TIBA-TIBA bumi berguncang. Bangunan roboh terkulai mencium bumi berdebu. Gelombang laut menyapu segala sesuatu yang menghadang. Semua luruh berderai. Jerit tangis membahana. Perasaan remuk redam. Dunia seolah hendak kiamat.
Flores 12 Desember 1992. Terjadi bencana gempa bumi dan tsunami terbesar dalam sejarah pulau seluas 14.231 km2 itu. Bencana itu bahkan yang terbesar dalam sejarah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Gempa berkekuatan 7,5 Skala Richter terjadi pukul 13.29.25,0 Wita. Pusat gempa di Laut Flores pada posisi 8,48 LS-121,93 BT. Guncangan gempa sangat kuat hingga melahirkan kerusakan bangunan dan korban jiwa. Jumlah korban jiwa sebanyak 2.080 orang meninggal dunia dan lebih dari 500 orang luka berat dan ringan. Jumlah bangunan yang roboh atau rusak berat terdiri dari 28.118 rumah, 785 gedung sekolah, 307 rumah ibadah, 493 kantor dan bangunan pertokoan.
Banyak tanah terbelah antara Maumere dan Ende. Hubungan darat antara Maumere- Ende dan Maumere-Larantuka putus total karena jalan tertutup tanah longsor dan bebatuan. Bupati Ende ketika itu, Drs. Johanes Pake Pani sempat tertahan selama beberapa saat di Moni karena jalan putus menuju Ende.
Menurut rekaman BMG, gempa disertai tsunami pada 12 Desember 1992 kemudian diikuti gempa susulan yang masih terpantau hingga tanggal 5 Januari 1993. Hampir sebulan penuh Pulau Flores bergetar oleh guncangan gempa tektonik. Gila!
Selain mengakibatkan kerusakan bangunan dan korban jiwa, getaran gempa juga menimbulkan gelombang tsunami. Gelombang ini menyapu pantai utara Pulau Flores sekitar 2-10 kali sesudah getaran gempa 12 Desember 1992 serta mengakibatkan kerusakan dan korban jiwa. Hampir separuh dari 2.080 korban tewas itu karena tersapu tsunami.
Di Riang Kroko, ujung timur Pulau Flores, ketinggian tsunami mencapai 26 meter. Di Pulau Babi yang terletak di depan Kota Maumere, pantulan gelombang tsunami mencapai tinggi 5 hingga 7 meter sehingga menyapu bersih seluruh rumah dan bangunan umum di pulau mungil itu. Sampai dua pekan pasca gempa mayat-mayat masih bergelimpangan di atas Pulau Babi. Di Wuring, rumah-rumah penduduk roboh tersapu tsunami.
Begitulah secuil gambaran tentang gempa dan tsunami Flores 1992. Hari Minggu 12 Desember 2010 kemarin, peristiwa itu genap 18 tahun. Barangkali tak banyak di antara tuan dan puan yang mengenang secara khusus. Mungkin cuma sedikit di antara kita terutama mereka yang kehilangan anggota keluarga, anak, istri, ayah atau kekasih yang mengingat hari kelabu itu. Mereka mengenang dengan cara sendiri-sendiri. Sekurang-kurangnya dengan berdoa. Memohon keselamatan bagi jiwa orang-orang terkasih yang telah berpulang dalam peristiwa pilu itu.
Gempa dashyat Flores telah berusia 18 tahun. Waktu terasa begitu cepat bergulir bukan? Misalnya kita berpatok pada ramalan para ahli bahwa gempa dashyat akan terulang dalam kurun waktu 25-30 tahun, maka kita tinggal menghitung hari.
Kalau 25 tahun berarti tinggal 7 tahun lagi dari sekarang atau tahun 2017 bakal terjadi peristiwa serupa. Kalau bergerak ke angka 30 tahun, maka tahun 2022 gempa dan tsunami besar bakal melanda Pulau Flores. Mungkin ada yang coba berandai-andai menggunakan angka korban gempa Flores, 2.080. Artinya gempa besar baru terjadi lagi pada tahun 2080. Kalau demikian memang masih lama, kawan! Sebagian dari kita mungkin pada saat itu telah menjadi almarhum atau almarhumah. Jadi tidak perlu pening kepala memikirkan macam-macam. Terserah mereka yang masih hidup pada masa itu. Ini cara berpikir egois.
Selama 18 tahun terakhir patut dipercaya telah terjadi banyak perubahan di perut bumi Flores serta pulau-pulau sekitarnya seperti Adonara, Solor, Lembata, Alor dan Pantar yang masuk dalam kawasan Cincin Api Nusantara.
Lempengan kulit bumi yang patah berderai pada 12 Desember 1992 mungkin telah membentuk calon lokasi patahan baru yang jauh lebih dasyhat. Sudah siapkah kita? Coba tuan dan puan periksa sekarang, apakah masyarakat Flores, Adonara, Solor, Lembata, Alor dan Pantar masih konsisten membangun rumah atau fasilitas umum tahan gempa?
Apakah pemerintah masih aktif membangun kesadaran sekaligus memberi teladan tentang hidup bersama gempa yang sewaktu-waktu bisa membunuh manusia Flobamora secara massal? Mohon maaf. Kita sudah lupa semuanya. Suara tentang itu makin terdengar sayup.
Boleh jadi tuan dan puan bosan karena beta berulang kali menulis soal gempa. Silakan saja bosan atau cuek bebek. Syukur bila resonansi tulisan ini dianggap berguna. Kalau tidak berguna, ya abaikan saja. Begitu saja kok repot sih. He-he- he... Selamat merayakan 18 tahun gempa dan tsunami Flores dengan cara masing- masing. Ya, kalau tuan merasa itu penting.
Beta sendiri percaya bahwa teror gempa ada di beranda depan Flobamora karena kita hidup di tengah Cincin Api, kawasan yang dikelilingi gunung berapi dan lempeng tektonik aktif. NTT hidup bersama gempa setiap detik. Tuan dan puan waspada? Sorry, beta tidak begitu yakin. (dionbata@yahoo.com)
Pos Kupang, Senin 13 Desember 2010 halaman 1