Menurut Duta Besar RI untuk Timor Leste, Sahat Sitorus, nelayan Alor yang masuk perairan Timor Leste dengan tiga perahu motor membawa kompresor yang dilarang menurut hukum perikanan Timor Leste Nomor 7677.
Kepala Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten Alor, Abdul M Kapukong menjelaskan, ke-18 nelayan itu meninggalkan Pulau Buaya (Alor) pada 15 Januari 2019 untuk mencari ikan.
Pada tanggal 19 Januari 2019, mereka membawa hasil tangkapan ke Timor Leste tanpa dokumen resmi sehingga ditangkap AL Timor Leste saat kapal motor mereka berlabuh di Pelabuhan Dili.
Menurut Abdul, dari 18 orang nelayan tersebut yang memiliki paspor hanya tiga orang yaitu juragan Nurdin Kasim, Hikmah Hasan dan Talib Samsudin. Satu di antara 18 orang tersebut masih berusia 16 tahun yaitu Sabirin H Wahid.
Proses hukum terhadap ke-18 nelayan asal Alor masih berlangsung. Sampai Selasa (22/1/2019), tiga nakhoda kapal diperiksa satu persatu oleh penyelidik di pengadilan Timor Leste. Sahat Sitorus mengatakan, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Dili terus memonitor agar para nelayan dalam kondisi yang baik dan mengawal kasus hukumnya diproses secara adil.
Kita tentu berharap agar proses hukum terhadap saudara kita itu segera berakhir. Mereka dibebaskan sehingga bisa pulang ke kampung halaman untuk berkumpul kembali dengan keluarga. Kita bisa ambil hikmah dari peristiwa ini.
Persoalan laut memang sangat kompleks. Bagi nelayan, laut adalah sumber kehidupan. Mereka akan terus melaut karena di sanalah kebahagiaan hidup itu tergenapi. Harus diakui masih banyak nelayan kita yang belum belum tahu batas laut antarnegara.
Mereka cuma tahu cari makan di laut. Bagi mereka laut itu tanpa batas. Selama ini nelayan asal NTT sudah biasa melaut sampai ke perairan Timor Leste. Mereka lupa bahwa Timor Leste sudah menjadi negara sendiri sehingga yang berlaku adalah hukum internasional. Itulah sebabnya sosialisasi kepada para nelayan kita sangat penting. Kalau masuk ke negara lain harus memiliki dokumen resmi. Tidak bisa seenaknya saja. Dari 18 nelayan hanya tiga orang yang memiliki paspor. Selebihnya tidak sama sekali. Dari sisi aturan keimigrasian jelas salah.
Kejadian semacam ini tidak boleh terulang. Ketika Indonesia gencar menangkap nelayan asing yang masuk perairan Nusantara bahkan menenggelamkan kapal mereka, maka nelayan kita pun harus taat hukum. Kiranya ini menjadi bahan instrospeksi. Sudah saatnya kita fokus membangun maritim yang tangguh.*
Pos Kupang 23 Januari 2019 hal 4