Ania

KUPANG medio November. Ania menyeka dahinya di bawah guyuran matahari yang mendidih. Lalu lintas di terminal itu ramai sekali. Orang-orang bergegas datang dan pergi. Sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Semua tak peduli!

Perempuan itu merasa sunyi di tengah hiruk pikuk belukar lalu lintas Kupang dengan klakson dan suara musik memekakkan telinga. Sudah dua jam lebih Ania di terminal itu. Dia menunggu seseorang. Janji bertemu sejam lalu tapi orang yang ditunggu tak menampakkan batang hidungnya.

Debu halus beterbangan dihela angin Timor. Debu itu menyatu dengan keringat yang merambat di seluruh pori kulitnya yang langsat. Namun, kaki Ania tak hendak beranjak pulang. "Pulang sekarang atau tetap di sini dulu? Kalau pulang dengan hasil nihil, apa kata suamiku nanti," Ania membatin. "Dia pasti kembali mengomeliku yang telah salah mengambil keputusan."



Ania memilih tetap di terminal itu sambil berharap Erna, temannya yang dinanti akan datang membawa kabar gembira tentang keberadaan Si A, pria yang sangat dibenci Ania saat ini. Ternyata sama seperti hari-hari sebelumnya, bulan-bulan yang lalu, penantian Ania tak berujung. Erna pun tak pernah datang.

Ania dan suaminya Konrad sudah lama berteman dengan Si A. Mereka berasal dari daerah yang sama. Mereka bersahabat sejak SMA. Setelah meraih gelar sarjana, Si A memilih jadi aktivis LSM. Si A pekerja keras dengan karya monumental bagi masyarakat yang dilayani lewat LSM yang dipimpinnya. Integritas pribadinya baik. Sementara Ania dan Konrad memilih jalan kebanyakan anak Flobamora yaitu pegawai negeri di instansi pemerintah daerah.

Beberapa bulan lalu Si A datang ke rumah Ania dengan semangat tinggi, mengungkapkan niatnya maju sebagai salah seorang kandidat bupati dalam pemilu kada di kampung halamannya. Si A memohon kesediaan Ania meminjamkan uang Rp 150 juta sebagai tambahan dana operasional selama pemilu kada. "Bantulah beta dulu. Sebagai sahabat beta tidak mungkin mengkhianati kepercayaan kalian," kata Si A.

Konrad keberatan mengingat tabungan mereka selama bertahun- tahun itu demi pendidikan anak-anak. Sebaliknya Ania tergerak hati mengeluarkan tabungan karena percaya dengan tanggung jawab Si A yang akan mengembalikan pinjaman itu. Apalagi Si A memberi jaminan bahwa dia bakal terpilih dengan dukungan suara signifikan. "Yakinlah, beta sudah berbuat banyak untuk masyarakat lewat LSM," katanya. Juga ada komitmen tak tertulis jika Si A jadi bupati, Ania akan mendapatkan kemudahan akses. Ya, siapa tidak suka bersahabat dengan kepala daerah yang memiliki kuasa dan wewenang menentukan ini dan itu?

Optimisme Si A tidak terbukti di arena pemilu kada. Dia mendapatkan dukungan suara seadanya. Jumlah suara jauh berbeda dibandingkan calon yang menang. Si A patah frustrasi. Dia tak menduga rakyat yang selama ini terasa dekat dengannya justru memilih figur yang lain. Dalamnya laut bisa diduga, dalamnya hati rakyat siapa yang tahu?

Sejak terlempar dari gelanggang pemilu kada, kehidupan Si A berubah total. Dia tidak lagi mengurus LSM. Si A dan keluarga tinggalkan kota tempat mereka tinggal selama ini. Ania kelimpungan. Dia mencari ke mana-mana, tetapi si A seperti ditelan bumi. Kengototan Ania bersua si A guna membicarakan pinjaman malah dibalas cibiran. "Ada anggota keluarganya bilang beta ini perempuan sonde (tidak) tahu diri," kata Ania.

Ania sungguh sakit hati karena dikhianati sahabat yang sangat dia percayai. Suatu ketika tiba-tiba Si A menghubunginya lewat telepon, entah dari kota mana. Menurut Si A, uang Rp 150 juta sudah habis saat pemilu kada. "Kalau beta menang pemilu kada kemarin, apakah lu juga menuntut uang itu kembali? Itulah risiko politik Ania, beta tak mungkin bayar kembali," kata Si A langsung menutup telepon. Dia tidak memberi kesempatan sedikit pun kepada Ania untuk bicara. 

Beberapa rekan menyarankan Ania menempuh jalur hukum. Ania dan suami tak berdaya karena transaksi pinjam-meminjam uang itu tanpa hitam di atas putih alias tanpa kwitansi. "Dasarnya semata kepercayaan sebagai sahabat. Jadi, tidak mungkin kami ambil langkah hukum," ujar Ania muram.

Demikianlah tuan dan puan, kisah nyata seorang Ania. Ania kiranya hanya salah satu contoh tentang kegetiran nasib pasca pemilu kada. Ada saja yang disapu badai ingkar janji seperti Ania dan Konrad. Banyak sisi pemilu kada yang menggetarkan hati. Kisah pemilu kada tak selamanya indah.

Banyak orang terpaksa menjual rumah, mobil atau tanah dengan harga murah untuk menutup ongkos pemilu kada yang tidak sedikit. "Setelah pemilu kada saya jatuh miskin, bung!" kata seorang teman yang kalah di arena pemilu kada beberapa tahun silam. Dia harus mulai dari nol untuk menata kembali kehidupan ekonomi keluarganya.

Pasca pemilu kada di beranda Flobamora hari-hari ini pasti ada saja yang tidur tak nyenyak mengingat kelakuan selama memangku jabatan kepala daerah. Mereka cemas dan gundah akan diungkit 'kelakuannya' di masa lalu oleh pemimpin daerah yang baru. Kalau tidak cerdik dan piawai menghilangkan barang bukti niscaya penjara sudah menanti. (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang, Senin 22 November 2010 halaman 1

Ka Maki Muzi

MENSYUKURI dan menghormati hasil panenan adalah tradisi turun-temurun yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Ngada. Tradisi-tradisi yang ini merupakan sebuah kearifan lokal yang harus terus dipupuk dan dipelihara secara terus-menerus, agar anak cucu semakin hari semakin tahu bersyukur akan karunia dan limpahan rezeki yang diberikan Yang Kuasa melalui alam dan lingkungan.

Dengan demikian generasi muda tahu menjaga lingkungan dan sebaliknya lingkungan alam memberikan hasil yang berlimpah pada penghuninya. Salah satu tradisi yang sering dilakukan masyarakat Ngada setiap tahun setelah panen, terutama panen padi ladang, adalah ka maki muzi. Ka maki muzi adalah sebuah tradisi makan nasi yang berasal dari beras yang baru selesai diketam dari ladang atau sawah tadah hujan.


Tradisi ini merupakan bagian dari masyarakat Bajawa dan kampung-kampung sekitarnya, yakni Boua, Langa, Mangulewa, Mataloko, Jerebu'u dan Aimere. Ka maki muzi, ini sebagai salah satu tanda di mana masyarakat bisa mulai makan makanan lainya seperti ubi (uwi), ejo (ubi manis), ke'o (jali), wete (jewawut) dan hasil pertanian lainnya. 

Sebelumnya, padi baru ini ditumbuk menjadi beras. Maki muzi ini harus dimasak bersama kacang nasi (sobho). Sebelum dimasak menjadi nasi, sisihkan satu genggam beras tumbuk pada bagian yang agak hancur (mata dhea) disimpan di satu wadah apa saja, campurkan dengan air kelapa muda. Beras tumbuk yang dimasak menjadi nasi yang hampir kering diangkat airnya diirus yang terbuat dari kelapa dan rendam di beras dan air kelapa yang disisihkan tadi. Setelah itu, sisa air nasi dioleskan pada leher masing-masing anggota keluarga. Beras yang disisihkan tadi dibagi sedikit-sedikit kepada semua anggota keluarga dan sisanya disimpan di tungku batu. 

Kebiasaan orang Ngada tungku api (lika) terbuat dari batu yang ditanam di dalam tanam sebanyak tiga buah membentuk segi tiga. Beras yang disisihkan bersama air kelapa tadi harus disimpan pada tiga buah batu tersebut. 

Setelah itu, barulah nasi yang dimasak tadi dimakan oleh seisi keluarga. Selain itu, anggota keluarga pun bisa menikmati hasil pertanian lainnya yang ada, seperti ubi, jewawut, jali dan sebagainya. Tradisi ini dilakukan untuk menghormati hasil panenan yang baru dipanen, sehingga pada tahun-tahun selanjutnya, hasil pertanian semakin membaik dan memberikan hasil yang memuaskan. Biasanya orang Bajawa melakukan tradisi ini setiap tahun setelah panen. 

Tradisi ini tidak semuanya dilakukan oleh masyarakat Bajawa tetapi hanya untuk masyarakat yang menanam dan memanen padi dari ladang atau sawah tada hujan. Sedangkan mereka yang memiliki sawah biasanya tidak melakukan tradisi ini. Jika ada yang melanggar, menurut kepercayaan orang Bajawa, akan terkena penyakit gondok atau gejala leher membesar. Percaya atau tidak tetapi biasanya terjadi. 


Saat ini, karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang sangat pesat, tradisi ini sudah tidak banyak orang lagi yang membuatnya. Banyak generasi muda yang sudah melupakan tradisi ini, sehingga muatan-muatan lokal atau kearifan lokal yang sebenarnya menjadi kekhasan dan ciri khas daerah menjadi punah. 

Apalagi, makanan lokal seperti ubi, jali, jewawut dan sebagainya saat ini sangat susah ditemukan di masyarakat. (Apolonia Mathilde Dhiu)

Pos Kupang, Sabtu 27 November 2010 halam 5

Membuka Tahun Adat dengan Paro

TAHUN Adat mungkin sesuatu yang cukup asing bagi kebanyakan orang. Tetapi bila kita berada di Kampung Wewoloe, Kelurahan Towak, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, kita bisa mengerti dan melihat perayaan tahun adat yang dikenal dengan nama paro.

Paro, sesuai kebiasaan adat Suku Mbare, dirayakan pada bulan Februari setiap tahunnya. Paro adalah ritual warga Suku Mbare untuk membuka tahun adat baru.
"Saat paro berlangsung, secara bersama-sama kita menentukan tanggal-tanggal untuk perayaan acara adat. Termasuk misalnya tinju adat atau perayaan lainnya, yakni syukuran panen padi yang dinamakan ghan woja wru," kata Yakobus Koru, salah satu tokoh masyarakat Suku Mbare, yang ditemui, Kamis (4/11/2010).

Menurut Yakobus, warga Suku Mbare sudah mengetahui acara adat apa saja yang harus dirayakan setiap bulannya dalam satu tahun adat yang sedang berjalan. Tetapi kapan tanggal acaranya berlangsung, itulah yang harus disepakati bersama-sama saat paro berlangsung.


Paro pun bukan sekadar menentukan tanggal-tanggal perayaan adat, tetapi salah satu hal yang paling sakral dalam acara paro adalah menanam padi dan jewawut di kebun adat yang sudah diwariskan.

"Acara paro itu sendiri juga dimaknai sebagai penghormatan terhadap para leluhur. Sehingga setelah melakukan penanaman, kita bisa meminta agar hujan turun, serta meminta agar tanaman kita terhindar dari hewan liar yang merusak tanaman," kata bapak Yakobus yang juga pensiunan seorang guru itu.

Setelah ritual paro dirayakan, warga Mbare tidak boleh melakukan kegiatan pembangunan. "Misalnya membuat rumah adat atau memperbaiki rumah, itu tidak boleh. Selain itu, membawa kayu mentah ke kampung pun itu dilarang," kata Yakobus. 

Larangan tersebut berlangsung sampai dilakukannya acara ghan woja wru, yakni acara yang bertujuan agar padi yang telah dipanen diperbolehkan untuk dikonsumsi oleh warga. Sekaligus acara syukuran atas panenan padi tersebut. Panen biasanya sudah bisa dilakukan pada bulan Mei setiap tahunnya. Artinya, larangan tersebut harus dijalankan sejak bulan Februari sampai bulan Mei. Kalau tidak ditaati, maka yang bersangkutan bisa mendapat musibah.


Dijelaskannya, untuk mengetahui paro secara detail, harus mengikutinya secara langsung. Karena setiap tahapan acara paro tidak boleh dibicarakan sebelum hari perayaannya, yakni setiap bulan Februari.

Di tempat yang sama, Ibu Rosalina Owa menuturkan, saat pelaksanaan paro setiap warga harus membawa beras, ayam, moke, dan sayur-sayuran. "Beras dan sayur-sayuran untuk dimasak secara beramai-ramai di tempat paro, ayam juga untuk disembelih dan makan bersama-sama. Begitu pun moke untuk diminum," kata Ibu Rosalina.

Dia menjelaskan, paro biasanya dilakukan di lahan yang sama dan letaknya di atas bukit. Di tempat yang sama itulah ritual paro dirayakan setiap kali bulan Februari.
"Kita lakukan acara seremoninya dulu baru menanam padi dan jewawut secara bersama-sama. Tidak ditentukan setiap warga harus ditanam di bagian mana. Semuanya secara bersama-sama menanam di semua bagian lahan yang ada," kata Ibu Rosalina. (Servatinus Mammilianus)

Pos Kupang, 13 November 2010 hal 5

Maronggela yang Jauh

SATU-PERSATU lubang yang menghiasi jalanan terus dilewati. Demikian pula kilometer demi kilometer dilalui sejak pagi. Kampung demi kampung penduduk terus dijumpai sepanjang perjalanan. Kurang lebih sudah 60 kilometer perjalanan.

"Kuda besi" yang saya tumpangi juga sudah dua kali diisi bahan bakar, namun tujuan perjalanan ini pun belum tercapai. Tiba-tiba kuda besi tadi terasa oleng dan hampir keluar dari bahu jalan. Ternyata bannya gembos lagi.

Kendaraan ini sepertinya sudah menyerah karena medan yang cukup berat dan kurang bersahabat ini. Terpaksa saya harus turun dan mendorong kendaraan untuk mencari bengkel yang paling dekat.


Usai membetulkan ban "kuda besi" perjalanan menuju Maronggela, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada, dilanjutkan. Kurang lebih 75 kilometer perjalanan yang ditempuh dengan waktu tiga jam. 

Apabila menggunakan kendaraan umum membutuhkan waktu 
lima hingga enam jam. Jarak 75 kilometer, bila dibandingkan dengan jalan di jalur negara, hanya membutuhkan waktu satu setengah sampai dua jam.

Mengapa jalan menuju pusat kecamatan harus seperti ini? Jawabannya tidak lain karena kondisi jalan yang kurang mendapat perhatian. Banyak lubang dan batuan lepas serta jalur yang sempit membuat setiap pengendara harus ekstra hati-hati. Dari kejauhan tampak sebuah tower. Di tempat itulah letak ibu kota kecamatan dengan enam desa ini. Maronggela. Kota tersebut dikenal sebagai salah satu ibu kota kecamatan tanpa listrik.

Listrik sebagai motor penggerak pelayanan kesehatan di lokasi itu belum ada. Bagaimana peralatan kesehatan yang membutuhkan daya listrik untuk dioperasikan? Jawabannya tentu tidak dapat difungsikan dan hanya sebagai pajangan yang akhirnya masuk museum gudang puskesmas itu.

Dijelaskan Alexander Songkares, Kepala Desa Ria, Kecamatan Riung Barat, bukan sebatas itu saja fasilitas umum yang belum tersedia di daerah itu. Wilayah Kecamatan Ruing Barat dengan enam desa dan jumlah penduduk 8.425 jiwa atau 1.718 kepala keluarga (KK) ini selalu dilanda kekeringan. Akibatnya warga di wilayah itu sering kekurangan air bersih.

Hal ini mengakibatkan kebersihan lingkungan tidak diperhatikan dan rawan terhadap berbagai jenis penyakit menular.

Daerah tersebut masih jauh dari sentuhan pembangunan. Untuk menjangkau ibukota kabupaten dan kembali ke daerah itu, warga membutuhkan satu hari perjalanan. Hal ini disebabkan pembangunan jalan raya dan akses transportasi belum diperhatikan. 

Selain itu, listrik dan kebutuhan air bersih yang berpengaruh terhadap kesehatan warga juga belum mendapat perhatian serius.

Dia menambahkan, pola hidup sehat warga setempat belum teratur. Menurutnya, selama ini kebanyakan warga tidak menggunakan jamban untuk buang air besar (BAB) dan lebih sering ke semak belukar. 

"Warga di sini sering BABS (buang air besar sembarang, Red) karena tidak ada stok air bersih yang cukup. Jangankan untuk BAB, untuk minum saja susah sekali," kata Songkares.
Hal senada dikatakan salah seorang petugas kesehatan, 

Agustinus Ceme, SKM. Dia mengisahkan rata-rata setiap KK di dearah tersebut belum memanfaatkan jamban. Hal ini bukan karena warga tidak memiliki kesadaran, namun kekurangan air bersih. 

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, terkadang warga harus mengonsumsi air kali yang tidak bersih. (John Taena)

Pos Kupang Sabtu 20 November 2010 halaman 5

Dubes Tetap Menang di TTU

Pasangan Dubes
JAKARTA, PK -- Sembilan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (18/11/2010), memenangkan KPUD TTU dalam gugatan sengketa pemilukada TTU yang diajukan paket Gabriel - Simon dan Funan-Suni.

Hal ini berarti majelis hakim menolak permohonan gugatan dari para pemohon yakni Gabriel Manek-Simon Feka (I) dan Yohannes Usfunan-Nikolaus Suni (II), dan pasangan Ray Fernandes-Aloysius tetap memenangkan pemilu kada TTU.

Sidang putusan sengketa Pemilu Kada TTU dipimpin ketua majelis hakim Mahfud MD, didampingi delapan hakim MK, yakni Akil Mochtar,Muhammad Alim, Hamdan Zoelva, Achmad Sodiki, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Harjono dan M Arsyad Sanusi.



Hadir dalam kesempatan itu para pihak, yaitu pemohon I pasangan Gabriel Manek-Simon Feka didampingi Prasetiyanto, Dhimas Pradana dan Agustinus Tulasi. Sementara pemohon II, Yohanes Usfunan-Nikolaus Suni, didampingi Misbahuddin Gasma, Samsul Huda, Nasrullah Abdullah, Dorel Amir, Mona Widayati, Bonifasius Gunung, Samsydin dan Andi Alfian Pawawo.

Dari termohon, yaitu KPUD TTU, hadir Ketua KPUD Anster da Cunha dan jubir KPUD TTU, Dolfi Kolo, yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Ali Antonius, S. H, M. H, Sirra Prayuna, S.H dan Zein Smith, S. H. Sedangkan dari pihak Ray Fernandes-Aloysius diwakili Tanda Perdamaian Nasution, dkk.
Menurut majelis hakim, keputusan itu diambil setelah melakukan pemeriksaan sejumlah barang dan alat bukti serta fakta yang terjadi dalam persidangan gugatan sengketa nomor 192 dan 193.

"Menolak seluruh dalil-dalil keberatan dari pemohon," kata Mahfud MD. Pada intinya, majelis hakim berpendapat dalil-dalil keberatan yang diajukan pemohon tidak terbukti di persidangan sehingga majelis hakim menolak gugatan pemohon.

Menurut majelis hakim, keterangan saksi dari pemohon yang menyebutkan adanya sejumlah DPT yang ikut dalam pemilu kada TTU, ternyata tidak terbukti. Berdasarkan keterangan panwas, nama para WNA dimaksud memang tercantum dalam DPT, namun mereka tidak ikut melakukan pemilihan saat Pemilu Kada TTU.

Mengenai keterangan saksi tentang kunjungan gubernur NTT ke wilayah TTU untuk melakukan sosialisasi, kampanye guna memenangkan paket pasangan tertentu dalam pemilkada TTU, juga tidak terbukti.

Begitu pun keterangan lainnya yang diajukan saksi pemohon terkait adanya kecurangan yang diakukan pihak KUD TTU dalam proses pemilu kada TTU tidak terbukti. Kalapun ada yang terbukti, demikian majelis hakim, hal itu hanya bersifat sporadis.

Sementara itu, kuasa hukum KPUD TTU, Ali Antonius, usai sidang mengatakan, keputusan majelis hakim MK adalah keputusan yang benar dan tepat karena itu harus dihargai dan dijalankan semua pihak.

"Saya pikir, keputusan majelis hakim MK sudah tepat dan paling benar, hakim sudah objektif. Karena itu, saya harap semua pihak tidak perlu berpolemik lagi. Hentikan semua provokasi agar masyaraat TTU dan roda pemerintahan dan pembangunan di TTU bisa berjalan normal kembali," harap Antonius Ali.

Hal senada disampaikan kuasa hukum KPUD TTU lainnya, Sirra Prayuna, bahwa semua dalil yang diajukan termohon (KPUD TTU) tidak terbantahkan atau terbukti. "Artinya, termohon (KPUD TTU) telah melaksanakan tugas dan kewenangannya dengan baik dan tidak melakukan pelanggaran, kecurangan dan keberpihakan kepada pasangan tententu dalam Pemilu kada di TTU. Dalil yang diajukan termohon tidak terbantahkan atau terbukti. Sebaliknya, dalil yang diajukan pemohon gugatan tidak terbukti," kata Prayuna.

Salah satu pemohon, Yohannes Usfunan yang hendak dikonfirmasi melalui telepon genggamnya, usai sidang, belum mau menanggapi keputusan majelis hakim dimaksud. 
Untuk diketahui, Kemenangan pasangan Ray Fernandes-Aloysius dalam Pemilu Kada TTU, Oktober 2010 lalu, dipersoalkan oleh sejumlah pasangan calon bupati/wabup. 

Mereka menilai pihak penyelenggara Pemilu Kada yakni KPUD TTU melakukan berbagai kecurangan dan ketimpangan dalam proses Pemilu Kada dimaksud untuk memenangkan paket tertentu. Karena itu, dua pasangan calon yakni Gabriel Manek-Simon Feka (I) dan Yohannes Usfunan-Nikolaus Suni (II) mengajukan permohonan gugatan kepada KPUD TTU.

Para pemohon mengajukan belasan saksi dalam persidangan yang intinya menerangkan tentang keberatan terhadap hasil rekapitulasi dan adanya keberpihakan KPUD terhadap calon pasangan tertentu. Mereka juga menggugat kinerja KPUD TTU yang tidak sesuai aturan perundangan yang berlaku, adanya intimidasi, penganiayaan, money politics yang dilakukan paket tertentu dalam pemilu kada TTU. (vel)

Pos Kupang 19 November 2010 halaman 1

Mandiri Terpilih di Sabu Raijua

SEBA, PK -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sabu Raijua menetapkan pasangan Ir.Marthen Luther Dira Tome-Drs. Nikodemus N.Rihi Heke, M.Si ( Paket Mandiri) sebagai Bupati dan Wakil Bupati terpilih Sabu Raijua periode 2010-2015.

Penetapan ini dilakukan setelah pasangan yang diusung Partai Golongan Karya (Golkar) Sabu-Raijua ini berhasil mengumpulkan 35,83 persen dari total 35.485 pemilih yang menggunakan hak suara dan telah dinyatakan sah.

Penetapan ini disampaikan Ketua KPU Sabu Raijua, Yudi H.R Tagihuma,S.Sos pada rapat Pleno KPU dan Penetapan Hasil Pemilu kada Sabu Raijua di gedung KPU Sabu Raijua, Jalan Trans Seba-Mehara, Kamis (18/11/2010).



Rapat yang dipimpin ketua KPU Sabu Raijua ini dihadiri empat anggota KPU Sabu Raijua, yaitu Juliana Bilik, SM.Th, Benyamin Loni, Eryzon I.Ch. Radja Haba, S.H dan Kornelis Day Kate, S.H. Hadir pula pasangan calon bupati dan wakil bupati Ir.Marthen Luther Dira Tome-Drs. Nikodemus N.Rihi Heke, M.Si, calon wakil bupati dari paket Bersatu, Mardiosy Rihi Ratu, S.H , Kapolres Kupang, AKBP Dr. Joehanes Riyanto serta para saksi dari sejumlah kandidat bupati dan wakil bupati daerah ini.

Pos Kupang yang mengikuti rapat pleno ini menyaksikan, rapat ini diawali dengan pembacaan tata tertib oleh ketua KPU, dilanjutkan dengan pembacaan rekapitulasi hasil pleno PPK enam kecamatan di Sabu Raijua. 

Dari hasil rekapitulasi tersebut, terlihat paket Mandiri unggul di Kecamatan Sabu Liae, Sabu Barat dan Sabu Timur, sedangkan pasangan paket Ir. Piter Djami Rebo, M.Si dan Drs. Origenes M.Boeky, M.Si (Terbukti) unggul di Kecamatan Hawu Mehara dan Kecamatan Raijua. Sementara paket Dr.Bernard L.Tanya, S.H, MA- Mardiosy Rihi Ratu, S.H (Bersatu) unggul di Kecamatan Sabu Tengah.

Dalam rapat ini, paket Mandiri meraih 12.715 suara (35,83 persen), Drs. Condrat Djo, B.A, S.Sos, MM dan Johny A.Djara,S.H (paket Mirakedihari) meraih 997 suara (2,8 persen), paket Bersatu mendapat 5.062 suara (14,27 persen), paket Mandiri mendapat 11.754 suara (33,12 persen), paket Drs. Simon Riwu Kaho dan Martha Kotepa-Riwu, S.Sos (paket Sa Rai) mendapat 726 (2,05 persen), paket Jusuf Dominggus Lado, S.E, MM dan Dany Octo Gigy, BBA (paket Doheleo) mendapat 2.315 suara (6,52 persen) dan pasangan paket Drs. Marthen Kale, M.Si dan Loresn D. Piwo,S.Sos (paket Monehewewe) meraih 1.916 suara (5,40 persen). Suara tidak sah dalam pilkada kali ini sebanyak 615 suara. Total pemilih dalam DPT Pilkada Sabu Raijua sebanyak 42.339 orang.

Rapat pleno ini diwarnai aksi walk out oleh saksi dan pemegang mandat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kabupaten Sabu Raijua dan Partai Gerindra Kabupaten Sabu Raijua yang mengajukan paket Mandiri pada Pemilu kada ini. Aksi ini WO ini karena ketua KPU, Yudi Tagihuma yang memimpin rapat pleno ini menolak interupsi dari saksi paket Terbukti karena tidak memasukkan surat mandat sebagai saksi sebelum rapat dimulai. 

Sesuai undangan, rapat dimulai pukul 09.00 Wita, namun rapat diundur hingga pukul 09.20 Wita. Para saksi dan pendukung paket Terbukti ini baru datang ke ruang rapat pleno tersebut setelah palu dimulainya rapat diketuk.

Hasil rapat pleno tersebut juga hanya ditandatangani saksi dari Partai Golkar dan paket Mirakedihari (paket independent), sementara saksi paket Bersatu menolak menandatangani hasil pleno tersebut karena saat pleno di Kecamatan Sabu Barat, PPK Kecamatan Sabu Barat belum menjawab jumlah surat suara yang dikirim ke PPK Sabu Barat. Sementara saksi paket Terbukti sudah walk out sebelum proses pleno berlangsung dan saksi paket Monehewewe, Doheleo dan Sarai tidak hadir pada rapat tersebut.

Ketua KPU Sabu Raijua, Yudi Tagihuma, yang ditemui usai rapat tersebut, mengatakan, pihaknya tidak menanggapi interupsi dari paket Terbukti karena hak sebagai saksi dalam rapat tersebut gugur sesuai pasal 4 ayat 3 Tata Tertib Rapat Pleno KPU Sabu Raijua. 

Dalam pasal tersebut disebutkan, saksi harus menyerahkan mandat sebelum rapat dimulai. "Saksi dari paket Terbukti ini belum menyerahkan mandat, mereka datang sudah terlambat, jadi hak sebagai saksi gugur," jelasnya.

Sedangkan paket lain yang tidak hadir, menurut Yudi, pihaknya sudah memberikan undangan yang ditandai dengan bukti menerima undangan dari KPU. 

Dijelaskan, pihaknya segera memproses calon Bupati dan Wakil Bupati terpilih untuk diserahkan kepada DPRD Sabu Raijua. Pengajuan ini setelah tidak ada gugatan lagi di tingkat MK. (alf)

Unjuk Rasa Pendukung Terbukti

RAPAT pleno hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Sabu Raijua diwarnai aksi unjuk rasa pendukung paket Ir. Piter Djami Rebo, M.Si dan Drs. Origenes M.Boeky,M.Si (paket Terbukti). Paket yang didukung PDIP dan Partai Gerindra Sabu Raijua ini menggelar orasi dan menuntut pengentasan kecurangan dalam Pemilu kada tahun ini.

Massa yang berjumlah sekitar 100 orang ini mulai mendatangi KPU Sabu Raijua sekitar pukul 10.00 Wita atau saat berlangsung rapat pleno. Namun para pendemo gagal masuk ke halaman kantor KPUD Sabu Raijua setelah dihadang aparat Polres Kupang. Massa kembali berusaha masuk, namun penjagaan yang berlapis membuat massa hanya tertumpuk di jalan masuk gedung KPUD Sabu Raijua. Kehadiran massa ini sedikit menghambat arus lalu lintas di jalan Trans Seba-Mehara.

Setelah berdialog, aparat keamanan memberi kesempatan kepada dua orang perwakilan diantaranya Veky Adu untuk berdialog langsung dengan Ketua KPUD Sabu Raijua, Yudi Taguhuma dan ketua Panwaslu Sabu Raijua, Erwin Lobo yang difasilitasi Kapolres Kupang, Joehanes Riyanto.

Dalam dialog itu, Veky menyampikan beberapa keganjilan dalam Pemilu kada Sabu Raijua, di antaranya ada pemilih yang sudah meninggal, namun masuk dalam DPT serta beberapa kasus money politics.

Menanggap hal tersebut, Yudi mempersilakan para pendukung mengajukan gugatan secara hukum. Menurutnya, KPUD Sabu Raijua juga memiliki bukti-bukti hukum yang bisa dipertanggungjawabkan. "Silakan ajukan ke MK, nanti kita akan uji bukti-bukti yang kita miliki," jelasnya.

Mendengar penjelasan itu, Veky menerima dan siap mengajukan gugatan. Sementara itu, Kapolres Kupang meminta agar kubu Terbukti tidak perlu berunjuk rasa karena hanya akan merugikan masyarakat Sabu Raijua. Ia juga meminta agar tidak perlu lagi ada aksi-aksi unjuk rasa. Bila ada masalah, maka bisa diajukan untuk diselesaikan melalui mekanisme hukum.

Para pendukung paket Mandiri langsung menggelar pawai keliling Kota Seba dan sekitarnya. Ratusan sepeda motor dan puluhan kendaraan para pendukung ini terus berteriak, Hidup Mandiri, sambil mengibarkan bendera Golkar dan menunjukkan wajah kandidar Bupati dan Wakil Bupati Sabu Raijua tersebut.(alf)

Hasil Pleno KPU Sabu Raijua:

Paket S.Barat ! S.Tengah ! S. Timur ! S.Liae ! Mehara ! Raijua

Mandiri ! 5.373 ! 1.060 ! 1.184 ! 2.173 ! 1.952 ! 973

Mirakedihari !190 ! 49 ! 163 ! 334 ! 155 ! 106

Bersatu ! 1.125 ! 1.251 ! 1.100 ! 386 ! 742 ! 472 

Terbukti ! 4.923 ! 308 ! 482 ! 711 ! 3.922 ! 1.408

Sarai ! 380 ! 31 ! 44 ! 93 ! 119 ! 59

Doheleo ! 967 ! 83 ! 126 ! 477 ! 258 ! 404 

Monehewewe !177 ! 559 ! 716 ! 105 ! 41 ! 317
=======================================================
Sumber: Hasil Pleno KPU

Perolehan Suara Pemilu kada Sabu-Raijua

Ir. Marthen Luther Dira Tome-Drs. Nikodemus N.Rihi Heke, M.Si 12.715 35,83 persen

Drs. Condrat Djo, B.A, S.Sos, MM dan Johny A.Djara,S.H (Mirakedihari) 997 2,81 persen

Dr.Bernard L.Tanya, S.H, MA- Mardiosy Rihi Ratu, S.H (paket Bersatu) 5.062 14.27 persen

Ir. Piter Djami Rebo, M.Si dan Drs. Origenes M.Boeky,M.Si (paket Terbukti) 11.754 33,12 persen

Drs. Simon Riwu Kaho dan Martha Kotepa-Riwu, S.Sos (paket Sa Rai) 726 2,05 persen

Jusuf Dominggus Lado, S.E, MM dan Dany Octo Gigy, BBA 2.315 6,52 persen

Drs. Marthen Kale, M.Si dan Lorens Piwo, S.Sos (Monehewewe ) 1.916 5,40 persen

Pos Kupang, 19 November 2010 halaman 1

Paha

"OM mau paha atau dada?" kata nona baju merah sambil melempar senyum. "Paha nona," kata si Om singkat. "Baik Om, mohon sabar sedikit." Tidak lebih dari 10 menit nona baju merah telah siap menyajikan paha yang langsung 'dilahap' si Om berkepala botak dengan semangat tinggi. Keringatnya bercucuran dan sesekali mata si Om terpejam. Nikmat!

Hussh! Pikiran tuan dan puan jangan ke mana-mana dulu. Paha atau dada itu beta tangkap dari sepenggal obrolan antara nona berbaju merah dengan seorang pria paruh baya saat makan siang di sebuah rumah makan sederhana di Kota Kupang pekan lalu.

Siang itu si Om berseragam PNS pesan menu nasi ayam. Nona pelayan rumah makan pun menawarkan dua pilihan, mau paha atau dada? Ternyata si Om memilih paha ayam goreng. Jika tuan dan puan adalah warga Kota Kupang atau sudah lama bermukim di kota ini, pertanyaan semacam itu agaknya bukan hal baru. Pengelola rumah makan di Kupang umumnya menyiapkan dada atau paha ayam siap saji. Tinggal tuan pilih, apakah dada atau paha ayam mau digoreng atau dibakar? Semua tergantung selera yang tidak patut diperdebatkan.



Tentang paha atau dada ayam, survei membuktikan selera orang Indonesia umumnya lebih memilih paha ketimbang bagian dada. Boleh jadi mereka melihat daging paha ayam lebih 'berisi' dibandingkan dengan dada. 

Nah, terkait selera paha ayam sempat merepotkan pemerintah. Penghujung tahun 2009, Menteri Perdagangan RI, Mari Elka Pangestu diprotes pengusaha dan peternak unggas, antara lain yang bernaung dalam Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (GAPPI) dan Persatuan Peternak Ayam Nasional (PPAN). Mereka protes karena pemerintah berniat membuka keran impor paha ayam dari Amerika Serikat (AS) tanpa batas. Pengusaha unggas dalam negeri cemas karena hal itu bakal mematikan usaha mereka.

Mengapa harus impor paha ayam dari Amerika? Lagi-lagi menyangkut selera. Penduduk negeri Barack Obama itu lebih suka konsumsi dada ayam, sehingga produk paha ayam AS yang mencapai 3 juta ton per tahun dilempar ke negara lain seperti Indonesia yang orang-orangnya lebih suka paha dan sayap ayam. Karena tidak dibutuhkan warga Amerika, paha ayam masuk ke Indonesia dengan harga murah. Harganya cuma 50 sen dolar AS atau Rp 5 ribu per kilogram. Maka wajar bila GAPPI dan PPAN protes. Jika serbuan paha ayam impor tak dibatasi pemerintah maka usaha sekitar 3 juta peternak dan industri pemotongan ayam Indonesia akan mati lemas.

Dibandingkan negara lain di Asia Tenggara, konsumsi ayam potong di Indonesia tergolong rendah yakni hanya 4,8 per kilogram per kapita per tahun. Bandingkan dengan Filipina 6,80, Thailand 12,10 atau Malaysia dengan konsumsi rata-rata nasional sebesar 36,30 kg per kapita per tahun.

Meski tingkat konsumsi tergolong rendah, Indonesia ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan daging ayam dalam negeri sehingga harus diimpor meski dalam jumlah yang dibatasi pemerintah. Soal kebutuhan daging, bukan cuma ayam yang kita impor. Sampai detik ini Indonesia masih mengimpor daging sapi. Bahkan garam pun kita masih impor.

Data tersebut memberi gambaran bening bahwa usaha peternakan ayam merupakan peluang bisnis yang menggiurkan. Sayang belum banyak orang mau menggelutinya. Coba tuan dan perhatikan restoran atau rumah makan di beranda Flobamora yang menyiapkan menu daging ayam. Hampir pasti ludes. Meski harganya terbilang mahal, anak NTT tetap mengincar paha ayam. "Ko enak na," kata orang Kupang. He-he-he...

Banyak keluarga di sini yang pusing bila mau menggelar sebuah hajatan karena tidak mudah mendapatkan ayam pedaging sesuai kebutuhan. Baru-baru ini stok ayam pedaging di Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai menipis drastis sehingga harganya melejit, sempat menembus angka Rp 75 ribu per ekor. Maklum sebagian besar ayam pedaging didatangkan dari Surabaya.

Masih banyak sisi menarik dari kepribadian ayam. Tidak sekadar paha atau dada. Kalau ayam betina mau bertelur dia akan berkotek dulu sampai seluruh ayam betina sekampung serta pemiliknya tahu bahwa dia mau bertelur. Si ayam betina tidak peduli alias malas tahu meski kenyamanan warga sekampung sangat terusik oleh kotekannya. Dia baru diam saat menghasilkan telur sebutir. Jika hendak bertelur sebutir lagi, ayam betina berkotek lagi. Bikin ribut lagi!

Beda sekali dengan bebek betina. Bila mau bertelur, dia diam-diam saja. Tanpa suara. Tidak berteriak seperti ayam. Tiba-tiba saja yang empunya bebek kaget setengah mati karena bebeknya telah menghasilkan telur yang sama gizinya dengan telur ayam. Perilaku ayam makin jauh kelasnya bila dibandingkan penyu yang menghasilkan ribuan butir telur justru dalam keheningan.

Mari kita tanya diri. Apakah kita menganut falsafah ayam betina yang nyaring berkotek untuk sebutir telur ataukah mengusung falsafah bebek dan penyu. Menghasilkan karya luar biasa tanpa retorika. Lebih banyak berbuat daripada omong. Lebih suka bekerja daripada bicara hingga mulut berbusa.

Sebelum berpisah dari ruangan ini, beta mau titip ala kadarnya buat saudara- saudariku yang baru saja memilih pemimpin kampung di sejumlah wilayah Flobamora. Lihat dan simak, apakah pemimpinmu mengusung falsafah ayam betina atau bebek betina? Kalau soal rasa, paha ayam betina dan bebek betina rasanya sama-sama enak bukan? (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang edisi Senin, 15 November 2010 halaman 1

Judi

SEPULUH tahun mereka hidup bersama sebagai suami istri dengan dua orang anak. Lima tahun pertama, mereka sungguh menikmati kebahagiaan. Prahara datang di tahun ketujuh. Tahun kesepuluh, pernikahan mereka bubar gara-gara judi!

"Semula dia hanya iseng bermain judi kartu dengan teman-temannya di saat senggang. Waktu itu saya anggap wajar saja. Lama-kelamaan dia ketagihan. Uang gaji bulanan tak pernah saya terima dalam jumlah utuh. Ada saja alasannya. Saya masih bersabar, termasuk saat dia diam-diam menjual perhiasan saya. Tapi sewaktu dia menjual mobil dan rumah kami bahkan cincin pernikahan untuk modal berjudi, saya kira pernikahan kami telah berakhir. Biarlah kami hidup sendiri-sendiri. Dua anak ikut bersama saya."

Mulutku terkunci saat mendengar pengakuan ini. Pengakuan mengejutkan dari Mir, saudara sepupuku. Hampir tiga tahun kami tak bersua. Saat berjumpa lagi dengannya di Kota Kupang akhir pekan silam, tiba-tiba beta mendengar kabar dari mulutnya sendiri tentang kegetiran nasib. Mir dan suaminya telah dua tahun hidup berpisah. Perpisahan karena judi. "Sekarang saya bekerja untuk menghidupi kedua anak," katanya.

Beta kenal baik Joni, suami Mir. Dia aktivis mahasiswa yang sangat populer di kampusnya dulu. Dia pemimpin mahasiswa di zamannya. Beta kenal karakternya. Dia orang baik. Tidak sekalipun beta melihat dia berjudi atau menenggak minuman keras. Saat bekerja selepas kuliah kariernya melesat cepat. Ketika dia menikah dengan Mir, beta ikut bangga sekaligus bahagia karena sepupuku itu membangun mahligai rumah tangga dengan pria yang tepat. Ternyata perjalanan waktu serta lingkungan pergaulan bisa mengubah tabiat seseorang. Kasihan nasib Mir dan Joni. 

Tuan dan puan, apa yang beta paparkan hari ini merupakan kisah nyata. Kisah dari lingkungan keluarga sendiri. Beta merasa perlu berbagi karena judi -- sesuatu yang kerapkali kita anggap lumrah dalam masyarakat -- masih saja berlangsung dengan genit kendati dampak negatifnya bisa sungguh merusak kehidupan. Boleh jadi tuan dan puan pun pernah mengalami 'kehancuran' akibat berjudi secara overs dosis. 

Banyak orang mencibir ketika membahas tentang judi. Sebab penyakit masyarakat yang usianya setua peradaban manusia itu tidak pernah mati. Banyak cara telah ditempuh demi memberantas perjudian. Namun, judi tetap tumbuh, berkembang dan menular. Sebuah anekdot menyatakan, praktik perjudian dan pelacuran hilang kalau bumi tidak lagi dihuni manusia.

Artinya, selama manusia masih ada judi dan pelacuran tetap tumbuh dan berkembang. Sejumlah negara di dunia mengemas sisi positif perjudian. Nafsu manusia untuk berjudi dikelola secara profesional demi membuka lapangan kerja sekaligus meraup devisa. Mereka bangun industri perjudian dengan efek ekonomis mengagumkan. Amerika Serikat, Taiwan, Singapura dan Australia merupakan contoh negara yang mengelola judi secara profesional. Bagi orang Amerika yang doyan berjudi, pergilah ke Kota Las Vegas. Jika tuan punya banyak uang untuk bersenang-senang lewat judi, silakan main di sana.

Itulah bedanya dengan Indonesia yang sampai hari ini tidak memberi ruang untuk membangun bisnis perjudian secara legal.

Kita selalu berbicara tentang moral ketika wacana itu dimunculkan. Padahal setiap detik praktik perjudian terjadi di sini. Makin dilarang, judi terus menjalar. Celakanya, judi di kampung halaman kita bukan karena orang kelebihan uang. 
Menurut para ahli, judi adalah transaksi dua belah pihak atau lebih untuk pemilikan suatu barang atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi itu dengan suatu aksi atau peristiwa.

Pengalaman Indonesia menunjukkan, makin sering diberantas, penjudi makin cerdas dan kreatif. Soal kreativitas, orang NTT terkenal jenius. Jika judi menggunakan media kartu, dadu, biliar atau kupon putih mudah digulung polisi, mereka pilih cara lain yang unik. Aksi mereka sulit diendus polisi karena tidak meninggalkan bukti, sesuatu yang disyaratkan dalam proses hukum di negeri ini.

Pernah terjadi di suatu daerah di Pulau Flores, pengumuman pemenang judi kupon putih menggunakan media radio. Radiogram lewat RSPD. Misalnya begini. Radiogram berasal dari Yoseph Ganteng di Reo untuk Yasinta Sayang di Waelengga. Besok pagi saya kirim barang dari Reo dengan bis kayu yaitu lima sak semen, lima ember plastik, dua dos mie dan satu karung beras. Mohon ditunggu. Bagi yang awam, isi pesan radiogram itu seolah sungguhan dari Yoseph kepada Yasinta. Tapi bagi pemain kupon putih, mereka mengerti sebagai kode atau angka hasil undian kupon putih. 

Di kampung beta ada cara berjudi hanya dengan duduk di deker pinggir jalan raya menebak nomor polisi kendaraan roda dua atau empat yang lewat. Tebak nomor awal ganjil atau genap, tergantung kesepakatan. Modus begini sungguh mengibuli polisi. Mereka kelihatan hanya duduk santai di deker. Faktanya mereka serius berjudi. Modus lainnya menggunakan perahu kayu di selokan. Mereka bermain seperti kanak-kanak. Perahu kayu diuji, mana yang akan sampai finish duluan.

Medio tahun 1990-an ada kisah menarik di kampung kami. Seorang anggota Resimen Mahasiswa (Menwa) memberi pelajaran kepada ayahnya yang doyan berjudi. Suatu malam saat dia pulang ke rumah sekitar pukul 22.00 usai pelesir bersama temannya, sang ayah sedang asyik bermain judi kartu dengan lima orang lainnya. Anak itu masuk kamar dan tidur. Sekitar pukul 02.00 dinihari dia bangun menuju toilet. Dia kaget karena ayah dan rekannya masih berjudi ria. "Bapa tua ini benar-benar keterlaluan. Judi sampai lupa istirahat," gumamnya.

Anak itu kembali ke kamar, pakai baju loreng, topi dan sepatu ala militer-nya sebagai Menwa. Dia menyelinap lewat pintu belakang menuju teras rumah. Di sana dia mengentak-entakkan kaki di lantai teras rumah sambil berkata dengan nada suara yang disamarkan. Selamat malam Bapak-Bapak. Mengapa sampai jam begini belum tidur?

Bunyi sepatu militer membuat sang ayah dan penjudi lainnya terkejut. Tanpa komando mereka lari tunggang langgang melalui pintu belakang. Ambil langkah seribu, berusaha selekasnya hilang dalam kegelapan agar tidak tertangkap.

Sekitar sepuluh meter dari rumah tiba-tiba sang ayah melihat bayangan hitam di depannya berdiri. Dia sontak angkat kedua tangan dan berkata dengan suara memelas, "Maaf pak, bukan saya." Bayangan hitam itu diam saja. Ternyata yang terlihat berdiri adalah babi jantan peliharaan bapak itu sendiri yang biasa dia ikat di pohon mangga. Babi itu terbangun tanpa suara karena dengar langkah kaki dan mencium bau badan tuannya. Bayangkan, gara-gara judi, pak tua angkat tangan dan mohon maaf kepada seekor babi. He-he-he... (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang Senin, 8 November 2010 halaman 1

GST

MULUTMU harimaumu. Begitu kata pepatah. Mulut salah seorang pemimpin formal negeri ini seolah memuntahkan "lahar panas" bagi Indonesia yang sedang bermuram durja akibat banjir Wasior, tsunami Mentawai dan erupsi Merapi.

Hari Rabu 27 Oktober 2010 atau dua hari pasca tsunami di Kepulauan Mentawai, Ketua DPR RI, Marzuki Alie mengatakan, bencana alam seperti tsunami merupakan risiko warga yang tinggal di pulau seperti Mentawai. Jika tidak ingin menghadapi risiko itu, sebaiknya pindah. "Kalau tinggal di pulau itu sudah tahu berisiko, pindah sajalah," kata Marzuki enteng.

Kalau menuruti cara berpikir Marzuki, maka puluhan juta jiwa penduduk Indonesia yang kini mendiami ribuan pulau kecil di seantero Nusantara harus pindah demi terhindar dari tsunami. Pindah ke mana? Ke Pulau Jawa yang sesak berdesak, ke Kalimantan yang menggundul, Sulawesi dan Sumatera yang langganan banjir atau Papua yang kekayaan alamnya terus dikuras dan diperas? Apakah perpindahan itu otomatis menyelesaikan masalah? Cara berpikir pemimpin lembaga terhormat di ini negeri sungguh menggampangkan persoalan.



Maka wajar jika statement Marzuki yang juga menjabat Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu dilukiskan sejumlah tokoh sebagai pernyataan yang tidak bertanggung jawab dan berwawasan sosial (baca Kompas, 29 Oktober 2010 halaman 4). 

Simak beberapa tanggapan berikut. "Tanggung jawab kita sebagai pemimpin adalah merumuskan pengelolaan pulau-pulau terutama di perbatasan dengan lebih baik, bukan menyuruh penduduknya pindah. Kalau tidak ada penduduk di pulau-pulau itu lalu diambil pihak lain, kita bagaimana?" kata Sekjen Partai Golkar, Idrus Marham.

"Urusan publik itu amat kompleks dan jangan disederhanakan. Untuk masalah sosial, ada banyak faktor seperti relasi budaya, relasi sosial hingga ekonomi dan politik," tutur pengajar Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago. Chaniago menilai, Marzuki Alie kurang mampu berpikir kompleks dan berwawasan sosial.

"Dia itu mengerti tidak sih? Indonesia ini negeri kepulauan," kata mantan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga yang juga penggagas Partai Demokrat, Adhyaksa Dault. Adhyaksa benar! Ada 17.504 pulau di seluruh wilayah Indonesia. Dari jumlah itu, baru sekitar 6.900 pulau yang punya nama. Sisanya belum punya nama yang diakui secara internasional. Memberi nama pulau milik sendiri saja kita gagap, 
eh malah suruh warga pulau pindah. Edan! 

Ketika lebih dari 700 warga Mentawai, Sumatera Barat meregang nyawa dalam sekejap disapu tsunami pada kegelapan malam, Senin (25/10/2010) disusul letusan Gunung Merapi, Selasa (26/10/2010) yang menewaskan 35 orang, pimpinan DPR RI mestinya mengucapkan sesuatu yang bersifat empati serta menawarkan solusi. Bukan menambah luka dengan kata-kata. Kata lebih tajam daripada pedang. 

Kontroversi pernyataan Marzuki Alie memang lekas "tenggelam" dalam lautan tangis dan air mata korban Mentawai dan Merapi. Energi bangsa ini pun tidak serta- merta terserap untuk menanggapi pernyataan tersebut. Toh ada yang lebih penting dikerjakan yakni membantu para korban bencana.

Namun, pernyataan itu setidaknya mewakili empati sosial yang bergulir di negeri ini. Dalam hal membantu sesama yang menderita, pemimpin kita selalu kalah cepat dibandingkan rakyat kecil. Kalah gesit dibanding orang-orang tanpa pangkat dan jabatan. Bahkan kalah cerdas dibandingkan kaum kebanyakan. Itulah bencana yang lebih mengerikan dibanding bencana alam seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi atau tsunami. Bencana terbesar di Indonesia, termasuk di kampung kita -- dari waktu ke waktu justru bencana kemanusiaan. Bencana yang disebabkan ketidakpedulian atau keangkuhan.

Bencana akibat pemimpin menganggap remeh gejala alam, mengelola bencana ala pemadam kebakaran. Jatuh korban dulu baru sibuk. Mati dulu baru buru-buru tunjuk hidung. Ada juga yang sama sekali tak peduli. Masa bodoh. Dalam musibah tenggelamnya KM Karya Pinang di Flores, 22 Oktober 2010 yang menewaskan 23 orang, tuan dan puan kiranya tahu siapa pemimpin yang peduli. Siapa pemimpin yang tetap sibuk dengan urusannya sendiri. Menyedihkan sekali!

Kembali ke soal bencana gempa bumi, tsunami atau gunung meletus, beranda Nusa Tenggara Timur tinggal menunggu waktu. Mungkin hari ini, besok atau lusa. Tragedi itu bisa terjadi kapan saja. Betapa pun ilmu pengetahuan dan teknologi makin canggih, namun sampai detik ini belum mampu menjawab kapan persisnya gempa bumi dan tsunami terjadi. 

Khusus tentang tsunami, beta memandang perlu mengutip Subandono Diposaptono, penulis buku Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami. Menurut catatannya, sejak tahun 1600-2010 telah terjadi 110 kali tsunami di kawasan pesisir Indonesia. Artinya, dalam rentang waktu tersebut terjadi tsunami empat tahun sekali. 
Namun, sejak tahun 1960 hingga 2010, kejadian tsunami makin meningkat. Dalam 50 tahun terakhir ini terjadi 23 kali tsunami di pesisir Indonesia, termasuk tsunami Flores 1992, Aceh 2004 dan Mentawati 2010. Gempa diikuti tsunami makin sering terjadi. Adakah semangat "sadar tsunami" tumbuh di beranda Flobamora? Adakah agenda aksi konkrit untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang cara menyelamatkan diri dari tsunami bagi warga pesisir? 

Kebetulan NTT sedang demam dengan gerakan, misalnya Gerakan Masuk Laut, Gerakan Pulang Kampung, Gerakan Tanam Pohon dan gerakan-gerakan lainnya, izinkan beta usul satu lagi. Mari kita galakkan Gerakan Sadar Tsunami (GST). Agenda aksi: Setiap akhir pekan, pemimpin sampai rakyat jelata, politisi hingga akademisi, aktivis LSM, tokoh masyarakat, pemuda, pastor, pendeta, ustad dan lain- lain rela turun ke kawasan pesisir. Ramai-ramai tularkan cara menyelamatkan diri dari gempa dan tsunami yang datang tak pasti itu. 

Buat kawan-kawanku yang sadar SPPD, banjiri saja dia dengan SPPD ke pulau- pulau kecil rawan tsunami demi menyadarkan sesama tentang bencana ini. Makin banyak orang sadar, niscaya korban akan semakin sedikit. Saudara Tua kita, Jepang sudah membuktikan itu. Tidak percaya? Silakan bapak ibu yang doyan studi banding belajar ke sana ketimbang sarankan anak pulau ramai-ramai pindah. Studi banding tsunami, so pasti banyak yang mau? He-he-he... (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang, Senin 1 November 2010 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes