Koran Tanpa Inovasi Bersiaplah untuk Mati!

ilustrasi
KORAN-koran dunia akhirnya menemukan model bisnis yang tepat untuk masa depannya setelah dalam satu dekade terakhir terancam bayang-bayang kematian. Tanda-tanda kematian diperlihatkan dengan jumlah pembaca koran yang semakin berkurang, pendapatan iklan terus merosot, pemutusan hubungan kerja karyawan menjadi kenyataan. Koran-koran konvensional semakin tergerus dengan hadirnya media digital.

Dua kata kunci yang menjadi penyelamat bagi koran-koran konvensional, yakni inovasi dan teknologi. Dua kata kunci itu membuat koran-koran ternama seperti The Washington Post, USA Today, The Wall Street Journal dan sejumlah media lainnya menatap optimis masa depan medianya.  Ini dilakukan setelah mereka membongkar habis bisnis prosesnya yang selama ini berjalan perlahan menuju kematian.

Memang banyak koran dunia bercokol di Amerika Serikat, terutama Washington dan New York. Negara ini punya sejarah panjang tentang industri media. Tak heran, ada media yang telah berumur lebih seratus tahun. Perkembangan media ini juga tak lepas dari perkembangan demokrasi dan ekonomi negara adidaya ini.  Semakin berkembang ekonomi negara ini, semakin berkembang pula medianya.

Namun, dalam dekade terakhir ini, banyak koran rontok di tengah jalan. Ini ditandai dengan makin berkurangnya jumlah pembaca serta merosotnya pendapatan iklan. Sejumlah media mulai kesulitan keuangan, sirkulasi menurun, iklan menyusut, bahkan ancaman PHK sudah di depan mata dengan pengurangan jumlah karyawan.

Dua koran ternama di AS terpaksa memilih tutup daripada rugi terus menerus. The Rocky Mountain News yang terbit harian dalam bentuk tabloid ditutup 27 Februari 2009. Koran yang telah berumur 153 tahun ini meninggalkan 117.600 pembacanya. Satu koran lagi yang tutup dalam usia 146 tahun adalah The Seatle Post Inteligence (Seatle PI). Koran yang terbit setiap minggu dalam format broadsheet ini beralih menjadi surat kabar online.

Revolusi teknologi informasi, seperti perkembangan internet juga merongrong kesehatan koran besar di AS. The Washington Post yang sering menjadi kiblat koran dunia terpaksa harus memangkas sejumlah biaya dengan menutup sejumlah biro dan mengurangi jumlah karyawannya. “Biaya operasi semakin besar sedangkan jumlah pendapatan semakin berkurang,” ujar Marcus Brauchli, Eksekutif Editor The Washington Post memberi alasan.

Agar bisa bertahan, kata Brauchli, pihaknya harus mengambil langkah-langkah revolusi. Tidak hanya bertahan dengan media konvensional, The Washington Post juga harus merambah dunia digital seperti website, media sosial, Iphone, Ipad, android dan stasiun TV.

Di tengah kecemasan sejumlah karyawan, ia pun menempuh cara menyatukan multiplatform itu dalam satu ruang redaksi yang terintegrasi. “Langkah ini membuat pengeluaran biaya lebih efektif dan kami bisa membangun supermarket untuk masing-masing platform,” jelasnya.

Langkah yang sama juga dilakukan USA Today, koran dengan tiras terbesar di AS. Di bawah payung Gannet Co Inc, USA Today mengintegrasikan ruang redaksinya untuk melayani lebih 100 media lokalnya yang tersebar di AS. Tidak mau ditinggalkan pembacanya setiap waktu, USA Today hadir juga dalam format koran digital, Ipad, media sosial dan gadget.

 “Dari sisi konten makin kuat, dari sisi bisnis makin mudah menjualnya,” kata John Hilkirk, Senior Editor USA Today.

Tak ingin mati gaya, The Politico, koran politik yang berbasis di Washongton ini juga mengambil langkah serupa. Mereka meninggalkan platform lama dengan media tunggal yang sudah ketinggalan kereta, mereka bersatu dengan multiplatform. Di AS, sudah sulit ditemui dengan strategi media tunggal.

The Wall Street Journal juga tak mau ketinggalan berinovasi. Koran yang kaya akan berita ekonomi dan keuangan ini kerap melakukan penetrasi ke pasar-pasar baru, termasuk Indonesia. “Kami juga hadir di Indonesia lewat koran digital dengan berbahasa Indonesia. Kami sangat yakin, konten yang kami miliki dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat ekonomi di Indonesia,” ujar Ruju Narasetti, Redaktur Pelaksana Media digital, The Wall Street Journal.

Menurut Ruju, sudah sangat sempit ruang gerak berinovasi di media cetak, namun sebaliknya, sangat terbuka lebar membuat banyak hal di dunia digital. Pergeseran ini sudah semakin nyata dan perkembangan media digital menjadi kebutuhan masa depan.

Meski demikian, tidak sederhana menyatukan langkah dalam multiplatform. Peter Perl, senior editor The Washington Post menyebut langkah ini butuh pengawalan yang ketat, kompetensi yang tinggi dan teknologi yang tepat. “Semua ini kami kemas dalam content management system atau CMS. Ini juga tidak sederhana dan dalam perjalanannya juga mengalami trial and error,” tambahnya.

Teknologi CMS atau yang serupa tampaknya menjadi model bisnis baru bagi media AS untuk mengembalikan kejayaannya. Aplikasi teknologi ini menghadapi rintangan dan tantangan yang tidak sederhana. Mengubah mindset wartawan dari media tunggal menjadi multimedia bukan pekerjaan yang mudah, butuh waktu bertahun-tahun untuk dapat diterima.

Bagaimana dengan media di Indonesia? Kecenderungannya sama meski tak serupa. Silakan mengikuti langkah revolusi di AS. Namun diingatkan, dibutuhkan kesiapan lahir bathin yang luar biasa, bila ini tidak dipersiapkan CMS bisa berarti Cari Masalah Saja. Nah, siapkah para pemimpin media di Indonesia untuk melakukan perubahan? Kalau pro status quo dan merasa nyaman saja, celaka tiga belas. Apalagi kalau ingat kepentingan sesaat... tidak mempertimbangkan masa depan. (*)


Sumber: Kompas.Com

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes