Wuih! Pernyataan sekaligus pertanyaan "menohok" itu keluar spontan dari mulut Stanislav Fort, pria asal Slovakia. Aktivis partai yang sedang mencalonkan diri menjadi senator di negerinya itu menatapku tajam. Sebuah pernyataan reflektif yang dalam maknanya.
"Betul, saya ke gereja pada hari Minggu untuk berdoa. Apakah saya lebih toleran? Rasanya tidak!" jawabku. Stanislav tersenyum. Dia mengangguk-anggukkan kepala tanda sependapat.
"Orang boleh saja mengklaim diri sangat religius, tetapi belum tentu dalam kehidupan sehari-hari bisa bersikap toleran dengan orang lain yang berbeda agama," kata Stanislav.
Demikian sepenggal dialog dalam sesi diskusi focus group tentang masalah toleransi antar umat beragama di Theodor Heuss Akademie, Gummersbach-Jerman. Toleransi termasuk topik mendalam yang dibahas 24 peserta dari 21 negara yang mengikuti latihan kepemimpinan bertajuk Liberalisme dan Religiositas yang diselenggarakan Friedrich Naumann Stiftung tanggal 7-19 Maret 2010 di Gummersbach, kota kecil sekitar 50 km dari Koln.
Dinamika diskusi menarik perhatian. Toleransi ternyata masih menyisakan masalah di berbagai negara Asia, Afrika, Eropa dan Latin Amerika. Peserta seminar dari keempat benua itu mengungkapkan kecemasan yang mirip. "Di negeri kami yang mayoritas Kristen, konflik sosial berlatarbelakang agama masih terjadi sampai hari ini. Implementasi semangat toleransi memang tidak mudah," kata Isaac Obeng Aboagye asal Ghana.
Isaac memberi contoh, umat Kristen Kharismatik yang mayoritas di Ghana bahkan memandang saudaranya penganut Kristen Protestan dan Katolik sebagai "orang lain". "Apalagi dengan yang bukan Kristen," kata Isaac.
"Dan, terjadi di mana-mana, setiap agama berusaha mendominasi agama yang lain. Poin yang ingin saya tekankan adalah bukan hanya kelompok mayoritas yang ingin mendominasi minoritas?" tandas Natalia Davydova dari Ukraina. Natalia sungguh mengungkap realitas.
Pergumulan semacam itu terjadi di banyak negara.
"Turki adalah negara sekular modern. Tapi toleransi di sana pun masih bermasalah meskipun tidak terjadi dalam skala besar seperti di negara lain," kata Hasan Yucel Basdemir dari Universitas Hitit, Corum-Turki.
Bagaimana dengan wajah Indonesia? Hasil survai LSI tahun 2006 kiranya dapat dipakai sebagai cermin. Survai itu menunjukkan masyarakat Indonesia cukup toleran dalam masalah sosial. Misalnya, mereka tidak keberatan hidup bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Tetapi sikap toleran itu berkurang apabila memasuki wilayah teologis dan politik seperti soal pembangunan tempat ibadah.
Sharing pengalaman peserta diskusi menunjukkan fakta sebangun. Betapa pun bagusnya kebijakan publik yang dibuat negara tentang toleransi tidak mudah ditransformasikan ke dalam realitas keragaman masyarakat. Apalagi negara cukup sering tidak berani mengambil keputusan tegas demi menegakkan prinsip kesetaraan dan keadilan.
Panel diskusi mengarah pada kesimpulan kecil. Toleransi bukan proses sekali jadi karena hal ini menyangkut nilai yang harus mengakar di tengah masyarakat. Tentu dibutuhkan modal untuk membangun toleransi sebagai nilai kebajikan dalam masyarakat plural. Pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan yang intensif.
Kedua, perlu merajut kepercayaan di antara beragam kelompok dan aliran. "Saya setuju dengan dialog intensif. Tetapi dialog harus berlandaskan semangat yang tulus dan keikhlasan menerima pandangan berbeda. Pengalaman mengajarkan kepada kita betapa dialog antarumat beragama sekadar basa-basi politis. Pengalaman di banyak negara menunjukkan, agama dipakai sebagai kendaraan demi mencapai tujuan politik," kata peserta asal Tibet, Yeshi Phuntsok. Nah?
Maka meluncurlah sekelumit kisah dari Hanadi Zughayyer dan Sharifa Mustafa Nasif. Kedua perempuan itu sama-sama asal Ramallah, Palestina. Hanadi beragama Kristen dan Sharifa beragama Islam. Peserta seminar dari negara lain sangat antusias menanyakan kondisi sosial di Palestina termasuk masalah toleransi langsung dari sumber pertama.
"Toleransi? Itu bukan masalah di Palestina bahkan bukan sumber masalah utama dalam konflik Palestina dengan Israel. Konflik di Palestina dan Israel itu masalah politik, bukan konflik agama," kata Hanadi. "Kami tidak saling mengganggu saat menjalankan ibadah agama masing-masing," kata Sharifa Mustafa Nasif.
Dalam seminar tentang Liberalisme dan Religiositas juga hadir peserta dari Israel, Amichay Findling. Keakraban peserta dari dua negara yang berseteru itu sungguh indah dipandang. Keceriaan mereka saat berdikusi, kehangatan bercengkerama di kala coffee break atau makan siang setidaknya menghapus kesan seram tentang "perang tak berkesudahan" antara Israel- Palestina.
Selasa malam 9 Maret 2010, saat kami melepas sedikit ketegangan setelah diskusi seharian di Restauran Shisha Oase milik Sukron asal Libanon, di pusat Kota Gummersbach, Hanadi, Sharifa dan Amichay berdendang dan berjoget ria. Hanadi dan Sharifa menyanyikan lagu Timur Tengah dan Amichay bergoyang ria.
Laura Elena Caballero asal Meksiko, Kamila Murzaeva dari Kirgystan, Omar Al Ma'aitah asal Yordania dan Shady Mokhtar Mogahed dari Mesir tak ketinggalan bergoyang. Sungguh saya terharu menyaksikan sepotong kedamaian itu. (Dion DB Putra, catatan dari Gummersbach-Jerman)
Pos Kupang edisi Minggu, 14 Maret 2010 halaman 1