Tinju adat Sagi di Soa, Ngada (2015) |
Dalam waktu empat jam, tersaji 29 partai pertandingan yang memuaskan para penonton. Setiap partai melakonkan tiga sampai lima ronde. Para petinju ada yang mengalami luka lecet, bengkak bahkan berdarah di pipi, hidung, bibir dan pelipis. Meski dalam kondisi berdarah, mereka tetap enjoy dan di akhir pertarungan mereka saling memaafkan sebagai wujud sportivitas.
Bagi petinju Sagi, kondisi luka, bengkak bahkan berdarah di bagian wajah menjadi hal biasa. Sagi merupakan tinju adat yang saling memberikan pukulan dengan wilayah sasaran adalah bagian wajah.
Di babak pemanasan mulai dari partai pertama sampai partai kelima, para Mosa (orang yang mengatur petinju) menurunkan petinju kelas menengah dan didominasi peserta tuan rumah. Di partai pemanasan ini, petinju hanya bertarung dua sampai tiga ronde. Namun, di partai keenam hingga partai ke-29, peserta yang tampil adalah petinju berpengalaman, mereka peserta sudah sering bertarung di setiap acara Sagi di wilayah itu, bahkan ke luar daerah seperti tinju adat Etu di Boawae, Kabupaten Nagekeo.
Gaya dan taktik peserta kelas ini sangat menarik perhatian penonton. Di kelas ini biasanya mereka bertarung hingga lima ronde. Sagi merupakan tinju adat yang cukup populer bagi masyarakat Soa dan sekitarnya. Karena dalam Sagi, banyak hal menarik yang ingin disaksikan penonton seperti peserta tinju, gaya tinju, taktik dan juga hasil tinjunya. Namun, warga kampung yang biasa menonton Sagi sudah mengetahui kalau Sagi itu mulai seru saat para Mosa memasukkan peserta tinju kelas atas dan biasanya pertarungan petinju kelas ini dilakukan di pertengahan tinju atau saat penonton sudah mulai banyak.
Dalam Sagi, para petinju membutuhkan kelincahan dan teknik tinggi menyerang lawan. Tinju semakin menarik, ketika peserta saling menyerang dan memberikan pukulan telak ke wajah lawan. Saat-saat seperti itu, para penonton akan berteriak untuk memberikan semangat. Akan tetapi, ketika salah satu dari peserta berdarah, entah di pipi, hidung, bibir atau pelipis, para penonton terkadang diam sambil mengucapkan kata-kata iba. "Aduhhh kasian!! Dia kena di bibir. Lihat dia punya bibir darah," kata beberapa penonton.
Pertarungan seru juga terlihat ketika salah satu petinju mendapat pukulan telak dari lawannya. Semakin banyak mendapat pukulan, semakin semangat pula para petinju menambah ronde. Tambahan ronde karena petinju ingin membalas pukulan lawannya. Kepuasan petinju muncul saat lawannya berdarah atau mengaku kalah. Namun, terkadang ada petinju yang merasa tidak puas dengan hasil pertarungan. Hal ini umumnya dirasakan petinju yang sering mendapat pukulan berat, namun ia belum sempat membalasnya. Rasa dendam muncul dalam diri petinju.
Ketika niat untuk membalas belum tercapai, biasanya salah satu dari peserta yang berdarah meminta untuk tambah ronde atau meminta berhenti bertarung, jika merasa tidak sanggup lagi. Keputusan ini dinilai oleh Sike atau orang yang bertugas memegang dan mengontrol jalannya tinju setiap peserta dan seorang penengah atay wasit (Dheo Woe). Dheo Woe bisa menghentikan pertarungan manakala pertarungan sudah tidak berjalan dengan baik.
Tokoh adat Soa yang juga Ketua Panitia Penyelenggara Sagi, Thomas Sogo kepada Pos Kupang menjelaskan, peserta tinju yang belum puas dengan hasil pertarungan tidak diperkenankan untuk protes, apalagi membuat keributan atau perkelahian. "Kalau antara mereka ada yang dendam, maka di Sagi berikutnya mereka dua bisa bertarung lagi. Yang penting rasa dendam jangan jadi permusuhan di luar arena," kata Thomas.
Menurut Thomas, setiap pergelaran Sagi, mosalaki dari berbagai kampung tetangga datang menyaksikan dan mereka juga membawa petinju untuk bertarung. Mereka langsung mengambil posisi yang sudah disediakan panitia, biasanya di ujung arena tinju (ulu-eko), seperti, bagian timur dan barat atau utara dan selatan, tergantung posisi kampung. Di tempat itu, para Mosa mulai menawarkan beberapa petinju yang siap bertarung dengan lawan. Mosa juga melakukan koordinasi soal peserta tinju yang akan bertarung, apakah kedua peserta itu layak atau tidak untuk bertarung. Hal ini dilihat dari faktor umur, pengalaman tinju (Sagi) dan faktor lainnya.
Menurut Thomas, Sagi atau tinju adat bagi masyarakat Soa, merupakan warisan budaya nenek-moyang yang harus dijaga. Sagi dimaknai sebagai acara syukuran panen yang diperoleh masyarakat dalam satu tahun.
Sagi memiliki tiga tahap pertama, Kobhe Dero yaitu, tahapan sebelum tinju dimulai. Dero dilakukan pada malam hari yang diawali dengan ritual menyongsong acara tinju keesokan harinya. Pada malam Dero itu, warga memulai dengan tarian dan nyanyian lagu-lagu. Mereka juga saling membalas pantun lewat lagu-lagu. Dero dilakukan hingga pagi hari.
Kedua, Sagi yaitu, acara inti yang dilakukan lewat pertarungan tinju. Peserta tinju terdiri dari dua orang, baik peserta tinju yang sudah disiapkan masing-masing kubu maupun penonton yang dipilih oleh Mosa saat acara berlangsung. Alat yang digunakan dalam Sagi disebut Woe. Woe terbuat dari kayu atau tanduk kerbau yang dilapisi dengan ijuk, pasir dan pecahan botol. Saat tinju, Woe diikat di telapak tangan petinju yang berfungsi untuk memukul lawan. Peserta tinju mengenakan pakaian berupa Lesu (kain yang diikat di kepala), selendang (kain penutup dada) dan kain penutup tubuh bagian bawah.
Ketiga adalah Sogo, yaitu ritual akhir dari Sagi yang ditandai dengan belah kelapa oleh tua adat. Kelapa yang sudah dibelah itu di lempar ke tanah dan apabila kedua belahan kelapa itu semuanya dalam posisi tertutup maka hal itu memberikan tanda bahwa hasil panen tahun itu dinilai gagal. Sebaliknya, hasil panen akan berlimpah ruah apabila belahan kelapa yang dilempar itu satu bagiannya tertutup dan sebagiannya terbuka. Tanda-tanda seperti itu yang diakui warga setempat saat melakukan ritual adat.
Thomas mengatakan, Sagi hanya digelar di beberapa kampung di Kecamatan Soa yakni, Boamuji, Piga, Wuli, Lebuni dan Loa. Pelaksanaan Sagi di beberapa kampung itu biasanya dari April hingga Juli. Kepala Desa Libunio, Blasius Gholo saat ditemui mengatakan, Sagi merupakan warisan budaya yang selalu dijaga oleh masyarakat setempat. Dan sepanjang sejarah, pelaksanaa acara Sagi belum pernah dibuat di luar kampung di Soa. Berbeda dengan pesta Reba yang bisa dilakukan di luar Ngada, seperti Reba di Kupang atau di Jakarta oleh masyarakat Ngada. Namun, untuk acara adat Sagi belum pernah dibuat oleh masyarakat Soa yang ada di luar daerah Ngada. (teni jenahas)
Sumber: Pos Kupang 31 Mei 2015 halaman 5