Suatu Senja di Dome of Cologne


The Dome of Cologne (istimewa)
KALAU tidak bertemu Jonatan Lassa dalam sisa waktu yang sangat terbatas, mungkin saya melewatkan kesempatan melihat salah satu situs warisan dunia di Jerman.

"Om masih punya waktu 45 menit menunggu jadwal kereta berangkat ke Frankfurt. Sebaiknya lihat Dome dulu," kata Jonatan, moderator Forum Academia NTT (FAN) yang datang menemuiku bersama anaknya di Stasiun Kereta Api Koln, Jumat 19 Maret 2010 petang.

Sontak teringat Gereja Katedral Koln (The Dome of Cologne) yang paling ramai dikunjungi wisatawan. Kami pun bergegas keluar dari stasiun menuju pelataran gereja yang letaknya persis di pinggir Sungai Rhine atau Rhein yang terkenal itu. Panoramanya sungguh indah.

Waktu hampir pukul 18.00 namun pengunjung masih menyemut di sana. Mereka umumnya menenteng kamera foto maupun video, mengabadikan diri dengan latar belakang berbagai sisi gereja yang dibangun sejak abad ke-12 serta didedikasikan khusus untuk St. Petrus dan Bunda Maria tersebut. UNESCO melukiskan gereja ini sebagai karya manusia yang luar biasa. Setiap hari rata-rata dikunjungi 20 ribu orang. Mereka adalah para turis serta peziarah yang datang dari berbagai belahan dunia (lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Cologne_Cathedral).


Menyimak data dari situs resmi gereja ini, Katedral Koln sungguh membuat kagum. Pembangunan gedungnya berlangsung selama 632 tahun, mulai tahun 1248 dan baru rampung tahun 1880. Peletakan batu pertama gereja dilakukan Uskup Agung Konrad von Hochstaden 15 Agustus 1248. Setelah mengalami pasang surut pembangunan, gereja ini rampung tahun 1880. Selesainya katedral terbesar di Jerman itu dirayakan sebagai peristiwa nasional yang dihadiri Kaisar Wilhelm I.

Panjang keseluruhan gereja 144,5 meter, lebar 86,5 meter dan tinggi menara kembar 157,4 meter atau 516 kaki. Inilah bangunan indah bergaya gothic dari Abad Pertengahan yang keaslian arsitekturnya masih bertahan. Selama empat tahun, antara tahun 1880-1884 Katedral Koln sempat memegang rekor sebagai gereja dan bangunan terbesar di dunia. Rekornya baru berakhir saat Monumen Washington tegak berdiri di jantung ibukota negara Amerika Serikat.

Salah satu sisi menarik di dalam katedral adalah altar. Altar dari marmer hitam dengan sisi depan dilapisi marmer putih tersebut dibangun tahun 1322. Karya seni lainnya adalah Kuil Tiga Raja, sarkofagus berlapis emas dari abad ke-13 dan tempat pusaka yang secara tradisional dipercaya sebagai kenangan akan Tiga Orang Majus dari Timur. Dekat sakristi ada ukiran salib besar. Patung kayu Santa Perawan Maria dan Bayi Yesus yang dibuat tahun 1290 tampak anggun di sana.

Lolos dari Bom
Kisah-kisah mengagumkan tentang kreativitas manusia serta keajaiban mewarnai keberadaan Katedral Koln. Tanggal 1 September 1939, Jerman menyerang Polandia dan meletuslah Perang Dunia II. Tanggal 3 September 1939 Inggris dan Perancis mengumumkan perang kepada Jerman. Tanggal 8 Desember 1941, Jepang hancurleburkan Pearl Habour dan sehari kemudian Amerika Serikat (AS) nyatakan perang pada Jepang. Tanggal 11 Desember 1941 Jerman dan Italia umumkan perang kepada AS sehingga perang meliputi seluruh dunia.

Perang baru berakhir setelah Sekutu mendaratkan pasukan di Pantai Normandia, 6 Juni 1944, Jerman menyerah pada Sekutu Mei 1945 setelah kematian Hitler, tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 Hiroshima dan Nagasaki dihujani bom atom oleh AS dan Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu tanggal 14 Agustus 1945.

Selama Perang Dunia II (1939-1945), pasukan Sekutu menjatuhkan tujuh puluh kali bom udara di Koln. Kota itu rata tanah, namun gereja dengan menara kembarnya itu tetap tegak berdiri. Luar biasa! Ada pendapat bahwa pasukan Sekutu menjadikan menara kembar gereja sebagai navigasi yang mudah dikenali untuk menyerbu lebih jauh ke wilayah Jerman. Mungkin inilah alasan mengapa Katedral Koln tidak ikut remuk. Pendapat lain menyebutkan, Sekutu menjatuhkan bom secara membabi-buta di atas Koln namun bom selalu menjauhi gereja yang dibangun selama enam abad lebih.

Pada tahun 1996, katedral ini ditambahkan ke dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO. Tahun 2004 UNESCO peringatkan sebagai "World Heritage in Danger" karena ada rencana untuk membangun gedung bertingkat tinggi di dekatnya yang bakal merusak visual situs. Peringatan itu dihapus tahun 2006, setelah pihak berwenang di Jerman memutuskan untuk membatasi ketinggian gedung yang dibangun di dekat dan di sekitar Dome of Cologne.

Sebagai Situs Warisan Dunia dengan posisi yang nyaman dan memanjakan para turis atau peziarah, Katedral Koln adalah tempat yang tidak boleh Anda lewatkan jika sempat berkunjung ke Jerman. Katedral ini dibuka setiap hari mulai pukul 06.00-19.30. 

Masuk gratis kecuali jika Anda ingin mendaki ke menara gereja melewati 509 anak tangga spiral untuk menikmati keindahan Kota Koln dan keelokan Sungai Rhein dari ketinggian 98 meter. Bila ingin melepas lelah setelah puas mengelilingi Katedral, Anda bisa mampir di rumah makan atau bar yang menjamur di sekitar katedral. (dion db putra)

Pos Kupang edisi Minggu, 28 Maret 2010 halaman 11

Pajak


SETELAH Petrus, bangsa Merah Putih yang suka membuat akronim kini melambungkan Markus. Di zaman Soeharto penembak misterius disapa Petrus. Sekarang di zaman Reformasi, makelar kasus dipanggil Markus. Dulu Markus kini Petrus. Tapi yang lebih menjulang sepekan ini pastilah Gayus. Gayus Pajak!

Ya, nama Gayus Tambunan sungguh mencoreng institusi pajak yang bulan Maret ini getol mengimbau bahkan berkali-kali mengingatkan seluruh rakyat Indonesia yang telah memenuhi syarat sesuai UU untuk bayar pajak agar menyerahkan SPT Tahunan. Deadline tinggal dua hari. Ingat dua hari lagi, 31 Maret 2010.

Dari pemberitaan media massa, tuan dan puan pastilah sudah tahu secuil duduk perkara kasus Gayus Tambunan. Pegawai negeri sipil (PNS) yang bekerja di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak itu telah melarikan diri ke luar negeri (Singapura) setelah mendapat vonis bebas dari Pengadilan Negeri Tangerang.


Kasus ini mengemuka karena diduga berkaitan dengan praktik makelar kasus alias markus. Gayus disebut-sebut memiliki rumah mewah di Jakarta serta uang Rp 25 miliar di rekeningnya. Uang itu diduga bersumber dari pajak rakyat. Wah!?

Kisah pelarian Gayus ke Singapura menarik perhatian. Warta terbaru dari Dirjen Imigrasi menyebutkan, sewaktu terbang dengan Singapore Airlines Rabu lalu, Gayus tidak memakai nama Gayus Halomoan Tambunan. Menurut deteksi Imigrasi, Gayus menggunakan nama Gayus Halomoan Partahanan. "Dia pakai nama Gayus Halomoan Partahanan. Nggak ada Tambunannya," kata Direktur Bidang Penindakan Dirjen Imigrasi, Muchdor kepada Tribunnews, Minggu (28/3/2010). Cerdik betul Gayus. Imigrasi kita terkecoh. Sudah berkali-kali terkecoh atau baru kali ini ya? Sungguh terkecoh atau pura-pura kecolongan?

Gara-gara Gayus Tambunan, jagat maya pun heboh. Penggemar bukumuka alias facebook membuat grup bertajuk Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung BOIKOT BAYAR PAJAK untuk KEADILAN. Saat beta iseng berkunjung, Kamis (25/3/2010) lalu, baru tercatat 3.422 facebooker yang menjadi anggota. Eh kemarin siang, jumlahnya pesat melonjak. Sudah menembus angka 35.277 anggota. Hari ini dan besok jumlah pendukung bakal lebih banyak lagi. Gerakan bukumuka untuk isu-isu yang sedang hangat di masyarakat biasanya amat lekas dan dashyat.

Gerakan tersebut jelas mencerminkan ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap kasus penggelapan pajak yang masih saja terjadi. Grup ini memakai slogan Gerakan pembangkangan nasional terhadap pengelola negara. Tolak bayar pajak untuk kemewahan dan kepentingan pejabat! Komentar pedas menghiasi laman grup itu. Umumnya mereka kecewa karena merasa dikhianati. "Bayar pajak cuma buat dinikmati Gayus dan teman-temannya? No way!" tulis seorang anggota grup.

Memboikot pembayaran pajak tentunya bukan saran yang bijak. Sebagai warga negara yang baik, tuan dan puan serta beta wajib membayar pajak guna membiayai roda kehidupan kita bersama sebagai Satu Nusa Satu Bangsa. Oknum seperti Gayus di lembaga perpajakan masih banyak dengan beragam modus manipulasi.

Bila ada tikus di kantor pajak, jangan bakar kantornya tetapi tangkap tikus-tikus di sana, proses hukum dan jebloskan ke dalam penjara. Beta tahu, banyak petugas pajak yang jujur berhati mulia. Terima uang miliaran rupiah, tetapi dia hidup layak dari gajinya saja. Uang rakyat masuk ke kas negara. Bukan rekening pribadi.

Memang celaka dua belas bila kasus Gayus Tambunan dibiarkan menguap begitu saja seperti kasus pelarian lainnya yang hidup makmur di negeri orang dengan uang hasil rampokan dari Indonesia. Kasus Gayus merupakan praktik mafia peradilan yang tergolong berat. Pelakunya tidak semata petugas pajak. Ada tali- temali erat dengan aparat penegak hukum dari kepolisian dan kejaksaan.

Dampaknya sungguh merusak moral masyarakat. Kesadaran warga negara membayar pajak bisa turun ke titik nol. Kalau sampai terjadi, bahaya besar sedang mengancam Indonesia. Bayangkan sebuah negara hidup tanpa pajak rakyat?

Suatu ketika beta pernah mewawancarai seorang mantan petugas pajak yang kini mengisi masa pensiunnya di Kupang. "Hal yang sangat menyakitkan saya adalah melihat uang rakyat dikorupsi dan pemerintah gagal memenuhi kewajibannya terhadap rakyat lewat pengadaan fasilitas umum yang layak," katanya.

Kata-kata itu beta ingat sampai sekarang. Selalu terngiang kembali bila mengingat kewajiban membayar pajak. Betapa menyenangkan bila setelah rutin membayar Pajak Penerangan Jalan, tidak lagi merayap dalam kegelapan malam di jalan raya, sebagaimana lazimnya jalan-jalan di beranda Flobamora.

Betapa indahnya jika setelah bayar Pajak Bumi dan Bangunan, setiap warga di lingkungan RT/RW tidak terwarisi saban tahun dengan jalan--jalan yang berlubang. Jalan-jalan dengan aspal nyaris tak berbekas. Alangkah bahagianya setiap warga negara yang hendak bepergian jika terjamin keamanannya dari alat angkut seperti kapal yang fisiknya selalu diremajakan. Bukan kapal tua yang sekali terhempas gelombang, terjun bebas ke laut dalam. Betapa nikmatnya menjadi warga negara yang setia membayar pajak bila sekolah dan biaya rumah sakit murah sungguh nyata, tidak sekadar kampanye omong-kosong menjelang pemilu lima tahunan.

Belum pernah terjadi di beranda Flobamora rakyat memboikot pembayaran pajak. Rakyat kampung besar ini amat sadar memenuhi kewajibannya. Yang kerap terdengar justru lagu lama. PDAM selalu rugi, PLN rugi melulu, kapal Pelni dan Ferry masih mengeluh. Retribusi jalan terus! (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang edisi Senin, 29 Maret 2010 halaman 1

Manusia dan Ternak Rebutan Air Minum

"HARI ini mau makan siapa?" Bagi para pemegang kekuasaan, berpikir demikian sudah tentu untuk tetap menempati kursi empuknya.

Namun warga kampung Geo Olo, Desa Gerodhere, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, setiap hari masih berpikir, "Hari ini mau minum apa?" Apa lagi pada musim kemarau panjang. Untuk mendapatkan setetes air minum, warga terpaksa berebutan dengan ternak di lokasi sumber air.

Kampung Geo Olo terletak di atas sebuah bukit yang berjarak sekitar 30 km dari Kota Mbay, Ibu Kota Kabupaten Nagekeo. Untuk mencapai lokasi tersebut, membutuhkan waktu kurang lebih empat jam. Dari pusat Desa Gerodhere harus berjalan kaki sekitar tiga jam untuk menempuh jarak 5 kilometer agar sampai di kampung ini. Waktu perjalanan cukup lama karena harus melalui jalan menanjak dan berlumpur. Selain itu, terdapat beberapa kali yang harus diseberangi.

Dari ketinggian bukit kampung Geo Olo, dapat disaksikan pemandangan indah dari berbagai penjuru. Meski demikian, tanah Geo Olo, yang tandus dan kurang subur, menjadi lokasi pilihan untuk bermukim bagi 13 kepala keluarga (KK). Mereka merupakan sekelompok masyarakat yang enggan untuk meninggalkan tanah leluhur. Meskipun pergulatan hidup kian hari kian keras dan menantang.

Kurang lebih terdapat 80 jiwa yang bermukim di kampung Geo Olo. Sebuah kampung yang hingga saat ini masih terisolir dan jauh dari sentuhan pembangunan. Akses transportasi dan pembangunan lainnya belum mereka nikmati. Tak jarang pada musim kemarau panjang, mereka membawa bekal dan mengantre sepanjang hari untuk mendapatkan
setetes air minum.

Berdasarkan hasil analisis kesejahteraan partisipatif (AKP), warga setempat masih hidup di bawah garis kemiskinan atau sangat miskin.

Hal ini dikatakan oleh tiga orang warga setempat, masing-masing Kosmas Djawa (tokoh masyarakat setempat), Rafael Bhia (Ketua RT 13) dan Hermanus Laki (Kepala Desa Gerodhere).

Mereka mengatakan, kesulitan terbesar yang dihadapi
warga setempat adalah air minum. "Kadang-kadang terjadi konflik di antara warga yang mengantre di lokasi sumber air untuk mendapatkan air minum," kata Laki.

Musim kemarau biasanya terjadi mulai bulan Juni hingga akhir Desember. Warga setempat biasanya antre sejak pukul 04.00 Wita di lokasi sumber air yang berjarak sekitar 5 km dari pusat permukiman.

Selain itu, debit air yang ada tidak besar. "Kalau kami antre dari dini hari biasanya sampai jam 12 siang baru dapat jatah air minum. Itu pun hanya mendapat sekitar 20 liter," sambung Laki.
Tak jarang sejumlah warga yang tidak mendapat air minum memilih untuk bermalam di sekitar lokasi sumber air. Hal ini terpaksa dilakukan demi dapat menampung air minum untuk dibawa kembali ke rumah.

Dikisahkan Rafel Bhia, Ketua RT setempat, terkadang air yang sudah ditampung oleh warga menunggu sejak malam hari dicuri sesama warga lainnya. "Kalau sudah seperti itu, konflik dan perkelahian di antara mereka tidak terelakkan," sambung Kosmas Djawa.

Mereka mengatakan, untuk mendapatkan air bersih yang bisa dikonsumsi saja sudah sulit sekali, apalagi kebutuhan rumah tangga yang lain tentunya tidak terpenuhi. Dari debit air yang tersedia pada musim kemarau tersebut, warga hanya bisa menggunakannya untuk konsumsi.

"Hanya untuk minum saja, sudah kesulitan sekali. Bagaimana mau mandi. Apalagi untuk kebutuhan lainnya, tentu kami tidak bisa penuhi. Kasarnya kami di sini rebutan air minum dengan ternak," kata mereka. (John Taena)

Pos Kupang edisi Sabtu, 27 Maret 2010 halaman 5

Melihat 'Ban Oto' Terbesar di Dunia

Stadion Allianz Arena (14 Maret 2010)
"KALAU sudah berada di Munich, tidak lengkap kalau belum sempat melihat Stadion Allianz Arena," kata Christian Woff. Kolega yang sama-sama menjalani pelatihan kepemimpinan di Gummersbach itu mempromosikan Allianz Arena ketika kami dalam perjalanan dengan bus menuju Munich, akhir pekan lalu.

Sebagai anak Jerman yang gila bola, Wolff sangat bangga dengan stadion megah tersebut. "Saya sudah berkali-kali menonton pertandingan Bayern Munich dan tim nasional Jerman di stadion itu," kata Wolff yang tinggal di Kota Erlangen.

Sejak awal saya memang sudah berniat untuk bertandang ke Allianz Arena meskipun tidak begitu yakin apakah mungkin, mengingat jadwal pelatihan sangat padat dan disiplin tinggi khas Jerman. Niat itu akhirnya terwujud hari Minggu 14 Maret 2010. Setelah program city tour berjalan kaki yang cukup menguras energi di bawah siraman hujan salju, bersama Saidiman, sesama peserta pelatihan asal Indonesia, kami menuju Allianz Arena.


Keraguan sempat muncul mengingat kami "buta" tentang Munich dan baru pertama coba menjelajahi kota metropolitan terbesar di Jerman ini. Birgitt, resepsionis Hotel Maritim, tempat kami menginap, memupus keraguan dengan memberikan peta transportasi kota serta petunjuk tentang cara mencapai Allianz Arena. "Jika Anda bingung dalam perjalanan nanti, tanyakan pada orang-orang atau temui polisi. Mereka akan senang membantu," kata Birgitt dengan ramah.

Birgitt benar. Peta transportasi Kota Munich sangat memanjakan siapa pun yang berkunjung ke kota tersebut. Meskipun tertulis dalam bahasa Jerman yang relatif asing bagi kami, tetapi rute kereta api bawah tanah, trem dan bus memberi petunjuk jelas, baik berupa mesin penjualan tiket dan harganya, papan rute pemberhentian di setiap peron maupun pengumuman otomatis di setiap pemberhentian. Jadi agak muskil tersesat, kecuali kalau malu bertanya.

Setelah membeli tiket kereta api bawah tanah seharga 5 euro (sekitar Rp 65 ribu) yang berlaku sehari penuh, saya dan Saidiman memulai perjalanan ke Allianz Arena dari stasiun pusat Munich. Jaraknya sekitar 15 km dari pusat kota. Tidak ada kesulitan berarti meskipun harus berganti jalur kereta dan melewati sepuluh stasiun pemberhentian. Dengan peta di tangan kami menceklis setiap pemberhentian yang dilewati. Tidak sampai dua belas menit kami sampai di Fortmaning, stasiun pemberhentian terakhir menuju Allianz Arena yang berada di pinggiran Munich. Dari stasiun Fortmaning hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit berjalan kaki untuk mencapai stadion.

"Ban Oto" Terbesar
Desain Stadion Allianz Arena futuristik dan unik. Keunikannya terletak pada bentuk dan kontur dinding penutup stadion sangat mirip "ban oto" alias ban mobil. Jadi bisa dilukiskan sebagai ban mobil terbesar di dunia. Dilihat dari udara maupun dari darat kesan pertama yang tertangkap adalah "ban mobil" dalam posisi tergeletak. Dari luar juga terlihat seperti sebuah pesawat UFO yang sedang parkir.

Keunikan lain Stadion Allianz Arena Munich terdiri dari tiga warna yang berganti sesuai keperluan, yakni warna merah, biru dan putih. Stadion triwarna ini adalah home base klub Bayern München atau Bayern Munich dan TSV 1860 Munich. Jika Bayern Munich atau FC Holywood menjadi tuan rumah maka stadion akan berwarna merah. Sebaliknya jika TSV 1860 München bermain akan berwarna biru. Stadion akan berwarna putih bila tim nasional Jerman bermain.

Ketika saya berkunjung ke stadion itu 14 Maret 2010, warna stadion putih. Artinya stadion itu milik Jerman. Jerman seolah mengatakan kepada dunia bahwa inilah wajah teknologi mereka yang super canggih.

Tri warna sesungguhnya warna pembungkus stadion yang terdiri dari 2.874 bantal udara transparan. Bantalan udara itu dapat memantulkan sinar cahaya dari dalam stadion. Artinya, perubahan warna merah, biru dan putih dipantulkan dari dalam stadion.

Allianz Arena dengan kapasitas kursi 59.416 menjadi tempat pembukaan Piala Dunia 2006 di Jerman. Ukuran lapangan 105 x 68 meter serta pencahayaan 1.500 lux menjadikan Arena salah satu stadion terbaik di dunia. Tanggal 19 Mei 2005, pukul 19.00 gawang Stadion Allianz Arena pertama kali digunakan Bayern Munich dan TSV 1860 sebagai tanda pra-pembukaan stadion.

Secara resmi stadion ini dibuka tanggal 30-31 Mei 2005. Tanggal 30 Mei adalah pertandingan TSV 1860 melawan FC Nurenberg dan 31 Mei pertandingan FC Bayern Munuich melawan timnas Jerman. Kedua pertandingan tersebut merupakan tanda resmi pembukaan Stadion Allianz Arena. Walikota Munich saat itu, Christian Ude memimpin pembukaan stadion Allianz Arena. Stadion ini pun ramah terhadap penyandang cacat. Tersedia tempat duduk khusus bagi sesama kita yang kurang beruntung secara fisik.

Saat bertandang ke sana stadion sedang tidak digunakan untuk bertanding. Namun, para pengunjung sangat ramai. Ada yang datang sendiri maupun dalam grup. Stadion ini rupanya menjadi salah satu obyek wisata di Jerman sekaligus tempat rekreasi. Di Stadion ini terdapat arena tour dan tempat berbelanja. Para petugas dengan ramah melayani para pengunjung yang ingin tahu data dan informasi.

Ada bioskop bernama Arena Kino. Ada FC Bayern Munich Megastore, TSV 1860 Megastore, Showroom Medion, Showroom Audi, Allianz-Arena shops untuk sovenir, T-Com Haus dan Restaurant Arena a la Carte.

Dengan alamat Werner-Heisenberg-Allee 25, 80939 Munich, siapa pun bisa mengunjungi "ban oto" terbesar di dunia ini karena akses ke sana sangat mudah, baik dari pusat kota atau dari Bandara Munich yang berjarak sekitar 29 km. Rute kereta api dan bus langsung ke stadion itu sehingga para penonton dari berbagai kota di Jerman atau dari kawasan Eropa tidak sulit saat pergi dan atau meninggalkan stadion tersebut.

"Kapan ya kita di Indonesia punya stadion seperti ini? Stadion yang bisa menjadi obyek wisata dan tempat rekreasi keluarga, " kata Saidiman. Saya tak tanggup menjawab! (Dion DB Putra, dari Munich)*

Data Sekilas:
Nama Stadion: Allianz Arena
Kota: Munich (penduduk 1,4 juta jiwa)
Investasi stadion : 340 juta euro
Kandang klub : Bayern Munih dan TSV 1860 Munich
Kapasitas total : 66.016 orang
Kapasitas kursi : 59.416

Pos Kupang edisi Minggu, 21 Maret 2010 halaman 1

Sekelumit Kisah Hanadi

"SAYA percaya adanya Tuhan, tapi saya tidak beragama. Saya bukan seorang Kristen, bukan juga Islam. Apakah Anda yang setiap hari Minggu pergi ke gereja lebih toleran dibandingkan dengan saya?"

Wuih! Pernyataan sekaligus pertanyaan "menohok" itu keluar spontan dari mulut Stanislav Fort, pria asal Slovakia. Aktivis partai yang sedang mencalonkan diri menjadi senator di negerinya itu menatapku tajam. Sebuah pernyataan reflektif yang dalam maknanya.

"Betul, saya ke gereja pada hari Minggu untuk berdoa. Apakah saya lebih toleran? Rasanya tidak!" jawabku. Stanislav tersenyum. Dia mengangguk-anggukkan kepala tanda sependapat.

"Orang boleh saja mengklaim diri sangat religius, tetapi belum tentu dalam kehidupan sehari-hari bisa bersikap toleran dengan orang lain yang berbeda agama," kata Stanislav.

Demikian sepenggal dialog dalam sesi diskusi focus group tentang masalah toleransi antar umat beragama di Theodor Heuss Akademie, Gummersbach-Jerman. Toleransi termasuk topik mendalam yang dibahas 24 peserta dari 21 negara yang mengikuti latihan kepemimpinan bertajuk Liberalisme dan Religiositas yang diselenggarakan Friedrich Naumann Stiftung tanggal 7-19 Maret 2010 di Gummersbach, kota kecil sekitar 50 km dari Koln.

Dinamika diskusi menarik perhatian. Toleransi ternyata masih menyisakan masalah di berbagai negara Asia, Afrika, Eropa dan Latin Amerika. Peserta seminar dari keempat benua itu mengungkapkan kecemasan yang mirip. "Di negeri kami yang mayoritas Kristen, konflik sosial berlatarbelakang agama masih terjadi sampai hari ini. Implementasi semangat toleransi memang tidak mudah," kata Isaac Obeng Aboagye asal Ghana.

Isaac memberi contoh, umat Kristen Kharismatik yang mayoritas di Ghana bahkan memandang saudaranya penganut Kristen Protestan dan Katolik sebagai "orang lain". "Apalagi dengan yang bukan Kristen," kata Isaac.

"Dan, terjadi di mana-mana, setiap agama berusaha mendominasi agama yang lain. Poin yang ingin saya tekankan adalah bukan hanya kelompok mayoritas yang ingin mendominasi minoritas?" tandas Natalia Davydova dari Ukraina. Natalia sungguh mengungkap realitas.
Pergumulan semacam itu terjadi di banyak negara.

"Turki adalah negara sekular modern. Tapi toleransi di sana pun masih bermasalah meskipun tidak terjadi dalam skala besar seperti di negara lain," kata Hasan Yucel Basdemir dari Universitas Hitit, Corum-Turki.

Bagaimana dengan wajah Indonesia? Hasil survai LSI tahun 2006 kiranya dapat dipakai sebagai cermin. Survai itu menunjukkan masyarakat Indonesia cukup toleran dalam masalah sosial. Misalnya, mereka tidak keberatan hidup bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Tetapi sikap toleran itu berkurang apabila memasuki wilayah teologis dan politik seperti soal pembangunan tempat ibadah.

Sharing pengalaman peserta diskusi menunjukkan fakta sebangun. Betapa pun bagusnya kebijakan publik yang dibuat negara tentang toleransi tidak mudah ditransformasikan ke dalam realitas keragaman masyarakat. Apalagi negara cukup sering tidak berani mengambil keputusan tegas demi menegakkan prinsip kesetaraan dan keadilan.

Panel diskusi mengarah pada kesimpulan kecil. Toleransi bukan proses sekali jadi karena hal ini menyangkut nilai yang harus mengakar di tengah masyarakat. Tentu dibutuhkan modal untuk membangun toleransi sebagai nilai kebajikan dalam masyarakat plural. Pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan yang intensif.

Kedua, perlu merajut kepercayaan di antara beragam kelompok dan aliran. "Saya setuju dengan dialog intensif. Tetapi dialog harus berlandaskan semangat yang tulus dan keikhlasan menerima pandangan berbeda. Pengalaman mengajarkan kepada kita betapa dialog antarumat beragama sekadar basa-basi politis. Pengalaman di banyak negara menunjukkan, agama dipakai sebagai kendaraan demi mencapai tujuan politik," kata peserta asal Tibet, Yeshi Phuntsok. Nah?

Maka meluncurlah sekelumit kisah dari Hanadi Zughayyer dan Sharifa Mustafa Nasif. Kedua perempuan itu sama-sama asal Ramallah, Palestina. Hanadi beragama Kristen dan Sharifa beragama Islam. Peserta seminar dari negara lain sangat antusias menanyakan kondisi sosial di Palestina termasuk masalah toleransi langsung dari sumber pertama.

"Toleransi? Itu bukan masalah di Palestina bahkan bukan sumber masalah utama dalam konflik Palestina dengan Israel. Konflik di Palestina dan Israel itu masalah politik, bukan konflik agama," kata Hanadi. "Kami tidak saling mengganggu saat menjalankan ibadah agama masing-masing," kata Sharifa Mustafa Nasif.

Dalam seminar tentang Liberalisme dan Religiositas juga hadir peserta dari Israel, Amichay Findling. Keakraban peserta dari dua negara yang berseteru itu sungguh indah dipandang. Keceriaan mereka saat berdikusi, kehangatan bercengkerama di kala coffee break atau makan siang setidaknya menghapus kesan seram tentang "perang tak berkesudahan" antara Israel- Palestina.

Selasa malam 9 Maret 2010, saat kami melepas sedikit ketegangan setelah diskusi seharian di Restauran Shisha Oase milik Sukron asal Libanon, di pusat Kota Gummersbach, Hanadi, Sharifa dan Amichay berdendang dan berjoget ria. Hanadi dan Sharifa menyanyikan lagu Timur Tengah dan Amichay bergoyang ria.

Laura Elena Caballero asal Meksiko, Kamila Murzaeva dari Kirgystan, Omar Al Ma'aitah asal Yordania dan Shady Mokhtar Mogahed dari Mesir tak ketinggalan bergoyang. Sungguh saya terharu menyaksikan sepotong kedamaian itu. (Dion DB Putra, catatan dari Gummersbach-Jerman)

Pos Kupang edisi Minggu, 14 Maret 2010 halaman 1

Museum


HARI menjelang remang di Marienplatz, jantung Kota Munich. Batin telah lama bergumam, pulanglah ke hotel sekarang! Hampir seharian menikmati kejayaan negeri orang. Tapi kaki tak hendak beranjak. Sontak teringat pesan seseorang menjelang keberangkatan ke Jerman. Jangan lupa lihat museumnya!

Sekali lagi kutengok peta di tangan. Oh.. Marienplatz memang pantas disebut jantung ibukota Bavaria. Tempat interaksi sosial penduduk kota dan manusia berbeda benua. Lokasi paling ideal untuk sekadar kongkow, mejeng atau jalan jalan sore. Inilah pusat keramaian Munich, kota metropolis terbesar ketiga di Jerman. Inilah city center Munich sejak tahun 1158.

Di sinilah berlangsung ajang paling heboh sejagat bernama Oktoberfest. Festival minum bir selama dua pekan lebih yang menyedot 6 juta turis per tahun. Sebuah festival ketika orang mengenakan kostum Bavaria dan menumpahkan sekitar 6,9 juta liter bir untuk diminum bersama. Gila! Bulan Oktober 2010 adalah peringatan dua abad Oktoberfest yang so pasti  lebih dahsyat perhelatannya.

Sama halnya plaza dan ruang terbuka di kota-kota utama Eropa, Marienplatz sangat memanjakan wisawatan. Plaza ini dikelilingi bangunan kuno yang sebagian besar lantai dasarnya berfungsi sebagai kafe, restoran dan butik.


Dari plaza ini tuan bisa kemana saja bermodal jalan kaki. Dalam radius satu kilometer persegi hampir menemukan segalanya. Dari butik, toserba, toko suvenir, kafe sampai pedagang kaki lima. Bersama teman-teman dari sejumlah negara, beta sudah puas menikmati keindahan Munich dari Rathaus (Town Fall, 1867-1908) bergaya neo-gothic yang terkenal dengan Glockenspiel di atas menara setinggi 85 meter. Beta pun terharu menatap patung Bunda Maria yang sedang memandang ke bawah, seolah menyaksikan keceriaan "anak-anaknya" dari berbagai belahan dunia di Marianplatz dari puncak tugu marbelnya.

Beberapa jam yang lalu kami telah mencicipi keunikan Church of the holy Ghost yang dibangun abad ke-14 lalu direstorasi dalam gaya Roccoco antara tahun 1724-1730. Demikian pula dengan Church of Our Lady atau Katedral Munich. Katedral yang ditahbiskan tahun 1494 bergaya gothic dengan dua kubah menara ini adalah landmark Kota Munich. Kartu pos yang mudah ditemukan di Munich umumnya mempromosikan keindahan gereja tua itu.

Secangkir bir di tangan pengusir rasa dingin telah lama kosong, tapi beta masih duduk di kafe jalan Marienplatz. Hampir semua tempat bersejarah di jantung Munich telah beta nikmati. Mau apa lagi? Ah, tetap saja ada yang kurang. Museum! Peta di tangan memenuhi dahaga itu.

Kutinggalkan pengamen yang melantunkan irama reggae. Masih ada waktu menyusuri riverwalk Isartor yang romantik. Isartor river terletak di sisi timur, kurang lebih 10 menit berjalan kaki dari Marienplatz atau lima menit dari Isartorplatz. Sungainya lebar, berarus tenang dan bercabang di beberapa titik hingga berkesan membentuk pulau di tengah sungai. Di situlah terletak Deutsches Museum atau German Museum for Science and Technology. Museum ini menyajikan riwayat kemajuan produk sains dan teknologi Jerman. Beberapa contoh aplikasi hukum alam, peralatan keteknikan prosedur sains dipresentasikan dalam kemasan yang menghibur. Gampang dimengerti alur ceritanya.

Isi museum sangat lengkap. Mulai dari riwayat teknologi kapal laut, teknologi penerbangan dan antariksa, pertanian, percetakan, telekomunikasi, konstruksi mesin, elektronik, kimia, teknologi lingkungan, mekanika halus, teknologi nano, gen dan sebagainya. Museum sains menjelaskan Jerman kaya gagasan mulai dari bikin sepeda sampai format MP3. Orang-orangnya berinovasi tiada henti mulai dari Homeopati hingga Albert Einstein dengan teori relativitasnya. Butuh waktu lama jika puan hendak melahap seluruh isi museum.

Dari brosur tentang museum di Munich diketahui bahwa museum sains dan teknologi termasuk paling ramai dikunjungi turis, selain museum BMW. Ya, di kota inilah markas dan cikal bakal pabrik mobil terkenal tersebut. BMW (Bayerische Motoren Werke AG atau Bavarian Motor Works) adalah produk otomotif kebanggaan negara bagian Bavaria dan Jerman. Bagi orang Indonesia, BMW adalah lambang prestise. Simbol kemakmuran hidup.

Museum BMW tidak hanya memamerkan kejayaan masa lalu tapi juga menyajikan informasi lengkap soal perkembangan teknologi masa lalu, kini dan masa depan BMW. Karena keterbatasan waktu beta tidak berkunjung ke museum yang dibangun tahun 1971 tersebut. Beta hanya sempat memandang bangunannya yang mirip mangkuk beton dari jendela bus dalam perjalanan pulang dari Munich ke Koln 16 Maret 2010 lalu.

Munich memang tidak semata dikenal sebagai Kota Bola, Bir dan BMW. Munich tidak hanya kenangan getir peritsiwa Black September 1972 (serangan teroris terhadap atlet Israel saat Olimpiade 1972), Film "Munich" garapan Steven Spielberg, Stadion Allianz Arena dan klub bertaburan bintang, Bayern Munich. Munich adalah kota museum. Puluhan museum terdapat di kota ini dan menjadi obyek wisata andalan bagi pendapatan negara. Sehari tak pernah cukup untuk mengunjungi museum-museum di kota itu.

Agaknya wajar jika Federasi Jerman yang terdiri dari 16 negara bagian berani mengklaim diri sebagai nomor satu di dunia dalam hal kepemilikan museum. Terdapat 5.000 museum di seluruh Jerman yang berpenduduk 82 juta jiwa (500 di antaranya museum seni rupa). Juga terdapat 300 teater, lebih dari 100 teater musik dan gedung opera, 130 orkes profesional dan 7.500 perpustakaan! Setiap tahun 95.000 judul buku terbitan baru atau edisi cetak ulang. Bangsa yang selalu belajar dan belajar. Bangsa yang tak lupa budaya.

Sontak teringat Indonesia. Mendadak terkenang kampung halaman Flobamora. Museum di Indonesia bukanlah obyek wisata utama. Museum di beranda Flobamora adalah tempat yang paling jarang dijamah. Museum bukan ruang publik yang menyenangkan, sumber ilmu pengetahuan dan kebajikan.

Wisata museum belum menjadi bagian dari gaya hidup kita. Hanya sedikit orang yang peduli. Cuma segelintir yang punya atensi. Dalam keheningan museum di Munich, beta meyakini satu hal, tak ada kata terlambat untuk mulai. Setidaknya mulai dari diri sendiri. Tidaklah patut memuja kejayaan negeri orang sambil menghujat milik sendiri. Terkenang Museum Negeri di Jalan El Tari Kupang yang wajahnya bersahaja. Ingin hatiku segera ke sana lagi. Meskipun kekayaan negeriku itu sepi sendiri. Dan, sunyi! (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang edisi Senin, 22 Maret 2010 halaman 1

Kampung


MALAM itu di beranda rumah tua warisan leluhur, kutatap bulan di langit bening. Semilir dingin bayu dari selatan menebarkan aroma gunung. Sungguh melonggarkan rongga dada. Bulan sedang meluluhkan seluruh raganya ke bumi, menerangi halaman rumah berdinding bambu. Sunyi!

Ketenteraman memang terasa di sini. Di kampung terpencil ini. Alangkah damai. Tapi kurasakan secuil kehilangan. Dulu saat purnama tersenyum, anak-anak bermain petak umpet. Perawan dan perjaka bersenandung di pojok kampung. Pantun berbalas pantun. Syahdu merindu. Ada nada syukur dan puji. Kepasrahan kepada sang Dia. Juga syair cinta monyet.

Dulu saat purnama tersenyum, kaum bapak bercengkerama di kuwu (semacam balai pertemuan di tengah kampung) sambil menikmati ubi rebus dan sambal olahan ibu-ibu. Mereka melepas lelah sambil berdiskusi masalah hidup dan kehidupan kampung. Mereka tutur bercakap hingga mata mengajak rebahan.

Malam itu dan malam-malam purnama sebelumnya, kebiasaan itu tak ada lagi.Kampung sepi sunyi. Para penghuni asyik sendiri-sendiri. Para bapak, mama dan anak-anak larut nonton tivi dengan listrik bersumber dari genzet. Mereka terbius acara take me out. Mereka hafal alur cerita Cinta Fitri dan sinetron Realigi. Mereka cakap kisahkan ulang prahara rumah tangga Anang-Krisdayanti.


Di sudut beranda bernama tenda bewa, keponakanku yang laki-laki, dropout SMP kelas dua dan sudah siap nikah, goyang-goyang kepala sendiri sambil entakkan kaki, mengikuti irama musik dan lagu dari wahana MP3 dengan headset di kuping. Keponakanku yang perempuan tertawa genit cekikikan di rumah paman sebelah. Dia dan teman-teman putrinya sedang menghabiskan pulsa hape via SMS. Kirim sms cinta atau sekadar guyon, entahlah.

Keponakanku perempuan dan laki-laki adalah bagian dari muda-mudi yang masih bertahan di kampung itu. Jumlahnya kecil. Tak lebih dari dua puluh orang. Puluhan lain telah pergi. Yang laki berbondong-bondong menjadi TKI di negeri encik. Yang perempuan bangga menyandang status TKW di Hong Kong sana.

Malam itu, saat purnama tersenyum di kampung leluhur, kusadari kampung yang ketiadaan tenaga produktif. Kampung yang hanya dijaga sekelompok kakek-nenek dengan batuk bersahut saat senja mengembangkan sayapnya. Mereka yang sehat dan kuat memilih pergi. Pergi ke tanah terjanji Malaysia, Hong Kong, Singapura atau Saudi. Pembangunan tanpa manusia produktif, apakah mungkin?

Semangat pergi itu nyaris tak terkendali, meski Malaysia suka menanam luka, Singapura kerap mengaumkan nestapa, Hong Kong dan Timur Tengah bukan tanpa prahara. Nafsu tinggi bekerja di luar negeri meninggalkan rumah tangga berantakan di banyak dusun dan desa. Geger budaya, gegar cara hidup. Perilaku melanggar norma sosial. Sebagian dari mereka rajin mengirim devisa, sebagian lagi pulang sebagai orang dengan HIV/AIDS. Sindrom kekebalan tubuh itu kian gila mengganas. Diam-diam membunuh generasi kampung kita. Mati dalam kemiskinan. Siapa peduli?

Oh Flobamora! Inilah zaman ketika bidadari dusun tak lagi cakap menanam, menenun dan menumbuk padi di dalam lesung. Pangeran kampung tak mahir lagi mengiris tuak, canggung menunggang kuda berpelana tikar usang yang bikin pantat lecet luka. Inilah zaman ketika kuda sudah berganti Honda, Suzuki, Yamaha. Pemuda desa lebih mahir mengojek ketimbang sadap moke sebagai penopang ekonomi keluarga. Tugas kerbau diambil over traktor tangan. Sapi kurus kering karena tak lagi para gembala dan pakan yang cukup. Alam meranggas karena serakah. Lalap daun kacang sudah berganti mie instan.

Mau apa lagi tuan dan puan? Urbanisasi sungguh tak terelakkan. Pragmatisme hidup melanda kampung-kampung kita di beranda Flobamora. Minyak tanah, bensin dan solar naik sedikit, semua meringis jerit. Tanpa mie instan dan bakso, makan seolah tak lengkap. Hape telah menggantikan sapaan. Ladang kebun tak serius digarap karena pasar dipercaya menyediakan segalanya.

Inilah zaman ekonomi uang! Uang dan uang. Inilah zaman bantuan langsung tunai yang menjerat rakyat jadi peminta-minta. Suka menadahkan tangan! Tidak penting tanam jagung, ketela dan kacang-kacangan untuk kebutuhan rumah tangga. Uang lebih dipercaya meski tak sanggup menggusur busung lapar. Tak mujarab menihilkan gizi buruk berkepanjangan.

Ribuan desa di NTT sekarang apakah masih sebuah desa? Apakah masih komunitas bernama orang kampung? Komunitas yang tanpa gegas diburu waktu, tak resah menyongsong hari dan tiada perkara yang menggayut sepanjang waktu? Komunitas yang mampu menghidupi diri sendiri karena alam memang menyediakan lebih dari cukup? Ribuan tahun leluhur kita hidup di kampung. Beranak-pinak hingga darah mereka masih mengalir dalam tubuh kita sekarang. Kampung adalah anugerah. Kampung adalah kehidupan itu sendiri. Tak harus pergi untuk tetap hidup.

Malam itu, malam purnama di kampung leluhur, kusadari pesona desa yang hilang. Kampung yang meredup. Aih, jangan-jangan malah cara berpikirku yang kampungan. Tidak paham moderninasi. Tidak mengerti globalisasi. Tidak adaptif terhadap gempuran urbanisasi. Lupa diri bahwa dunia berubah. Tidaklah mungkin orang mundur ke zaman batu.

Kemajuan, apakah mesti menggusur nilai-nilai adiluhung kampung? Jujur, beta takut kehilangan kampung yang dulu. Harap maklum, beta lahir dan besar di dusun. Siapa tidak merindukan kampung? Bercanda dengan sungai, menggerayangi ngarai, mendekap lembah, memeluk gunung, menciumi amis lumpur muara dan mendengar ocehan burung-burung? (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang edisi Senin, 15 Maret 2010 halaman 1

Thomas


"JADI begitu bapa mama. Kami ke sana naik pesawat Boeing yang besar sekali. Kami ada lima belas orang termasuk Bapa Ketua Dewan dan Pak Kadis. Acara kami di sana berjalan lancar tanpa kendala." Pria bersafari dan memakai kaca mata minus itu bicara dengan nada bariton meyakinkan di balai desa.

Pendengarnya adalah orang kampung, sebagian besar dari mereka, baik pria maupun wanita memakai kain dan sandal jepit. Umumnya berbibir merah akibat siraman rutin limbah sirih pinang. Orang kampung tampak angguk-anggukkan kepala. Spontan memompakan semangat bicara bagi pria bersafari tadi.

"Di sana kami tidur di hotel yang bersih, pelayannya ramah, ganteng dan cantik-cantik. Bukan macam kita punya di sini. Makanannya juga enak. Pagi-pagi sekali kami berangkat naik bis, macam bis Damri kita punya di sini tapi di sana lebih besar dan pakai AC. Bapa mama sudah tahu AC to? AC itu yang bikin penumpang bis tidak kepanasan. Jarak ke lokasi cukup jauh tapi karena jalannya mulus, kami ke sana tidak sampai satu jam," tutur pria itu.


Setelah meneguk air mineral dalam botol ukuran sedang yang disiapkan isteri kepala desa, pria berkaca mata minus melanjutkan kisahnya. "Tiba di lokasi kami disambut ramah Bapak ketua kelompok tani dan anggotanya. Rombongan dari sini masing-masing diberi kain selendang. Petani di sana memang hebat. Dorang (baca: mereka) kaya raya berkat hasil kebun jagung, ubi, pisang dan sayur-mayur. Saya tidak omong kosong, petani di sana rata-rata punya oto (mobil) sendiri untuk angkut hasil bumi ke pasar. Jadi begitu bapa mama, hasil studi banding kami ke sana baru-baru ini. Banyak sekali manfaatnya untuk kita di sini. Kalau bapa mama mau meniru, maka bisa hidup baik seperti mereka," ujarnya. Rekan kerja pria itu yang duduk di deretan kursi paling belakang tepuk tangan. Spontan diikuti seluruh hadirin di balai desa. Aplaus membahana. Di ini negeri tepuk tangan bisa diatur!

"Petani di sana kerja keras, rajin dan disiplin. Mereka rawat tanaman setiap hari. Mereka biasa kerja kelompok, saling menolong. Makanya bapa mama, kita di sini tidak boleh malas kerja. Kita juga bisa hidup baik seperti mereka kalau kita mau," kata pria berkaca mata mengakhiri "wejangannya".

Di papan nama dada pria itu tertulis: Thomas. Atas permintaan Thomas, nama marga atau fam-nya sonde (tidak) beta siarkan di ruangan ini. Hari itu Thomas ditemani dua rekan kerja melakukan kunjungan kerja ke desa. Ya, salah satu desa di beranda Flobamora. Dia ditugaskan kepala bagian untuk mensosialisasikan program pemerintah yang sedang giat digalakkan. "Jangan lupa you sampaikan juga hasil stuba (studi banding) kita baru-baru ini dan buatkan laporan tertulis untuk Pak Kadis," kata si bos sebelum Thomas meninggalkan kantor sehari sebelumnya.

***
"SAYA sebetulnya tidak suka cara sosialisasi begini karena tidak ada manfaat apa-apa buat petani. Dari dulu saya tidak setuju studi banding di bidang pertanian tanpa melibatkan petani. Tapi mau bilang apa, budaya kami di birokrasi pemerintah tidak boleh membantah perintah atasan. Ya, jalani saja," kata Thomas.

Thomas menyesal? Tentu. Saat kuliah S1 pertanian dan menjadi aktivis mahasiswa, Thomas getol berteriak tentang keberpihakan nyata bagi petani, populasi terbesar di Nusa Tenggara Timur. Dia sering menulis di banyak media tentang nasib petani kecil. Idealismenya luruh ketika menyandang status Pegawai Negeri Sipil (PNS). Makin terjepit ketika memangku jabatan struktural. "Cara kerja PNS punya logika sendiri, bung!" katanya. Kutahu dia sekadar menghibur diri.

Begitulah tuan dan puan. Cukup banyak manusia seperti Thomas di sekitar kita. Mereka tahu sesuatu keliru, tapi tak sanggup meluruskannya. Mereka terpaksa menjalani tugas setengah hati agar tidak dicap membangkang.

Menyimak tutur kata Thomas menyampaikan hasil studi banding di atas, betapa jauh panggang dari api. Thomas cuma mewartakan kisah perjalanan yang datar, tidak berisi. Substansi studi banding tak tersentuh. Pertemuan di balai desa hari itu cuma kunjungan rutin. Pertemuan yang hampa. Thomas pulang dengan hati masygul. "Kalau para petani itu diajak studi banding untuk lihat sendiri, saya tidak perlu omong kosong seperti tadi, kawan!" kata Thomas terbahak.

Tuan dan puan (sebagian besar) warga Nusa Tenggara Timur kiranya familiar dengan figur Thomas. Thomas dikenal sebagai manusia yang tak mudah percaya. Prinsip Thomas: lihat dulu baru percaya! Maka studi banding menemukan habitatnya di beranda Flobamora. Orang kita umumnya mengidolakan figur Thomas sehingga rajin studi banding ke mana-mana, bahkan hingga mancanegara. Studi banding adalah menu harian di kampung kita. Tidak penting amat berapa biaya yang digelontorkan untuk tiket, makan minum, hotel dan SPPD. Ratusan juta hingga miliaran rupiah terkuras bukan masalah. Inilah negeri Thomas!

Celakanya peserta stuba kerap tanpa seleksi sesuai kebutuhan. Seperti disentil seorang pakar ekonomi NTT, studi banding pertanian, pesertanya staf Dinas Pertanian dan anggota Dewan yang membidangi masalah pertanian. Bukan petani! Studi banding tentang perikanan, ya jatah pimpinan dan staf Dinas Perikanan. Nelayan yang hari-hari bekuk ikan, tunggu saja hasil sosialisasi dari mereka.

Dua tahun sudah pemerintah propinsi ini canangkan propinsi jagung. Eh, studi banding baru terlaksana barusan oleh Wakil Rakyat yang Terhormat (Yth). Benar juga kata temanku Thomas, Yth di gedung anggun sana "punya logika sendiri". Apakah itu logika sendiri? Sorry, beta tidak mengerti.

Yang pasti beta termasuk kelompok fanatik pendukung stuba. Studi banding itu perlu demi Flobamora yang lebih baik. Perkara kita tinggal mengubah kemasan stuba agar rasional dan mutlak dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Urusan kita lebih pada perubahan sikap. Bertahun-tahun laporan stuba cantik manis di atas kertas. Laporan stuba tak pernah dibaca ulang dan menjadi dokumen resmi pembangunan. Laporan stuba selalu habis dimakan rayap. Dewan berganti, studi banding topik yang sama terulang lagi! Tapi eitt, sabar dulu! Jangan-jangan usul ini justru memberi inspirasi baru. NTT butuh studi banding tentang cara studi banding yang baik dan benar. Oh ya? Hidup Thomas! (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang edisi Senin,8 Maret 2010 halaman 1

Copas


POSISINYA tidak mencolok mata. Tidak eye catching menurut terminologi media. Agak tersudut di pojok halaman terujung. Sekilas lihat bisa terlewatkan. Jika tak cermat gagal jumpa. Kalimatnya singkat, padat dan jelas. Isinya kurang lebih demikian. "Konsultasi skripsi dijamin tuntas sepekan. Jl. Duren III Gg Rona No. 2. Hub Dimas 081335667xxx. Tarif nego."

Skripsi tuntas dalam sepekan. Waw? Iklan baris itu beta temukan di sebuah koran harian yang bermarkas di salah satu kota pelajar di Pulau Jawa. Setelah ditengok ternyata tidak cuma satu iklan. Masih ada beberapa yang menawarkan jasa sejenis. Bukan cuma skripsi. Mereka bahkan menawarkan bantuan untuk tesis. Wuih!

"Itu mah udah biasa di sini," kata seorang teman seprofesi. Diksi konsultasi sungguh berbobot akademis. Artinya lembaga yang mengiklankan dirinya itu menyiapkan tenaga konsultan yang siap menuntun mahasiswa atau mahasiswi menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi. Luar biasa! Selain dosen pembimbing di kampus ternyata para mahasiswa dimungkinkan mendapat bimbingan di luar kampus. Wajar bila mereka cepat merampungkan skripsi.


"Tunggu dulu, bung jangan terkecoh iklan. Konsultasi hanya label. Faktanya adalah pratik copas alias copy and paste. Penyedia jasa konsultasi memiliki banyak contoh skripsi atau tesis. Tinggal pilih yang cocok dengan jurusan atau program studi. Makanya mereka jamin seminggu beres," lanjut temanku tadi. Sebagai jurnalis dia pernah membuat investigasi tentang praktik copas. Ada uang, skripsi tuntas!

Begitulah tuan dan puan. Pragmatisme telah merambah hampir seluruh lini kehidupan, termasuk dunia pendidikan yang idealnya memintal karakter manusia berbudi luhur. Gampang betul jadi mahasiswa zaman ini, entah mahasiswa S1, S2 maupun S3. Tak perlu susah payah belajar. Tugas akhir tinggal copy paste milik orang lain. Tinggal ganti nama, lokasi penelitian serta sedikit utak-atik data.

Beranda Flobamora belum seberani itu. Di kampung besar Nusa Tenggara Timur belum ada "konsultan skripsi" iklankan diri lewat media massa cetak pun elektronik. Tapi praktik semacam sudah berlangsung sejak dulu. Pada masa beta remaja naik badan dua puluhan tahun lalu, promosinya lewat bisikan mulutgram alias dari mulut ke mulut. Sekarang so pasti lebih canggih.

Menurut seorang dosen di Kupang, modus copas di Flobamora menggunakan trik malu-malu kucing dan bergaya bunglon. Tanpa wujud baku namun berbisnis riuh. Dosen itu menyebut contoh sejumlah rental komputer yang tidak seratus persen rental. Ada main samping. Menyediakan contoh skripsi dalam jumlah puluhan bahkan ratusan. Yang mau tinggal beri duit. Beres! Ada pula oknum dosen dan sarjana nganggur yang "buka praktek" bikin skripsi. Promosinya manis, membantu mahasiswa (dengan imbalan uang). Tidak percaya? Silakan telusuri sendiri.

***
FENOMENA copas bukan hal baru dan tidak semata mengoyak keagungan semesta akademik. Dalam lapangan hidup lainnya hal yang sama juga terjadi secara telanjang. Unsur eksekutif dan legislatif kita cukup akrab dengan cara kerja copas. Misalnya dalam menyusun peraturan daerah (perda). Daripada pening kepala merumuskan pasal dan ayat, paling enteng copy paste perda dari daerah lain. Ketika ratusan perda di NTT dibatalkan pihak berwenang negeri ini, aroma copy and paste itu sulit sekali dipungkiri.

Bagaimana dengan program pembangunan? Lagi-lagi sulit berkata tidak. Orang kita amat cekatan dan piawai melakukan copy paste sehingga program pembangunan daerah kehilangan rohnya. Serba tanggung, cuma hafalan yang tunggang-langgang pada level implementasi. Program tidak membumi karena bukan hasil kreasi sendiri disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Jika tuan sangsi, cobalah telisik visi- misi para calon kepala daerah yang hari-hari ini getol menjual diri kepada rakyat. Bisa dipastikan visi dan misi mereka yang tebal berlembar-lembar itu hasil copy paste.

Kiranya benar bila banyak orang berkata, copy paste telah menjadi epidemi di negeri ini. Epidemi yang menggerogoti hampir semua bidang kehidupan. Dalam dunia kewartawanan, ada oknum jurnalis merasa tak berdosa melakukan kloning berita. Berita orang lain dikopi lurus tanpa sentuhan baru. Di bidang seni budaya pun setali tiga uang. Banyak yang ingin cepat tenar dan kaya harta dengan cara yang cemar. Jiplak-menjiplak karya sesama!

Kita adalah bangsa yang rapuh melapuk. Bangsa yang terus kehilangan karakter adiluhung akibat kentalnya mental menerabas seperti diingatkan Koentjaraningrat abad yang lalu. Semua ingin serba cepat. Cepat sarjana, cepat jadi doktor, profesor, cepat berkuasa atau lekas kaya materi tanpa kucurkan keringat dan air mata.

Nurani menjerit perih tatkala media massa mewartakan mereka yang sangat terpelajar sontak ketahuan sebagai profesor doktor plagiat. Kita tidak menutup mata banyak pula profesor jujur. Banyak juga doktor cerdas berkat kerja keras mengasah otak dan hati. Tapi mau bilang apa, epidemi plagiarisme akhir-akhir ini sungguh menohok semesta intelektual. Bak kata pepatah, nila setitik merusak susu sebeha. Oh maaf, maksudku susu sebelanga. Hahaha... Gladiatorkan para plagiator. Ayo! (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang Senin, 1 Februari 2010 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes