|
Rudy Badil (kiri/CNN.Indonesia) |
Oleh Albert Kuhon
+ Adiknya Badil ya?
- Bukan. Kenapa?
+ Tampangnya mirip.
Pertanyaan serupa muncul lagi dari seorang perempuan yang baru datang di lantai III RS Hermina Depok, dekat ruang ICU, Selasa 8 Juli 2019 sore.
Tidak lama kemudian datang seorang lelaki yang usianya sekitar 60 tahun dan menanyakan ha yang sama kepadsaya. Jawaban saya tetap sama: “Bukan.”
Saya memang bukan siapa-siapanya Badil. Saya cuma merasa dekat dengannya, seperti sejumlah teman-temannya yang lain.
Bayangkan, kami berkenalan sekitar tahun 1981, tetapi Kamis 11 Juni 2019 saya baru tahu bahwa nama lengkap Badil adalah Rudy David Badil Mesmana. Sebelumnya saya cuma tahu namanya Rudy Badil. Titik.
Padahal selama kurun waktu 1981-1986, sewaktu kami masih bersama-sama jadi wartawan Harian Kompas, kami sering berpergian bersama ke pelosok.
Kami juga sering tidur bersama di kursi-kursi kantor redaksi Kompas, karena menulis laporan sampai larut malam dan sudah tidak ada kendaraan umum buat pulang ke tempat kos.
Kamis 11 Juli 2019 itu, saya baru paham bahwa Badil lahir 25 November 1945. Artinya, lebih tua dibandingkan Raymond Toruan yang pernah jadi bos kami berdua di Redaksi Kompas.
Sore itu Raymond pun baru sadar bahwa selama puluhan tahun ini dia ‘kecolongan’, sewaktu kami melayat Badil di Rumah Duka Heaven di RS Dharmais, Slipi, Jakarta Barat.
Beberapa meter dari jarak kami berbincang, Badil terbujur kaku dalam peti. Tubuhnya gagah berpakaian jas.
Jauh lebih gagah katimbang kondisi terakhirnya. Beberapa tahun terakhir, Badil selalu menggunakan tongkat sehabis kakinya patah akibat ketabrak ojek.
Jumat 12 Juli 2019 siang saya baru tahu bahwa sebetulnya Badil adalah nama julukan yang dicomot dari nama seorang tukang becak asal Tegal.
Tukang becak itu dulu sering mangkal di dekat rumah Badil ketika dia tinggal di Pondok Rotan, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat. Nasib Badil palsu, jauh lebih baik katimbang Badil yang asli.
“Kalau ketemu lagi, gua mau kasihduit buat bantu kehidupan dia di kampungnya,” Don Hasman menuturkan kembali kalimat Badil tentang tukang becak itu.
Hebat
Badil itu hebat lho! Dia masuk sebagai wartawan Kompas dua tahun lebih awal dari saya. Tetapi, sebelumnya sekitar tahun 1976-78 saya pernah ‘bertemu’ dengannya.
Ketika itu saya masih wartawan Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta. Waktu itu di Yogya sedang dilaksanakan syuting film November 1928.
Saya mengomentari naskah yang mendasari syuting film tersebut dalam salah satu laporan di Kedaulatan Rakyat.
Saya bilang, sebetulnya ada beberapa adegan dalam film itu yang dijiplak dari naskah drama Monserrat karya Emmanuel Robles, penulis Perancis.
Keesokan harinya Teguh Karya, sutradara film November 1928, memberi keterangan pers menanggapi komentar saya.
Dalam salah satu masa sekitar pertengahan dekade 1980an di Redaksi Kompas, saya dan Badil bersama beberapa teman mengobrol tentang dunia perfilman serta drama.
Lalu muncul nama Teguh Karya dan film November 1928 dalam perbicangan itu. Saya ceritakan betapa saya pernah mengulas naskah yang menurut saya sebagian ‘dijiplak’ dari naskah drama perjuangan kemerdekaan di Amerika Latin yang berjudul ‘Monserrat’.
Saya ingat reaksi Badil dalam diskusi itu: “Sekarang gue inget. Gara-gara tulisan di Kedaulatan Rakyat itu, kita harus ubah naskah dan retake adegan-adegannya. Ternyata loe biang keroknya...”
Sungguh, saya tidak tahu bahwa tangan Badil juga menjamah naskah dan pembuatan film tersebut. Saya paham jejak kaki Badil ada di semua gunung yang pernah saya daki.
Jumlah gunung yang sudah dikencingi Badil (bersama Don Hasman, Norman Edwin dan Utun maupun tidak), jauh lebih banyak dibanding jumlah gunung yang pernah saya kencingi.
Tapi sewaktu saya jadi wartawan di Yogyakartta tahun 1970-an, saya belum kenal Badil. Dan saya tidak tahu bahwa Badil ada di balik pembuatan film November 1928 yang sempat terkenal pada zamannya.
Jejak Badil
Badil sudah menyandang ‘nokeng’ dari pedalaman Papua sewaktu saya baru sempat berkelana di pelosok Jawa dan Sumatera. Badil yang memperkenalkan ukiran Suku Asmat lewat tulisan-tulisannya.
Saking seringnya Badil keluar-masuk pedalaman Papua (waktu itu kita sebut Irian Jaya), saya dan teman-teman menjulukinya ‘ondoafi’ (bangsawan Papua).
Badil juga dekat dengan kegiatan mahasiswa dan tokoh-tokoh mahasiswa Universitas Indonesia. Salah satu sosok yang sangat dekat dengannya adalah Soe Hok Gie (adik Arief Budiman).
Soe Hok Gie adalah penentang kediktatoran, dari zaman Presiden Soekarno sampai zaman Presiden Soeharto.
Ia lebih tua sekitar tiga tahun dibandingkan Badil. Keduanya sama-sama pendaki gunung dan sama-sama berkuliah di Fakultas Sastra UI. Soe Hok Gie meninggal di Gunung Semeru tahun 1969.
Jejak Badil sungguh ada di mana-mana. Badil bersama Erna Witoelar (pegiat lingkungan hidup yang sempat jadi menteri) dan George Aditjondro (pegiat lingkungan hidup yang kemudian lulus doktor dan jadi dosen dan pengamat ekonomi-politik), pada tahun 1980an, adalah orang-orang yang memelopori berdirinya Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).
Konon, Badil dan Erna Witoelar juga yang mengajari Emil Salim (mantan menteri di zaman Orde Baru), cara memperpanjang masa pakai celana dalam di daerah terpencil sewaktu kita tidak punya kesempatan mencuci pakaian.
Mau tahu caranya? Dipakai secara bolak-balik alias ‘double sided’!
Kita semua tentu kenal atau pernah mendengar Bentara Budaya, panggung atau etalase budaya yang kini jadi sejenis pelaksanaan corporate social responsibility atau CSR pihak Kompas-Gramedia.
Badil adalah salah satu pelopornya. Awal dekade 1980-an, Badil sempat bolak-balik ke berbagai pelosok menyiapkan acara-acara Bentara Budaya di Jakarta dan Yogyakarta yang baru dirintis.
Banyak temuan dalam kluyuran Badil di berbagai pelosok, yang kemudian dipajang di Bentara Budaya.
Ukiran dan patung Asmat, serta tenun serta kebudayaan Baduy, adalah dua temuan Badil yang diunggah ke panggung etalase grup Kompas-Gramedia tersebut.
Selain urusan pendakian dan urusan kesenian di daerah pedalaman, Badil juga mahir menulis hal-hal serius melalui laporan kocak.
Badil yang kadang-kadang nyebelin dan pemberang, sering membuat kita tersenyum-seyum sendiri ketika membaca tulisannya. Badil memang paling jago menulis laporan feature.
“Jangan terlalu serius, kudu didangdutin dikit,” ujar Badil dalam logat Betawi, kepada saya di dekade 1980an sewaktu kami masih sama-sama di Harian Kompas.
Badil juga salah satu sosok di balik “Operasi Ganesha” tahun 1982, sewaktu 242 ekor gajah yang terperangkap di dekat pemukiman transmigran Air Sugihan di Sumatera Selatan, digiring guna diselamatkan ke Lebong Hitam di Lampung.
Operasi pemindahan ratusan gajah sejauh sekitar 70 km itu dipimpin oleh Letkol I Gusti Kompyang Manila. Dan Badil pada masa itu ikut dalam salah satu tim penggiringan gajah.
Perkasa
Kemampuan dan jejaring Badil memang mengagumkan. Dia dikenal di kalangan pecinta alam dan pegiat lingkungan hidup.
Jauh sebelum kita ribut-ribut soal kelestarian alam, Badil dan teman-temannya sudah menerapkan pola 3 R (reduce, reuse, recycle) guna mengurangi pencemaran lingkungan hidup di pe ndakian maupun puncak-puncak gunung.
Badil yang tampaknya ceroboh dan tidak menaruh perhatian terhadap keadaan sekitarnya, sebetulnya orang yang sangat teliti. Dia bisa ingat nama-nama orang yang baru berkenalan dengannya.
Dalam urusan kesenian dan kebudayaan lokal, Badil ibarat kamus berjalan. Dia bisa bercerita tentang kesenian dan kebudayaan masyarakat di pelosok Aceh, sampai masyarakat di pedalaman Kalimantan maupun pelosok Papua.
Badil bisa menghilang berminggu-minggu, lalu muncul beberapa hari di Jakarta dan menghilang kembali. Badil bisa tidak pulang ke rumah, walaupun sedang di Jakarta.
Badil bisa meninggalkan istrinya, Xenia, sendirian bersama putra tunggal mereka yang bernama Banu, karena ditugasi berjaga-jaga di kantor Redaksi Kompas pada saat kerusuhan Mei 1998.
Badil bisa tertawa terbahak-bahak, atau mengocok perut kita denganb anyolan-banyolannya yang konyol. Tapi dia bisa juga meledak dan marah besar jika merasa tersinggung atau dikhianati.
Badil orang yang sangat tangguh. Badil mermang enak dijadikan teman atau kawan, tapi belum tentu kita kita bisa bertahan lama mendampinginya.
Karenanya, saya sungguh kagum pada Xenia, istri Badil, yang bisa tahan dan bahkan tetap menyemangati Badil dengan segala keunikannya. Saya bertemu Xenia Selasa (9/7) siang sampe sore di rumah sakit dan Kamis (11/7) petang di rumah duka.
Perempuan kecil itu terlihat tegar dan tidak menitikkan airmata, menjawab pertanyaan dan menceritakan proses bagaimana dia ditolak oleh beberapa rumahsakit sewaktu berusaha mencari tempat perawatan Badil yang sudah tidak sadarkan diri di hari Senin 8 Juli 2019.
Si mungil Xenia memang perkasa!
Badil dan saya
Saya beberapa kali bepergian bersama Badil dalam peliputan. Badil selalu punya cara tersendiri buat ‘mengecoh’ para petinggi redaksi dan staf administrasi.
Wartawan lain umumnya meliput berdasarkan penugasan redakturnya. Badil adalah salah satu wartawan Kompas yang meliput sesuai yang dia mau. Biasanya Badil menyusun dan mengusulkan rencana peliputan.
Setelah disetujui, dia menghilang 1-2 minggu atau kadang-kadang sampai beberapa minggu.
Setelah kembali ke redaksi, dia berhari-hari sibuk menulis laporannya. Pada masa-masa dia sibuk di redaksi itulah, kami sering bersama-sama sampai larut malam. Dulu naskah laporan kami buat dengan bantuan mesin tik.
Jadi kami bisa saling menyadari kehadiran satu sama lain di ruang redaksi di tengah malam melalui suara mesin ketik. Menjelang tidur di kursi rapat yang kami susun berderet, biasanya kami ngobrol dulu.
Jauh sebelum Jalan Sultan Agung di pinggir Kali Ciliwung dilebarkan seperti sekarang, saya dan Badil pernah menyusuri jalan sempit itu. Awal dekade 1980an itu, Badil sudah memberitahu saya bahwa jalan yang dipakai buat inspeksi Kali Ciliwung itu bakal dilebarkan.
Saya dan Badil juga pernah ke pelosok-pelosok di pinggir kota Jakarta ke arah Bogor. Kami mampir menengok sejumlah pabrik tapioka di Kandanghaur dan Kedunghalang.
Kebetulan saya sangat menguasai masalah teknologi ekstraksi pati dari singkong atau ubikayu tersebut. Laporan saya yang terbilang serius, kemudian disunting oleh Badil menjadi laporan enteng tapi berisi.
Di lain kesempatan, saya pergi meliput berkeliling pelosok Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Mengumpulkan informasi tentang lahan tidur, teknologi yang membantu para petani kecil dan perkebunan rakyat. Dalam perjalanan itu, kami ajak Don Hasman, sahabat karib Badil.
Kami sempat menemukan lahan tidur di beberapa tempat di Jabar dan Jateng. Juga sempat singgah di pabrik jamur milik perusahaan Mantrust di Dieng (sekarang sudah tutup) di Jawa Tengah. Juga melihat-lihat kebun carica, sejenis pepaya kecil, yang dibudidayakan di Dieng.
Badil tidak sependapat dengan saya sewaktu saya memelopori berdirinya serikat pekerja di Redaksi Kompas tahun 1986. Sejumlah wartawan senior dan petinggi di Redaksi Kompas memang tidak menyetujui adanya serikat pekerja di sana.
Saya tidak dipecat, gaji saya tetap dibayar, tetapi semua tulisan saya tidak dipublikasikan oleh Harian Kompas. Saya tidak tahu, apakah ‘larangan’ itu masih berlaku sampai saat ini.
Namun beberapa kali kiriman tulisan saya ke Kompas ditolak dengan alasan yang normatif. Resminya saya berpisah dengan Badil tahun 1989, sewaktu saya mengundurkan diri dari Kompas.
Hubungan kami tetap baik. Kebetulan Banu, putranya, pernah menjadi mahasiswa dalam beberapa kelas saya di salah satu universitas swasta terkemuka. Setelah bertongkat, Badil pernah juga mampir di kantor konsultan saya.
Penakut juga
Badil tidak takut naik ke puncak gunung yang dianggap mengerikan oleh banyak orang. Badil juga tidak takut keluar-masuk hutan, maupun ke pedalaman yang jarang dirambah wartawan lain. Badil tidak takut badak, atau gajah dan dia juga tidak pernah takut terhadap birokrasi.
Hanya sedikit orang yang tahu Badil sebetulnya tergolong penakut menghadapi beberapa hal dalam hidup ini. Badil adalah salah seorang konseptor lawakan Prambors yang terkenal itu. Ciri lawakannya kritis, nakal dan lucu.
Jarang ada yang tahu bahwa Prambors adalah singkatan dari nama-nama jalan yaitu Prambanan, Mendut, Borobudur dan sekitarnya yang masih terbilang kawasan Menteng di Jakarta.
Pelawaknya yang terkenal adalah Kasino, Dono dan Indro, selain Pepeng, Nana Krip dan lain-lain. Badil pernah glagapan di ajak manggung, sehingga akhirnya memutuskan buat berperanan di belakang layar.
Badil juga sangat takut berkendaraan mobil dengan kecepatan tinggi. Dalam beberapa kali perjalanan dengan saya, Badil berkali-kali menyuruh saya memperlambat kecepatan dan membatasi hanya sampai maksimum 60 km per jam.
Dia mengancam akan turun jika saya membandel. Pernah juga dia menyuruh saya menghentikan mobil di penggir jalan yang sepi di jalur selatan antara Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Alasannya dia kebelet kencing.
Ternyata, dia cuma minta Don Hasman menggantikan saya mengemudikan mobil kami karena dia ketakutan melihat saya melajut pada kecepatan 80 km per jam.
Saya tahu satu hal lagi yang membuat Badil takut. Badil sangat takut foto pernikahannya dipajang di Harian Kompas. Padahal, redaksi Kompas punya kebiasaan memajang foto wartawannya yangh menikah.
Menjelang pernikahannya di gereja, Badil masih hadir di redaksi. Dia dengan bersungguh-sungguh mengancam: “Awas ya, jangan ada yang majang foto gue kawin. Gue serius nih, bakal gue ajak berantem!”
Kebetulan saya sedang menyusun buku yang berisi pengalaman sejumlah wartawan Kompas. Isinya bukan ingin menyoroti kesejahteraan para pensiunan wartawan, melainkan menggambarkan elan generasi wartawan Kompas sebelum era milenial.
Badil pernah mengirimkan tulisan tentang pengalamannya bekerja di Harian Kompas. Naskahnya sudah saya sunting, tapi saya masih bergulat dengan naskah dari teman-teman yang lain.
Badil menyelesaikan penziarahannya Kamis 11 Juli 2019. Badil banyak menulis buku dan laporan di media massa. Dia tidak pernah sibuk berjihad maupun menghujat di media sosial.
Badil dicintai banyak teman karena tidak pernah berkhianat meski kadang-kadang lidahnya tajam dan nada suaranya geram. Buat saya, cerita tentang Badil cuma satu jilid, tapi banyak penerbitnya.
Badil yang baik, pertemananmu nyaris tidak bercacat. Teman-temanmu yang sejak dulu, tetap juga jadi temanmu saat ini. Tidak banyak orang yang mampu jaga pertemanan. Apalagi jangka panjang!
Okay Dil, mudah-mudahan loe sekarang lagi tenang ngobrol dengan teman-teman lama yang sudah nunggu di alam sana. Gue liat Xenia dan Banu cukup tegar di sini. Nanti pasti gue nyusul dan kita bisa ngobrol bareng lagi.
Bintaro, 12 Juli 2019.
Sumber: : Obituari yang indah ini saya ambil dari akun Facebook Om Albert Kuhon (Kopral Jabrik). Saya berteman dengan beliau di FB dan selalu suka membaca tulisan-tulisannya. Satu di antara wartawan senior yang luar biasa.