewat penempatan bola akurat. Skor berubah 21-20 untuk pasangan Indonesia.

Owi dan Butet kini di atas angin. Buktinya  servis terakhir dari Owi malah dikembalikan lawan dengan keras hingga keluar lapangan. Dalam tempo kurang dari tiga menit, pasangan Butet/Owi membalikkan keadaan dan menang. Xu dan Jin seolah tak percaya mereka kalah di kandang sendiri. Demikian pula dengan penonton tuan rumah yang tertunduk lesu lantaran kemenangan di depan mata buyar sudah.  Lagu Indonesia Raya pun berkumandang di Guangzhou.

Sukses Butet/Owi seolah membuka jalan bagi pasangan ganda putra Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan meraih juara setelah menundukkan unggulan ketiga asal Denmark Mathias Boe-Carsten Mogensen 21-13, 23-21.

Seluruh anak bangsa ini pastilah bangga dengan prestasi atlet bulutangkis Indonesia yang berkibar lagi di kejuaraan dunia setelah terakhir pada tahun 2007.  Khusus Liliyana, inilah gelarnya ketiga dengan pasangan berbeda. Liliyana pun mencatatkan namanya sebagai pemain Indonesia pertama yang tiga kali jadi juara dunia sejak kejuaraan itu bergulir tahun 1977 silam. Pencapaian prestasi yang mengagumkan dan sulit disamai atlet lainnya.

Spirit kemenangan Butet tentunya mengusik sekaligus memberi insipirasi. Siapa lagi atlet asal Sulawesi Utara yang akan mengikuti jejaknya? Bumi Nyiur Melambai ini memiliki potensi atlet di hampir semua cabang olahraga. Kalau pembinaan berjalan konsisten sejak usia dini, bukan mustahil Sulawesi Utara akan kembali melahirkan Butet-Butet yang baru. Tidak hanya di cabang bulutangkis, tetapi juga di cabang olahraga lainnya. Prestasi Liliyana memancing kepedulian kita akan olahraga prestasi yang mengharumkan nama daerah, bangsa dan tanah air. *

Sumber: Tribun Manado 13 Agustus 2013 hal 10

Markus-Dara Jadi Bupati dan Wakil Bupati Sumba Barat Daya

ilustrasi
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD) menetapkan pasangan calon Markus Dairo Talu, SH-Drs. Dara Tanggu Kaha (paket MDT-DT) sebagai Bupati dan Wakil Bupati SBD terpilih.

Pasangan MDT-DT ini sebagai jawara mendulang suara terbanyak, yakni 81.543 suara atau 47,62 persen dari total suara sah.  MDT-DT unggul atas pasangan dr. Kornelius Kodi Mete-Drs. Daud Lende Umbu Moto (paket KONco OLE ATE) yang meraih 79.498 suara (46,43 persen) dan pasangan Jacob Malo Bulu, BSc-John Mila Mesa Geli, SE, MM (Paket Manis) dengan 10.179 suara (5,94 persen).

MDT-DT unggul di empat kecamatan,  yakni Wewewa Timur, Wewewa Barat, Wewewa Tengah dan Wewewa Selatan.

KONco OLE ATE unggul di enam kecamatan, yaitu Kota Tambolaka, Loura, Kodi Utara, Kodi, Kodi Bangedo dan Kodi Balagar. Sedangkan Paket Manis menang di Kecamatan Wewewa Utara.

Demikian hasil pleno rekapitulasi perolehan suara pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati SBD yang dilaksanakan KPU SBD, Sabtu (10/8/2013). Rapat dipimpin Ketua KPU SBD, Yohanes Bili Kii didampingi empat anggota komisioner.

Rapat pleno dihadiri saksi ketiga pasangan, paket MDT-DT beserta istri masing-masing. Tidak terlihat paket KONco OLE ATE dan paket Manis. Di luar kantor KPU, massa pendukung paket MDT-DT.

Keputusan KPU SBD ini diluar dugaan banyak pihak, termasuk paket KONco OLE ATE. Saksi dari KONco OLE ATE menyatakan menolak hasil pleno rekapitulasi dan penetapan bupati dan wakil bupati terpilih.

Saksi paket KONco OLE ATE, Wildan Samsi Pua Golo mengatakan, telah terjadi penggelembungan suara paket MDT-DT oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kecamatan Wewewa Tengah dan Wewewa Barat.

Wildan mengungkapkan, data yang dimiliki paket KONco OLE ATE berdasarkan C1KWK PPK Wewewa Tengah yang diperoleh setelah pleno tingkat kecamatan, paket KONco OLE ATE meraih 3.836 suara, sedangkan paket MDT-DT 11.474 suara.

"Tapi tadi yang dibaca PPK Wewewa Tengah, paket KONco OLE ATE meraih 3.339 suara dan paket MDT-DT meraih 22.891 suara. Mohon klarifikasi. Kami minta agar buka kembali C1 KWK," tegas Wildan.

Keberatan yang sama disampaikan Wildan ketika rekapitulasi perolehan suara PPK Wewewa Barat. Data versi PPK Wewewa Barat, paket KONco OLE ATE meraih 2.941 suara, dan paket MDT-DT meraih 23.337 suara.

Data itu berbeda dengan data yang dimiliki paket KONco OLE ATE berdasarkan C1KWK yang juga diperoleh dari PPK Wewewa Barat setelah pleno tingkat kecamatan, yakni paket KONco OLE ATE 3.297 suara dan MDT-DT  dengan 23.151 suara.

Permintaan saksi paket KONco OLE ATE agar dibuka kembali data C1KWK Kecamatan Wewewa Tengah dan Wewewa Barat tidak dituruti KPU. Ketua KPU menyarankan agar keberatan dinyatakan dalam berita acara, sebagaimana diatur oleh tata tertib rapat pleno.

Sikap KPU SBD berbeda dengan ketika menggelar rapat pleno rekapitulasi perolehan suara pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTT tingkat Kabupaten SBD beberapa waktu lalu.

Saat itu ketika terjadi selisih data dan dikomplain oleh saksi, KPU SBD bersedia membuka dan menggelar data C1 KWK untuk mencocokan kebenaran. Bahkan KPU SBD bahkan menyandingkan dengan data yang dimiliki Panwaslu SBD.

Dikonfirmasi tentang sikap yang berbeda, Ketua KPU SBD, Yohanes Bili Kii mengakui kekurangan. Ia beralasan rapat pleno tingkat kabupaten merujuk pada data perolehan suara PPK.

Rapat pleno rekapitulasi suara dan penetapan bupati dan wakil bupati terpilih berlangsung tegang. Massa paket MDT-DT memadati halaman luar kantor KPU SBD. Aparat keamanan dari TNI, Brimob dan Polres Sumba Barat siap siaga dengan senjata ditangan.

Rapat yang direncanakan mulai pukul 09.00 Wita molor. Rapat baru dibuka ketua KPU pukul 10.30 Wita. Rapat diwarnai interupsi oleh undangan yang menurut tata tertib tidak memiliki hak suara, tapi ketua KPU membiarkan mereka berbicara.

Selain itu, diwarnai juga aksi walk out saksi paket KONco OLE ATE. Namun dalam perjalanan kembali masuk ruang rapat pleno bersama Daud Lende Umbu Moto, calon wakil bupati dari paket KONco OLE ATE.*

Sumber: Pos Kupang

DKPP Pecat Semua Anggota KPU Nagekeo

ilustrasi
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memecat lima anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT) karena melanggar kode etik saat proses tahapan pemilu kepala daerah (Pemilukada) Nagekeo.

Lima anggota KPU yang dipecat itu ialah Ketua Yohanes Ardus Seda dan empat anggota yakni Mathilde Paulina Dhae, Martinus Syrilus Malo, Marianus Bele Ritan dan Nikolaus Hema Daen. Laporan ke DKPP disampaikan oleh Petrus Salestinus, kuasa hukum tiga pasangan calon bupati yang kalah dalam pemilu kada Nagekeo putaran pertama.

Juru bicara KPU NTT mengatakan pascapemecatan anggota KPU tersebut seluruh tugas-tugas KPU Nagekeo diambilalih oleh KPU NTT. “Termasuk proses pemilu kada yang saat ini masih berlangsung,” kata Djidon Jumat (2/8/2013). Pemecatan terhadap lima anggota KPU sejak Kamis (1/8/2013).

Pelanggaran yang dilakukan lima anggota KPU itu ialah menggugurkan dua pasangan calon bupati untuk ikut pemilu kada yakni pasangan Mbulang Lukas-Angela Regina Maria Wea dan pasangan Mersellinus Ado Wawo-Marsel Lowa. Terkait kasus tersebut, lima anggota KPU tersebut dilaporkan ke DKPP.

Kesalahan anggota KPU Nagekeo lainnya sesuai laporan tersebut yakni  sengaja melakukan kecurangan untuk menguntungkan pasangan calon lain, khususnya pasangan Elias Djo dan Paulinus Y. Nuwa Veto (Lilin). Beberapa pelanggaran yang sengaja dilakukan KPU Nagekeo menurut Dia yakni adanya formulir C1.KWK-KPU beserta lampirannya dan formulir lampiran Model C1.KWK-KPU dalam bentuk format fotocopI, bukan format asli dari percetakan.

Formulir itu tidak dicetak dengan model pengamanan atau security paper/microteks sehingga dianggap berpeluang digandakan secara illegal dan terjadinya pemalsuan. Formulir ini dipakai di sekitar 70 persen tempat pemunggutan suara (TPS) di tujuh kecamatan di Nagekeo

Ia mengatakan tugas anggota KPU NTT di Nagekeo berakhir setelah pemilihan anggota KPU Nagekeo yang baru. Saat ini KPU NTT fokus mensukseskan pemilu kada Nagekeo putaran kedua. Pada pemilu kada Nagekeo putaran pertama Juli lalu, dua pasangan ditetapkan maju ke putaran kedua yakni Elias Djo-Paulinnus Nua Veto meraih suara terbanyak yakni 19.354 (28,62%) dari 67.628 suara sah, dan pasangan Servasius Podhi-Ibrahim Yusuf meraih suara terbanyak kedua berjumlah 13.188 suara (19,50%).

Kesalahan lainnya ialah beberapa formulir model C1.KWK tertera tulisan ‘Pemilihan Umum Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur.’ Terdapat Formulir Model DA1-KWK-KPU yang bertuliskan tanda tangan saksi pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Seharusnya bertuliskan pasangan calon bupati dan wakil bupati. Kesalahan juga terjadi pada formulir Model BC-KWK, tertera tanda tangan para komisioner KPU tertulis Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sikka, bukan Kabupaten Nagekeo.

Selain melaporkan KPU Nagakeo ke DKPP, Petrus Salestinus juga melaporkan anggota KPU Nagekeo ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (GBA)

Sumber: Lintas NTT

You Are Woman!

ilustrasi
Catatan Sepakbola Dion DB Putra *

PERASAAN
Adam Goodes remuk. Ketika dia berjalan ke bibir lapangan terdengar suara yang memanggilnya  'monyet'. Panggilan yang sudah berulangkali melukai batinnya. Dia berbalik, coba  mencari sumber suara itu. Matanya terbelalak. Sapaan 'monyet' datang dari seorang gadis kecil berusia 13 tahun! "Ini benar-benar menghancurkan hati saya," kata Goodes.

Goodes merupakan pemain  Australian Football (AFL) dari tim Sydney Swan. Hari itu, 25 Mei 2013 dia membela timnya saat bertanding melawan tim Collingwood Magpies di Stadion MCG atau Melbourne Cricket Ground. Goodes yang telah bermain dalam 328 pertandingan AFL, berhasil mengantar timnya menang atas Magpies. Itu kemenangan bersejarah karena untuk pertama kalinya selama 13 tahun. Namun, sapaan 'monyet' dari bocah 13 tahun membuat kemenangan itu seolah tak berarti apa-apa bagi Goodes.

"Kemenangan ini tidak ada artinya. Ketika saya berbalik dan melihat bahwa yang mengucapkan itu seorang anak perempuan, saya berpikir oh Tuhan...yang benar saja? Mengapa seorang anak berusia 13 tahun sudah bersikap rasis," kata Adam Goodes yang berdarah Aborigin. Sebagai anak Aborigin,  jelas kulitnya hitam dan rambutnya keriwil-keriwil mirip keriting. Beda dengan anak perempuan berkulit putih dan rambut pirang yang menghujatnya.

Seperti dikutip dari www.radioaustralia.net.au, polisi sempat menanyai anak perempuan itu kemudian melepaskannya. Si bocah ini pun sudah menyampaikan permintaan maaf kepada Goodes lewat telepon beberapa jam kemudian.

 Menurut Goodes, dia  tidak menyalahkan anak tersebut. Anak ini pasti belum mengerti apa-apa dengan menyapa seseorang sebagai 'monyet'. Dia tak paham implikasi dan dampak psikologisnya.  Struktur sosial yang rasislah yang telah membentuk wataknya sejak usia muda untuk 'membenci' orang lain dengan penampakan ragawi berbeda, jenis kelamin berbeda, agama, suku, bangsa berbeda.

Dari pengalaman yang menyakitkan itu, Adam Goodes kembali  menyerukan pentingnya kampanye global untuk menjauhkan anak-anak sejagat dari rasisme. Salah satunya lewat pendidikan yang benar. Seruannya mendapat respons positif dari banyak warga Australia.  "Kita harus membantu masyarakat agar bersama-sama menghindari tindakan seperti ini tidak terjadi lagi. Saya mendapat dukungan yang fantastis selama 24 jam terakhir," katanya kala itu.

                                                              ***

RASISME
dalam dunia olahraga bukan hal baru, terlebih untuk cabang olahraga terpopuler sedunia, sepakbola. Sikap rasis sering menyembul genit dalam kejuaraan antarnegara atau antarklub. Tentu saja hal itu dipicu oleh banyak faktor. Sebut misalnya sejarah sebuah bangsa, ego etnis, kesenjangan ekonomi dan lainnya.  Di benua Eropa,  Inggris dan Italia merupakan negara dengan catatan sangat buruk dalam masalah ini.

Badan sepakbola dunia (FIFA) dan badan sepakbola Eropa (UEFA) dalam satu dasawarsa terakhir lumayan getol kampanyekan antirasis dengan mengusung bendera Say No To Racism menjelang setiap laga  resmi.  FIFA dan UEFA sudah menelurkan beragam aturan yang menghukum  pemain, penonton, klub, dan badan sepakbola suatu negara bilamana bertindak rasis.

Beberapa kasus rasis yang terjadi di Liga Inggris bisa disebut di sini. Pemain  Manchester United, Rio Ferdinand mendapat hukuman dari FA, badan sepakbola Inggris setelah dia  berkomentar rasis di twitter yang mengejek bek andalan Chelsea dan timnas Inggris, Ashley Cole. Ferdinand menyapa Cole dengan choc ice yang  menggambarkan seseorang berkulit hitam namun orang itu merasa kulitnya putih.

FA pernah melarang Kapten Chelsea, John Terry bermain dalam pertandingan dan membayar  denda 220.000 poundsterling. Terry dihukum karena menghujat bek Queens Park Rangers, Anton Ferdinand, dengan kalimat rasis.

Dalam rangka mendukung kampanye antirasis, manajemen klub terkemuka Inggris,  Liverpool pada awal musim kompetisi 2013-2014 ini mengeluarkan ketentuan yang patut diapresiasi secara positif.  Manajemen klub The Reds terbitkan  aturan yang melarang penggunaan frasa tertentu yang mendiskreditkan orang lain terkait jenis kelamin, suku, agama, ras atau cacat fisik.

Kata-kata semisal queer (merujuk pada gay), lezzer (merujuk pada lesbi), midget (cebol atau kerdil) adalah beberapa contoh kata yang dilarang. Selain itu ungkapan  'you are women! (kamu perempuan) atau  'jangan bermain seperti perempuan' serta 'jadilah laki-laki' juga tak boleh digunakan. Ketentuan ini jelas merupakan tantangan bagi staf, ofisial, pelatih dan pemain Liverpool.  Maklum sebagian besar dari mereka kerapkali mengeluarkan kata-kata seperti di atas ketika sedang kesal.  Seperi dikutip dari Marca, Pelatih Liverpool  Brendan Rodgers cukup sering menggunakan kalimat tersebut musim yang lalu.

"Kami ingin karyawan kami menyadari kata-kata yang tak pantas dan kemudian mengambil langkah yang dibutuhkan untuk memastikan Anfield bebas dari semua bentuk diskriminasi," begitu statemen resmi manejemen Liverpool. Guardian melaporkan kalau langkah Liverpool mengeluarkan aturan ini terkait dengan kritik tajam terhadap klub ini menyusul pembelaan yang mereka lakukan pada Luis Suarez terkait kasus rasialnya terhadap Patrice Evra. Dengan mengeluarkan aturan ini,  Liverpool ingin memperbaiki citranya.

Apakah sikap rasis hanya terjadi di manca negara? Jangan salah bung! Di negeri kita ini rasisme pun mulai mekar berbiak. Kompetisi Liga Indonesia sudah berkali- kali dinodai sikap rasis tersebut. Sekadar misal, pemain klub Persipura Jayapura mendapat perlakuan rasis saat bertanding melawan Arema di Malang belum lama ini.

Aremania - sebutan bagi pendukung Arema melempari para pemain Persipura di lapangan bahkan istri para pemain di tribun VIP. Aremania pun dengan vulgar memperlihatkan replika keranda mayat bertuliskan Persipura dan menirukan tingkah laku monyet. Keterlaluan, Persipura dilukiskan sebagai monyet!

Masih banyak kasus serupa yang terjadi di Indonesia. Jika Anda rutin menonton pertandingan kompetisi Liga Indonesia, nyanyian bernada rasis nyaring terdengar di berbagai stadion. Demikian pula ejekan dan hujatan yang menghina pemain lawan.

Perbedaannya terletak di sini. Bila di luar sana sanksinya tegas bagi pemain, klub atau penonton yang bertindak rasis, di bumi Nusantara masih sebatas imbauan, sekadar kata-kata. Aturan soal rasisme di negeri ini masih abu abu. Semoga Indonesia yang multietnik ini tidak menjadi ladang emas rasisme yang melukai sesama. Pelangi itu indah karena warna berbeda bukan?  Salam bola!

Sumber: Tribun Manado

Malam Berdarah di Rumah Bung Karno

ilustrasi
BEBERAPA orang pandu dan pemuda Republikein, masing-masing membawa obor, bersiap membakar tumpukan kayu untuk membuat api unggun. Para pemuda lainnya duduk mengelilingi hangatnya tabunan. Malam itu adalah perhelatan peringatan yang ketiga berdirinya Republik Indonesia, yang digelar di halaman rumah Bung Karno.

Setahun sebelumnya, mereka baru terlepas dari dera aksi polisionil lantaran perbedaan penafsiran Belanda dan Republik Indonesia terhadap isi Perundingan Linggarjati.

Meski proklamasi kemerdekaan telah dikumandangkan sejak 1945 dan berita lahirnya Republik Indonesia telah menyeruak ke seantero dunia, kedaulatan tampaknya belum sepenuhnya ada di tangan para bangsa ini. Pada kenyataannya, Belanda masih sangat berhasrat untuk mengambil permatanya yang hilang ini.

Pada 16 Agustus 1948 itu, polisi Belanda melepaskan serentetan tembakan yang menyebabkan korban di pihak pemuda. Malam itu terjadi huru-hara. Bentrokan pemuda dan polisi menyebabkan beberapa pemuda lain terluka. Namun, Soeprapto Dwidjosewojo, seorang pandu, tertembak dan nyawanya tak dapat diselamatkan.

Polisi Belanda berhasil menduduki rumah Bung Karno yang sejak 1 Juli 1948 resmi dijadikan Gedung Pemerintah Republik Indonesia. Mereka merampas dokumen-dokumen Pemerintah RI. Kejadian ini menyebabkan terjadinya ketegangan politik kembali lantaran Pemerintah RI merasa dilanggar kekebalan diplomatiknya.

Sebuah foto menunjukkan jenazah pandu Soeprapto terbujur kaku di ranjang rumah sakit yang berseprai putih. Mata dan mulutnya tertutup kapas. Pundak kirinya terbungkus perban. Seorang perawat tampak sedang membuka selimut putih untuk memberi kesempatan fotografer mengabadikan sosok terakhir sang pandu. Mungkin Mendur bersaudara yang memotretnya.

Esok paginya, tepat di hari perayaan ulang tahun Republik, Roemah Sakit Pergoeroean Tinggi Salemba diduduki oleh polisi Belanda. Puluhan dokter dan ratusan perawat meninggalkan pekerjaannya. Mereka menyerukan ketidaksenangan terhadap kejadian ini. "Sekali Republikein, tetap Republikein!" 

Seminggu setelah bentrokan, ayah pandu Soeprapto yang bernama Mr Dwidjosewojo mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai pegawai suatu institusi peninggalan Hindia Belanda. Peristiwa tersebut juga menuai simpati tak hanya dari kalangan Republik, tetapi juga warga Belanda. Seorang kolega Mr Dwidjosewojo yang juga pejabat Belanda, Dr Verdoorn, turut meletakkan jabatannya dan mengundurkan diri dari pekerjaan. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Sumber: Kompas.Com

Semarak Pengucapan Syukur di Minahasa

Puncak  Acara Pengucapan Syukur di berbagai daerah di Sulut baru berlangsung Minggu (8/7/2012). Namun, kemeriahannya telah berdenyut sejak beberapa pekan lalu.

FAKTA
menarik terlihat di Kota Manado.  Sepekan menjelang perayaan pengucapan syukur di wilayah Kabupaten Minahasa, Minahasa Selatan, dan Minahasa Tenggara, permintaan jasa service sepeda  motor meningkat drastis.Pantauan Tribun Manado di bengkel Ahass King Motor Malalayang, Jumat (6/7/2012),  pemilik sepeda motor ramai-ramai mendatangi bengkel resmi sepeda motor Honda ini.

 "Dalam sehari motor yang dibawa ke sini sampai 50 unit. Biasanya hanya 30 unit sehari," ujar Trisno Molle, kepala bengkel Ahass King Motor Malalayang. Menurut dia, hal itu sudah terjadi sejak sepekan terakhir.

Menurut Trisno, peningkatan tersebut berkaitan dengan persiapan warga Kota Manado menjelang pengucapan syukur. "Seperti tahun lalu, biasa kalau sudah dekat pengucapan syukur ada banyak warga yang minta diservice motornya," jelas Trisno.
Jasa yang paling banyak diminta adalah service ringan semisal ganti oli, setel rantai, cuci karburator dan saringan udara, setel rem dan lampu.

"Biasanya service ringan yang paling banyak  agar performa motor mantap jika melakukan perjalanan jauh," kata Tresno. Tresno menambahkan, selama  bulan Juni 2012  permintaan jasa service ringan di bengkel itu ini mencapai angka 1.100 unit motor. "Untuk sekali service konsumen hanya dikenakan biasa 30 ribu rupiah," kata Tresno.

Sementara itu pada puncak perayaan pengucapan syukur Minggu besok sejumlah ruas jalan di wilayah Minahasa dipastikan macet. Untuk itu  Polres Minahasa akan mengerahkan 50 anggota Satuan Lalulintas (Satlantas). Kepala Satlantas Polres Minahasa, AKP Leo Defretes  mengatakan,  anggotanya akan ditempatkan pada titik-titik persimpangan yang rawan terjadi kemacetan.

"Kami  bekerja maksimal untuk menjaga ketertiban dan kelancaran lalulintas saat perayaan pengucapan syukur nanti,"  ujarnya, Jumat (6/7). Beberapa titik yang rawan terjadi kemacetan adalah simpang empat Gereja GMIM Schwars Langowan, simpang empat Tompaso dan simpang empat Kawangkoan yang menuju Minahasa Selatan. Potensi kemacetan paling besar terjadi di simpang empat Gereja GMIM Schwars Langowan karena warga di Minahasa Tenggara (Mitra) juga merayakan pengucapan syukur. Arus lalulintas pada ruas jalan ini akan padat karena simpang empat itu menjadi jalur favorit dari Manado menuju Mitra.

"Kami mengimbau warga tidak terpaku pada jalur utama dan memilih jalur-jalur alternatif agar tidak terjadi penumpukan kendaraan. Selain itu kami juga mengimbau agar mengikuti aturan lalulintas dan tidak berkendara dalam keadaan mabuk. Kami ingin semua pengendara dan penumpang selamat kembali ke rumah masing-masing," ujarnya.

Kultur Minahasa

Hampir semua  etnis di Nusantara bahkan dunia mengenal tradisi bersyukur. Namun beda dengan pengucapan syukur yang dirayakan tou (etnis) Minahasa. Tradisi perayaan pengucapan syukur sudah seutuhnya jadi fenomena kultural masyarakat Minahasa. Orang Minahasa merayakan penuh totalitas.  Dari intensitas kesemarakan yang ditandai pesta-pora konsumsi makanan.

Itulah mengapa etnis Minahasa yang sudah hidup jauh di rantau senantiasa menjadikan momentum pengucapan syukur sebagai kerinduan akan kampung halaman yang tidak dapat tergantikan oleh konsumsi hiburan lain seramai apapun, semodern apapun, di manapun. Perayaan thanks giving di Minahasa punya arti luas.

Tak sekadar mengucap syukur kepada Tuhan setelah diberikan hasil panen pertanian,  perikanan, perkebunan yang melimpah.  Namun, hajatan tahunan ini menjadi ajang silahturahim (bakudapa) antara saudara, kerabat, dan handai tolan.
Pengucapan seutuhnya fenomena Minahasa. Itu sangat kentara dan khas bila ditampak oleh orang dari luar lingkaran budaya Minahasa. Memang tampak di permukaan itu hanyalah bahwa orang Minahasa gandrung pesta, konsumtid suka hura-hura, dan boros. Tetapi sejatinya tidak demikian, tidak melulu senegatif itu.

Dan yang penting digarisbawahi, menghilangkan apa yang dianggap negatif itu sama dengan menghancurkan keutuhan tou Minahasa. Pesta pengucapan tumbuh dalam budaya agraris. Manusia memperoleh sumber penghidupan langsung dari alam, sehingga rasa syukurnya langsung diarahkan kepada Sang Pencipta dan Pemelihara Alam Raya.


Bukan Berfoya-foya


Warga Kecamatan Pasan, Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra) serta daerah lainnya di Minahasa siap merayakan pengucapan syukur hari ini,  Minggu (8/7). Setiap rumah tangga atau keluarga tentu telah menyiapkan anggaran mereka.  Robby Lumbu misalnya. Dosen pada beberapa universitas ini mengaku menyiapkan anggaran jutaan rupiah. "Saya rasa hampir semua rumah tangga rata-rata sekitar Rp 2 juta," ujarnya kepada Tribun Manado, Jumat  (6/7/2012).

Menurutnya,  anggaran sebesar itu cukup untuk membeli beras, daging, sayur dan berbagai jenis minuman. "Karena kan tidak semua makan di tempat. Kalau ada yang suka bungkus, tuan rumah harus siap-siap juga," tambah Robby.

Menurut Robby yang juga Sekretaris KNPI Mitra, momen pengucapan syukur bukan ajang berfoya-foya karena esensinya adalah rasa syukur. Pernyataan senada datang dari Ryo Lembong,  warga Buku Utara Kecamatan Belang. Ia pun mengaku menyiapkan dana sekitar Rp 2 juta. Dengan biaya sebesar ini dirasakan cukup untuk menjamu keluarga yang datang berkunjung.

Ita,  warga Watuliney Kecamatan Belang mempersiapkan anggaran sekitar 1 juta rupiah untuk pengucapan syukur tahun ini. "Ya sekitar sejuta untuk ikan, daging, sayur, kue-kue, dodol," katanya. Pernyataan berbeda datang dari Sujiharto Modeong. Dia tak merayakan pengucapan syukur  tetapi tetap ikut meramaikan perayaan hari ini. Sedangkan Veppy Rambi, warga Tolombukan Kecamatan Pasan tak merayakan pengucapan kali ini karena ada acara keluarga di Minahasa Selatan yang juga akan merayakan pengucapan. "Mungkin di rumah ada persiapan tapi ya biasa-biasa saja tak berlebihan karena saya juga ada acara di Minsel," tuturnya.

Camat Pasan, Yefta Sengka memprediksikan jumlah biaya yang dikeluarkan setiap keluarga tidak sampai jutaan rupiah. Menurut dia,  tak semua warga di wilayahnya menghabiskan dana jutaan rupiah. "Memang ada yang jutaan tapi kan tidak semua. Kalau mau dipukul rata mungkin sekitar 500 ribu per kepala keluarga (KK)   untuk pengucapan syukur kali ini," jelasnya.

Camat menambahkan,  jumlah KK yang tersebar di 11 desa di Pasan sebanyak 1.500 KK. Bila setiap KK menyiapkan dana Rp 500 ribu, maka pada pengucapan syukur  tahun ini dana yang dikeluarkan untuk belanja di Pasan sekitar Rp 750 juta. Di Minahasa Tenggara, ada dua kecamatan yang merayakan pengucapan syukur yaitu Pasan dan Belang. Dengan demikian total biaya sekitar Rp 1,5 miliar.

Menurut Sengka,  minimnya anggaran pengucapan di Kecamatan Pasan tahun ini dikarenakan panenan cengkih yang kurang melimpah dibandingkan tahun sebelumnya. "Tahun ini sekitar 10 sampai 15 persen saja yang panen, dengan hasil berkisar 200 kilogram. Kalau  harganya Rp 80 perkilogram,  pendapatan Rp 16 juta bagi tiap keluarga yang panen cengkih," jelasnya lagi.

Camat Pasan menyatakan, jika panen cengkih melimpah maka aroma perayaan pengucapan syukur bisa lebih kental lagi. "Minimal 50 persen saja yang berbuah itu sudah kentara sekali pengucapannya, apalagi kalau sampai 100 persen seperti beberapa tahun lalu pasti lebih ramai," ujarnya. Pasan adalah sentra cengkih terbesar di Kabupaten Minahasa Tenggara. "Kalau panen raya memang akan ramai sekali," demikian Yefta Sengka. (ika/luc/quin)

Sumber: Tribun Manado 7 - 8 Juli 2012 hal 1

Nurtaman Bertahan Sejak 1998

ilustrasi
Di tengah sulitnya mencari lapangan kerja di tanah kelahirannya, Nurtaman dan beberapa saudaranya merantau ke Manado dan sukses berbisnis keripik singkong.
BERBEKAL modal seadanya dari kampung halamannya di Jawa Barat, Nurtaman dan saudara-saudaranya coba memulai usaha keripik singkong tahun 1998 di rumah kontrakan mereka di  Kelurahan Teling Manado. "Kami memulai usaha keripik singkong sejak 1998, saat itu saya diajak sepupu saya untuk bantu usahanya," kata Nurtaman kepada Tribun Manado, Rabu (4/7/2012).

Diceritakannya, pada masa itu pengusaha keripik singkong di Kota Manado masih minim sehingga produk mereka laris-manis di pasaran Kota Manado dan daerah sekitarnya seperti Airmadidi, Tomohon dan Bitung. Seiring meningkatnya permintaan konsumen, mereka menambah jumlah produksi. Kebutuhan akan bahan baku singkong pun meningkat.

"Pasokan bahan baku singkong biasa kami dapat dari pedagang dari Matungkas. Saat itu harganya  Rp 12.500 per karung dan mereka bisa memenuhi permintaan," ujar Nurtaman. Pada tahun 2001, usaha yang mereka rintis itu mengalami penurunan jumlah produksi karena berkurangnya  pasokan bahan baku dari petani  langganan. Usaha sempat terancam berhenti. Nurtaman malah beralih profesi menjadi penjual alat- alat perabotan rumah tangga. Usaha itu pun ternyata kurang memuaskan. Tahun 2005 Nurtaman kembali merintis  usaha keripik singkong.

Keripik singkong buatannya diberi nama Hikmah,  diambil dari nama anak sulungnya,  Fitria Hikmah. Dia berharap nama itu memberi hikmah dalam menjalani kehidupan. Pada tahun berikutnya Nurtaman sekeluarga ditawari sepupu istrinya  tinggal di Desa Paniki Atas, Jaga VIII Kecamatan Tawalaan, Minahasa Utara, kawasan perkebunan kelapa yang agak jauh dari pemukiman penduduk.

Tawaran itu dia terima dengan pertimbangan biaya produksi bakal menurun karena tidak perlu lagi menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar, melainkan kayu dan pelepah kelapa kering. "Semenjak tinggal di sini, biaya produksinya menurun, karena bahan bakar untuk goreng keripik tidak lagi pakai  minyak tanah atau gas,"  tuturnya. Sejak itulah usaha berkembang dan bertahan hingga sekarang.


Dalam seminggu,  Nurtaman mengaku bisa mengolah hingga enam karung singkong menjadi keripik yang siap dipasarkan. Bahan bakunya dia beli dari langganan lama yaitu para  pedagang Matungkas dengan harga Rp 120.000 per  karung.

"Belakangan ini memang agak sulit dapat singkong. Kalau pun dapat harganya sangat mahal, bisa lebih dari Rp 120.000 per  karung. Namun demi memenuhi kebutuhan hidup dan biaya anak sekolah, saya tetap berusaha," katanya. Sebetulnya dia berminat menambah modal dengan mengajukan kredit perbankan. Namun, diakuinya sejumlah persyaratan kredit belum bisa dia sanggupi. "Yang penting bisa bertahan meskipun dengan jumlah produksi terbatas," ujarnya.(susanto amisan)

Sumber: Tribun Manado 5 Juli 2012 hal 1

Singkong Jadi Primadona Baru di Sulut

Singkong yang dalam lirik penyanyi era 1990-an Arie Wibowo berjudul Aku Anak Singkong  identik dengan keterbatasan hidup kaum tani agaknya tidak berlaku bagi pasangan Uli-Ati dan Wentriks Wurangin. Warga  warga Sulawesi Utara ini meraup untung puluhan juta dari bisnis singkong.

Pasangan Uli-Ati, warga Desa Matungkas Jaga V,  Kecamatan Dimembe Kabupaten Minahasa Utara  meraup untung hingga Rp 30 juta per bulan dari bisnis singkong yang merajai pasaran Kota Manado dan sekitarnya.

Bagi pasangan Uli-Ati singkong telah menjadi sumber ekonomi keluarga selama bertahun- tahun.  Sejak dirintis sepuluh tahun lalu, usaha ini  berkembang pesat. Geliatnya terasa di Pasar Bersehati Manado. Ati mengaku telah menguasai 70 persen pasaran singkong di pasar terbesar di Kota Manado tersebut."Sebut saja ibu Ati, mereka pasti tahu," tutur Ati kepada Tribun Manado, Selasa (3/7/2012).

Selain Manado, usaha itu pun berkembang hingga ke luar Manado. Empat kali dalam sebulan, singkong  dia jual ke Sangihe. "Biasanya hari ada kapal yaitu Senin, Selasa, Jumat dan Minggu," tuturnya.

Sekali jalan ke Sangihe, ia dapat membawa sekitar 15 karung. Per karung, ia jual sama dengan harga di Manado. Ia menyebut usaha ini dilakukan dengan menyewa lahan seluas tiga hektare dari seseorang bernama Wani. Lahan itu telah ditanami pemiliknya. "Uang sewanya empat puluh juta per bulan," katanya.

Singkong yang dihasilkan kemudian dijualnya ke pasar di Manado. Jumlahnya dua puluh hingga dua puluh lima karung sekali bawa. "Paling sedikit 10 karung," ujarnya. Sekarung berisi sekitar 60 kg singkong. Dijelaskannya, singkong dicabut dari pagi hingga siang, kemudian malam hari dibawa ke pasar.  "Untuk mencabut saya menyewa tiga orang pekerja," ungkapnya.

Ati yang nama lengkapnya Suriati Paranin ini mengakui, harga singkong di Manado cenderung meningkat. Ia ingat harga singkong sepuluh tahun yang lalu hanya 20 ribu per karung. "Waktu itu memang sulit," ucapnya.

Harganya terus meningkat setiap tahun. Sejak tahun lalu, harga singkong telah menyentuh level 100 ribu per karung. Hingga kini, harganya terus bermain di situ. "saat ini harganya berkisar 120 ribu per karung," jelasnya. Dari situ, ia dapat meraup untung yang lumayan yaitu berkisar Rp 30 juta per bulan. Jika banyak borongan, keuntungan yang didapat bisa dua kali lipat. "Contohnya, jika saya bawa 25 karung, maka untung dari situ berkisar Rp 2 juta lebih," urainya.

Selain dibawa ke pasar, singkong miliknya juga sering dipesan  penjual keripik. Para penjual keripik idatang dari berbagai wilayah di Manado hingga Tomohon. Mereka biasanya telah berlangganan. Sekali datang, para penjual ini biasa memborong dua hingga tiga karung. "Mereka tidak datang setiap hari, paling - paling dua hingga tiga kali sehari," jelasnya.

Rp 50 Juta Sekali Panen
Wentriks Wurangin,  Ketua kelompok Tani Mekar Kelurahan Lapangan Lingkungan 4 Kecamatan Mapanget Manado telah menanam singkong kurang lebih 15 tahun. Suka dan duka menyertainya. Awal mula ia bekerja sebagai jurnalis, namun profesi itu hanya bertahan 8 bulan. Dia  kemudian ia beralih profesi sebagai petani. "Saya menanam berbagai jenis tanaman, satu di antaranya adalah singkong," ujarnya saat diwawancarai Tribun Manado, Selasa (3/7/2012).

Dijelaskannya, setiap satu hektare lahan dapat menghasilkan sekitar 500-600 karung singkong  dengan berat sekitar 60-70 kg per karung. Setiap karung singkong saat ini dijual Wurangin seharga Rp 100-115 ribu. Satu karung singkong  diperoleh dari 11 sampai 15 pohon singkong.  Saat ini ketela pohon yang ditanamnya pada lahan seluas 6 hektare. Sekali panen pendapatan kotor kurang lebih  Rp 60 juta. "Jadi, keuntungan bersih yang saya peroleh sekali panen sekitar  Rp 50-an juta," ujarnya.

Dua tahun lalu, menurut pria yang juga menjabat Ketua Asosiasi Pasar Tani (Aspartan) Manado ini,  harga singkong per karung Rp 30- 40 ribu. Namun karena tingginya permintaan, harga terus merangkak naik. Ia pernah melakukan survey di Pasar Bersehati, kebutuhan singkong saat ini mencapai 50 karung  per hari. Hal tersebut sampai saat ini belum bisa terpenuhi.  (art/erv)


Musuh Singkong Cuma Tikus

MENURUT Wentriks Wurangin, menanam singkong alias ubi kayu adalah bisnis yang menguntungkan. Cara menanam dan merawatnya pun relatif mudah dibandingkan dengan  jenis palawija lain. Jika  tanahnya subur, tanaman umbi-umbian tersebut tidak perlu menggunakan pupuk. Cukup gemburkan tanahnya sebelum menanam stek singkong.

Jika telah ditanam, kata Wurangin,   hal yang rutin dilakukan petani  adalah membersihkan  rumput liar serta tanaman pengganggu lainnya. Sebab musuh utama singkong adalah tikus. Hewan pengerat itu merupakan hama bagi singkong.  "Jika rumput tak dibersihkan,  biasanya akan ada tikus. Hama paling hanya tikus, itupun jika tidak terawat," ujarnya kepada Tribun Manado, Selasa (3/7).

Dijelaskannya, ubi kayu alias singkong sudah bisa dipanen pada umur delapan bulan. Tanaman ini pun bisa  dibiarkan hidup sampai 2,5 tahun. Setiap satu hektare lahan bisa   menghasilkan sekitar 500-600 karung dengan berat sekitar 60-70 kg per karung.

Menurut Wurangin, peluang bagi petani singkong masih terbuka lebar karena permintaan sangat tinggi. Ia pernah melakukan survey di Pasar Bersehati Manado. Hasilnya menunjukkan, kebutuhan singkong di pasar itu mencapai 50 karung  per hari. Kebutuhan itupun  belum bisa dipenuhi petani.

Wurangin mengatakan, hal itu terjadi karena  sentra ubi kayu di Kota Manado bahkan di Sulut relatif terbatas yakni  hanya berada di lima daerah, yaitu Manungkas, Maumbi, Paniki, Pandu dan Lapangan. Sedangkan di daerah lain hanya ditanam petani untuk konsumsi sendiri.

Diakuinya, masih banyak petani yang belum mengetahui keuntungan dari menanam singkong. Selama ini ia mengaku tidak mengalami kesulitan dalam menjual hasil panenannya karena langsung diserap pasar. Bahkan penjualannya hingga sampai ke Sangihe. Wurangin mengaku akan terus menanam singkong karena keuntungan yang diraihnya cukup besar karena tingginya permintaan pasar.

Singkong (manihot utilissima) merupakan umbi atau akar pohon yang panjang dengan fisik rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm, tergantung dari jenis singkong yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia.

Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat namun sangat miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino metionin. Jenis singkong manihot esculenta pertama kali dikenal di Amerika Selatan kemudian dikembangkan ke seluruh dunia termasuk di Indonesia (wikipedia).

Produksi singkong dunia diperkirakan mencapai 220 juta ton pada tahun 2008. Sebagian besar produksi singkong dihasilkan  Afrika  disusul Amerika Latin dan Kepulauan Karibia. Di Indonesia singkong ditanam secara komersial  sekitar tahun 1810 setelah diperkenalkan bangsa Portugis. (erv)

Sumber: Tribun Manado 4 Juli 2012 hal 1

Gerimis tipis di Sam Ratulangi

Di Danau Mooat - Modoinding
HUJAN gerimis menyambutku di kota ini 6 Maret 2012. Saat kaki menyentuh Bandara Sam Ratulangi Manado sekitar pukul 11.45 Wita hari itu,  semilir angin melambai-lambaikan deretan nyiur. Lama nian saya merindukan datang ke Manado. Kerinduan itu malah hadir dalam wujud yang di luar prediksi. Saya datang ke kota ini untuk mengabdi. Bekerja, melanjutkan hidup.

Dengan mobil taksi yang biayanya Rp 50 ribu saya meluncur menuju kantor Harian Pagi Tribun Manado. Saya pegang alamatnya, Jl AA Maramis, Kelurahan Kairagi II Kecamatan Mapanget, Manado.

Di kantor Tribun, Charles Imanuel Komaling adalah orang pertama yang menyambutku di front office setelah sekuriti. "Ini Om Dion kan?" katanya. Jujur saya sempat pangling. Maklum pertemuan dengan Charles sudah lama berlalu yakni tahun 2005 di Balikpapan.

Kala itu saya hampir sebulan lebih belajar di Harian Tribun Kalimantan Timur (Kaltim).  Waktu itu Charles masih di sana. Setelah Tribun Manado terbit tahun 2009, dia ke Manado. Kembali ke tanah lelulurnya bersama istri dan anak-anaknya. Pada kesempatan ini pula saya jalan-jalan ke Samarinda dan sempat menonton pertandingan tinju duni antara Chris John melawan Manuel Marquez di Tenggarong.

Orang berikut yang saya temui adalah mas Ribut Raharjo, pemimpin perusahaan Fahmi Setiadi dan Richard Nainggolan (pemimpin redaksi). Richard memeluk saya erat. "Akhirnya kita berjumpa di Kawanua ya Om.." katanya. Ya, Richard dulu adalah wartawan Harian Pos Kupang. Kasarnya dia pernah menjadi anak buah saya di Pos Kupang. Saya turut bangga karena Richard akhirnya dipercaya pimpinan di Jakarta pernah mengelola Harian Tribun Batam dan merintis Tribun Manado. Ketika Richard masuk sebagai reporter di Kupang, saya waktu itu sudah menjabat Wakil Redaktur Pelaksana dan setahun kemudian menjadi Redaktur Pelaksana.

Richard yang akrab disapa Opung jauh merantau dari  Batu Raja, Sumatera Selatan ke Kupang pada tahun 1996. Dia belajar jurnalistik di Kupang bahkan mendapat jodoh wartawati Pos Kupang Vien Daos. Setelah menikah pada tahun 2000 dia dan Vien pindah ke Bandung. Richard bergabung dengan Harian Metro Bandung yang diasuh Kang Yusran Pare. Metro Bandung merupakan media cikal bakal yang di kemudian hari lahirlah Tribun-Tribun di hampir seluruh pelosok Nusantara di bawah komandannya Direktur Kelompok Persda, Om Herman Darmo.

Setelah berjalan beberapa tahun dan terutama pascakelahiran Tribun Kaltim di Balikpapan dan Tribun Timur di Makassar, Metro Bandung berubah nama menjadi Tribun Jabar (Jawa Barat). Sejak itu lahirlah Tribun-Tribun yang lain seperti Tribun Batam, Tribun Pontianak, Tribun Manado, Tribun Pekanbaru, Tribun Lampung, Tribun Jambi, Tribun Jogja dan terakhir Tribun Jateng.

Sehari setelah saya tiba di Manado atau tepatnya 7 Maret 2012 datanglah dari Jakarta tiga bos besar yaitu Om Herman Darmo (Dirkel Tribun Group), mas Sentrijanto (Wakil Dirkel)   dan Mas Febby Mahendra Putra (GM Redaksi Tribun Group). Intinya para pemimpin itu menekankan pentingnya konsolidasi, penyegaran sekaligus rotasi.

Soal kepercayaan untuk mas Ribut sebagai Pemimpin Redaksi Tribun Manado sudah saya ketahui sejak bertemu Om Herman dan mas Febby di kantor pusat Jakarta bulan Februari 2012. Demikian pula  rencana rotasi Richard ke Harian Bangka Post, Bangka Belitung. Yang agak mengejutkan adalah  penempatan saya sebagai Manajer Produksi Harian Tribun Manado.

Sebenarnya saya sudah minta ke Om Herman cukup editor saja, eh ternyata diberi kepercayaan urus produksi. Ya tak apalah, saya ini mau dikasih kerjaan apa saja siap asalkan sesuai dengan kemampuan saya. Namanya juga prajurit. Siap laksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Maka terhitung sejak 1 April 2012 saya jadi Manajer Produksi Harian Tribun Manado. Ini kerja tidak ringan. Saya mendapat kesempatan untuk belajar dan belajar lebih banyak lagi. *
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes