Saya, Umbu, dan Puisi


Umbu Landu Paranggi

Oleh Wayan Sunarta

Pertemuan pertama saya dengan Umbu Landu Paranggi merupakan sebuah pertemuan yang sangat menjengkelkan sekaligus menggelikan, yang terus membekas dalam kenangan. 

Namun pertemuan-pertemuan selanjutnya merupakan anugerah tak ternilai yang ikut mempengaruhi perjalanan hidup saya, terutama ketika bergesekan dengan dunia puisi.

Pada sebuah petang yang cerah di bulan Agustus 1993, ketika saya masih kelas tiga sekolah menengah atas, saya diajak oleh seorang kawan menonton pertunjukan teater di sebuah sanggar di Sanur, Denpasar. 

Kata kawan saya, Umbu pasti datang dalam acara itu. Kata dia lagi, kesempatan bertemu Umbu sangat langka, maka sangat rugi kalau saya tidak datang.

Ya, memang rugi kalau saya tidak ketemu Umbu, sebab pada waktu itu saya memang sedang tergila-gila ingin bertemu mantan “Presiden Malioboro” itu, sejak beberapa penyair senior di Bali “meracuni” otak saya dengan cerita-cerita nyleneh tentang Umbu. 

Pada waktu itu saya baru belajar menulis puisi dan baru mencicipi pergaulan sastra di Sanggar Minum Kopi (SMK), tempat kongkow penyair Denpasar, seperti Tan Lioe Ie, Warih Wisatsana, GM Sukawidana, Putu Fajar Arcana, K. Landras Syailendra dan banyak lagi. Umbu sekali waktu suka mampir ke SMK yang bekas toko klontong itu.

Tapi ketika itu saya belum pernah bersua dengan Umbu di SMK. Maka ketika kawan saya mengabarkan Umbu akan hadir di acara pentas teater itu, saya mempersiapkan diri untuk pertemuan yang bagi saya akan sangat bersejarah dalam karier awal kepenyairan saya. 

Sebelumnya saya sudah beberapa kali mengirim puisi (hampir setiap minggu) ke Bali Post yang gawang redaksinya dijaga ketat oleh Umbu. Setelah lebih dari 30 puisi saya menumpuk di meja Umbu, akhirnya dimuat hanya satu biji puisi yang berdampingan dengan karya beberapa penyair belia seangkatan saya. 

Tentu saya sangat girang dengan pemuatan perdana tersebut. Setelah perjuangan dan penantian yang meletihkan, akhirnya puisi saya diakui juga oleh Umbu. Saya pun merasa telah menjadi seorang penyair karena puisi saya dimuat Umbu, meski masih kelas penyair “Kompetisi.”

Umbu Landu dann Warih Wisatnana

Saya datang ke acara pentas teater itu dengan mengayuh sepeda. Kawan saya yang sudah lebih dulu di sana menarik tangan saya dan dengan wajah gembira mengabarkan Umbu benar-benar datang pada acara itu. Tentu saja saya penasaran dan clingak-clinguk mencari-cari orang yang bernama Umbu itu. 

Dalam bayangan saya, Umbu berperawakan tinggi besar, agak gemuk, wajah sedikit brewok. Tapi perkiraan itu sedikit meleset setelah kawan saya menunjukkan orang yang bernama Umbu. 

Umbu tidak gemuk, meski tubuhnya memang tinggi besar dan berotot. Wajahnya bersih, tidak ada bulu sedikit pun, hidungnya besar dan mancung, sorot matanya tajam namun menyejukkan, bibirnya lebar tapi jarang menyunggingkan senyum. 

Umbu nampak berwibawa di bawah naungan topi yang tidak pernah lepas dari kepalanya. Bertahun-tahun kemudian saya tahu kalau topi itu memang sengaja dipakai untuk menutupi rambutnya yang rontok dan mulai botak.

Umbu termasuk lelaki modis. Dia suka mengenakan t-shirt yang dipadu kemeja jeans dengan lengan digulung. Celana yang dipakainya juga kebanyakan jeans, kadang dengan variasi kantong di lutut. 

Pada kesempatan lain dia suka memakai baju lurik khas Yogya, sorjan. Rambutnya panjang sebahu. Dia suka memakai sendal semi sepatu sebagai alas kaki. Di pergelangan tangan kirinya melingkar gelang akar bahar hitam. Kadangkala lehernya dilingkari syal. 

Dia punya banyak koleksi topi yang secara bergantian dipakainya, mungkin juga disesuaikan dengan warna baju yang dikenakannya. Namun yang agak ganjil, kalau bepergian dia suka jalan kaki sambil menenteng tas kresek yang entah berisi apa. 

Kata seorang kawan, tas kresek itu mungkin berisi puisi-puisi yang akan dieksekusi sambil minum kopi di suatu warung di sudut pedesaan Bali.

Dada saya berdebar ketika Umbu lewat di depan saya. Kawan saya menyuruh saya segera menghampirinya dan memperkenalkan diri. 

Tapi jangankan memperkenalkan diri, menyapa dia saja saya kehabisan kata-kata. Pesonanya begitu kuat bagi jiwa remaja saya yang terlanjur mengaguminya gara-gara mitos yang ditanamkan ke benak saya. 

Dari kejauhan saya melihat dia asyik menerima salam dari para seniman senior yang hadir di sana. Umbu nampak takzim dan sesekali senyum tipis mendengar ocehan seniman-seniman yang banyak lagak itu. 

Pada mulanya saya hanya memperhatikan gerak-geriknya dari kejauhan. Tapi kesempatan tidak datang dua kali, pikir saya. 

Maka dengan menghimpun segenap keberanian, saya mendatangi Umbu yang lagi asyik ngobrol sambil berdiri dengan seorang seniman yang tidak saya kenal. Saya menjulurkan tangan agak ragu sambil memperkenalkan nama saya.

Tak lupa saya tambahkan bahwa puisi saya pernah dimuat di rubriknya, tentu dengan harapan dia mengingat saya. Tapi Umbu hanya menjabat tangan saya sekilas dan ngloyor pergi bersama temannya, meninggalkan saya yang terbengong-bengong sendiri. 

Saya pikir dia akan mengajak saya berbincang-bincang agak lama perihal proses kreatif saya, menanyakan sejak kapan menulis puisi, apa ada puisi baru, dan berbagai pertanyaan basa-basi lainnya, sebagaimana umumnya perkenalan pertama. 

Sejak itu pupuslah impian saya untuk ngobrol panjang lebar dengannya, dan kekaguman saya pada Umbu tiba-tiba saja menguap entah ke mana. Kesan pertama saya benar-benar berantakan tentang Umbu.

Belakangan kemudian saya tahu, Umbu bukanlah tipe orang yang suka basa-basi dan memang terkesan dingin bila berhadapan dengan orang yang baru dikenalnya. 

Tapi sebenarnya Umbu termasuk tipe lelaki pemalu. Kalau berbicara dengan Umbu, jangan harap dia mau menatap mata kita, apalagi dengan orang yang baru dikenalnya. 

Biasanya kalau diajak bicara, dia akan mengalihkan pandangan dari wajah lawan bicaranya.

Namun di balik semua kesan dinginnya, Umbu seorang pemerhati yang sangat hangat. Dia tidak jarang mengunjungi seorang calon penyair yang dianggapnya berbakat. 

Kadangkala dia datang membawa sejumlah buku puisi sebagai kado ulang tahun calon penyair itu. Pada kesempatan lain dia datang hanya untuk mengajak calon-calon penyair main kartu dan makan pisang rebus. 

Umbu memiliki cara tersendiri, seringkali tidak terduga, untuk memotivasi calon-calon penyair yang dianggapnya berbakat besar.

Mengenai hal itu saya pernah punya pengalaman diberi hadiah nasi bungkus oleh Umbu yang diistilahkannya sebagai nasi bungkus “Republika.” 

Pada waktu itu, tahun 1994, puisi saya untuk pertama kalinya dimuat koran nasional, Republika, bersama beberapa penyair senior Bali. Umbu sangat senang dengan pemuatan itu dan mendatangi saya secara khusus di SMK sekitar jam sepuluh, malam Minggu. 

Kebetulan waktu itu saya sedang asyik diskusi puisi dengan Tan Lioe Ie, Warih Wisatsana dan beberapa kawan lain, Umbu tiba-tiba muncul di pintu sanggar dan menjulurkan sebuah tas kresek kecil pada saya. “Jengki, ini nasi Republika, nasi khusus untuk kamu! Makanlah!” ujarnya sambil ketawa senang. 

Umbu Landu Paranggi

Tentu saja saya kaget dengan hadiah mendadak itu, apalagi yang memberikan orang sekaliber Umbu yang telah menjadi mitos itu. Teman-teman lain yang sudah paham kebiasaan Umbu hanya ketawa-ketawa kecil. Pembicaraan pun beralih pada puisi-puisi yang dimuat Republika itu. 

Belakangan saya tahu kalau nasi bungkus itu merupakan jatah makan malam Umbu dari Bali Post yang memang khusus dibawakan untuk saya karena berhasil menembus media nasional. 

Biasanya Umbu setiap hari Sabtu bekerja hingga malam di Bali Post untuk mempersiapkan rubrik sastra yang terbit setiap Minggu. Di luar hari Sabtu itu kami tidak pernah tahu Umbu berada di mana. Dia punya banyak tempat persinggahan yang selalu dirahasiakannya.

Lelaki yang bernama lengkap Umbu Wulang Landu Paranggi itu merupakan cucu salah seorang raja Sumba. 

Umbu dilahirkan di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1943. Yogyakarta merupakan tempat kelahiran kedua bagi Umbu. Kota Yogya telah membuat Umbu jatuh hati, yang dalam istilahnya, seakan rata dengan tanah. 

Jalan Malioboro dan barisan pohon cemara di depan kampus UGM adalah tempat yang paling berkesan bagi Umbu selama di Yogya. 

Sejak meninggalkan tanah kelahirannya di Sumba, Umbu ingin melanjutkan sekolah di Taman Siswa Yogya, tapi terlambat karena pendaftaran telah ditutup. Akhirnya Umbu meneruskan sekolah di SMA Bopkri 1 Yogyakarta.

Ketika bersekolah di SMA Bopkri itulah kebiasaannya menulis puisi tumbuh subur dan seringkali menelantarkan pelajaran lainnya. Di sekolah Bopkri itu pula Umbu menemukan seorang guru yang baginya ikut mempengaruhi jalan hidupnya kemudian, Ibu Lasia Sutanto, guru Bahasa Inggris. 

Setiap kali ada pelajaran guru itu, Umbu suka diam-diam menulis puisi. Umbu sendiri tidak mengerti, yang istilah Umbu entah setan atau dewa apa yang menyebabkannya begitu. Padahal Umbu sudah ditegur beberapa kali karena dianggap mengganggu jalannya pelajaran dan konsentrasi teman-temannya di kelas. 

Akhirnya karena jengkel dengan ulah Umbu, kawan-kawannya mendesak Ibu Lasia agar menghukum Umbu membaca puisi di depan kelas. Ibu Lasia berpikir dan merenung, kemudian memutuskan bahwa nanti kalau puisi Umbu sudah dimuat koran, baru dikritik. 

Ibu guru yang pernah menjadi Menteri Peranan Wanita pertama RI itu kemudian memasukkan puisi Umbu ke laci mejanya, dan pelajaran pun kembali berjalan. 

Tapi Ibu Lasia penasaran juga dengan apa yang ditulis Umbu, puisi itu dikeluarkan lagi dari laci mejanya, dimasukkan lagi, dikeluarkan lagi, begitu seterusnya. 

Mungkin saat itu Umbu berpikir bahwa Ibu Lasia berminat pada karyanya dan memberikan angin segar bagi proses kreatifnya. Sebab semestinya Umbu pantas dihukum karena sudah beberapa kali melanggar aturan kelas. Sejak itulah Umbu rajin menulis puisi dan kemudian dimuat di beberapa koran.

Tamat dari Bopkri, ibunya menginginkan Umbu melanjutkan kuliah ke fakultas Kedokteran Hewan, tapi Umbu menolak dengan alasan dia lemah dalam pelajaran Ilmu Alam. 

Diam-diam Umbu kemudian melanjutkan kuliah di Fisipol UGM jurusan Ilmu Sosiatri dan di Universitas Janabadra jurusan Sosiologi.

Di Yogya, sejak tahun 1950-an, Umbu sudah menulis puisi dan esai. Tetapi puisinya jarang yang menonjol dan menarik perhatian para kritikus sastra. 

Perannya dalam perkembangan puisi Indonesia modern adalah sebagai bidan bagi kelahiran penyair-penyair muda yang kelak menguasai dunia perpuisian mutakhir di Indonesia.

Pada tahun 1968, di Yogya, bersama penyair Suwarna Pragolapati, Iman Budi Santosa, dan Teguh Ranusastra Asmara, Umbu membidani dan mengasuh Persada Studi Klub (PSK) yang menguasai rubrik puisi di Mingguan Pelopor Yogya. 

Komunitas sastra itu kemudian melahirkan nama-nama besar, seperti Emha Ainun Najib, Korie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, Yudistira Adi Nugraha. Umbu pun dikenal sebagai Presiden Malioboro dan penyair yang punya bakat mendidik.

Di Yogya-lah Umbu mengawali petualangan batinnya. Dia seperti kuda Sumba yang gampang-gampang susah dikendalikan. Keyakinannya pada puisi seperti angin sabana, mengalir terus tanpa ada yang mampu menahannya. 

Darah petualang, puisi dan angin sabana pula yang membuat Umbu terdampar di Tanah Dewata, yang mungkin menjadi tujuan terakhir pengembaraannya.

Umbu yang menetap di Bali sejak tahun 1979 selalu punya cara-cara unik untuk menggairahkan dunia perpuisian dan membangkitkan gairah apresiasi sastra. 

Dia membuat jadwal pertemuan rutin, kunjungan ke semua kabupaten untuk mengadakan apresiasi puisi, atau dengan sentuhan-sentuhan pribadi yang membuat anak-anak muda merasa berada dalam sebuah ikatan keluarga besar. 

Di Bali, pada era 1980-an dan 1990-an Umbu mengklasifikasikan puisi-puisi yang dimuat di ruang sastranya ke dalam 4 kelas, yakni: kelas “Pawai” bagi pemula yang baru belajar menulis puisi, kelas “Kompetisi” bagi penyair yang cukup gigih mengirim puisi ke gawangnya dan siap diadu dengan penyair lain yang selevel, kelas “Kompro” atau “Kompetisi Promosi” bagi penyair yang telah lolos dalam sejumlah babak kompetisi dan siap diadu di luar kandang, kelas “Posbud” atau “Pos Budaya” bagi penyair yang telah dianggap handal menggoreng dan menendang bola kata-kata ke gawangnya hingga gol. 

Umbu menggunakan berbagai cara untuk menggugah kepercayaan diri penyair Bali, salah satunya Umbu pernah mencantumkan besar-besar slogan “Posbud = Horison” di ruang sastranya. 

Artinya puisi-puisi yang berhasil masuk kelas Posbud kualitasnya dianggap sama dengan puisi-puisi yang dimuat Majalah Sastra Horison. 

Tapi efeknya pada era itu karya penyair Bali jarang yang muncul di media nasional karena mereka sudah merasa puas setelah menembus Posbud di ruang Umbu. 

Belakangan muncul kelas “Solo Run” bagi penyair yang karyanya ditampilkan tunggal dalam satu halaman penuh koran. Dan tentu saja ini kelas yang sangat sulit ditembus penyair.

Sistem yang dibuat Umbu itulah yang bikin para penyair muda Bali “mabuk kepayang” dan tergila-gila menulis puisi. 

Apalagi pada setiap kesempatan pemuatan puisi-puisi kelas Pawai dan Kompetisi, Umbu rajin mengontak dan menggoda para penyair muda lewat kata-kata yang membakar semangat untuk berkarya lebih bagus. 

Seringkali dibarengi dengan pemuatan foto para penyair yang dikontak Umbu lewat kolom kecil bertajuk “Stop Press.” Anak muda yang awalnya tidak suka puisi pun jadi ikut-ikutan menulis puisi, mungkin karena ada keinginan fotonya dimuat Umbu. 

Bahkan kelas Pawai dan Kompetisi pun terbagi menjadi sejumlah angkatan yang beranggotakan 5-10 penyair muda. Saya masuk dalam penyair “Kompetisi Angkatan Ke-17”.

Kegemaran Umbu menonton sepak bola mengilhaminya membuat sistem unik untuk ruang sastranya, seperti konsep pos pawai, kompetisi, solo-run. 

Sistem seperti itu ternyata berhasil menggugah anak-anak muda di Bali untuk bersastra dan berkompetisi menunjukkan karya yang paling unggul. 

Apalagi Umbu juga memuat esai-esai dan kritik puisi dari para penulis muda itu. 

Rubrik sastra Umbu yang unik dan meriah itu pun menjadi ruang polemik sastra (puisi) di antara mereka. Penyair A mengomentari karya penyair B, penyair C membantai puisi penyair D, penyair E membela penyair D, begitu seterusnya. 

Saya rasa pada era itu ada seratusan penyair di Bali yang berebutan menendang bola kata-kata ke gawang Umbu. Dan Umbu adalah penjaga gawang yang bertangan dingin menangkap bola demi bola kata itu.

Pada era 2000-an, Umbu mengubah konsep rubriknya menjadi “Posis” atau “Pos Siswa” sebagai ruang untuk menampung tulisan-tulisan dari para siswa, “Posmas” atau “Pos Mahasiswa” bagi tulisan-tulisan dari mahasiswa, dan “Pos Solo Run” bagi penulis yang tampil tunggal. 

Umbu juga menyediakan ruang bagi para guru yang suka menulis esai-esai pendek. Terkadang sejumlah puisi dan prosa berbahasa Bali pun dimuat di rubriknya sebagai bentuk perhatiannya pada sastra daerah.

Pada Agustus 1995, SMK bubar karena suatu permasalahan intern. Saat itu SMK menjelang perayaan ulang tahun ke-10. Banyak anggota SMK yang merasa kehilangan tempat berkumpul. 

Mereka tercerai-berai dan tenggelam dengan kesibukan masing-masing. Umbu yang suka menyambangi para penyair yang berkumpul di SMK juga merasa terpukul dan kehilangan. 

Sanggar yang berlokasi di jantung Kota Denpasar itu merupakan tempat yang ideal dan romantis bagi Umbu karena berdekatan dengan Pasar Kumbasari yang buka 24 jam. 

Mungkin Umbu terkenang Pasar Beringharjo di Yogya saat dia dulu mengembalakan penyair-penyair muda Yogya.

Di pasar Kumbasari itulah Umbu suka mengajak para penyair muda Denpasar menyelami kehidupan yang sebenarnya dan membuka hati pada rakyat kecil yang bekerja membanting tulang hingga dinihari. 

Umbu suka memperhatikan kesibukan ibu-ibu pedagang sayur, gadis-gadis buruh junjung, pedagang nasi jenggo, kusir dokar dan kegiatan rakyat jelata lainnya. 

Kadangkala Umbu mengajak penyair-penyair muda pesta soto babad di sudut pasar itu sambil ngobrol ngarol-ngidul dan memperhatikan kesibukan pasar. Apalagi kalau purnama bercahaya indah menghiasi langit malam Denpasar, Umbu akan terkenang lagu “Denpasar Moon” yang dinyanyikan Maribeth. 

Umbu memang penyair romantis. Pernah suatu kali dia mengajak saya dan beberapa kawan penyair melihat bulan terbit di tepi sawah di ujung timur Kota Denpasar sambil nongkrong di warung kopi tepi jalan. 

Dia berseru kegirangan ketika bulan bulat merah muncul perlahan dari sawah yang berbatasan dengan laut Sanur itu. Kami duduk berlama-lama di sana sampai bulan merambat tinggi.

Setahun setelah SMK bubar, kami menggunakan sebuah rumah kecil di Jalan Bedahulu, di sudut utara Kota Denpasar, sebagai markas. 

Pada awalnya rumah itu ditempati oleh Nuryana Asmaudi, Raudal Tanjung Banua dan Riki Dhamparan Putra atas kemurahan hati seorang anggota keluarga Puri Kesiman yang memiliki rumah itu. Saat itu Raudal dan Riki baru setahun tinggal di Bali. 

Saya sering berkunjung ke rumah itu bersama kawan-kawan seniman, ngobrol ngarol ngidul hingga menjelang dinihari. Di depan rumah itu ada tegalan tak terurus yang ditumbuhi rumpun bambu, di sebelahnya ada sungai kecil dan masih dekat dengan persawahan. 

Seringkali angsa-angsa peliharaan tetangga memecah keheningan malam dengan lengking suaranya. Suatu kali Umbu datang ke sana dan langsung jatuh cinta dengan tempat itu. 

Umbu memberi nama tempat itu “Intens-Beh” yang merupakan akronim dari “Institut Tendangan Sudut Bedahulu”. Dia mengkavling sebuah kamar kosong yang kadang-kadang saja ditempatinya. 

Seniman-seniman muda suka berkumpul di sana, diskusi, ngobrol kebudayaan, baca-baca puisi, merayakan ulang tahun teman, main gitar, pacaran, ngrumpi. 

Di tempat itulah saya mengenal Umbu lebih dekat dan akrab, mendengar petuah-petuahnya, konsep-konsepnya tentang dunia perpuisian.

Jauh sebelum Umbu memindahkan “pusat pemerintahan” ke padepokan Intens-Beh, Umbu dikenal sebagai penyair yang berumah di atas angin. Tak seorang pun tahu di mana tempat tinggal tetapnya. Di mana Umbu suka, di situlah rumah baginya. 

Dia jarang mau datang ke acara-acara kesenian, meski diundang secara khusus. Tapi dia akan muncul tiba-tiba ketika acara itu menarik perhatiannya, atau hanya mengamati jalannya acara dari jarak yang jauh atau dari balik kegelapan. 

Pernah seorang kawan penyair mencoba membuntuti Umbu berharap menemukan tempat persembunyiannya, tapi kawan itu kehilangan jejak ketika Umbu tiba-tiba membelok di sebuah tikungan. 

Dia seperti tahu sedang dibuntuti. Kebiasaan Umbu ini tercermin dalam salah satu baris puisinya: sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja.

Umbu memiliki banyak tempat persinggahan di Bali. Hampir di setiap kabupaten ada kawan akrab Umbu yang menyediakan ruang khusus bagi tempat semayamnya. 

Umbu suka muncul tiba-tiba di tempat-tempat persinggahannya itu dan biasanya dia akan diladeni secara khusus. 

Kalau sudah begitu Umbu benar-benar mirip seorang raja yang sedang melakukan kunjungan ke bawahannya. Biasanya kawan yang dikunjungi Umbu merasa mendapat kehormatan menjamu tamu istimewa itu. 

Sejumlah anak muda yang tertarik pada puisi kemudian berkumpul di tempat itu dan dengan takzim mendengar petuah-petuahnya tentang dunia puisi dan pentingnya puisi bagi pertumbuhan mereka. 

Tidak hanya itu, Umbu juga memotivasi mereka akan pentingnya komunitas sastra yang mampu mewadahi aspirasi dan kreativitas mereka. Maka bermunculanlah sanggar-sanggar sastra dan kelompok-kelompok teater yang dimotivasi Umbu. 

Kota Negara di Jembrana dan Singaraja pernah ramai dengan komunitas-komunitas kecil dan kegiatan sastra dan teater yang tidak bisa dilepaskan dari peranan Umbu.

Umbu juga menggairahkan kehidupan bersastra di sejumlah pelosok desa di Bali, seperti Desa Marga di Tabanan. 

Biasanya Umbu bekerjasama dengan seniman-seniman yang dipercayainya di tempat itu untuk membuat kegiatan-kegiatan apresiasi sastra dan sebagainya. 

Dan tentu saja Umbu tidak pernah kekurangan orang untuk melakukan kerja-kerja kesenian kayak itu, meski tanpa bayaran. Mereka dengan senang hati dan terhormat mengikuti petunjuk-petunjuk Umbu.

Umbu bukan tipe redaktur sastra yang hanya duduk di belakang meja. Dia menjalankan konsep “turba” atau “turun ke bawah” dengan senang hati dan keyakinannya pada jalan puisi. Yang paling membahagiakan jiwanya adalah puisi mampu merasuki jiwa generasi muda dan bisa menjadi pelengkap hidup mereka. 

Tidak ada keinginan Umbu mencetak mereka menjadi pasukan penyair, sebab dunia kepenyairan adalah pilihan sadar dalam kehidupan. Yang terpenting bagi Umbu adalah membekali generasi muda dengan puisi sehingga lahir dokter yang berwawasan puisi, insinyur yang paham puisi, dan sebagainya. 

Sebab puisi bagi Umbu adalah empati dan simpati pada kehidupan dalam maknanya yang sangat luas. Bagi Umbu, puisi adalah kehidupan dan kehidupan adalah puisi. 

Penyair Bali generasi 1980-an, 1990-an, 2000-an, rata-rata pernah bergesekan dengan vibrasi Umbu, meski tidak semuanya lantas menjadi penyair yang dikenal di tingkat nasional. 

Cara Umbu memperkenalkan mereka pada puisi dan juga kesenian kini seringkali menjadi klangenan dalam obrolan para mantan penyair yang kebanyakan telah menjadi orang penting di Bali.

Umbu memang termasuk orang yang susah ditemui dan dilacak jejaknya. Dia akan segera menghilang jika ada tamu istimewa yang mencarinya. Emha Ainun Najib beberapa kali gagal bertemu Umbu, padahal Emha adalah murid kesayangan Umbu saat di Yogya. 

Umbu menghindari Emha adalah semata-mata untuk menjaga rasa kangennya dengan Emha dan Yogya. Taufik Ismail pun gagal bertemu Umbu ketika penyair Horison itu berkunjung ke Bali. 

Pendek kata, banyak sastrawan berkelas nasional yang ingin bertemu Umbu, tapi Umbu selalu menghilang, menghindari pertemuan. Pertemuan akan terjadi hanya karena dua sebab: Umbu memang ingin bertemu dan Umbu dijebak.

Jika Umbu ingin bertemu dia akan mengontak orang itu secara khusus lewat telepon atau lewat kurir kepercayaannya dan tempat pertemuan pun telah disiapkan. Atau Umbu akan datang tiba-tiba nyamperin orang yang ingin ditemuinya. Pertemuan juga bisa terjadi secara terpaksa karena Umbu dijebak. 

Ada cerita menarik tentang hal ini. Karena kebelet ingin bertemu Umbu, Emha pernah menjebak Umbu di rumah Hartanto, seorang kawan dekat Umbu. Hartanto tidak tega melihat Emha yang uring-uringan ingin ketemu gurunya itu dalam sebuah kunjungannya ke Bali. 

Hartanto kemudian memancing Umbu keluar dari sarangnya dengan umpan sop ikan kesukaan Umbu. Tentu dengan senang hati Umbu datang ke rumah Hartanto. Di meja makan Emha telah menunggu dengan rasa kangen yang amat sangat. 

Umbu pun tidak bisa lari. Mungkin pintu ruangan juga telah dikunci dari luar oleh Hartanto. Konon, Emha dan Umbu hanya saling berdiam diri, masing-masing seperti mengukur dan menakar perasaan.

Pergaulan di Tensut-Beh menjadi kenangan tersendiri bagi saya, terutama ketika berhadapan dengan sosok Umbu. Meski Umbu lebih suka berdiam diri dan hening, dia termasuk sosok pribadi yang sederhana dan hangat. 

Pada masa-masa Umbu betah di Tensut-Beh, kami biasa berdiskusi berbagai macam persoalan, mulai dari dunia kesenian, mutu puisi mutakhir, persoalan politik bangsa, hasil pertandingan bola, kegiatan mahasiswa, sampai persoalan remeh temeh lainnya, seperti gosip penyair, pacar penyair, menu masakan dan merek rokok kesukaannya. 

Biasanya Umbu akan bicara atau berkomentar jika dipancing duluan. Dan ada saja di antara kami yang memancing Umbu bicara tentang suatu pokok persoalan. Biasanya kami ngobrol sambil menunggu makan malam disiapkan oleh penghuni tetap Tensut-Beh, yakni Mas Nuryana. 

Mas Nur, begitu panggilan Nuryana, selain sebagai penulis dikenal juga jago masak. Dia paling banyak tahu masakan kesukaan Umbu, seperti sayur daun pepaya, daun singkong, jukut (sayur) gonde, nasi beras merah. Dan kami tidak pernah kekurangan makanan. 

Ada saja yang membawa oleh-oleh buat Umbu. Beras merah dan sayur gonde dibawa dari Marga, Tabanan, oleh seorang kawan dari sana. Daun pepaya dan singkong dipetik langsung dari kebun belakang rumah. Habis makan malam obrolan kembali sambung menyambung ditemani kopi dan rokok, bahkan sering sampai dinihari. 

Umbu sangat kuat merokok, sama kuatnya dengan kebiasaannya duduk berjam-jam beralaskan kardus bekas plat koran yang dibawanya dari Bali Post. 

Dia hanya akan berdiri jika mau kencing atau masuk kamarnya. Dengan beralaskan kardus itu pula kami merebahkan diri di lantai karena mata letih. Masing-masing penghuni Tensut-Beh memiliki satu lembar kardus yang dihadiahi Umbu, lengkap dengan memo dan tanda tangannya. 

Biasanya ada saja kawan yang mampu menemani Umbu ngobrol sampai dinihari, sementara kawan-kawan lain tergeletak dan ngorok di lantai.

Umbu suka minum bir. Biasanya ada saja kawan yang membawakan bir untuknya. Kemudian bir itu dibagi-bagikan kepada kami. Seorang kawan pecinta sastra yang bekerja sebagai bar tender kadangkala juga membawakan sisa-sisa minuman mahal untuk Umbu dan kami. 

Di Tensut-Beh kami seperti keluarga besar dengan Umbu sebagai “God Father”-nya. Ada saja tamu-tamu yang datang khusus untuk menemui Umbu di sana. 

Kalau Umbu tidak berkenan bertemu biasanya dia akan ngumpet seharian di kamarnya, tentu sambil menahan kencing. Dia akan nongol lagi jika tamu itu sudah pergi, kadangkala sambil menenteng botol bekas yang berisi air seni.

Kamar Umbu di Tensut-Beh tidak pernah terbuka lebar, selalu tertutup. Kordennya juga ditutup rapat-rapat. Karena penasaran, saya pernah mengintip kamarnya dari kisi-kisi lubang angin. Luar biasa! Samar-samar saya melihat seni instalasi. 

Lembaran kardus bekas plat koran dan tikar bersusunan membentuk kasur. Di samping kasur-kardus, koran bekas bertumpuk-tumpuk seperti benteng. 

Di sela-sela “benteng koran” itu, kertas-kertas yang mungkin berisi berkas-berkas puisi dan catatan-catatan kecil juga bersusunan. Umbu suka bersila berlama-lama di depan berkas-berkas itu sampai tiba jam makan. 

Botol-botol plastik kosong bekas air mineral berjejer rapi di pinggir dinding kamar Umbu. Yang menggelikan kamar yang berukuran kira-kira 3 x 4 meter itu dibelah oleh seutas tali nilon tempat Umbu menggantung pakaian-pakaiannya dan tas-tas kresek yang entah berisi apa. Umbu menata kamarnya dengan sangat rapi dan unik.

Umbu sangat memperhatikan kesehatan. Setiap bangun tidur, hanya mengenakan sarung dan kaos oblong, topi pet dipakai terbalik, dia akan langsung ke belakang sambil menggigit tangkai sikat gigi. 

Umbu paling cemas dan menjadi sangat pemurung jika mendengar kabar kematian, apalagi yang menimpa sahabat-sahabat dekatnya. Bahkan dia sangat cemas berboncengan dengan sepeda motor. 

Saya pernah memboncengnya dengan motor butut Suzuki RC 80 yang doyan mogok. Karena badannya yang berat tentu saja motor saya oleng memboncengnya. 

Dengan nada suara cemas dia wanti-wanti mengingatkan saya agar pelan-pelan dan hati-hati. Dalam hati saya tertawa geli, saya tidak sadar kalau sedang membonceng seorang keturunan raja yang sangat dihormati dalam dunia perpuisian.

Sebagai penyair, karya-karya Umbu tidak terlalu banyak dan tidak begitu dikenal luas. 

Dia lebih dikenal sebagai seorang pendidik, guru puisi, motivator, “provokator kegiatan sastra”, pencari bakat penyair, sahabat dan ayah yang tulus. 

Dia sangat jarang mempublikasikan karya dan terkesan menghindar dari publisitas. Pernah pengurus salah satu penerbit besar di Jakarta datang menemuinya ke Bali karena ingin mengumpulkan dan membukukan seratus puisinya. 

Umbu menyanggupi. Tapi sampai sekarang Umbu tidak pernah menyetorkan puisi-puisinya ke penerbit tersebut.

Sepertinya, Umbu menulis puisi hanya untuk dirinya sendiri. Puisi-puisi tersebut tersimpan rapi dalam map-mapnya dan mungkin tak seorang pun pernah melihatnya. 

Segelintir puisi Umbu hanya bisa ditemui dalam beberapa buku kumpulan puisi bersama, seperti “Tonggak” yang dieditori Linus Suryadi AG, “Bonsai’s Morning”, “Teh Ginseng.” 

Dalam rangka memasyarakatkan puisi-puisi Umbu, penyair Tan Lioe Ie yang juga seorang mantan penyanyi kafe mengaransemen sejumlah puisi Umbu menjadi karya musikalisasi puisi dan telah terkumpul dalam sebuah album sederhana berjudul “Kuda Putih.”

Pembicaraan mengenai sosok Umbu tidak akan pernah habis. Hampir setiap seniman yang pernah bersentuhan dengan Umbu, akan mempunyai kenangan dan cerita tersendiri tentang Umbu. 

Kalau cerita-cerita itu dikumpulkan tentu akan menjadi sebuah buku yang cukup tebal. Umbu memang sosok manusia yang langka dan unik. 

Kecintaannya pada dunia puisi seakan melebihi segalanya. Hal itu tercermin dalam salah satu baris puisinya yang berjudul “Melodia”: cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan, karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan.***

(Karangasem, Bali, 30 Maret 2007)


CATATAN: Tulisan ini dipublikasikan oleh Wayan Jengki Sunarta pada tanggal 2 Desember 2009 pukul 15.38, di akun Facebook-nya, tetapi ditulis 30 Maret 2007 sebagaimana ditera pada tulisannya ini. Pemuatan di Blog Pustaka Kabanti Kendari atas seizin dan persetujuan penulisnya.

Dipublikasikan juga oleh Tribun Bali saat mengenang wafatnya Umbu Landu Paranggi 6 April 2021

Baca juga tentang Umbu Landu di sini:

Baca juga tentang Umbu di sini

Umbu, Berpuisilah dari Ruang Sunyi


Umbu Landu Paranggi
Jenazah penyair Umbu Landu Paranggi diupacarai Kuru kudu untuk mengantarkan ke peristirahatan sementara di Bali.

Upacara kuru kudu dihadiri oleh pihak keluarga, pengurus Flobamora Bali, sastrawan dan budayawan yang juga murid-murid Umbu Landu Paranggi (ULP), acara berlangsung khidmat, di Taman Makam Mumbul, Nusa Dua, Badung, Bali, Senin 12 April 2021.

“Pak Umbu, berpuisilah dari ruang sunyi, karena aksara itu adalah aksara yang hidup yang bisa mempengaruhi dunia ini,” kata Umbu Rihimeha Anggung Praing, menantu Umbu Landu Paranggi saat menutup sambutannya dalam acara kuru kudu untuk ULP.

Kuru kudu merupakan sebuah upacara untuk peristirahatan sementara sebelum nantinya jenazah dikirim ke tanah kelahirannya, Sumba

“Ini merupakan tempat peristirahatan sementara, dan berarti Pak Umbu masih ada di sekitar kita, belum mengendarai kuda putih, kuda merah untuk sampai ke surga,” kata Rihimeha.

Ia pun mengenang, setamat kuliah S2, dirinya bertandang ke Lembah Pujian yang menjadi kediaman ULP. Di sana, ULP berkata padanya, bahwa S2 itu sudah banyak, tetapi S2 itu tergantung dari bacaannya.

“Pak Umbu berkata, ‘kau harus selalu ada di dalam ruang sunyi, sepi dalam keheningan.’ Saya waktu itu tidak mengerti karena bukan sastrawan dengan apa yang mertua saya katakan. Saya mencari di buku dan ketemu di buku Madam Teresa, tidak ada manusia yang menemui Tuhan dalam suasana hiruk-pikuk,” katanya.

Ia menambahkan, banyak nilai yang diberikan oleh Umbu kepadanya juga kepada murid-muridnya. “Karena itu, benang-benang nilai harus ditenun jadi selimut, karena nilai yang akan menutupi moral kita,” katanya.

Sebagai perwakilan dari pihak keluarga, ia berharap agar pandemi ini segera mereda, sehingga jenazah Umbu bisa dipulangkan ke tanah kelahirannya, Sumba.

“Ucapan terima kasih kami kepada Pemerintah Provinsi Bali, juga Kesultanan Jogja di mana Pak Umbu berkreativitas sehingga sampai pada jalan sunyi ini,” katanya.

Ketua Flobamora Bali, Yusdi Diaz berharap apa yang Umbu ajarkan secara sunyi senyap, tapi nyata bisa membuat bibit-bibit menjadi tumbuh subur.

“Beliau memberikan dirinya sebagai pupuk dan kita akan melihat kebangkitan sastra Indonesia. Semoga sang pejalan sunyi bisa diantarkan dari ruang sunyinya ke Sumba pada waktu yang disediakan Tuhan,” katanya.

Sementara  istri Gubernur Bali, Putu Putri Suastini Koster yang juga murid Umbu mengatakan, Umbu tak hanya memberikan ilmu dalam bidang sastra, namun juga hal baik tentang kehidupan.

“Tanggungjawab kita yang merasa murid beliau, jangan bangga saja, tetapi kita petik apa yang sudah diberikan kepada kita adalah pelajaran tentang kehidupan. Kita petik jadikan pedoman ke depan,” katanya.

Meskipun Umbu lahir di tanah Sumba, namun ia memberikan lelaku baik ke tanah Bali, Jawa, bahkan beberapa tempat lain di Indonesia. Bahwa seorang Umbu, tak hanya melihat dengan mata secaranya nyata, namun juga dengan mata batin.

“Dalam kepolosan seni sastra, beliau tidak hanya guru sastra, juga guru kehidupan untuk kita. Itu membuat kita bangga dengan beliau,” katanya.

Dalam acara kuru kudu itu juga ada pembacaan puisi dari dua murid Umbu yakni Wayan Jengki Sunarta membawakan puisi Kata Kata Kata karya Umbu dan Kuda Puisi karya Jengki yang didedikasikan untuk Umbu dan pembacaan puisi dari Pranita Dewi dengan judul Sajak Kecil karya Umbu.

Umbu merupakan penyair besar Indonesia yang juga guru penyair yang lahir di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1943. 

Dari tangannya telah lahir banyak penyair maupun sastrawan besar, sebut saja Emha Ainun Nadjib, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG. Ia meninggal di RS Bali Mandara pada usia 77 tahun, Selasa (6/4). (i putu supartika)

Sumber: Tribun Bali 13 April 2021 edisi print

Penyair Umbu Landu Paranggi Berpulang


Umbu Landu Paranggi

Penyair di Bali sebagian besar lahir dari tangan Umbu Landu Paranggi. Mereka terasah dengan gemblengan Presiden Malioboro ini. 

Penyair Umbu Landu Paranggi meninggal di RS Bali Mandara, Denpasar, Selasa 6 April 2021. 

Dengan kepergian sosok guru, dunia sastra pun berduka. Kenanganan akan kebaikan dan keramahan Umbu pun melekat di hati sastrawan Warih Wisatsana.

“Bukan hanya dalam puisi, Umbu mengajak seseorang untuk menghayati kehidupan. Saat hujan beliau mengajak kita, ayo basah-basahan agar kuyup hidupmu, sehingga kamu bisa memiliki daya haru terhadap suatu momentum,” kata Warih.

Warih mengaku berkenalan dengan Umbu tahun 1984, saat ia masih menjadi seorang wartawan muda. 

Saat itu, Umbu memegang 2 halaman lembar kebudayaan di harian Bali Post. Dia membuka ruang kepada siapapun untuk menulis di halaman tersebut. 

Dalam pemuatan puisi, ia menggunakan pola kompetisi metafor sepak bola, mulai dari pola pawai, kompetisi hingga pos budaya.

“Jadi penulis yang masuk ada tahapannya sejalan dengan capaian estetika dan tematik serta kematangan serta kepribadian dalam menghadapi kehidupan. Sehingga tidak segan Umbu bisa memuat karya satu penulis dalam satu halaman penuh,” tutur Warih.

Pola ini juga Umbu terapkan saat masih di Jogja lewat kolom Sabana dan melahirkan banyak penulis besar di Indonesia sebuat saja Emha Ainun Nadjib, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG hingga beberapa nama lainnya. Warih juga menuturkan, sejak 5 bulan lalu, ia juga mengasuh halaman puisi di NusaBali.

“Seluruh Indonesia mengirim naskah selama lima bulan tiap minggu. Walaupun penulis tidak mendapat honor, namun karena Umbu melakukan penciptaan sebagai ibadah, dengan sukacita banyak penulis nasional yang ikut berpartisipasi,” tuturnya.

Warih mengatakan, ada nasehat dari Umbu yang paling diingat yakni guyubkan dirimu dengan hidup dan kehidupan. “Umbu mengatakan pergilah ke tempat jelata, pasar tradisional, di sana mendalami pengalaman,” kenangnya.

Selain itu, hal yang menarik lainnya, Umbu memiliki teman dari berbagai daerah di Bali, dimana setiap rumah yang dikunjunginya selalu ada satu kamar untuk Umbu. 

“Kalau sudah ditempati Umbu, kamar itu tak akan ditempati oleh pemiliknya. Dan seolah-olah kamar itu khusus disiapkan untuk Umbu, walaupun Umbu akan datang lima atau enam bulan sekali,” katanya.

Setelahnya sahabat Umbu yakni Hendra Gunawan memberikannya rumah khusus di Lembah Pujian Denpasar. 

Awalnya Umbu sempat tidak terbuka dan menyepi. Akan tetapi setelah sempat sakit, Umbu mulai kembali terbuka. Bahkan dalam sebuah pembacaan puisi yang digelar Balai Pustaka, Umbu meminta agar ia membaca puisi di Pura Andakasa.

“Umbu mau membaca puisi asalkan membaca puisi di Pura Andakasa. Beliau sangat menyadari keberadaan ruang dan waktu,” katanya.

Warih juga menambahkan, penghargaan yang diterima oleh Umbu pun sangat lengkap dan paripurna. Di Bali ia meraih penghargaan Bali Jani Nugara dan Penghargaan Wijaya Kusma, penghargaan dari Universitas Indonesia, Kementerian Pendidikan, Dirjen Kebudayaan hingga Badan Bahasa. 

Sempat tersiar kabar bahwa Umbu meninggal akibat Covid-19. Akan tetapi, Warih meluruskan informasi tersebut. Umbu diketahui meninggal karena gagal ginjal.

“Pelurusan informasi, informasi dari penyair Mira MM Astra bahwa Pak Umbu Landu Paranggi wafat bukan karena Covid, melainkan gagal ginjal, dan prosedur di Rumah sakit, dalam masa pandemi ini, memang untuk sakit jenis apapun ditangani dengan prosedur Covid, hanya prosedurnya, namun Pak Umbu tidak menderita Covid, hasil test negatif. Itu percakapan Mbak Mira dengan dokternya langsung,” kata Warih.

Pria kelahiran Sumba, 10 Agustus 1943 ini berpulang pukul 03.55 Wita. Warih menuturkan, beberapa hari sebelum meninggal, Umbu secara tersirat menyampaikan keinginannya pulang ke Sumba. 

"Beberapa hari sebelum ini, sudah menyampaikan secara tersirat keinginannya untuk pulang ke Sumba," kata Warih saat ditemui di RS Bali Mandara.

Warih mengatakan, jenazah akan dipulangkan ke Sumba setelah dijemput oleh pihak keluarga. 

"Bu Putri (Putri Suastini) akan memberikan atensinya secara penuh untuk mengantar jenazah pulang ke Sumba. Tadi sudah dihubungi oleh teman," katanya.

Sabtu pagi 3 April 2021, Warih sempat menelepon Umbu. Dalam percakapan tersebut, Warih menyadari bahwa kondisi Umbu sedang tidak baik. Bahkan percakapan terakhir melalui sambungan telepon itu pun ia rekam.

"Saya rekam percakapan itu. Umbu bilang, apakah sudah cukup tiga hari atau lima hari. Lalu menyebut surga, dan saya menyadari ada sesuatu," kata Warih menuturkan dengan mata berkaca-kaca. Sorenya Umbu pun langsung diajak ke rumah sakit. Warih mengaku meskipun sedih namun tetap mengikhlaskan kepergian Umbu.

Sementara itu, penyair Wayan Jengki Sunarta, mengatakan banyak sastrawan maupun penyair yang datang ke RS. Meski tak bisa menemani di dalam kamar saat perawatan mereka tetap menunggu di lobby rumah sakit. 

Sebelum meninggal, dari pihak rumah sakit sempat mengabarkan dilakukan penanganan pompa jantung untuk Umbu. Namun usaha itu gagal. Hingga akhirnya ia mendengar kabar Umbu telah tiada. 

"Memang sudah jalannya dan kami mengikhlaskan. Pihak rumah sakit sudah berusaha semaksimal mungkin," katanya. (i putu supartika)

Sumber: Tribun Bali 7 April 2021 edisi print

Profil Umbu Landu Paranggi


Umbu Landu dan Cak Nun

Indonesia berduka. Penyair besar negeri ini Umbu Landu Paranggi berpulang.

Umbu Landu Paranggi meninggal dunia pada Selasa dini hari, 6 April 2021 di RS Bali Mandara, Denpasar, Bali.

Penyair Wayan Jengki Sunarta, mengatakan Umbu meninggal pukul 03.55 Wita.

"Saya di sini dari kemarin siang. Sekarang masih menunggu kedatangan keluarganya," katanya.

Menurut Jengki, Umbu mulai dirawat di RS Bali Mandara sejak Sabtu, 3 April 2021.

"Indonesia kembali kehilangan putra terbaiknya di bidang sastra," kata Jengki.

Kabar duka ini pun disampaikan sastrawan Warih Wisatsana kepada Tribun Bali Selasa pagi.

"Sahabat kita, Bung Umbu Berpulang. Guru batin kami pamitan dini pagi tadi. Kawan-kawan yang berjaga di rumah sakit Bali Mandara mengabari, pukul 03.55 Wita." kata Warih.

"Mohon maaf dan perkenan doa teman-teman bagi penyair rendah hati yang tulus ini, semoga lapang jalan pulangnya dalam naungan Kasih Sang Maha Indah," kata Warih.

Berikut profil Umbu Wulang Landu Paranggi.

Umbu Wulang Landu Paranggi lahir pada tanggal 10 Agustus 1943 di Kananggar, Paberiwai, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Seniman yang terkenal dengan julukan Presiden Malioboro ini kerap disebut sebagai tokoh misterius dalam dunia sastra Indonesia sejak 1960-an.

Umbu Landu dikenal luas melalui karya-karyanya berupa esai dan puisi yang dipublikasikan di berbagai media massa.

Umbu merupakan penyair sekaligus guru bagi para penyair muda pada zamannya, antara lain Emha Ainun Nadjib, Eko Tunas, Linus Suryadi AG, dan lain-lain.

Memilih jalan sunyi

Umbu Landu Paranggi lama menimba ilmu di Yogyakarta dan memiliki banyak murid di sana serta pengagumnya.

Pada tahun 1970-an Umbu Landu membentuk Persada Studi Klub (PSK) yaitu komunitas penyair, sastrawan, seniman yang berpusat di Malioboro Yogyakarta.

Komunitas sastra ini sangat mempengaruhi perjalanan sastrawan-sastrawan besar di Indonesia. Itulah sebabnya Umbu Landu Paranggi dijuluki sebagai Presiden Malioboro.

Kehidupan Umbu Landu unik. Penyair besar ini memilih jalan sunyi. Dia menjauh dari popularitas dan sorotan publik. Amat jarang dia tampil dalam acara yang meriah.

Ia sering berkenala sambil membawa kantung plastik berisi kertas-kertas, yang tidak lain adalah naskah-naskah puisi koleksinya.

Umbu Landu Paranggi

Sebagian orang menyebutnya "pohon rindang" yang menaungi bahkan telah membuahkan banyak sastrawan kelas atas, tetapi ia sendiri menyebut dirinya sebagai "pupuk" saja.

Di Yogyakarta, Umbu Landu Paranggi pernah dipercaya mengasuh rubrik puisi dan sastra di Mingguan Pelopor.

Tahun 1975 Umbu Landu Paranggi meninggalkan Yogya dan kemudian bermukim di Denpasar, Bali.

Dia sempat mengasuh rubrik Apresiasi di Harian Bali Post.

Di Pulau Dewata ini Umbu melahirkan banyak sastrawan dan dianggap sebagai mahaguru.

Pada tahun 2020, ia mendapatkan penghargaan dari Festival Bali Jani di bidang sastra.

Kenangan Cak Nun

Mengutip Artikel Tribun Bali berjudul Bali Beruntung Memiliki Umbu tayang 31 Oktober 2020,  budayawan asal Jombang, Jawa Timur, Emha Ainun Najib pada diskusi sastra Jatijagat Kampung Puisi, Rabu 29 Oktober 2014 mengaku lega setelah berjumpa Umbu Landu Paranggi.

Cak Nun, begitu ia biasa disapa, hadir ke acara di Jalan Cok Agung Tresna, Denpasar itu setelah menjenguk penyair Umbu Landu Paranggi di RSUP Sanglah.

Malam itu budayawan ini mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga menyentuh siku.

Duduk di atas karpet merah, Cak Nun berbicara dalam diskusi sastra yang diadakan komunitas pegiat puisi Jatijagat Kampung Puisi.

Umbu Landu Paranggi,  penyair yang dianggap guru oleh Cak Nun, adalah pendiri komunitas tersebut.

Ide dadakan untuk menggelar diskusi sastra malam itu berawal dari kunjungan Cak Nun ke Denpasar untuk menjenguk Umbu yang dirawat di RSUP Sanglah.

Pada diskusi berlangsung itu Cak Nun menyiratkan rasa hormatnya pada penyair yang telah lama tinggal di Bali ini.

“Jangan harap memahami Umbu. Ia tidak bisa dimengerti, hanya bisa dinikmati,” ujar budayawan suami Novia Kolopaking ini.

Lontaran ini seakan mengomentari tanggapan beberapa masyarakat tentang sosok Umbu yang lebih sering dikenal sebagai seniman yang angkuh.

Sebaliknya, bagi Cak Nun, keangkuhan Umbu adalah bentuk penolakan penyair yang dikenal nyentrik ini terhadap budaya basa-basi.

Menurutnya, Umbu tidak bisa dijangkau lewat obrolan remeh-temeh.

Makna kata menikmati yang ia lontarkan berarti bahwa memahami Umbu hanya bisa dilakukan dengan mengamati kesehariannya secara langsung.

Hanya saja kesempatan bertatap muka dengan Umbu merupakan momen yang langka.

Cak Nun bertutur, Umbu hanya bisa ditemui jika memang Umbu sendiri yang menginginkan pertemuan itu.

Karenanya, meski pada akhirya Cak Nun berhasil bertemu langsung dengan Umbu yang sedang terbaring sakit, momen pertemuan itu adalah momen yang paling dirindukan Cak Nun.

Cak Nun berujar, di balik sosok angkuh yang lebih banyak diketahui masyarakat, Umbu adalah sosok yang hangat.

Sosok hangat ini dituturkannya lewat pribadi rendah hati dari penyair yang dikenal lewat karyanya seperti puisi Melodia ini.

Cak Nun tak sendiri malam itu. Ia ditemani budayawan yang aktif di Jogjakarta Imam Budhi Santosa.

Senada dengan Cak Nun, penyair ini pun menaruh hormat pada Umbu.

Cak Nun mengaku memahami pribadi Umbu bukan dengan cara mengajaknya ngobrol. Melainkan membaca karya sekaligus lakunya.

“Bali sangat beruntung memiliki Umbu,” ujar Cak Nun

Biodata singkat

Nama:  Umbu Landu Paranggi

Lahir: 10 Agustus 1943 di Kananggar,  Sumba Timur

Anak:  Rambu Anarara Wulang Paranggi, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, Mira MM Astra

Pendidikan: Universitas Janabadra, Universitas Gadjah Mada, SMA BOPKRI 1 Yogyakarta

Sumber: Tribun Bali

Baca juga tentang Umbu di sini

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes