ilustrasi |
Mereka mengirim 17 nama Aparatur Sipil Negara (ASN) diduga terlibat dalam ajang Pilkada serentak 2018 ke Komisi ASN di Jakarta. Ke-17 orang itu terdiri dari satu ASN di Kabupaten Sikka dan 16 ASN di Sumba Timur.
Ketua Bawaslu Provinsi NTT, Thomas Mauritus Djawa, S.H menjelaskan, selain ke komisi ASN, berkas yang sama juga dikirimkan ke Kemenpan RB, Kemendagri dan Bawaslu RI di Jakarta. Selanjutnya Komisi ASN akan memutuskan sanksi yang dikenakan terhadap para ASN tersebut sesuai ketentuan yang berlaku.
Kita beri apresiasi karena langkah ini memberikan bukti bahwa Panwaslih bekerja. Mereka tidak tinggal diam begitu saja melihat dugaan penyimpangan yang berkaitan dengan Pilkada serentak di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kita berharap Panwaslih dan Bawaslu pada saatnya nanti mengumumkan apa keputusan dari komisi ASN terhadap 17 ASN tersebut. Dan, yang tidak kalah penting Panwaslih mengawasi dengan sungguh para aktor utama Pilkada mulai dari aktivis partai politik pengusung pasangan calon, para kandidat hingga anggota tim sukses dan simpatisan. Artinya, Panwaslih tidak hanya mengawal netralitas ASN, TNI dan Polri.
Dalam dinamika politik pilkada di Indonesia, posisi ASN serba salah. Tidak taat bisa disebut tidak loyal. Bila ikut terlihat maka mereka menyalahi aturan. Hasil penelitian beberapa lembaga menyebutkan, pihak yang paling dominan memanfaatkan ASN dalam Pilkada adalah calon petahana atau incumbent.
Dengan kuasa dan kewenangannya, calon petahana akan menggunakan jasa ASN agar mau menggolkan kepentingannya. Kalau mereka menolak, ASN yang bersangkutan bakal dimutasi atau malah dicopot dari jabatannya. Itulah sebabnya mutasi pejabat menjelang Pilkada selalu menjadi isu yang riuh.
Menjelang Pilkada, penempatan pejabat eselon, camat, lurah bahkan kepala sekolah selalu ada hitungan politisnya. Dari sisi petahana tentu harus menguntungkan dirinya.
Pada titik itulah dilema melanda para ASN. Jika terang-terangan melawan maka dia sudah tahu risikonya. Maka yang umum terjadi mereka bersikap abu-abu. Tidak terang-terangan menyatakan dukungan, tetapi di belakang layar bekerja ekstra keras dengan beragam cara guna menyuksesnya pasangan calon yang dijagokannya.
Mengungkapkan dilema ASN semacam ini bukan tanpa maksud. Panwaslih, Bawaslu dan seluruh jajarannya hendaknya berani juga menyebut calon petahana yang menggunakan pengaruhnya terhadap ASN hingga mereka terlibat dalam politik praktis.
Jangan hanya para ASN yang diproses karena cukup sering mereka hanyalah korban aktor utama politik Pilkada. Aktor di belakang layar yang harus diungkap dan diproses sesuai ketentuan yang berlaku.
Kepada ASN di daerah ini kita juga mengajak untuk berani bersikap sesuai etika dan norma hukum yang berlaku. Jaga martabat dan kehormatan ASN sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Jauhkan diri dari godaan politik sesaat.*
Sumber: Pos Kupang 6 Februari 2018 hal 4