Doa-doa di Tengah Pandemi


ilustrasi
TIGA pekan menjalani ibadah di rumah saja melahirkan fakta menarik dan indah.

Sebagai misal saya kumpulkan pengalaman umat Kristiani yang baru saja merayakan Tri Hari Suci Paskah 2020.

Mengapa menarik?

Bayangkan, orang Palasari Bali ikut misa via live streaming dari Katedral Ende Flores.

Orang Manokwari dan Wetar ikut kebaktian via live streaming dari Medan.

Orang Singkawang dan Bontang ikut misa via live streaming dari Katedral Denpasar.

Orang Sumba dan Lombok ikut misa via siaran langsung TV dari Katedral Jakarta.

Orang Manila ikut misa via live streaming dari Dili Timor Leste.

Orang Wolonio, kampung cilik di pedalaman Flores, ikut misa via live streaming yang dipimpin Paus Fransiskus dari Basilika St Petrus Vatikan.

Wow!

“Teman bisa konsentrasi mengikuti misa via live streaming?” tanyaku kepada Agus, kolegaku warga Jakarta yang hari-hari ini menjalani masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan Pemerintah Provisi DKI.

"Iya bisa. Kan intinya sama," jawabnya yakin.

“Bedanya, kita tidak di dalam gereja serta tidak menyambut komuni,” tambahnya.

Toa dan Naik Becak

Selain ibadah menembus layar dan melampau bahasa, pandemi Covid-19 menuntut manusia berkreasi. Mereka fokus pada peluang bukan mengeluhkan tantangan.

Kisah menarik pun datang dari Manado di bumi Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara.

Di sana khususnya di daerah Tomohon dan Tondano, jemaat menjalani kebaktian hari Minggu di rumah masing-masing dengan panduan dari toa di gereja.

Apakah itu toa?

Toa adalah pelantang atau pengeras suara. Orang Manado lebih suka menyebutnya demikian.

Sebagian besar masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) pun menggunakan kata yang sama.

Dengan bantuan toa, pendeta tetap memimpin kebaktian di gereja.

Jemaat yang rumahnya di sekitar gereja tersebut dalam radius 200 hingga 400 meter bisa mendengar jelas seluruh rangkaian ibadah.

Apalagi mereka sudah mendapat panduan tata ibadah tertulis dari gereja.

Langkah yang diambil pimpinan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) ini sangat bijaksana.

Jemaat tetap dapat beribadah dari rumahnya sambil memandang menara gereja di kejauhan sana.

Cara unik pun terjadi di negara tetangga Filipina.

Pada hari Minggu Palma 5 April 2020 lalu, umat Katolik di suatu distrik di Manila merayakan dengan berdiri di depan rumah masing-masing sambil memegang daun palma.

Daun itu diberkati oleh imam yang berkeliling kampung naik becak.

Perayaan Minggu Palma merupakan awal Pekan Suci menjelang Paskah.

Seperti diwartakan Kompas.com mengutip AFP, umat berbaris di depan rumah mereka masing-masing sambil tak lupa memakai masker.

Pastor dengan sabar berkeliling kampung menggunakan becak memberkati umat dan daun palma.

Manila memasuki pekan keenam lockdown yang membuat kota itu senyap dan hampir semua kegiatan terhenti.

"Perayaan ini akan berlanjut meski ada penyebaran virus corona," kata Bong Sosa, seorang warga Manila kepada AFP.

Sosa menghadiri perayaan itu sambil mengenakan masker yang dibuat dari botol pendingin air.

Tak ada rotan akar pun jadilah.

Sama seperti di belahan dunia lainnya, ibadah di Filipina disiarkan via live streaming dan saluran televisi.

Kreatif di Tengah Pandemi

Pandemi virus corona pun telah mengubah tradisi Vatikan yang bertahan selama ratusan tahun.

Sejak Minggu Palma, Jumat Agung 10 April hingga Minggu Paskah 12 April 2020, Paus Fransiskus memimpin misa di Basilika St Petrus Vatikan yang disiarkan via live streaming Vatican Media ke seluruh dunia.

Paus Fransiskus membelah kesunyian saat memasuki Basilika Santo Petrus yang sunyi dan kosong, dengan jubah putihnya untuk prosesi Jumat Agung 10 April 2020 dan diterangi obor.

Biasanya prosesi tersebut berlangsung di sekitar Colosseum Romawi di hadapan sedikitnya 20.000 orang.

Namun, tradisi itu tak boleh digelar sejak Roma dan seluruh Italia hidup dalam aturan lockdown sejak awal Maret 2020.

Tahun lalu Misa Minggu Paskah dan pemberkatan Urbi et Orbi dihadiri sekitar 70.000 umat di Lapangan Santo Petrus.

Menurut pantauan jurnalis AFP, pintu masuk Vatikan sekarang ditutup rapat dan dijaga polisi bersenjata mengenakan masker serta sarung tangan karet.

Paus Fransikus secara terbuka mengakui bahwa ia berjuang bersama semua orang untuk melalui masa-masa sulit ini.

Berjuang tanpa kehilangan kreativitas.

"Kami harus menanggapi lockdown dengan semua kreativitas kami," kata Paus Fransiskus dalam wawancara yang diterbitkan beberapa surat kabar Katolik minggu ini.

"Kita bisa menjadi depresi dan terasing... atau kita bisa menjadi kreatif," lanjut pemimpin umat Katolik sedunia berusia 83 tahun tersebut.

Buktinya banyak kreasi dan inovasi muncul di tengah pandemi Covid-19.

Doa-doa virtual dari Paus Fransiskus adalah contoh improvisasi kegiatan keagamaan di masa penerapan physical distancing dan lockdown.

Umat pun sudah mengikuti sarannya dan menemukan solusi kreatif.

Di Amerika Tengah, Uskup Agung Panama ikut mengudara dan memberkati bangsa kecilnya itu dari sebuah helikopter.

Orang-orang Spanyol menyalakan musik religi di balkon rumah mereka selama Pekan Suci yang baru berlalu.

Musik yang meneguhkan hati.

Kemudian di Amerika Serikat (AS), negara adidaya yang porak-poranda dihajar Corona, sebuah Gereja Katedral di New York City mengganti deretan kursi kayu dengan tempat tidur rumah sakit.

Ini langkah berjaga-jaga kala rumah sakit di sekitarnya tak sanggup lagi menampung pasien.

Gereja ortodoksnya di Yunani akan mengadakan misa secara tertutup untuk Paskah pada 19 April 2020 nanti.

Lalu orang-orang Yahudi di seluruh dunia menggunakan Zoom atau aplikasi konferensi video lainnya untuk beribadah di rumah ketika liburan Paskah 8 hari dimulai pada Rabu malam 8 April 2020 lalu.

Westminster Abbey di London juga mengikuti tren teknologi dengan merilis podcast Paskah untuk umatnya di Gereja Anglikan.

Dan, di Lourdes Prancis para pastor Gereja Katolik Roma menyampaikan doa selama 9 hari berturut-turut via Facebook Live dan YouTube.

Bukankah tak pernah terbayangkan sebelumnya ibadah umat beragama akan terjadi seperti sekarang ini?

Pandemi Covid-19 memang memaksa orang masuk rumah, mengurung diri.

Hindari jalan pelesir yang tak mendesak dan menjauhi kerumuman massa agar bisa memutus mata rantai penyebarannya.

Namun, pandemi Corona tidak menghentikan doa kepada Tuhan sang Maha Cinta sumber kehidupan.

Teknologi memungkinkan ibadah umat manusia tetap bisa berlangsung dalam format yang baru.

Berkat topangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hanya tubuh saja yang harus di rumah, sementara jiwa bebas berkelana mencari sesama umat beriman seantero negeri bahkan ke ujung dunia untuk bersama-sama menghadap Tuhan dalam doa.

Indah bukan?

This is a blessing in disguise.

Selalu ada berkah dan hikmah di balik musibah. Maka syukur tiada akhir patut kita panjatkan.

Dalam suka pun duka.

(dion db putra)

Sumber: Tribun Bali

Kambali Meniti Jalan Sunyi


Kambali (kiri) serahkan buku kepada Sunarko
KAMI  biasa menyapanya  Cak Ali atau  Mas Ali.  Nama lengkapnya Kambali Zutas.  Anak  Nganjuk,  Jawa Timur.  Energik.

Ukuran tubuh mini mirip diriku.  Hobinya bikin makanan enak.
Sedap. Segar. Sehat.  Selalu dinanti pasukan redaksi di Ketewel Sukawati Gianyar.

Keistimewaanya, dia jurnalis  dan penulis  muda  yang tekun dan produktif.

Salut!

Baru saja  Cak Ali  meluncurkan buku.

Topiknya asyik: Euforia Sepak Bola Bali (Tonggak  Media,  Maret 2020).

Sebagai pemuja sepak bola, saya senang tak terkira  menyambut karya tulis editor Harian Pagi Tribun  Bali ini.



Setidaknya saya boleh mengecapi dan menimba lagi larik  lirik pesan bola dari sana.

Pesan sportivitas, perjuangan, kekalahan, kemenangan, perayaan, pesta dan juga air mata.

Air mata bola.

Sepak Bola Bali  bukan Sepak Bola di Bali.

Mirip tapi beda makna, kawan.

Cak Ali meracik  diksi apik.

Mengandung  makna historis, heroik  sekaligus  romantis.

Tepat amat judul  buku karya sarjana sastra Indonesia jebolan Universitas Jember tersebut.

Pulau  Surga ini baru saja berpesta.

Merayakan gelar  juara liga 1 2019, kasta tertinggi  kompetisi  sepak bola Indonesia.

Adalah klub Bali United alias Serdadu Tridatu  yang membuat Semeton Dewata boleh tersenyum bangga.

Setelah lama menanti  berpuluh-puluh tahun.

Menapaki onak dan duri. Jatuh bangun.

Pria kelahiran 14 Juli 1982 ini  merajut buku dalam narasi khas jurnalis.

Ringan bernas,  renyah mengalir  melegokan nalar dan rasa.

Setebal 236 halaman, buku Eurofia Sepak Bola Bali terbagi dalam lima bagian atau bab.

Cak Ali mengantar pembaca  masuk sejenak ke sejarah masa lalu sepak bola Bali.

Tersaji  lengkap bagaimana dinamika  prestasi sepak bola di pulau peristirahatan eksotik ini.

Ali kemudian menampilkan euforia teranyar kala Serdadu Tridatu meraih trofi juara di penghujung 2019.

Dia melukiskannya sebagai babak baru.

Bagian  kedua menyentuh arena pelatih.

Arsitek dari bibir lapangan hijau yang menentukan irama permainan si kulit bundar.

Catatannya padat berisi.

Mulai dari nyanyian akar rumput ala pelatih kondang Indra Sjafri sampai rahasia dua gelar beruntun seorang polyglot.

Di sini sidang pembaca  akan menemukan  pergumulan  Widodo Cahyono Putro (WCP) serta Coach Stefano Cugurra Teco  yang membawa kultur Brazuca Brasilia  bercita rasa Catenaccio.

Tak lupa arena   pemain yang selalu  menebar pesona.

Itu bagian ketiga buku Euforia Sepak Bola Bali.

Ada secuil kisah pengayu Nano Sukadana.

Esai  menarik tentang Stefano Lilipaly  jadilah  Douwes Dekker.

Pun refleksi spiritual  Ngurah Nanak, Yabes Roni Malaifani dan Miftahul Hamdi.

Masih di bab yang sama pembaca dimanjakan  kisah  Maulana “Fellaini”, the legend  Fadil Sausu,  Mihael Essien, gol bunuh diri  Willian Pacheco, aksi memikat Spider Wan di bawah mistar gawang hingga gocekan si  tampan Irfan Bachdim yang bercerita tentang Bali sebagai surga  pelipur lara.

Bagian keempat menelisik  pemain  keduabelas.

Siapa lagi kalau bukan penonton?

Bola tanpa penonton  laksana  sayur tanpa garam. Hambar.

Kehilangan rohnya.

Kursi  penonton  selalu punya kisah sendiri.

Manis dan pahit.

Penuh canda tawa serta air mata lara.

Cak Ali antara lain mengungkap Deklarasi Sanur yang melahirkan Semeton Dewata, adanya suporter instan, fans dadakan sampai kericuhan di kafe.

Dan, bagian penutup ibarar extra time  (tambahan waktu) dalam sebuah laga bola.

Berisi perbincangan  dengan sejumlah tokoh olahraga seperti Ketua KONI Provinsi Bali, Ketut Suwandi dan Ketua Asosiasi Provinsi  (Asprov)  PSSI  Bali, Ketut Suardana.

Mereka menyampaikan pandangan yang memperkaya isi buku.

Paling  akhir terbersit kerinduan kapan  Bali memiliki  stadion megah berstandar internasional.

Sejauh ini Bali mengandalkan Stadion Kapten I Wayan Dipta Gianyar.

Stadion lain  kondisinya masih jauh dari ideal.

Pencapaian Bali United mestinya momentum emas Bali membangun fasilitas olahraga berkelas dunia.

Singkat kata,  Kambali  Zutas menulis Euforia Sepak Bola Bali sebelum, saat dan sesudah Bali United juara Liga 1 Indonesia musim 2019.

Berisi esai saling bertautan yang mengurai  tentang bahasa dan sastra, psikologi dan sosiologi, kultur Bali dan Indonesia dalam bingkai sepak bola.

Semacam melihat  Bali dan Indonesia dari lapangan  bola.

Di balik catatan yang apik, tentu saja ada  kekurangannya di sana-sini.

Namun yang pasti, buku ini  telah memperkaya  referensi tentang sepak bola khususnya di Bali yang jumlahnya tak  banyak.

Referensi  akademis  menghibur. Setitik oase di tengah kerontangnya prestasi sepak bola Indonesia.

Bagi saya  ada sisi lain yang  juga menggembirakan. Euforia Sepak Bola Bali  itu  Tribun Bali banget.

Penulis, editor sampai gambar cover karya awak Tribun Bali.

Editornya  I Putu Darmendra dan  Miftahul Huda.

Gambar cover goresan tangan seniman  I Putu Nana Partha Wijaya.

Nana dan Huda memang tak lagi bersama Tribun Bali.

Belum genap lima purnama yang lalu mereka memilih  medan bakti lain.

Sebelum mengucapkan sayonara  kepada  kami di  Mabes Ketewel  (baca: Kantor Redaksi  Tribun  Bali),  mereka berkolaborasi menghasilkan karya yang akan lama dikenang.

Pemimpin  Redaksi  Harian Tribun Bali, Sunarko,  memang  memberi ruang seluas  mungkin kepada seluruh awak redaksi.

Ruang dan waktu untuk berkreasi dan berinovasi mengembangkan bakat dan talentanya demi menghasilkan karya yang bermanfaat bagi banyak orang.

Tribun Bali  setidaknya berkontribusi memberi ruang yang tampan kepada sederet jurnalis dan penulis muda yang goresan penanya keren.

Sebut misalnya  Ni Ketut Sudiani,  AA Seri Kusniarti,  Eviera Paramita Sandi, I Putu Supartika dan lainnya.

Meniti Jalan Sunyi

Keputusan Kambali  Zutas terbitkan buku  mengundang takjub karena dia telah  meniti jalan sunyi.

Mengapa begitu? Ini zaman virtual bung. Era kejayaan digital.

Manusia menyembah Google lebih dari apapun.  Mau tahu segala hal,  mereka bertanya kepada Google, bukan buku.

Gugling saja beres.

Di tengah arus sedemikian deras itu,  Cak Ali kok malah  menerbitkan buku. Cetak pula.

Padahal era print sudah senjakala.

Di ambang rembang zaman baru.

Aneh bukan?

Butuh keberanian luar biasa untuk melakoninya.

Berbagai survei dan riset terbaru  membuktikan kecenderungan  tren masyarakat membaca  buku menyusut.

Orang beralih ke e-book serta bahan bacaan digital  yang melimpah ruah.

Bahan tersebut mudah  diperoleh dan praktis pula pendokumentasiannya.

Bisa diakses kapan saja jika seseorang membutuhkan.

Berbeda dengan buku cetak yang makan ruang khusus.

Pun dianggap  kurang gaul bagi kaum milenial, generasi keseringan merunduk menatap layar gadget  yang  lebih doyan jelajah virtual ketimbang meraba kertas.

Cak Ali  memilih jalan senyap sebab tak banyak jurnalis, editor atau redaktur media  yang sudi meluangkan waktu merajut esai  atau menganyam serpihan tulisan  terserak menjadi sebuah buku.

Utuh tersaji bagi pembacanya.

Sejauh pengalamanku  ada sejumlah alasan yang mereka ungkapkan.

Yang klasik adalah ketiadaan biaya cetak. Sulit mendapatkan sponsor dan lainnya.

Padahal itu faktor tersier.

Sesungguhnya problem umum editor atau redaktur adalah larut dalam rutinitas.

Enggan berkeringat lebih untuk menghasilkan karya monumental.

Saya ingat  kiat Mantan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Trias Kuncahyono yang produktif menulis buku terutama tentang masalah Timur Tengah.

Penulis buku best seller,  Jalur Gaza:  Tanah Terjanji, Intifada dan Pembersihan Etnis tersebut mengaku selalu mengalokasikan waktu khusus untuk menulis buku di sela pekerjaan pokoknya sebagai wartawan Kompas.

Dia mematok deadline bagi diri  sendiri.

Setiap hari minimal satu sampai dua jam dia merajut bahan tulisan.

Kadang dia bangun lebih pagi atau tidur agak larut ketika ide sedang mengalir.

“Pokoknya agak paksa diri kita untuk menulis. Kalau tidak begitu, satu buku pun nggak pernah jadi-jadi.” ujarnya suatu ketika.

Saya  menduga selama enam hingga tujuh bulan terakhir, Cak Ali telah memaksa dirinya  untuk menulis di sela tugas rutin sebagai redaktur olahraga dan bisnis Harian Tribun Bali serta aneka kegiatan sosial dan keagamaan.

Kalau tidak demikian, maka buku Euforia Sepak Bola Bali takkan  hadir tepat pada waktunya.

Hampir bersamaan dengan kelahiran anaknya yang ketiga, seorang putri.

Sebagai karya tulis yang masuk Katalog Dalam Penerbitan (KDT) dan label ISBN, Euforia Sepak Bola Bali kiranya ikut memperkaya koleksi buku  nasional.

Meskipun tingkat literasi Indonesia terbilang rendah dibandingkan negara tetangga  di Asia Tenggara, namun soal penerbitan buku tersembul fakta menggembirakan.

Menurut data  London Book Fair 2019, Indonesia merupakan negara paling aktif menerbitkan buku di antara  negara anggota ASEAN.

Saban tahun setidaknya 30 ribu judul buku yang terbit  di persada Ibu Pertiwi.

Malaysia berada di posisi kedua dengan 19 ribu judul buku per tahun.

Thailand di posisi ketiga dengan 17 ribu judul buku per tahun.

Menyusul Singapura dengan 9.952 judul buku per tahun dan Filipina dengan 7 ribu judul buku per tahun.

Hanya urusan minat baca peringkat  bangsa kita terbilang  rendah.

Dari 61 negara yang disurvei  The World’s Most Literate Nations (WMLN), Indonesia di posisi ke-60.

Dalam daftar tersebut, negara-negara Nordic menempati peringkat teratas seperti Finlandia, Islandia, Denmark, Swedia dan Norwegia.

Di Asia, peringkat teratas dipegang Korea Selatan (22), Jepang (32), Singapura (36), China (39), Malaysia (53), Thailand (59) dan Indonesia (60).

Pengelola Perpustakaan Nasional  RI tentu berterima kasih kepada penulis seperti Kambali Zutas yang ikut menyumbang karya dengan harapan mendorong minat baca.

Sudah semestinya para jurnalis dan penulis  berkontribusi serupa itu mengingat mereka memiliki kapasitas, pengetahuan dan keterampilan merangkai kata.

Langkah sunyi  Mas Ali semoga menular kepada yang lain.

Negeri ini masih membutuhkan banyak penulis buku.

Orang  bilang buku adalah mahkota seorang wartawan.

Kambali Zutas dalam usia muda mulai merintis jalan  memahkotai dirinya.

Euforia Sepak Bola Bali merupakan buku keduanya setelah tahun lalu dia meluncurkan antologi puisi berjudul  Laila Kau Biarkan Aku Majnun (Tonggak Media, 2019).

Berharap  Kambali Zutas  kembali menghadirkan karya-karya terbaru.

Teruslah menulis  Cak!

(dion db putra)

Sumber: Tribun Bali

Inspirasi dari Seminari Mataloko


Seminari Mataloko 
Pergumulan sedang dihadapi kepala sekolah dan guru sekolah ternama di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur, SMA Katolik Syuradikara Ende.

Mereka mesti segera mengambil keputusan penting mengenai nasib peserta didik setelah masa belajar di rumah berakhir pada 21 April 2020 nanti.

Ada dua skenario kemungkinan.

Pertama, jika tren kasus penyebaran Covid-19 mereda dan dinyatakan aman oleh pemerintah, maka masa belajar di rumah sungguh berakhir pada 21 April.

Itu berarti setelah tanggal tersebut, sekolah aktif kembali melaksanakan kegiatan belajar mengajar (KBM).

Tentu ini merupakan kerinduan semua orang.

Bosan juga anak-anak kelamaan belajar di rumah.


Ongkos paket data tak sedikit dan tidak semua tempat di negeri ini jaringan internetnya lancar jaya.

Kedua, jika kondisi sebaliknya yaitu Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) masih terus mengamuk menelan korban, maka pihak otoritas akan memperpanjang masa belajar di rumah.

Kemungkinan tersebut terbuka lebar lantaran belum terlihat sinyal pandemi corona akan bergerak ke level aman.

“Itulah yang sedang kami pikirkan sekarang,” kata Heri Bata, satu di antara guru SMAK Syuradikara Ende dari balik telepon kemarin.

Kami berdiskusi beberapa saat mengenai hal ini.

Untuk SMAK Syuradikara Ende problem-nya terletak di sini.

Siswa-siswi sekolah yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu berasal dari seluruh wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bahkan luar NTT seperti Bali, Sumatera dan Kalimantan.

Anak-anak dari luar Kota Ende umumnya tinggal di asrama putra dan putri.

Ada pula di kos mandiri serta rumah orangtua atau wali.

Bila skenario pertama yang terjadi, mereka harus kembali ke Ende pada pekan terakhir bulan ini.

Masuk lagi asrama sekolah, kos atau rumah keluarganya di kota elok dan bersejarah itu.

“Anak-anak kami ini datang dari mana-mana termasuk dari zona merah, apakah aman dari virus corona?” kata Heri Bata retoris.

Sulit menjawab bukan?

Ayo, siapa yang hari ini menjamin bahwa setelah 21 April 2020 Covid-19 benar-benar aman di wilayah NKRI sehingga anak sekolah kembali KBM sebagaimana biasa.

Kiranya tak seorang pun berani memastikan sehingga pergumulan pimpinan dan staf pengajar SMAK Syuradikara Ende niscaya dirasakan pula kolega mereka di sekolah lainnya termasuk di Bali.

Inspirasi dari Seminari

Mari sejenak menengok kebijakan seminari.

Tepatnya Seminari Menengah St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko sebagai contoh.

Seminari itu terletak di Kabupaten Ngada, NTT. Usianya hampir satu abad.

Seminari sarat pengalaman termasuk melewati krisis pelik seperti Perang Dunia II.

Saya berterima kasih kepada Romo Yohanes Moses Songkares, Pr, sekretaris komunitas Seminari Menengah Mataloko yang mau berbagi kisah ini.

Romo Nani, demikian beliau karib disapa, mencatat apik bagaimana seminari tertua di Flores tersebut menyikapi pandemi Covid-19.

Kegemparan mulai mencabik langit Indonesia ketika 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo umumkan dua pasien pertama yang positif terjangkit corona.

Sejak itu jumlah terjangkit, dalam pengawasan dan pantauan berbiak secara eksponensial.

18 Maret 2020 Gubernur NTT mengeluarkan instruksi kepada sekolah-sekolah untuk merumahkan siswa-siswi selama 14 hari, 20 Maret – 4 April 2020.

Instruksi tersebut ditindaklanjuti Bupati Ngada dan Dinas Pendidikan setempat.

Seminari Mataloko pun mengambil langkah lekas.

Pada 19 Maret sore diadakan tapat terbatas antara Pimpinan dan Staf Seminari, Ketua Yasukda (RD. Silvester Betu), Perwakilan Komite Sekolah (Niko Noywuli, Selestinus Djawa, Gerardus Reo), Peduli Pendidikan (Trisno Hurint), dan Konsultan Kesehatan (dr. Yovita M.B.M. Due, MM – Ketua IDI Ngada).

Berdasarkan rapat tersebut, Praeses Seminari Mataloko Romo Gabriel Idrus, Pr mengeluarkan Surat Pemberitahuan tertanggal 20 Maret 2020, berisikan 10 butir keputusan, yang pada intinya merumahkan para siswa seminari dengan cara karantina penuh di asrama seminari, terhitung sejak 20 Maret sampai 4 April.

Surat dilengkapi panduan praktis pencegahan penularan Covid-19 di seminari.

Menurut Romo Nani, pada hari itu juga gerbang-gerbang seminari dikunci.

Seluruh penghuni seminari dilarang keluar kompleks, kecuali untuk urusan kesehatan dan makan minum siswa, yang personelnya telah ditentukan dan dijamin keamanan dan kerbersihannya.

Masyarakat luar, termasuk para guru dan pegawai, dilarang memasuki kawasan seminari.

Empat hari berselang, 24 Maret 2020, terbit Surat Edaran dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Nadiem Makarim yang intinya meniadakan Ujian Sekolah, Ujian Nasional (UN) dan Ujian Kenaikan Kelas.

Semua kegiatan yang bersifat mengumpulkan siswa dilarang.

Kalau keputusannya demikian, apakah seminari masih tetap melaksanakan karantina penuh untuk para penghuninya? Dan sampai kapan?

Bisa berbulan-bulan. Penuh ketidakpastian.

Maka, Selasa 24 Maret 2020 malam, kata Romo Nani, para staf seminari menyelenggarakan rapat dadakan menindaklanjuti Surat Edaran Menteri dan berbagai situasi yang begitu cepat berubah.

Malam itu diputuskan, para siswa tingkat SMP dan SMA yang jumlahnya hampir 600 orang harus segera dipulangkan ke rumah masing-masing.

Pemulangan tersebut harus sesuai standar protokol kesehatan dan melibatkan banyak pihak terkait. Singkat cerita para siswa seminari pulang ke rumah orangtuanya tanggal 26-28 Maret 2020.

Ada yang ke Kupang, Ende, Ngada, Nagekeo, Sikka, Flores Timur hingga Lembata.

“Sore dan malam hari, kami mendapat berita, para siswa telah tiba dengan selamat, dan sehat walafiat. Dari Kupang, Larantuka, Maumere, Ende, Nagekeo, dan tentu Bajawa dan sekitarnya. Syukur pada Tuhan,” kata Romo Nani.

Yang tinggal di seminari sekarang para pembina, para frater dan satu siswa asal Papua.

“Saat saya membuat catatan ini, Kamis, 26 Maret 2020 malam, suasana sepi. Hanya terdengar lolongan anjing. Kemudian sunyi,” demikian Romo Nani.

Romo terkenang krisis yang melanda seminari ini pada masa Perang Dunia II (1939-1945).

Dulu proses pembelajaran pun terhenti untuk jangka waktu panjang.

Tapi ada hal berbeda. Saat itu para siswa ditinggalkan di seminari.

Sebagian besar imam dan bruder yang menangani seminari diinternir.

Kini sebaliknya siswa yang tinggalkan seminari.

Yang bertahan para romo, frater dan seluruh staf pengajar.

Kapan para siswa boleh pulang ke seminari?

Romo Nani Songkares menjawab tegas bahwa akan disampaikan pada waktunya.

Tentu ketika pandemi Covid-19 benar-benar telah berlalu.

Mungkin 3 sampai 4 bulan lagi. Yang pasti sampai akhir semester ini mereka belajar dari rumah dan tetap dalam pantauan.

Persis sebagaimana dikatakan pimpinan Seminari Mataloko Romo Gabriel Idrus, Pr dalam suratnya kepada para orangtua seminaris 30 Maret 2020 bahwa kepulangan para siswa ke rumah saat ini bukanlah dalam rangka liburan.

Kepulangan para siswa sama sekali tidak menghentikan seluruh proses pendidikan para calon imam Katolik itu.

Tempatnya saja yang berpindah. Proses pendidikan bergulir di dalam rumah dan keluarga para seminaris itu sendiri.

Romo Gabriel mengatakan, hal-hal yang menyangkut biaya sekolah dan asrama, khususnya selama semester berjalan ini sedang dalam kajian dan disampaikan pada waktunya.

Bagaimana Sekolah Lain

Langkah inspiratif dari seminari adalah pulangkan siswa ke rumah orangtua pada saat yang tepat dengan mengikuti seluruh standar protokol kesehatan dan mereka baru kembali ke seminari setelah situasi aman dari Corona.

Opsi tersebut paling realistis di tengah kepungan wabah Covid-19 yang sangat mematikan.

Mengapa sekolah lain baik negeri maupun swasta seperti SMAK Syuradikara tidak menempuh langkah serupa? Demikian pula sekolah di Provinsi Bali serta daerah lainnya di negeri ini.

Jadi, tak mesti tuan dan puan menanti pengumuman terbaru dari pemerintah apakah masa bekerja dan belajar dari rumah akan berakhir 21 April 2020 atau diperpanjang lagi.

Ketuk palu sekarang juga seperti aksi cepat seminari di atas.

Sejumlah pesantren di Pulau Jawa pun sudah mengambil langkah serupa.

Toh di NTT dan Bali, misalnya, durasi masa tanggap darurat Covid-19 yang ditetapkan gubernur sama yaitu sampai akhir bulan Mei mendatang.

Di NTT Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat menetapkan masa tanggap darurat tanggal 1 April hingga 30 Mei 2020.

Di Bali Gubernur Wayan Koster menetapkan tanggal 31 Maret hingga 29 Mei 2020.

Selama masa tanggap darurat masyarakat mestinya tetap menjauhi kerumunan dan jaga jarak aman (physicial distancing).

Lalu mengapa para siswa harus kembali ke sekolah?

Biarkanlah anak-anak kita belajar di rumah saja sampai semester ini bertepi.

Tentu dengan kerendahan hati menerima segala risiko dan konsekuensinya.

Belajar online jelas tidak ideal. Banyak faktor yang mempengaruhinya.

Anak-anak di pedalaman Flores, Sumba dan Timor yang fakir sinyal internet, pulsa data sulit diperoleh pasti belajar dari rumah tidak berjalan sebagaimana harapan.

Tak semua siswa dan orangtuanya memiliki hp android.

Tapi sudahlah. Covid-19 merupakan peristiwa luar biasa. Extra ordinary sehingga perlakuannya pun harus luar biasa pula.

Relakan siswa-siswi “angkatan Corona 2020” tamat sebelum waktunya.

Naik kelas atau naik tingkat sebelum jatuh tempo semester. Tanpa melalui ujian pula.

Ya rejeki mereka yang akan dikenang seumur hidup. Anak-anak angkatan ini akan mengenang selalu bahwa mereka mengalami sampar yang menelan korban tak sedikit.

Kabut duka menudungi dunia yang muram berbulan-bulan. Hampir semua negara terkena dampaknya. Air mata mengalir di mana-mana.

Angkatan ini mengoleksi pengalaman sangat berharga mengenai pentingnya pola hidup bersih dan sehat (PHBS).

Pakai masker, cuci tangan, jaga jarak aman, makan asupan gizi yang baik. Angkatan ini mestinya menjadi lebih tangguh. Mereka belajar banyak dari pengalaman stay at home yang lama.

Sebelum menutup catatan ala kadarnya ini, saya mengutip curahan hati siswa-siswi kelas akhir angkatan 2020 yang tamat lebih awal dari SMA di Kota Bandung, Jawa Barat.

Saya ambil dari akun medsos kolegaku, Florencio Mario Vieira tertanggal 29 Maret 2020.

Mario Vieira copas dari WA Group siswa-siswi Kelas XII SMA Santa Maria Bandung.

Putri kesayangan Mario, Verena Ogilvie Payatei Wibowo Vieira (Ovie) termasuk di dalamnya. Inilah seuntai curahan hati mereka.

Angkatan kita

Angkatan pertama penuh cerita

Saat semua direncanakan rapi

Disusun sedemikian rupa

Hilang begitu saja


Angkatan Corona

Begitulah kita akan disebut

Jangan khawatir


Angkatan kita

Akan terkenal sepanjang masa

Angkatan pertama lulus tanpa UN

Ijazah pertama nilai dilihat dari raport


Kita usai sebelum waktunya

Kita istirahat bukan pada jamnya

Kita tamat mendadak

Kita menjadi alumni mendadak

Kita berpisah tanpa perpisahan


Mungkin cobaan kepada kita

Supaya lebih baik dan lebih tegar

Dan cobaan ini datang pada kita

Karena Tuhan tahu angkatan 2020 kuat


Yakinlah semua indah pada waktunya

Selama ini kita semua lelah

Saatnya kita beristirahat sejenak

Melepaskan semua kelelahan kita


Angkatan kita…

Bertemu dengan pelukan

Berpisah tanpa jabat tangan

(dion db putra)

Selembar Foto Tanpa Caption


ilustrasi
IDE itu menyeruak muncul dalam lamun mencari inspirasi di rumah saja.

Selembar foto saya unggah ke akun media sosial Facebook.

Hari itu Jumat 27 Maret 2020. Kira-kira jam 11.00 Wita. Denpasar Timur lumayan cerah. Angin sepoi mengalir mencubit kulit.

Semula sempat terpikir untuk membuat caption atau keterangan tertentu.

Ya semacam pengantar.

Tapi akhirnya saya memilih tidak membubuhkan sepatah katapun.

Biarkan foto bicara sendiri menyampaikan pesannya.

Responsnya agak mengejutkan.

Sontak banyak teman, kolega dan kenalan yang mampir di lapak akunku.

Memberikan jempol.


Tanda suka.

Tak sedikit jua yang menyampaikan komentar.

Hampir semua bernada positif.

Saya senang.

Foto itu memang menampilkan wajahku yang sedang tersenyum. Ceria. Riang.

Bukan foto baru sebenarnya.

Momen tersebut terukir delapan purnama lalu, di pojok Ubud, satu di antara episentrum pariwisata Bali yang
pesonanya selalu menarik rindu.

Hari itu sebanyak 174 orang mampir di lapak medsosku, hampir seperduanya memberikan komentar menyenangkan.

Bahkan datang dari sejumlah kolega yang sekian lama pelit berkata-kata.

Rupanya melihat senyumku mereka berani keluar dari kebiasaan sekadar melihat atau menyimak. Bahasa gaulnya kepo saja.

Umumnya menyebutku bahagia. Senang melihatku tampak sehat.

Juga mendoakan agar diriku selalu baik-baik saja di Bali, di tengah pandemi Covid-19 yang belum memperlihatkan gejala segera berlalu bersama angin.

Senyum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah gerak tawa ekspresif yang tidak bersuara untuk menunjukkan rasa senang, gembira, suka, dan sebagainya dengan mengembangkan bibir sedikit.

Banyak jenis senyum termasuk senyum kecut yang pasti bikin kesal.

Idealnya orang suka pada senyum manis yang menarik hati dan menimbulkan rasa gembira bagi yang melihatnya.

Demikian pula senyum simpul.

Tersenyum sedikit tapi auranya menunjukkan kesenangan, kesayangan dan kegembiraan hati.

Di tengah tsunami informasi pandemi Covid-19 yang menyerang saraf mata, otak dan hati berhari-hari, sesungging senyum ikut menumbuhkan harapan.

Berbagai studi menunjukkan, senyum akan membuat seseorang merasa lebih sehat.

Tersenyum mampu meningkatkan produksi endorpin yang dapat mengurangi stres dan memberi efek bahagia.

Mirip Covid-19

Watak senyum mirip Covid-19 yaitu mudah menular. Ketika orang lain melihat tuan tersenyum. mereka tersugesti ikut tersenyum.

Ketika puan tersenyum manis pada seseorang, maka dia akan membalasmu dengan senyuman pula.

Benar kata kaum bijak bestari, senyum merekah menyejukkan jiwa.

Hati yang gembira adalah obat.

Tersenyum akan membuatmu lebih panjang umur.

Dalam terminologi psikolog, senyum manis merupakan energi positif bagi diri sendiri dan orang lain.

Saya unggah foto tersenyum mengikuti seruan bijak agar memanfaatkan medsos untuk menebarkan hal-hal positif.

Kami yang memilih jalan hidup sebagai jurnalis pun sebenarnya jenuh merajut warta Corona yang menjadi menu pekerjaan rutin saban hari.

Sejak bulan Januari 2020, Harian Tribun Bali, tempatku mengabdi publik, tak henti-hentinya mewartakan berita ihwal Covid-19.

Dari berbagai sudut pandang.

Mau bilang apa. Isu sosial paling menggetarkan hari-hari ini adalah Corona.

Nah demi membuang kejemuan tersebut diperlukan mekanisme katarsis agar bisa lega melegokan rasa.

Maka mengunggah pose senyum, indahnya pemandangan alam, bunga-bunga yang sedang mekar, merupakan beberapa cara yang saya tempuh.

Sejak awal bermedsos medio 2000-an. saya memang berkomitmen menebarkan sesuatu yang berguna.

Berusaha jauh dari nyinyir melukai.

Beberapa hari terakhir ini membanjir foto apik di akun medsos instagram maupun Fb dengan tagline #terimatantangan dan #untiltomorrow.

Terima tantangan menampilkan foto lawas seseorang di luar ruangan, foto dengan kekasih atau pasangan hidup.

Pun foto berlatar vista bumi yang aduhai.

Until tomorrow mengajak pemilik akun mengunggah foto dari sisi kurangnya.

Kurang cantik, kurang ganteng, kurang menawan, kurang seksi dan sebagainya.

Bisa foto lawas hingga berbagai pose kocak.

Para pesohor sampai orang biasa tak ketinggalan mengikuti ajakan tersebut.

Sebut misalnya Ayu Ting Ting hingga Brisia Jodie ikut meramaikan tantangan until tomorrow.

Foto-foto yang mereka bagikan mendapat respons dari warganet. Jagat maya sontak riuh dengan isu non Covid 19 yang menyeramkan.

Ini merupakan gerakan yang baik. Semakin banyak orang terpapar energi positif, imunitasnya niscaya terjaga.

Tentu tanpa menafikan bahwa Corona berbahaya dan sangat mematikan.

Tidak sama sekali! Semua orang wajib mengikuti protokol kesehatan serta anjuran pemerintah demi kebaikan bersama.

Satu Gambar Seribu Kata

Manusia secara naluriah lebih doyan visual ketimbang teks.

Itulah sebabnya gambar, foto atau lukisan selalu menarik mata dibandingkan narasi polos.

Satu gambar seribu kata. Begitu adagium jurnalisme.

Kalau kini orang suka narsis di medsos, hal tersebut merupakan sesuatu yang manusiawi.

Sifat asli setiap insan.

Sejarah umat manusia mencatat dari waktu ke waktu ada saja foto, lukisan atau gambar yang menginspirasi.

Bahkan cuma selembar foto pun mampu menggegerkan dan mengubah dunia.

Khusus tentang pose senyum, tak ada yang lebih heboh kisahnya daripada senyum seorang Mona Lisa.

Mona Lisa merupakan lukisan klasik karya Leonardo da Vinci yang kini tersimpan di Museum Louvre
Paris, Prancis.

Leonardo da Vinci melukis Mona Lisa di atas kayu poplar pada abad ke-16.

Lukisan minyak ini dianggap paling terkenal di dunia karena selalu menjadi pusat perhatian, objek studi, mitologi sekaligus parodi.

Mona Lisa bukan nama asli wanita dalam lukisan tersebut.

Objek lukisan tersebut adalah Lisa Gherardini, istri bangsawan Italia bernama Francesco Del Giocondo.

Keunikan lukisan wanita setengah badan ini adalah tatapannya yang dideskripsikan sebagai enigmatik atau misterius.

Selama berabad-abad diskusi tentang senyum Mona Lisa pun tak habis-habisnya.

Bahkan ada pula yang terobsesi padanya.

Penguasa Prancis, Napoleon Bonaparte konon sangat menyukai lukisan tersebut.

Sebelum tergantung di dinding Museum Louvre, Napoleon pernah memiliki lukisan Mona Lisa.

Dia memajang di kamar tidur agar bisa dipandangi saban malam.

Sudah banyak ahli melakukan riset guna menguak misteri senyum Mona Lisa.

Ahli forensik Inggris, Dr Montague Merlic, misalnya, melakukan riset lama dari tahun 1997 hingga 2001 silam.

Merlic pada akhir risetnya menyimpulkan Mona Lisa tersenyum tipis lantaran tidak dapat menutup mulutnya secara pas.

Penyebabnya dia mungkin telah kehilangan gigi-giginya.

Ada pula yang menyebut senyum Mona Lisa bisa berubah-ubah.

Pakar neuroscientist t dari Universitas Harvard, Margaret Livingstone mengatakan senyum Mona Lisa terlihat berbeda tergantung dari sudut mana orang tersebut melihat. Semuanya hanya ilusi optik.

Lain lagi kajian dari sisi medis. Wanita bernama Lisa Gherardini yang menjadi objek lukisan Da Vinci tersebut ditengarai menderita penyakit hipotiroidisme sehingga tangannya bengkak, rambut menipis dan benjolan.

Hipotiroidisme merupakan kelainan pada kelenjar tiroid yang mengakibatkan kelenjar tersebut tidak dapat menghasilkan hormon dalam jumlah memadai.

Seperti dikutip dari intisari online, hipotiroidisme inilah yang memicu ekspresi senyum misterius Mona Lisa pada lukisan Leonardo da Vinci.

Direktur medis Pusat Jantung dan Vaskular di Brigham dan Women's Hospital di Boston, Dr Mandeep Mehra mengatakan, ketidaksempurnaan kondisi tubuh Lisa Gherardini karena penyakit itu justru memberikan daya tarik.

Lukisan tersebut menebarkan pesona misterius.

Pemeriksaan medis sebelumnya menyatakan, Lisa menderita kolesterol tinggi, penyakit jantung atau sifilis.

Namun profesor Mehra dan rekannya mengatakan hal itu tidak mungkin karena fakta Lisa hidup sampai usia 63 tahun.

Senyum Mona Lisa yang kurang mengembang mungkin karena cacat yang disebabkan kelemahan otot.

Berkurangnya volume rambut alis dan rambut lainnya serta seluruh kulit yang pucat semakin mendukung diagnosis ini.

Para ilmuwan dari Universitas Amsterdam Belanda dan Universitas Illinois AS pada tahun 2005 tidak mau ketinggalan menganalisis senyum Mona Lisa.

Mereka menggunakan bantuan software komputer untuk mengungkap rahasia emosi yang terkandung dalam lukisan yang telah berusia empat abad lebih tersebut.

Dalam publikasi hasil riset di majalah ilmu pengetahuan dan sains, New Scientist, mereka menyimpulkan bahwa senyuman Mona Lisa mengandung 83% rasa bahagia, 9% kekejian, 6% rasa takut dan hanya 2% rasa marah.

Artinya apapun analisa tentang misteri senyuman Mona Lisa, kekuatannya tetaplah menebar rasa bahagia.

Keutamaan senyum yang tak tergantikan.

Jadi, tuan dan puan pun jangan lupa tersenyum ya.

Senyumlah sekarang juga.

Tak mesti semanis senyum Mona Lisa!

(dion db putra)

Sumber: Tribun Bali

Kambing Pun Masuk Kota

Kambing Kashmir
MATAHARI pagi berselimut mendung tipis menudungi Denpasar kala kabar gembira membuka hari Senin pertama di bulan April 2020.

Seorang teman di sebuah kota di Jawa yang sempat masuk daftar PDP (Pasien Dalam Pengawasan) senang karena hasil uji swab lendir tenggorokannya negatif.

Dia kirim foto ceria via WA. Saya ucapkan selamat kepadanya. Corona tak selalu mengalirkan lara.

Seorang rekanku lagi memajang foto langit Kota Jakarta yang biru di akun medsosnya.

Udara Jakarta terlihat bersih dari polusi setelah kebijakan “tinggal di rumah saja” bergulir kira-kira dua pekan.

Begitulah sisi positif pandemi Coronavirus Disease 2019 alias Covid-19 yang pantas dan layak kita syukuri.


Jalanan lengang, kendaraan bermotor bisa dihitung dengan jari. Mobilitas manusia secuil.

Kota-kota pun hening dan senyap. Sunyi.

Coronavirus memaksa manusia sejenak mengurung diri di rumah.

Lebih banyak waktu berbagi kasih dengan keluarga. Konsumsi minyak dan gas berkurang. Industri jeda sesaat atau minimal membatasi aktivitasnya.

Langit biru pun menghiasi kota-kota dunia mulai dari Roma, Venesia, Seoul, Paris hingga Beijing. Dari London, California. Bangkok, Sao Paolo, Los Angeles, Teheran, Riyard, New York sampai Bangalore.

Gambar satelit dari Badan Antariksa Eropa (ESA) menunjukkan berkurangnya tingkat nitrogen dioksida, produk sampingan dari pembakaran bahan bakar fosil yang menyebabkan masalah pernapasan.

Pemandangan tersebut tampak di seluruh kota besar di benua Eropa, Amerika dan Asia ketika negara-negara terkunci atau lockdown dan membatasi perjalanan manusia demi mencegah penyebaran Covid-19.

Di China, negeri penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, emisi karbon dioksida turun seperempatnya pada medio Februari lalu dibanding beberapa pekan sebelumnya.

Ini menurut analisis yang diterbitkan dalam Carbon Brief.

Para ilmuwan mencatat penurunan serupa di polutan lain seperti nitrogen dioksida dan partikel di negara Tirai Bambu itu, yang telah bertahun-tahun berusaha membersihkan udara tersumbat asap tapi selalu gagal.

Penulis laporan Carbon Brief dan analis utama di Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih, Lauri Myllyvirta menulis dengan diksi yan indah dan tepat.

"Dalam hal pergeseran atau perubahan yang benar-benar terjadi dalam semalam, ini sangat dramatis," kata Lauri.

Penurunan drastis polusi dan emisi karbon merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi Bumi dan manusia yang hidup di dalamnya.

Semua maklum bahwa polusi udara berkontribusi terhadap jutaan kematian di seluruh dunia saban tahun, memperburuk penyakit kardiovaskular dan kesehatan pernapasan.

Udara lebih jernih niscaya memberikan pertolongan singkat bagi penderita Covid-19, setidaknya membuat mereka lebih mudah bernapas.

"Bertahun-tahun menghirup udara kotor dari asap lalu lintas dan sumber-sumber lain akan melemahkan kesehatan semua orang yang sekarang terlibat dalam pertarungan hidup atau mati," kata Sascha Marschang, sekretaris jenderal Aliansi Kesehatan Masyarakat Eropa dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari Time.

Peristiwa Langka

Langit biru di kota-kota besar dunia merupakan kejadian langka.

Sebab dalam situasi normal, sulit amat menemukan momen seperti itu.

Sangat berat membatasi pergerakan manusia, produksi industri dan lainnya demi menekan polusi.

Membaiknya kualitas udara dan lingkungan global kini merupakan dampak tak terduga dari pandemi Corona.

Virus yang pertama kali muncul di Kota Wuhan China memang telah mendorong roda ekonomi global melemah.

Namun, kita tetap petik sisi baiknya yaitu memberi kesempatan Bumi bernapas karena jauh dari kesesakan polutan, kata kolega saya Manajer Produksi Harian Tribun Bali, Komang Agus Ruspawan.

Sudah terlalu lama emisi gas beracun mencekik paru-paru manusia.

Warga Bumi menjadi sangat rentan dan lemah. Kini tatkala virus cilik Corona menyerang, air mata duka pun mengalir deras.

Kematian terjadi demi demi detik.

Sampai 6 April 2020, mengutip data real time yang dikumpulkan John Hopkins University, angka kematian mencapai 69.309 orang, sebanyak 259.810 pasien telah sembuh dan yang terjangkit 1,27 juta orang.

Jumlah yang mati dan terjangkit masih mungkin bertambah secara eksponensial.

Entah sampai kapan baru berakhir, tak ada yang tahu.

Maka pandemi Covid-19 sebenarnya telah memberi pelajaran berharga kepada manusia.

Berharap setelah badai ini berlalu, ada aksi global yang konkret untuk mengurangi polusi.

Sebut misalnya lockdown kota atau bahkan seluruh wilayah negara tiga bulan sekali - selama beberapa hari atau sepekan agar udara bisa menjadi lebih bersih.

Bahkan bila perlu berlakukan semacam Nyepi di Bali setiap enam bulan sekali.

Dengan cara tersebut niscaya ada waktu bagi Bumi untuk bernapas.

Manusia yang lebih lama berkeliaran di luar, kembali masuk rumah berkumpul dengan keluarga dan melakukan refleksi. Introspeksi. Hening.

Kendaraan bermotor masuk garasi.

Pabrik-pabrik berhenti sesaat menebarkan racun ke udara yang menjadi sumber segala penyakit dan malapetaka.

Kambing Masuk Kota

Di tengah heningnya kota-kota dunia, kabar menggelitik datang dari Wales, Irlandia.

Tepatnya Llandudno, kota tepi laut eksotik di semenanjung Creuddyn.

Kawanan kambing memasuki kota, berlarian di jalanan di saat lebih dari 21 ribu warga Llandudno berdiam diri di rumah demi mencegah meluasnya pandemi Covid-19.

Dinukil dari Aljazeera, kawanan kambing Kashmir yang biasanya berkeliaran bebas di tanjung terdekat, kini masuk Kota Llandudno.

Kawanan tersebut menghabiskan pagar tanaman dan bunga-bunga.

Dengan jalan-jalan di Llandudno yang tenang tanpa manusia dan kendaraan, kambing Kashmir beraksi tanpa gangguan.

Anggota Dewan Kota Llandudno, Carol Marubbi mengatakan kambing biasanya tidak datang ke kota kecuali saat cuaca sangat buruk.

"Saya pikir mereka mungkin merasa agak kesepian sehingga turun untuk melihat-lihat," katanya kepada Reuters.

Kambing Kashmir telah hidup di Tanjung Great Orme dekat Llandudno sejak zaman Ratu Victoria.

Wol bulunya yang lembut sangat bagus untuk syal.

Marubbi mengatakan, kambing merupakan daya tarik kota wisata tersebut.

Sebagian besar penduduk tidak keberatan pagar tanaman mereka digigit kambing-kambing itu.

Dengan jutaan orang terjebak di rumah, kehadiran kambing-kambing ini sedikit menghibur, meringankan kebosanan.

Foto dan video kambing yang berkeliling di jalan-jalan Llandudno telah menjadi viral di media sosial pekan lalu dengan tagar #goats dan #Llandudno.

"Sepertinya mereka yang memegang kendali (kota)," tulis pengguna Twitter, Sue Foster, mantan guru sekolah dasar di Wales.

Ada-ada saja.

Corona luar biasa. Hewan-hewan berkeliaran bebas, bahkan kini masuk kota.

Tak perlu physical distancing, tak butuh masker dan hand sanitizer.

Keterlaluan bila manusia tidak mau belajar sesuatu darinya. Bagaimana menurut tuan dan puan?

(dion db putra)

Sumber: Tribun Bali

Citius, Altius dan Fortius

ilustrasi
API Olimpiade dari tempat suci Olimpia Yunani terbang melintasi samudera menuju Jepang. Di Miyagi, Fukushima dan kota lainnya, masyarakat menyambut hangat api yang memompakan energi olahraga klasik Citius, Altius, Fortius. Lebih cepat, lebih tinggi dan lebih kuat tersebut.

Di tengah pandemi Covid-19, warga Jepang tetap antusias menyambut pertunjukkan api Olimpiade yang berlangsung di barat laut negeri Sakura itu sepanjang akhir pekan lalu.

Lebih dari 50.000 orang menyaksikan api Olimpiade yang ditampilkan di Stasiun Sendai, Miyagi, Sabtu 21 Maret 2020.

Panitia penyambutan memilih Stasiun Sendai demi memamerkan spirit kebangkitan kawasan tersebut setelah diremukredamkan gempa, tsunami dan krisis nuklir tahun 2011.


Sebagaimana umumnya orang Yunani, bangsa Jepang pun percaya bahwa api Olimpiade dipandang suci karena ia berasal dari sumber energi paling murni yakni matahari.


Media setempat melaporkan, sejumlah orang harus berada dalam antrean sepanjang 500 meter selama beberapa jam.

"Saya mengantre selama tiga jam, tetapi menyaksikan api Olimpiade sangat membesarkan hati," ujar seorang perempuan berusia 70 tahun kepada NHK.

Wanita ini mengaku sudah tak sabar menanti maraknya Olimpiade, pesta olahraga multievent terakbar sejagat yang akan berlangsung di Tokyo, 24 Juli hingga 9 Agustus 2020.

"Olimpiade adalah tujuan kami. Kami akan berusaha maksimal untuk menyelenggarakan Olimpiade seusai jadwal sehingga Komite Olimpiade Internasional bisa yakin kami mampu menyelenggarakan pertandingan," kata Menteri Olimpiade Jepang Seiko Hashimoto.

Tapi antusiasme warga Jepang dan optimisme Hashimoto berumur pendek. Hanya empat hari setelah sambutan hangat di Sendai, Olimpiade Tokyo benar-benar ditunda sampai sekurang-kurangnya hingga 12 purnama kemudian.

Jepang mesti berbesar hati meskipun telah bekerja keras mempersiapkan diri selama 7 tahun yang menghabiskan dana tidak sedikit.

Komite Olimpiade Internasional (IOC) terpaksa menunda penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020 akibat ganasnya pandemi Coronavirus alias Covid-19.

IOC mengumumkan penundaan melalui situsnya pada hari Selasa 24 Maret 2020. Sebelum mengambil keputusan sulit tersebut, Presiden IOC Thomas Bach telekonferensi dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe.

"Presiden IOC dan Perdana Menteri Jepang telah menyimpulkan bahwa pertandingan Olimpiade XXXII di Tokyo harus dijadwal ulang setelah tahun 2020," demikian pernyataan IOC seperti diberitakan Tribun Bali.

"Akan tetapi, (penundaan) tidak lebih dari musim panas 2021 untuk menjaga kesehatan para atlet, semua orang yang terlibat dalam pertandingan Olimpiade dan komunitas internasional," kata IOC.

Perdana Menteri Shinzo Abe setujui penundaan ini. "Kami meminta Presiden Bach mempertimbangkan penundaan sekitar satu tahun untuk memungkinkan para atlet bermain dalam kondisi terbaik, dan menjadikan acara itu aman dan aman bagi para penonton," kata Abe seperti dilansir Reuters.

"Presiden Bach mengatakan dia setuju 100 persen," tutur Abe yang sebelumnya bersikukuh Olimpiade bergulir sesuai jadwal. Apalagi Tokyo telah mempersiapkan seluruh sarana dan prasarana untuk Olimpiade tahun ini.

Menurut Gubernur Tokyo, Yuriko Koike, Olimpiade Tokyo tahun depan akan tetap diberi nama Olimpiade Tokyo 2020.

Dengan tertundanya olimpiade maka lengkap sudah lockdown olahraga sepanjang tahun ini gara-gara pandemi Covid-19.

Sebelumnya dua event besar olahraga yaitu kejuaraan sepakbola Piala Eropa (Euro) 2020 dan kejuaraan sepakbola antar negara Amerika Selatan, Copa America 2020 pun ditunda ke tahun depan.

Di cabang olahraga bulu tangkis, Federasi Badminton Internasional (BWF) menunda pelaksanaan kejuaraan beregu Thomas dan Uber Cup.
Piala Thomas dan Uber rencananya digelar pada 16-24 Mei 2020 di Aarhaus, Denmark.

Namun, setelah berkonsultasi dengan Denmark, BWF menunda hingga 15-23 Agustus 2020. Dengan catatan kaki bila pandemi Corona berakhir lekas sehingga para atlet boleh mempersiapkan diri secara baik.

Penundaan olimpiade, pesta olahraga multievent yang melibatkan semua negara di dunia merupakan pilihan rasional mengingat Corona telah mewabah seantero jagat. Hampir tak satupun negara yang luput.

Semua menderita. Kepiluan ini bahkan belum memperlihatkan tanda-tanda akan berujung dalam waktu dekat.

Melaksanakan olimpiade dalam kondisi atlet yang letih fisik dan psikis justru menjauh dari spirit Citius, Altius dan Fortius.

Pertama dalam Sejarah

Olimpiade 2020 Tokyo menjadi Olimpiade pertama dalam sejarah yang itunda. Sejak pertama kali berlangsung di Athena Yunani tahun 1896, Olimpiade pernah tiga kali batal. Namun, baru tahun ini diundurkan pelaksanaannya.

Olimpiade pertama batal terjadi pada tahun 1916. Olimpiade keenam yang sedianya berlangsung di Berlin Jerman, batal karena Perang Dunia Pertama berkecamuk sejak bulan Juli 1914 hingga November 1918.

Kala itu seluruh Eropa dan sepertiga dunia terlibat dalam perang. Pembatalan Olimpiade terulang 24 tahun kemudian. Perang Dunia Kedua tahun 1939 hingga 1945 membatalkan Olimpiade Tokyo 1940. Olimpiade 1944 yang dijadwalkan di London, Inggris juga batal gara-gara Perang Dunia Kedua.

Setelah perang berlalu, Kota London akhirnya menjadi tuan rumah Olimpiade 1948, Helsinki Olimpiade 1952 dan Tokyo menggelar Olimpiade tahun 1964.

Olimpiade pernah mengalami aksi boikot pada tahun 1976 di Montreal, Kanada, tahun 1980 (Moskow, Rusia) dan tahun 1984 (Los Angeles, Amerika Serikat). Namun, Olimpiade pada ketiga edisi tersebut tetap berjalan sesuai jadwal. Aksi boikot antara lain karena faktor politik dan ekonomi tak membatalkannya.

Tokyo merupakan kota Asia pertama yang dua kali terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade musim panas setelah 1964.

Dalam perjuangan menjadi tuan rumah Olimpiade 2020, Tokyo mengalahkan Istanbul, Turki dan Madrid, Spanyol dalam final bidding di Buenos Aires, Argentina bulan September 2013.

Dalam nada kecewa Menteri Keuangan Jepang, Taro Aso sempat melukiskan penundaan Olimpiade Tokyo 2020 sebagai siklus kutukan 40 tahun sekali. Dia merujuk pada pembatalan Olimpiade Tokyo 1940 dan boikot Olimpiade Moskow 1980.

"Ini masalah yang terjadi setiap 40 tahun, ini kutukan Olimpiade, itu faktanya," kata Taro Aso. Tapi Taro Aso mengakui penyebaran Covid-19 yang begitu cepat membuat Jepang bahkan dunia kerepotan.

Jika badai Corona ini berlalu, maka 2021 akan menjadi tahun akbar olahraga. Untuk pertama kali event besar dunia bergulir pada tahun yang sama. Piala Eropa, Copa America dan Olimpiade. Belum lagi ditambah kejuaraan sepakbola Piala Dunia U-20 di Indonesia.

Sebarkan Energi Positif

Moto Olimpiade Citius, Altius, Fortius sejatinya menebarkan energi positif sebagai tujuan utama olahraga yaitu lebih cepat, lebih tinggi dan lebih kuat. Di palagan melawan Covid-19 sekarang kita membutuhkan spirit tersebut.

Lebih cepat bertindak, lebih tinggi berjuang dan lebih kuat berusaha memeranginya. Saatnya eksekusi mulai dari hal-hal kecil yang bisa kita kerjakan bukan berdiskusi terlalu panjang lebar.

Sebab problem yang menyertai pandemi Covid-19 tidak semata soal klinis. Tapi juga psikis. Justru tekanan psikis jauh lebih pelik. Psikosomatis, kata mereka yang ahli.

Saya kutip penjelasan dr. Andang dan dr. Rouf dari KSM Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakarta (https://sardjito.co.id/2019/10/30/mengenal-psikosomatis/).

Psikosomatis merupakan hubungan antara pemikiran atau psikis yang bisa mempengaruhi kondisi tubuh atau sebaliknya. Masyarakat umumnya memahami paradigma sakit berasal dari penyebab yang sifatnya biologis
seperti bakteri, kuman, trauma, faktor imunitas dan lainnya.

Psikosomatis memperkenalkan kepada masyarakat bahwa faktor psikologi bisa berpengaruh kepada somatis atau lazim disebut penyakit organis. Yang kerap terjadi adalah depresi dan kecemasan.

Siapa yang tidak cemas menghadapi pandemi Corona sekarang? Sekuat-kuatnya mental seseorang toh akan drop juga kalau detik demi detik terus dijejaji informasi tentang ganasnya Covid-19. Virus yang telah membunuh belasan ribu orang di seluruh dunia. Belum ada obatnya pula.

Mengingat daya rusaknya yang luar biasa, alam bawah sadar kita akan menerima dan menyimpan semua informasi atau berita mengenai Covid-19. Bahkan ada yang sampai terbawa ke dalam mimpi.

Sudah terlalu lama kita sebarkan informasi seram Corona sehingga energi negatifnya menguasai otak dan hati kita.

Itulah sebabnya sangat dianjurkan untuk mulai mengurangi konsumsi informasi mengenai virus tersebut. Jaga jarak aman tidak hanya tubuhmu berdiam di rumah atau menghindari kerumuman (keramaian).
Jaga jarak pula dengan banjir bandang informasi Corona yang dahsyatnya luar biasa hari-hari ini.

Malah ada cara saran lebih ekstrem. Berhenti total membaca, memburu atau meneruskan informasi Covid-19. Dengan kata lain lockdown semua informasi Corona.

Mengisolasi diri total dari informasi tersebut. Misalnya selama 14 hari seperti kebijakan jaga jarak aman yang ditempuh pemerintah.

Bukankah tidak terlalu penting mengetahui sudah berapa banyak yang terjangkit Corona dan korban meninggal dunia lalu lekas menyebarkan via medsos.

Apa manfaatnya bagi tuan dan puan? Semakin banyak dan kerap menyebarkannya justru menambah kecemasan.

Mungkin jauh lebih baik baca buku, novel, nonton film atau video lucu, karaoke, olahraga, meditasi, senam yoga, berdoa atau apa saja kegiatan positif yang membuat pikiran dan perasaan lebih enteng, tenang dan tentram.

Stop sudah menyebar informasi terkait virus Covid-19 di lapak medsos dan grup percakapan seperti WA (WhatsApp) atau Telegram yang malah mempertebal energi negatif seperti panik, cemas, kehilangan harapan, tak berdaya dan lainnya.

Sekarang waktunya melawan virus Corona dengan cara berpikir positif, merasakan emosi positif, mengirimkan vibrasi positif buat diri sendiri dan orang-orang sekitar kita. Perbanyak warta meneduhkan dan menenangkan.

Sudah banyak bukti jika tuan selalu mengucapkan kata-kata baik dan meneguhkan maka hanya yang hal baiklah yang terjadi. Kata adalah doa. Toh sampai detik ini dirimu baik-baik saja bukan? Bersyukurlah. (dion db putra)

Sumber: Tribun Bali

Pilih Mana, Kepala Batu atau Tikam Kepala?

ilustrasi
KEPALA menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bagian tubuh yang di atas leher pada manusia dan beberapa jenis hewan merupakan tempat otak, pusat jaringan saraf, dan beberapa pusat indra.

Dalam keriuhan pandemi Virus Corona alias Covid-19 sekarang, sekurang-kurangnya mengemuka dua tipe manusia yaitu kepala batu dan tikam kepala.

Yang pertama semua paham maksudnya. Kalau belum ya sebaiknya buka kamus KBBI sekarang.

Nah, yang kedua perlu saya jelaskan agar tak salah paham atau salah sangka.

“Tikam kepala” bukan bermakna menikam kepala dengan suatu benda tajam semisal pisau, gunting, bayonet, tombak atau lainnya.

Tikam kepala itu majas populer di bumi Nusa Tenggara Timur (NTT), termasuk Flores, kampung halaman saya yang eksotik alamnya.

Orang-orang di sana umumnya mengerti pesan di baliknya.

Tapi biar lebih bening benderang lagi saya kutip penjelasan guru dan mentorku, dosen senior program studi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr. Marsel Robot.

Menurut Marsel Robot, frasa "tikam kepala" tergolong majas hiperbola.

Yakni melebih-lebihkan sesuatu atau menggambarkan sesuatu secara berlebihan dengan menggunakan kata-kata dramatis.

Contoh, Ibu adalah malaikat tak bersayap.

Menjelang hari raya Nyepi, harga barang pokok di Bali meroket.

Tikam kepala juga dipadankan "bekerja sangat keras" hingga kepala ke bawah, kaki ke atas.

Padanan lain, jungkir balik, berusaha sekuat tenaga agar berhasil. Contoh kalimat.

“Sejak suami meninggal, ibu Anita bekerja tikam kepala untuk membiayai tiga orang anaknya.”

Jadi tikam kepala di sini bercerita ihwal kerja keras.

Kerja sungguh-sungguh.

Dengan sepenuh hati.

Siapa yang bekerja tikam kepala di tengah pandemi Covid-19?

Banyak yang bisa disebut.

Namun, tempat pertama tentu para dokter, perawat, tim medis.

Singkatnya tenaga kesehatan.

Ketika banyak orang diminta menjaga jarak, tinggal di rumah saja dan menjauhi kerumuman, tenaga kesehatan justru sebaliknya.

Mereka berada di lini terdepan melawan Corona.

Merawat sesama sejak dia sakit bahkan hingga memakamkannya.

Para dokter dan perawat kerja tikam kepala.

Rela mempertaruhkan nyawa sendiri.

Mereka tak mundur meskipun sudah ada dokter dan perawat yang menjadi korban pagebluk yang belum ada obatnya tersebut.

Dua hari lalu, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia merilis enam orang dokter meninggal dunia akibat Virus Corona.

Keenam dokter yaitu Dokter Hadio Ali dari Jakarta Selatan, Djoko Judodjoko (Bogor), Laurentius (Jakarta Timur), Adi Mirsaputra (Bekasi), Ucok Martin (Medan) dan Toni Daniel Silitonga (Bandung).

Tidak hanya di Indonesia.

Dokter dan perawat pun gugur di berbagai belahan dunia dalam usaha mereka menyelamatkan penderita Covid-19.

Nasib tenaga medis yang masih hidup pun mengalirkan lara.

Mereka meninggalkan keluarga, suami, istri dan anak-anak di rumah.

Mesti bekerja di rumah sakit atau klinik.

Tidak selalu boleh pulang ke rumah sebagaimana lazimnya karena berpotensi terpapar virus sehingga dapat menularkan kepada orang-orang terdekat.

Di Indonesia, tenaga kesehatan bekerja dalam kondisi Alat Pelindung Diri (APD) minim.

Di Bali baru kemarin datang APD sebanyak 4.000 unit dari kebutuhan ideal sekitar 20.000.

Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat (NTB) baru kebagian 500 unit.

Mengingat kondisi wilayah NTT yang demikian luas dan berpulau-pulau sudah terbayang betapa secuilnya 500 APD itu.

Bekerja merawat pasien Corona tanpa APD merupakan tindakan bunuh diri.

Namun, kita tetap bersyukur karena barang penting ini sudah ada daripada tidak sama sekali.

Sudah banyak cerita betapa kejamnya korban Covid-19.

Jika tuan dan puan sakit jangan menanti kunjungan keluarga atau kekasih hati.

Dilarang keras atau mereka ikut terpapar hingga akhirnya terjangkit juga.

Mereka yang meninggal dengan status positif covid-19 tak boleh dikuburkan oleh sanak famili.

Di Italia, misalnya, pemakaman massal diambil alih militer.

Kisah di negeri China, Denmark. Inggris, Iran, Amerika Serikat dan lainnya setali tiga uang.

Perkembangan terakhir Corona hingga 24 Maret 2020 pukul 12.00 WIB masih bermuram durja.

Di Indonesia jumlah  kasus 686, sebanyak 55 orang meninggal, 30 sembuh.

Ketambahan 107 pasien baru dan 6 orang meninggal dari sehari sebelumnya. Untuk level dunia hingga 23 Maret, sebanyak 378.287 orang terinfeksi, 100.958 sembuh dan 16.497 meninggal dunia.

Tren kasus masih terus meningkat.

Artinya kebijakan memutus mata rantai penyebaran virus merupakan langkah terbaik.

Kita di Indonesia tidak memilih lockdown (mengunci sebagian wilayah atau seluruh negara) seperti Italia, Denmark, Filipina, Malaysia, Amerika Serikat dan negara lainnya. Kita ambil opsi social distancing atau gampangnya menjaga jarak.

Kalau demikian patuhilah komando pemerintah yang hari-hari ini tikam kepala mencari segala cara melawan Corona.

Ibarat perang melawan Corona, pemerintah adalah panglimanya.

Etika yang berlaku di palagan perang, patuhi perintah panglimamu.

Tuan jangan kepala batu.

Kepala batu itu beda tipis dengan kepala angin.

Malu kan disebut kepala angin?

Puan jangan kepala batu.

Berdiam dirilah di rumah selama dua pekan ke depan sambil tetap mengusung pola hidup sehat dan tak lupa berdoa.

Bunuh nafsumu jalan-jalan untuk kepentingan tak mendesak.

Jaga jarak.

Jangan bergerombol mengumbar gosip.

Cerita keburukan orang lain.

Main kartu atau catur berjam-jam sampai muka pucat pasi atau begadang berjudi.

Kalah judi itu stress, bung.

Stres bikin fisikmu loyo, imunitas badan terbang jauh, memudahkan si corona masuk tubuh.

Keok!

Di Bali, pemerintah provinsi dan kabupaten kota meminta seluruh masyarakat tetap berada di rumah hari Kamis, 26 Maret 2020 atau sehari setelah Nyepi.

Tidak boleh jalan-jalan.

Kebijakan ini menegaskan social distancing yang telah bergulir sejak pekan silam.

Semoga tak ada yang keras kepala melawan.

Lihat kisah kehancuran Italia.

Awalnya Corona hanya bersiul kecil di utara negeri Pizza.

Saat pemerintah mengunci wilayah tersebut, warganya berbondong-bondong ke tengah dan selatan.

Bahkan ketika Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte umumkan lockdown seluruh negara pada 9 Maret, kebanyakan warga tetap keras kepala.

Kepala batu.

Masih berkunjung ke bar, mal, bioskop, restoran.

Jalan-jalan.

Bebas merdeka.

Pandang gampang Corona.

Mereka tidak sadar menyebarluaskan virus yang semula hanya secuil di utara negeri Valentino Rossi.

Dokter dan tim medis dari China yang ikut membantu di Kota Milan geleng-geleng kepala menyaksikan perilaku
demikian.

Anda tahu kan akibatnya?

Italia sekarang tunggang-langgang.

Air mata deras mengalir.

Kematian terbanyak di dunia.

Menembus angka 6.077 orang hingga 23 Maret 2020.

Pernah dalam sehari jumlah yang meninggal hampir 700 orang.

Betapa repotnya tentara mengurus jenazah sebanyak itu.

Amerika Serikat (AS) yang sempat jumawa dan kepala batu kena juga dampaknya.

Kemarin, pejabat berwenang di bidang kesehatan AS melaporkan, lebih dari 100 kematian berhubungan dengan Virus Corona dalam sehari.

Ini pertama kalinya sejak wabah melanda negeri Paman Sam.

Jumlah ini menambah total kematian di seluruh wilayah AS menjadi 533 orang.

Kematian terbanyak di New York, yaitu 158 kasus.

Wakil Presiden Mike Pence dalam konferensi pers di Gedung Putih, Senin (23/3/2020), menyebut 313.000 tes corona telah dilakukan dan lebih dari 41.000 orang positif.

Pada hari Selasa (24/3/2020), total jumlah kasus di AS mencapai 43.214, dengan 552 kematian dan 0 pasien yang sembuh.

Angka kasus berpeluang bertambah kendati dua negara bagian, New York dan California sudah memilih lockdown.

Jelas pesannya, kepala batu tak ada faedah sama sekali.

Terbaik adalah tikam kepala dalam rupa dan cara yang dapat kita kerjakan.

Terakhir namun penting, kepala dingin.

Sabar dan tidak panik atau membuat orang lain panik.

Dalam situasi mencekam saat ini kendalikan betul jari-jarimu.

Kurangi sebar berita atau informasi yang berpotensi melemahkan semangat juang.

Mari kita lipatgandakan praktik cerdas, usaha terbaik, maupun aksi bersama untuk bertahan hidup.

Banyak nian wujud solidaritas sosial yang kini tumbuh di tengah arus pandemi Coronavirus yang pertama mengamuk di Wuhan China.

Jika mau kritik, carilah saluran dan cara elegan.

Jangan menghujat, nyinyir melulu, lihat sisi buruknya semata.

Kekurangan negara dan aparat itu pastilah.

Perbanyak kisah menggembirakan yang menumbuhkan harapan.

Ingat nasib orang-orang di sektor informal, yang hanya bisa makan kalau bekerja harian.

Mereka paling terpukul ketika pemerintah mewajibkan jaga jarak.

Berempatilah pada mereka.

Simak warta media massa terpercaya yang saban hari mengabarkan praktik cerdas melawan Corona.

Jangan lirik medsos 24 jam nonstop dan telan bulat banjir bandang informasi tanpa tapis dan validasi.

Tugas kemanusiaan kita hari ini adalah menghentikan mata rantai penyebaran agar Covid-19 segera berlalu dari kehidupan.

Siapa pun pasti merindukan rangkulan, dekapan, bercengkerama tak berjarak.

Tanpa hand sanitizer atau masker berlapis.

Pilihan bebas sekarang ada di tangan tuan dan puan.

Mau yang mana, kepala batu, tikam kepala atau sekurang-kurangnya kepala dingin saja?

(dion db putra)

Sumber: Tribun Bali
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes