Kupangku

SEORANG kawan yang baru pertama kali berkunjung ke Kota Kupang beberapa waktu lalu sempat merepotkan beta. Setelah tiga hari berada di ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini dia percaya diri untuk jalan-jalan sendiri dengan sepeda motor. "Bung, ternyata kotamu tidak seberapa luas. Kupang ini sama dengan kota kecamatan di Pulau Jawa," kata Joko, nama kawanku itu.

Wuih...Joko anggap remeh betul kota terbesar di Flobamora. Beta mau protes tapi niat itu kuurungkan karena khawatir dia tersinggung. Tiga jam kemudian tiba-tiba telepon genggamku berdering. Telepon dari Joko. Waktu pukul 20.23 Wita. "Bung, saya tidak tahu berada di daerah mana nih. Tolong kasih petunjuk dulu, saya mau pulang ke Kolhua," katanya dari balik telepon. Beta terbahak. Su rasa!

Mau tahu mengapa dia tersesat? Setelah puas pelesiran sepanjang pantai Kota Kupang mulai dari kawasan kota lama sampai Lasiana, Joko pulang ke perumahan Kolhua. Tiba di kawasan Maulafa perjalanannya terganggu karena jalan ditutup warga di sana yang sedang menggelar suatu acara. Dia diarahkan melewati jalan alternatif. Karena belum hafal jalur jalan, dia berputar-putar saja di kawasan Maulafa-Tofa. Setengah jam berlalu dia mulai cemas lalu menelepon beta.


"Saya sudah tanya orang-orang sini, cuma kurang yakin petunjuk mereka benar karena sejak tadi saya belum temukan jalan ke Kolhua," katanya. "Makanya bung, jangan anggap kecil Kupangku ini. Hehehe..." kataku bercanda. Beta tanya posisi terakhir dia lalu beri panduan tentang jalan menuju puncak bukit Kolhua. Joko selamat!

Begitulah tuan dan puan salah satu ciri khas Kupang. Bagi tuan yang baru pertama kali ke kota ini jangan kaget bila menghadapi masalah seperti Joko. Sudah tradisi Kupang bila ada kenduri orang tutup jalan umum. Pengguna jalan silakan mencari sendiri jalan lain menuju ke tempat tujuan. Cukup sering yang menutup jalan menghardik dengan kata-kata keras jika puan coba bertanya. Kata maaf mahal nian terlontar dari bibir. Misalnya, Maaf pak, ibu, jalan kami tutup karena ada acara. Mohon pengertian. Yang lebih kerap terdengar, Hoe..jangan lewat sini. Lihat ko sonde sudah ada tanda di situ! Ujaran begini tidak cuma remaja tanggung. Orang dewasa pun sama galaknya. Ko Kupang na! Santun bertutur agak langka di sini.

Ciri lain Kupang adalah kesulitan saat hendak buang air besar dan buang air kecil di fasilitas umum seperti pasar dan terminal. Berada di tempat umum semacam itu, tuan dan puan mesti tahan-tahan diri jika mau be'ol alias po'e (baca: buang air besar) sudah memberi sinyal. Harap maklum, kamar WC atau toilet adalah sarana yang terpinggirkan di ruang publik kota ini bahkan termasuk di sejumlah kantor milik pemerintah. Satu-satunya yang lebih terjamin hanyalah toilet di terminal bandar udara.

Ingin melihat bukti? Cobalah tengok ke Terminal Kupang, Terminal Oebobo, Noelbaki, Pasar Naikoten, Pasar Oeba, Pasar Oebobo, Kuanino, Pelabuhan Tenau dan Bolok. Lihat dan rasakan sendiri sensasi toilet di sana. Kita klaim diri sudah maju, dapat Adipura berkali-kali tapi cara berpikir dan mengelola kakus masih di zaman batu. Toilet urusan terbuntut. Bukan ukuran peradaban.

Kalau kesulitan air bersih, lampu jalan lebih kerap padam serta sampah berserakan di mana-mana, bukan lagi sekadar ciri melainkan identik dengan Kupang. Begitu menyatunya dengan kota ini sehingga para wali negeri...eh sorry maksudku yang urus negeri Kupang terkasih mungkin tidak lagi menganggap sebagai tragedi kegagalan negara mengurus kemaslahatan orang banyak.

Ciri Kupang yang lebih unik adalah otak jangka pendek. Contohnya bangun jalan di dalam kota, khususnya di kawasan pengembangan sesuai master plan tata ruang kota. Kultur Kupang rupanya senang yang sempit-sempit. Bangga sekali bangun jalan kecil. Jalan yang dalam tempo sesingkat-singkatnya sudah sesak berdesak, tak sanggup menampung luapan kendaraan bermotor yang terus bertambah. Percayalah tuan dan puan, dalam kurun waktu lima tahun ke depan Kupang akan dilanda kemacetan yang luar biasa. Bukankah sekarang tuan telah merasakannnya di sejumlah ruas jalan protokol saat jam sibuk pergi dan pulang kerja? Mungkin ada yang berpikir kemacetan lalulintas itu bukti kemajuan Kota Kupang.

Bangun jalan sempit itu kurang jelas argumentasinya. Entah untuk alasan hemat anggaran atau sebagian besar dikorupsi, tak tahulah. Cuma tuan tentunya belum lupa, Kupang termasuk kota terkorup di Indonesia menurut survey Transparansi Internasional Indonesia (TII) dua tahun silam. Kupang tersohor karena itu. Wow!

Kadang beta merasa geli sendiri. Soalnya belasan tahun lalu serombongan besar penggede kota ini studi banding ke Australia Utara. Di sana mereka terkagum-kagum dengan cara bangsa Aussie membangun kota. Misalnya bangun jalan, mereka sudah hitung daya tampungnya minimal sampai 50 tahun ke depan. Pembebasan lahan disiapkan untuk jalan dua jalur. Perkara bangun duluan satu jalur, itu disesuaikan dengan kebutuhan. Tiba saatnya bangun dua jalur tidak direpotkan lagi dengan pembebasan lahan atau terpaksa menggusur rumah rakyat.
Studi banding rupanya berakhir dengan kekaguman semata. Tidak mampu diadopsi demi kebaikan kota atau daerah sendiri. Tuan dan puan masih percaya manfaat studi banding oleh pembesar kita? Manfaatnya, ya kagum sesaat lalu lupa!

Satu lagi ciri Kupang yang amat membekas kalbu. Susah amat menjawab pertanyaan tamu atau kolega dari jauh tentang lokasi wisata jika mereka ingin melepas penat setelah menjalani suatu kegiatan di Kota Kupang. Kota ini memiliki bentangan pantai yang indah menawan serta tempat-tempat bersejarah. Ada Lasiana, Nunsui, Tablolong. Ada air terjun Oenesu, Tesbatan. Namun, tuan dan puan tahulah seperti apa wajah lokasi wisata tersebut. Dari tahun ke tahun wajahnya serupa sebangun. Pernah dengar pejabat kita promosikan Lasiana dengan bangga?

Pernah dengar landmark Kota Kupang? Kita hidup di kota tanpa identintas. Kota tanpa ikon kebanggaan. Kota kabur air. Kalau Jakarta punya Monas, Surabaya punya tugu Buaya, Kupangku tak jelas jenis kelaminnya. Aih, sedih sekali ko! 
Sebenarnya litani ciri Kota KASIH masih bisa kuperpanjang lagi. Cuma beta cukupkan sekian dulu. Izinkan beta untuk mengucapkan selamat Ulang Tahun ke-14 Kota Kupang. Buruk-buruk begini kasihku untuk Kupang tak terkira. Kupangku kupangku dengan kasih. Dirgahayu! (dionbata@gmail.com)

Pos Kupang edisi Senin, 26 April 2010 halaman 1

Negara


PUKULAN bertubi-tubi, tendangan berkali-kali serta hantaman batu kayu, parang dan belati entah dari siapa membuat Ahmad Tajudin (26) sesak napas. Hanya dalam hitungan detik Tajudin mati bersimbah darah. Sekujur tubuhnya penuh bilur-bilur luka. Peti kemas menggunung di Tanjung Priok menjadi saksi bisu, Tajudin mati ketika menjalankan tugas atas nama negara.

Hari itu Rabu 14 April 2010, Aida Afriyanti (23) kehilangan sang kekasih. Tajudin dan Aida sudah pesan cincin kawin. Rencana mereka naik pelaminan tepat tanggal 10-10-10 (2010) remuk berderai. "Itu semua tinggal kenangan," kata Aida sambil terisak saat mengantar jenazah kekasihnya menuju liang lahat. Aida-Tajudin sungguh mengalami tragedi kasih tak sampai karena kematian.

Ahmad Tajudin adalah satu dari tiga anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang menjadi korban dalam tragedi penertiban Makam Mbah Priuk di Koja, Jakarta Utara 14 April 2010. Dua rekan Tajudin juga mengalami nasib yang sama, yakni Warsito Soepomo (44) dan Israel Jaya Mangunsong (27).


Tajudin punya ikatan dengan makam itu. Dia sering berziarah dan berdoa di sana sehingga menjelang waktu penggusuran dia kirim SMS minta maaf kepada teman-temannya. "Sebelum kejadian dia kirim SMS meminta maaf bahwa dia akan menggusur bangunan keramat di Tanjung Priok. Dalam hati sebenarnya dia tidak mau," kata Ahmad Alhabsi, salah seorang teman Tajudin.

Hatinya tidak mau tapi Tajudin mesti bersikap profesional. Panggilan tugas sebagai anggota Satpol PP mengikatnya untuk melaksanakan tugas penertiban lahan di makam Makam Mbah Priuk sebagaimana perintah Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Maka bergabunglah dia bersama sekitar 400 lebih anggota Pol PP dari berbagai wilayah di ibukota negara RI tersebut. Mereka mengepung Mbah Priuk.

Negara yang hadir di Priok Rabu pagi itu sungguh berwajah sangar. Wajah berani mati berperang melawan rakyat sendiri! Satuan Pol PP yang sejak lama identik dengan kekerasan sebagai tukang gusur Pedagang Kaki Lima (PKL), tukang grebek lokasi prostitusi, jalur hijau dan lainnya tampil garang dan angkuh. Jumlah mereka begitu besar untuk menertibkan lahan makam tak seberapa luas.

Tak dinyana rakyat memilih cara sangar yang sama. Lu jual, beta beli! Dan, terjadilah perang terbuka negara vs rakyat. Rakyat melawan habis-habisan bersenjatakan batu, kayu, kaleng bekas, pisau, pentung dan parang. Sepanjang hari Rabu itu kita menyaksikan lewat layar televisi perang memalukan. Pol PP dan Polisi kejar-kejaran dengan massa. Mereka bakupukul, bakulempar, bakutendang sampai bakubunuh. Situasi tak terkendali selama berjam-jam. Bayangkan tuan dan tuan, peristiwa itu berlangsung di ibu kota republik tercinta. Disaksikan dengan perasaan geli komunitas masyarakat internasional.

Massa membumihanguskan sekitar 50 unit mobil dan truk milik Pol PP dan Polisi. Ekspresi kebencian binal bergulir. Asap hitam membubung tinggi, memperkaya langit Jakarta yang polutan. Simbol-simbol negara gosong seperti pantat priuk. Yang tersisa hanyalah rangka besi menghitam. Wajah Indonesia Raya sontak kembali ke zaman barbar.

Negara adalah musuh, begitulah yang terekspresi dari tragedi Mbah Priok yang mencabut tiga nyawa serta melukai 146 orang. Ketika rakyat melawan simbol negara atau simbol pemerintah secara spartan, kewibawaan negara sungguh luruh berderai. Mosaik keruntuhan itu utuh menyembul di Priok Rabu lalu. Boleh jadi inilah akumulasi kekecewaan selama bertahun-tahun. Inilah puncak kemarahan rakyat yang terlalu lama diperdayai negara. Sudah terlalu menderita dilinggis pemerintahan negeri.

Negara berdagang dengan rakyat, negara memperkosa hak rakyat, negara memusuhi rakyat bahkan tega membunuh rakyat atas nama kepentingan umum bukan isapan jempol. Kiranya benar kata banyak orang bahwa dalam hal mengelola negara dan pemerintahan kita seperti menari poco-poco. Maju selangkah, mundur dua langkah! Indonesia akan memasuki usia 65 tahun. Selama itu kita tidak pernah bergeser dari titik nol. Ironis memang!

Jujurlah tuan dan puan. Bukankah tuan lelah menyaksikan negara tidak sanggup menyelesaikan persoalan dengan cara humanis-inklusif? Banyak urusan gawat menyentuh hak asasi rakyat justru tak sanggup dikelola negara ini dengan benar. Geram betul menatap negara tidak tegas terhadap mereka yang menghujat dan menganiaya kelompok umat agama tertentu. Negara bersikap banci menanggapi aksi pembakaran rumah ibadah yang kerap terjadi atau pengusiran secara paksa sesama saudara yang hendak menjalani ibadah agamanya.

Hati kita perih menyaksikan negara cuek bebek alias masa bodoh menghadapi rakyat mati hari demi hari akibat gizi buruk dan kelaparan. Ketika anomali iklim meradang akibat kerakusan manusia merusak alam, negara pun diam-diam saja. Banjir bandang urusan rakyat. Tanah longsor peduli amat. Musim kering berkepanjangan, salahkan alam! Bencana datang, negara bergaya ala petugas pemadam kebakaran.

Negara seolah merasa bukan perkara besar menghadapi gempuran narkoba dan epidemi HIV/AIDS yang membunuh anak bangsa hampir setiap menit. Negara mati angin dan tebang pilih menindak koruptor yang kian berani beraksi menggarong duit. Ketika Tenaga Kerja Wanita (TKW) kita digerayangi, diperkosa bahkan dibunuh secara keji saat mencari sesuap nasi di negeri orang, negara terlihat tak bergigi, sontoloyo dan bodoh. Hidup di negara yang lemah dan rakyat yang gampang marah, kira-kira begitulah wajah kita. Berbuat sesuatu atau memilih diam? Silakan pilih tuan dan puan. (dionbata@gmail.com)

Pos Kupang edisi Senin, 19 April 2010 halaman 1

Uskup Ruteng: Tumbuhkan Persaudaraan Sejati

RUTENG, PK -- Uskup Dioses Ruteng, Mgr. Dr. Hubertus Leteng, Pr, mengatakan, persaudaraan sejati mesti tumbuh dan berkembang menjadi bagian dari kehidupan bersama.

Ajakan itu disampaikan Mgr. Dr. Hubertus Leteng, Pr, dalam sambutannya usai menerima tahbisan Uskup Dioses Ruteng di Lapangan Motang Rua-Ruteng, Rabu (14/4/2001). Mgr. Hubert Leteng, Pr, menerima sakramen tahbisan uskup dari Uskup Maumere, Mgr. Gerulfus C Pareira, SVD, didampingi Uskup Agung Ende, Mgr. Vincentius Sensi Potokota, Pr, dan Uskup Sorong, Mgr. Hilarion Datus Lega, Pr.

Ajakan Uskup Hubert berangkat dari moto tahbisannya; "Kamu semua adalah saudara.". Moto tahbisan ini merupakan inspirasi utama dalam seluruh perjalanan kegembalaan di Dioses Ruteng.

"Sebagai saudara hendaknya kita menjalin kasih dan persaudaraan, cinta dan pelayanan yang tulus. Sebab, pelayanan pastoral tidak bisa mengandalkan diri sendiri, tetapi melalui kerja sama dalam semangat persaudaraan yang tulus," kata Uskup Hubert.
Uskup Hubert mengatakan, seluruh umat Katolik di Manggarai senantiasa merayakan dan menghayati ekaristi kudus. Sebab, ekaristi merupakan tanda dan sumber keselamatan bagi umat manusia.

Pada saat itu Uskup Hubert membaca dan mengumumkan komposisi Dewan Keuskupan Ruteng. Vikjen Romo Laurensius Sopang, Pr, Sekjen Romo Maksi Haber, Pr, Ekonom Romo Albert Ngamal, Pr, Vikep Manggarai Tengah, Romo Geradus J, Pr, Vikep Manggarai Timur, Romo Beny Jaya, Pr, dan Vikep Manggarai Barat, Romo Benediktus Bensi, Pr.

Sementara Uskup Sorong, Mgr. Hilarion Datus Lega, Pr, dalam kotbahnya menegaskan, Mgr. Hubertus Leteng, Pr adalah pribadi yang sungguh menghayati kehidupan imamatnya melalui cara hidup dan tanggung jawab terhadap tugas-tugas yang diberikan.

Mengacu pada teks bacaan Yes. 61:1-3a, Rom 12: 9-21 dan Matius 23:1-12, Mgr. Datus Lega menegaskan, persaudaraan bisa tumbuh dan berkembang apabila ada kesadaran dan pencerahan hati umat manusia. Hati manusia yang senantiasa menyadari hidup dan kebersamaan.

Pantauan Pos Kupang, barisan konselebrasi berarak dari kantor Bupati Manggarai menuju Lapangan Motang Rua. Ada 33 uskup, Duta Vatikan, dan ratusan imam. Iringan koor dan tarian yang meriah menambah khusuk dan hikmatnya proses penahbisan Mgr. Hubert Leteng, Pr.

Setelah liturgi pembukaan dilanjutkan penahbisan Uskup Ruteng, Mgr. Hubertus Leteng, Pr yang diawali dengan penunjukan surat pengangkatan Mgr. Hubert Leteng, oleh tahta suci. Duta Vatikan, Mgr. Leopoldo Girreli, memperlihatkan surat pengangkatan kepada seluruh umat. Setelah menerima tahbisan Mgr. Hubert Leteng, memberi berkat apostolik kepada seluruh umat yang hadir.

Hadir Dirjen Bimas Katolik, Drs. Stef Agus, Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, para bupati, mantan bupati Manggarai, jajaran Muspida Manggarai, tokoh agama, umat dan kaum beriman dari agama lain. Setelah selesai liturgi penahbisan dan ekaristi dilanjutkan makan bersama, diisi dengan penyerahan kenang-kenangan dan beberapa tarian dari elemen agama lain. (lyn)

Pos Kupang, Kamis 15 April 2010 halaman 1

Mantan Bupati Ende Ditahan

KUPANG, PK--Mantan Bupati Ende, Drs. Paulinus Domi, ditahan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Ende. Ia ditahan karena terlibat dalam kasus korupsi dana APBD Kabupaten Ende tahun anggaran 2005 dan 2008 sebesar Rp 3,5 miliar.

Penahanan terhadap Paulinus Domi berlangsung di Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT, Rabu (14/4/2010). Paulinus Domi ditahan setelah penyidik Kejati NTT melimpahan tahap kedua berkas penyidikan kasus korupsi dana APBD Kabupaten Ende sebesar Rp 3,5 miliar dengan tersangka Drs. Paulinus Domi kepada Kepala Kejaksaan Negeri (kajari) Ende, M. Silalahi, S.H.

Penyidik juga menyerahkan berkas pemeriksaan, barang bukti seperti dokumen kasus korupsi dana APBD Kabupaten Ende yang melibatkan tersangka, Drs. Paulinus Domi.
Paulinus Domi, yang kini menjadi anggota DPRD NTT dari Partai Golkar, memenuhi pangilan penyidik Kejati NTT pukul 09.00 Wita. Ia datang bersama kuasa hukumnya, Aloysius Balun, S.H, Cs. Ikut mendampingi Paulinus Domi, istrinya Ny. Sisilia Sule Domi, dan beberapa anggota keluarganya.

Penahanan terhadap Paulinus Domi, dilakukan Kejati NTT bersama Kejari Ende menuju Lembaga Pemasyarakatan (LP) Penfui-Kupang pukul 13.00 Wita. Sebelum dibawa ke LP Penfui, Paulinus Domo dan kuasa hukumnya dipanggil penyidik ke dalam ruang pemeriksaan tindak pidana khusus Kejati NTT, untuk mendapat penjelasan tentang proses penahanan.

Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati) NTT, Suhardi, S,H, MA, menegaskan, penahanan terhadap mantan Bupati Ende, Drs. Paulinus Domi, oleh Kejari Ende karena lokasi kasus korupsi dana APBD Kabupaten Ende sebesar Rp 3,5 miliar terjadi di Kabupaten Ende.

"Berdasarkan hasil penyidikan oleh penyidik Kejati NTT, tersangka terlibat korupsi. Penahanan terhadap tersangka dilakukan pada saat penuntutan sehingga tidak perlu izin penahanan dari Mendagri. Ini sudah menjadi kewenangan penyidik kejaksaan untuk menahan," kata Suhardi, didampingi Kejari Ende M. Silalahi, dan Pelaksana Harian (Plh) Aspidus Kejaksaan Tinggi NTT, Ahmad Yani, S,H.

Suhardi menjelaskan, Kejati NTT sudah meminta Kejari Ende segera melimpahkan berkas tersangka Paulinus Domi kepada Pengadilan Negeri (PN) Kupang dalam dua minggu, agar disidangkan di PN Kupang. "Kita ingin proses hukum kasus korupsi dana APBD Ende segera tuntas sehingga ada kepastian hukum," ujar Suhardi.

Dia mengatakan, penahanan terhadap tersangka Paulinus Domi, selama 20 hari terhitung tanggal 14 April hingga 3 Mei 2010.

Kuasa hukum Paulinus Domi, Aloysius Balun, S,H, yang dikonfirmasi wartawan di Kejati NTT menjelaskan, penahanan terhadap Paulinus Domi merupakan kewenangan kejaksaan sebagai penyidik

Aloysius Balun mengatakan, sesuai pengakuan dari Paulinus Domi, bahwa ia tidak tahu mengapa dijadikan tersangka dan dituduh melakukan korupsi dana APBD Ende. "Sekalipun demikian, Pak Paulinus Domi menginginkan proses persidangan di PN segera dilakukan sehingga fakta kebenaran bisa terungkap, karena ia merasa tidak terlibat dalam kasus itu. Kalau dituduh melakukan korupsi, maka kita akan buktikan di pengadilan," tegas Balun.

Sebelumnya diberitakan, dalam kasus korupsi dana APBD Ende senilai Rp 3,5 miliar itu telah ditahan dua tersangka lainya, yaitu pengusaha Samuel Matutina dan mantan Sekda Ende, Drs. Iskandfar Mberu. Kedua tersangkan sudah mulai menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Kupang, Rabu kemarin. (ben)

"Bapak Harus Kuat"

ISAK tangis Ny. Sisilia Sule Domi, istri Paulinus Domi, dan anaknya Diana, serta beberapa anggota keluarga mengiringi langkah Drs. Paulinus Domi, mantan Bupati Ende menuju mobil tahanan Kejati NTT. Mobil itulah yang membawa Paulinus Domi menuju Lembaga Pemasyarakatan (LP) Penfui Kupang, Rabu (14/4/2010).

"Bapak harus kuat. Bapak harus kuat. Kita terima cobaan ini supaya orang tahu bapak memang sesunguhnya tidak bersalah. Tidak apa-apa kita ikut saja," kata Ny. Sisilia Sule Domi.

Ia pun memeluk erat suaminya dari ruangan penyidikan Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejati NTT menuju mobil kejaksaan. "Bapak harus kuat. Bapak tunggu dulu," teriak Diana, sambil melepaskan pelukan dan ciuman pada pipi sang ayah.
Sebelum dipanggil ke ruangan penyidikan, Paulinus Domi yang mengenakan kemeja putih bergaris, terlihat berbicara serius dengan beberapa pengacaranya.

Aloysius Balun, S,H, pengacaranya sempat meminta Ny. Sisilia S Domi, masuk ke dalam ruangan penyidikan. Beberapa saat kemudian, Paulinus Domi yang dipeluk erat istrinya keluar dari ruangan penyidikan menuju mobil kejaksaan.

"Tidak apa-apa, kita akan buktikan nanti. Saya tidak bersalah," kata Paulinus Domi. Ucaannya itu seakan mau menguatkan hati sang istri dan anaknya yang terus menangis dan merangkulnya penuh hangat. Sekalipun hati kecilnya berdetak keras bahwa tidak bersalah, namun sepertinya Drs. Paulinus Domi, yang selama 10 tahun menjadi Bupati Ende, tak mampu lagi menahan rasa sakit hatinya.

Suaranya pun bergetar. Tak terasa deraian air mata di balik kaca matanya yang bening menetes deras. Rasa itu sepertinya dirasakan juga istrinya Sisilia dan anaknya yang langsung memeluknya erat.

Paulinus Domi mengaku sudah siap. Begitu pula istri, anak dan cucunya, sudah siap menghadapi proses hukum kasus tersebut, karena Paulinus Domi merasa tidak melakukan tindak pidana korupsi dana APBD Kabupaten Ende seperti yang dituduhkan. "Semua kami sudah siap," kata Ny. Sisilia S Domi.

Sebelum masuk ke dalam mobil yang membawahnya menuju LP Penfui Kupang bersama penyidik Kejati NTT, Oscar Douglas, S,H, tersangka Paulinus Domi masih melayani pertanyaan wartawan tentang proses hukum yang dialaminya sudah adil. "Saya tidak mengatakan proses ini tidak adil. Kita tunggu di PN saja," tandasnya menjawab pertanyaan wartawan.

Paulinus Domi yang ditanya Pos Kupang tentang siapa lagi yang bertangung jawab dalam kasus korupsi dana Rp 3,5 miliiar itu, ia enggan berkomentar. "Ingat, tunggu proses. Kita akan tunggu di pengadilan. Semuanya akan terungkap di pengadilan," katanya.

"Saya tidak pernah melakukan kebijakan itu. Sebagai seorang bupati, saya tidak bodoh dalam mengambil kebijakan yang salah. Saya minta wartawan buat berita yang seimbang dan jangan memojokan saya," tandas Paulinus Domi, sambil menuju mobil Kejati NTT menuju LP Penfui Kupang tempatnya menjalani penahanan selama 20 hari. (benny jahang)

Pos Kupang edisi Kamis, 15 April 2010 halaman 1

Brengsek


BCA- Transfer BERHASIL 31/03 18:50:38. No Urut 0400. Rp 100,000,000,- Ref 1221008899. Berita: Titipan dari Gayus Tambunan, Jangan boros-boros Ya! Isi pesan singkat berantai dari seorang teman itu sungguh membuatku terbahak.

Gayus Tambunan yang namanya menjulang dalam dua pekan terakhir rupanya telah menginspirasi beberapa orang untuk mengekspresikan kegundahan mereka sebagai anak "bangsa juara korupsi" ini secara jenaka. Boleh jadi tuan dan puan pernah menerima pesan singkat atau SMS serupa.

Ya, siapa tak kenal Gayus Tambunan? Dia pegawai negeri golongan III A, masa kerja kurang dari sepuluh tahun. Punya rumah mewah dan uang di sejumlah rekening sekitar Rp 28 miliar. Pegawai pajak itu sempat jalan-jalan ke Singapura bersama keluarga saat kasusnya mengemuka dan kini menjalani proses hukum di Jakarta berkaitan dengan kasus dugaan penggelapan pajak dan makelar kasus.


Selain Gayus Tambunan, muncul lagi Bahasyim Assifie. Menurut laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), mantan kepala salah satu kantor pajak di wilayah DKI Jakarta ini memiliki rekening sekitar Rp 70 miliar. Dana sebesar itu diduga tak wajar bila dikaitkan dengan pekerjaannya.

Benarlah bila banyak orang mengatakan, kasus Gayus dan Bahasyim hanyalah puncak dari gunung es yang lebih besar, yang tersembunyi di bawah permukaan samudera korupsi Indonesia. Kasus-kasus itu merupakan cermin betapa rapuhnya kelembagaan birokrasi perpajakan terhadap penggelapan uang negara. Sangat mungkin kita telah ditipu dan dikibuli selama bertahun-tahun.

Terima kasih Gayus Tambunan. Terima kasih Susno Duaji. Tuan berdua telah membuka mata Indonesia lebar-lebar. Indonesia yang riang berkubang dengan korupsi. Indonesia yang keropos remuk karena pengkhiatan tiada henti terhadap nilai kejujuran serta tanggung jawab sosial. Fenomena makelar kasus alias markus, fakta tentang harta PNS yang tak wajar membuktikan untuk kesekian kalinya dalam sejarah peradaban umat manusia bahwa uang hanya mengenal kata kurang.

Pemberian remunerasi kepada pegawai pajak yang jumlahnya berlipat ganda bila dibandingkan dengan PNS instansi lain terbukti tidak cukup memuaskan dahaga kerakusan. Dan, Gayus tidak sendirian! Masih ada ribuan bahkan jutaan Gayus lain di sekitar kita. Tentunya termasuk Gayus Flobamora.Gayus-Gayus yang beraksi dengan cara masing-masing di kampung besar Nusa Tenggara Timur.

Di kampung tercinta ini BAP kasus dugaan korupsi selalu berulang tahun. Bolak- balik dari tangan jaksa dan polisi lalu hilang bersama sang waktu! Siapa bilang Flobamora bebas dari makelar kasus alias markus? Markus di sini tak kalah cerdik seperti markus Jakarta, Bandung, Medan atau Surabaya. Markus di beranda Flobamora bergentayangan di mana-mana. Kasus pembunuhan Paulus Usnaat di Timor Tengah Utara jalan-jalan di tempat. Itu sekadar misal.

Hebatnya lagi, mereka amat suka berapologi. Sangat enteng menghibur diri dengan menyebut itu perbuatan oknum. Dengan menyebut oknum seolah-olah kasus itu hanya segelintir. Cuma perkara kecil di antara segudang prestasi. Wah?

Padahal aparat birokrasi mana lagi di negeri ini yang seratus persen dipercayai publik? Polisi, jaksa, hakim, aparat pemerintah pusat dan daerah? Fenomena markus yang secara telanjang menghiasi langit Ibu Pertiwi hari-hari ini menunjukkan, mereka yang terlibat korupsi ternyata ada di hampir seluruh lembaga penegak hukum dan keadilan. Mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga peradilan.

Praktik korupsi yang semakin merajalela tak pelak lagi telah merusak institusi birokrasi pemerintahan dan penegak hukum. Yang paling memilukan adalah hilangnya kepercayaan publik kepada aparat birokrasi dan penegak hukum. Padahal siapa pun tahu, kepercayaan merupakan modal sosial yang utama dalam membangun negara dan pemerintahan yang kredibel dan akuntabel.

Sungguh gila Indonesia! Kemarahan publik tak tertahankan lagi. Reformasi telah satu dasawarsa bergulir. Korupsi malah menggurita. Korupsi tersaji dengan genit dari hari ke hari. Bahkan pelakunya makin berani unjuk gigi. Penegakan hukum dalam kasus korupsi selama ini rupanya tidak memberi efek jera.

Hingga Sabtu 10 April 2010, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum telah menerima sekitar 600 laporan pengaduan dugaan praktik mafia hukum dari masyarakat di seluruh Indonesia. Bayangkan tuan dan puan. Dalam waktu 100 hari kerja saja, Satgas telah menerima pengaduan sedemikian banyak. Rata-rata 200 kasus perbulan. Besar harapan Satgas yang dibentuk Presiden RI dengan masa tugas selama dua tahun bisa mengikis epidemi korupsi di negeri ini. Korupsi sistemik di antara orang-orang di satu instansi tertentu atau antar-instansi.

Apakah mungkin? Teringat beta akan sinisme WS Rendra ketika si Burung Merak bersama Bengkel Teaternya mementaskan lakon Buku Harian Seorang Penipu di panggung Gedung Kesenian Jakarta akhir tahun 1980-an. Buku Harian Seorang Penipu bercerita tentang lelaki bujang, tak punya pekerjaan tetap tapi ingin kaya mendadak dengan menikahi janda cantik, kaya dan penganut kebatinan fanatik. Tujuan si bujang dan janda dicapai dengan jalan menipu. Saling menipu.

Melalui lakon yang disadur dari sandiwara karya Alexander Ostrovsky, WS Rendra menunjuk wajah Indonesia yang suka tipu-menipu. Dalam kata-kata Rendra, kebiasaan tipu-menipu merupakan ciri masyarakat brengsek! Dan, kebrengsekan mencerminkan bangsa yang kehilangan hati nurani.

Lalu bagaimana mengurangi kebrengsekan yang bikin sesak dada ini? Kini ada kecenderungan kuat, publik mendambakan hukuman seberat mungkin bagi koruptor. Mulai dari hukuman mati seperti diusul Menteri Hukum, Patrialis Akbar, hukuman seumur hidup, penyitaan seluruh harta sampai sanksi sosial, misalnya dikeluarkan dari masyarakat adat, pengucilan sosial dan lainnya.

Demi shock terapi baik juga mengadopsi cara China. Hukum mati koruptor di lapangan terbuka. Jutaan rakyat melihat dengan mata kepala sendiri si penggarong duit negara mati pelan-pelan di tiang gantungan. Ihh...ngeri kawan! (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang, Senin 12 April 2010 halaman 1

Promoting Secularism, Why Not?


By Dion DB Putra

A two week training in Gummersbach Germany from 7-19 March 2010 left a very deep impression in me. And it indeed brings lots of advantages. It changes my viewpoints on Liberalism, secularism and religiosity, meaning that I now have a better and more holistic concept than I did previously.

I have new knowledge and privilege experiences for my work as a journalist in Kupang, East Tenggara Province, Indonesia.

Lectures, presentations, interviews, debate, group discussions and all the different opinions were obviously pictured during the leadership training on Liberalism and Religiosity in Gummersbach. There were 24 participants from 21 different countries and continents (Asia, Africa, America, South America and Europe) discussing intensively about nine topics during the International Academy for Leadership in Gummersbach.


The seminar covered the following topics:

- A look at religion and its alternatives
- A liberal perspective on religion
- Contemporary issues in the field of religion and politics
- Religion, rule of law and human rights
- Religion and women's emancipation
- The concept and meaning of secularism
- Religion and the state in Germany
- Liberalism, the secular state and religion
- Separating state and religion and/or forging a new relationship between state and religion.

Friedrich Naumann Foundation was absolutely right to have chosen the nine topics for the training. I won't be discussing each of the whole nine topics but only choose several that I think the most impressive to my opinion.

The first is about Liberalism, religion and the secularism. Since the era of John Locke (1632-1704) and Immanuel Kant (1724-1804) the issue has long been argued as a perception and a way of life in a nation building. The theme is not only relevant to Indonesia now but also worth discussing from time to time.

Secularism, for instance, provides a clear separation between the state and religion. Yet, the state fully guaranties and strongly supports the freedom of religion. Secularism is one the basic elements of liberal democracy and a pre request for human rights development.

A case study in Turkey and India, the countries with Moslem and Hindus majority, was taken as an example in depth discussion on secularism . Turkey, for example, is questioned whether as a secular nation promoted by Mustafa Kemal Ataturk since the early 1920s can be the best model for secularism implementation or not. According to Dr, Hasan Yucel Basdemir, a participant from Turkey, most of turkey people agree upon the implementation of secularism in the country but there are still some arguments over the case. He gave an example of how people argue about the prohibition of Jilbab for female Moslem students in university. There are pros and cons even among the Moslems in Turkey.

Still according to Basdemir, who is a lecturer in Divinity Faculty Hit it University Corum Turkey, a secular nation should guaranty the freedom of religious worship for its citizens. That indicates that the state should not interfere the freedom of its people to do any kind of religious ways, including the use of religious symbols such as jilbab, or cross necklace, etc. This individual right and freedom should be guarantied by the state and become the most important part in secularism implementation in any country in the world including Indonesia.

Another example of a secular country is Germany. Dr. Stefan Melnik, the main facilitator of the training explained that German Federal does not fully prohibit the students of elementary and junior schools to wear any religious symbols. The state allows them to wear religious symbols in private schools but not in public schools. The reason is because public schools are funded by the tax of every citizen whose religion is various from one another. That's why the use of religious symbols is not allowed in public schools.

When reflecting on Indonesia's current situation, the discussion about secularism proved to be relevant and it enriches my perception about the role of a democratic country. In Indonesia there has long been a desire to undergo certain dogma of a certain religion. The majority religion has been trying to dominate and to impose their policy to the state. If that situation is truly realized, that will really put individual right and freedom on hold.

I think, a secular country is an option worth struggling by a plural country like Indonesia. In secularism spirit human decision and actions in political arena should be based more on logical reasons than religious beliefs and its influences. Each decision should be based on public interest, rule of law and the highest respect of human rights.

We were discussing a lot of things related to secularism, through working group or panel discussion including religion in our world, its advantages and alternatives, Can it work out? We also were discussing about secular religion; Marxism, Fasism as a religion, whether or not a religion live side by side with another religion like agnostistism and atheist and whether several religions are superior than others or not.

The majority religion being a fact in every participant's country apparently became important factor when discussing about secularism, religiosity and liberalism. Various professional background of the participants such as politician, journalist, university student, lecturer, NGO activist, religious leader, and researcher has made the discussions went very well and it enriched the experience of each participant.

Asian countries sent more participants in the training, ten participants. Indonesia and Palestine sent two participants each. Jordan, India, Pakistan, Tibet, Malaysia and Kyrgystan sent one participant each. Europe sent eight participants: two from Turkey and Israel, Russia, Ukraina, Estonia, Germany and Slovakia sent a participant each. Africa sent three participants, from Ghana, Maroco and Egypt while America sent three participants, they are from Argentine, Brazil and Mexico.


Thumbs up for Dr.Stefan Melnik from England and Gulmina Bilal from Pakistan. Director of Theodor Heuss Akademie, Dr. Birgit Lamm has chosen a very competent and professional facilitator. Two of them has lead the whole discussion focused and fun although the perspectives of each participant sometimes was very different from one another.

The second topic that impressed me much is the discussion about religiosity. The basic question during the discussion was how to face the exclusiveness of religion, tolerance and fundamentalism. Does religion has a guidance to face this problem or it has to find the solution out of that? How tolerance is a religion and what's the meaning of the right to express a religious belief of a human being?

Tolerance still leaves many problems in many countries in Asia, Africa, Europe and Latin America. The participants from the four continents expressed the same worry. " In our Christian majority country, social conflicts are still a major problem up to the present, " said Isaac Obeng Aboagye from Ghana. Isaac gave an example on how the Charismatic Christian perceived the Protestants and Catholics as `other People'. Worse yet, its attitude toward the non- Christians. It happens everywhere that one religion tries to dominate the others. The point is that not only the domination of majority over the minority but also each religion tends to feel superior than the others.

The same situation also happens in Indonesia. It's very hard to create tolerance in this country. It's a huge problem in Indonesia. In the discussion I mentioned a survey by LSI in 2006 as a mirror. The survey showed that Indonesians seemed to be tolerant with social life such as living side by side peacefully with people from different religions but the tolerance become less when it comes to theology and political area. Let's take an example of the problem aroused when building a place of worship. Indonesia's experience shows that religion is used as a political means to achieve its goal.

It's really not easy to transform tolerance to the diversity of Indonesian people. The state also many times fails to take a firm and clear decision in upholding the principle of equality and justice.

Discussion Panel finally reached a conclusion. Tolerance is not a one day work because it involves values that are deeply rooted in society. It needs a capital to develop tolerance as wisdom in plural society. First, tolerance needs an intensive social interaction. Second, there should be a trust among different groups and beliefs.

Other than intensive dialogue, education plays a great role. Since their early days children should be taught to recognize the difference as an important chance to create social relationship. The curriculum at schools needs to be reviewed.

Third, mass media both printed and electronic even the online should promote tolerance. It's a never ending promotion. This conclusion is closely related with my work as a journalist. In Gummersbach, a small and peaceful town I came to realize that I hadn't been sensitive to this issue all these years. Media tends to exploit the difference among religions and its conflicts rather than to promote the similarities of its values such as love and peace.

The training has enlightened my viewpoints. It's my duty to promote the spirit of tolerance in my editorial policy in Pos Kupang Daily. It's a need of my people in East Nusa Tenggara province. This is the biggest advantage I learned from Gummerbach. The majority of people in NTT are Christians, Protestants and Catholics but the tolerance between the two religions and among other religions like Moslems, Hindus, and Budhist needs to be cherished.

The discussion about Liberalism, whether it is an ideology, a belief or a concept of thought and whether the misconceptions among religious beliefs and the liberals is considered a problem, whether the gap will turn even wider were thoroughly discussed in working group. The first group discussed about why the religious leaders and traditional groups tend to view liberalism as an enemy and how the liberals should react to this issue.

Another working group discussed about liberalism as a representative of west imperialism values and whether it is a moral degradation, what the liberals justification about the issue, the possibility of a liberal being a part of religious group, why it is possible and why not. At the end of the discussion I came to think that liberalism is not a value from the west but it is a value rooted in every community in the world because it flourishes the values of humanism which are universally acceptable.

There were also some lectures from several resources followed by a session of dialogue with the participants. The lectures cover the following topics:

  1. Panel on the issue of religion at the municipal level in Bonn. Discussion with Achim Kansy, City Councillor (FDP) and Coleta Manemann, Municipal Commissioner for Integration.
  2. Liberating women: are anti-discrimination laws enough or what else do we need? Lecture by Dr.Nadia Butt, journalist and university lecturer, former FNF scholarship holder.
  3. Liberalism and the relationship between Church and State in Germany - a historical overview by Dr. Karl-Heinz Hense.
  4. Isolation or constructive engagement? What kind of relationship between religion and the state does the FDP want today? Presentation by Pascal Kober MdB, Member of the Group "Christian in the FPD" and Lutheran Pastor. Venue: Hotel Fortuna Reutlingen.
  5. Religion in schools: The special case of religious education in German educational system from a liberal perspective. Discussion with Dr. Otto Bertermann (MdL) and other members of the FDP Parlimentary group. Venue: Bayerischer Landtag, Munich.
  6. Religion as a factor in international conflicts. Discussion with Prof. Dr. Mariano Barbato, Department of International Politics at the University of Passau. Venue: Kolpinghaus Munchen Zentral.

Besides the discussions and lectures, we also did a three day city tour to Munich. It was very fun.
After a visit to Munich the last session was a closing discussion and sharing opinions on how to promote the idea of secularism, what can be done individually and and how we confront the possible obstacles. The session closed with some agreements and disagreements and a deep thought of the whole training such as the material of the training, the resources, the facilitators and etc. Taking into account the importance of the topic I suggested that The Theodor Heuss Akademie in cooperation with Friedrich Naumann can hold the same training in the following years because such topics are important for the whole world especially for developing country like Indonesia. Through series of discussions with stakeholders it is expected to find a solution to many problems faced by many countries in dealing with the relationship between the state and religion.

My great thank goes to the facilitators Mr. Stefan Melnik dan Ms. Gulmina Bilal who had lead a well and fun discussion during the training. Also to the director of Theodor Heuss Akademie, Dr. Birgit Lamm, seminar organisation Denise Kopmann and her assistant Bjorn Kant.

I thank the chief of Friedrich Naumann Stiftung (FNS) Jakarta, Mr. Rainer Heufers who has given me an opportunity to join the training. I am so grateful to have a chance to go to Germany.


As the meeting place for 24 participants from 21countries, the training has given all the participants new knowledge and experiences and it has made it possible to exchange ideas among the participants. Better perspectives are also achieved throughout the sessions about many different topics. Although not always on the same side in viewing the related issues, the two week training has deepened our brotherhood.

We are back to our own countries and our working environments but we still keep in contact through e-mail, facebook and other possible facilities to continuo our discussion or to just say hi to each other. Now there's an international network for promoting solidarity, liberalism and secularism in our own ways.

Drizzles of snow had welcomed me on my first arrival in Gummersbach on 7 March 2010. When I left the little town on March 19 in the afternoon, there was no more snow and cold weather. The sun shone brightly all over Germany and the Spring time started to come along. My memory of Gummersbach will stay with me forever. Thanks a lot FNS.

(Dion DB Putra, email: diondbputra@yahoo.co.id; dionbata@gmail.com)

Tingkatkan Kewaspadaan

UJUNG pacul Muchsen (32) menyentuh sesuatu yang tak biasa ketika dia mencangkul kebunnya di Kelurahan Mbongawani Ende, hari Sabtu, 27 Maret 2010. Tanah di kawasan kaki Gunung Iya dan Meja itu umumnya berpasir sehingga ujung pacul langsung tertanam dalam sekali hentakkan.

Muchsen terkejut. Ujung paculnya tadi rupanya menyentuh bom rakitan yang masih baru. Bom itu sangat dekat dengan permukaan tanah. Oleh pemiliknya yang sampai kini masih misterius, sebanyak 10 bom rakitan cuma diletakkan pada kedalaman sekitar 10 cm. Muchsen menceritakan penemuanmu tersebut kepada tetangga lalu mereka melaporkan kepada polisi. Aparat keamanan dari satuan brigade mobil (brimob) Polres Ende bergerak cepat mengamankan 10 bom rakitan tersebut.

Menurut Wakil Komandan 3 Pelopor Brimob Ende, Ipda Niko Taklal, kesepuluh bom rakitan tersebut masih aktif dan dapat meledak manakala kabelnya disentuh atau terkena petir. Unsur bom rakitan itu terdiri dari mesiu dan bahan peledak campuran paku dan besi serta dilapisi dengan pipa paralon.

Apresiasi kita berikan kepada Muchsen serta tetangganya di Kelurahan Mbongawani yang tidak mendiamkan penemuan benda berbahaya itu. Melapor kepada aparat keamanan merupakan langkah tepat dan setiap warga negara seharusnya bertindak demikian. Juga kepada aparat kepolisian yang bergerak cepat sehingga bom berhasil diamankan sebelum terjadi sesuatu yang tidak kita harapkan.

Pekerjaan rumah sekarang ada di pundak aparat kepolisian. Sesuai wewenang dan tanggung jawabnya, polisi tidak boleh mendiamkan kasus ini. Proses hukum mesti berlanjut hingga tuntas guna mengetahui duduk perkaranya secara utuh. Pertanyaan yang masih menggantung adalah siapa pemilik bom rakitan tersebut? Apakah tujuannya membuat bom tersebut? Tidak mungkin seseorang merakit bom sekadar menyalurkan hobi atau menyenangkan diri. Sudah tentu ada sesuatu yang ingin dia capai dengan merakit benda berbahaya ini. Tindakan menanam bom rakitan di kebun milik penduduk jelas mengancam keselamatan pemilik kebun serta warga sekitar lokasi tersebut. Perbuatan semacam ini tidak boleh ditolerir begitu saja.

Dalam sepuluh tahun terakhir kita telah menjadi bangsa yang sangat menderita akibat kejamnya pelaku pengeboman yang beraksi di berbagai tempat di negeri ini. Sudah ratusan korban jiwa berjatuhan dan ribuan lainnya mengalami trauma serta cacat seumur hidup. Dalam pergaulan antarbangsa kita pun dicap sebagai negeri tempat berkumpulnya para teroris yang kejam membunuh tanpa pandang bulu.

Penemuan bom rakitan di Ende hendaknya meningkatkan kewaspadaan kita terhadap kemungkinan teror bom yang bisa terjadi kapan dan di mana saja. Pengalaman telah mengajarkan kepada kita bahwa pelaku teror bom memiliki seribu satu cara guna menggapai tujuannya. Mereka sangat piawai memanfaatkan kelengahan atau titik lemah dalam sistem keamanan kita.

Tanggung jawab itu tidak sepenuhnya kita serahkan kepada aparat keamanan. Setiap warga masyarakat perlu memberikan kontribusi dengan cara masing-masing. Hal yang selalu diingatkan adalah sikap proaktif melaporkan kepada aparat keamanan atau pihak berwenang manakala Anda menemukan atau mengetahui sesuatu yang mencurigakan di sekitar lingkungan tempat tinggal. Memilih diam tidak menyelesaikan masalah.

Prinsip yang mesti dijunjung tinggi adalah lebih baik mencegah daripada mengobati. Antisipasi dini sangat disarankan demi meminimalisir kemungkinan terjadi teror bom yang menelan korban nyawa dan harta benda.

Secara umum situasi kamtibmas di Propinsi Nusa Tenggara Timur cukup kondusif selama ini. Bahwa ada sejumlah insiden kekerasan di beberapa daerah, hal tersebut masih dalam level yang dapat dimaklumi.

Keadaan yang sudah baik ini jangan sampai meninabobokan kita untuk melonggarkan kewaspadaan serta sikap antisipasi dini. Apalagi hari-hari ini sebagian besar masyarakat Nusa Tenggara Timur sedang merayakan Paskah. Hari raya umat Kristiani jangan sampai ternodai oleh hal-hal yang tidak menyenangkan. Selamat Paskah.*

Pos Kupang, 3 April 2010 halaman 4
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes