Tragedi Demokrasi


ilustrasi
Data yang disampaikan  Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Maryanti Luturmas Adoe sungguh mengejutkan. 

Sebanyak 1.126.983 penduduk wajib pilih di Provinsi NTT yang sampai saat ini belum memiliki KTP elektronik (e-KTP) terancam tidak bisa memberikan hak suaranya dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) NTT  pada  27 Juni 2018. Pasalnya e-KTP merupakan salah satu syarat wajib bagi warga yang punya hak pilih.

Menurut Maryanti Luturmas Adoe, total wajib pilih di NTT sebanyak  3.785.681 orang. Dari jumlah itu 1.126.983 orang (29,77 persen) yang punya hak memilih belum memiliki e-KTP.  Dengan demikian baru 2.658.698 penduduk NTT yang sudah memiliki e-KTP.


Satu juta lebih pemilih kehilangan hak pilih. Ini tragedi demokrasi. Lebih menyedihkan lagi mereka tidak dapat menyalurkan hak politiknya karena negara salah urus e-KTP sehingga kartu identintas wajib itu tidak mereka miliki.

Benar bahwa masih ada waktu kurang tiga setengah  bulan untuk merekam data e-KTP. Namun, mengingat pelayanan birokrasi kita yang lamban dan berbelit,  sulit nian  bisa menuntaskan e-KTP untuk satu juta lebih penduduk NTT sebelum hari H Pilgub 27 Juni 2018.

Kita  mendorong semua pemerintah kabupaten dan kota di NTT agar menjadikan e-KTP sebagai program  prioritas dalam 100 hari ke depan agar memperkecil jumlah sejuta lebih warga yang terancam kehilangan hak pilih. Kalau dapat menekan hingga 50 persen dari jumlah itu merupakan sesuatu yang menggembirakan.

Selain pemerintah masalah ini pun hendaknya menjadi perhatian para calon gubernur dan wakil gubernur, partai pengusung serta anggota tim sukses atau tim pemenangan. 

Para kandidat jangan cuma sibuk kampanyekan visi, misi dan program kerja bila terpilih nanti. Kampanyekan pula dengan masif guna meningkatkan kesadaran masyarakat mengurus administrasi kependudukan mulai dari e-KTP, kartu keluarga serta dokumen lainnya.

Untuk kepentingan jangka pendek pastikan konstituen bapak dan ibu  memiliki hak pilih. Toh percuma saja para kandidat dan tim sukses berkeliling Nusa Tenggara Timur  meyakinkan mereka lewat kampanye bila ternyata penduduk tidak berhak memilih semata karena ketiadaan e-KTP. Satu juta lebih penduduk  itu bukan jumlah sedikit.

Kasus ini pun serentak menyadarkan kita betapa buruknya dampak  korupsi. Sudah menjadi rahasia umum, proyek e-KTP salah urus sejak awal  dan berlepotan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

Banyak orang besar terlibat di dalamnya, termasuk yang masih segar dalam ingatan publik yaitu mantan ketua DPR RI, Setya Novanto. Novanto yang selama bertahun-tahun duduk di parlemen sebagai wakil rakyat asal daerah pemilihan NTT kini sedang menjalani persidangan di pengadilan Tipikor.

Gara-gara korupsi e-KTP sejuta lebih warga NTT terancam kehilangan hak pilih. Oleh karena itu jangan memberi maaf  sedikit pun terhadap praktik korupsi.

Apalagi mencari alasan pembenar mengaitkannya dengan kepentingan politik. Korupsi tetaplah tindak pidana yang merugikan kepentingan rakyat! *

Sumber: Pos Kupang 20 Februari 2018 halaman 4

Pesan Kelam dari Yogyakarta

PERASAAN kita sebagai bangsa yang majemuk ini sungguh terusik di awal tahun 2018. Dalam kurun waktu yang tidak berjauhan terjadi aksi intoleransi berwujud pemaksaan kehendak serta kekerasan fisik.

Sebagaimana diwartakan media massa, pada pekan keempat Januari tepatnya hari Minggu, 28 Januari 2018, kekerasan fisik menimpa pemimpin Pondok Pesantren Al Hidayah Cicalengka, Kabupaten Bandung, KH Umar Basri. Ia menjadi korban penganiayaan seusai salat subuh di masjid. 

Kejadian berikutnya menimpa Komando Brigade PP Persis, Ustaz Prawoto. Ustaz Prawoto meninggal dunia setelah sempat menjalani perawatan di rumah sakit akibat dianiaya seorang pria pada 1 Februari 2018. 

Awal Februari 2018 beredar warta muram  tentang  biksu Budha yang dipaksa meninggalkan rumahnya di Tangerang,  Provinsi Banten. Dan, di  Kota Yogyakarta yang dulu dikenal nyaman bagi semua orang, kegiatan bakti sosial gereja mendadak sontak dibatalkan pihak tertentu.

Gelombang aksi intoleransi dengan kekerasan fisik semakin membuat bulu kuduk berdiri pada Minggu, 11 Februari 2018 ketika seorang pria membawa parang menyerang  umat Katolik yang sementara mengikuti perayaan ekaristi di Gereja Santa Lidwina,  Stasi Bedog, Sleman, Yogyakarta. Pelaku  menyerang umat serta Romo Prier yang memimpin misa  hingga terluka dan dilarikan ke RS Panti Rapih.

Pesan kelam dari Yogyakarta pada 11 Februari 2018 mestinya membuka mata kita bahwa  aksi intoleransi di negeri ini bukan peristiwa insidentil biasa.

Kuat suara di tengah masyarakat yang menyebut semua peristiwa itu  tidak berdiri sendiri. Bukan sebuah kebetulan tetapi terencana. Semua terangkai dalam satu gelombang peningkatan kekerasan yang harus ditanggapi dengan tindakan yang tepat.

Apalagi  2018-2019 merupakan tahun politik praktis bagi bangsa Indonesia. Ada hajatan pilkada serentak yang disusul pemilu legislatif dan pemilihan presiden (pilpres).

Banyak orang berkompetisi merebut kursi kekuasaan legislatif dan eksekutif mulai  dari level kabupaten/kota hingga pusat dan  itu terjadi di  seluruh pelosok Indonesia.  Bila diracik dengan kepentingan politik praktis, maka ketegangan antarumat beragama yang tidak segera diminimalisir dapat membawa konsekuensi jangka panjang bagi bangsa dan negara Indonesia. Kita akan terseret dalam perpecahan.

Tidak ada jalan lain. Negara harus memperlihatkan wibawanya dengan menegakkan hukum untuk semua aksi intoleransi. Pelaku diproses hukum dan serentak dengan itu melakukan berbagai langkah konkret demi  mencegah kejadian serupa terulang.

Warta kelam dari Kota Yogyakarta memberi pesan tegas bahwa setiap aksi intoleransi tidak boleh dianggap sepele atau dibiarkan. Pemicu meningkatnya kasus kekerasan terkait isu agama lantaran kasus-kasus intoleransi tidak  diselesaikan hingga  tuntas sesuai dengan hukum yang berlaku.

Ketika imbauan dan gerakan politik etis tidak lagi menemukan aktualisasi nyata, maka kecepatan respon dan ketegasan aparat penegak hukum menjadi kunci menghentikan eskalasi kekerasan yang mengancam keutuhan NKRI. *

Sumber: Pos Kupang 13 Februari 2018 hal 4

Keterlibatan ASN dalam Politik Pilkada

ilustrasi
Kita memberi apresiasi terhadap Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Kabupaten Sikka dan Sumba Timur.

Mereka mengirim 17 nama Aparatur Sipil Negara (ASN) diduga terlibat dalam ajang Pilkada serentak 2018 ke Komisi ASN di Jakarta.  Ke-17 orang itu terdiri dari satu ASN di Kabupaten Sikka dan 16 ASN di Sumba Timur.

Ketua Bawaslu Provinsi  NTT, Thomas Mauritus Djawa, S.H menjelaskan, selain  ke  komisi ASN,  berkas yang sama  juga dikirimkan ke Kemenpan RB, Kemendagri dan Bawaslu RI di Jakarta. Selanjutnya Komisi ASN akan memutuskan sanksi yang dikenakan terhadap para ASN tersebut sesuai ketentuan yang berlaku.

Kita beri apresiasi karena langkah ini memberikan bukti bahwa Panwaslih bekerja. Mereka tidak tinggal diam begitu saja melihat dugaan penyimpangan yang berkaitan dengan Pilkada serentak di Provinsi  Nusa Tenggara Timur.

Kita berharap Panwaslih dan Bawaslu pada saatnya nanti mengumumkan apa keputusan dari komisi ASN terhadap 17 ASN tersebut. Dan, yang tidak kalah penting  Panwaslih mengawasi dengan sungguh para aktor utama Pilkada mulai dari aktivis  partai politik pengusung pasangan calon, para kandidat hingga anggota tim sukses dan simpatisan. Artinya, Panwaslih  tidak hanya mengawal  netralitas ASN, TNI dan Polri.

Dalam dinamika politik pilkada di Indonesia, posisi ASN serba salah. Tidak taat bisa disebut tidak loyal. Bila ikut terlihat maka mereka menyalahi aturan.  Hasil penelitian beberapa lembaga menyebutkan, pihak yang paling dominan memanfaatkan ASN dalam Pilkada adalah calon petahana atau incumbent.

Dengan kuasa dan kewenangannya, calon petahana akan menggunakan jasa  ASN agar mau  menggolkan kepentingannya. Kalau mereka menolak, ASN yang bersangkutan bakal dimutasi atau malah dicopot dari jabatannya. Itulah sebabnya mutasi pejabat menjelang Pilkada selalu menjadi isu yang riuh.

Menjelang Pilkada, penempatan pejabat eselon, camat, lurah  bahkan kepala sekolah selalu ada hitungan politisnya. Dari sisi petahana tentu harus menguntungkan dirinya.

Pada titik itulah dilema melanda para ASN. Jika terang-terangan melawan maka dia sudah tahu risikonya. Maka yang umum terjadi mereka bersikap abu-abu. Tidak terang-terangan menyatakan dukungan, tetapi di belakang layar bekerja ekstra keras dengan beragam cara guna menyuksesnya pasangan calon yang dijagokannya.

Mengungkapkan dilema ASN  semacam ini bukan tanpa maksud. Panwaslih, Bawaslu dan seluruh jajarannya hendaknya berani juga  menyebut calon petahana yang menggunakan pengaruhnya terhadap ASN hingga mereka terlibat dalam politik praktis.
Jangan hanya para  ASN  yang diproses karena cukup sering mereka hanyalah korban aktor utama politik Pilkada. Aktor di belakang layar yang harus diungkap dan diproses sesuai ketentuan yang berlaku.

Kepada ASN di daerah ini kita juga mengajak untuk berani bersikap sesuai etika dan norma hukum yang berlaku.  Jaga martabat dan kehormatan  ASN sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Jauhkan diri dari godaan politik sesaat.*

Sumber: Pos Kupang 6 Februari 2018 hal 4



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes