Tuhan Lengah

DUA hari menjelang HUT ke-24 Propinsi Nusa Tenggara Timur, Bung Kanis menghangatkan sidang paripurna DPRD NTT di Kupang dengan kisah fantasi tentang untaian kepulauan di ini propinsi.

Berkisahlah Si Bung dengan gaya oratornya yang khas sebagai berikut. Pada hari terakhir di saat Tuhan hendak beristirahat dari pekerjaan mencipta ini dunia, Jawa telah subur luas mendatar. Sumatra dengan lebam rimba rayanya biru-biru hitam terkapar. Kalimantan berat terhampar tersegi-segi membola.

Sulawesi nakal-nakal lincah menari-nari mengempat jari, dan ke sebelahnya Dia serak lempar Kepulauan Maluku, kilat berkilau- kilau hidup kilau sawah habis terluku. Papua? Sengaja Tuhan ciptakan mengepala burung, kepala burung Kasuari.

Tuhan puas. Puas memandang butiran intan permata yang sengaja Ia kalung khatulistiwa. Terciptalah sudah lilitan permata, terciptalah sudah jamrud khatulistiwa, terciptalah sudah Republik Indonesia.

Dan, Tuhan hendak beristirahat. Tapi eeii ... ada tanah melekat di tangan, masih gumpalan kecil-kecil tanah liat melingkup jari jemari. Sejenak Tuhan lengah dan Dia mengebaskan tangan. Gaib ajaib kebasan Alwasia. Tanah yang melayang terkebas, membentuk rentetan pulau-pulau kecil baru di tengah lautan.

Tuhan kaget. Tampak hijau timbul tenggelam pulau yang enam. Semua kecil, terlalu tidak berarti tidak berdaya di tengah pulau- pulau jantan besar.

Tuhan bimbang. Mau diapakankah pulau-pulau kecil itu, memanjang tidak berdaya digelung buas ombak samudera terselatan? Terciptakan tidak tertakdirkan kembang enam seuntai, sama membentuk gugusan Nusa Tenggara.

Tuhan tafakur. Ai tidak! Tuhan tidak hendak menganaktirikan kembang seuntai, meski cuma ciptaan kebetulan, hasil lengah kebasan tangan hendak istirahat.

Dengan senyum kasih Tuhan merelakan masing-masingnya keistimewaan. Bali lemah gemulai tari dewangga raya; Lombok hamparan subur tanah ladang tanah sawah; Sumbawa madu berlepotan di dedahanan rimba belantara; Sumba dengus ringkik kuda lumba; Timor hewan limpah di tandusnya sabana dan Flores pesona panorama.

Mencegah tercipta kebetulan baru, jauh di atas gunung-gunung Flores, tertegun Tuhan mencuci tangan. Eii lihat! Air kotor cuci tangan, menitik jari-jemari Ilahi, membuat pesona baru: Tiga buah danau, Kelimutu unikum dunia. Danau berwarna tiga; yang satu merah darah, satu lagi hijau girang pupus pisang, di sampingnya putih-putih kabur kulit telur asin. Kain penggosok tangan Ia lempartebarkan ke permukaan, mengepul menguaplah harum firdaus, hutan cendana harum mewangi di Timor.

Cerita fantasi tentang Nusa Tenggara Timur itu dituturkan Kanis Pari sebelum menyatakan sikap fraksinya, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menerima Nota Keuangan dan Rancangan Perubahan APBD I NTT tahun anggaran 1982/1983 untuk ditetapkan dalam Perda pada sidang paripurna DPRD NTT tanggal 18 Desember 1982 (Kanis Pari, Jangan Takut Berpolitik, 2004: 265).

Setiap kali merayakan hari jadi ini propinsi, beta suka membaca kembali cerita fantasi Bung Kanis Pari. Kisah fantasi yang menggelitik sekaligus memberi ruang sejenak untuk introspeksi. Benarkah Tuhan menciptakan gugusan pulau-pulau kecil di kawasan Nusa Tenggara ini tanpa rencana? Hasil lengah kebasan tangan Ilahi saat hendak istirahat? Ah, si Bung ada-ada saja. Tuhan tentu punya rencana sendiri dengan menghadirkan gugusan pulau yang indah di kawasan selatan NKRI. Kepulauan ini menyimpan keistimewaan yang tidak dipunyai pulau yang lain, baik dari sisi manusia, alam maupun budayanya.

Bukankah Bali cukup sering lebih populer di mata dunia internasional ketimbang nama Indonesia? Bukankah Lombok kini disebut sebagai Bali plus karena keistimewaan mereka merawat dan memanfaatkan karunia Tuhan lewat pembangunan total di bidang pariwisata?

Dua hari menjelang HUT ke-52 Propinsi NTT, pemerintah propinsi meluncurkan Visit Flobamora di Aula El Tari-Kupang dengan target kunjungan 1 juta wisatawan pada tahun 2013.

Tekad yang luar biasa. Kita salut dan hormat. Sudah semestinya NTT lebih percaya diri karena dibandingkan dengan Bali, Lombok atau Sumbawa, gugusan 566 pulau di kawasan ini jauh lebih kaya. Kaya tak terkira.

Masalah Flobamora sejak dulu hanya satu, kita kurang fokus dan total mengurus satu soal agar dunia mengenal NTT sebagai apa. Kita mau mengurus banyak hal sehingga serba tanggung lalu tercecer di mana-mana.

Tentang pembangunan pariwisata, beta ingin mengutip pesan inspiratif dari P. Robert Ramone, CSsR, salah seorang pemenang NTT Academia Award 2010. Menurut pastor dari kongregasi Redemptoris yang berkarya di Pulau Sumba tersebut, kuranglah tepat diksi menjual obyek wisata karena karya tangan Tuhan yang indah itu sesungguhnya sudah menjual dirinya sendiri. Tugas pemerintah (negara) adalah membuka akses agar setiap orang dapat bepergian ke obyek- obyek wisata tersebut dengan mudah.

Nah, bagaimana kenyataan hari ini di beranda Flobamora? Tuan dan puan sudah tahu sehingga beta tak perlu beri tahu. Dirgahayu Nusa Tenggara Timur. NTT Bisa (lebih baik). Kalau mau! (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang, Senin 20 Desember 2010 halaman 1

Penjaga Kampung Adat Waikabubak

Dani Ladu
Oleh Kornelis Kewa Ama

KOMPAS.com - Setiap tamu yang melintas dengan kendaraan atau berjalan kaki di Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, biasanya langsung tergoda untuk melihat dari dekat sekelompok bangunan tua tradisional yang terletak di bukit Tarung dan Waitabar.

Bukit yang juga perkampungan adat Tarung dan Waitabar itu sengaja dipertahankan oleh Dani Ladu Ringgulangu sejak tahun 1970-an. Selama empat periode masa pemerintahan bupati Sumba Barat, kampung adat Tarung dan Waitabar itu hendak digusur untuk diganti dengan pertokoan dan perhotelan.
Ketika ditemui di kampung adat Waitabar, awal November, Ringgulangu, Ketua Paguyuban Penganut Kepercayaan Sumba Barat ini mengatakan, dia tidak paham dengan cara berpikir pemerintah daerah setempat. Kampung adat yang jelas-jelas sering dikunjungi para turis asing itu malahan tidak pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah.

”Pemerintah Kabupaten Sumba Barat berulang kali ingin menggusur kampung ini karena letaknya di tengah Kota Waikabubak. Sesuai rencana (Pemerintah Kabupaten Sumba Barat), kawasan ini akan dimanfaatkan untuk perhotelan karena pemandangannya cukup menarik. Dari ketinggian ini, hampir seluruh wilayah Waikabubak dapat terlihat,” kata Ringgulangu.


Kampung adat itu, menurut Ringgulangu, ditempati Marapu, leluhur orang Sumba menurut ajaran agama asli Sumba. Pada kayu, batu, bukit, kuburan, dan rumah-rumah adat yang ditempati warga, para leluhur Sumba tetap tinggal.

Kukuh mempertahankan adat
Melengkapi prinsipnya untuk tetap mempertahankan kampung adat tradisional yang sering disebut kampung pariwisata itu, Ringgulangu pun bersumpah tidak akan bersedia dibaptis atau menjadi Kristen sampai mati.

Dia ingin tetap menjadi penganut kepercayaan asli Marapu, yang menghormati leluhur dan roh-roh halus sebagai perantara kepada Sang Pencipta.
Tetapi, Ringgulangu mengizinkan enam dari tujuh anaknya untuk dibaptis dan menganut agama Kristen agar bisa mengikuti pendidikan. Putra bungsunya, Lango Reda Mata (9), tidak dibaptis dengan tujuan agar bisa melanjutkan adat tradisi.

Oleh karena itulah setiap ada upacara adat Marapu, Lango Reda Mata selalu dilibatkan. Bahkan, pada kesempatan tertentu, dia sudah diberi kepercayaan untuk memimpin ritual adat Marapu.

”Di Sumba Barat mayoritas orang beragama Kristen, kecuali Sumba Barat Daya yang beragama Katolik. Di sini, sekolah-sekolah bisa dikatakan mewajibkan anak-anak memiliki surat baptis. Di sekolah negeri pun, yang mengajar guru-guru dari kalangan Kristen,” kata Ringgulangu.

Kampung adat di tengah Waikabubak itu memiliki nilai tersendiri. Di rumah warga, termasuk rumah Ringgulangu, terdapat puluhan rahang babi dan tanduk kerbau. Setiap kali dilaksanakan adat pemulihan kampung, selalu dikorbankan ternak peliharaan kepada Marapu. Tanduk atau rahang hewan korban kemudian dilekatkan di dinding rumah.

Di kampung itu, para turis, budayawan, peneliti, mahasiswa dan para pelajar sering berkunjung. Mereka tak sekadar melihat, tetapi sebagian di antaranya sampai mempelajari budaya dan adat istiadat Marapu.

Ringgulangu bercerita, dia jarang meninggalkan kampung adat itu. Setiap hari dia setia menemani dan menunggu para tamu. Buku tamu pun dia sodorkan, termasuk kesan dan pesan para tamu.

”Umumnya para tamu mendukung perjuangan saya agar kampung adat ini dipertahankan, terutama tamu-tamu asing. Mereka bahkan mengusulkan agar dibangun semacam homestay agar mereka juga bisa menginap dan menyaksikan kehidupan tradisional masyarakat,” kata Ringgulangu.

Segala sesuatu yang bernilai mistis, magis, dan mengandung nilai-nilai kepercayaan asli masih dianut oleh sekitar 300 warga di dua kampung berdekatan itu. Kampung itu pun dibangun sesuai konstruksi asli yang dikehendaki para leluhur.

”Semua bahan bangunan di sini dari hutan, tidak ada bahan bangunan dari bahan besi, aluminium atau produk pabrik. Jika ada bahan produk pabrik, nenek moyang tidak setuju, penghuni bangunan tidak aman tinggal, selalu sakit, dan bangunannya cepat rusak,” katanya.

Ringgulangu berharap, pemerintah turut memerhatikan kampung adat pariwisata itu, bukan sebaliknya berupaya menggantikannya dengan hotel. Kemajuan suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh bangunan–bangunan modern, tetapi juga oleh keberadaan tradisi-tradisi lokal yang masih dipertahankan.
Ringgulangu juga mempertahankan keberadaan kubur batu tua peninggalan para raja di kampung itu. Setiap ada kegiatan adat di Kampung Tarung dan Waitabar, Ringgulangu kerap kali tampil sebagai penggerak.

Kodrat manusia
Ringgulangu bercerita, dia sudah beberapa kali mengikuti seminar, pertemuan atau pembahasan mengenai aliran kepercayaan di tingkat nasional. Ternyata semua agama di dunia ini mengakui adanya suatu kekuatan yang luar biasa, dan mereka memberi nama berbeda-beda, termasuk aliran kepercayaan Marapu.

”Marapu, sama dengan aliran kepercayaan lain di Jawa, memiliki nilai religius dan kuasa besar yang terealisasi lewat perlindungan, hukuman, kegagalan, kutukan, pertolongan, keselamatan, dan bencana alam. Dalam bahasa adat Marapu disebut Ina papa nuku, ama papa sara, artinya semua manusia dan segala isi bumi terlahir dari sumber yang sama. Semua manusia sesuai kodratnya adalah sama,” katanya.

Menurut kepercayaan Marapu, hutan-hutan di sekitar kampung itu, termasuk seluruh daratan Sumba, memiliki penjaga dari leluhur. Hutan tidak boleh ditebang sebelum dibuat ritual adat, meminta izin kepada leluhur.
Sumber mata air yang keluar di kaki Bukit Tarung dan Waitabar pun diyakini sebagai pemberian dari Yang Kuasa, dan bagi masyarakat Sumba diyakini sebagai pemberian Marapu.*

Sumber: Kompas

Kekayaan Alam NTT Belum Dioptimalkan


KOMPAS.com - Rata-rata pendapatan per kapita penduduk Nusa Tenggara Timur tahun 2009 Rp 4,88 juta, jauh di bawah rata-rata nasional yang Rp 21,48 juta. Minimnya infrastruktur dan kondisi alam yang kering sering disalahkan atas rendahnya kesejahteraan rakyat Nusa Tenggara Timur.

Kalau kita masuk ke pelosok NTT, payahnya infrastruktur mudah ditemui. Keluar dari jalan penghubung antarkota/kabupaten yang beraspal menuju kampung-kampung, umumnya kita akan langsung menapak jalan tanah yang berdebu di musim kemarau dan licin di musim hujan. Padahal, jalanan itu naik turun tanjakan curam mengikuti topografi NTT yang berbukit-bukit. Tak jarang kendaraan harus menyeberang sungai karena belum ada jembatan atau perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki.

Sarana transportasi laut juga minim. Kebanyakan mengandalkan kapal pelayaran rakyat yang keamanannya tak terjamin dan jumlah penumpang melebihi kapasitas. Penerbangan pun banyak mengandalkan pesawat kecil.

Jangankan di pulau kecil, kondisi seperti itu bertebaran di Pulau Flores, Timor, maupun Sumba yang terhitung besar. Hal itu diakui Bupati Sumba Timur Gidion Mbilijora. ”Jalan dan jembatan baru memadai di jalur utama yang menghubungkan Waingapu, ibu kota Sumba Timur, dengan wilayah sekitarnya. Di wilayah jauh ke selatan serta pegunungan, baru ada jalan tanah yang sulit dilewati di musim hujan,” katanya.


APBD yang terbatas, Rp 552 miliar, lebih dari 60 persen digunakan untuk membayar gaji pegawai negeri, tidak memungkinkan untuk membangun. Sisa APBD diprioritaskan untuk pendidikan, kesehatan, serta pengembangan pertanian. Usulan kepada pemerintah pusat untuk memperluas pelabuhan, membangun bendungan untuk irigasi pertanian, belum mendapat respons. Keluhan serupa diungkapkan kepala daerah lain.

Kondisi alam NTT kering. Musim hujan berlangsung pada bulan November sampai Maret dengan jumlah hari hujan rata-rata 44-61 hari per tahun. Sementara, musim kemarau antara April dan Oktober. Kondisi ini tidak cocok untuk padi atau jagung yang perlu air cukup.

Pengamat pertanian, Viator Parera, berpendapat, Pemerintah Provinsi NTT sebaiknya fokus pada pengembangan pertanian lahan kering yang cocok dengan kondisi geografis dan iklim NTT.
Kinerja pegawai

Bicara tentang kinerja pegawai pemerintah, sudah waktunya dilakukan pembenahan. Terkait hasil yang belum maksimal, Wakil Gubernur NTT Esthon L Foenay mengakui, aparat yang mengelola tidak efektif dan efisien dalam melaksanakan serta tidak disiplin anggaran. Penyebab lain, anggaran turun dekat habis tahun anggaran sehingga program tidak maksimal.

Stepanus Makambombu, Direktur Stimulant Institute, menyatakan, ada kecenderungan pelaksana me-mark up pengadaan barang sehingga mutu atau kualifikasi tidak sesuai akibat kurang pengawasan.

Persoalan lain yang mendasar adalah bagaimana warga memandang kesejahteraan mereka. Marianus Kleden, pengajar antropologi politik Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, menuturkan, ada kecenderungan orang puas dengan apa yang ada. ”Kalau dengan hasil kebun dan ternak yang ada sudah bisa survive, ngapain mencari yang lebih. Untuk itu perlu ada mediasi agar mereka bisa melihat taraf hidup yang lebih layak dan terpacu untuk lebih bergiat mencapainya,” katanya.

Menurut Kleden, etos wirausaha memang baru berkembang. ”Kita banyak belajar dari etnik Tionghoa, Jawa, Padang, dan Sulsel tentang kerja keras. Lewat proses magang, etos ini perlahan-lahan diinternalisasi oleh generasi muda. Satu hal yang amat khas pada orang NTT adalah kecenderungan untuk mendapatkan uang tunai secara cepat dan tidak menempatkan uang dalam manajemen ekonomi jangka panjang,” katanya.

Terkait pesta adat yang menghabiskan banyak biaya, Marianus menyatakan, dalam masyarakat NTT yang berpola pikir sosial kolektif, pesta adat merupakan kesempatan bagi orang untuk mengukuhkan posisi dan status sosialnya di masyarakat.

Agar masyarakat NTT bangkit mengejar ketertinggalan, internalisasi sikap wirausaha perlu ditingkatkan. Di banyak tempat telah tumbuh semangat untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Warga mengembangkan komoditas perkebunan. Hal ini harus dibantu dengan infrastruktur yang baik sehingga mudah dimobilisasi serta didukung tata niaga yang kondusif. Dengan demikian, nasib orang NTT akan lebih baik. (ATK)

Sumber: Kompas

Pemerhati Teori Musik Tradisi NTT

Djony Teedens
Oleh Kornelis Kewa Ama

KOMPAS.com - Banyak jenis musik tradisional yang berkembang di tengah masyarakat Nusa Tenggara Timur tidak memiliki dasar teoretis. Musik tradisi itu muncul di kalangan masyarakat tertentu, berkembang, tetapi ada pula yang punah begitu saja. Padahal, musik lokal itu memiliki latar belakang sejarah, budaya, dan legenda tertentu.

Pemerintah daerah belum memberikan perhatian khusus terhadap musik-musik tradisional. Para seniman lokal mesti berjuang sendiri, membuat kreasi dan mengeluarkan modal pribadi untuk melakukan penelitian, melestarikan, sampai memperkenalkannya kepada publik. Bahkan kemudian menulis buku tentang musik tersebut.

Djony Teedens adalah salah seorang seniman NTT yang memiliki kepedulian besar terhadap musik-musik tradisi di daerah itu. Ia menyebut, ada ratusan jenis musik dan alat musik tradisi di NTT, tetapi yang masih bertahan hanya sekitar 20 jenis alat musik lokal.

Di antara jumlah yang sedikit itu, antara lain sasando dari Rote Ndao, foy doa dari Ngada, sasong dari Flores Timur, ketadomara dari Sabu Raijua, ada pula leku, khobe, dan feku dari Timor, serta jungga dari Sumba.


”Tetapi, dari 20-an alat musik tradisional itu, hanya 2-5 alat musik yang masih sering dilihat warga. Yang lain, meski masih ada, jarang diperdengarkan karena kalah bersaing dengan musik pop,” kata Teedens di Kupang, beberapa waktu lalu.

Menurut pengamatan Teedens, generasi muda tidak lagi meminati musik tradisional karena dianggap ketinggalan zaman, tidak bernilai ekonomis, iramanya tidak enak untuk berdansa, dan nadanya monoton atau membosankan. Kondisi itu menyebabkan banyak musik tradisional punah atau hilang.

Musik tradisional hanya bisa bertahan kalau memiliki nilai– nilai khusus bagi masyarakat penggunanya, seperti nilai mistis-magis, nilai pendidikan, persaudaraan, nilai ekonomis, nilai sejarah, keunikan dan keindahan. Setiap musik tradisional lahir dari kelompok masyarakat tertentu, memiliki legenda khas, seperti asal-usul suku atau kelompok masyarakat itu.

Sejumlah legenda tua di Timor, Flores, dan Sumba menyebutkan, keberadaan musik lokal dari daerah itu terkait kehadiran nenek moyang, yang mengisahkan legenda terbentuknya sebuah pulau, sejarah perang suku, pembentukan suku, dan tradisi beternak atau bertani.

Di Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, dan Belu, misalnya, feku sering digantung di depan rumah, bahkan di leher peternak untuk memanggil ternak sapi, babi, dan kerbau. Jika alat itu sudah dibunyikan, ternak akan bergerak menuju rumah atau mendekati tuannya. Namun, kini feku jarang digunakan. Penggembala ternak lebih suka menggunakan anjing untuk menghalau kawanan ternak.

Teori musik
Selama 51 tahun Provinsi NTT berdiri, musik tradisional tidak berkembang, bahkan cenderung punah. Teedens menyadari pentingnya musik-musik tradisional memiliki dasar teoretis sebagai pegangan dan agar mudah dipelajari, dikembangkan, dilestarikan, dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan. Jika suatu jenis alat musik ingin bertahan dan bersaing, ia tidak hanya asal dibunyikan.

Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini sejak tahun 1990-an menulis sejumlah buku teori dasar musik tradisi NTT, seperti teori alat musik sasando, foy doa, ketadomara, knobe, feku, dan heo.

Buku Teori Dasar Sasando yang disusun Teedens telah mendapat persetujuan Pemerintah Kota Kupang untuk menjadi bahan muatan lokal di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas di seluruh Kota Kupang mulai tahun ajaran 2011/2012.

Kini, ia sedang memberi kursus sasando kepada para guru musik se-Kota Kupang. Setiap pekan ada lima guru dari setiap sekolah yang mengikuti kursus sasando di pusat kursus musik ”Halelluya” milik Teedens di Kelurahan Naikoten, Kupang. Teedens membuka tempat kursus musik itu tahun 2003. Salah satu tujuannya adalah mempertahankan dan mengembangkan musik-musik tradisi NTT.

Ia berharap melalui para guru itu, sasando dapat berkembang di sekolah-sekolah dan masyarakat Kota Kupang. Suatu saat sasando menjadi mata pelajaran khusus di setiap sekolah di NTT. Saat ini sasando baru dikenal di kalangan warga Kota Kupang dari Suku Rote Ndao.

Di tempat kursus musiknya, tidak hanya warga Kupang yang belajar, tetapi juga warga Jakarta, Yogyakarta, bahkan dari Belanda, Jepang, dan Australia. Biasanya mereka mengikuti kursus kilat sasando selama masa liburan.
Di antara peserta kursus ada anak-anak berkebutuhan khusus. Anak-anak ini, menurut Teedens, memiliki kelebihan di bidang musik dan bidang seni lain sehingga perlu dikembangkan. Selain sasando, Teedens juga memberikan kursus gitar, keyboard, dan piano.

Pembinaan dan pelestarian
Dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, Teedens dipercaya pemerintah daerah untuk membina dan melestarikan musik tradisi NTT. Ia sering mengunjungi sanggar seni dan kerajinan yang tersebar di NTT untuk memberi petunjuk teoretis mengenai alat musik tradisi di daerah itu. 
”Kebanyakan pelaku dan penggiat seni tradisi tidak paham mengenai nada-nada yang dihasilkan alat musik itu. Mereka asal membunyikan saja,” katanya.
Teedens ingin mendirikan sekolah tinggi musik NTT sebagai upaya menggali dan mempertahankan musik-musik lokal NTT yang sedang terancam punah. Melalui sekolah tinggi musik, sejumlah musik tradisional yang sudah punah dapat digali dan dilestarikan lagi.

”Pemerintah pusat melalui Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata serta Gubernur NTT sudah memberi lampu hijau. Semoga masyarakat NTT dan teman-teman pencinta seni NTT juga mendukung,” kata Teedens berharap.*

Sumber: Kompas

Penemu Inang Primer Cendana

Komang Surata
KOMPAS.com - Cendana atau Santalum album Linn adalah jenis tumbuhan bersifat semiparasit. Oleh karena itu, dalam siklus hidupnya, cendana membutuhkan pohon inang. Krokot atau Althernantera sp adalah jenis tumbuhan lokal yang paling sesuai sebagai inang primer ketika anakan cendana sedang dalam persemaian.

Penggunaan krokot sebagai inang cendana yang kini dipraktikkan di banyak tempat di dunia adalah hasil temuan Komang Surata, peneliti utama Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Nusa Tenggara Timur.

"Saya menikmati menjadi peneliti, tetapi kebahagiaan terasa memuncak ketika hasil penelitian saya diakui dan dimanfaatkan secara luas hingga dunia internasional," kata Komang Surata di Kota Kupang, lepas siang Kamis (25/11/2010) itu.

Dalam siklus kehidupan cendana, sejak persemaian hingga dipanen pada usia 30 tahun, membutuhkan tiga tahapan inang dari jenis pohon berbeda.
Setelah krokot pada masa persemaian, pertumbuhan cendana membutuhkan inang sekunder dari jenis pohon turi atau gala gala (Sebasnia grandiflora) atau akasia (Acacia villosa) untuk jangka menengah. Selanjutnya, inang johar (Casuarina junghunniana) dibutuhkan untuk pendampingan jangka panjang. Pohon inang itu dibutuhkan guna membantu penyerapan unsur hara dari tanah.



"Penggunaan inang gala gala atau turi sebenarnya hasil temuan saya juga, tetapi yang monumental itu temuan inang krokot karena sekarang menjadi pilihan utama sebagai inang primer dalam pembudidayaan cendana secara internasional," kata Komang Surata yang menjadi peneliti sejak 1987, dua tahun setelah dia menyelesaikan kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Hampir punah Cendana adalah jenis pohon endemik NTT. Oleh karena aromanya yang harum, cendana telah mencuatkan kawasan NTT sejak abad ke-4. Pada abad ke-7, cendana asal NTT dilaporkan berhasil menembus pasaran India dan China.
Mulai abad ke-14, para pedagang dari kedua negara tersebut sampai berkunjung langsung ke NTT untuk membeli cendana dan madu. Hingga 1990-an, cendana menjadi penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah NTT.

Namun, akhir 1990-an, hampir mustahil menemukan pohon cendana di kawasan hutan. Tegakan tersisa hanya bisa dijumpai di kebun dan pekarangan penduduk, itu pun amat jarang. Salah satu penyebab utama kehancuran cendana di Timor dan pulau lain di NTT adalah regulasi yang tidak berpihak kepada masyarakat.
Sejak zaman Belanda hingga Indonesia merdeka, cendana, baik yang tumbuh di kawasan hutan, di kebun, maupun pekarangan penduduk, diklaim menjadi milik pemerintah. Masyarakat diwajibkan menjaga dan merawat cendana, tetapi hanya pemerintah yang berhak memanfaatkannya. Masyarakat yang melalaikan ketentuan itu akan dikenai sanksi. Akibatnya, cendana dianggap masyarakat sebagai pembawa petaka.

Kesadaran nyaris punahnya cendana membuat pemerintah mengubah kebijakan dengan payung Peraturan Daerah No 2/1999 yang berpihak kepada masyarakat.
Gubernur NTT Frans Lebu Raya sejak awal kepemimpinannya pada 2008 mencanangkan pembudidayaan cendana guna mengembalikan NTT sebagai "provinsi cendana". Tekad itu sekaligus mencuatkan nama krokot karena dibutuhkan sebagai inang saat persemaian bibit cendana.

Sebelumnya, persemaian cendana menggunakan inang tanaman cabai (Capsicum annum), sebagaimana direkomendasikan peneliti IPB, Jufriansah, pada 1970-an.
Sejak bertugas di Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Komang Surata mencatat sejumlah kelemahan pohon cabai sebagai inang primer cendana. Di antaranya, pohon cabai sulit hidup ketika dipindahkan dari tempat tumbuh awalnya. Kelemahan lain, sulit mendapatkan benih cabai dalam jumlah banyak, terancam mati jika tajuk pohonnya dipangkas, serta tak mampu bertahan hidup di antara rerumputan lain.

Surata lalu berinisiatif melakukan penelitian sejak 1988. Ia melakukan berbagai uji coba guna mendapatkan inang primer pengganti. Dua tahun kemudian ia menemukan krokot sebagai inang primer pengganti tanaman cabai.
"Uji coba itu melibatkan 18 jenis tumbuhan sebagai calon inang, termasuk cabai. Hasil akhirnya menunjukkan, krokot paling cocok sebagai inang primer," katanya.

Keunggulan krokot Krokot memiliki sejumlah keunggulan. Menurut Surata, krokot sangat membantu pertumbuhan cendana selama masa persemaian. Krokot juga tidak menimbulkan kompetisi, tajuknya kecil, sistem perakaran sukulen atau lunak, mudah tumbuh setelah dipangkas, berumur panjang, relatif mudah didapat, serta tahan hidup dalam kekeringan.

Hasil temuan inang krokot itu dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional, Sandalwood Newsletter, di Australia pada 1992. Setelah publikasi, pemanfaatan krokot sebagai inang primer cendana meluas di dunia internasional, antara lain di Australia bagian barat serta di sejumlah negara Pasifik, seperti Fiji, Kaledonia, Solomon, dan Vanuatu.

Kini, Surata sedang menekuni model budidaya cendana melalui regenerasi tunas, yakni memotong beberapa jaringan akar di sekitar kaki pohon cendana dewasa. Jika pemotongan dilakukan secara benar dan tepat waktu, yakni dengan memerhatikan perkembangan akar diikuti pengaturan iklim mikro, bagian akar yang terputus dari induknya akan bertunas sebagai anakan baru.

"Mimpi kami ke depan dalam budidaya cendana di NTT adalah pohon cendana punya anakan alam dari tunas akarnya sendiri, sebelum pohon induk ditebang setelah mencapai usia panen 30 tahun. Proses regenerasi anakan cendana bisa dilakukan secara variatif mengikuti siklus tebangan," kata Surata, ilmuwan asal Karangasem, Bali, tersebut.(Frans Sarong)

Sumber: Kompas

Bawa Mimbar ke Mana-mana

Sefnat Sailana
Oleh Alfred Dama

BERPENAMPILAN sederhana namun berwawasan luas. Itulah Pdt. Sefnat Sailana, S.Th. Pria kelahiran Alor ini sehari-sehari berkarya sebagai pelayan di Jemaat Ebenhaezer Apui, Kecamatan Alor Tengah Selatan- Kabupaten Alor.

Pdt. Sefnat merupakan salah satu dari banyak mutiara- mutiara di bumi Flobamora yang melakukan kegiatan besar namun luput dari perhatian banyak orang, termasuk pemerintah.

Sejak 11 tahun silam, Sefnat telah mendedikasin diri kepada umat, bukan hanya sebagai pendeta tetapi juga mensejahterakan masyarakat melalui upaya penyelamatan hutan. Dedikasinya dalam hal penyelamatan lingkungan inilah yang membuatnya Forum Acedemia Nusa Tenggara Timur (FAN) memberikan Academia Award 2010 kategori Inovasi Pembangunan kepada Pdt. Sefnat. Ia dipandang berjasa dan berdedikasi tanpa pamrih dalam membangun lingkungan di Apui.

Pdt. Sefnat, lulusan Fakultas Theologia Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang ini, mengisahkan, berkarya dalam bidang lingkungan hidup sudah menjadi pergumulannya sejak 11 tahun mengabdi di Apui. Keprihatinannya terhadap kerusakan lingkungan dimana-mana membuatnya terpanggil untuk melakukan sesuatu.


Bersama-sama jemaatnya dan warga desa umumnya, mereka menjalankan manajemen pengelolaan dan distribusi air minum di Desa Apui. Dimulai dari membuat lubang-lubang resapan air sampai menjalankan manajemen pengelolaan air minum desa yang sampai saat ini masih berjalan.

Pekerjaan tetap sebagai pendeta bukan menjadi penghalang bagi upaya menyelamatkan lingkungan.

Ia bagai membawa mimbar kemana-mana untuk mengajak masyarakat menanam dan menanam untuk menghijaukan lingkungan. Bukanlah mimbar sentris, tetapi mimbar untuk mengajak masyarakat mencintai dan menghargai ciptaan Tuhan berupa menanam dan melindungi hutan.

Ajaran dalam Alkitab tidak sekadar diucapkan tetapi diwujudnyatakan dalam aksi nyata sehari-hari. Sebagai Ketua Klasis di Kecamatan Alor Tengah Selatan, Pdt. Sefnat memiliki program kerja bagi gereja-gereja yang berada dalam Klasis Alor Tengah Selatan. "Ini berangkat dari keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dimana-mana," jelasnya.

Aksi itu dimulai dengan memrogramkan setiap gereja memiliki hutan jemaat. "Setiap gereja memiliki hutan jemaat karena saya berpikir, gereja juga harus punya andil dalam merehabilitasi kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan karena tebang pohon untuk pembangunan," jelasnya.

Lahan-lahan kritis mulai ditanami, dijadikan hutan jemaat. Jebakan-jebakan air dan sumur resapan dibuat dan lingkungan ou menjadi hijau. Pohon di hutan tak lagi ditebang.

Ide untuk membuat sumur resapan dan jebakan air ini didapat setelah membaca sebuah majalah dan bacaan itu pun diplikasikannya. "Saya baca dari majalah dan kemudian diprogramkan di tingkat klasis," jelasnya.

Selama ini, katanya, masyarakat kurang peduli pada berkat Tuhan berupa air hujan. Air hujan yang turun ke bumi langsung mengalir masuk laut. Dengan mengembangkan sumur resapan, maka air hujan "ditahan" untuk menjadi cadangan air. "Ada kendala, dimana kadang ada kesulitan menyakinkan dan mengajak warga menanam dan membuat sumur resapan. Warga berpikir instan, hari ini kerja besok rasakan manfaatnya. Mestinya harus berpikir jangka panjang," urainya.

Pdt. Sefnat juga aktif memotivasi jemaat untuk menjaga sumber-sumber air dengan melakukan mengadakan ibadah pada setiap Hari Air. "Bertepatan dengan Hari Air Internasional, kita bikin ibadah pada sumber-sumber air. Juga melaukan kegiatan penanaman pohon," jelasnya.

Pendeta Sefnat juga menggelar doa melarang penebangan hutan secara sembarangan sehingga daerah-daerah tangkapan air terpelihara. Ada masyarakat yang membangkang namun dengan pola pendekatan pastoral, kebiasaan masyarakat yang suka menebang hutan ini akhirnya berkurang. Ada pula kebaktian padang dimana jemaat dilarang membakar padang.

Pdt Sefnat juga mencintai keindahan. Ia menyarankan masyarakat selalu menanam bunga di halaman rumah. Dia bahkan sempat dicap menyebar ajaran sesat karena berbagai aksi nyatanya itu. Namun anggapan atau tuduhan itu hilang dengan sendirinya begitu orang melihat hasil nyata yang diperoleh.

Dia juga melarang umatnya membeli pohon natal. Sebagai gantinya dirancang anakan pohon hidup sebagai pohon natal.

"Yang menjadi komitmen kami di sana adalah bagaimana membawa mimbar ke tengah-tengah alam atau tempat kerja," jelasnya.

Ada filosofi nenek moyang yang diajarkan kembali pada jemaat bahwa kita harus mencintai pohon. Pohon ibarat orangtua yang semestinya dijaga dan dilindungi. Sebab, pohon-pohon itu pula yang akan melindungi kehidupan dengan menyediakan air. Alam pun harus dilihat sebagai orangtua, sebab dengan demikian maka alam akan memberikan apa yang dibutuhkan.

Berkat kerja keras Pdt Sefnat bersama masyarakat maka di Apui, kini, bagi mereka yang ingin menebang satu pohon, mereka harus menanam lima pohon. Jika ada yang menebang pohon sembarangan, maka akan dikenakan sanksi harus menanam seratus anakan pohon baru. Semua itu disepakati dalam persidangan jemaat dan masih berjalan sampai sekarang.

Kini setiap gereja memiliki hutan jemaat. Di jemaat Ebenhaezer Apui, setiap tahun diadakan kebaktian khusus untuk mencegah kebakaran hutan dan penggunaan potas, kebaktian pelarangan perusakan kolam air, kebaktian syukur atas hujan pertama, kebaktian perayaan hari lingkungan hidup, Hari Bumi dan Hari Air Sedunia dalam liturgi tahunan gereja. *

Data Diri:
Nama : Pdt. Sefnat Sailana, S.Th
Pekerjaan : Pendeta Jemaat Ebenhaezer Apui,
Ketua KPWK Alor Tengah Selatan
Asal : Desa Apui, Kel. Keilasi Timur, Kec. Alor Selatan

Sumber: Pos Kupang, 21 Desember 2010 halaman 1

Mewarta Lewat Fotografi

Robert Ramone
Oleh Alfons Nedabang

ADAKAH korelasi antara rohaniwan dan fotografi? Pater Robert Ramone, CSsR membuktikannya. "Saya mewartakan injil dengan mengabadikan keindahan dan keagungan Tuhan lewat fotografi."

Robert Ramone adalah rohaniwan Katholik dari kongregasi (ordo) Redemptoris. Bukan fotografer. Meski demikian, dalam kesehariannya ia sering bekerja layaknya seorang fotografer. Menyusuri Pulau Sumba khususnya dan berkeliling Indonesia, sudah ia lakukan. Tujuannya, menjepret aneka obyek wisata, baik budaya, alam maupun bahari.

"Ada yang bilang kenapa saya sebagai pastor suka menenteng kamera ke mana-mana. Saya katakan bahwa saya hanya merekam sedikit saja keindahan dan keagungan Tuhan lewat lensa kamera yang kecil," ujar Pater Robert dalam diskusi NTT Academia Award 2010 di ruang Redaksi Pos Kupang, Jumat (17/12/2010), sehari sebelum malam penganugerahan NTT Academia Award 2010.



Karya fotografinya membuatnya terkenal. Ia pun kerap meraih penghargaan. Penghargaan terkini yang diperoleh, yaitu menjadi pemenang NTT Academia Award 2010 kategori bidang humaniora, sastra dan inovasi sosial budaya dengan karya, melestarikan dan menduniakan kekayaan alam dan budaya Sumba. Jauh sebelumnya, Pater Robert mendapat penghargaan dari National Geographi.

Minat fotografi mulai ditekuni setelah ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1992. Berbekal sebuah kamera hadiah sepupunya pada saat pentahbisan, Pater Robert mengembangkan bakatnya. Ia pun mulai menjepret. Dalam perjalanan, pada tahun 1994, ia memiliki kamera roll film.

"Sejak saat itu saya ambil gambar. Hasilnya saya senang. Gambar-gambar yang saya ambil ada yang umurnya sudah 16 tahun. Dan, pada tahun 2000, saya beralih ke kamera digital," ujarnya.

Pater Robert memiliki alasan menekuni dunia fotografi. Ketika masih menjadi mahasiswa Filsafat Teologi di Yogyakarta, ia bertemu banyak mahasiswa. Teman- temannya selalu bangga dengan budayanya. Ada yang memperlihatkan kartu pos dengan gambar budayanya. Pada tahun 2003, dia mencari kartu pos dengan gambar budaya Sumba, namun tidak ditemukannya. Dia lalu terinspirasi. Dia mendesain kartu pos sendiri dengan gambar-gambar budaya Sumba. Lewat kartu pos itu, ia kemudian dikenal di Jerman dan Belanda.

Pater Robert menuturkan, pada tahun 2004, ada mahasiswa fotografi di New Nork datang ke Sumba. "Saya terkejut karena dia mencari saya. Saya tanya, mengapa datang ke sini (Sumba)? Dia jawab, saya tertarik dengan Anda karena terlibat dalam pameran foto meski tidak melakukan studi fotografi," kisah Pater Robert.

Meski sudah terkenal lewat kartu pos, itu tidak membuat Pater Robert berhenti berkarya. Pada tahun 2006, ia mengadakan pameran foto di Balai Kartini, Jakarta.

"Ada tawaran pameran foto di Kantor Berita ANTARA tapi saya tidak terlibat karena keterbatasan dana. Ada tawaran juga ikut pameran di Bali tapi saya tidak ikut karena keterbatasan dana. Saya bicara dengan pemda tentang pemeran foto tapi tanggapan pemda saya kecewa sekali karena tidak tahu foto," tutur Pater Robert sembari menambahkan, sampai sekarang, ia bergerak sendiri tanpa ada bantuan satu sen pun dari pemda.

Pater Robert juga menulis buku tentang kebudayaan Sumba, seperti pasola dan acara pemakaman orang mati. Buku setebal 208 halaman itu, lebih banyak memuat hasil jepretan kameranya. Buku tersebut ia tulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, diterbitkan di Belanda dan akan diluncurkan Januari 2011.

Pater Robert juga mengatakan, sekarang ia sedang mewujudkan mimpinya, yaitu membangun pusat studi pelestarian budaya Sumba. Proyek pembangunan rumah budaya dengan anggaran Rp 1,5 miliar itu pengerjaannya sudah sampai 80 persen. Menurut rencana diresmikan pada Juli 2011. Pembangunan rumah budaya dibiayai seorang donatur dari Papua yang ia kenal lewat pameran foto. Donatur itu menyumbang dana Rp 1,2 miliar.

"Mengapa saya mendirikan rumah budaya? Karena, saya mau melestarikan budaya lokal, agar orang Sumba bangga dengan kebudayaannya," katanya.

Dalam mewujudkan mimpinya, Pater Robert kerap mendapat tantangan. Tantangan datang dari pemerintah daerah dan sesama rohaniwan. Terkait mendirikan lembaga studi, ia membutuhkan waktu empat tahun untuk mendapat restu dari pimpinan dan anggota kongregasi. 

"Sekarang karena sudah berhasil, tidak ada lagi yang mengolok saya. Saya berkesimpulan orang mudah mengkritik kita kalau belum melihat hasilnya. Saya senang karena tidak ada yang megolok-olok lagi," ujarnya. *


BIODATA

- Nama: Pater Robert Ramone, CSsR
- Tempat/tanggal lahir: Kodi, Sumba Barat Daya, 29 Agustus 1962.
- Tahun 1985: Bergabung dengan Kongregasi Redemptoris.
- Tahun 1985-1992: Studi Filsafat dan Teologi pada Fakultas Teologi Wedhabakti- Yogyakarta.
- Tahun 1992: Ditahbiskan menjadi imam. Setelah ditahbiskan, bekerja sebagai pastor kapelan di Paroki Santa Maria Homba Karipit.
- Tahun 1993-1994: Bekerja di Paroki Roh Kudus Weetebula.
- Tahun 1994-1996: Socius Student Wisma Sang Penebus dan merangkap sebagai pastor di Stasi Santo Alfonsus Nandan-Yogyakarta.
- Tahun 1996-2001: Pastor Paroki Santo Petrus dan Paulus Waikabubak.
- Kini bekerja di Rumah Retret Santo Alfonsus Weetebula.

Sumber: Pos Kupang, 22 Desember 2010 halaman 1

Tapaleuk Urus Ternak

Noverius Nggili
Oleh Alfons Nedabang

MENJADI pemenang NTT Academia Award 2010 kategori bidang Sains dan Inovasi Keteknikan tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh Geng Motor iMuT. Makanya, ketika diinformasikan panitia, pengurus Geng Motor iMut merasa kaget tidak percaya. Setelah diyakini, rasa syukur pun dipanjatkan.

"Kami kaget setelah mendapat informasi. Sekitar dua jam lalu, saya dikontak Winston (Winston Rondo, Red) untuk datang di Pos Kupang. Saya pikir kita bagi ilmu biasa saja. Ternyata ada nuansa lain. Kami bersyukur," ujar Koordinator Geng Motor iMuT, Noverius Ngili, dalam diskusi NTT Academia Award 2010 bertajuk Inovasi Bagi Dunia di ruang Redaksi Pos Kupang, Jumat (17/12/2010) petang, sehari sebelum malam penganugerahan NTT Academia Award 2010.


Bagi kebanyakan orang, Geng Motor iMuT bisa dipersepsikan negatif. Identik dengan geng motor yang kerjanya ugal-ugalan di jalan raya. Namun, sesungguhnya Geng Motor iMuT tidaklah demikian. Geng Motor iMuT adalah komunitas sarjana peternakan yang peduli terhadap peternakan di NTT. Kata 'iMuT' merupakan akronim dari Aliansi Masyarakat Peduli Ternak. "Kami secara sengaja menggunakan penggalan huruf dari aliansi masyarakat peduli ternak (iMuT) biar mudah tertanam dalam kepala orang (mudah diingat)," jelas Noverius.

Noverius menuturkan, Geng Motor iMuT terbentuk awal tahun 2005, diinisiasi beberapa alumni Fakultas Peternakan Undana Kupang. Cikal bakalnya, karena sebelumnya ada beberapa alumni Fakultas Peternakan Undana yang sering melakukan diskusi informal tentang hal-hal pertanian, lebih khusus masalah peternakan di NTT.

Ada beberapa pemikiran yang berkembang waktu itu, di antaranya NTT sebagai gudang ternak hanya tinggal nama. Ada ribuan sarjana peternakan, tetapi sangat berbanding terbalik dengan kondisi usaha peternakan di NTT. Dalam beberapa penelitian kecil, kelompok diskusi menemukan sejumlah sarjana peternakan bekerja tidak sesuai dengan disiplin ilmunya. Sebagian besar sudah tidak mengingat ilmu peternakan. Bahkan, ada yang sudah lupa judul skripsinya. Sementara itu, masih banyak calon sarjana peternakan. Lebih memilukan lagi, Fakultas Peternakan Undana sebagai fakultas pertama yang dibentuk Undana, saat ini kondisinya sangat memrihatinkan.

Anggota diskusi juga mengamati, sebagian besar lembaga non pemerintah yang ada di NTT memfokuskan kerjanya pada kulit luar peningkatan kapasitas petani-peternakan, atau hanya pada respon-respons dinamika sosial dan atau kegiatan emergensi respon semata. Padahal, pertanian-peternakan merupakan penopang hidup utama bagi warga NTT. Bagaimana rantai manajemen produksi, mulai saprodi, pengupayaannya, pasca panen berupa pemasaran dan pengolahan limbah sering terlupakan oleh pihak-pihak yang berwenang. Kalaupun ada hanya sebatas masa proyek saja, selebihnya tidak ada monitoring dan pendampingan lanjutan.

Berangkat dari kondisi-kondisi di atas, anggota diskusi yang adalah alumni peternakan Undana mencari sebuah formula baru agar ilmu peternakan yang dimiliki sarjana peternakan tidak sampai pudar termakan waktu. Maka, lahirlah komunitas pemerhati masalah pertanian peternakan yang dikenal dengan nama Geng Motor iMuT pada tahun 2007. "Ekstraksi kapasitas anggota pada masalah pertanian-peternakan sering dilakukan pada waktu senggang atau libur dengan cara bermotor ke kampung-kampung, terutama di Timor Barat," ujar Noverius Ngili.

Geng Motor iMuT memiliki 50 anggota aktif, dengan 30 motor pribadi. Sementara anggota pasif sebagai kawan diskusi di facebook group dan japri lewat telepon, SMS (short mesage service) serta email. Latar belakang pekerjaan anggota komunitas beragam. Ada PNS, pegawai bank, LSM, pegawai perusahaan dan kantor swasta.

Noverius mengatakan, Geng Motor iMuT memulai karya dengan terlebih dahulu melakukan visioning komunitas berbasis apresiative inquiry untuk menemukan target kerja dalam bentuk mimpi komunitas, menggali kekuatan komunitas, menentukan peta jalan perubahan dalam bentuk tahap prioritas agenda. 
Tapaleuk Urus Ternak. Demikian mantra sukses Geng Motor iMuT. Selain sebagai identitas, mantra itu juga sekaligus memotivasi anggota Geng Motor iMut untuk mencintai dan berkarya dalam bidang peternakan sesuai prioritas agenda kerja, walaupun sebagian dari anggota yang aktif bukan berprofesi sebagai peternak aktif.

Beberapa kegiatan yang sudah dilakukan Geng Motor iMut, yaitu perakitan prototipe biogas portable dilanjutkan dengan pengisian bahan baku, perakitan kompor biogas dan 21 hari kemudian sudah menikmati biogas tersebut. Bahan baku biogas dari feces dua ekor babi dan dapat menyalakan kompor biogas selama 45 menit.

Kompor biogas dibuat dengan menghabiskan dana hanya Rp 4 juta, berbeda dengan yang kompor gas milik pemerintah karena biayanya mencapai Rp 50 juta. Kompor rakitan Geng Motor iMut menggunakan drum bekas dan kaleng bekas. "Kami langsung mengaplikasikan pembuatan dan pengoperasian degester, penampung biogas dan kompor biogas di Kelurahan Bakunase," katanya. 

Melakukan pelatihan manajemen peternakan, yakni pelatihan pembuatan blok suplemen pakan gula lontar untuk ternak sapi, pengenalan pakan lokal ternak babi yang bermutu dan pelatihan pembuatan pupuk bokashi semak bunga putih (Choromolaena odorata). Pembuatan biogas (degester dan kompor biogas), pembuatan kompor bio etanol dengan memanfaatkan sopi sebagai sumber energi. Selain itu, pembuatan pupuk bokhasi dan pupuk hijau.

Geng Motor iMuT juga merakit degester biogas, sebagai tawaran solusi terhadap persoalan penanganan limbah tahu tempe di Kelurahan Bakunase.

Apa yang sudah dibuat Geng Motor iMut dipilih untuk meraih penghargaan NTT Academia Award 2010. Selamat kepada Geng Motor iMuT. Teruslah berkreasi dan berinovasi. NTT menunggu inovator-inovator baru. *

Pos Kupang 20 Desember 2010 halaman 1

FAN Serahkan NTT Academia Award 2010

Dari kiri: Pdt Sefnat, Noverius Nggili dan P Robert Ramone
KUPANG, PK -- Tanam pohon, jagalah setiap tetes air karena air adalah sumber kehidupan. Cintai budaya sendiri agar dengan demikian kita dapat mencintai budaya orang lain. Dan, tapaleuk (jalan-jalan, Red) ke kampung mengurus ternak dengan dana sendiri bukan pekerjaan sia-sia.

Menenun masa depan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang lebih baik dimulai dari langkah-langkah kecil yang konkret semacam itu. Demikian sejumput benang merah pesan inspiratif dari tiga pemenang NTT Academia Award 2010 persembahan Forum Academia NTT (FAN) yang berlangsung di Taman Budaya NTT, Sabtu (18/12/2010) malam.

Ketiga pemenang pada masing-masing kategori yaitu kategori I bidang Sains dan Inovasi Keteknikan diraih Geng Motor iMuT (Aliansi Masyarakat Peduli Ternak) - Kupang. Karya: Inovator teknologi terapan dengan memanfaatkan limbah ternak dan limbah industri rumah tangga menjadi biogas.


Pemenang Kategori II bidang Inovasi Pembangunan diraih Pdt. Sefnat Sailana, S.Th. Pendeta GMIT ini merupakan Motivator Pelestarian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Air di Desa Apui, Kabupaten Alor.

Untuk kategori III bidang Humaniora, Sastra dan Inovasi Sosial Budaya, pemenangnya adalah Pater Robert Ramone, C.SsR dari Sumba Barat Daya. Pecinta fotografi ini merupakan pejuang yang gigih selama 16 tahun untuk melestarikan dan menduniakan kekayaan alam dan budaya Sumba. Ketiga pemenang mendapatkan tropi, piagam penghargaan serta hadiah uang masing-masing Rp 5 juta dari FAN.

"Penghargaan ini melecut semangat kami untuk bekerja lebih baik. Masih banyak mimpi yang ingin kami wujudkan lewat inovasi baru di masa mendatang," kata Noverius Ngili yang mewaliki kawan-kawannya dari Geng Motor iMuT-Kupang.
Komunitas anak muda ini ingin mengembalikan NTT sebagai ikon gudang ternak nasional. 

Karya inovatif Geng Motor iMuT di bidang teknologi terapan dengan memanfaatkan limbah ternak dan limbah industri rumah tangga menjadi biogas sudah dimanfaatkan warga sejumlah kelurahan di Kota Kupang, antara lain Kelurahan Bakunase. 

"Saya ajak seluruh masyarakat tidak hanya di Alor untuk selalu menanam pohon agar Flobamora tetap hijau dengan sumber air yang melimpah. Air adalah sumber kehidupan kita," kata Pdt. Sefnat Sailana yang mendapat penghargaan atas kontribusinya di bidang lingkungan hidup terutama melestarikan sumber air dengan membuat sumur resapan dan jebakan air.

"Saya orang Sumba dan saya mencintai alam dan budaya Sumba yang demikian indah. Saya abadikan keindahan itu lewat fotografi agar dunia mengenal Sumba. Enambelas tahun saya menekuni pekerjaan ini," kata Pater Robert Romone.

Menurut Pater Robert, masyarakat NTT hendaknya mencintai budayanya sendiri yang sangat kaya. Dengan mencintai budaya sendiri niscaya kita akan mencintai budaya orang lain. "Ada bilang kenapa saya sebagai pastor suka menenteng kamera ke mana-mana. Saya katakan bahwa saya merekam keagungan Tuhan lewat lensa kamera," kata Pater Robert yang akan membangun Rumah Pusat Studi Budaya Sumba tahun 2011.

Dikemas Apik
Berbeda dengan tahun sebelumnya, penyerahan NTT Academia Award IV tahun 2010 berlangsung lebih meriah dan dikemas apik dalam alunan musik dan lagu yang menghibur sekitar 150 undangan yang memenuhi gedung Taman Budaya NTT.

Mengusung tema Inovasi Bagi Dunia, rangkaian acara yang dikreasi anggota FAN, Winston Rondo dkk diawali dengan penampilan memukau Paduan Suara Angelorum dari Penfui Kupang, tarian Ja'i kreasi baru yang diperankan para pemuda dari Sanggar UPTD Taman Budaya Propinsi NTT, puisi berjudul Flobamora Bisa yang dibawa Sischa Solokana dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Undana dan lagu Bo Lelebo yang dikemas dalam alunan Rap yang dibawakan para raper dari Kota Kupang. 

Malam penganugerahan NTT Academia Award juga menghadirkan dua orang ibu penenun dari Desa Oefafi, Kecamatan Kupang Timur. Mereka bersanding di sudut kanan panggung, suatu simbol sekaligus pesan inspiratif dari FAN tentang menenun masa depan Flobamora yang lebih baik. Ada banyak mutiara di daerah ini. Sebagaimana para penenun, mereka menenun kehidupan dengan semangat dan kerja keras.
Hadir pada acara ini, Staf Ahli Gubernur Bidang Ekonomi, Jonas Salean, S.H, M.Si, Kepala UPTD Taman Budaya, Dra. Yohana Lingo Lango, Ketua Komisi B DPRD NTT, John Umbu Detta, Ketua Forum Parlemen NTT yang juga anggota DPRD NTT, Kristo Blasin, Pemimpin Umum SKH Pos Kupang, Damyan Godho, anggota FAN Hyron Fernandez, Farry Francis, Sr. Dr. Susi Susilawati, Ermi Ndoen, Candra Dethan, Dion DB Putra, Herman Seran, Mario Viera, Pius Rengka, Isidorus Lilijawa, Jemris Fointuna, Tony Kleden, Silvya Fanggidae dan anggota FAN lainnya yang datang Jakarta dan kota lain di Indonesia. Hadir pula akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Kota Kupang, pegiat LSM dan mahasiswa.

Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya dalam sambutannya yang dibacakan Staf Ahli Bidang Ekonomi, Jonas Salean, memberi apresiasi terhadap FAN atas konsitensinya memberi award bagi putra-putri terbaik NTT sejak tahun 2007. "Pemerintah berterima kasih dan memberikan apresiasi yang setinggi- tingginya kepada Forum Academia NTT," kata gubernur.

Moderator FAN, Jonatan Lassa mengucapkan selamat kepada ketiga pemenang. Dia juga mengucapkan terima kasih kepada panitia NTT Academia Award 2010 yang dipimpin Rikardus Wawo dan Bintang Intan Oematan atas kerja keras mereka menyukseskan acara semalam. "Terima kasih juga buat teman- teman anggota FAN di seluruh dunia yang telah menyumbang dana demi suksesnya kegiatan malam ini," kata Jonatan.

Sementara Jemris Fointuna yang mewakili tim juri mengatakan, bukan hal gampang bagi mereka lima anggota tim juri saat memilih yang terbaik. Sebab 22 nominee tahun ini merupakan orang-orang terbaik di bidangnya masing-masing. "Para nominee bekerja dengan hati yang tulus. Mereka merupakan intan dan berlian yang harus diangkat ke permukaan dan jangan terus disembunyikan di kampung-kampung," kata Jemris. (nia)


Pemenang NTT Academia Award 2010

Kategori I bidang Sains dan Inovasi Keteknikan: Geng Motor iMuT (Aliansi Masyarakat Peduli Ternak) - Kupang. Karya: Inovator teknologi terapan dengan memanfaatkan limbah ternak dan limbah industri rumah tangga menjadi biogas. 

Kategori II bidang Inovasi Pembangunan: Pdt. Sefnat Sailana, S.Th. Karya: Motivator Pelestarian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Air di Desa Apui, Kabupaten Alor.

Kategori III bidang Humaniora, Sastra dan Inovasi Sosial Budaya: P. Robert Ramone, C.SsR. Karya: Melestarikan dan Menduniakan Kekayaan Alam dan Budaya Sumba.

Pos Kupang, 19 Desember 2010 halaman 1

Gubernur Akan Serahkan NTT Academia Award

KUPANG, PK -- Gubernur Propinsi Nusa Tenggara Timur, Drs. Frans Lebu Raya dijadwalkan akan menyerahkan NTT Academia Award kepada para pemenang tahun ini di Taman Budaya NTT, Sabtu (18/12/2010).

"Konfirmasi kami terakhir, beliau (gubernur) bersedia hadir pada malam penganugerahan NTT Academia Award 2010," kata Ketua Panitia NTT Academia Award 2010, Rikardus Wawo di Kupang, Jumat (17/12/2010) malam.

Menurut Rikardus, selain Gubenur dan Wakil Gubernur NTT, panitia juga mengundang pimpinan dan anggota DPRD NTT serta pimpinan dan anggota DPRD Kota Kupang. "Panitia juga mengundang pimpinan SKPD di lingkup Setda NTT, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuda dan mahasiswa," katanya.


Dia menambahkan, pada malam penganugerahan NTT Academia Award 2010 akan hadir pula anggota Forum Academia NTT (NTT) dari Jerman, Amerika Serikat, Jakarta dan dari berbagai kota di Indonesia dan NTT.

Puncak acara penganugerahan NTT Academia Award 2010 berlangsung mulai pukul 17.00 Wita hari ini di Taman Budaya NTT. "Berbagai atraksi menarik telah kami siapkan sesuai tema Inovasi Bagi Dunia," kata Winston Rondo, anggota FAN.

Mengenai kehadiran para calon peraih NTT Academia Award 2010, Sekretaris Panitia, Bintang Intan Oematan menjelaskan, mereka yang berasal dari Pulau Sumba dan Alor sudah tiba di Kupang, Jumat (17/12/2010). "Kami ucapkan terima kasih karena mereka telah memenuhi undangan panitia," kata Intan. FAN memberikan penghargaan kepada para tokoh prestasi dalam tiga kategori yakni bidang Sains dan Inovasi Keteknikan, bidang Inovasi Pembangunan dan bidang Humaniora, Sastra dan Inovasi Sosial Budaya.

Salah seorang moderator FAN, Jonatan Lassa memberi apresiasi tinggi terhadap anggota FAN serta berbagai pihak yang telah memberi dukungan demi suksesnya NTT Academia Award 2010. "Terima kasih kepada rekan-rekan anggota FAN yang telah menyumbang," kata Jonatan. 

Diskusi
Sementara itu, menyongsong penyerahan NTT Academia Award 2010, FAN bekerjasama dengan Forum Parlemen NTT menggelar diskusi bertopik Inovasi Bagi Dunia di ruang Redaksi Pos Kupang, Jumat (17/12/2010) petang.

Hadir dalam diskusi tersebut para nominator NTT Academia Award, antara lain P. Robert Ramone, C.Ss.R dari Sumba, Pdt. Sefnat Sailana, S.Th dari Alor dan Noverius H Ngili dan kawan- kawannya dari Geng Motor iMuT.

Hadir pula Ketua Forum Parlemen NTT yang juga anggota DPRD NTT, Drs. Kristo Blasin, Anggota DPRD NTT, John Umbu Deta, Dr. Sonny Libing dan para anggota FAN, antara lain Dr. Hyron Fernandez, Jonatan Lassa, Herman Seran, Tony Kleden, Dion DB Putra, para redaktur dan wartawan Pos Kupang serta undangan lainnya.

Inti diskusi yang dipandu Winston Rondo adalah mendengarkan pengalaman para nominator peraih Academia Award 2010. Mereka membagikan pengalaman nyata dalam medan tugas masing-masing. Ada yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan hidup, sosial budaya serta inovasi di bidang peternakan. "Kami memberi apresiasi tinggi terhadap Forum Academia NTT yang mampu menemukan mutiara-mutiara Flobamora yang memberi inspirasi bagi pembangunan NTT," demikian Ketua Forum Parlemen NTT, Kristo Blasin. (alf)

Pos Kupang 18 Desember 2010 halaman 1

Pemenang asal Timor, Sumba dan Alor

KUPANG, PK -- Para pemenang NTT Academia Award tahun 2010 berasal dari Pulau Timor, Sumba dan Alor. Mereka akan menerima penghargaan dari Forum Academia NTT (FAN) di Taman Budaya NTT, Sabtu (18/12/2010) petang.

Ketua Panitia NTT Academia 2010, Rikardus Wawo mengemukakan hal itu kepada wartawan di Kupang, Kamis (16/12/2010). "Informasi dari tim juri baru sebatas itu. Siapa saja yang menang tahun ini baru diumumkan pada acara penganugerahan NTT Academia Award tanggal 18 Desember mendatang," kata Rikardus Wawo.

Sebagaimana NTT Academia Award tahun sebelumnya, lanjut Rikardus, FAN akan menyerahkan hadiah, tropi serta piagam penghargaan kepada para pemenang. Ia menjelaskan, tahun 2010 ini FAN memberikan penghargaan kepada para tokoh prestasi dalam tiga kategori. Kategori I bidang Sains dan Inovasi Keteknikan, Kategori II bidang Inovasi Pembangunan dan Kategori III bidang Humaniora, Sastra dan Inovasi Sosial Budaya. "Tahun ini kita memilih tema Inovasi Bagi Dunia," ujarnya.


Menurut Rikardus, para kandidat telah dinilai oleh tim juri yang terdiri dari Wilson Therik, Sr. Dr. Susi Susilawati Cicilia Laurentia, PI, Jemris Fointuna, Tony Kleden dan Pius Rengka. 
Sekretaris Panitia, Bintang Intan Oematan menambahkan, para pemenang dari daratan Timor, Sumba dan Alor telah diundang panitia untuk hadir pada acara puncak 18 Desember 2010.

"Mengingat penganugerahan NTT Acaemia Award merupakan sumbangan FAN dalam momentum peringatan HUT ke-52 Propinsi Nusa Tenggara Timur, kami sangat mengharapkan kehadiran Bapak Gubernur NTT pada malam penganugerahan di Taman Budaya NTT, Sabtu 18 Desember 2010," kata Rikardus Wawo.

Dia menambahkan, hari Jumat (17/12/2010) petang, FAN bekerja sama dengan Forum Parlemen NTT akan menggelar diskusi tentang NTT Academia Award 2010 di ruang rapat Redaksi SKH Pos Kupang. "Diskusi mulai pukul 15.00 hingga 18.00 Wita. Kami harapkan teman-teman anggota FAN dapat meluangkan waktu untuk hadir dalam diskusi tersebut," demikian Rikardus Wawo. (osi)

Pos Kupang 17 Desember 2010 halaman 5

FAN Kembali Memberi Penghargaan

* Kepada Sejumlah Tokoh Berprestasi

KUPANG, PK -- Forum Academia Nusa Tenggara Timur (FAN) kembali memberikan penghargaan kepada sejumlah tokoh berprestasi. Penganugerahan NTT Academia Award 2010 akan berlangsung di Kupang 18 Desember 2010 atau dua hari menjelang HUT ke-52 Propinsi Nusa Tenggara Timur.

"Tahun 2010 ini ada 22 kandidat yang diseleksi tim juri. Pemenangnya baru diumumkan saat acara puncak hari Sabtu 18 Desember nanti," kata Ketua Panitia NTT Academia Award 2010, Rikardus Wawo di Kupang, Selasa (14/12/2010). Selain memberikan penghargaan, FAN juga akan menyelenggarakan pameran foto.
Rikardus Wawo yang didampingi Sekretaris Panitia, Bintang Intan Oematan, menjelaskan NTT Academia Award 2010 memberikan penghargaan kepada para tokoh prestasi dalam tiga kategori. Kategori I bidang Sains dan Inovasi Keteknikan, Kategori II bidang Inovasi Pembangunan dan Kategori III bidang Humaniora, Sastra dan Inovasi Sosial Budaya.


Menurut Rikardus Wawo, para kandidat telah dinilai oleh tim juri yang terdiri dari 
Wilson Therik, Sr. Dr. Susi Susilawati Cicilia Laurentia, PI, Jemris Fointuna, Tony Kleden dan Pius Rengka. "Para pemenang tahun ini sudah dikantongi tim juri, tetapi kita belum tahu siapa saja mereka," kata Bintang Intan Oematan.

Menurut salah seorang moderator FAN, Syalomi Natalia, NTT Academia Award adalah penghargaan tahunan yang berlangsung sejak tahun 2007. FAN secara konsisten menyelenggarakannya hingga tahun ini. Dijelaskannya, NTT Academia Award hendak dimaknai sebagai penghargaan prestasi akademik tertinggi yang dicapai para academia NTT. 

"Kriteria penilaian adalah revelansi bagi permasalahan dan pembangunan NTT, daya cipta dan inovasi, tingkat representasi dan pencitraan NTT, tingkat prestasi, visi penerima serta inspirasi dari karya mereka. Tahun ini kita memilih tema spesifik yaitu Inovasi Bagi Dunia," demikian Syalomi Natalia. (osi)


Pemenang Sebelumnya
NTT Academia Award 2007
- Politeknik Negeri Kupang atas dua prestasi nasional yang diraih lewat Kusa Bill Noni Nope M.T (dosen) dan tim mahasiswa dalam lomba inovasi teknologi robotika di ITS, Surabaya.
- Tim pelajar SMUN 2 Kupang (Kristina M Puu Heu, Jefry Tuan, lyan M Sioh dan guru Pembimbing Marselina Tua). Juara nasional penelitian terumbu karang. 

NTT Academia Award 2008
- Siprianus Paulus Dawan (Mahasiswa Undana yang mengembangkan kolektor gerak surya, alat untuk menyuling air laut menjadi air tawar.
- Zet Malelak yang sukses membawa warga Dusun Uel, Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, berswasembada jagung.
- Yovita Meta Bastian yang menduniakan tenun ikat Biboki, Timor Tengah Utara (TTU).

NTT Academia Award 2009
- Suster Dr. Susi Susilawati Laurentia, Pi (Kupang).
- Tiga siswi SMP Terbuka Oelnasi-Amanatun Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), yaitu Viktoria Nabut, Himerti Sela dan Marces Snae.
- Yie Gae Tjie (Maumere)

Pos Kupang, 15 Desember 2010 halaman 5

2080

TIBA-TIBA bumi berguncang. Bangunan roboh terkulai mencium bumi berdebu. Gelombang laut menyapu segala sesuatu yang menghadang. Semua luruh berderai. Jerit tangis membahana. Perasaan remuk redam. Dunia seolah hendak kiamat.

Flores 12 Desember 1992. Terjadi bencana gempa bumi dan tsunami terbesar dalam sejarah pulau seluas 14.231 km2 itu. Bencana itu bahkan yang terbesar dalam sejarah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Gempa berkekuatan 7,5 Skala Richter terjadi pukul 13.29.25,0 Wita. Pusat gempa di Laut Flores pada posisi 8,48 LS-121,93 BT. Guncangan gempa sangat kuat hingga melahirkan kerusakan bangunan dan korban jiwa. Jumlah korban jiwa sebanyak 2.080 orang meninggal dunia dan lebih dari 500 orang luka berat dan ringan. Jumlah bangunan yang roboh atau rusak berat terdiri dari 28.118 rumah, 785 gedung sekolah, 307 rumah ibadah, 493 kantor dan bangunan pertokoan.

Banyak tanah terbelah antara Maumere dan Ende. Hubungan darat antara Maumere- Ende dan Maumere-Larantuka putus total karena jalan tertutup tanah longsor dan bebatuan. Bupati Ende ketika itu, Drs. Johanes Pake Pani sempat tertahan selama beberapa saat di Moni karena jalan putus menuju Ende.

Menurut rekaman BMG, gempa disertai tsunami pada 12 Desember 1992 kemudian diikuti gempa susulan yang masih terpantau hingga tanggal 5 Januari 1993. Hampir sebulan penuh Pulau Flores bergetar oleh guncangan gempa tektonik. Gila!

Selain mengakibatkan kerusakan bangunan dan korban jiwa, getaran gempa juga menimbulkan gelombang tsunami. Gelombang ini menyapu pantai utara Pulau Flores sekitar 2-10 kali sesudah getaran gempa 12 Desember 1992 serta mengakibatkan kerusakan dan korban jiwa. Hampir separuh dari 2.080 korban tewas itu karena tersapu tsunami.

Di Riang Kroko, ujung timur Pulau Flores, ketinggian tsunami mencapai 26 meter. Di Pulau Babi yang terletak di depan Kota Maumere, pantulan gelombang tsunami mencapai tinggi 5 hingga 7 meter sehingga menyapu bersih seluruh rumah dan bangunan umum di pulau mungil itu. Sampai dua pekan pasca gempa mayat-mayat masih bergelimpangan di atas Pulau Babi. Di Wuring, rumah-rumah penduduk roboh tersapu tsunami.

Begitulah secuil gambaran tentang gempa dan tsunami Flores 1992. Hari Minggu 12 Desember 2010 kemarin, peristiwa itu genap 18 tahun. Barangkali tak banyak di antara tuan dan puan yang mengenang secara khusus. Mungkin cuma sedikit di antara kita terutama mereka yang kehilangan anggota keluarga, anak, istri, ayah atau kekasih yang mengingat hari kelabu itu. Mereka mengenang dengan cara sendiri-sendiri. Sekurang-kurangnya dengan berdoa. Memohon keselamatan bagi jiwa orang-orang terkasih yang telah berpulang dalam peristiwa pilu itu.

Gempa dashyat Flores telah berusia 18 tahun. Waktu terasa begitu cepat bergulir bukan? Misalnya kita berpatok pada ramalan para ahli bahwa gempa dashyat akan terulang dalam kurun waktu 25-30 tahun, maka kita tinggal menghitung hari.

Kalau 25 tahun berarti tinggal 7 tahun lagi dari sekarang atau tahun 2017 bakal terjadi peristiwa serupa. Kalau bergerak ke angka 30 tahun, maka tahun 2022 gempa dan tsunami besar bakal melanda Pulau Flores. Mungkin ada yang coba berandai-andai menggunakan angka korban gempa Flores, 2.080. Artinya gempa besar baru terjadi lagi pada tahun 2080. Kalau demikian memang masih lama, kawan! Sebagian dari kita mungkin pada saat itu telah menjadi almarhum atau almarhumah. Jadi tidak perlu pening kepala memikirkan macam-macam. Terserah mereka yang masih hidup pada masa itu. Ini cara berpikir egois.

Selama 18 tahun terakhir patut dipercaya telah terjadi banyak perubahan di perut bumi Flores serta pulau-pulau sekitarnya seperti Adonara, Solor, Lembata, Alor dan Pantar yang masuk dalam kawasan Cincin Api Nusantara.

Lempengan kulit bumi yang patah berderai pada 12 Desember 1992 mungkin telah membentuk calon lokasi patahan baru yang jauh lebih dasyhat. Sudah siapkah kita? Coba tuan dan puan periksa sekarang, apakah masyarakat Flores, Adonara, Solor, Lembata, Alor dan Pantar masih konsisten membangun rumah atau fasilitas umum tahan gempa?

Apakah pemerintah masih aktif membangun kesadaran sekaligus memberi teladan tentang hidup bersama gempa yang sewaktu-waktu bisa membunuh manusia Flobamora secara massal? Mohon maaf. Kita sudah lupa semuanya. Suara tentang itu makin terdengar sayup.

Boleh jadi tuan dan puan bosan karena beta berulang kali menulis soal gempa. Silakan saja bosan atau cuek bebek. Syukur bila resonansi tulisan ini dianggap berguna. Kalau tidak berguna, ya abaikan saja. Begitu saja kok repot sih. He-he- he... Selamat merayakan 18 tahun gempa dan tsunami Flores dengan cara masing- masing. Ya, kalau tuan merasa itu penting.

Beta sendiri percaya bahwa teror gempa ada di beranda depan Flobamora karena kita hidup di tengah Cincin Api, kawasan yang dikelilingi gunung berapi dan lempeng tektonik aktif. NTT hidup bersama gempa setiap detik. Tuan dan puan waspada? Sorry, beta tidak begitu yakin. (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang, Senin 13 Desember 2010 halaman 1

Flores: Keelokan yang Dilupakan

Alam Flores
NAMA Pulau Flores berasal dari bahasa Portugis, ”Copa de Flores” yang berarti Tanjung Bunga. Nama ini secara resmi dipakai sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Flores sendiri punya nama asli Nusa Nipa yang artinya Pulau Ular.

Pulau yang memiliki luas sekitar 14.300 kilometer persegi ini merupakan bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini dibagi menjadi delapan kabupaten. Kabupaten Flores Timur yang beribu kota di Larantuka ada di ujung timur, sementara Kabupaten Manggarai Barat dengan ibu kota Labuan Bajo ada di ujung barat.

Flores memiliki kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Sejumlah gunung berapi aktif yang ada di pulau ini membuat wilayah ini cukup subur untuk lahan pertanian. Gunung Kelimutu di Kabupaten Ende yang memiliki danau kawah tiga warna merupakan keajaiban alam tiada dua.



Hamparan padang sabana di Nagekeo dan Ngada serta lembah pegunungan di Ruteng menghadirkan pemandangan alam yang memesona. Penemuan fosil manusia purba di Liang Bua yang berada di lembah pedalaman Ruteng semakin mengukuhkan Flores sebagai tempat kehidupan sejak ribuan tahun lalu.

Suku bangsa di Flores merupakan perpaduan Melayu, Melanesia, dan Portugis. Perpaduan unik ini menghadirkan keberagaman karya seni dan budaya yang tercermin dari banyaknya tradisi dan upacara adat. Selain itu, salah satu kekayaan budaya Flores terlihat dari beraneka pola tenun ikat yang kini mulai dilirik dunia mode.

Namun, di balik keelokannya, Pulau Flores senantiasa tenggelam dalam ketertinggalan. Lahirnya banyak tokoh cendekiawan dari Flores diharapkan mampu mengangkat harkat dan martabat kampung halaman mereka. Akhirnya, tak akan terdengar lagi kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan karena Flores kaya akan segalanya. (IWAN SETIYAWAN)

Sumber: Kompas

Bepergian di Kupang, Jangan Lupa Kernet

Oleh Frans Sarong

Kawanan mobil lagi-lagi berhenti merangkak maju. Pengemudi mobil paling depan berhenti sebelum memastikan kondisi titian kayu yang harus dilalui. Saat seperti ini, Markus Motu, pegawai bagian Protokol Kabupaten Kupang di Nusa Tenggara Timur, berganti peran sebagai kernet. Ia bergerak cepat memandu kendaraan agar tidak terpeleset atau kandas.

Kejadian itu adalah penggalan kisah perjalanan Bupati Kupang, Ayub Titu Eki bersama rombongannya – termasuk Kompas – ketika menyusuri jaringan jalan yang rata-rata bermedan berat di wilayah Kecamatan Takari hingga Lelogama dan sejumlah kecamatan di Amfoang, akhir Juni lalu.

Perjalanan itu sebenarnya dengan agenda khusus mengikuti ritual panen madu atau hel oni di kabupaten tetangga, Timor Tengah Selatan (TTS), persisnya di Desa Noebesi, Kecamatan Numbena. Ayub Titu Eki adalah pemangku utama hak ulayat yang wilayah adatnya meliputi kawasan Lelogama dan Amfoang (Kupang) hingga Noebesi dan sekitarnya di TTS.


Jaringan jalan yang menghubungkan wilayah kecamatan, apalagi hingga pedesaan di kawasan itu sungguh terabaikan. Sebagian jaringan jalan yang pernah diaspal, kini telah hancur dan berlubang-lubang. Lapisan pasir bahkan sudah terkelupas hingga hanya menyisahkan gundukan batu tajam dan liar. Kondisi jalan seperti itu sudah disaksikan sejak lepas jalan beraspal mulus Lintas Timor di Takari, 72 km timur Kota Kupang. 

Sebagai misal di Oaem, Desa Kauniki, Kecamatan Amfoang Tengah, kendaraan tangguh dan berusia muda sekalipun, harus meraung-raung menerobos tanjakan tajam, hancur dan berlubang lubang. Setiap mobil di belakangnya harus dalam jarak aman. Posisi itu untuk menghindari kemungkinan terjadinya tabrakan atau benturan ketika mobil di depannyia terpaksa mundur setelah gagal menaklukkan tanjakan. 

Kondisi serupa disaksikan ketika memasuki kawasan Hutan Ampupu di Amfoang Selatan. Kendaraan harus merangkak pelan untuk menghindari gundukan batu liar atau lubang dalam yang amat sering menghadang. Perjalanan bahkan terus mendebarkan jantung karena amat sering harus menyusuri jalan bertanjakan tajam melalui pinggang dan punggung bukit bertebing terjal.

Perjalanan bertambah mendebarkan ketika masuk wilayah pedesaan. Lintasan yang dilalui rata-rata masih berupa jalan tanah rintisan awal bahkan masih liar. Kendaraan harus merangkak lebih pelan agar tidak sampai membentur gundukan batu atau terperosok ke dalam lubang atau tebing. 

Ketika menyusuri medan seperti itu terutama antara Fatumonas – Binafun hingga Noebesi, peran Markus Otu sebagai kernet dadakan menjadi sangat membantu. Dalam perjalanan antara Fatumonas hingga ujung Binafun atau perbatasan dengan Desa Noebesi yang berjarak hanya sekitar 8 km saja, Markus Otu setidaknya empat kali harus bergerak cepat memandu antrean mobil ketika harus melintasi titian darurat atau gundukan batu tajam. Panduannya juga tetap dibutuhkan ketika kawanan mobil harus menerobos sejumlah alur sungai yang belum dilengkapi jembatan. 

“Jaringan jalan di kawasan ini belum layak dilalui kendaraan. Kondisi jalan seperti ini cocoknya untuk penggembalaan sapi,” ungkap Jonisius Sae, Anggota DPRD Kabupaten Kupang, yang juga bersama dalam perjalanan itu. 

Gambaran wilayah masih terisolasi sangat tegas di Fatumonas, Binafun dan sejumlah desa lain kawasan Lelogama. Tidak pernah kelihatan armada angkutan pedesaan yang melintas. Puluhan warga penerima beras untuk orang miskin (raskin) di Fatumonas, harus berjalan kaki pergi pulang sejauh kurang lebih 15 km dari kampung asal mereka di Binafun. 

“Kami tidak tahu kapan angkutan umum bisa tembus hingga Fatumonas atau Binafun. Mungkin masih menunggu lama karena jalannya masih buruk. Kami mengharapkan pemerintah secepatnya membangun jalan hingga desa kami,” tutur Erasmus Nai Suni (38) asal Binafun, dengan pikulan dua karung beras (50 kg) raskin di punggungnya.
Janji Direktur Transportasi

Pulau Timor sejak lama memiliki jaringan jalan utama beraspal mulus peninggalan rezim Orde Baru. Namanya Lintas Timor, menghubungkan seluruh kota di Pulau Timor bagian NTT hingga Dili, ibu kota negara baru, Timor Leste. 

Sejauh ini tidak sedikit pengunjung dari luar daerah terkecoh oleh kemulusan Lintas Timor. Bila hanya mengunjungi Kota Kupang dan sejumlah kota kabupaten di Timor seperti Soe (TTS), Kefamenanu (Timor Tengah Utara/TTU) dan Atambua (Belu), maka praktis hanya menyusuri Lintas Timor. Dengan demikian mereka hanya memiliki gambaran bahwa kondisi jalan di Timor mulus, tanpa pembanding kondisi jaringan jalan pendukung yang yang menghubungkan wilayah kecamatan dan pedesaannya yang rata rata berantakan. 

Negara baru Timor Leste selain dengan wilayah bagian timur Pulau Timor, juga memiliki wilayah enclave Ambenu atau Oekusi di tepi utara Kabupaten TTU. Oekusi juga berbatasan langsung dengan Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS. 

Jika Kupang – Dili terhubung melalui Lintas Timor, maka Kupang – Oekusi melalui jaringan jalan yang disebut poros tengah. Total jaraknya sekitar 130 km berawal dari persimpangan Lili di Kecamatan Fatuleu (Kupang) – Tamini – Supra – Lelogama – Fatumnasi hingga Oepoli – perbatasan dengan Oekusi. Jaringan jalan itu selain menyentuh hingga perbatasan negara , juga sekaligus akan membuka isolasi wilayah setidaknya 11 kecamatan, yakni 7 kecamatan di Kabupaten Kupang dan masing masing dua kecamatan di TTS dan TTU. Jaringan jalan yang dilalui rombongan Bupati Titu Eki akhir Juni lalu itu, sebagiannya adalah jalan poros tengah. Kondisi fisik jalan rata rata hancur dan sangat menyulitkan kendaraan berlalu lintas. 

Kata Ayub Titu, jalan desa yang menghubungkan Binafun – Bon Mufi – Bitobe di kawasan itu akan dibenahi melalui dana proyek nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) senilai Rp 5 miliar. Namun bupati yang belum dua tahun menjabat itu mengakui jika sebagian besar wilayah pedesaan kabupatennya masih sangat terisolasi. 

“Dengan daya yang sangat terbatas, saya akan berusaha membenahi transportasi daerah ini hingga wilayah pedesaannya secara perlahan terbebas dari keterisolasian. Saya sadari betul, kehidupan warga sulit berubah secara ekonomis jika kawasannya masih terisolasi,” tuturnya. 

Namun agenda utama yang harus terus diperjuangkan adalah perbaikan jaringan jalan poros tengah yang berstatus jalan negara. Dengan demikian, pembenahannya adalah tanggung jawab pemerintah pusat di Jakarta. 

Seperti dipaparkan Ayub Titu Eki, Direktur Transportasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Trihartono tahun lalu pernah menjanjikan pengaspalan jaringan jalan poros tengah dari Lili hingga Maupoli (130 km). Katanya, pemerintah pusat memberi perhatian serius atas pelaksanaan proyek itu karena akan membuka isolasi tiga wilayah kabupaten (Kupang, TTS dan TTU), sekaligus menghhubunhgkan Kota Kupang – Oekusi (Timor Leste). 

Selain itu, daerah di sekitar jaringan jalan poros tengah merupakan sentra peternakan sapi , madu dan berbagai potensi ekonomi lainnya. Jaringan jalan itu juga akan berperan penting untuk pengawasan dan pengamanan daerah pernatasan yang sejauh ini sering terjebak dalam ketegangan. 

Belum bisa dipastikan kapan janji pejabat Bappenas itu akan terwujud. Namun Bupati Kupang Ayub Titu Eki dan dua rekan bupati lainnya yang wilayahnya dilalui jaringan jalan poros tengah, bersama masyarakat setempat terutama dari kawasan terisolasi , tetap menunggu bahkan menagih janji Direktur Transportasi Bappenas, Bambang Trihartono. *

Sumber: Kompas
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes