Cerita di Balik Foto yang Terkenal Ini

Foto Proklamasi Kemerdekaan RI
Siapa yang tidak kenal dengan foto proklamasi kemerdekaan Indonesia ini? Presiden Soekarno membacakan naskah proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur. Wakil Presiden Mohammad Hatta berdiri di sisi kiri. Banyak yang kenal foto ini, tapi barangkali tak banyak yang tahu kisahnya. Tahukah Anda kisah heroik di balik foto ini? Pendiri fotografer.net, Kristupa Saragih, pernah mengabadikan kisah dua fotografer di balik foto ini dan dimuat di Kompas.com. Berikut kisahnya.

Suatu pagi di bulan puasa, 17 Agustus 1945. Frans Sumarto Mendur mendengar kabar dari sumber di harian Asia Raya bahwa ada peristiwa penting di kediaman Soekarno. Alexius Impurung Mendur, abangnya yang menjabat kepala bagian fotografi kantor berita Jepang Domei, mendengar kabar serupa. Kedua Mendur bersaudara ini lantas membawa kamera mereka dan mengambil rute terpisah menuju kediaman Soekarno.

Kendati Jepang telah mengaku kalah pada sekutu beberapa hari sebelumnya, kabar tersebut belum diketahui luas di Indonesia. Radio masih disegel Jepang dan bendera Hinomaru masih berkibar di mana-mana. Patroli tentara Jepang masih berkeliaran dan bersenjata lengkap.

Dengan mengendap-endap, Mendur bersaudara berhasil merapat ke rumah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Cikini, Jakarta, tatkala jam masih menunjukkan pukul 05.00 pagi.

Pukul 08.00, Soekarno masih tidur di kediamannya lantaran gejala malaria. Soekarno juga masih lelah sepulang begadang merumuskan naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda, Jalan Imam Bonjol Nomor 1. Dibangunkan dokternya untuk minum obat, Soekarno lantas tidur lagi dan bangun pukul 09.00.

Di Jakarta, pukul 10.00 pada hari Jumat pagi itu Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Upacara proklamasi kemerdekaan berlangsung sederhana, tanpa protokol. Hanya Mendur bersaudara yang hadir sebagai fotografer pengabadi peristiwa bersejarah Indonesia.

Frans berhasil mengabadikan tiga foto, dari tiga frame film yang tersisa. Foto pertama, Soekarno membaca teks proklamasi. Foto kedua, pengibaran bendera Merah Putih oleh Latief Hendraningrat, anggota PETA (Pembela Tanah Air). Foto ketiga, suasana upacara dan para pemuda yang menyaksikan pengibaran bendera.

Diburu tentara Jepang

Usai upacara, Mendur bersaudara bergegas meninggalkan kediaman Soekarno. Tentara Jepang memburu mereka. Alex Mendur tertangkap, tentara Jepang menyita foto-foto yang baru saja dibuat dan memusnahkannya.

Adiknya, Frans Mendur, berhasil meloloskan diri. Negatif foto dikubur di tanah dekat sebuah pohon di halaman belakang kantor harian Asia Raya. Tentara Jepang mendatanginya, tapi Frans mengaku negatif foto sudah diambil Barisan Pelopor.

Meski negatif foto selamat, perjuangan mencuci dan mencetak foto itu pun tak mudah. Mendur bersaudara harus diam-diam menyelinap di malam hari, memanjat pohon dan melompati pagar di samping kantor Domei, yang sekarang kantor Antara.

Negatif foto lolos dan dicetak di sebuah lab foto. Risiko bagi Mendur bersaudara jika tertangkap tentara Jepang adalah penjara, bahkan hukuman mati. Tanpa foto karya Frans Mendur, maka proklamasi Indonesia tak akan terdokumentasikan dalam bentuk foto.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia hanya diberitakan singkat di harian Asia Raya, 18 Agustus 1945. Tanpa foto karena telah disensor Jepang.
Tugu Mendur di Kawangkoan, Minahasa

Setelah proklamasi kemerdekaan, pada bulan September 1945, fotografer-fotografer muda Indonesia bekas fotografer Domei di Jakarta dan Surabaya mendirikan biro foto di kantor berita Antara.

Tanggal 1 Oktober 1945, BM Diah dan wartawan-wartawan eks harian Asia Raya merebut percetakan De Unie dan mendirikan Harian Merdeka. Alex Mendur pun pindah ke Harian Merdeka. Foto bersejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia karya Frans Mendur tersebut baru bisa dipublikasikan pertama kali pada 20 Februari 1946 di halaman muka Harian Merdeka.

Setahun setelah kepindahan ke Harian Merdeka, kakak-beradik Frans dan Alex Mendur menggagas pendirian Indonesia Press Photo Service, disingkat IPPHOS. Turut mendirikan biro foto pertama Indonesia tersebut, kakak-beradik Justus dan Frank "Nyong" Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda. IPPHOS berkantor di Jalan Hayam Wuruk Nomor 30, Jakarta, sejak berdiri 2 Oktober 1946 hingga 30 tahun kemudian.

IPHHOS

Koleksi foto IPPHOS pada kurun waktu 1945-1949 konon berjumlah 22.700 bingkai foto. Namun, hanya 1 persen yang terpublikasikan. Foto-foto IPPHOS tak hanya dokumentasi pejabat-pejabat negara, tetapi juga rekaman otentik kehidupan masyarakat pada masa itu.

Keluarga Mendur adalah putra daerah Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara. Alex Mendur lahir pada 1907, sementara adiknya Frans Mendur lahir tahun 1913. Frans belajar fotografi kepada Alex yang sudah lebih dahulu menjadi wartawan Java Bode, koran berbahasa Belanda di Jakarta. Frans lantas mengikuti jejak abangnya menjadi wartawan pada tahun 1935.

Foto monumental lain karya Alex Mendur adalah foto pidato Bung Tomo yang berapi-api di Mojokerto tahun 1945, tetapi sering dianggap terjadi di hotel Oranje, Surabaya. Foto monumental lain karya Frans Mendur adalah foto Soeharto yang menjemput Panglima Besar Jendral Soedirman pulang dari perang gerilya di Jogja, 10 Juli 1949.

Kala itu nama Mendur bersaudara sudah terkenal di mana-mana. Keberadaan mereka diperhitungkan media-media asing. Namun, Mendur bersaudara dan IPPHOS tetap idealis untuk loyal kepada Indonesia. Padahal, secara etnis Minahasa, sebenarnya Mendur bersaudara bisa saja dengan mudah merapat ke Belanda. IPPHOS tetap independen, di kala kesempatan bagi Mendur bersaudara terbuka luas untuk meraup lebih banyak uang dengan bekerja untuk media asing.

Meninggal dalam sepi


Semasa hidupnya, Frans Mendur pernah menjadi penjual rokok di Surabaya. Di RS Sumber Waras Jakarta pada tanggal 24 April 1971, fotografer pengabadi proklamasi kemerdekaan RI ini meninggal dalam sepi.

Alex Mendur tutup usia pada tahun 1984 juga dalam keadaan serupa. Hingga tutup usia, kakak-beradik Frans dan Alex Mendur tercatat belum pernah menerima penghargaan atas sumbangsih mereka pada negara ini. Konon, mereka berdua pun ditolak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Baru pada 9 November 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi kedua fotografer bersejarah Indonesia ini, Alexius Impurung Mendur dan Frans Soemarto Mendur, penghargaan Bintang Jasa Utama.

Tugu Pers Mendur


Untuk mengenang aksi heroik Mendur bersaudara, keluarga besar Mendur mendirikan sebuah monumen yang disebut "Tugu Pers Mendur". Tugu ini berupa patung Alex dan Frans serta bangunan rumah adat Minahasa berbentuk panggung berbahan kayu.

Tugu Pers Mendur didirikan di Kelurahan Talikuran, Kecamatan Kawangkoan Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, di tanah kelahiran mereka. Di dalam rumah itu terdapat 113 foto karya Mendur bersaudara.  Presiden Yudhoyono meresmikan tugu ini pada 11 Februari 2013.

Sumber: Kompas.com

Baca Juga: Pejuang Bersenjatakan Kamera

Perolehan Suara Anggota DPRD NTT 2014

Anggota DPRD Provinsi NTT periode 2014-2019 akan menerima gaji sama dengan anggota DPRD NTT periode sebelumnya yakni sekitar Rp 18 juta perbulan. Begitupun untuk Pimpinan DPRD NTT  sebesar Rp 13 juta per bulan.

Kepada Pos Kupang, Jumat (1/8/2014), Sekretaris DPRD NTT, Thobias Ngongo Bulu  mengatakan, sejauh ini belum ada regulasi baru terkait kenaikan gaji anggota dan Pimpinan DPRD Provinsi NTT. Dengan demikian, gaji anggota DPRD NTT yang baru masih sama dengan anggota DPRD sebelumnya. "Kalau anggota DPRD total gajinya sekitar Rp 18 juta per bulan dan pimpinan Rp 13 juta per bulan karena dikurangi tunjangan perumahan," jelas Thobias.

Dengan demikian, kata dia,   untuk kepentingan pembayaran gaji anggota dan pimpinan DPRD NTT dalam sebulan, pemerintah siapkan dana sekitar Rp 1,6 miliar.

Tentang pelantikan anggota DPRD NTT yang baru, Thobias mengatakan, telah dijadwalkan pada tanggal 3 September 2014 sesuai masa akhir jabatan DPRD yang lama (masa bakti 2009-2014). Namun, lanjutnya, sampai saat ini belum ada persiapan karena belum ada kepastian kapan ada surat keputusan (SK) dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

"Kita rencana tanggal 3 september 2014 lantik tapi proses yang lain termasuk dari Mendagri belum ada. Masa jabatan mereka juga baru akan berakhir di September 2013," jelasnya sambil menambahkan, pihaknya juga masih menunggu jangan sampai ada regulasi baru.

Untuk biaya pelantikan, Thobias mengatakan, telah ada alokasi anggaran sekitar Rp 200-an juta. Sementara untuk pakaian dinas 65 anggota DPRD yang baru, akan dilakukan pengukuran setelah ada pelantikan. (roy)

DPRD  NTT Terpilih 2014-2019

* Dapil 1 (Kota Kupang)
1. Anton Bele (PDIP) 9.084 suara
2. Veki Lerik  (Gerindra) 13.009 suara
3. Alex Ena (Nasdem) 9.635 suara
4. Mohammad Ansor (Golkar) 8.348 suara
5. Jimy Sianto (Hanura) 6.115 suara
6. Kardinand Kalelena (Demokrat) 7.365 suara

* Dapil 2 (Kabupaten Kupang,  Rote Ndao, Sabu Raijua)
1. Nelson Matara (PDIP) 16.947 suara
2. Winston Neil Rondo (Demokrat) 13.127 suara
3. Pdt. SV Nitti (Golkar) 9.191 suara
4. Antonio Soares (Gerindra) 6.103 suara
5. Pdt. Junus Naisunis (PKB) 4.707 suara
6. Wellem Kale (Nasdem) 3.494 suara
7. Hamdan Saleh Batjo (Hanura) 2.108 suara

* Dapil 3 (Sumba)
1. Yunus Huwu Takandewa (PDIP) 12.550 suara
2. David Melo Wadu (PDIP) 9.981 suara
3. Kristein Samiyati Pati (Nasdem) 8.331suara
4. Pdt. Adriana R Kahi Awa Kossi (Golkar) 14.207 suara
5. Pdt. Abraham Litinau (Gerindra) 6.958 suara
6. Jonathan Kana (Demokrat) 6.358 suara
7. Novianto Umbu Pati Sangu Ate Lende (PKB) 6.524 suara
8. Laurensius Tari Wungo (Hanura) 6.022 suara
9. Hugo Rehi Kalembu (Golkar) 12.991suara
10. Cornelis Wungo (PAN) 3.481 suara

* Dapil 4 (Manggarai, Manggarai  Timur dan Manggara Barat)
1. Yohanes Halut (Gerindra) 11.812 suara
2. Yeni Veronika (PAN) 21.300 suara
3. Maxi Adipati Pari (Golkar) 11.648 suara
4. Kristofora Bantang (PDIP) 10.992 suara
5. Bonifasius Jebarus (Demokrat) 10.064 suara
6. Thobias Wanus (PKB) 8.845 suara
7. Inosensius Fredi Mui (Nasdem) 8.267 suara
8. Timoteus Terang (Hanura) 6.531 suara
9. Yusuf M Tahir (PKS) 4.010 suara
10. Laurensius Barus (Gerindra) 10.542 suara

* Dapil 5 (Sikka, Ende, Ngada dan Nagekeo)
1. Kornelis Soi (PDIP) 16.267 suara
2. Patrianus Lali Wolo (PDIP) 13.371 suara
3. Anwar Pua Geno (Golkar) 17.824 suara
4. Agustinus Lobo (PAN) 10.686 suara
5. Yucundianus Lepa (PKB) 7.939 suara
6. Thomas Tiba (Golkar) 16.149 suara
7. Leonardus Lelo (Demokrat) 8.229 suara
8. John Parera (Nasdem) 6.365 suara
9. Kasintus P Ebu Tho (Gerindra) 6.907 suara
10. Angela M Piwung (Hanura) 7.047 suara
11. Oswaldus (PKPI) 6.913 suara

* Dapil 6 (Flotim, Lembata dan Alor)
1. Gulielmus Agustinus Demon Beribe (PDIP)  12.062 suara
2.  Ansgerius Takalapeta (Golkar)  17.339 suara
3. Alexander Take Ofong (Nasdem) 7.686 suara
4. Gabriel Abdi Kusuma Beri Binna (Gerindra)  12.572 suara
5. Gabriel Suku Kotan  (Demokrat) 7.581 suara
6. Anwar Hajral  (PKS)  5.068 suara
7. Ismail J Samau  (PAN)  5.721  suara

* Dapil 7 (Belu dan TTU)
1. Alfridus Bria Seran (Golkar) 16.287 suara
2. Hironimus Banafanu (PDIP) 14.650 suara
3. Agustinus Bria Seran (Gerindra) 10.674 suara
4. Anselmus Talo (Demokrat) 5.667 suara
5. Kasimirus Kolo (Nasdem) 7.533 suara
6. Gabriel Manek (Golkar) 14.366 suara
7. Angelino B Da Costa Belo (PAN) 8.125 suara
8. Dolfianus Kolo (PDIP) 11.193 suara

* Dapil 8 (TTS)
1. John Army Konay (Nasdem) 14.960 suara
2. Eldat Nenabu (Golkar) 13.023 suara
3. Ampera Seke Selan (Demokrat) 7.983 suara
4. Herman Banoet (Gerindra) 9.047 suara
5. Jefri Un Banunaek (PKPI) 5.020 suara
6. Aleta Baun (PKB) 3.897 suara


Sumber: Pos Kupang 2 Agustus 2014 hal 5

Bupati Minta Perlindungan Hukum

DALAM rentang waktu tiga pekan terakhir, kita petik dua peristiwa menarik dengan sang aktor dua orang bupati dari pesisir selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Hari Selasa 15 Juli 2014,  mantan Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS)  Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) NTT, Ir. Marthen Dira Tome yang kini menjabat Bupati Sabu Raijua bertemu dengan Kajati NTT, Mangihut Sinaga, S.H di Kupang.

Dira Tome bertemu dan berdialog dengan kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTT, Mangihut Sinaga terkait kasus dugaan penyelewengan dana PLS. Menurut catatan kita, kasus tersebut sudah berusia hampir tujuh tahun dan proses hukumnya belum juga berujung. Kepada Kajati NTT, Dira Tome memberikan klarifikasi dan berharap agar posisi hukum kasus ini segera menjadi jelas dan terang-benderang.

Pertemuan Dira Tome dengan Mangihut Sinaga selama 30 menit saat itu berlangsung tertutup. Wartawan tidak diizinkan masuk ke dalam ruang pertemuan.  Hadir dalam pertemuan itu,  perwakilan penyelenggara dari sejumlah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM); Asisten Pidana Khusus, Gasper Kase, S.H, dan Asisten Intelijen, Paris Pasaribu, S.H.

Bertemu pimpinan kejaksaan bukan hanya dilakukan Dira Tome.  Hari  Kamis 7 Agustus 2014, Bupati Rote Ndao Leonard Haning bersama tim penasehat hukumnya
bertemu Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, Widyo Pramono di Jakarta. Leonard Haning mengajukan permohonan perlindungan hukum terkait kasus dugaan korupsi  tanah hibah oleh Pemerintah Kabupaten Rote Ndao kepada sejumlah pejabat eksekutif dan legislatif aktif dan purnabakti di  Rote Ndao yang kini diusut Kejari Ba'a.

"Pengajuan permohonan perlindungan hukum untuk menyamakan atau menyatukan persepsi tentang duduk persoalan tanah hibah itu," kata Mega Man, ketua tim penasehat hukum Bupati Haning. Mega Man menambahkan,  Jampidsus  menyarankan Bupati Rote Ndao, Leonard Haning, kembali ke Kabupaten Rote Ndao dan menjalankan tugasnya seperti biasa mengurus masyarakat.

Minta perlindungan hukum! Itulah yang mendorong kedua bupati tersebut menemui pimpinan kejaksaan.  Siapapun memaklumi bahwa hukum dibutuhkan agar perilaku primitif manusia memangsa manusia lainnya tidak terjadi lagi. Maka meminta perlindungan hukum merupakan hak mereka. Sesuatu yang lumrah saja.
Namun, siapapun yang sadar hukum memahami bahwa kejaksaan punya prosedur dan mekanisme kerja sendiri. Kejaksaan merupakan lembaga independen yang tidak boleh bekerja di bawah tekanan atau intervensi dengan tujuan apapun.

Saran  Jampidsus  Kejagung RI, Widyo Pramono agar Bupati Haning jalankan tugas seperti biasa menyiratkan pesan tersebut. Bahwa kejaksaan akan bekerja profesional. Toh mereka juga dinilai. Ada mekanismenya untuk itu. Jika tidak melakukan tindakan melawan hukum, Pak bupati tenang-tenang saja. Bekerjalah seperti biasa melayani masyarakat. Bersalah atau tidak hukum jua yang akan menentukan! *

Sumber: Pos Kupang edisi Selasa 12 Agustus 2014 hal 4

Suling dan Sowito Terdengar Lagi di Nagekeo

ilustrasi
Suling, sowito, bombardom kembali mempunyai tempat terhormat setelah puluhan tahun tenggelam dan nyaris tak terdengar.

Aneka alat musik dari bambu ini muncul di Festival Tari dan Musik Bambu yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Nagekeo di Lapangan Berdikari Danga, Selasa (11/8/2014) malam.

Alat musik bambu yang merupakan warisan para leluhur di daerah itu mampu menghasilkan nada-nada indah dan menghipnotis para penonton yang memadati lapangan Berdikari Danga malam itu. Alunan nada-nada indah dari alat musik bambu juga mampu mengiringi gerakan tarian ja'i dan dero.

Bupati Nagekeo, Elias Djo dalam sambutannya pada acara pembukaan Festival Tari dan Musik Bambu, Selasa malam, mengatakan, beberapa alat musik tradisional yang terbuat dari bambu hampir tidak pernah lagi terdengar. Padahal alat musik leluhur ini, kata Elias, harus dilestarikan agar tidak punah.
Boi doa, suling genang dari bulu, gu genga, sowito,

Bombardom, lanjut Elias, merupakan alat musik bambu warisan leluhur yang mampu membentuk nada-nada indah. Elias mengungkapkan, perkembangan zaman dewasa ini telah menggeser nilai-nilai tradisonal yang akhirnya mengancam tradisi masyarakat Nagekeo yang diwariskan secara turun temurun sekaligus mengantar berbagai kearifan lokal menuju ambang  kepunahan. "Pemerintah menaruh perhatian yang serius terhadap masalah ini dan terus berupaya untuk tetap menghidupkan budaya lokal meskipun harus berjuang keras karena digempur oleh budaya modern," kata Bupati Elias Djo.

Dikatakan Elias, para leluhur di daerah itu telah mewariskan seni budaya dalam bentuk nyanyian, tari-tarian, ungkapan adat, permainan wayang serta peralatan musik lainnya dengan berbagai bentuk dan jenis.

"Seni yang diturunkan dari generasi ke generasi lagi mengalami distorsi karena pola warisannya secara lisan. Padahal kita membutuhkan seni budaya kita yang asli sebagai hasil karya para leluhur kita yang harus kita lestarikan. Salah cara untuk melanggengkan seni budaya kita yang dicintai oleh kalangan muda yakni melalui festival seni budaya seperti ini," demikian Elias.

Elias menuturkan, seni pada dasrnya ungkapan rasa seseorang atau sekelompok orang yang dapat diwujudkan dalam gerak, tari, nyayian dan  musik yang berbau adat dan budaya dari kelompok itu.

Komponen-komponen tersebut, kata Elias,  sesungguhnya membahasakan suatu maksud yang berhubungan dengan etika, moral dan tata krama, menceritakan sesuatu mengenai kebijaksanaan dan kearifan lokal suati komunitas atau etnis budaya tertentu. Kalau demikian, kata Elias,  sangat tepat bila pemerintah dan seluruh komponen masyarakat senantiasa mengedepankan dan terus menerus menggarisbawahi pembangunan berbasis iman dan budaya.

Warisan leluhur pada masing-masing klaster budaya, katanya,  selain memberi warna tertentu dari suatu komunitas budaya, juga sebagai pembangkit semangat dan spirit generasi penerus yang berdampak pada derajat sosial ekonomi, sekaligus sarana hiburan yang menyenangkan. (dea)

Sumber: Pos Kupang 14 Agustus 2014 hal 13

Pengukuhan Ria Bewa di Mula Watu

Pengukuhan Ria Bewa di Kampung Mula Watu Ende  26 Juli 2014. (foto PK)
Dari kiri: Ignatius Dosi Woda. Daniel Bheto Dedo dan Mikael Wangge (foto PK)
HARI  Jumat (25/7/2014) malam, suasana di Kampung Mulawatu, Desa Fatamari, Kecamatan Lio Timur, Kabupaten Ende berbeda dari hari-hari biasanya. Jika pada hari biasa suasana kampung terasa lengang dan hanya terdengar  suara-suara alam, seperti kicauan  burung,  gemercik air di Kali Mbilu maupun aroma kopi arabika serta tanaman buah kakao yang menghijau di hamparan tanah warisan leluhur, maka kali ini suasananya sontak berbeda.

Suara-suara manusia dari berbagai penjuru Kabupaten Ende bahkan dari luar daerah saat itu ramai menghiasi atmosfir kampung itu.  Dentingan musik serta hentakan kaki yang ritmik maupun lengkingan suara  seorang lelaki dewasa mengiringi tarian gawi--tarian khas Ende-Lio.

Tarian heroik itu dibawakan para para lelaki di Kampung Mulawatu. Hari itu,  terasa istimewa karena merupakan momentum menuju pengukuhan Mosalaki Ria Bewa (tokoh adat-red) Mulawatu.

Mulawatu merupakan salah satu kampung tua di wilayah Lio Selatan sebagai  Ibukota Desa Fatamari. Secara administratif pemerintahan desa itu sebagai bagian dari wilayah Kecamatan Lio Timur, Kabupaten Ende.

Dalam hirarki Persekutuan Adat Lise Tana Telu, Mulawatu menempati posisi Ria Bewa yang diemban sejak zaman leluhur Dosi Woda. Bersama Ria Bewa Wolololele A, Mosalaki Pu'u di Ratenggoji beserta para mosalaki dan Boge Hage, merupakan satu kesatuan yang utuh dalam bingkai keluarga besar persekutuan adat Lise Tana Telu. Posisi Ria Bewa  sejak leluhur Dosi Woda ini terus berlanjut ke turunannya, yakni Nusa Dosi, ke Dawa Dosi, Nggala Dosi berlanjut ke Tani Nggala, Paulus Nggay Tani hingga terakhir  almarhum Stefanus Nggubhu Nggay.

Dengan meninggalnya Stefanus Nggubhu Nggay pada tahun 2000, jabatan Ria Bewa Lise Tana Telu di Mulawatu fakum  dalam rentang waktu sekitar 14 tahun dan dijalankan oleh Yoseph Ngati Mbete sebagai Pelaksana Tugas Ria Bewa.

Dengan kekosongan tersebut, maka melalui serangkaian musyawarah keluarga besar Dosiwoda menyepakati   dan  menetapkan Ignatius Tani Dosi Woda sebagai Ria Bewa. Dalam bahasa lio disebut "Pusi Eo Muri Peja Eo Meta, Pedo Pase Mula Gelu Walo"

Sesungguhnya prosesi adat ini semata untuk melestarikan nilai budaya dan hirarki kelembagaan dalam bingkai Lembaga Adat Lise Tana Telu. Juga untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan, menjalin kebersamaan di antara sesama keluarga, yakni Aji Ana, Tuka Bela, Eja Weta, Eda Embu, Nge Wa'u.
Podi Lesu Pepa Semba Ria Bewa Lise Tana Telu Mulawatu sebagai kekhasan budaya setempat. Selain meningkatkan rasa cinta  akan warisan leluhur juga untuk mengembangkan peluang di bidang kepariwisataan  Ende Lio khususnya Lise Nggonde Ria.

Waktu pengukuhan Ria Bewa Mula Watu terus berputar yang ditandai pada Jumat (25/7/2014)  malam, warga  di kampung tersebut "berpesta" semalam suntuk hingga pukul 06.00 Wita.

Jarum jam menunjukkan pukul 06.00 Wita, Sabtu (26/7/2014). Momen pengukuhan Ria Bewa tiba. Adalah Ignatius Dosi Woda, salah seorang yang "terurapi" dari sejumlah warga di Kampung Mulawatu tampak turun dari rumah adat didampingi sang istri, Sisi berjalan menuju pelataran di tengah kampung.

Selain didampingi sang istri, Ignastius  Dosi Woda juga didampingi Mosalaki Puu, Daniel Bheto dan Ria Bewa Wololele A, Mikael Tani Wangge. Di sepanjang perjalanan keagungan itu, rombongan diiringi dengan musik tradisional, tarian adat serta nyanyian, Poto Wolo yang bermakna mengangkat kembali seorang ria bewa guna mengganti Ria Bewa yang sebelumnya telah mangkat.

Untuk menghormati kesakralan acara, semua warga yang hadir wajib berdiri serta membuka jalan bagi rombongan menuju pelataran di tengah kampung. Hari itu, ketika fajar menyingsing  Ignatius Dosi Woda dan sang istri, Sisi bak pangeran dan ratu. Keduanya anggun dan menjadi pusat perhatian. Semua mata tertuju pada dua sosok ini.

Tak butuh waktu lama rombongan tiba di pelataran. Di tempat tersebut Ignatius Dosi Woda mengukuhkan diri sebagai Ria Bewa. Tidak ada orang lain yang mengukuhkannya. Dia sendiri yang mengukuhkan diri ditandai dengan mengenakan tanda-tanda kebesaran seperti lesu (ikat kepala) baju adat berupa Semba (lembaran kain yang dibentangkan di tubuh, Red)  serta Londa (kalung emas- Red) yang digantungkan di leher. Pun sang istri tampak mengenakan perlengkapan wanita di atas kepala maupun telinga yang terbuat dari emas.

Setelah semua perlengkapan itu dikenakan maka resmilah, Ignatius  Dosi Woda menjadi Ria Bewa yang disambut dengan tepuk tangan meriah dari warga yang memadati pelataran.


Pesan Sarat Makna


Sebagai ucapan syukur serta kegembiraan menyambut Ria Bewa yang baru, sejumlah mosalaki bersama Ria Bewa dari Kampung Wololele A, Mikael Tani Wangge membawakan tarian gawi.

Berbeda dengan gawi  era moderen yang diiringi dengan instrumen musik elektronik. Gawi yang dipentaskan di tempat itu adalah gawi tradisional. Seorang pria melantunkan lagu  yang  dalam bahasa setempat disebut dengan nama Sodha.
Penyanyi top Ende-Lio, Eman Bata Dede termasuk yang melantunkan Sodha.

Dalam nyanyian tersebut terselip pesan-pesan yang sarat makna, seperti persatuan dan kesatuan adat, semangat gotong royong, jangan mudah diadu domba serta menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan menjaga kelestarian alam lingkungan. Juga agar selalu  mengagungkan kebesaran serta kemuliaan sang pencipta langit dan bumi maupun selalu ingat akan nenek moyang maupun para leluhur.

Seusai gawi yang dibawakan secara khusus oleh para mosalaki maupun Ria Bewa, warga disuguhkan dengan acara serimonial berupa pembantaian kerbau oleh tiga orang tokoh adat. Namun  pembantaian dilakukan secara simbolis di atas tubuh kerbau. Tiga tokoh adat tampak maju mendekati kerbau lalu secara simbolis seakan-akan hendak membunuh kerbau. Saat itu tali kerbau diulurkan hingga masuk ke rumah adat.

Seusai acara serimonial pembantaian,  kerbau lantas digiring ke luar kampung untuk dibantai benaran. Sambil menunggu tukang masak menyelesaikan tugasnya memasak daging kerbau, para undangan maupun warga yang ada di Kampung Mulawatu kembali memanaskan suasana kampung itu  yang dingin dengan  tarian gawi. Seusai santap siang, satu per satu tamu undangan maupun warga dari luar Kampung Mulawatu meninggalkan kampung itu. Tuntaslah acara pengukuhan Ria Bewa.

Tak Mudah Lapuk

Pengukuhan seorang Ria Bewa bagi warga di Kampung Mulawatu, adalah suatu keharusan. Tidaklah heran  meskipun proses pengukuhan ini berlangsung setelah 50 tahun silam.  Pada 27 Juli 2014,  proses pengukuhan kembali dilakukan.

Suatu warisan leluhur yang tidak mudah lapuk oleh zaman.
Menurut Ketua Panitia, Kornelis Wara, proses pengukuhan Ria Bewa di Kampung Mulawatu terjadi 50 tahun silam atas nama, Stefanus Nggubhu Nggay. Namun, setelah Stefanus meninggal di tahun 2000 lalu terjadi kekosongan Ria Bewa maka untuk menjalankan tugas-tugas selaku Ria Bewa ditunjuk seorang Plt Ria Bewa atas nama Yoseph Ngati Mbete. Yoseph menjalankan tugas selaku Ria Bewa selama 14 tahun.

Dalam kurun waktu tersebut warga kampung melalui serangkaian musyawarah keluarga besar Dosiwoda bersepakat menggelar proses pengukuhan Ria Bewa. Pada bulan Oktober 2013, warga bersepakat membentuk panitia pengukuhan Ria Bewa Mulawatu.

Menurut Kornelis, prosesnya tidak mudah karena banyak di antara narasumber sudah meninggal dunia meskipun ada yang masih hidup. Ada beberapa narasumber yang usianya sudah senja sehingga  untuk berkomunikasi dengan  baik.

Meski pun mengalami kesulitan ujar Kornelis,  pihaknya tetap berusaha agar proses pengukuhan Ria Bewa Mulawatu bisa tetap berjalan. "Puji Tuhan berkat dukungan dari semua pihak akhirnya proses pengukuhan Ria Bewa Mulawatu bisa berjalan sukses," kata Kornelis.

Sedangkan menurut Ria Bewa Mulawatu saat ini, Ignastius  Dosi Woda sebelum dirinya sudah ada beberapa Ria Bewa yang dimulai dari Dosi Woda, Nusa Dasi, Nggala Dosi, Dawa Dosi, Tani Nggala, Nggai Tani, Stefanus Nggubhu Nggay.

Pengukuhan Ria Bewa terakhir berlangsung  pada tahun 1964. Tentang dirinya terpilih  selaku Ria Bewa Mulawatu saat ini, Ignatius  mengatakan  itu dilakukan melalui permenungan juga bisikan leluhur. Seorang yang menjadi Ria Bewa bukan karena warisan orangtua sebagaimana kerajaan di Jawa. "Tidak seperti tempat lain yang ada pergantian  ketika orang tua meninggal lalu diwariskan ke anak. "Kalau Ria Bewa diperoleh  melalui mimpi," kata Ignatius Dosi Woda.  (romualdus pius)

Sumber: Pos Kupang edisi 8 dan 9 Agustus 2014 halaman 13

Guru yang Berkualitas

ilustrasi
MUSYAWARAH Besar (Mubes) guru tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) baru saja berlangsung di Kota Maumere, Kabupaten Sikka, tanggal 22 Juli 2014. Hadir dalam mubes tersebut Bupati Sikka, Drs. Yoseph Ansar Rera, mewakili gubernur, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Sinun Petrus Manuk, para guru, kepala sekolah, praktisi pendidikan dan lainnya. Jumlah total peserta sebanyak 148 orang.

Wartawan harian ini di Maumere melaporkan, diskusi dalam forum ini berlangsung sangat positif membedah aneka permasalahan yang membelit para guru dan jagat pendidikan di NTT pada umumnya. Berikut sejumlah urusan terkait guru yang menarik perhatian kita.

Pertama, forum mubes kembali mengangkat tentang pendistribusian tenaga guru yang belum adil. Ada sekolah yang kelebihan tenaga guru, sebaliknya ada yang sangat berkekurangan. Lazimnya guru-guru  menumpuk di daerah perkotaan, sementara di daerah pedesaan apalagi daerah terpencil jumlah guru sangat minim.
Sebagai daerah kepulauan dengan akses transportasi dan komunikasi yang tidak mudah, Provinsi  Nusa Tenggara Timur sejak lama mengalami hal tersebut. 

Para guru cenderung memilih mengabdi di daerah perkotaan atau daerah yang lebih maju ketimbang di dusun terpencil. Itulah sebabnya mubes kali ini merekomendasikan agar distribusi tenaga guru yang lebih adil  mutlak menjadi perhatian pemerintah melalui instansi yang berwenang. Sejalan dengan penerapan Kurikulum 2013 mulai tahun ajaran 2014-2015, pemerintah daerah ini hendaknya tidak main-main lagi dalam mengatur penempatan guru.

Kedua, mubes pun mengungkap fakta miris tentang kesejahteraan guru serta minimnya sarana dan prasarana pendidikan. Kesejahteraan guru merupakan masalah klasik. Disadari bahwa dari waktu ke waktu pemerintah terus berikhtiar memperbaiki kesejahteraan guru. Kendati masih ada keterbatasan, namun upaya tersebut tiada henti dilaksanakan pemerintah di setiap level mulai dari pusat hingga ke daerah. Otonomi daerah pun memberi ruang yang semakin besar kepada daerah mengelola masalah ini dengan lebih baik sesuai kebutuhan setempat.

Ketiga, mubes cukup intens mendiskusikan tentang kualitas guru. Seperti diungkap Bupati Sikka Drs. Yoseph Ansar Rera, dari sisi kecakapan dan latar belakang  akademis, masih ada guru di daerah ini yang berijazah SMA dan diploma. Dari aspek pengalaman, boleh jadi guru berijazah SMA dan diploma sangat kaya. Tetapi akan menjadi lebih kaya lagi kalau ilmu mereka terus ditambah. Maka memberi kesempatan guru berijazah SMA dan diploma melanjutkan pendidikan merupakan kebutuhan.

Dengan kata lain, tidak berlebihan bila guru berijazah SMA atau diploma disekolahkan lagi. Lalu siapa yang membiayai mereka? Tentu saja pemerintah daerah. Alokasikan dana dari APBD. Kalau para bidan di NTT bisa disekolahkan lagi, mengapa hal yang sama tidak bisa dilakukan untuk para guru? Menambah tenaga guru berkualitas adalah kebutuhan kita hari ini.  *


Sumber: Pos Kupang 25 Juli 2014 hal 4
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes