|
Bung Karno |
"Qariyah Firaun" atau Kampung Firaun (Pharaoh Village), pulau mini di tengah Sungai Nil yang menjadi salah satu objek wisata Kota Kairo itu tampak ramai pada Kamis (12/9/2013).
Daratan yang dijadikan wilayah konservatif bernuansa "Kampung Mesir Kuno" tersebut menampung aneka ragam replika, benda warisan budaya sejak masa Firaun hingga era Mesir modern mencakup di antaranya Museum Ratu Cleopatra, Museum Presiden Gamal Abdel Nasser, dan Museum Presiden Anwar Saddat.
Pintu masuk Kampung Firaun dilalui dari sisi barat Sungai Nil dari Giza dengan berkendara feri mini sekitar lima menit perjalanan.
"Apakah kamu dari Malaysia?" sapa Gaballah Sharif, seorang pria segar bugar berusia 67 yang duduk di samping Antara di atas kapal feri.
"Bukan, saya dari Indonesia, ingin mengunjungi Museum Presiden Gamal Abdel Nasser," jawab Antara.
"Oooh Ahmad Soekarno!", ujar Sharif spontan sambil senyum hangat dan mengulurkan jabat tangan dengan eratnya.
Suara sapaan Sharif yang cukup keras menarik perhatian orang-orang sekitar, termasuk wajah istrinya yang duduk berhadapan juga terlihat ceria memandang jabat tangan erat tersebut.
Mohamed Sharif dan istrinya saat itu bersama rombongannya yang ramai dan hiruk-pikuk mendampingi pengantin baru, yang hendak berpesta kenduri di Kampung Firaun.
"Ahmad Soekarno wa Gamal Abdel Nasser kedaa!," tutur Sharif sembari mengacungkan jempol tangan kanannya, tanda salut.
Penyebutan nama Ahmad Soekarno secara spontan serupa terjadi ketika Antara memperkenalkan diri saat masuk ke Museum Gamal Abdel Nasser.
"Aiwa, shuurah Ahmad Soekarno, rais baladkum maugud henaa" (Ya, foto presiden negara anda juga ada di sini," ujar Aishah, staf Museum Gamal Abdel Nasser.
Wanita muda berkerudung motif bunga mawar kemerahan itu langsung memandu Antara untuk melihat foto Bung Karno tergantung di ruang khusus yang menampilkan foto-foto Presiden Nasser bersama presiden-presiden sejawatnya dari berbagai negara.
"Di museum ini hanya ada satu foto setiap presiden negara asing berpotret bersama dengan Presiden Nasser," tutur Aishah.
Di foto tersebut Bung Karno dalam posisi duduk, diapit oleh Nasser dan Perdana Menteri China Zhou Enlai ketika Konferensi Asia Afrika di Bandung pada April 1955.
Ada juga foto tunggal Nasser di sebuah taman di Bandung tertulis, "Kunjungan luar negeri pertama Nasser saat menghadiri Konferensi Asia Afrika di Bandung-1955".
Selain Bung Karno, di ruang itu juga memajang potret Nasser bersama, antara lain PM India Jawaharlal Nehru, Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, dan Presiden AS John F Kennedy.
Tampak juga foto Nasser dengan kalangan tokoh kesohor dunia seperti kosmonot pertama Rusia Yuri Gagarin dan petinju legendaris AS Muhammad Ali dalam kunjungannya ke Kairo pada 1964, di sampingnya ada foto Muhammad Ali memukul KO (knockout) petinju Sonny Liston pada menit pertama di ronde pertama, 25 Mei 1965.
Adapun di Museum Presiden Anwar Saddat hanya ada satu-satunya foto dari presiden Indonesia, yaitu Bung Karno, tanpa ada Presiden Soeharto.
Padahal dalam kunjungan pertamanya ke Mesir pada September 1977, Presiden Soeharto disambut hangat Presiden Saddat di tangga pesawat di Bandara Kairo.
Pak Harto didampingi Ibu Tien juga secara khusus berkunjung ke kediaman Presiden dan Ibu Negara Gihan Saddat di Kairo.
Lawatan Presiden Soeharto yang terekam dalam buku "Jauh di Mata Dekat Di Hati: Potret Hubungan Indonesia-Mesir" (KBRI Kairo, 2009) itu tujuannya untuk menggalang dukungan menyangkut integrasi Timor Timur dan mempererat hubungan bilateral kedua negara.
Sementara di foto Bung Karno, Presiden RI pertama tersebut sedang berdiri dan berbicara dengan memegang mikrofon, sementara Saddat bersama sejumlah perwira militer mendampinginya.
Potret Bung Karno tersebut ketika Saddat masih berpangkat Letnan Kolonel ketika mendampingi kunjungan Bung Karno ke kota wisata Alexandria saat lawatan pertama ke Mesir pada Juli 1955.
Keterangan di bawah foto itu tertulis dalam bahasa Arab dan Inggris, "Foto lawatan pertama Presiden Ahmed Sukarno ke Mesir tahun 1955 ketika didampingi Letkol Anwar Saddat berkunjung ke Alexandria."
Kunjungan Bung Karno ke kota wisata Alexandria di pesisir Laut Mediterania ini tidak terekam dalam buku "Jauh di Mata Dekat di Hati: Potret Hubungan Indonesia-Mesir".
Kunjungan pertama Bung Karno ke Mesir berlangsung hanya tiga bulan setelah Konferensi Asia Afrika di Bandung yang dihadiri Nasser, dan kunjungan terakhir ke Kairo pada Juni 1965, atau hanya tiga bulan menjelang peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Setiap lawatan Bung Karno ke Negeri Lembah Nil itu disambut meriah sejak setibanya di Bandara Kairo hingga kepulangannya.
Surat kabar Mesir Al Ahram pada 20 Juli 1955 menggambarkan kunjungan pertama Presiden Soekarno itu disambut gegap-gempita oleh masyarakat yang berdiri di pinggir jalan dari Bandara hingga istana tempatnya menginap.
"Seolah seluruh rakyat Mesir keluar rumah menyambut kedatangan Presiden Indonesia. Sepanjang jalan yang dilalui Presiden Soekarno dipenuhi rakyat segala umur".
Bahkan, katanya, balkon-balkon apartemen penduduk dipadati manusia untuk memberi penghormatan terhadap Sang Tamu Agung dengan melambaikan bendera mini Mesir dan Indonesia.
Spanduk dan bendera kedua negara menghiasi jalan-jalan kota Kairo sehingga bertambah semarak penyambutan Presiden Soekarno, demikian Al Ahram.
Penghormatan Mesir terhadap tokoh proklamator itu tidak hanya semasa menjabat presiden, tapi juga setelahnya.
Ketika Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970, Presiden Gamal Abdel Nasser menyatakan Mesir berkabung dengan menaikkan bendera setengah tiang di kantor-kantor pemerintah.
Presiden Nasser juga menggirimkan kawat belasungkawa kepada Presiden Soeharto atas wafatnya Bung Karno, tulis koran Al Ahram, 22 Juni 1970.
Hanya tiga bulan setelah Bung Karno wafat, Presiden Nasser juga menyusul kembali ke Sang Khalik pada 28 September 1970.
Era Bung Karno dan Nasser dikenal sebagai masa keemasan hubungan Indonesia-Mesir, dan hal itu selalu terungkit setiap pertemuan bilateral kedua negara.
Hubungan erat kedua bangsa terjalin sejak Mesir tercatat sebagai negara pertama di dunia mengakui Kemerdekaan Republik Indonesia dari jajahan asing.
Penghormatan pemerintah dan rakyat Mesir kepada Bung Karno diabadikan dalam bentuk nama jalan di ibu kota Negeri Ratu Cleopatra, yang bertulis dalam bahasa Arab dan Inggris, "Syari` Ahmad Soekarno/Ahmed Sokarno Street" di Distrik Agouza, Kairo Barat.
Bung Karno memang memiliki kenangan indah di Negeri Seribu Menara tersebut.
Kenangan manis itu tercermin dalam kata-kata terakhir Bung Karno kepada Presdien Nasser saat meninggalkan Kairo menuju Jeddah, Arab Saudi, untuk ibadah Umrah, berbunyi: "Saya berharap bisa bertemu anda kembali dalam waktu dekat".
Itulah sebabnya presiden pertama RI berkunjung ke Negeri Ratu Cleopatra itu sebanyak enam kali yaitu pada 1955, 1958,1960, 1961, 1964, dan 1965.
Mesir dijuluki sebagai Negeri Ratu Cleoptra karena terkenal dalam sejarah memiliki ratu tercantik yang merupakan dinasti terakhir Kerajaan Firaun.
Akibat kecantikannya itu, Cleopatra diperebutkan oleh para emperor Romawi, khususnya Julius Caesar dan Mark Antony.
Julius Caesar yang sempat mempersunting Cleopatra dan memiliki satu putra, Caesarion, dibunuh oleh sekelompok anggota senat pimpinan Marcus Junius Brutus pada 15 Maret 44 Sebelum Masehi.
Dalam Museum Celeopatra terdapat lukisan Sang Ratu berbaring di ranjang saat detik-detik terakhir hidupnya dengan bunuh diri lewat gigitan ular berbisa yang dipegangnya pada 12 Agustus 30 Sebelum Masehi. (Munawar Saman Makyanie/Antara)
Sumber: Tribun Manado