Derita Petani Kelapa Sulut

Sulawesi Utara penghasil utama kelapa Indonesia
SUDAH jatuh tertimpa tangga pula. Begitulah nasib sebagian besar petani kelapa di Minahasa, Sulawesi Utara. Sudah lama petani kelapa di Bumi Nyiur Melambai ini kehilangan gairah menanam kelapa lantaran harga komodoti tersebut tidak kunjung membaik. Dari waktu ke waktu harga kelapa nyaris bertahan di level yang sama. Malah kecenderungannya terus menurun belakangan ini. Harga kelapa jauh di bawah komoditi lain bahkan dibandingkan dengan harga palawija sekalipun.

Selain gairah menanam melemah yang berakibat pada minimnya peremajaan, luas lahan perkebunan di kelapa di Sulawesi Utara (Sulut)  pun menyusut akibat alih fungsi lahan untuk berbagai kepentingan. Petani kelapa kian terdesak ke pinggir meskipun data statistik menunjukkan sampai detik ini kelapa dan produk turunannya masih nomor satu komoditas ekspor Sulut.

Warta yang dirilis Tribun Manado edisi Selasa 23 Oktober 2012 kemarin sungguh merupakan pukulan telak terbaru bagi petani kelapa di Sulut.  Delapan perwakilan petani kelapa di Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel) dan tokoh masyarakat menyambangi Mapolres setempat. Mereka menyampaikan keluhan soal maraknya aksi pencurian buah kelapa di perkebunan yang terjadi belakangan ini.

Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sulut (Apeksu) George Umpel mengatakan pencurian kelapa sudah hampir merata di Sulut. Itulah sebabnya mereka meminta bantuan aparat kepolisian untuk menindak secara hukum terutama para  penadah kelapa hasil curian. "Selama penadah ada, pencurian akan terus terjadi," kata George. Dia menambahkan, akibat pencurian tersebut banyak petani kelapa merugi apalagi saat ini harga anjlok. "Kami bayar pajak, tapi pencuri yang panen," ujarnya miris.

George melukiskan aksi para pencuri makin berani. Biasanya kalau tidak ada penjaga di perkebunan, petani bahkan  bisa kehilangan 100 persen kelapa siap panen. Kalaupun ada penjagaan,  pencuri masih bisa beraksi dan merampok sekitar 30 persen kelapa siap panen.

Menurut pandangan kita, keluhan para petani kelapa di Minahasa Selatan tersebut mewakili suara petani kelapa di Sulut. Pihak kepolisian mesti merespons segera. Dibutuhkan kepedulian pimpinan Polri di daerah ini mulai dari tingkat Polda hingga ke Polsek-Polsek  dan Pos Pol. Bantulah para petani kita agar penderitaan mereka berkurang. Memang tidak seratus persen perang melawan pencuri kelapa ini  diserahkan kepada kepolisian. Polisi perlu dibantu komponen masyarakat yang lain karena tugas polisi sangat banyak berkaitan dengan masalah Kamtibmas. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah razia rutin terhadap para penadah kelapa curian.  Aparat kepolisian di level terdepan tentu tahu siapa saja mereka.

Dari sisi petani kelapa sendiri kita dorong untuk meningkatkan spirit mapalus dalam menekan aksi pencurian kelapa. Semangat gotong-royong itu perlu dirajut lagi di tengah masyarakat Sulut, khususnya yang berdomisili di sentra perkebunan kelapa. Jika ada kebersamaan dan kekompakan, niscaya aksi pencurian kelapa bisa diminimalisir. Sangat sulit kalau petani kelapa berjuang sendiri-sendiri. (*)

Sumber: Tribun Manado 24 Oktober 2012 hal 10

Misa 100 Tahun Gereja Katolik Manggarai

Gereja Katedral Ruteng, Manggaai, NTT (istimewa)
UMAT Katolik Manggarai, Nusa tenggara Timur, Minggu 21 Oktober 2012 menggelar Misa Agung puncak perayaan Jubileum 100 tahun Gereja Katolik Manggarai. Perayaan Ekaristi ini dipimpin Uskup Ruteng Monsignur Hubert Leteng.

Misa Agung ini dihadiri sedikitnya 30 ribu umat Katolik, ratusan pastor dan biarawan-biarawati Katolik. Sejumlah tokoh umat lintas agama juga menghadiri Misa Agung ini.

Hadir Juga dalam misa Jubileum ini, Duta Besar Vatikan Antonio Filipazzi, Ketua Kongres Wali Gereja Indonesia Monsignor Martinus Situmorang, Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi. Misa Selebran ini berlangsung aman dan khidmat di bawah pengamanan ketat ratusan aparat kepolisian.

Dalam sambutannya, Uskup Ruteng menjelaskan perkembangan umat dan Gereja Katolik di bumi Congka Sae Keuskupan Ruteng, mulai dari Kabupaten Manggarai, Manggarai Timur dan Kabupaten Manggarai Barat sangat fantastis. Kini jumlahnya mencapai 750 ribu orang dari hanya 5 orang pada tahun 1912.

"Keuskupan Ruteng merupakan Dioses atau keuskupan terbesar dengan  jumlah umat Katolik terbanyak di Indonesia" Kata Monsignur Hubert Leteng.

Uskup Hubert Leteng menambahkan, Misionaris Gereja Katolik dari Keuskupan Ruteng yang mengabdi di luar negeri jumlahnya lebih dari dua ratus orang yang tersebar di 33 negara. Sementara jumlah tarekat Katolik yang bertugas di wilayah Keuskupan Ruteng berjumlah 52 tarekat, termasuk kongregasi Suster dan Bruder.

Uskup yang dikenal sebagai Imam Ekologis ini, dalam pesan Jubileumnya mengajak seluruh umat beragama di Manggarai, Manggarai Timur, dan Manggarai Barat untuk tetap menjaga kerukunan yang telah dibina sejak lama.

”Saya mengajak seluruh umat beragama, untuk tetap menjaga kerukunan dan keharmonisan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara umum,dan toleransi di Manggarai Raya khususnya” ucap Uskup Huber Leteng.

Sementara itu Menteri Pertahanan yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia mengajak seluruh Umat Katolik, baik di keuskupan Ruteng dan seluruh Umat Katolik di seluruh Indonesia untuk terus meningkatkan peran serta dalam pembangunan bangsa. Menhan mengajak para tokoh Agama di tanah air agar menjadi pilar pemersatu bangsa di tengah kemajemukan kehidupan umat beragama di Indonesia. (*)

Sumber: VivaNews

Terkait

Ibu Ani Yudhoyono Pakai Kain Songke Manggarai

Ibu Ani Pakai Motif Songke Manggarai

SBY di Ruteng 18 Oktober 2012 (foto Pos Kupang)
KERINDUAN umat Katolik Keuskupan Ruteng merayakan  Yubileum 100 Tahun Gereja Katolik Manggarai bersama Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ny. Ani Yudhoyono, terwujud.

Hari Kamis (18/10/2012) pukul 17.35 Wita,  Presiden SBY   dan Ibu Negara Ny.Ani Yudhoyono menjejakan kaki di Kota Ruteng disambut lautan manusia membentuk 'pagar' hidup sepanjang satu kilometer di ruas  jalan negara Terminal Mena  menuju Kota Ruteng.

Warga Kota Ruteng sangat antusias menyaksikan langsung kehadiran presidennya. Mereka  bahkan rela menunggu  berdiri  hampir  dua jam sebelum rombongan Presiden SBY tiba di Kota Ruteng. Sepanjang ruas jalan utama masuk Kota Ruteng dijejali warga. Saking padatnya warga yang  menyemut  di pinggir jalan raya itu, sehingga jarak Terminal Mena ke  rumah jabatan bupati sekitar 1 km lebih ditempuh sekitar 16 menit.

Laju mobil sedan RI 1  yang ditumpangi Presiden SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, juga diperlambat untuk memberi kesempatan kepada SBY menyapa warga di sepanjang ruas jalan.

Begitu pula ketika turun dari mobil di depan rumah jabatan bupati. Sebelum menyalami Bupati  dan Wakil Bupati Manggarai, Drs. Christian Rotok, dan Dr.Deno Kamelus, S.H, M,H, serta  Forkompinda, SBY masih sempat jalan beberapa langkah. Dia melambaikan tangan dan melempar senyum kepada masyarakat yang  telah menungunggunya.


Histeris warga semakin  menjadi  menyebut nama SBY, ketika mereka seperti terkejut menyaksikan Ny. Ani, yang mengenakan setelan serba hitam  pakaian motif kain songke Manggarai. 

Ibu negara membalasnya, melambaikan tangan dan melempar senyumnya.
Ketua Panitia Yubileum, Romo Lorens Sopang, Pr, seperti tak bisa lagi menyembunyikan kegembiraanya  menyambut hangat SBY. Dia tampak erat menyalami Presiden SBY.

Tujuh orang uskup, yaitu Uskup Ruteng, Mgr. Dr. Hubertus Leteng, Pr, Uskup Agung Ende,  Mgr. Vinsensius Sensi Poto Kota, Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung,Pr, Uskup Atambua, Mgr. Dr. Dominikus Saku, Pr, Uskup Weetebula, Mgr. Edmon Woga,  CSSR,  dan Uskup Bogor, Mgr.Michael Angkur, OFM, menyambut SBY. Belasan imam lainnya mengenakan juba putih selain biarawan dan biarawati  yang ikut dalam penyambutan itu.

Tidak tampak wajah lelah atau kecapaian   terpancar  dari kepala negara yang menempuh perjalanan darat  135 Km selama 3,5 jam  dari Labuan Bajo ke Ruteng. Padahal, ruas jalan nasional itu,  tidak seluruhnya mulus. 

Hanya sekitar 35 km jalan yang benar-benar mulus dengan lebar enam meter.  Selebihnya merupakan jalan sempit, berlumpur karena masih pelebaran dan pengaspalan. Kendaraan harus meliuk-liuk menaiki lereng bukit menuruni lembah, tak seperti jalan di Pulau Jawa yang relatif lurus. (Laporan Wartawan Pos Kupang, Eugenius Moa)

Sumber: Pos Kupang

Menindih dan Mencekik Wartawan

Oknum TNI cekik wartawan Didik Hermanto dari Riau Pos
BENCANA pasca bencana! Begitulah yang terjadi hari Selasa 16 Oktober 2012 pagi di Desa Pasir Putih, Pandau, Pekanbaru, Provinsi Riau. Bencana pertama adalah Indonesia kehilangan sebuah pesawat tempur Hawk 200. Pesawat yang sedang latihan rutin kemungkinan mengalami gangguan mesin lalu jatuh menghujam bumi, meledak dan terbakar sebagian.

Bencana kedua tak kalah mirisnya.  Sejumlah wartawan diusir, ditendang, ditindih bahkan dicekik hingga terluka oleh oknum anggota TNI Angkatan Udara. TNI berpandangan wartawan tidak boleh mendekati bangkai Hawk, baik untuk mengambil gambar maupun mencari tahu detail lainnya untuk kepentingan pemberitaan.  Dalam hitungan menit saja foto yang memperlihatkan seorang perwira TNI AU menindih dan mencekik wartawan tersebar luas, baik lewat jejaring sosial, media online maupun tayangan televisi.  Aksi kekerasan tersebut bahkan disaksikan langsung beberapa pelajar di TKP.

Penjelasan pimpinan TNI menyatakan, tindakan prajurit meminta wartawan menjauhi lokasi reruntuhan pesawat Hawk justru demi keselamatan wartawan sendiri. Sebab pesawat Hawk membawa bom. Pernyataan ini melahirkan pertanyaan baru, apakah harus dengan cara mengusir, menendang, menindih bahkan mencekik? Mengusir pun merupakan kekerasan verbal. Apalagi kalau sampai menindih dan mencekik. Praktik kekerasan sama sekali tidak bisa dibenarkan.

Undang-Undang negara ini melindungi wartawan dalam melaksanakan tugasnya. Tindakan oknum aparat TNI AU di Riau merupakan bentuk pelanggaran UU Pers No40/1999 pasal 4 ayat (2) yang berbunyi terhadap pers nasional tidak dikenakanpenyensoran, pembredelan atau pelanggaran penyiaran.

Pelanggaran pasal ini diancam dengan hukuman penjara 2 tahun atau denda Rp 500 juta, seperti tercantum pada pasal 18 ayat (1) yang berbunyi: (1) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja dan melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Kasus ini jelas  menambah litani kekerasan terhadap wartawan. Sebelumnya kekerasan serupa menimpa beberapa insan pers saat meliput pesawat Fokker milik TNI AU yang jatuh di Lanud Halim Perdana Kusumah Jakarta serta kekerasan yang dilakukan marinir terhadap jurnalis di Padang, Sumatera Barat. Meski dilakukakan oknum, namun kekerasan terhadap wartawan di Riau sungguh mencoreng wajah TNI yang sesungguhnya sudah lebih merakyat. Kita sesalkan insiden itu terjadi!

Siapapun, entah individu atau instistusi keberatan dengan tingkah pola wartawan, tempuhlah  jalur hukum hukum. Jangan main hakim sendiri. Jurnalis pasti  tidak sempurna dalam berkarya. Tegur dan lawanlah mereka, misalnya yang doyan main ancam atau memeras nara sumber. 

Tidak usah baca koran atau majalahnya kalau beritanya sensasional alias putarbalikkan fakta. Matikan televisi atau stasiun radio manakala beritanya tidak berkualitas. Cara seperti itu lebih efektif karena bisnis pers mensyaratkan kepercayaan publik. (*)

Sumber: Tribun Manado 18 Oktober 2012 hal 10

Komodo Bisa Melahirkan dalam Kondisi Perawan

Telur Komodo (istimewa)
PULAU Komodo menjadi jagoan Indonesia dalam ajang tujuh keajaiban alam baru dunia atau New7Wonders of nature. Pulau di Nusa Tenggara Timur itu adalah habitat asli Komodo.

Sejarah mencatat, hewan dijuluki 'dinosaurus terakhir di muka bumi'.  Keberadaannya baru dikenal luas pada tahun 1910. Kala itu kolonial Belanda mendengar kisah rakyat soal 'buaya yang hidup di darat'. Beberapa tahun kemudian, sebuah makalah ilmiah terbit, mengidentifikasi Komodo sebagai kadal monitor. Nama latin Varanus komodoensis pun disematkan padanya. Mulai 1915, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk melindungi hewan langka itu.

Tak hanya unik, biawak Komodo ini telah lama menjadi obyek penelitian banyak ilmuwan. Satu persatu para ilmuwan menguak misteri Komodo. Berikut hasil penelitian ilmuwan tentang Komodo:

1. Asal usul Komodo


Meski habitat aslinya di NTT, penelitian ahli pada tahun 2009 menyimpulkan, Komodo  ternyata bukan hewan asli Indonesia.

Ahli palaeontologi dan arkeologi dari Australia, Malaysia, dan Indonesia membuktikan tulang Komodo sama dengan tiga fosil hewan yang ditemukan di Queensland. Itu memperkuat teori bahwa Australia adalah tempat evolusi Komodo.

Fosil yang ditemukan di Queensland menunjukan bahwa Komodo berasal dari Australia empat juta tahun yang lalu dan bertahan kira-kira hingga 300.000 tahun lalu.

Para peneliti juga menemukan bahwa Komodo menyebar ke sejumlah wilayah, kemudian sampai di Pulau Flores sekitar 900.000 tahun lalu -- rumah terbaik bagi hewan itu.

Sementara di tempat asalnya, Australia, Komodo punah 50.000 tahun lalu -- bertepatan dengan saat manusia tiba di Australia. Komodo juga menghilang dan punah di beberapa pulau lain di Indonesia, kecuali Flores.

2. Bisa melahirkan dalam kondisi perawan


Perempuan mungkin bisa hidup tanpa laki-laki, ini setidaknya berlaku untuk Komodo. Biawak raksasa betina bisa menghasilkan bayi tanpa pembuahan jantan.

Flora, Komodo yang tinggal di Chester Zoo, London menjadi buktinya. Pada 2006 lalu, ia melahirkan delapan telur Komodo. Melalui proses partenogenesis - reproduksi aseksual tanpa pembuahan, dalam keadaan perawan.

Kejadian di kebun binatang London itu adalah kali pertamanya partenogenesis pada Komodo yang tercatat terjadi di dunia.

Ilmuwan menguak reproduksi Komodo bisa dilakukan dengan dua cara: seksual atau aseksual, tergantung pada kondisi lingkungan mereka. Di kebun binatang, biasanya Komodo betina ditempatkan terlisah dari yang lain.

3. Misteri gigitan mematikan Komodo

Meski berbadan besar - bisa mencapai 3 meter, gigitan Komodo termasuk lembek. Namun, entah bagaimana, kadal raksasa itu bisa memangsa hewan besar, seperti kerbau misalnya.

Apa rahasia gigitan Komodo?

Ahli biologi dari University of New South Wales, Australia menemukan, dalam mulut Komodo terdapat beberapa lusin gigi setajam silet.

Gigi runcing itu dikombinasikan dengan otot kuat di lehernya yang gemuk. "Kombinasi teknik makan cerdas dan tajamnya gigi, memungkinkan gigitannya bisa berakibat mematikan," kata ahli biologi, Stephen Wroe.

Untuk menguak misteri gigitan Komodo, para ahli membangun sebuah model kepala dan tenggorokan hewan itu dengan perangkat lunak. Rahang Komodo boleh saja lemah, tapi 100 juta tahun evolusi telah memberinya senjata yang ampuh.

"Komodo punya teknik makan yang unik, terus menerus menarik makanannya." Ia menangkap mangsanya dan menghujamkan 60 gigi tajam. Menutupi kekurangan gigitan yang lemah, otot tenggorokannya yang kuat akan menarik mangsa masuk ke perut."

Komodo akan menelan utuh-utuh mangsanya dan memuntahkan sisa-sisa yang tak dapat ia cerna: rambut dan sebagian tulang.

4. Di balik air liur Komodo yang mematikan


Selain keunikan teknik makannya, Komodo juga memiliki senjata lain untuk melumpuhkan mangsanya: air liur.

Meski seekor hewan bisa lolos dari serangan Komodo, ia segera melemah dan akhirnya mati.

Untuk jangka waktu yang lama, peneliti menduga, bakteri di air liur hewan itu bertanggung jawab menimbulkan luka infeksi yang parah pada korbannya. Bakteri itu meracuni darah korban.

Namun, dugaan itu terbantahkan pada tahun 2005 lalu. "Adanya bakteri dalam air liur Komodo atelah menjadi dongeng ilmiah," kata Bryan Fry, peneliti racun di University of Melbourne, Australia.

Fry dan timnya mempelajari susunan biokimia dalam air liur Komodo. Mereka menemukan, racun tersebut bisa dengan cepat menurunkan tekanan darah, mempercepat hilangnya darah, dan membuat korban menjadi syok -- hingga tak berdaya melawan.

Para ilmuwan menemukan, apa yang terkandung dalam liur Komodo serupa dengan racun yang dimiliki ular paling berbisa yang hidup di pedalaman Taipan, Australia.

Sementara para rekannya takjub dengan penemuan ini, Fry mengaku tak heran. Sebab, penelitian yang pernah ia lakukan sebelumnya menemukan, sejumlah spesies kadal -- seperti Iguana, kadal tak berkaki, dan kadal monitor juga memiliki bisa. (disarikan dari LiveScience).

Terkait
Mengapa Komodo Betina Lebih Cepat Mati?

Mengapa Komodo Betina Lebih Cepat Mati?

Komodo (istimewa)
DIA mendapat julukan  dinosaurus terakhir di muka bumi. Sejak eksistensinya terkuak secara luas tahun 1910 silam, komodo yang menjadi kebanggaan rakyat Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi obyek penelitian para ilmuwan. Satu persatu misteri hewan bernama latin Varanus komodoensis itu terkuak.

Baru-baru ini, sekelompok peneliti berhasil menguak misteri, mengapa masa hidup komodo betina hanya setengah dari para jantan. Rata-rata betina hidup sampai usia 31 tahun, sementara para jantan mampu bertahan hingga jompo, 62 tahun.

Studi terbaru menunjukkan, tuntutan kerja fisik termasuk membangun sarang dan melindungi telur, mempersingkat usia para betina.

Tim meneliti 400 komodo sejak tahun 2002 sampai 2010 di habitat aslinya di Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Ilmuwan menemukan, awalnya Komodo jantan dan betina memiliki ukuran relatif sama, hingga mencapai usia kematangan seksual sekitar 7 tahun.

Sejak titik itu, pertumbuhan para betina melambat, maksimal tumbuh sepanjang 1,2 meter dan berat 22 kilogram. Sementara para jantan, tumbuh rata-rata sepanjang 1,6 meter dan berat 65 kilogram.

"Perbedaan berdasarkan jenis kelamin diduga kuat terkait dengan kerja berat yang menguras energi para betina dalam memproduksi telur, membangun dan melindungi sarang mereka," kata Tim Jessop, ahli ilmu hewan dari  University of Melbourne. "Proses seperti itu bisa makan waktu enam bulan, para  betina kehilangan berat badan dan mengalami penurunan kondisi tubuh secara cepat."

Perbedaan pertumbuhan jantan dan betina juga bisa dilihat sebagai adaptasi evolusioner untuk memastikan keberhasilan reproduksi. Para betina, yang bisa melahirkan dalam kondisi perawan, mulai menghabiskan energi mereka dalam tugas-tugas sebagai ibu, setelah mereka mencapai usia kematangan seksual. Sebaliknya, komodo jantan sibuk membesarkan badan agar unggul dalam persaingan dengan komodo lain dalam hal mempertahankan teritori.

"Hasil ini mungkin tampak aneh bagi manusia, bahkan jika dikatakan masa hidup pria dan wanita di Australia berbeda hanya 5 tahun. Namun, setiap spesies memiliki strategi yang berbeda untuk mewariskan gen mereka," kata Jessop dalam sebuah pernyataan.

"Misalnya manusia menghabiskan banyak energi untuk membesarkan anak-anak, sedangkan serangga bisa memiliki ratusan keturunan tanpa repot-repot merawat anak."

Fakta perbedaan masa hidup antara Komodo jantan dan betina menimbulkan kekhawatiran, binatang itu bisa jadi segera punah. Sebab, meski ahli konservasi memperkirakan ada 5.000 spesies yang tersisa di alam liar, jumlah betina mungkin hanya 350 ekor.

"Banyak betina yang mati muda akan meningkatkan kompetisi sengit antar jantan untuk memperebutkan pasangan, yang dapat meningkatkan dimorfisme seksual dalam spesies.

Penelitian para ahli diterbitkan jurnal PLoS ONE online 19 September 2012. (Sumber: LiveScience)

Terkait
Komodo Bisa Melahirkan dalam Kondisi Perawan

Koran Tanpa Inovasi Bersiaplah untuk Mati!

ilustrasi
KORAN-koran dunia akhirnya menemukan model bisnis yang tepat untuk masa depannya setelah dalam satu dekade terakhir terancam bayang-bayang kematian. Tanda-tanda kematian diperlihatkan dengan jumlah pembaca koran yang semakin berkurang, pendapatan iklan terus merosot, pemutusan hubungan kerja karyawan menjadi kenyataan. Koran-koran konvensional semakin tergerus dengan hadirnya media digital.

Dua kata kunci yang menjadi penyelamat bagi koran-koran konvensional, yakni inovasi dan teknologi. Dua kata kunci itu membuat koran-koran ternama seperti The Washington Post, USA Today, The Wall Street Journal dan sejumlah media lainnya menatap optimis masa depan medianya.  Ini dilakukan setelah mereka membongkar habis bisnis prosesnya yang selama ini berjalan perlahan menuju kematian.

Memang banyak koran dunia bercokol di Amerika Serikat, terutama Washington dan New York. Negara ini punya sejarah panjang tentang industri media. Tak heran, ada media yang telah berumur lebih seratus tahun. Perkembangan media ini juga tak lepas dari perkembangan demokrasi dan ekonomi negara adidaya ini.  Semakin berkembang ekonomi negara ini, semakin berkembang pula medianya.

Namun, dalam dekade terakhir ini, banyak koran rontok di tengah jalan. Ini ditandai dengan makin berkurangnya jumlah pembaca serta merosotnya pendapatan iklan. Sejumlah media mulai kesulitan keuangan, sirkulasi menurun, iklan menyusut, bahkan ancaman PHK sudah di depan mata dengan pengurangan jumlah karyawan.

Dua koran ternama di AS terpaksa memilih tutup daripada rugi terus menerus. The Rocky Mountain News yang terbit harian dalam bentuk tabloid ditutup 27 Februari 2009. Koran yang telah berumur 153 tahun ini meninggalkan 117.600 pembacanya. Satu koran lagi yang tutup dalam usia 146 tahun adalah The Seatle Post Inteligence (Seatle PI). Koran yang terbit setiap minggu dalam format broadsheet ini beralih menjadi surat kabar online.

Revolusi teknologi informasi, seperti perkembangan internet juga merongrong kesehatan koran besar di AS. The Washington Post yang sering menjadi kiblat koran dunia terpaksa harus memangkas sejumlah biaya dengan menutup sejumlah biro dan mengurangi jumlah karyawannya. “Biaya operasi semakin besar sedangkan jumlah pendapatan semakin berkurang,” ujar Marcus Brauchli, Eksekutif Editor The Washington Post memberi alasan.

Agar bisa bertahan, kata Brauchli, pihaknya harus mengambil langkah-langkah revolusi. Tidak hanya bertahan dengan media konvensional, The Washington Post juga harus merambah dunia digital seperti website, media sosial, Iphone, Ipad, android dan stasiun TV.

Di tengah kecemasan sejumlah karyawan, ia pun menempuh cara menyatukan multiplatform itu dalam satu ruang redaksi yang terintegrasi. “Langkah ini membuat pengeluaran biaya lebih efektif dan kami bisa membangun supermarket untuk masing-masing platform,” jelasnya.

Langkah yang sama juga dilakukan USA Today, koran dengan tiras terbesar di AS. Di bawah payung Gannet Co Inc, USA Today mengintegrasikan ruang redaksinya untuk melayani lebih 100 media lokalnya yang tersebar di AS. Tidak mau ditinggalkan pembacanya setiap waktu, USA Today hadir juga dalam format koran digital, Ipad, media sosial dan gadget.

 “Dari sisi konten makin kuat, dari sisi bisnis makin mudah menjualnya,” kata John Hilkirk, Senior Editor USA Today.

Tak ingin mati gaya, The Politico, koran politik yang berbasis di Washongton ini juga mengambil langkah serupa. Mereka meninggalkan platform lama dengan media tunggal yang sudah ketinggalan kereta, mereka bersatu dengan multiplatform. Di AS, sudah sulit ditemui dengan strategi media tunggal.

The Wall Street Journal juga tak mau ketinggalan berinovasi. Koran yang kaya akan berita ekonomi dan keuangan ini kerap melakukan penetrasi ke pasar-pasar baru, termasuk Indonesia. “Kami juga hadir di Indonesia lewat koran digital dengan berbahasa Indonesia. Kami sangat yakin, konten yang kami miliki dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat ekonomi di Indonesia,” ujar Ruju Narasetti, Redaktur Pelaksana Media digital, The Wall Street Journal.

Menurut Ruju, sudah sangat sempit ruang gerak berinovasi di media cetak, namun sebaliknya, sangat terbuka lebar membuat banyak hal di dunia digital. Pergeseran ini sudah semakin nyata dan perkembangan media digital menjadi kebutuhan masa depan.

Meski demikian, tidak sederhana menyatukan langkah dalam multiplatform. Peter Perl, senior editor The Washington Post menyebut langkah ini butuh pengawalan yang ketat, kompetensi yang tinggi dan teknologi yang tepat. “Semua ini kami kemas dalam content management system atau CMS. Ini juga tidak sederhana dan dalam perjalanannya juga mengalami trial and error,” tambahnya.

Teknologi CMS atau yang serupa tampaknya menjadi model bisnis baru bagi media AS untuk mengembalikan kejayaannya. Aplikasi teknologi ini menghadapi rintangan dan tantangan yang tidak sederhana. Mengubah mindset wartawan dari media tunggal menjadi multimedia bukan pekerjaan yang mudah, butuh waktu bertahun-tahun untuk dapat diterima.

Bagaimana dengan media di Indonesia? Kecenderungannya sama meski tak serupa. Silakan mengikuti langkah revolusi di AS. Namun diingatkan, dibutuhkan kesiapan lahir bathin yang luar biasa, bila ini tidak dipersiapkan CMS bisa berarti Cari Masalah Saja. Nah, siapkah para pemimpin media di Indonesia untuk melakukan perubahan? Kalau pro status quo dan merasa nyaman saja, celaka tiga belas. Apalagi kalau ingat kepentingan sesaat... tidak mempertimbangkan masa depan. (*)


Sumber: Kompas.Com

Mekar tak Mewangi

ilustrasi
MEKAR!  Begitulah hasrat yang menggebu-gebu di segenap penjuru negeri ini tatkala  desentralisasi berlabel otonomi daerah bergulir satu dasawarsa yang lalu. Sejak kran pemekaran wilayah dibuka lewat payung Undang Undang Otonomi Daerah hampir seluruh negeri demam pemekaran.

Indonesia yang semula hanya terdiri dari 26 provinsi (minus Timor Leste) yang pisah tahun 1999, dalam sekejap membengkak jadi 33 provinsi.  Pemekaran kota dan kabupaten pun kalah meroket. Hingga tahun 2012 tercatat  399 kabupaten dan 98 kota di Indonesia. Total semua kabupaten dan kota sebanyak 497.

Maka Indonesia mungkin satu-satunya negara di dunia dengan jumlah kepala daerah serta wakil kepala daerah terbanyak yaitu 1.060 orang. Kalau berdomisili di satu wilayah saja mereka dapat bisa membentuk kelurahan sendiri yaitu kelurahan para pejabat penyandang lambang burung garuda di dada. Luar biasa Indonesia.

Pemekaran provinsi, kabupaten dan kota juga ada produk turunannya yaitu pemekaran wilayah kecamatan dan desa/kelurahan.  Hampir  seluruh daerah berlomba memekarkan diri. Sungguh segunung hasrat  yang kebablasan mengingat Undang-Undang Otonomi Daerah sesungguhnya juga memberi ruang yang sama besar bagi beberapa daerah menggabungkan diri agar lebih kuat, baik secara ekonomis maupun politis. Faktanya belum sekalipun kita mendengar kabar penggabungan daerah otonom di Indonesia. Kuatnya orientasi kekuasaan dari elit politik lokal untuk berbagi-bagi jabatan sulit dipungkiri. Mekar wilayah agar dapat jabatan, dapat kedudukan terhormat di masyarakat dengan biaya dari negara.

Coba kita lihat hasil dari pemekaran itu. Apakah sudah sesuai harapan  yaitu meningkatkan pelayanan bagi masyarakat menuju kehidupan yang lebih sejahtera?
Hasil evaluasi Kementerian  Dalam Negeri (Kemendagri) RI  justru nyaring melantunkan  syair  mekar tak mewangi. Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan kepada wartawan di Jakarta, Rabu 29 Agustus 2012, menyebutkan berdasarkan evaluasi Kemendagri terhadap 57 dari 205 daerah pemekaran baru yang muncul selama periode 1999-2010, sebanyak 78 persen gagal.

Penilaian ini terutama dari faktor bagaimana pemerintah daerah berusaha meningkatkan kesejahteraan dan kualitas pelayanan publik bagi masyarakatnya. "Kebanyakan dari mereka, secara kapasitas tidak siap untuk memekarkan diri," ujar Djohan (Media Indonesia Online).

Daerah pemekaran baru tidak siap. Kata-kata tersebut hendaknya menjadi refleksi bagi semua daerah di Tanah Air yang hari-hari ini masih bersemangat memekarkan diri termasuk di Provinsi Sulawesi Utara. Sebelum melangkah lebih jauh baiklah kiranya mengaca diri apakah daerah pemekaran baru di Sulawesi Utara sungguh memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat? Jangan- jangan yang makin sejahtera cuma elit politik lokal yang meraih kesempatan meraih tahta kekuasaan. Setelah berkuasa melupakan rakyat! (*)

Sumber: Tribun Mandao 15 Oktober 2012 hal 10

Selamat Jalan Fotografer Perfeksionis

Insiden Trisaksi 1998 karya fenomenal Julian Sihombing
Oleh Fitrisia Martisasi

ADA janji yang diucapkan Julian Sihombing dalam perjumpaan terakhir kami, Minggu sore tanggal 30 September lalu. Ia tak akan menyerah, tetapi berserah diri kepada Yang Kuasa. Ia akan mengetuk pintu-Nya dan menyapa-Nya.

Tepat dua pekan setelah itu, Minggu (14/10/2012) dini hari, sekitar pukul 01.00, kabar duka itu datang. Fotografer senior Kompas itu telah mengembuskan napas terakhir pada usia 53 tahun, berpulang kepada Yang Maha Memiliki. Julian menepati janjinya: mengetuk pintu-Nya dan menyapa-Nya.

Di ruang perawatan intensif (ICU) National University Hospital, Singapura, dini hari itu istri dan kedua anaknya—Suri Dewanti (52), Rian Namora (19), Luna Nauli (14)—serta keluarga besarnya mengantarkan kepergian Julian. Proses panjang sekitar satu tahun untuk mengalahkan kanker kelenjar getah bening berakhir sudah. Perjalanan ini membutuhkan ketabahan luar biasa, baik bagi Julian maupun keluarganya, karena ia harus melewati dua tahap kemoterapi dan penanaman sel punca (stem cell).

”Gue capek,” kata Julian pada Sabtu, 29 September, lalu saat ia menjalani kemoterapi menjelang transplantasi sel, Kamis, 4 Oktober.

Berbeda dengan pertemuan- pertemuan sebelumnya, di mana ia selalu menyatakan ”akan selalu semangat”, kali ini pria kelahiran Jakarta, 15 Januari 1959, itu mengangkat bahu saat menjawab pertanyaan ”apakah ia masih memiliki energi?”

”Gue hanya menjalani proses ini. Selama masih ada peluang, kenapa tidak,” ujarnya sambil tersenyum tipis.

Seusai kemoterapi sesi siang hari, seluruh tubuhnya teramat pucat. Ia mengaku agak kedinginan, menarik selimut putih tebal hingga ke leher dan tertidur. Wajahnya tampak seputih selimut yang menutupinya.

Tak menyerah
Julian Sihombing

Julian memang bukan tipe orang yang mudah menyerah. Sejak awal divonis menderita kanker kelenjar getah bening non-Hodgkin jenis yang ganas, ia menyatakan akan terus berjuang. Alasan paling kuat, ini semua demi keluarganya.

”Begitu terbayang wajah Suri, Ryan, dan Luna, gue gak tahan, lalu mendorong diri, harus sembuh, harus sembuh, harus sembuh,” ujar Julian, yang pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Komunikasi Massa FISIP Universitas Indonesia, SMA Negeri 6, SMA Negeri 3, SMP Negeri 1, dan SD Regina Pacis, semuanya di Jakarta.

Itu juga gaya Julian dalam bekerja. Menuntaskan pekerjaan semaksimal mungkin. Tak ada kata setengah-setengah. Bisa disebut, almarhum adalah fotografer yang perfeksionis. Dari tangannya telah lahir antologi foto jurnalistik Kompas berjudul Mata Hati, selain kumpulan karyanya sendiri, Split Second, Split Moment.

Selalu memantau
Sepanjang menjalani pengobatan kanker—yang memaksanya keluar-masuk rumah sakit—Julian tak pernah lepas memantau produk Kompas lewat iPad kesayangannya. Ketika menemukan ketidaksempurnaan, ia mengirimkan keluhan kepada rekan-rekan kerjanya. Acap kali ia gelisah berlebihan sampai istrinya, Suri, mengingatkan almarhum untuk menenangkan diri agar proses pengobatan tidak terganggu.

Dengan sifat perfeksionis dan jam terbang di dunia jurnalistik selama 27 tahun—diawali dua tahun sebagai pewarta foto majalah Jakarta Jakarta—Julian menjadi sosok yang dikenal kritis untuk urusan visual koran. Tak jemu-jemunya almarhum mengingatkan soal pentingnya merekrut fotografer yang memiliki semangat, kegairahan, dedikasi, selain kemampuan teknis foto yang memadai.

Bagi yuniornya, ia menjadi tempat bertanya dan berguru. Tak heran jika Julian bisa begitu tampak bahagia di saat melihat karya pewarta foto yuniornya yang luar biasa. Bukan hanya memberikan pujian kepada yang bersangkutan, tak segan-segan almarhum mengingatkan rekan-rekannya untuk menyimak keistimewaan foto itu.

Julian sendiri mengaku amat mengagumi seniornya, mantan fotografer dan editor foto Kompas, almarhum Kartono Ryadi. Ketika kami bertemu dua pekan lalu, ia mengisahkan bagaimana sejak sebelum bergabung dengan harian Kompas tahun 1987, ia telah bertekad untuk ”mengalahkan” Kartono.

Itu juga yang ia mintakan kepada yuniornya. ”Kalian harus punya tekad untuk mengalahkan senior yang kalian kagumi,” tuturnya, mengulang ”ceramah”-nya kepada sang yunior.

Kini, pria bersuara lantang tetapi suka bergurau itu telah tiada. Sahabat-sahabatnya di bangku sekolah dan di Kompas menjemputnya di pemulasaran jenazah Western Casket di Toa Payoh, Singapura, kemarin; memutarkan lagu ”Wish You Were Here” (Pink Floyd); dan mengantarkan hingga rumah duka di Jalan Perkici 2 EA 3 Nomor 50, Bintaro Sektor 5. Senin (15/10/2012), pukul 11.00, jenazah Julian akan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Selamat jalan, Julian….(DI/MYR/RLP)

Sumber: Kompas.Com

Terkait
      Mencium Kejadian Sebelum Terjadi
    "Kenakalan" Kreatif Julian
    Bang Julian, Selamat Jalan...
    Jenazah Julian Sihombing Tiba Minggu Malam
    Fotografer Kompas Julian Sihombing Meninggal

Cegah Peredaran Uang Palsu

ilustrasi
MASYARAKAT Kabupaten Minahasa yang kini  mempersiapkan diri melaksanakan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pemilukada) dikejutkan dengan terungkapnya kasus peredaran uang palsu. Menurut aparat kepolisian nilai uang palsu yang diduga telah beredar di masyarakat kurang lebih Rp 100 juta.

Terungkapnya kasus tersebut setelah aparat Polres Minahasa menangkap  JK alias James (41) yang menjadi agen sekaligus  pengedar uang palsu, Minggu (7/10/2012) malam. Pria asal Tondano tersebut  tertangkap tangan saat membawa uang palsu sebanyak Rp 500 ribu yang terdiri dari empat lembar uang pecahan Rp 100 ribu edisi 2011 dan dua lembar uang pecahan Rp 50 ribu edisi tahun 2009.

Berdasarkan informasi dari James, sehari kemudian polisi kembali membekuk dua tersangka lainnya yaitu Boy dan seorang pria berinisial N. Sejauh ini penyidik Polres Minahasa telah menyita uang palsu sebanyak  Rp 12.600.000. Sejumlah warga Minahasa pun dengan sukarela menyerahkan uang palsu yang mereka temukan kepada aparat kepolisian.

Kita sepakat dengan pernyataan Gubernur Sulawesi Utara (Sulut) Dr Sinyo Harry Sarundajang bahwa peredaran uang palsu tersebut meresahkan. Karena itu semua pihak terkait harus segera mengambil langkah untuk mencegahnya. Kita berterima kasih kepada jajaran Polres Minahasa pimpinan AKBP Henny Posumah yang bergerak cepat dengan membekuk para tersangka pelaku. Gerak cepat kepolisian setidaknya bisa meminimalisir aksi kejahatan tersebut.

Apresiasi kita berikan pula kepada jajaran Bank Indonesia (BI) Perwakilan Sulut yang langsung merespons dengan aksi. Kepala Perwakilan BI Sulut Suhaedi menyatakan,  BI akan memperbanyak sosialisasi kepada masyarakat  tentang ciri-ciri uang rupiah asli kepada masyarakat Kabupaten Minahasa. Suhaedi pun mengimbau masyarakat  jangan panik karena masalah  ini sudah ditangani pihak berwajib. Namun, dianjurkan agar tetap berhati-hati dan melaporkan  kepada aparat secepatnya bila menemukan uang palsu.

Kita berharap tertangkapnya sejumlah tersangka di Minahasa mendorong aparat kepolisian di daerah lain di Sulut   ikut bergerak mencegah peredaran uang palsu. Bukan mustahil jaringan tersebut juga beraksi di Bitung, Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara, Minahasa Utara, Bolaang Mongondow dan lainnya.


Kejahatan ini sungguh merugikan masyarakat. Dan, lebih dari itu peredaran uang palsu akan memperlemah tingkat  kepercayaan masyarakat terhadap uang rupiah yang merupakan kebanggaan kita bersama.  Pengalaman telah mengajarkan bahwa gejolak rupiah merugikan semua pihak, tanpa kecuali. Maka marilah bersama-sama mencegahnya sesuai bidang tugas dan peran kita masing-masing.  (*)

Sumber: Tribun Manado 12 Oktober 2012 hal 10



Tante Joice Memasak dengan Passion

 Joice Pesumima (kiri)
Umur bukan halangan untuk berprestasi.  Joice Pesulima, kontestan tertua pad ajang  Masterchef Indonesia season 2 mampu bersaing dengan mereka yang lebih muda usianya. Semangatnya yang luar biasa merupakan inspirasi bagi kaum ibu.

BERAWAL dari hobinya memasak, wanita yang akrab dipanggil Tante Joice oleh kontestan lainnya, mengisi formulir pendaftaran Masterchef Indonesia lewat internet. Namun,  saat mengisi formulir dia sengaja tak melampirkan semua data tentang dirinya yang sering mengikuti lomba memasak.

"Namanya orang tua itu kan hobi masak. Saya hanya ingin menyalurkan hobi saja," ujar Joice saat berkunjung ke redaksi Tribun Manado, Minggu (7/10/2012) petang. Tante Joice dengan penuh semangat bercerita tentang perjuangannya mengikuti kompetisi di hadapan Pemimpin Redaksi Tribun Manado, Ribut Raharjo, editor Maximus Geneva dan wartawati Rine F Araro.

Mengisi formulir di saat-saat terakhir membuat Joice yang saat bertandang ke Tribun  Manado bersama cucu-cucunya,  berpikir kalau dirinya tidak mungkin dipanggil penyelenggara untuk mengikuti audisi. Ia pun memilih berangkat ke Pekanbaru, tempat salah seorang anaknya tinggal guna mengikuti sebuah acara.

Bercerita tentang perjuangannya kepada awak  Tribun Manado
Ternyata Tante Joice mendapat  telepon dari penyelenggara untuk mengikuti audisi  di Jakarta. Peserta audisi luar biasa banyaknya.  Joice harus bersaing dengan 18 ribu peserta lainnya. "Dari 18 ribu kemudian disaring menjadi 220  hingga  32 besar," kata Joice.

Di kelompok 32 besar, setiap kontestan dipanggil untuk memasak di hadapan para juri. Dari setiap masakan juri akan menilai apakah mereka layak melaju ke babak 20 besar. Saat itu, bola-bola daging yang dimasak Joice memikat hati para juri yakni Chef  Degan  Septoadji Supriyadi, Chef Rinrin Marinka dan Chef Juna Rorimpandey.

Bahkan saat itu Joice mendapat pujian dari Chef  Degan yang menyebutkan kalau Joice memasak dengan passion. "Saya orang pertama yang menerima apron. Saking senangnya saya sampai lompat-lompat," tuturnya.

Datang bersama cucunya
Begitu pula saat memasuki galeri Masterchef untuk pertama kali. Joice yang merupakan kontestan tertua sempat menangis karena bangga bisa mencapai 20 besar. Rasa bangga juga dirasakan Tante Joice ketika tantangan memasak ikan. Ia memasak ikan acar kuning yang memikat hati para juri. "Senangnya waktu Chef Degan bilang mau jual masakan saya ini di restorannya," ucap Joice.

Tantangan demi tantangan terus dihadapi Joice. Baginya, setiap tantangan yang diberikan di ajang Masterchef  memacunya untuk terus berkreasi. Begitu bahan diberikan dalam waktu sangat singkat ia harus memutuskan memasak menu apa. "Yang ada di pikiran saya adalah memasak dan harus enak, jadi bisa fokus mengerjakannya. Soal menang atau tidak dalam tantangan tersebut itu belakangan," ujarnya.

Bukan tak ada kendala selama mengikuti Masterchef. Karena keseleo ketika akan mengikuti tantangan selanjutnya yang ternyata lokasinya di lokasi Militer YONKAV 7, Joice merasa secara fisik  sudah tidak kuat lagi. Rasa capek yang dirasakannya membuat ia ingin secepatnya keluar dari karantina. Ia pun sempat merasa  eneg  melihat masakan. "Saya telepon anak dan suami saya, tapi mereka selalu memberikan semangat. Akhirnya saya ke kamar mandi dan teriak sekuat tenaga," cerita Joice.

Selain rasa sakit, kendala lain yang dihadapi Joice adalah ketika tantangan yang diberikan berupa masakan internasional. Keterbatasan bahasa membuatnya kadang tidak mengerti bahan-bahan yang ditulis dalam resep.

Sama seperti ketika tantangan Mexican Sefood Soup. Tantangan ini mengharuskan para kontestan menebak bahan-bahan untuk membuat sup Mexico ini. Alhasil, Joice pun salah menulis Jalapeno (cabai khas Mexico) . "Saya tidak tahu kan itu namanya apa, jadi tulis saja itu lombok (cabai) hijau," katanya.

Keadaan kaki yang masih sakit membuat Joice makin tidak kuat fisiknya. Meski menang di tantangan Rainbow Cake, namun Joice harus masuk ke presure test dan tantangan yang diberikan adalah Shish Kebab Roush Bi Lahm. Karena kebabnya kering, Joice harus meninggalkan galery Masterchef. "Yang bikin saya menangis saat itu, karena Chef Degan mengatakan bahwa dia salut terhadap saya, meski sudah berumur 60 semangatnya tidak kalah dengan kontestan yang muda,"  ucap wanita yang doyan sayur lodeh ini.

Selesai dari Masterchef, ia pun tak menyangka respon dari masyarakat Indonesia terhadap dirinya.  Saat jalan-jalan ke mal, ia sudah dikenali pengunjung. Bahkan saat mengunjungi sekolah cucunya yang berada di Bitung, Joice tak menyangka sudah ada banyak penggemar yang menanti dirinya.

 "Wah sudah seperti artis nomor wahid saja. Tapi ini semua anugerah dan mujizat dari Tuhan," kata wanita yang mendapat julukan Lidah Setan dari para kontestan dan juri Masterchef ini.

Tante Joice  berniat untuk terus memasak bahkan di masa tuanya, ia akan terus berkreasi dalam hal masak-memasak.

"Saya senang memasak dan saya akan terus berkarya. Saya ingin memotivasi ibu-ibu rumah tangga yang ada di Indonesia untuk tidak takut bermimpi menjadi seorang chef. Saya yang sudah berusia 60 tahun saja bisa, kenapa yang lain tidak?" tutur Ketua Rudy Choirudin Fans Club tersebut mengakhiri perbincangan Minggu sore itu. (rine f araro)

Sumber: Tribun Manado  8 Oktober 2012 hal 1

Nol Rupiah untuk Biaya Pelantikan Rudy

FX Hadi Rudyatmo
Polemik soal alokasi anggaran pelantikan Gubernur DKI Jakarta yang kini kembali naik menjadi Rp 550 juta terus menuai protes. Anggaran itu dinilai masih bisa dihematkan lagi dengan proses seremoni yang lebih sederhana. Anggota dewan bersikeras bahwa jumlah itu sudah standar karena tetap harus ada biaya hiburan seperti paduan suara dan Kroncong Tugu.

Gubernur DKI Jakarta terpilih, Joko Widodo pun protes dengan anggaran yang dinilainya cukup mahal itu. Jokowi, sapaan akrabnya, menginginkan agar pelantikannya bersama Basuki Tjahaja Purnama nanti dilakukan sesederhana mungkin dengan biaya semininal mungkin.

Di tengah polemik tersebut, di saat yang bersamaan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Solo juga akan segera melantik Wali Kota Solo baru menggantikan Jokowi. Wakil Wali Kota Solo, yakni FX Hadi Rudyatmo (Rudy) pun akan segera dilantik menggantikan Jokowi.

Uniknya, anggaran untuk pelantikan Wali Kota Solo ini hanya Rp 0. Jauh berbeda dengan anggaran pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang terbilang mewah.

Berbeda dengan di Jakarta, anggota dewan di DPRD Kota Solo mendengarkan kemauan dari FX Hadi Rudyatmo untuk tidak mengalokasikan anggaran daerah untuk seremoni beberapa jam itu. Padahal, sebelumnya Pemerintah Kota Solo sudah menganggarkan dana Rp 200 juta untuk pelantikan FX Rudy dalam APBD Perubahan. Namun, atas persetujuan dewan, anggaran untuk pelantikan akhirnya dicoret.

"Pak Rudi menolak anggaran pelantikan. Ya, akhirnya ajuan itu dicoret," kata Ketua DPRD YF Soekasno, Selasa (2/10/2012), seperti dilansir Tribunnews. Sehingga proses pelantikan Wali Kota Solo yang waktunya masih belum ditentukan itu akan berlangsung biasa saja.

Menurut Soekasno, proses pelantikan dilakukan dalam sidang paripurna yang dikemas secara sederhana. Tak ada pesta mewah, hanya sejumlah seniman asli Solo yang diminta hadir secara sukarela tanpa dibayar untuk menghibur tamu undangan.

Pada tahun 2005 lalu, saat Jokowi dilantik sebagai Wali Kota Solo, pelantikan juga dilakukan secara sederhana dan hanya memakan biaya Rp 100 juta. Bisakah Jakarta menghemat seperti Solo?

Koordinator advokasi dan investigasi FITRA, Ucok Sky Khadafi, Kamis (4/10/2012) saat dihubungi wartawan mengatakan, Jakarta sangat bisa berhemat dengan mengurangi alokasi anggaran pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017. Menurut Ucok, pelantikan DKI 1 dan DKI 2 itu bisa saja dipangkas sampai Rp 100 juta.

"Idealnya bisa hemat hanya dengan biaya Rp 100 juta. Sebanyak Rp 60 juta itu untuk makanan prasmanan nasi uduk saja, biar anggota dewan juga merasakan makan nasi rakyat yang harganya Rp 2.500. Sisanya bisa digunakan untuk paduan suara," kata Ucok.

Bahkan, lanjut Ucok, pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur di Jakarta bisa saja mengadopsi cara Solo dengan mencoret anggaran pelantikan atau Rp 0. "Lebih baik lagi kalau Rp 0. Proses pelantikannya disamakan saja dengan rapat paripurna anggota dewan biasa. Itu kan tidak perlu biaya, karena anggota dewan itu kan datang rapat paripurna sudah dapat uang," kata Ucok lagi.

Ucok menyayangkan sikap anggota DPRD DKI Jakarta yang bersikeras tetap menaikkan anggaran pelantikan Gubernur menjadi Rp 550 juta meski sempat diturunkan menjadi Rp 499 juta. Menurut dia, sikap bersikeras anggota dewan itu hanya menyangkut gengsi ke depannya.

"Saya rasa ini politik juga. Kalau anggota dewan menurut dengan selera Jokowi di awal sekarang ini, Jokowi akan dielu-elukan masyarakat. Ke depannya, anggota dewan akan habis di mata masyarakat kalau menentang selera Jokowi. Apalagi, ini lagi-lagi mau Pemilu," ujar Ucok. (*)

Sumber: Kompas.Com

Penyidik KPK Membangkang

ADA perkembangan menarik  berkaitan dengan kisruh antara dua lembaga penegak hukum di negeri ini, Kepolisian vs Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebanyak enam penyidik Polri yang bertugas di KPK  menolak kembali ke lembaga asalnya Mabes Polri. Mereka merupakan  bagian dari 20 penyidik yang masa tugasnya  di KPK tidak diperpanjang Polri.

Keenam penyidik pemberantas korupsi itu mengaku lebih suka bertugas di KPK ketimbang kembali ke institusinya. Bahkan mereka berencana mundur dari keanggotaan Polri.  Lima dari penyidik ini juga merupakan nama penyidik yang belum melapor ke Mabes Polri selepas masa tugas selesai di KPK. Sedangkan seorang penyidik lagi sudah melapor, namun tetap berencana mundur dari keanggotaan Polri. Informasi terbaru bahkan menyebutkan 14 penyidik yang sudah kembali ke Polri berniat menyusul langkah keenam rekan mereka.

Pembangkangan penyidik Polri yang tergelar secara telanjang di mata publik ini  sungguh menarik. Alasan penyidik Polri itu  lebih suka bekerja di KPK bahkan berani keluar dari keanggotaan Polri sangat dalam maknanya. Sederhananya mereka tentu merasa enjoy di KPK ketimbang di instistusi asalnya. Mereka pasti merasa lebih mampu mengaktualisasikan kapasitas intelektual serta kompetensinya dalam menangani kasus korupsi di KPK ketimbang di kepolisian.

Pembangkangan tersebut merupakan jawaban tegas terhadap alasan pimpinan Polri menarik 20 penyidik dari KPK demi pengembangan karier. Kalau benar demi karier mestinya mereka dengan senang hati kembali. Nah yang terjadi malah sebaliknya.

Mudah menebak kenapa demikian? Boleh jadi para penyidik itu akan merasa dikucilkan manakala kembali ke Polri. Bukan pengembangan karier malah masuk kotak. Tidak diberi peran apa-apa.  Toh penarikan ini hampir bersamaan waktunya dengan keterlibatan KPK mengusut kasus dugaan korupsi simulator SIM di Mabes Polri yang membuat banyak petinggi Polri seperti kebakaran jenggot.

Polri pun ngotot menangani kasus yang sama meskipun suara di masyarakat menunjukkan ekspresi ketidakpercayaan. Sekecil apapun pasti ada konflik kepentingan ketika penyidik Polri mengusut rekannnya sendiri, pimpinan atau seniornya dengan pangkat lebih tinggi yang diduga terlibat dalam kasus korupsi simulator tersebut.

Kita berharap pembangkangan penyidik tersebut membuka jalan kesadaran di institusi kepolisian untuk berbenah. Setidaknya pimpinan Polri lebih responsif terhadap tuntutan dan harapan masyarakat agar citra positif Polri terus bertumbuh. Kebesaran hati Polri memberi kesempatan  kepada  KPK mengusut kasus simulator SIM akan terasa lebih elok dan elegan. Polri akan terbebaskan dari konflik kepentingan yang bisa mengganggu jalannya proses hukum.

Kejadian ini pun memberikan kontribusi bagi penguatan dan pembenahan sistem internal KPK. Idealnya KPK memiliki penyidik sendiri sehingga tidak lagi bergantung pada kepolisian dan kejaksaan. Sebagai institusi yang baru, KPK pun bertumbuh dan berkembang sesuai tuntutan kebutuhan. (*)

Sumber: Tribun Manado 4 Oktober 2012 hal 10

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes