Oleh Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM - Beta bukan kutu buku. Bukan
pula kolektor buku yang tekun. Saya hanyalah penggemar buku ala
kadarnya. Setahun paling dua atau tiga kali membeli buku. Saya pun
mengoleksi buku apa saja. Tidak hanya fokus pada tema tertentu. Ya
koleksi buku saya terbanyak memang tentang jurnalisme. Maklumlah
belakangan ini banyak yang saya peroleh secara gratis buku-buku
tersebut.
Biang buku gratis itu bernama Margiono. Nama yang patut
kusebut karena selama 10 tahun sukses mewariskan tradisi yang baik bagi
anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Margiono adalah ketua umum PWI Pusat periode
2008-2018, Sejak menakhodai PWI hasil kongres di Banda Aceh yang saya
ikuti tahun 2008 silam, Margiono sangat menekankan profesionalisme
wartawan.
• Drakor Clean With Passion For Now Rating Tertinggi di Episode 1, Malam ini Episode 2 Tayang
• 6 Zodiak Ini Dikenal Tulus Berteman dan Bukan Tipe Fake Friends
• Jungkook Dan V BTS Dihina Katerina Kainourgiou Pembawa Acara Program Televisi Yunani, Army Geram
Dia
pun menyadari bahwa buku itu sejatinyan adalah mahkota wartawan. Maka
setiap tahun selalu ‘mewajibkan’ wartawan anggota PWI menerbitkan buku.
Biaya penerbitan urusan pengurus PWI Pusat menggandeng para donatur dan
sponsor yang tidak mengikat.
Tugas anggota PWI hanyalah
menyiapkan naskah lalu mengirim kepada tim penulisan buku. Peluncuran
buku biasanya pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tanggal 9
Februari.
Dalam pidatonya di hadapan presiden RI dan seluruh
undangan yang hadir pada puncak peringatan HPN, Margiono selalu
menyinggung buku karya para wartawan. Itu yang bikin bangga.
Saya
yang semula pesimistis bisa menulis buku ikut termotivasi mengambil
bagian dalam kerja intelektual itu. Saban tahun saya menyumbang tulisan
bahkan menerbitkan buku sendiri. Terima kasih Mas Margiono alias Mas MG
yang mengakhiri jabatannya sebagai ketua umum pada kongres PWI di Solo
27-30 September 2018.
Apakah tradisi membukukan karya wartawan
itu akan berlanjut ? Saya tidak terlalu yakin karena eranya sudah
berbeda. PWI periode 2018-2023 dipimpin Bang Atal S Depari sebagai ketua
umum. Kepengurusan Atal S Depari bergumul di tengah badai digitalisasi
yang masif, serba maya, berubah amat lekas dan tak terprediksikan.
Rezim
buku cetak sudah di remang senja menjemput malam nan panjang. Saatnya
jagat maya merajai dunia siang dan malam tanpa batas sehingga terbitkan
buku konvensional bukan pilihan bijaksana. Selain prosesnya panjang,
ongkosnya pun tidak sedikit tuan dan puan. Kini masanya e-book. Buku
digital yang efisien. Cukup bermodalkan tablet dan akses internet,
urusan beres!
Tapi beta perlu bertutur jujur. Sebagai generasi
kelahiran akhir 1960-an tidak mudah bagiku beradaptasi dengan apa yang
disebut e-book. Entahlah dengan Anda. Meski sesekali mengakses e-book,
tetap saja beta masih merasa lebih nyaman membaca buku cetak. Yang tak
tergantikan adalah sensasi mencium bau kertas, baik yang baru buka
plastik pembungkus tipis maupun sudah kusam termakan usia.
Memegang
buku tebal atau tipis dalam genggaman kerap tak terlukiskan dengan
kata-kata. Asyiknya lagi bisa jepit di ketiak yang sudah bersih setelah
mandi atau masih beraroma khas selepas lelah bekerja. Cukup sering beta
mengagumi cover buku yang merupakan karya intelektual pula. Pilihan
huruf pun sebuah seni. Buku sungguh kaya rasa dan karsa. Tak sekadar
kertas dan kumpulan huruf.
Sisi praktis yang lebih luar biasa
adalah buku cetak bisa tuan dan puan bawa ke mana saja pergi. Buku bisa
jadi teman saat mendaki gunung dan bukit, menuruni lembah, menelusuri
ngarai, melewati sungai, mengakrabi bulir padi menguning atau mencumbui
pantai. Dikau tak perlu pening mencari colokan listrik manakala baterai
HP atau tablet telah menipis kritis. Buku cetak tak mengenal istilah
lobet atau susah sinyal.
Buku cetak memanjakan pembacanya.
Seseorang bebas merdeka membolak-balik halaman. Bosan baca bagian awal
bisa melompat dulu ke bagian tengah atau akhir secara cepat. Beda dengan
e-book yang repot dan rumit. Buku cetak pun tentu bebas radiasi
elektronik yang menurut para pakar ikut berkontribusi terhadap kesehatan
seseorang.
Ada lagi satu kebiasaan kami generasi lama kalau
mengoleksi sebuah buku. Bangga bukan main kalau buku itu ditandatangani
penulis atau editornya. Tanda tangan basah. Tandatangan penulis
merupakan kenangan yang sangat indah. Kesannya jadul tapi manusiawi.
Seorang
kawan menginformasikan saat ini terjadi semacam anomali di era disrupsi
digital karena kenyataannya buku cetak alami sedikit kenaikan oplah di
Amerika Serikat dan Eropa, sementara e-book jalan saja di tempat.
Mungkin kondisi di tanah air kita kurang lebih sama.
Artinya
jaringan toko buku besar memang tersiksa bahkan ada yang bangkrut karena
disrupsi dan pasar yang berubah drastis. Lalu kini muncul banyak toko
buku independen dan penerbit indie. Para penulis muda umumnya memilih
penerbit indie. Sudah seharusnya demikian.
Ada yang meyakini
bahwa buku cetak masih akan bertahan lebih lama dari yang diprediksi
banyak orang. Yang berubah hanyalah cara produksi dan pola
distribusinya. Di masa lalu penerbit dan toko buku besar mendominasi
produksi sampai jaringan distribusi buku.
Kekuatan mereka
mencekik peluang penerbit kecil dengan modal minim. Dalam platform
digital, penerbit yang tidak jumbo pun dapat bertahan hidup sesuai
segmen pasar masing-masing. Yang penting tetap kreatif agar lekas
beradaptasi dengan pasar yang terus berubah.
Menurut pengalaman
penulis muda, sekarang produksi buku cetak lebih terukur sesuai
kebutuhan sehingga menekan risiko kegagalan di pasar. Kini buku bisa
dicetak pakai mesin digital sesuai pesanan untuk jumlah puluhan atau
satuan. Toko buku dan jaringan distribusi online tumbuh bak jamur di
musim hujan. Isi buku makin beragam sesuai selera pembaca.
Akhirnya
beta cuma mau bilang begini. Menulislah terus dan bukukanlah karya tuan
dan puan, entah berwujud buku cetak atau e-book. Itu jauh lebih baik
daripada sekadar omong-omong atau bikin status aduhai di akun medsos
dengan target jempol dan komentar. Hehehehe… Salam buku saudaraku! *
Pos Kupang.com, 6 Januari 2019