I Gede Siman Sudartawa Selalu Sumbang Emas


I Gede Siman Sudartawa
Disiplin merupakan kunci sukses Siman mempertahankan prestasinya. Menurut sang ibu, Siman memiliki semangat berlatih yang luar biasa dan patuh pada instruksi pelatih.

PERENANG andalan Indonesia asal Bali I Gede Siman Sudartawa kembali menorehkan prestasi  membanggakan. Dialah yang pertama menyumbangkan medali emas dari cabang olahraga (cabor)  renang SEA Games 2019.

Siman Sudartawan meraih medali emas nomor 50 meter gaya punggung putra. Persembahannya itu merupakan emas ke-51 bagi Indonesia. Siman tercepat menyentuh finish dengan catatan waktu 25,12 detik di New Clark City Aquatic Arena Filipina, Sabtu (7/12).

Siman juga memperbaiki rekor SEA Games yang ia ciptakan pada tahun 2017 yaitu 25,20 detik.  Selain Siman, atlet asal Bali yang menyumbang medali emas bagi Indonesia adalah Maria Londa (lompat jauh) dan pedujo Ni Kadek Anny (perak).



Prestasi itu membanggakan  Ni Made Sri Karmini, ibu kandung Siman Sudartawa.
"Ini merupakan partisipasi Siman kelima kalinya di ajang SEA Games sejak tahun 2011 lalu di Palembang," ujar Ni Made Sri Karmnini kepada Tribun Bali, Minggu (8/12).

Prestasi Siman relatif stabil sejak 2011. Hampir di semua event, pemuda asal Desa Tegak, Kabupate Klungkung, Bali tersebut menyumbang medali  emas untuk Indonesia. Hanya pada tahun 2015 di SEA Games Singapura, Siman meraih medali perak.

"Sebelum kembali turun di SEA Games 2019 di Manila, Siman mendapat kesempatan ikut pemusatan latihan di Amerika Serikat  sejak September lalu," kata Sri Karmini. Selama tiga bulan, Siman mengasah kemampuannya di Virginia Tech University. Selain latihan, dia juga mengikuti beberapa perlombaan di negeri Paman Sam.

Disiplin merupakan kunci sukses Siman mempertahankan prestasinya. Menurut sang ibu, Siman memiliki semangat berlatih yang luar biasa dan patuh pada instruksi pelatih.
Siman sendiri dalam suatu kesempatan pernah mengatakan, meski sibuk latihan dia tidak meninggalkan pelajaran sekolah. Setela pulang latihan dia tetap belajar.

"Siman juga  rendah hati. Saya sebagai orangtua selalu mendukung dan berpesan agar tidak lupa berdoa dan apapun hasilnya tetap disyukuri," ujarnya.

Ia berharap Siman terus berprestasi. Tahun depan Siman akan mengikuti PON dan Olimpiade. "Meraih medali Olimpiade tentu menjadi impian bagi setiap atlet, begitu juga Siman," kata Sri Karmini.

Dijelaskannya, Siman tertarik dengan olahraga renang sejak kecil. Ketika Siman di SDN 1 Semarapura Kangin, ia minta izin ikut ekstrakulikuler renang. Dia tertarik pada cabang olahraga ini  setelah melihat teman-temannya berenang di kolam Lila Harsana Klungkung.

"Kalau dia renangnya di sungai, saya jadi takut juga. Apalagi jika hujan, jadi saya izinkan untuk ikut ekstrakulikuler renang,” ujar Ni Made Sri Karmini.

Siman mengalami perkembangan pesat. Baru dua bulan mengikuti privat renang, Siman dipercaya mengikuti perlombaan renang di tingkat kabupaten yang dilaksanakan TNI. Siman memperoleh medali.

“Meraih medali di perlombaan tersebut membuat Siman semakin semangat latihan renang. Kelas IV SD, Siman mendapat kesempatan mengikuti perlombaan renang usia dini di Jakarta,” jelas Ni Made Sri Karmini.

Di sinilah perjuangan dimulai. Tidak hanya Siman, namun juga orangtua dan keluarganya. Saat mengikuti kompetisi renang di Jakarta, seluruh biaya ditanggung sendiri  peserta.

Demi mendukung sang putra tunggal, kedua orangtua Siman menjual seluruh barang berharganya, mulai dari sapi,  mobil, tanah, hingga perhiasan emas. Bahkan keluarga Siman berutang, hingga minta bantuan ke kerabat untuk menutupi biaya tiket dan biaya hidup selama Siman bertanding di Jakarta.

“Saat itu tiket bolak-balik, latihan, hingga biaya hidup semua kita yang tanggung. Kira-kira sampai 25 kali saya dan Siman bolak-balik Jakarta. Saya rela seperti itu karena saya lihat prestasi Siman di renang terus mengalami peningkatan, sehingga kita harus dukung itu,” ujarnya.

Siman akhirnya direkrut bergabung dengan klub renang di Jakarta dan mengikuti pemusatan latihan. Siman mulai berlatih di kolam sepanjang 50 meter.

Tahun 2009, Siman sudah menetap di Jakarta  dan memperoleh emas Porprov Bali tahun 2009. Pada tahun 2010, Siman ikut Asian Games di Guangzhou Tiongkok. Namun, ia belum memperlihatkan prestasi mentereng.

Setahun kemudian barulah Siman menyumbang medali emas bagi Indonesia di ajang SEA Games 2011. Bahkan dia memborong 4 medali emas.

Tahun 2012, pemuda kelahiran 8 September 1994 tersebut ikut Olimpiade London. “Walau tidak mampu mendulang prestasi, namun di usianya yang ke 18 tahun, dia bisa ikut ajang dunia seperti itu sudah merupakan prestasi yang luar biasa bagi Siman," kata Ni Made Sri Karmini.

Setelah berbincang tentang segala prestasi Siman di kediamannya, Sri Karmini mengajak Tribun Bali ke perkebunan durian di Desa Tegak, Klungkung. Di lokasi itu, ayah Siman yakni I Ketut Sudartawa sedang memberi pakan ratusan ekor bebek peliharaan.

Kedua orangtua Siman tetap menjadi peternak bebek dan usaha telur asin. “Seperti inilah kesibukan kami. Kalau ada waktu, salah satu dari kami, bisa saya atau ayahnya menyempatkan diri untuk menengok Siman di Jakarta. Kami gantian, kalau Ayahnya ke Jakarta, jadi saya yang mengurus kandang dan sembahyang di rumah. Kalau saya yang ke Jakarta menengok Siman, ayahnya yang di rumah,” kata  Sri Karmini

Meskipun sudah berprestasi hingga ajang internasional, Siman tetap anak sederhana dan semua penghasilannya diserahkan pada ayah dan ibunya.

“Apapun yang dia dapat, itu untuk membahagiakan orangtua. Ia hanya membawa sedikit uang untuk jajan, sisanya pasti orangtuanya yang diminta untuk mengaturnya,” jelas Made Sri Karmini.

Di mata sang ibu, Siman adalah remaja pendiam namun mudah akrab dengan orang lain. Siman juga suka humor dan supel bergaul.

“Dia itu dekat dan terbuka dengan ibunya. Saat persiapan SEA Games tahun ini, mes untuk cabor renang kebetulan ada di Mengwitani, dan latihannya di Blahkiuh. Jadi Siman hampir setiap Sabtu pulang dan hari Minggu balik lagi karena Senin kan harus latihan lagi,” demikian Sri Karmini.
(eka mita suputra)

Biodata
Nama Lengkap : I Gede Siman Sudartawa
Nama Panggilan : Siman
TTL                    : Klungkung, 8 September 1994
Bidang Atlet       : Renang
Alamat               : Dusun Tengah Desa Tegok Klungkung
Ayah                  : I Ketut Sudartawa
Ibu                     : Ni Made Sri Karmini

Sumber: Tribun Bali 9 Desember 2019 halaman 1

Putu Randu Pernah Jadi Kiper dan Pemain Basket


I Putu Randu
Putu Randu jadi trending topic Twitter. Menyadari viralnya aksi selebrasinya, Randu memberi klarifikasi. Pemain bernomor punggung 18 itu menyatakan selebrasinya semata untuk mengangkat motivasi bertanding tim voli putra Indonesia.

NAMA pemain tim nasional (timnas) bola voli putra Indonesia asal Tabanan, Bali, I Putu Randu Wahyu Pradana menjadi buah bibir.

Putu Randu bersama rekan-rekannya  mempersembahkan medali emas bagi Indonesia di ajang SEA Games 2019 yang baru berakhir, Rabu (11/12) malam. Medali emas itu sangat berarti karena terakhir kali diraih timnas voli putra Indonesia pada SEA Games 2009.

Putu Randu  sukses mencuri perhatian masyarakat pecinta bola voli di Tanah Air maupun publik Filipina.


Nama Putu Randu makin santer setelah aksi selebrasinya mendapat reaksi dari pendukung tim tuan rumah Filipina pada laga pamungkas Grup B, Jumat (6/12) lalu. Saat itu Indonesia menang straight set 25-23, 32-30, 25-20.

Randu yang berperan sebagai quicker tampil impresif. Dia selalu melakukan selebrasi setiap kali tim voli putra Indonesia mencetak angka. Nah selebrasi ekspresifnya itu menjadi viral di media sosial karena terkesan  'menantang' di hadapan pendukung Filipina di Philsports Arena.

Nama Putu Randu pun jadi trending topic Twitter. Menyadari viralnya aksi selebrasi tersebut, Randu akhirnya memberi klarifikasi. Pemain bernomor punggung 18 itu menyatakan  selebrasinya semata untuk mengangkat motivasi bertanding tim voli putra Indonesia.

"Hanya untuk memotivasi rekan satu tim saya. Kalau teman-teman dan warga Filipina terganggu, saya mohon maaf. Itu hanya di pertandingan saja. Di luar lapangan kita tetap saudara. I love Indonesia, I love Philippines," kata Randu seperti dikutip dari BolaSport.com.

Siapakah Putu Randu? Pemuda kelahiran 15 Januari 1994 ini merupakan sulung dari tiga bersaudara buah kasih pasangan I Nyoman Parwata dengan Ni Putu Sri Armoni. Adiknya Ni Kadek Inka Pradnya Pratiwi dan si bungsu Ni Komang Karisa Ayu Putri.

I Nyoman Parwata menyebut putranya itu merupakan kebanggaan keluarga serta masyarakat Banjar Bongan Gede, Desa Bongan, Tabanan, daerah asal Putu Randu. "Dia  bisa menjadi motivator bagi pemuda lainnya. Dan menjadi panutan bagi adik-adiknya." kata Parwata.

Menurut Parwata, sebelum menekuni bola voli, Putu Randu merupakan pemain sepak bola. Saat SD dia menjadi kiper Perst Tabanan. Saat SMP dia sempat beralih ke cabang  bola basket. Ternyata ia  tak betah hingga I Nyoman Parwata (50) mengarahkan putranya bermain voli.

"Kebetulan saya waktu itu pelatih voli dan pengurus PBVSI Tabanan," kata Parwata alias Pan Randu saat dijumpai di rumahnya, Rabu (11/12). Karena latihan di Tabanan kurang menggembirakan, Putu Randu memilih pindah ke Denpasar ikut pelatihan di sekolah voli.

"Ketika berlatih di Denpasar, ia mulai fokus. Bahkan sempat ikut berlatih dengan timnas putri yang saat itu ekspedisi ke Bali dan bermain di Klungkung," tuturnya.

Parwata mengatakan, setelah pelatihan itu ada beberapa pengurus PBVSI tertarik dengan postur tubuh Putu Randu yang tinggi 184 cm. Mereka menawarkan dia bergabung dengan klub di Surabaya. Namun, saat itu terbentur jadwal ujian sekolah sehingga tak diizinkan  orangtuanya.

Setelah ujian akhir SMPN 2 Tabanan, Putu Randu masuk klub Surabaya Samator.  Nyoman Parwata mengantar sendiri anaknya masuk klub tersebut. Pria yang juga Kelian Adat Banjar Bongan Gede, Desa Bongan mengakui, saat dia tiba di Banyuwangi dalam perjalanan pulang ke Tababan,  Randu menghubungi dirinya sambil menangis.

"Saya langsung balik dari Banyuwangi saat itu ke Surabaya. Sampai di Surabaya saya tenangkan Putu (Randu) dan memberikan pemahaman. Wajarlah saat itu dia menjelang tamat SMP atau masih remaja kemungkinan tak betah sendiri dan jauh dari rumah," ujarnya.

Selama di Surabaya, Putu Randu menjalani latihan dengan serius sehingga dia menjadi andalan klubnya. Dia menjadi anggota tim junior selama tiga tahun. Dibiayai manajemen klub dia mengenyam pendidikan SMA hingga kuliah di Universitas Yos Soedarso Surabaya.
Dia mengambil jurusan ekonomi. Putu Randu lulus setelah kuliah selama empat tahun kemudian mengikuti seleksi masuk TNI Angkatan Laut (AL). Ternyata ia lulus dan ditugaskan di Mabes TNI AL di Cilangkap Jakarta. Ia betugas di Bagian Binaan Jasmani.

Sejak tahun 2016 Randu keluar dari klub Surabaya Samator karena bertugas sebagai anggota TNI AL.  Meski demikian, kariernya sebagai atlet tidak berakhir. Putu yang sudah menjadi pemain timnas junior sejak tamat SMA dikontrak membela tim BNI 46 pada 2018. Hingga kini, Randu masih berstatus sebagai pemain BNI 46.

Parwata mengharapkan, Putu Randu tetap konsisten untuk menjaga performanya sehingga dapat kembali mengharumkan nama Bali dan Indonesia.

Mengenai rencana berkeluarga, Parwata menyatakan putranya  belum berpikir ke arah sana. Randu yang merupakan alumni SDN 2 Bongan belum menyinggung soal itu. "Putu tak pernah menyinggung soal pacaran ataupun menikah," ujarnya. (prasetia aryawan)

Sumber: Tribun Bali 12 Desember 2019 halaman 1

Ada Rompi Dr Azahari di Museum Terorisme Denpasar


ilustrasi
Museum terkait antiterorisme memang sudah ada di Mabes Polri Jakarta, namun koleksi yang ditampilkan lebih ke dampak dari aksi terorisme, bukan keadaan di belakang layar dalam penangulangan terorisme.

KAPOLDA Bali Irjen Pol Dr. Petrus Reinhard Golose meresmikan pembukaan Museum Penanggulangan Terorisme  di Denpasar, Rabu (27/11). Ini merupakan museum pertama dan satu-satunya di Indonesia mengenai penanggulangan terorisme.

Museum  tersebut tak hanya memajang koleksi Polri, khususnya Satgas Antiteror, tapi juga di antaranya memajang barang-barang yang dipakai para teroris dalam melakukan aksinya.

Contohnya mobil yang mengangkut bom yang digunakan dalam aksi Bom Bali I tahun 2002. Ada juga sepeda motor bebek yang dipakai salah seorang pelaku Bom Bali I serta rompi antibom yang digunakan Dr Azahari, otak Bom Bali.


“Selama ini, terkait kasus terorisme sudah dibangun monumen peringatan seperti Ground Zero di Kuta, dan juga nanti akan ada Peace Memorial Park di Legian yang dibangun oleh pemerintah Australia. Mereka semua berbicara tentang mengenang para korban terorisme. Tetapi siapa yang berada di balik upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme, belum ada sama sekali museumnya. Padahal, bagaimana kisah dan perjuangan para penegak hukum, khususnya satgas antiteror kepolisian dalam mengatasi para teroris itu juga perlu diungkapkan untuk pelajaran. Jadi, ini adalah museum penanggulangan terorisme pertama dan satu-satunya di Indonesia sampai saat ini,” jelas Kapolda  Petrus Reinhard Golose dalam sambutan sebelum pembukaan museum.

Museum terkait antiterorisme memang sudah ada di Mabes Polri, namun koleksi yang ditampilkan lebih ke dampak dari aksi terorisme, bukan keadaan di belakang layar dalam penangulangan terorisme.

Museum yang terletak di bekas lapangan tembak Perbakin di Jl. WR Supratman, Tohpati, Denpasar itu menempati lantai satu dari dua lantai gedung Prakasa Rucira Garjita.
Museum memiliki 22 segmen atau bagian-bagian dengan masing-masing tema koleksi.
Dari puluhan koleksi foto yang dipajang, di antaranya menggambarkan bagaimana petugas Densus 88 Antiteror mengintai para teroris di Batu, Jawa Timur.

Menurut Golose, kehadiran museum ini mengingatkan aparat kepolisian agar selalu waspada.

“Saya tidak suka ketika anak buah ditanya bagaimana kondisi, dan jawabannya selalu bilang ‘aman…’. Memang sejauh ini Bali aman. Tapi justru saya ingin ingatkan mereka, ketika dulu Bali disebut sebagai wilayah paling aman di Indonesia, tiba-tiba kita semua dikejutkan bom teroris pertama dengan korban terbanyak justru meledak di Bali. Bahkan kemudian diikuti Bom Bali II dan nyaris ada Bom Bali ketiga dengan modus seperti  di Tunisia tapi berhasil kita gagalkan sebelum terjadi. Karena itu, museum ini menjadi semacam pengingat bahwa ita semua harus waspada. Justru pada situasi yang sering kita anggap aman-aman saja, para teroris  sedang merencanakan aksinya,” kata Golose.

Peresmian museum itu dihadiri oleh para mantan petinggi Polri yang sebelumnya bergelut dalam dunia penangglangan terorisme, antara lain Komjen Pol (Purn) Gories Mere, Irjen Pol (Purn) Benny Mamoto, Brigjen Pol (Purn) Suryadarma, serta mantan Gubernur Bali yang juga Kapolda Bali saat terjadi Bom Bali I,  Komjen Pol (Purn) Made Mangku Pastika.

“Saya sengaja undang para senior seperti Pak Gories, Pak Benny Mamoto dan Pak Suryadarma karena  kami pernah bersama-sama berada di lapangan dalam menindak para teroris. Pak Mangku Pastika juga kita tahu adalah Kapolda Bali dalam pengusutan Bom Bali,” kata Golose.

Setelah diresmikan, Kapolda mempersilakan para tamu dan undangan untuk melihat koleksi museum. "Ini adalah juga tempat mengenang para pendahulu kami termasuk anggota kita yang gugur," ujarnya.

Selain museum, di gedung Prakasa Rucira Garjita juga ada fasilitas olahraga mulai dari tempat latihan menembak, tenis meja, kempo dan kantor olahraga menyelam.

"Yang saya suka adalah tempat olahraga tenis meja yang beda dari yang lain karena interiornya menggunakan budaya Bali," kata Kapolda.

Kapolda Bali pun mengucapkan terima kasih kepada Bupati Gianyar karena terwujudnya bangunan Prakasa Rucira Garjita itu ditopang dana hibah  dari  Pemkab Gianyar sebesar Rp 10 miliar. (sunarko/rino gale)

Sumber: Tribun Bali, 28 November 2019 halaman 1

Barong Mata Tiga Pemberi Kekuatan Niskala


ilustrasi
Di wilayah Kabupaten Bangli, Bali, pralingga barong bermata tiga terdapat di dua Desa Pakraman yakni Desa Pakraman Kuning dan di Desa Pakraman Pengotan.

KRAMA Desa Pakraman Kuning, Bangli menggelar upacara pemelaspas dan masupati Pralingga Ida Bhatara Tri Sakti, Kamis (21/11). Ritual pasupati pralingga berwujud barong bermata tiga itu dilakukan seusai masa ngodakin (perbaikan).

Ketua Panitia Upacacara di Pura Penataran Agung Padangrata, Ngakan Perasi Shemarabawa mengungkapkan, prosesi masupati  merupakan puncak acara yang telah dimulai sejak 19 September lalu. Prosesi diawali mengosongkan pralingga yang akan diperbaiki.

“Perbaikan pralingga Ida Bhatara hampir 63 hari oleh Anak Agung Anom Putra Adnyana dari Puri Kawan Bangli yang tentunya dibantu oleh semua krama. Pada hari ini prosesi diupasaksi niskala dua arca lingga yakni arca lingga saking Desa Pakraman Manuk, Kecamatan Susut dan arca lingga Desa Pakraman Siladan, Kecamatan Bangli,” ujarnya.

Upacara pemlaspas dan pasupati dipuput Ida Pedanda Putra Kediri dari Geria Selat, Susut. Ngakan Perasi mengatakan, pralingga Ida Bhatara Tri Sakti berbeda dengan pralingga di tempat lain. Pralingga tersebut berwujud barong mata tiga.

Di wilayah Kabupaten Bangli, kata dia, pralingga barong bermata tiga terdapat di dua Desa Pakraman yakni Desa Pakraman Kuning dan di Desa Pakraman Pengotan.

“Di Desa Pakraman Pengotan sebagai penguasa serta penjaga Bangli utara dan di sini (Pura Penataran Agung Padangrata) sebagai pemberi kekuatan niskala serta penjaga Bangli selatan.  Karena pura ini ada kaitannya dengan silsilah Raja Tamanbali.  Sepengetahuan kami, untuk pemberi kekuatan Bangli tengah berstana di Pura Dalem Purwa yang diempon oleh Desa Pakraman Kawan. Namun pralingganya bukan berwujud barong,” ujarnya.

Upacara pemlaspas dan pasupati ini merupakan prosesi ketiga. Ngakan Perasi menjelaskan, upacara pertama digelar tahun 1997 setelah pembuatan duplikat selesai. Sepuluh tahun kemudian atau tahun 2007, upacara serupa kembali diselenggarakan.

“Ini adalah proses ketiga kalinya untuk ngodakin busana, ngodakin pererai, jangkep dengan arca lingga-arca lingga lainnya. Sesungguhnya pralingga Ida Bhatara yang kami upacarai hari ini adalah duplikat, sebab pralingga yang lama masih ada, tetapi sudah agak keropos secara fisik. Namun secara sakralisasi masih ajeg. Yang asli pun masih ada dan masih disimpan sampai sekarang. Bentuknya sama persis dengan duplikatnya serta diperkirakan telah berusia ratusan tahun,” ungkapnya.

Selain diyakini sebagai penguasa kekuatan niskala Bangli selatan, krama Desa Pakraman Kuning  meyakini bahwa Ida Bhatara Tri Sakti banyak menganugerahkan kesembuhan bagi masyarakat yang nunas tamba. Diakui banyak warga yang nunas tamba dengan keluhan berbagai penyakit.

“Kalau nunas ke sini kami tidak buka, tetapi langsung melalui pemangku alit dengan mendatangi ke rumahnya. Nanti pemangku yang nunas meriki tirtanya. Setahu saya keluhan penyakitnya macam-macam. Ada yang sakit stroke, setelah nunas tirta bisa sembuh. Namun, seluruhnya kembali pada keyakinan masing-masing. Kalau untuk yang nunas selain dari krama Desa Pakraman Kuning, juga ada dari Desa Tamanbali,” katanya. (muhammad fredey mercury)

Sumber: Tribun Bali 22 November 2019 halaman 1

Abhiseka Candi Prambanan Yogyakarta


Candi Prambanan
Upacara  Abhiseka menjadi titik balik untuk mengembalikan energi  Candi Prambanan. Menguatkan vibrasi dan  getaran candi yang akan berimbas kepada umatnya dan untuk Indonesia.

RATUSAN umat Hindu mengikuti upacara Abhiseka di Candi Prambanan Yogyakarta, Selasa (12/11). Ritual ini baru pertama kali diadakan sejak Candi Prambanan berdiri 1.163 tahun lalu atau tepatnya pada tahun 856 masehi.

Koordinator Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Made Astra Tanaya mengatakan ini merupakan  pertama kali penyelenggaran Abhiseka Candi Prambanan.

Abhiseka adalah upacara penyucian dan peringatan diresmikan Candi Prambanan oleh Rakai Pikatan Dyah Seladu pada Wualung Gunung Sang Wiku (856 M) untuk menandai puncak kekuasaan kerajaan Mataram Kuna.

"Kita menemukan dalam prasasti bahwa pendirian Candi Prambanan pada tanggal 12 November tahun 856 Masehi. Waktu itu bulan purnama, saat ini pun bulan purnama, jadi tepat kita menyelenggarakannya," ujarnya.

Berpatokan pada hal itu, kata Tanaya,  maka umat Hindu mengelar upacara Abhiseka. Bisa dibilang ini peringatan peresmian Candi Prambanan yang ke-1.163. Ia menjelaskan upacara ini bertujuan membersihkan dan menyucikan candi Hindu terbesar di Indonesia tersebut. 

Made Astra Tanaya menjelaskan Candi Prambanan sempat terbengkalai ketika Mataram Hindu pindah ke Jawa Timur. Terlebih saat itu ada letusan dahsyat Gunung Merapi yang mengubur seluruh dataran sekitarnya termasuk candi.   "Kebetulan Merapi meletus dan banyak candi yang terpendam," ujarnya.

Menurut dia, upacara  Abhiseka menjadi titik balik untuk mengembalikan energi  Candi Prambanan. "Ini sangat berarti untuk mengembalikan energi. Kita menguatkan vibrasi, getaran candi ini yang akan berimbas ke umatnya dan untuk Indonesia," katanya.

Upacara dimulai sejak Sabtu (9/11) dengan rangkaian acara matur piuning sebagai tanda kulonuwun kepada leluhur Prambanan  akan ada upacara Abhiseka. Pada hari Minggu (10/11) diadakan yoga serta bersih-bersih candi.

Pada hari Senin (11/11) berlangsung pertemuan api abadi mrapen dan 11 mata air. Arak-arakan dimulai dari Candi Ratu Boko, depan Ramayana kemudian bertemu di pertigaan Candi Prambanan dan masuk ke Wisnu Mandala.

Tanggal 12 November 2019 menjadi  puncak acara dengan adanya ritual Abhiseka (sembahyang pembersihan). Sesaji yang digunakan sebagaimana disebutkan dalam 25 prasasti masa Mataram Hindu.
Pada kesempatan itu dilangsungkan sendratari siwagrha menampilkan rekontruksi peresmian Candi Prambanan oleh Rakai Pikatan. Di tengah sendratari ada ritual manusuk sima oleh 16 pendeta Jawa-Bali. "Ini akan dilakukan rutin tiap tahun," kata Made Astra Tanaya,

Lulusan Arkeologi UGM

Nur Khotimah (27) adalah sosok dibalik terselenggaranya Abhiseka perdana ini. Ia lulusan S2 Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarya. Gagasan itu muncul saat ia mengerjakan tesis pada Mei-Juli 2019 berjudul Pemanfaatan Candi Prambanan untuk Kepentingan Agama Hindu.

"Dalam latar bekalang tesis pasti menyebutkan tentang sejarah Candi Prambanan. Dalam riset itu tiba-tiba saya menemukan beberapa buku yang membahas prasasti siwagrha, di situ disebutkan wualung gunung sang wiku yang artinya 778 Saka atau 856 Masehi,"  ujarnya.

Ia pun menelusuri literatur LC Damais, seorang epigraph dari Prancis yang piawai membaca candra sengkala. Di sana dijelaskan bahwa berdirinya Candi Prambanan adalah 12 November 856 Masehi. 

Sejak menemukan sejarah itu, Nur berusaha menjelaskan kepada umat Hindu.  "Awalnya susah karena saya berbasis ilmiah dan umat Hindu berbasis ritual, ya harus dijelaskan pelan-pelan. Ada pro dan kotra yang pasti," jelasnya.

Pada akhirnya  banyak umat yang mendukung, terbukti pengisi acara kali ini banyak dari luar DIY. Misalnya PHDI Jakarta yang menampilkan tari rejang. 

"Selama ini kita menggunakan Candi Prambanan untuk tawur agung, tapi itu untuk pembersihan alam semesta,  sedangkan untuk candinya belum dilakukan pembersihan," ujarnya.

Lantaran baru pertama kali diadakan, tak banyak umat yang berpartisipasi jika dibandingkan upacara keagamaan lainnya. Acara ini rencananya digelar saban tahun dan ia optimistis pada tahun-tahun mendtang semakin banyak umat yang berpartisipasi. (santo/tribunjogja)

Sumber: Tribun Bali 13 November 2019 halaman 1

Kajeng Kliwon Mengangkat Tradisi Sakral Bali

ilustrasi
Selain sukses menampilkan sisi magis adat istiadat Bali yang harus dipertahankan, Bambang pun berhasil memvisualkan sisi keindahan Pulau Dewata, Penggarapan film ini memakan waktu kurang lebih satu bulan,

SEBUAH film yang mengangkat kebudayaan masyarakat Hindu Bali berjudul Kajeng Kliwon resmi dirilis, Jumat (8/11). Gala premiere dan konferensi pers peluncuran film bergenre horor ini berlangsung di Trans Studio Mall  XXI Denpasar. 

Kajeng Kliwon merupakan upacara memberikan korban suci sebagai persembahan kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam kebudayaan Bali termasuk upacara Dewa Yadnya. Masyarakat Bali percaya Kajeng Kliwon sifatnya suci dan dianggap keramat.

Sutradara Bambang Drias mengatakan keunikan tradisi Kajeng Kliwon mendorong dirinya  membuat film ini dibumbui cerita mistis yang memang diyakini masyarakat Pulau Dewata.

"Film Kajeng Kliwon menceritakan tentang malam sakral di mana Rangda keluar. Masyarakat  Bali sangat percaya dengan cerita-cerita mistis di balik upacara Kajeng Kliwon," tuturnya.

Singkat cerita, perjalanan cinta sepasang kekasih yang diperankan Amanda Manopo sebagai Agni, dokter cantik berdarah Bali dan Crist Laurent sebagai Niko tak seindah dibayangkan karena ternyata Agni memiliki garis keturunan pengleak. Selalu ada saja kejadian mistis yang terus menghantui hidup keduanya.

Selain sukses menampilkan sisi magis adat istiadat Bali yang harus dipertahankan, Bambang pun berhasil memvisualkan sisi keindahan Pulau Dewata, Penggarapan film ini memakan waktu kurang lebih satu bulan dengan seting tempat strategis di Tabanan, Ubud dan Singaraja.

Sebelumnya, kata Bambang, film ini akan diberi judul Rangda. Namun, untuk alasan universalitas, maka judul Kajeng Kliwon yang dipakai.

''Kalau Rangda kan belum tentu semua paham. Nah saya ganti Kajeng Kliwon biar universal karena di Jawa juga ada mitos Malam Jumat Kliwon,'' katanya.

Dengan begitu, dia mengharapkan film ini bisa menjadi media pengenalan pesona alam Bali serta pelestarian budaya.  ''Produksi film ini juga melibatkan masyarakat Bali dan tokoh agama,'' tambahnya.

Konferensi pers dihadiri Executive Producer Watin Ciptawan, aktor dan aktris yang membintangi film ini seperti Amanda Manopo dan Cristh Laurent sebagai bintang utama.
Film garapan Applecross dan 9 advertising Sabah dibintangi pula artis senior seperti Egy Fedly, Mutia Datau, Catherine Wilson dan Indah Kalalo.

Ada artis Malaysia Atiqah Suhaemi, Vincent dan Weda Nanda. Film ini rencananya  didistribusikan di Kamboja, Malaysia dan Vietnam.

Watin Ciptawan menambahkan film ini memiliki daya tarik tersendiri di pasar Asia mengingat Bali yang sudah dikenal dunia internasional.

Watin menjelaskan, film Kajeng Kliwon ikut mengedukasi masyarakat untuk melestarikam tradisi dan budaya Kajeng Kliwon yang sangat sakral. "Jadi tidak hanya mampu menampilkan sisi magis di Bali tapi  juga memperlihatkan bagaimana pesona keindahan Pulau Dewata," ujarnya.

Film ini tayang serentak di Indonesia dan Malaysia pada awal tahun 2020.  Film Kajeng Kliwon ikut Busan Festival Film pada 3-12 Oktober 2019. (m ulul azmy)

Sumber: Tribun Bali 9 November 2019 halaman 1

Hai Bung, Kita Malu!


ilustrasi
MALAM tanpa bintang tersaji di Stadion I Wayan Dipta Gianyar, Bali 15 Oktober 2019. Riuh desah gerutuan dan omelan. Teriakan “Simon Out” bertalu-talu.

Simon McMenemy memberikan keterangan pers dalam suasana galau. Malam itu tim nasional ( timnas) sepak bola Indonesia takluk 1-3 atas tamunya Vietnam.

Kekalahan keempat yang menyesakkan dada. Garuda yang diharapkan berkiprah lebih tinggi di ajang kualifikasi Piala Dunia 2022 kembali memetik hasil buruk.

Tim asuhan Pelatih Simon McMenemy sudah kemasukan empat belas gol dan hanya bisa mencetak tiga gol. Impian lolos ke final Piala Dunia semakin jauh dari kenyataan.

Buruk rupa cermin dibelah. Kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Asia pun diwarnai perilaku tidak sportif penonton Indonesia. Kerusuhan pecah di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta Kamis, 5 September 2019. Timnas Malaysia mengalahkan Indonesia 3-2.

Malam itu berubah kelam. Jadi malam jahanam malah. Suporter yang kecewa berulah brutal. Mempermalukan Ibu Pertiwi di mata dunia.

• Suasana Hati Buruk hingga Kejadian Mengerikan, 3 Zodiak Mengalami Nasib Sial November Ini

• FS Sumpal Mulut Bayi yang Dilahirkannya Sendiri Lalu Menyimpannya di Lemari

Kericuhan bermula dari tribune bagian selatan. Ada sejumlah oknum fans Indonesia yang berusaha masuk ke pinggir lapangan dan menghampiri tribune suporter Malaysia.

Aparat keamanan sempat meringkus perusuh, namun bentrokan tetap tak terhindarkan. Alih-alih reda, fans Indonesia justru melempar aneka benda ke arah suporter Malaysia yang jumlahnya tak seberapa, mulai dari balon tepuk sampai botol air mineral.

Tak hanya botol, perusuh pun menyulut kembang api lalu mengarahkan kepada petugas keamanan. Menantang membabi-buta. Merawak rambang!

Sikap tidak sportif sebenarnya sudah terlihat beberaja jam sebelum laga malam itu. Fans Garuda membawa spanduk-spanduk yang pesannya provokatif dan mengintimidasi lawan. Sama sekali tidak memperlihatkan sepak bola berwajah damai dan santun di ini negeri.

Pascakerusuhan di Gelora Bung Karno, Federasi Sepak bola Malaysia mengadukan Indonesia ke badan sepakbola tertinggi dunia, FIFA.

Permintaan maaf dari pemerintah RI tidak mengurungkan niat negara tetangga kita itu melaporkan sikap melawan prinsip fair play FIFA. Bertambah satu lagi rapor merah Indonesia. Prestasi bola dan sikap suporternya sama-sama buruk.

Shanghai 24 Oktober 2019.  FIFA sontak mewartakan kabar gembira yang disambut ceria riuh seantero negeri.

• Pakai Jaket Loreng Jaket Resmi TNI, Seorang Pengendara Motor Dihentikan dan Diperiksa

• Sebabkan Iritasi, Jangan Semprot Parfum di 5 Area Tubuh Ini

Dari negeri tirai bambu itu Presiden FIFA Gianni Infantino mengumumkan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun 2021. Kita unggul atas Brasil dan Peru pada pemilihan suara. “Selamat buat Indonesia.” kata Infantino.

Luar biasa! Ini akan menjadi yang pertama bagi Indonesia menggelar turnamen berkelas FIFA. Sebagai tuan rumah event internasional, rapor kita memang tidaklah buruk amat.

Indonesia pernah menjadi host Piala Asia 2007 bersama tiga negara Asia Tenggara yakni Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Indonesia juga sukses menggelar pesta olahraga multievent Asian Games 1962 dan 2018.

Hanya lima hari setelah kabar gembira dari Shanghai, Ibu Pertiwi bermuram lagi. Bulu kuduk merinding melihat kebringasan suporter Persebaya Surabaya merusak fasilitas Stadion Gelora Bung Tomo seusai laga melawan PSS Sleman Yogyakarta, Selasa 29 Oktober 2019.

Persebaya kalah di kandang dengan skor 2-3 dalam lanjutan kompetisi Liga 1 Indonesia musim 2019. Sikap melawan fair play merebak lagi.

Oknum suporter klub berjulukan Bajul Ijo ini mengamuk. Mereka membakar dan meremukkan sejumlah fasilitas penting di dalam stadion nan megah. Bahkan rumput lapangan tampak gosong bekas jilatan api. Bau asap masih tercium sampai 24 jam kemudian.

Tak pelak lagi malam kelam di Gelora Bung Tomo di penghujung Oktober yang terik itu merobek perasaan dua srikandi Jawa Timur (Jatim), Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa. Keduanya tak sekadar galau tapi merintih perih dan sedih hati.

"Setelah tahu kejadian semalam, beliau sedih. Ibu Risma berharap (stadion) diperbaiki lagi. Kewajiban kami sebagai dinas harus segera menyelesaikan kerusakan ini," kata Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Surabaya, Afghani Wardhana.

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa juga berduka. Dia menyayangkan aksi bonek yang rusuh di Stadion Gelora Bung Tomo. "Jangan tanya perasaan saya melihat ini ? Saya sangat sedih dan prihatin." tulis Khofifah di Instagramnya @khofifah.ip.

Ia menegaskan, stadion itu dibangun dengan uang rakyat. Oleh sebab itu, seharusnya dijaga dan dirawat secara bersama bukan malah justru dirusak hanya karena kecewa setelah tim kesayangan kalah.

Khofifah sedih karena perusakan fasilitas stadion mencederai sportivitas, keutamaan nilai dalam olahraga. "Kalah menang dalam pertandingan itu hal biasa. Karena yang terpenting dalam sebuah pertandingan olahraga itu adalah sportivitas," kata Khofifah.

***

Begitulah tuan dan puan wajah sepak bola Indonesia. Kita belum beranjak dari lumpur.

Prestasi dan nama baik bagaikan kaki langit, nun jauh di sana, seolah tak terjamah. Bahkan di level Asia Tenggara pun kita sulit bersaing. Terakhir sepak bola juara Sea Games 1991. Hampir 30 tahun lalu.

Kiprah kepengurusan PSSI selalu diwarnai isu mafia pertandingan, pengaturan skor yang belum pernah ditangani secara serius.

Hasil kerja Satgas Anti Mafia Bola bentukan Polri masih jauh dari ekspetasi publik. Organisasi PSSI seolah dikuasai oligarki yang sulit ditembus bahkan oleh tangan negara sekalipun.

Kendati FIFA merekomendasikan agar Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI baru dilaksanakan 20 Januari 2020, namun PSSI sudah menyelenggarakan pada hari ini, 2 November 2019 di Jakarta. Mereka sepakat memilih ketua umum dan anggota Exco di tengah gerutuan sejumlah pihak yang merasa adanya kejanggalan dan ketidakjujuran.

Mochamad Iriawan alias Iwan Bule terpilih sebagai ketua umum PSSI setelah meraih dukungan 82 suara dari total 86 pemilik suara. Tiga pemilih abstain dan satu tidak ikut pemilihan. Terpilih sebagai wakil ketua umum Cucu Soemantri dengan perolehan 81 suara dan Iwan Budianto 74 suara.

Kita menanti gebrakan Iwan Bule yang sejak lama memang terlihat sangat antusias untuk memimpin PSSI. Kiranya mantan Kapolda Metro Jaya itu bisa menyembuhkan penyakit kronis PSSI yaitu berkeliarannya mafia sepak bola yang masuk jauh sampai ke level Liga 3.

Tak segampang membalik telapak tangan, tapi Iwan Bule mesti menunjukkan kinerja kepengurusannya berbeda dengan ketua umum PSSI sebelumnya.  Membersihkan PSSI dari mafia pertandingan merupakan harapan yang boleh kita sandarkan ke pundak Iwan.

Sikap ngotot PSSI tetap menggelar KLB untuk memilih pengurus baru serta kerusuhan di Gelora Bung Karno dan Bung Tomo tentu menjadi atensi FIFA.

Berharap badan tertinggi sepakbola dunia itu tidak mengubah keputusannya memilih Indonesia menyelenggarakan Piala Dunia U-20 dua tahun mendatang.

Memang dunia belum kiamat. Kita masih diberi waktu berbenah diri dengan kesungguhan hati. Khusus untuk Piala Duna U-20, sejauh ini FIFA dikabarkan sudah memilih enam stadion di Indonesia,

Setelah resmi ditunjuk, Indonesia melalui PSSI menyerahkan daftar 10 stadion kepada FIFA.

Palagan tersebut adalah Stadion Utama Gelora Bung Karno (Jakarta), Stadion Pakansari (Bogor), Stadion Patriot (Bekasi), Stadion Wibawa Mukti (Cikarang), Stadion Gelora Bandung Lautan Api (Bandung), Stadion Si Jalak Harupat (Soreang), Stadion Manahan (Solo), Stadion Mandala Krida (Yogyakarta), Stadion Gelora Bung Tomo (Surabaya) dan Stadion Kapten I Wayan Dipta (Bali).

“FIFA akhirnya memilih 6 dari 10 stadion itu," kata Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum PSSI, Iwan Budianto di Kantor Kemenpora, Senayan Jakarta, Selasa 29 Oktober 2019.

Kendati begitu Iwan Budianto belum bisa menyebutkan stadion mana yang dipilih FIFA. Y ang pasti stadion-stadion tersebut harus memiliki tempat latihan sesuai standar FIFA.

Tim FIFA sudah melakukan inspeksi. "Ketika mereka melakukan inspeksi 10 stadion, fisik sudah jadi, tetapi mereka bertanya minimal ada lima lapangan latihan di sekitar stadion dengan kualitas rumput yang sama," ujar Iwan Budianto seperti dikutip dari Kompas.com, 30 Oktober 2019.

Pekerjaan rumah jangka pendek Indonesia adalah mempersiapkan stadion dengan sebaik-baiknya. FIFA sudah menetapkan standar yang harus dipenuhi.

Tidak boleh ada tawar-menawar lagi. Keputusan FIFA memilih Indonesia karena badan dunia tersebut percaya anak bangsa ini sanggup mewujudkannya.

Ketika harapan pecinta sepak bola Tanah Air menyaksikan timnas Indonesia berlaga di Piala Dunia 2022 nyaris pupus lantaran kalah melulu – bersiap diri sebagus mungkin menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 semoga bisa membangun citra positif Indonesia di mata masyarakat internasional.

Pembangunan fisik kiranya bukan soal pelik. Sisi gelap yang patut menjadi perhatian lebih serius adalah menghentikan aksi kekerasan oknum suporter dalam blantika sepak bola Indonesia. Tantangan berat justru di sini karena berurusan dengan sikap mental manusia.

Fanatisme suporter Indonesia luar biasa. Semangat itu merupakan aset berharga bagi sepak bola kita. Akan tetapi jika terus-menerus melampaui batas dan berujung anarkis, sepak bola Indonesia pula yang merana.

Gara-gara kekerasan suporter, sejumlah pertandingan Liga 1 Indonesia musim 2019 tertunda. Polisi tidak memberikan izin pertandingan karena sepak bola bukan lagi media penebar tawa ceria tapi berubah wujud menjadi aktivitas yang membahayakan masyarakat.

"Jika amit-amit sampai begitu, siapa yang dirugikan? Pernahkah itu terpikir di benak kita? Secara prestasi sepak bola Indonesia ini belum memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan. Jadi jangan lagi ditambah dengan hal-hal yang sifatnya memperburuk citra sepak bola Indonesia," ujar Bambang Pamungkas, mantan kapten timnas Indonesia suatu ketika.

Menjadi suporter sepakbola damai dan santun mesti getol kita kampanyekan mulai hari ini. Tugas manajemen klub, organisasi suporter, pengurus PSSI semua level, pemerintah serta siapa saja yang mencintai olahraga sepak si kulit bundar.

Ayo bergerak bersama. Tunjukkan pada dunia bahwa Nusantara adalah sekeping surga yang jatuh ke bumi, yang penghuninya orang-orang beradab.

Malam datang menggantikan senja. Ingatlah selalu malam kelam di Gelora Bung Karno dan Gelora Bung Tomo belum lama berselang. Hai bung, kita malu kalau sampai terulang!

Pada akhirnya ini tentang sukacita memberi. Memberi kedamaian bagi terselenggaranya putaran final Piala Dunia U-20  kiranya menjadi ikhtiar seluruh anak bangsa Indonesia terutama tuan dan puan yang mengklaim diri sebagai penggemar sepak bola sejati. (dion db putra)

Sumber: Tribun Bali

Kenangan di Lekebai



Di Lekebai, Sikka Flores 27 Oktober 2005
Waiara, 27 Oktober 2005. Jarum jam menunjuk pukul 12.20 Wita. Di kejauhan sana, puncak Gunung Egon berselimut kabut tipis. Egon sedang ramah. Kota Maumere tampak membentang berhiaskan nyiur melambai.

Persis di depan mata, Pulau Besar, Pemana dan Pulau Babi anggun berdiri. Laut utara Flores tenang membiru. Udara bersih. Semilir angin Waiara Beach menyapu lembut wajah kami. Tapi tak ada keheningan.

Gelak tawa dan canda membahana sepanjang acara makan siang. Sungguh jauh dari suasana formal. Benar-benar bersahaja, apa adanya.

Mereka yang menyantap menu makan siang di restoran Flores Sao Resort hari itu adalah dua tokoh nasional, Frans Seda dan Jakob Oetama serta para petinggi Kelompok Kompas Gramedia (GKG) yaitu August Parengkuan, St. Sularto, Rikard Bagun, Petrus Waworuntu, Wandi S Brata, Julius Pour.

Hadir pula pendiri sekaligus Pemimpin Umum Harian Pos Kupang, Damyan Godho dan Kepala Biro Kompas di Bali, Frans Sarong.


Itulah pertama kali saya mengenal lebih dekat Om August Parengkuan. Om August mendampingi Pak Jakob Oetama dalam kunjungan beliau ke Kupang dan Flores tanggal 26-29 Oktober 2005. Orangnya hangat. Murah senyum. Cepat akrab dengan siapa saja.

Kami sempat pose bersama di depan rumah keluarga Frans Seda di Lekebai, sekitar 40 km barat Kota Maumere. Hari Kamis tanggal 27 Oktober 2005 itu setelah makan siang di Waiara.

Frans Seda mengajak Pak Jakob dan seluruh anggota rombongan dari Jakarta ke Lekebai, kampung asal Frans Seda. Di sana mereka bakar lilin di makam orangtua Frans Seda.

August Parengkuan
Kamis malam itu Frans Seda menjamu sahabatnya Jakob Oetama makan malam di rumahnya di Maumere. Saya ingat malam itu setelah acara di rumah Pak Frans Seda, Om August Parengkuan mengajak Om Damyan Godho dan Frans Sarong melanjutkan acara santai di Flores Sao Resort, Waiara.

Setelah Pak Jakob istirahat, Om August, Om Damyan Godho, Frans Sarong dan lainnya ngobrol macam-macam sambil minum bir. Malam agak larut baru mereka menuju ke pembaringan.

Om August Parengkuan merupakan wartawan perintis di Harian Kompas. Pria kelahiran Surabaya 1 Agustus 1943 bergabung dengan Kompas sejak awal terbit dan menempati sejumlah jabatan penting di antaranya Redaktur Pelaksana Harian Kompas, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Direktur Komunikasi KKG (Kelompok Kompas Gramedia), Presiden Direktur TV7 dan staf Presiden Direktur Kelompok Kompas Gramedia.

August Parengkuan muda sempat bercita-cita menjadi tentara mengikuti jejak ayahnya. Dia juga berniat menjadi diplomat tapi batal. August melamar ke Harian Kompas yang terbit tahun 1965 dan diterima.

Cita-citanya menjadi diplomat baru tercapai setelah pensiun dari Kompas Gramedia. Om August ditunjuk sebagai Duta Besar RI untuk Italia tahun 2012-2017.

Om August memang wartawan hebat. Jaringannya luas dan dikenal piawai dalam melakukan lobi. Tahun 2011 ketika Kupang dipercayakan menjadi tuan rumah peringatan Hari Pers Nasional (HPN), Om August ikut berperan meyakinkan pengurus pusat PWI dan komunitas masyarakat pers nasional. Dalam kapasitasnya sebagai penasihat PWI Pusat, suara Om August didengar.

Meskipun akomodasi di Kupang sangat terbatas kala itu, beliau menyatakan Kupang harus diberi kesempatan jadi tuan rumah agar memberi efek positif di kemudian hari. Saya dengar cerita itu dari Om Damyan Godho (almarhum).

Hari Kamis 17 Oktober 2019 pukul 05.50 WIB, Om August Parengkuan meninggal dunia di Rumah Sakit Medistra Jakarta. Meninggalkan seorang istri dan empat anak dan sembilan orang cucu. Selamat jalan Om August. Tuhan maharahim mendekapmu dalam keabadian. Amin.

Ketewel, Sukawati Gianyar Bali, 17 Oktober 2019

Elegi Buat Badil

Rudy Badil (kiri/CNN.Indonesia)
Oleh Albert Kuhon

+ Adiknya Badil ya?

- Bukan. Kenapa?

+ Tampangnya mirip.

Pertanyaan serupa muncul lagi dari seorang perempuan yang baru datang di lantai III RS Hermina Depok, dekat ruang ICU, Selasa 8 Juli 2019 sore.

Tidak lama kemudian datang seorang lelaki yang usianya sekitar 60 tahun dan menanyakan ha yang sama kepadsaya. Jawaban saya tetap sama: “Bukan.”

Saya memang bukan siapa-siapanya Badil. Saya cuma merasa dekat dengannya, seperti sejumlah teman-temannya yang lain.

Bayangkan, kami berkenalan sekitar tahun 1981, tetapi Kamis 11 Juni 2019 saya baru tahu bahwa nama lengkap Badil adalah Rudy David Badil Mesmana. Sebelumnya saya cuma tahu namanya Rudy Badil. Titik.

Padahal selama kurun waktu 1981-1986, sewaktu kami masih bersama-sama jadi wartawan Harian Kompas, kami sering berpergian bersama ke pelosok.

Kami juga sering tidur bersama di kursi-kursi kantor redaksi Kompas, karena menulis laporan sampai larut malam dan sudah tidak ada kendaraan umum buat pulang ke tempat kos.

Kamis 11 Juli 2019 itu, saya baru paham bahwa Badil lahir 25 November 1945. Artinya, lebih tua dibandingkan Raymond Toruan yang pernah jadi bos kami berdua di Redaksi Kompas.

Sore itu Raymond pun baru sadar bahwa selama puluhan tahun ini dia ‘kecolongan’, sewaktu kami melayat Badil di Rumah Duka Heaven di RS Dharmais, Slipi, Jakarta Barat.

Beberapa meter dari jarak kami berbincang, Badil terbujur kaku dalam peti. Tubuhnya gagah berpakaian jas.

Jauh lebih gagah katimbang kondisi terakhirnya. Beberapa tahun terakhir, Badil selalu menggunakan tongkat sehabis kakinya patah akibat ketabrak ojek.

Jumat 12 Juli 2019 siang saya baru tahu bahwa sebetulnya Badil adalah nama julukan yang dicomot dari nama seorang tukang becak asal Tegal.
Tukang becak itu dulu sering mangkal di dekat rumah Badil ketika dia tinggal di Pondok Rotan, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat. Nasib Badil palsu, jauh lebih baik katimbang Badil yang asli.

 “Kalau ketemu lagi, gua mau kasihduit buat bantu kehidupan dia di kampungnya,” Don Hasman menuturkan kembali kalimat Badil tentang tukang becak itu.

Hebat

Badil itu hebat lho! Dia masuk sebagai wartawan Kompas dua tahun lebih awal dari saya. Tetapi, sebelumnya sekitar tahun 1976-78 saya pernah ‘bertemu’ dengannya.

Ketika itu saya masih wartawan Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta. Waktu itu di Yogya sedang dilaksanakan syuting film November 1928.

Saya mengomentari naskah yang mendasari syuting film tersebut dalam salah satu laporan di Kedaulatan Rakyat.

Saya bilang, sebetulnya ada beberapa adegan dalam film itu yang dijiplak dari naskah drama Monserrat karya Emmanuel Robles, penulis Perancis.
Keesokan harinya Teguh Karya, sutradara film November 1928, memberi keterangan pers menanggapi komentar saya.

Dalam salah satu masa sekitar pertengahan dekade 1980an di Redaksi Kompas, saya dan Badil bersama beberapa teman mengobrol tentang dunia perfilman serta drama.

Lalu muncul nama Teguh Karya dan film November 1928 dalam perbicangan itu. Saya ceritakan betapa saya pernah mengulas naskah yang menurut saya sebagian ‘dijiplak’ dari naskah drama perjuangan kemerdekaan di Amerika Latin yang berjudul ‘Monserrat’.

Saya ingat reaksi Badil dalam diskusi itu: “Sekarang gue inget. Gara-gara tulisan di Kedaulatan Rakyat itu, kita harus ubah naskah dan retake adegan-adegannya. Ternyata loe biang keroknya...”

Sungguh, saya tidak tahu bahwa tangan Badil juga menjamah naskah dan pembuatan film tersebut. Saya paham jejak kaki Badil ada di semua gunung yang pernah saya daki.

Jumlah gunung yang sudah dikencingi Badil (bersama Don Hasman, Norman Edwin dan Utun maupun tidak), jauh lebih banyak dibanding jumlah gunung yang pernah saya kencingi.

Tapi sewaktu saya jadi wartawan di Yogyakartta tahun 1970-an, saya belum kenal Badil. Dan saya tidak tahu bahwa Badil ada di balik pembuatan film November 1928 yang sempat terkenal pada zamannya.

Jejak Badil

Badil sudah menyandang ‘nokeng’ dari pedalaman Papua sewaktu saya baru sempat berkelana di pelosok Jawa dan Sumatera. Badil yang memperkenalkan ukiran Suku Asmat lewat tulisan-tulisannya.

Saking seringnya Badil keluar-masuk pedalaman Papua (waktu itu kita sebut Irian Jaya), saya dan teman-teman menjulukinya ‘ondoafi’ (bangsawan Papua).

Badil juga dekat dengan kegiatan mahasiswa dan tokoh-tokoh mahasiswa Universitas Indonesia. Salah satu sosok yang sangat dekat dengannya adalah Soe Hok Gie (adik Arief Budiman).

Soe Hok Gie adalah penentang kediktatoran, dari zaman Presiden Soekarno sampai zaman Presiden Soeharto.

Ia lebih tua sekitar tiga tahun dibandingkan Badil. Keduanya sama-sama pendaki gunung dan sama-sama berkuliah di Fakultas Sastra UI. Soe Hok Gie meninggal di Gunung Semeru tahun 1969.

Jejak Badil sungguh ada di mana-mana. Badil bersama Erna Witoelar (pegiat lingkungan hidup yang sempat jadi menteri) dan George Aditjondro (pegiat lingkungan hidup yang kemudian lulus doktor dan jadi dosen dan pengamat ekonomi-politik), pada tahun 1980an, adalah orang-orang yang memelopori berdirinya Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).

Konon, Badil dan Erna Witoelar juga yang mengajari Emil Salim (mantan menteri di zaman Orde Baru), cara memperpanjang masa pakai celana dalam di daerah terpencil sewaktu kita tidak punya kesempatan mencuci pakaian.

Mau tahu caranya? Dipakai secara bolak-balik alias ‘double sided’!

Kita semua tentu kenal atau pernah mendengar Bentara Budaya, panggung atau etalase budaya yang kini jadi sejenis pelaksanaan corporate social responsibility atau CSR pihak Kompas-Gramedia.

Badil adalah salah satu pelopornya. Awal dekade 1980-an, Badil sempat bolak-balik ke berbagai pelosok menyiapkan acara-acara Bentara Budaya di Jakarta dan Yogyakarta yang baru dirintis.

Banyak temuan dalam kluyuran Badil di berbagai pelosok, yang kemudian dipajang di Bentara Budaya.

Ukiran dan patung Asmat, serta tenun serta kebudayaan Baduy, adalah dua temuan Badil yang diunggah ke panggung etalase grup Kompas-Gramedia tersebut.

Selain urusan pendakian dan urusan kesenian di daerah pedalaman, Badil juga mahir menulis hal-hal serius melalui laporan kocak.

Badil yang kadang-kadang nyebelin dan pemberang, sering membuat kita tersenyum-seyum sendiri ketika membaca tulisannya. Badil memang paling jago menulis laporan feature.

“Jangan terlalu serius, kudu didangdutin dikit,” ujar Badil dalam logat Betawi, kepada saya di dekade 1980an sewaktu kami masih sama-sama di Harian Kompas.

Badil juga salah satu sosok di balik “Operasi Ganesha” tahun 1982, sewaktu 242 ekor gajah yang terperangkap di dekat pemukiman transmigran Air Sugihan di Sumatera Selatan, digiring guna diselamatkan ke Lebong Hitam di Lampung.

Operasi pemindahan ratusan gajah sejauh sekitar 70 km itu dipimpin oleh Letkol I Gusti Kompyang Manila. Dan Badil pada masa itu ikut dalam salah satu tim penggiringan gajah.

Perkasa

Kemampuan dan jejaring Badil memang mengagumkan. Dia dikenal di kalangan pecinta alam dan pegiat lingkungan hidup.

Jauh sebelum kita ribut-ribut soal kelestarian alam, Badil dan teman-temannya sudah menerapkan pola 3 R (reduce, reuse, recycle) guna mengurangi pencemaran lingkungan hidup di pe ndakian maupun puncak-puncak gunung.

Badil yang tampaknya ceroboh dan tidak menaruh perhatian terhadap keadaan sekitarnya, sebetulnya orang yang sangat teliti. Dia bisa ingat nama-nama orang yang baru berkenalan dengannya.

Dalam urusan kesenian dan kebudayaan lokal, Badil ibarat kamus berjalan. Dia bisa bercerita tentang kesenian dan kebudayaan masyarakat di pelosok Aceh, sampai masyarakat di pedalaman Kalimantan maupun pelosok Papua.

Badil bisa menghilang berminggu-minggu, lalu muncul beberapa hari di Jakarta dan menghilang kembali. Badil bisa tidak pulang ke rumah, walaupun sedang di Jakarta.

Badil bisa meninggalkan istrinya, Xenia, sendirian bersama putra tunggal mereka yang bernama Banu, karena ditugasi berjaga-jaga di kantor Redaksi Kompas pada saat kerusuhan Mei 1998.

Badil bisa tertawa terbahak-bahak, atau mengocok perut kita denganb anyolan-banyolannya yang konyol. Tapi dia bisa juga meledak dan marah besar jika merasa tersinggung atau dikhianati.

Badil orang yang sangat tangguh. Badil mermang enak dijadikan teman atau kawan, tapi belum tentu kita kita bisa bertahan lama mendampinginya.

Karenanya, saya sungguh kagum pada Xenia, istri Badil, yang bisa tahan dan bahkan tetap menyemangati Badil dengan segala keunikannya. Saya bertemu Xenia Selasa (9/7) siang sampe sore di rumah sakit dan Kamis (11/7) petang di rumah duka.

Perempuan kecil itu terlihat tegar dan tidak menitikkan airmata, menjawab pertanyaan dan menceritakan proses bagaimana dia ditolak oleh beberapa rumahsakit sewaktu berusaha mencari tempat perawatan Badil yang sudah tidak sadarkan diri di hari Senin 8 Juli 2019.
Si mungil Xenia memang perkasa!

Badil dan saya

Saya beberapa kali bepergian bersama Badil dalam peliputan. Badil selalu punya cara tersendiri buat ‘mengecoh’ para petinggi redaksi dan staf administrasi.

Wartawan lain umumnya meliput berdasarkan penugasan redakturnya. Badil adalah salah satu wartawan Kompas yang meliput sesuai yang dia mau. Biasanya Badil menyusun dan mengusulkan rencana peliputan.

Setelah disetujui, dia menghilang 1-2 minggu atau kadang-kadang sampai beberapa minggu.

Setelah kembali ke redaksi, dia berhari-hari sibuk menulis laporannya. Pada masa-masa dia sibuk di redaksi itulah, kami sering bersama-sama sampai larut malam. Dulu naskah laporan kami buat dengan bantuan mesin tik.

Jadi kami bisa saling menyadari kehadiran satu sama lain di ruang redaksi di tengah malam melalui suara mesin ketik. Menjelang tidur di kursi rapat yang kami susun berderet, biasanya kami ngobrol dulu.

Jauh sebelum Jalan Sultan Agung di pinggir Kali Ciliwung dilebarkan seperti sekarang, saya dan Badil pernah menyusuri jalan sempit itu. Awal dekade 1980an itu, Badil sudah memberitahu saya bahwa jalan yang dipakai buat inspeksi Kali Ciliwung itu bakal dilebarkan.

Saya dan Badil juga pernah ke pelosok-pelosok di pinggir kota Jakarta ke arah Bogor. Kami mampir menengok sejumlah pabrik tapioka di Kandanghaur dan Kedunghalang.

Kebetulan saya sangat menguasai masalah teknologi ekstraksi pati dari singkong atau ubikayu tersebut. Laporan saya yang terbilang serius, kemudian disunting oleh Badil menjadi laporan enteng tapi berisi.

Di lain kesempatan, saya pergi meliput berkeliling pelosok Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Mengumpulkan informasi tentang lahan tidur, teknologi yang membantu para petani kecil dan perkebunan rakyat. Dalam perjalanan itu, kami ajak Don Hasman, sahabat karib Badil.

Kami sempat menemukan lahan tidur di beberapa tempat di Jabar dan Jateng. Juga sempat singgah di pabrik jamur milik perusahaan Mantrust di Dieng (sekarang sudah tutup) di Jawa Tengah. Juga melihat-lihat kebun carica, sejenis pepaya kecil, yang dibudidayakan di Dieng.

Badil tidak sependapat dengan saya sewaktu saya memelopori berdirinya serikat pekerja di Redaksi Kompas tahun 1986. Sejumlah wartawan senior dan petinggi di Redaksi Kompas memang tidak menyetujui adanya serikat pekerja di sana.

Saya tidak dipecat, gaji saya tetap dibayar, tetapi semua tulisan saya tidak dipublikasikan oleh Harian Kompas. Saya tidak tahu, apakah ‘larangan’ itu masih berlaku sampai saat ini.

Namun beberapa kali kiriman tulisan saya ke Kompas ditolak dengan alasan yang normatif. Resminya saya berpisah dengan Badil tahun 1989, sewaktu saya mengundurkan diri dari Kompas.

Hubungan kami tetap baik. Kebetulan Banu, putranya, pernah menjadi mahasiswa dalam beberapa kelas saya di salah satu universitas swasta terkemuka. Setelah bertongkat, Badil pernah juga mampir di kantor konsultan saya.

Penakut juga

Badil tidak takut naik ke puncak gunung yang dianggap mengerikan oleh banyak orang. Badil juga tidak takut keluar-masuk hutan, maupun ke pedalaman yang jarang dirambah wartawan lain. Badil tidak takut badak, atau gajah dan dia juga tidak pernah takut terhadap birokrasi.

Hanya sedikit orang yang tahu Badil sebetulnya tergolong penakut menghadapi beberapa hal dalam hidup ini. Badil adalah salah seorang konseptor lawakan Prambors yang terkenal itu. Ciri lawakannya kritis, nakal dan lucu.

Jarang ada yang tahu bahwa Prambors adalah singkatan dari nama-nama jalan yaitu Prambanan, Mendut, Borobudur dan sekitarnya yang masih terbilang kawasan Menteng di Jakarta.

Pelawaknya yang terkenal adalah Kasino, Dono dan Indro, selain Pepeng, Nana Krip dan lain-lain. Badil pernah glagapan di ajak manggung, sehingga akhirnya memutuskan buat berperanan di belakang layar.

Badil juga sangat takut berkendaraan mobil dengan kecepatan tinggi. Dalam beberapa kali perjalanan dengan saya, Badil berkali-kali menyuruh saya memperlambat kecepatan dan membatasi hanya sampai maksimum 60 km per jam.

Dia mengancam akan turun jika saya membandel. Pernah juga dia menyuruh saya menghentikan mobil di penggir jalan yang sepi di jalur selatan antara Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Alasannya dia kebelet kencing.

Ternyata, dia cuma minta Don Hasman menggantikan saya mengemudikan mobil kami karena dia ketakutan melihat saya melajut pada kecepatan 80 km per jam.

Saya tahu satu hal lagi yang membuat Badil takut. Badil sangat takut foto pernikahannya dipajang di Harian Kompas. Padahal, redaksi Kompas punya kebiasaan memajang foto wartawannya yangh menikah.

Menjelang pernikahannya di gereja, Badil masih hadir di redaksi. Dia dengan bersungguh-sungguh mengancam: “Awas ya, jangan ada yang majang foto gue kawin. Gue serius nih, bakal gue ajak berantem!”

Kebetulan saya sedang menyusun buku yang berisi pengalaman sejumlah wartawan Kompas. Isinya bukan ingin menyoroti kesejahteraan para pensiunan wartawan, melainkan menggambarkan elan generasi wartawan Kompas sebelum era milenial.

Badil pernah mengirimkan tulisan tentang pengalamannya bekerja di Harian Kompas. Naskahnya sudah saya sunting, tapi saya masih bergulat dengan naskah dari teman-teman yang lain.

Badil menyelesaikan penziarahannya Kamis 11 Juli 2019. Badil banyak menulis buku dan laporan di media massa. Dia tidak pernah sibuk berjihad maupun menghujat di media sosial.

Badil dicintai banyak teman karena tidak pernah berkhianat meski kadang-kadang lidahnya tajam dan nada suaranya geram. Buat saya, cerita tentang Badil cuma satu jilid, tapi banyak penerbitnya.

Badil yang baik, pertemananmu nyaris tidak bercacat. Teman-temanmu yang sejak dulu, tetap juga jadi temanmu saat ini. Tidak banyak orang yang mampu jaga pertemanan. Apalagi jangka panjang!

Okay Dil, mudah-mudahan loe sekarang lagi tenang ngobrol dengan teman-teman lama yang sudah nunggu di alam sana. Gue liat Xenia dan Banu cukup tegar di sini. Nanti pasti gue nyusul dan kita bisa ngobrol bareng lagi.

Bintaro, 12 Juli 2019.

Sumber: : Obituari yang indah ini saya ambil dari akun Facebook Om Albert Kuhon (Kopral Jabrik). Saya berteman dengan beliau di FB dan selalu suka membaca tulisan-tulisannya. Satu di antara wartawan senior yang luar biasa.

Obituari Aristides Katoppo


Aristides Katoppo (wowkeren.com)
Oleh Albert Kuhon


+ Masak you gak bisa dapat sih?

- Nanti dicarikan

+ Kan sudah 25 tahun. Pasti sudah di-declassified. Coba you cari Marshal Green, bekas Dubes Amerika yang pernah tugas di Jakarta tahun 1965an.

- Oke

Begitu kira-kira percakapan singkat saya dengan Aristides Katoppo, yang akrab disapa Tides di akhir tahun 1990. Waktu itu saya Kepala Biro Harian Suara Pembaruan di Washington DC.

Wartawan senior Aristides Katoppo, bukan petinggi di redaksi. Tapi suaranya tetap berpengaruh. Percakapan itu diakhiri dengan komentar agak sinis: “Masak Albert Kuhon gak bisa dapat sih?”

Kami berbincang singkat tentang dokumen rahasia yang dibuat oleh pihak Kedubes Amerika Serikat di Indonesia menghenai Peristiwa G30S.


Sampai dengan tahun 1990 tersebut, sudah banyak informasi berkembang yang menyatakan pihak CIA (Central Intelligence of America) terlibat dalam tragedi 30 September 1965 dan penggulingan Presiden Sukarno.

Tides

Tides mengawali karir jurnalistik sejak tahun 1957, sewaktu ia bergabung dengan Pers Biro Indonesia. Tahun 1961, Tides bergabung dengan HG Rorimpandey dkk memperkuat redaksi koran sore Sinar Harapan. 

Tahun 1968, Tides menjabat Redaktur Pelaksana Sinar Harapan.  Ia menjadi pemimpin redaksi Sinar Harapan sampai ditutup tahun 1986.

Ia sempat belajar di Stanford University di Amerika Serikat selama lima tahun.

Tides juga pernah belajar di Center for International Affairs, Harvard University di Boston. Ketika kembali ke Indonesia, Tides mengajar jurnalistik di Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.

Dalam penugasan kewartawanan, Tides memang selalu ‘menuntut’. Tides bersama Sabam Siagian menjadi tulang punggung koran sore Sinar Harapan yang diterbitkan tahun 1961oleh Hendrikus Gerardus Rorimpandey bersama JCT Simorangkir, Subagyo PR dan kawan-kawan.

Produk-produk jurnalistik Tides sangat mewarnai koran sore tersebut. Banyak wartawan (yang sekarang sudah senior) hasil didikan Tides. Di antaranya, Atmadji Sumarkidjo, Upa Labuhari, Bernadus Sendouw, Yuyu AN Mandagie, dan lain-lain.

Penghargaan prestasi jurnalistik berupa Trofi Adinegoro (dari Persatuan Wartawan Indonesia) maupun Kalam Kencana (dari Departemen Penerangan) banyak diterima oleh para wartawan Sinar Harapan.

 Para wartawan Sinar Harapan penerima penghargaan tersebut antara lain Subekti, Panda Nababan, Yuyu A.N Mandagie, Tinnes Sanger dan Bernadus Sendouw, Indra Rondonuwu, Suryanto Kodrat, Samuel Pardede, Pramono R Pramoedjo dan Thomas Lionar.

Piawai

Di lingkungan Redaksi Kompas, almarhum Polycarpus Swantoro adalah orang yang meletakkan dasar-dasar penulisan laporan jurnalistik sejak terbitnya harian tersebut Juni 1965.

Swantoro adalah orang yang melatih para wartawan senior seperti J. Widodo, Raymond Toruan, R. Sugiantoro, Indrawan dll. Di lingkungan Sinar Harapan, Aristides Katoppo adalah salah seorang arsitek peliputan yang sangat handal.

Kepiawaian Tides dalam menakhodai Sinar Harapan patut diacungi jempol. Pada era kepemimpinannya, koran sore Sinar Harapan digemari pembacanya karena keunggulan dalam news getting atau peliputan.

Sikap Tides yang sangat menuntut (demanding) merupakan salah satu faktor penyebab keunggulan tersebut. Koran sore itu menjadi sangat kritis dalam menerapkan motto “Memperjuangkan Kemerdekaan dan Keadilan, Kebenaran dan Perdamaian berdasarkan Kasih”.

Sinar Harapan harus mengalami beberapa kali pembredelan oleh pemerintah sebagai konsekuensi dari konsistensi dalam pemberitaannya.

Tides nyaris tidak peduli dan berkali-kali harus berbeda pendapat dengan para pemilik modal. Bagi Tides, fakta merupakan sesuatu yang suci dan tidak perlu ditutup-tutupi.

Larangan terbit yang pertama dialami Sinar Harapan (dan sejumlah media lain) tanggal 2-8 Oktober 1965, karena penguasa tidak menghendaki peristiwa G 30 S-PKI diekspos secara bebas oleh media.

Hanya media-media tertentu saja yang boleh terbit. Pada tanggal 8 Oktober 1965 Sinar Harapan diperbolehkan kembali terbit. Bulan Juli 1970, Sinar Harapan mendapat ‘teguran’ memberitakan temuan Komisi IV DPR RI mengenai adanya korupsi di kalangan pemerintah Orde Baru.

Jurnalistik

Tides nyaris tidak terlalu memikirkan urusan bisnis. Baginya, jurnalistik harus menggambarkan fakta dan diwarnai kekritisan berpikir. Penggalian data dan informasi harus dilakukan secara teliti dan laporannya kudu analitis.

Keterbatasan waktu karena Sinar Harapan adalah koran sore, tidak boleh mengurani nilai-nilai dasar jurnalistik tersebut. Karenanya, tidak jarang Tides berbeda pendapat dengan para pemilik modal korannya.

Pemberitaan Sinar Harapan tanggal 31 Desember 1971 yang berjudul “Presiden Larang Menteri-menteri Beri Fasilitas pada Proyek Mini” mengakibatkan pihak Redaksi Sinar Harapan beroleh teguran.

Tanggal 2-12 Januari 1973 Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) mencabut sementara Surat Izin Cetak Sinar Harapan akibat pemberitaan yang ‘membocorkan’ RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).

Sejumlah wartawan Sinar Harapan sempat diperiksa pihak Kejaksaan Agung akibat pemberitaan tersebut.

Sinar Harapan dan sejumlah media dibreidel lagi tahun 1974, sehubungan pemberitaan tentang kegiatan demonstrasi mahasiswa yang disebut Malari (lima belas Januari).

Koran itu dibolehkan terbit kembali 4 Februari 1978 Sinar Harapan diperbolehkan. Breidel terakhir terjadi Oktober 1986, ketika Sinar Harapan ‘membocorkan’ rancangan undang-undang antimonopoli yang sedang digodok di DPR.

Tangan Tides menyentuh hampir semua pemberitaan ‘panas’ Sinar Harapan. Tides memang tidak pernah kompromi dalam soal kekritisan.

 Pada tahun-tahun itu, penerbitan media massa telah beralih dari yayasan ke PT (perseroan terbatas) dan Surat Izin Cetak telah berganti menjadi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).

 Akibat pemberitaan tentang rancangan undang-undang antimonopoli yang ‘menyerang’ sejumlah kepentingan bisnis keluarga pejabat tinggi, pemerintah yang dipimpin Presiden Soeharto membatalkan SIUPP koran Sinar Harapan.

Para wartawan dan karyawan yang mengerjakan koran Sinar Harapan, dialihkan dari PT Sinar Kasih (penerbit Sinar Harapan) ke PT Media Interaksi Utama (MIU) di alamat yang sama. PT MIU kemudian sejak tahun 1987 menerbitkan koran sore Suara Pembaruan. Namun Tides, Rorimpandey dan Subagio PR tidak dibolehkan duduk di lingkungan redaksi.

Saya dan Tides

Saya kenal Tides secara pribadi pada awal dekade 1980an. Akhir dekade 1980an, saja diajak bergabung ke harian Suara Pembaruan, penjelmaan dari Sinar Harapan yang dibreidel tahun 1986. Sejak itu saya sering bertemu dengan Tides.

Sebagian lingkaran pertemanan Tides, ternyata teman-teman saya juga. Teman-teman Tides ada di mana-mana dan dari berbagai kalangan. Tides juga berteman dengan para mahasiswa, mulai dari Angkatan 66 sampai para aktifis tahun 1998.

Bayangkan, Tides bersahabat dengan Soe Hok Gie (aktifis Angkatan 1966 yang wafat di Gunung Semeru) dan akrab juga dengan wartawan muda para aktifis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang didirikan pertengahan dekade 1990an. Bahkan Tides adalah salah seorang pendiri AJI!

Tides akrab dengan alam. Ia seorang pendaki gunung, yang me njadi bagian tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan Wanadri maupun Mapala UI.

Teman-teman lamanya di lingkungan pecinta alam antara lain Herman Lantang, almarhum Rudy Badil, almarhum Norman Edwin, dan Don Hasman.

Tides sangat pandai menjaga persahabatannya. Ia masih aktif hadir dalam berbagai acara.

Saya bertemu terakhir dengannya ddalam peringatan 40 hari wafatnya Badil yang diselenggarakan Yosephine Komara (Obin) dan teman-teman Badil lainnya September lalu. Sebelum Tides pergi ke Semeru.

Berkali-kali Tides mengundang saya buat ngopi, tapi belum sempat terlaksana. Undangannya disampaikan lewat Jossi Katoppo, adiknya yang juga sobat lama saya.

Seorang mantan reporter SCTV (Surya Citra Televisi), Iwan Setiawan, juga beberapa kali menyampaikan pesan tentang ajakan Tides.

Bahkan dalam acara pemakaman Rudy Badil di Tanahkusir Agustus lalu, Mimis (istri Tides) yang mendampingi Tides dan Herman Lantang, masih mengingatkan tentang undangan tersebut.

Tides meninggal dunia dalam usia 81 tahun di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Jakarta Pusat, Minggu (29/9/2019) siang.

Beberapa hari sebelumnya, ia bersama sobat-sobatnya Herman Lantang dan Don Hasman bernostalgia di Gunung Semeru, napak tilas pendakian terakhir Soe Hok Gie.

Di Rumah Duka RSPAD Gatot Subroto, Herman Lantang sempat menangis tersedu-sedu di pinggir peti jenazah, Senin 30 September siang.

Herman berjalan tertatih-tatih dengan tongkatnya, mengenakan pakaian warna khaki, kacamata gelap, dan topi lebar yang biasa dipakai para pendaki. Beberapa menit Herman ‘berbincang’ dengan sobatnya yang terbaring dalam peti jenazah itu.

Tides yang perkasa, Tides yang kritis, Tides yang punya banyak sahabat, Tides yang jurnalis, Tides yang pecinta alam, kini telah berpulang.

Teman-temannya seperti Soe Hok Gie, Norman Edwin dan Rudy Badil mungkin sudah menunggu Tides di alam sana buat bercengkerama.

Masak you gak bisa dapat sih? Selamat jalan, Senior!

Bintaro, 1 Oktober 2019
ak


Sumber: Obituari yang indah ini saya ambil dari akun Facebook Om Albert Kuhon (Kopral Jabrik). Saya berteman dengan beliau di FB dan selalu suka membaca tulisan-tulisannya. Satu di antara wartawan senior yang luar biasa.

Peran dan Tugas Kardinal dalam Gereja Katolik

Paus Fransiskus dan para kardinal
 Paus Fransiskus pada akhir Agustus 2019 memilih Mgr Ignatius Suharyo sebagai kardinal Indonesia. Suharyo adalah kardinal ketiga Indonesia.

Kardinal pertama adalah Mgr Justinus Darmojuwono yang dilantik pada 1967 di sela pengabdiannya sebagai Uskup Agung Semarang periode 1963 sampai 1981.

Kardinal kedua adalah Mgr Julius Darmaatmadja yang ditunjuk pada 1994 saat menjabat sebagai Uskup Agung Semarang.

Pada tahun 1996 Mgr Julius diminta menggembalakan Keuskupan Agung Jakarta menggantikan Mgr Leo Soekoto. Mgr Julius mundur dari Jakarta karena alasan kesehatan pada 2010.

Mgr Julius digantikan Mgr Suharyo yang kemudian ditunjuk Sri Paus sebagai kardinal.

Apa itu kardinal? Bagaimana posisinya dalam Gereja Katolik? Berikut ini ulasan Pastor Markus Solo Kewuta, SVD, Imam Kongregasi Serikat Sabda Allah (SVD) seperti dikutip dari Kompas.Com.

Kardinal adalah sebuah gelar rohani sangat tua di dalam Gereja Katolik, yang secara hirarkis berada langsung di bawah paus.

Paus Silvester I (314-335) adalah paus pertama yang menggagas dan membentuk gelar ini.

Secara etimologis kata "kardinal" berasal dari kata bahasa Latin "cardo", yang berarti engsel pintu yang menyambung dua helai pintu.

Kata "cardo" juga merupakan nama sebuah gereja utama kota Roma zaman dulu yang terletak di wilayah periferi Roma dan merepresentasi kehadiran gereja-gereja lokal di berbagai belahan dunia.

Berpijak pada dua pengertian di atas, seorang kardinal dipilih dan diangkat dengan sebuah tugas dan fungsi penting, yakni ibarat ‘’engsel“ yang menyambungkan Sri Paus (Tahta Suci Vatikan) dengan gereja lokal atau wilayah kerja di bawah tanggungjawab seorang kardinal.

Para kardinal bisa diidentifikasi dengan mudah melalui penampilan dengan pakaian kebesaran serba merah.

Para kardinal Gereja Katolik berbagai jenjang umur adalah anggota persekutuan para kardinal yang disebut kollegium para kardinal (College of Cardinals).

Kollegium para kardinal juga lumrah disebut "Senat Sri Paus" tetapi istilah ini sudah kedaluwarsa. Kadang istilah ini masih digunakan hanya dalam publikasi-publikasi atau tulisan-tulisan khusus saja.

Hilang munculnya istilah di atas kurang lebih sama dengan istilah lain, yakni "kollegium para kardinal yang kudus" (Holy College of Cardinals).

Penggunaan kedua istilah di atas melemah sejak tahun 1983. Istilah yang lebih popuper adalah kollegium para kardinal.

Setelah penganugerahan entitas ganda kepada Vatikan sebagai negara dan Tahta Suci melalui Traktat Lateran pada tanggal 11 Pebruari 1929, para Kardinal juga berikan julukan "pangeran-pangeran Gereja".

Hak prerogatif paus

Para kardinal yang dipilih dan diangkat oleh Sri Paus, dan ini merupakan hak prerogatif Sri Paus, bertujuan untuk mendukungnya di dalam menjalankan tugas kepausannya memimpin Gereja Katolik, baik secara individu, maupun secara kollegium.

Tugas para kardinal bisa bervariasi; mulai dari memimpin perkantoran-perkantoran Kuria di Vatikan, hingga pemimpin Gereja lokal negara masing-masing dan penasihat atau pengarah Gereja lokal.

Artinya, kardinal-kardinal yang tidak ditentukan oleh Paus untuk memimpin perkantoran Kuria di Vatikan, tetap tinggal dan bekerja di negara mereka masing-masing.

Mereka selalu siap bersedia untuk memenuhi panggilan Sri Paus, manakala kehadiran mereka di Vatikan dibutuhkan untuk sebuah tujuan penting tertentu.

Seorang kardinal yang berkarya di negaranya, tidak selamanya atau tidak harus menjadi pemimpin konferensi para uskup.

Hal ini bergantung dari kebutuhan dan hasil pemilihan yang independen. Ketidakharusan ini memberikan ruang gerak kepadanya yang lebih luas untuk menjalin relasi kerjanya dengan Sri Paus.

Tidak bertujuan merepresentasikan negara

Pengangkatan para kardinal pada dasarnya tidak bertujuan untuk merepresentasi sebuah negara. Banyak negara di mana hadir juga Gereja Katolik, tidak memiliki kardinal.

Hal ini merupakan hak prerogatif Paus yang berbasis pada kebutuhan beliau dan kriteria-kriteria yang beliau miliki.

Oleh karena pengangkatan seorang kardinal sesuai dengan kebutuhan Sri Paus, pada masa-masa terakhir, Paus Fransiskus bahkan juga memilih para pastor dan diangkat menjadi kardinal tanpa harus menjadi uskup atau uskup agung terlebih dahulu seperti lazimnya terjadi pada masa-masa sebelumnya.

Mereka-mereka itu biasanya memiliki kualifikasi-kualifikasi tertentu yang sangat mendukung tugas kegembalaan Sri Paus, atau oleh karena jasa-jasa dan pengalaman-pengalaman luar biasa yang dianggap bisa memberikan masukan penting bagi Sri Paus dalam menjalankan kepemimpinannya.

Tugas penting: memilih paus

Selain tugas-tugas di atas, para kardinal memiliki tugas lain yang sangat penting, yakni memilih paus yang baru. Ketika terjadi “Sedes vacans” (kekosongan jabatan Paus), para kardinal sebagai kollegium memimpin roda pemerintahan Gereja Katolik.

Selama “Sedes Vacans’’, artinya ketiadaan paus, para kardinal biasanya hadir di Vatikan untuk mengadakan pertemuan atau sidang harian guna membahas berbagai hal untuk menjamin jalannya pemerintahan serta mempersiapkan Konklav (upacara pemilihan Paus yang baru).

Selama masa ini, mereka tidak berhak menggantikan atau mengubah hukum atau keputusan serta ketetapan apapun yang sudah dilakukan oleh paus sebelumnya.

Pemimpin kollegium para kardinal adalah seorang kardinal dekan yang dibantu oleh kardinal subdekan.

Keduanya memiliki status titular kardinal uskup. Selain kardinal uskup, masih ada lagi dua pangkat lainnya di dalam hirarki kollegium kardinal yaitu kardinal imam dan kardinal diakon.

Gelar-gelar ini pertama-tama berkaitan dengan sistim administratif Tahta Suci Vatikan dengan gereja-gereja utama seputar Roma (gelar Kardinal Uskup) dan pembagian gereja-gereja titular di Roma (kardinal imam) dan pembagian institusi-institusi gereja di bagian diakonia dan sosial-karitatif, juga di kota Roma dan sekitarnya (kardinal diakon).

Kardinal diakon tertua menerima gelar protodiakon (diakon utama) dan memiliki tugas untuk mengumumkan nama paus yang baru terpilih dengan rumusan terkenal "habemus papam" (kita memiliki seorang paus).

Pengaturan dan penetapan ketiga gelar di dalam kollegium para kardinal diatur di dalam Kitab Hukum Kanonik atau Codex Iuris Canonici, Kanon 205 §1. Jumlah total kardinal segala jenjang umur saat ini adalah 215 orang (per 2 September 2019).

Dari jumlah ini, seandainya sebuah konklav terjadi pada hari ini, artinya sebelum ada pengangkatan kardinal baru oleh Paus, maka ada 118 kardinal berumur di bawah 80.

Mereka berhak memilih paus baru (dan berhak dipilih juga). Akan tetapi menurut Konstitusi Apostolik Paus Yohanes Paulus II “Universi Dominici Gregis”, ditetapkan 120 kardinal pemilih. Ketetapan ini belum diubah oleh Paus Fransiskus.

* Markus Solo, SVD adalah imam asal Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Seorang ahli Islamologi. Kini bertugas menangani Desk Relasi Katolik-Muslim di kawasan Asia dan Pasifik, Wakil Presiden Yayasan Nostra Aetate "Pendidikan Dialog Lintas Agama" pada Kantor Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Umat Beragama di Vatikan.

Sumber: Tribun Bali
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes