Ini Baru Budi


Paul Budi Kleden, SVD (kiri)

Oleh: Robert Bala

Penulis buku Homili yang Memikat, Prolog oleh P. Paul Budi Kleden, SVD (Penerbit Ledalero, Maret 2024)

Pengumuman P. Paul Budi Kleden SVD sebagai Uskup Keuskupan Agung Ende mengejutkan. Mengapa?

Karena sebagai pimpinan tertinggi SVD, Budi semestinya meneruskan ‘tradisi’ Provinsi Gerejawi Nusa Tenggara (mencakup keuskupan Larantuka, Ende, Weetebula, Ruteng, Denpasar, Kupang, dan Atambua) untuk hanya memilih imam projo.

Itulah tradisi sejak Uskup Longginus da Cunha (1996), Uskup Turang (1997), Uskup Benyamin Bria (2000), Uskup Frans Kopong Kung (2002), Uskup Visen Sensi (2007), Uskup Domi Saku (2007), Uskup Silvester San (2008), Uskup Sipri (2019) dan yang terakhir Uskup Pakaenoni (2024) semuanya imam projo.

Logikanya, Ende sebagai Keuskupan Agung harusnya meneruskan ‘tradisi’ memilih salah seorang imam projo, apalagi Uskup Longginus dan Sensi sebelumnya juga imam projo.

Umat Gereja Nusa Tenggara rasanya sudah terima kenyataan. Hal ini bukan karena gereja lokal lupa akan SVD sebagai wilayah ‘SVD’. Pada masanya, semua uskup di wilayah ini adalah SVD (bukan yang lain).

Tetapi SVD Nusa Tenggara kemudian menafsir dan menerapkan secara konsekuen konstitusi SVD no 102 yang berbunyi: ... Kita bekerja pertama-tama dan terutama di tempat-tempat Injil belum sama sekali atau belum cukup diwartakan, dan di tempat-tempat Gereja lokal belum sanggup hidup dengan kekuatan sendiri. Tugas-tugas yang lain harus diarahkan kepada tujuan-tujuan utama ini.”

Di sinilah awal ‘minggirnya’ SVD karena merasa gereja lokal sudah bisa hidup dengan kekuatan sendiri oleh telah hadirnya imam projo berkualitas. Jabatan uskup menjadi salah satu konsekuensi.

Lalu mengapa praktik yang sudah diterapkan 37 tahun (sejak penahbisan Mgr Hilarius Moa Nurak, SVD tahun 1987, kini harus kembali lagi? Apakah itu berarti SVD ‘mengambil alih’ jabatan uskup yang selama ini ‘dipinjamkan sementara ’ ke imam projo?

Pendapat seperti ini sah-sah saja. Terpilihnya P. Paul Budi Kleden SVD yang juga superior Jenderal tentu bukan sekadar ‘mengambil jatah yang selama ini sudah ditinggalkan SVD? Apakah hal ini bisa memunculkan ‘kecemburan’ terutama antar imam projo yang merasa jatahnya diambil?

Bisa dipastikan para imam Keuskupan Agung Ende, saat mendengar nama Pater Budi disebutkan, mereka malah bersujud mencium tanah Ende-Lio, Ngada, dan Nagekeo.

Sementara umat terutama dari generasi di atas 50 tahun kalau ada yang bingung pun, mereka pun tidak kehilangan akal karena dengam mudah mengingat figur: Wati, Iwan, dan terutama Budi.

Di sana nama Wati sang kakak dan Iwan sang adik rasanya hanya pelengkap untuk menggambarkan bahwa figur sentral adal di frase ini: Ini Budi, Ini Ibu, Bapak, Kakak, Adik Budi.

Tetapi ada yang jauh lebih penting. Budi adalah sebuah nama yang yang terpilih dari total 5.754 anggota SVD saat ini (Catalogus 2024) di seluruh dunia.

Kalau masih belum lengkap, jumlah itu tersebar di 80 negara dari lima benua. Dengan demikian kalau kini Budi jadi pimpinan tertinggi, maka ia sungguh merupakan ‘personaje’ (karakter) kata orang Spanyol.

Sebuah karakter yang tidak saja tiba-tiba ‘turun dari atas’ tapi bertumbuh dan berkembang dari bawah. Kalau pun ‘ditracing’ (dilacak), kemungkinan menemukan celah hidup pada perjalanan hidup pria kelahiran Waibalun 16 November 1965 itu sangat kecil.

Karena itu keterpilihan Budi menimbulkan kecil kemungkinan untuk ditolak. Malah yang akan terjadi adalah munculnya rasa cemburu dan iri hati, terutama Keuskupan Larantuka yang tentu sedang menyiapkan kadernya menggantikan Uskup Frans Kopong Kung.

Budi’s Effect

Daripada berkutat pada iri hati, pertanyaan yang jauh lebih penting: apa yang menjadi ‘budi’s effect’ atau efek yang bisa hadir dengan terpilihnya doktor Teologi Dogmatik dari Universitas Albert Ludwig Freiburg Jerman ini sebagai Uskup Agung?

Pertama, keterpilihan Superior Jenderal SVD ke-12 menjadi Uskup Agung merupakan sebuah hal baru dari Superior Jenderal SVD selama ini. Dari 12 Superior Jenderal SVD sejak Santo Arnoldus Janssen, baru P. Paul Budi Kleden, SVD yang terpilih langsung menjadi Uskup.

Memang ada anggota Dewan Jenderal seperti Leo Cornelio SVD yang terpilih jadi uskup tahun 1999 di Khandwa dan kemudian Uskup Agung Bhopal, India (2007).

Tetapi Budi Kleden menjadi superior Jenderal pertama terpilih sebagai uskup Agung, Ini sesuatu yang ‘fenomenal’. Di sini terbukti lagi bahwa Keuskupan Agung Ende sangat berbangga memiliki Budi sebagai uskupnya dan bisa berkata: Ini Baru Budi.

Kedua, keterpilihan SVD kembali menduduki jabatan Uskup merupakan tafsiran yang tepat terhadap kemandirian gereja lokal. Semua imam baik projo maupun dari kongregasi yang ada di sebuah keuskupan merupakan elemen konstitutif dari gereja lokal.

Karena itu umat yang ada di wilayah itu berhak untuk mendapatkan kandidat terbaik sebagai uskup, entah imam projo ataupun biarawan dari aneka kongregasi. Figur terbaik, siapapun dia, diharapkan dapat memaknai tantangan gereja yang semakin konmpleks.

Dengan ini juga tidak berarti praktik selama 40 tahun terakhir yang hanya memberi ruang bagi imam projo sebagai praktik tak lazim. Ia bisa disebut sebuah keberanian yang patut diapresiasi.

Namun itu tidak berarti setelah periode tertentu perlu dikoreksi dan secara fleksible membuka tafsiran lain hal mana terjadi dengan penunjukkan Pater Paul Budi Kleden sebagai Uskup Agung kini dan diharapkan akan menjadi peluang baru dalam mencari figur untuk menjadi Uskup Larantuka dan mungkin Labuan Bajo.

Ketiga, keterpilihan P. Budi Kleden, SVD memunculkan efek yang jauh lebih menarik untuk diterawang.

Terlalu berlebihan untuk menilai bahwa penunjukkan Budi sebagai Uskup Agung Ende memiliki target untuk kepemimpinan yang jauh lebih dari itu baik di level KWI, jadi Kardinal, dan mengapa tidak untuk menjadi pemimpin gereja universal kelak?

Ini bisa saja disebut harapan terlalu jauh dan berlebihan. Tetapi kefasihan Budi berbahasa Jerman, Inggris, Spanyol, dan Italia (sepeti bahasa sendiri) bukankah ini menunjukkan bahwa ke depannya Budi akan lebih mudah berkomunikasi di Gereja universal? Ah, ini hanya harapan.

Tapi kalau ingat kata-kata dari Aristoteles bahwa harapan merupakan mimpi yang terjaga (Hope is a waking dream), maka mari kita jaga mimpi ini. Kalau pun terjadi, maka itu hanya tambahan.

Yang pasti, kita menyertai P. Budi untuk memulai langkah ini dari Ende, tempat Sukarno juga memulainya di sini.

Kita pun berharap, jangan-jangan efek Sukarno yang bisa juga jadi efek Budi? Kita doakan saja agar langkah awal ini kemudian mendatangkan decak kagum: Ini (Baru) Budi. (*)

Sumber:  Pos Kupang

Budi Kleden, Ende, dan Kebun Vanila

 

Paul Budi Kleden, SVD


Oleh: Pater Charles Beraf, SVD

Pastor Paroki Detukeli, Ende

KABAR tentang Uskup baru Ende, Mgr. Paul Budi Kleden, SVD sampai ke telingaku saat saya sedang membetulkan tajar vanilla di kebun Paroki Roh Kudus Detukeli. 

Mengejutkan? Sedikit saja reaksi itu. Budi, dari kaca mata saya sejak dulu, layak menjadi uskup. 

Seorang yang rendah hati, cerdas, juga seorang yang bisa diajak untuk masuk ‘ke kebun’. 

Alasan lain, Budi memang dibesarkan dari rahim Keuskupan Agung Ende (KAE): mengenyam pendidikan di STF Ledalero dan kemudian menjadi dosen pada almamater itu (ketika STF Ledalero masih ada dalam wilayah KAE), pernah menjadi anggota dewan Provinsi SVD Ende sebelum  terpilih sebagai Superior Jenderal SVD.

Minggu lalu ketika beliau mengirimkan kepada saya dan pater Yohan Wadu (Zarathustra) dokumen tentang sepak terjang SVD dalam perfilman di Indonesia, saya memang dibayang-bayangi pikiran entahkah Budi yang nota bene imam kongregasi bisa menjadi uskup di Ende dihadapkan pada semacam pandangan di antara segelintir konfrater SVD untuk memprioritaskan “uskup dari imam diosesan”, ya gereja lokal KAE sudah sangat mampu untuk melahirkan seorang uskup. 

Tapi toh mendengar kabar sore ini, saya toh akhirnya sampai pada pandangan bahwa memang Budi sudah dibesarkan dari rahim gereja lokal KAE dan karena itu, ‘layak’.

Budi sekarang bukan hanya milik SVD, tapi lebih dari itu, dia adalah milik KAE. Pelampauan ini, hemat saya, amat missioner. Budi, mungkin di kalangan sebagian besar konfrater SVD, dipandang layak lagi untuk terpilih sebagai Superior Jenderal dalam Kapitel Jenderal SVD mendatang. Namun mau bagaimana? 

Roh menuntunnya ke Ende, kembali ke rahim, kembali di tengah umat KAE yang sebagian besar adalah para petani dan peternak yang sedang dihadapkan dengan aneka persoalan: kekacauan iklim, gagal panen/tanam, ASF dan lain lain.

Apakah Budi bisa diajak ‘ke kebun” para petani? Apakah Budi bisa membuang langkah ke kandang para peternak? Apakah Budi bisa berbau ala para domba di keuskupan ini?

Saya mengenal Budi cukup dekat. Dia ketika pertama kali menjadi dosen di STF Ledalero, mengasuh mata kuliah Teodice, perihal penderitaan dan angkatan kami mahasiswa pertamanya. 

Dia mengajar tanpa buku, tetapi amat sistematis – hal yang cukup kuat memberi gambaran bahwa Budi memang menjiwai ‘dunia penderitaan’ dengan kaca mata teologis-filosofis dan sastrawi yang tajam. 

Ketika saya mendirikan KMK (Kelompok Menulis di Koran Ledalero), saya meminta beliau untuk menjadi moderator bagi para penulis pemula (Ve Nahak, Bill Halan, Willy Gaut, dll)  yang masih tambal sulam dalam hal menulis dan  Budi mengiyakan. 

Hasilnya, “tahi kucing bisa terasa seperti coklat”. Ya, yang sederhana di mata kebanyakan orang, toh bagi Budi, bisa jadi sangat luar biasa.

Budi memang dikenal banyak orang lewat artikel-artikelnya, selain beberapa karya berupa buku. 

Di harian lokal Pos Kupang dulu, Budi, seingat saya, amat setia menulis, Banyak artikelnya (artikelnya pertama di harian itu “perihal hukuman mati’) –menggambarkan cukup jelas betapa Budi amat peduli dengan persoalan-persoalan sosial. Tapi tidak cuma artikel. 

Tidak cuma buku. Tidak cuma di ruang kelas. Budi juga seorang pegiat sosial. Seingat saya, ketika RUU SISDIKNAS menjadi hal kontroversial dan diskriminatif (saat itu saya menjabat sebagai Wakil Ketua Senat mahasiswa STF), Budi mendorong kami para mahasiswa untuk bergerak, menggelar demonstrasi memperjuangkan hak pendidikan bagi kaum minoritas.

Budi dikenal. Ya. Tetapi beliau juga mudah sekali mengenal orang. Hemat saya, dia, di kalangan para formator dan dosen, paling banyak mengenal frater – mahasiswa. Sekali kenal, tetap terkenang (sulit lupa). 

Itu sebabnya dia selalu dikenang oleh para mahasiswa sebagai dosen yang rendah hati, yang kapan saja dan di mana saja bisa berbaur dengan siapa saja (tak peduli dari kalangan mana).

Dengan sejumput kualitas mengagumkan di atas,  apakah Budi nanti bisa diajak ‘ke kebun’ para petani atau ‘kandang’ para peternak di KAE?

Sejumput harapan sedang ada di benak para awak dan umat KAE agar Budi memang benar benar mengemban tugas kegembalaan yang berkonteks. 

Budi dibesarkan dari rahim KAE, dan tentu saja kita berdoa dan berharap agar gereja Keuskupan Agung Ende dengan visi “menjadi gereja yang injili, solider, missioner dan mandiri” sungguh nyata dalam derap kegembalaan sang Uskup Baru.

Selamat datang Uskup Baru, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD. Kami semua menantimu dengan doa dan harapan yang penuh.

Salam dari Kebun Vanila Gereja Kajuoto, Detukeli!

Sumber: arahkita.com


Paul Budi Kleden, Teologi Terlibat, dan Tantangan Imam Masa Kini

 

Paul Budi Kleden, SVD

Oleh Valens Daki-Soo

Penulis adalah entrepreneur dan politisi, mantan Frater SVD di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, Flores.

Paus Fransiskus akhirnya menunjuk Superior General SVD (Societas Verbi Divini), Pater Dr. Paulus Budi Kleden, SVD menjadi Uskup Keuskupan Agung Ende (KAE). Pengangkatan Pater Budi secara resmi dibacakan oleh Administrator KAE, Rm. Yosef Daslan Moang Kabu di Gereja Katedral Ende pada 25 Mei 2024. 

Dengan demikian, berakhirlah penantian umat KAE akan sosok pemimpin spiritual yang baru sejak mangkatnya Mgr. Vincentius Sensi Potokota enam bulan lalu. Mgr. Sensi meninggal dunia di Rumah Sakit Sint Carolus Jakarta pada 19 November 2023.

Rasa syukur, apresiasi, dan ucapan selamat terhadap Pater Budi datang dari berbagai kalangan dan membanjiri media sosial. 

 Pengalaman Pribadi

 Kepada beberapa teman dekat yang juga mantan frater SVD, saya pernah bilang begini beberapa waktu setelah Mgr. Sensi wafat, "Jangan-jangan Pater Budi Kleden menjadi pengganti (sebagai Uskup Agung Ende)." Ternyata benar dan itu sebabnya saya tidak heran ketika diumumkan, karena Pater Dr. Paul Budi Kleden, SVD seorang figur imam yang episkopabilis, layak menjadi uskup.

 Sebelum beliau akhirnya diumumkan Vatikan sebagai Uskup Agung Ende yang baru, saya terakhir bertemu Pater Budi di kantor pribadi saya di PT Veritas Dharma Satya (PT VDS), Tebet, Jakarta. Beliau datang untuk 'sharing' dengan sejumlah alumni Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK), yang sekarang menjadi Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Maumere, Flores.

 Pertemuan itu terjadi pada 2018, tak lama setelah Pater Budi (begitu beliau biasa disapa) dipilih menjadi Superior General SVD atau pimpinan tertinggi SVD sedunia yang berpusat di Roma. Mengapa di 'markas' PT VDS? Itu kebetulan menjadi tempat diskusi rutin kami, sejumlah alumni Ledalero Jabodetabek yang dimotori Redem Kono, mantan murid Pater Budi.

 Meski merupakan orang Indonesia pertama (dan orang Asia kedua) yang menjadi Superior General SVD, Pater Budi yang dikenal sangat cerdas sekaligus amat rendah hati itu mengomentari posisinya (pemimpin tertinggi SVD) sebagai "biasa saja, tak ada hal yang perlu dibanggakan". Dia berujar, "Saya tetap bekerja seperti biasanya, hanya beda tempat dan jumlah orang yang harus diurus. Tak ada hal yang luar biasa, karena SVD sudah punya konstitusi, sistem kerja dan spirit misioner yang perlu selalu diaktualisasi."

 Secara pribadi, sebenarnya saya mengenal Pater Budi jauh sebelum ini. Ketika mendengar namanya disebut sebagai uskup baru KAE, ingatan saya terlempar kembali ke Ledalero, bahasa Sikka artinya "bukit (tempat) sandar matahari". Di Ledalero berdiri teguh Seminari Tinggi St. Paulus milik SVD sejak 20 Mei 1937 dan STFK (kini IFTK).

 Pater Budi adalah senior kami, persisnya satu tahun di atas angkatan saya dan teman-teman. Beliau dan para konfrater-nya masuk Novisiat SVD Ledalero tahun 1985, saya dan kawan-kawan novis (frater baru) SVD menginjakkan kaki di seminari tinggi itu tahun 1986. Beliau senior tidak hanya dalam angkatan, tapi juga dalam usia (Pater Budi lahir tahun 1965, saya 1968). 

Namun, karakternya yang rendah hati, cerdas, ramah, pendengar yang baik, dengan daya ingat yang luar biasa membuat Frater Budi dekat dengan kami semua. Kelak, ketika menjadi dosen teologi di alma maternya ini, dia dikenal bisa menghafal/mengingat nama semua mahasiswanya yang berjumlah 800 orang, sebagaimana testimoni rekan dosennya yang juga kini Rektor IFTK Ledalero, Pater Dr. Otto Gusti Madung, SVD.

 Masih teringat, suatu ketika setelah makan malam di Novisiat Ledalero tahun 1988, saya menemui Frater Budi dan "sharing" tentang keraguan saya terkait panggilan menjadi imam. Hati saya tergerak untuk sharing kepada sang senior karena sikapnya yang menerima dan mendengarkan tanpa menghakimi. Sungguh pribadi yang berwibawa, humanis, rendah hati dan pendengar yang setia.

 Oleh karena kepribadiannya yang integral dan jiwa kepemimpinannya yang kuat dengan kecerdasan yang sangat memadai, Frater Budi dikirim ke Wien, Austria, untuk melanjutkan studi teologinya. Biasanya yang dikirim untuk studi lanjut ke luar negeri adalah frater yang sudah ditahbiskan menjadi imam. 

Namun, kali itu -- dan sejak itu -- Rektor Seminari Tinggi Ledalero yang juga Ketua STFK Ledalero Pater Dr. Hubert Muda, SVD (putra Mangulewa-Ngada yang mengambil doktornya di Universitas Kepausan Gregoriana Roma) mengirim Frater Budi (asal Waibalun, Larantuka) dan Frater Ferry Radju Tuga (asal Bajawa, Ferry kemudian mengundurkan diri dari SVD saat di Austria), lalu disusul frater-frater muda terpilih ke luar negeri untuk menjalani Overseas Training Program (OTP).

 Setelah menyelesaikan studinya di Sankt Gabriel Moedling bei Wien, Austria, Pater Budi sempat menjadi pastor paroki di Swiss. Kemudian dia belajar dan mengambil doktor bidang Teologi Sistematik di Universitas Freiburg, Jerman. Pater Budi sangat fasih dalam beberapa bahasa asing. Pater Fritz Meko Svd dalam tulisannya menyebut Pater Budi menguasai tujuh bahasa asing.

 Sebenarnya, saya agak menyesalkan Pater Budi menjadi uskup. Saya ingin beliau tetap menjadi dosen dan pembina di alma mater IFTK Ledalero. Sebagai dosen Pater Budi punya kapasitas akademis-intelektual yang mumpuni. Sejumlah buku telah ditulisnya dan dia menjadi teolog andal di Ledalero yang dikenal luas, termasuk dalam advokasi terhadap kaum marjinal atau orang kecil yang menjadi korban ketidakadilan.

Sebagai formator/pembina Pater Budi adalah pengkader yang ikut melahirkan para imam misionaris SVD maupun para kader "awam" (laicus) yang berkiprah di mana-mana.

 Namun, mungkin Pater Budi lebih dibutuhkan Keuskupan Agung Ende dengan segala kompleksitas masalah dan serbaneka tantangannya.

 Teologi Terlibat

 Menempuh pendidikan calon imam bertahun-tahun di Eropa tidak lantas membuat Pater Budi melupakan Indonesia tanah tumpah darahnya. Ketika kebanyakan orang berteologi dengan kecenderungan berkiblat pada pemikir Barat, Pater Budi membangun sebuah kesadaran mengenai usaha berteologi di Indonesia yang sadar konteks, yang antara lain tertuang dalam karyanya berjudul "Teologi Terlibat: Politik dan Budaya dalam Terang Teologi".

 Lewat buku ini, Pater Budi, yang mendalami dan menerjemahkan pemikiran Johann Baptist Metz, teolog dan imam Jesuit asal Jerman, mengulas masalah-masalah sosial-politik dan sosial-kultural untuk menegaskan bahwa Allah sungguh terlibat dalam sejarah umat manusia.

 Pater Budi dengan rendah hati mengakui, teologi terlibat bukan salah satu teologi baru, tapi lebih sebagai sebuah usaha sadar untuk menegaskan inti dari kegiatan berteologi.

 "Jika kegiatan teologis adalah refleksi atas iman yang merupakan tanggapan dari wahyu Allah, maka gerakan menyentuh tema-tema politik dan budaya merupakan gerakan sah dan wajar mengingat wahyu Allah menunjukkan dengan jelas keterlibatan-Nya dalam sejarah umat manusia," tulis Antonius Ignasius Nggino Tukan mengomentari buku Teologi Terlibat: Politik dan Budaya dalam Terang Teologi.

 Dalam jurnal berjudul "Berfilsafat dan Berteologi di Indonesia", Pater Budi menulis iman yang dihayati di Indonesia mesti menjadi iman yang mengakar di dalam realitas budaya dan masyarakat Indonesia. 

Iman kita perlu menjadi "iman Nusantara atau Indonesia". Iman sungguh menjadi iman yang dipahami, diungkapkan dan berinkulturasi di Indonesia apabila didorong dan didampingi refleksi teologis. 

Dengan itu, iman sungguh berakar dan menjadi iman Indonesia yang menjadi sumber inspirasi dan motivator dalam perjuangan menegakkan hak-hak hidup, keadilan dan perdamaian serta dalam dialog dibutuhkan refleksi teologis yang serius.

 "Pertanyaan mengenai tema berfilsafat dan berteologi di Indonesia memungkinkan kita untuk melihat entahkah filsafat dan teologi memiliki relevansi di sini. Sesuatu dikatakan memiliki relevansi apabila ia menjawabi kebutuhan atau pertanyaan yang hidup di dalam satu masyarakat pada waktu dan di tempat tertentu," ungkap Pater Budi.

 Hemat saya, sebenarnya setiap teologi itu kontekstual, dalam arti setiap teolog (atau setiap orang?) berteologi sesuai tantangan dan kebutuhan zaman, tuntutan sosial-ekonomi-budaya-politik di mana sang teolog berada.

 Setiap teologi tidak lahir dalam vakum atau direfleksikan dalam tabula rasa. Teologi apapun niscaya lahir dalam konteks. Itu sebabnya Teologi Terlibat saya kagumi sebagai tawaran buah pikir Pater Budi untuk merespon serbaneka wajah dan kompleksitas persoalan di Indonesia tercinta ini.

 Para imam bahkan setiap umat Katolik tidak bisa tidak terlibat dalam segala segi keindonesiaan kita, meski keterlibatan itu berbeda dalam wujud, sifat dan caranya.

 Dalam konteks keindonesiaan kita, hemat saya, Teologi Terlibat menganjurkan setiap kita tidak berdiam diri dalam proses pembangunan bangsa (nation building) yang bersendikan pembangunan karakter (character building), dua hal yang selalu dikumandangkan Bung Karno. 

Kita perlu aktif turut serta dalam upaya merekat-kuatkan tali kebangsaan dan kenegaraan kita, merawat keanekaan multidimensional (suku, ras, agama, budaya, ekonomi, dan sebagainya).

 Teologi Terlibat menyerukan kita untuk tidak berdiam diri dan hanya pasrah melihat ketidakadilan, penindasan, kekerasan, kemiskinan dan kebodohan. Bersama dengan komponen-komponen lain bangsa, kita semestinya bergerak di setiap palagan/medan tempur untuk membela kebenaran dan memerangi kebatilan (terma Islam:  amar ma'ruf nahi munkar). 

 Ringkasnya, Teologi Terlibat meminta kita menjadi agen cinta ilahi yang memancarkan sinar kasih Tuhan ke segenap lapisan masyarakat. Kabar baik dari Yesus Kristus hendaknya menyeruak di tengah berbagai komunitas, tidak saja dalam ajaran verbal-imperatif tapi terutama dalam tindakan riil di tengah masyarakat -- sekali lagi, khususnya di kalangan kaum yang menderita dan terpinggirkan.

 Tantangan Seorang Imam

 Meski cakupan tanggung jawab seorang uskup amat luas, namun dalam tulisan ini saya secara khusus menyoroti beban seorang uskup dalam membimbing para imamnya menghadapi tantangan dalam dunia dewasa ini. 

Skandal seksual yang dilakukan sejumlah imam di berbagai belahan dunia, terutama Eropa dan Amerika menjadi indikator bahwa selibat adalah tantangan serius bagi para imam.

 “Para imam adalah seorang yang selibat – dan mereka menginginkannya – hanya karena Yesus juga selibat. Persyaratan untuk selibat bukan hanya bersifat teologis, namun bersifat mistik: semoga hal ini dapat dipahami oleh mereka yang mampu,” tulis Kardinal Pietro Parolin akhir 2023 lalu.

 Gulshan Ekka dalam artikel berjudul "Priesthood in Modern Age" menulis, para pastor tidak hanya berjuang untuk tetap kudus dan bertumbuh di dalamnya, namun juga menghadapi banyak tantangan untuk mewujudkan pelayanan imamatnya baik secara internal maupun eksternal.

 Berikut ini empat tantangan yang dihadapi seorang pastor yakni tantangan rohani, tantangan sosial, tantangan seksual, dan tantangan psikologis.

 Tantangan Rohani

 Perkembangan teknologi, globalisasi dan konsumerisme menjadi tantangan buat para imam. Para imam cenderung terpengaruh oleh arus zaman. Seorang imam mungkin tergoda untuk menghabiskan banyak waktu di depan internet, televisi, dan menggunakan ponsel. 

Lalu, waktu yang tersisa untuk berdoa, bermeditasi atau olah batin lainnya sangat sedikit dan kalaupun ada, ia mungkin merasa bosan dan kering, karena hidupnya berorientasi pada jadwal seperti itu. 

Para pastor melibatkan diri dalam berbagai pelayanan seperti pembangunan sosial umat, pendidikan, menjalankan lembaga besar dan lain-lain, dan pada akhirnya mereka tidak mempunyai waktu untuk fokus pada kehidupan spiritualnya. 

Mereka sangat mementingkan tugas. Meskipun seorang imam mungkin sangat cerdas, terpelajar, efisien dan efektif, tanpa doa ia tidak akan mempunyai pancaran rohani.

 “Pastor yang tidak berdoa lambat laun kehilangan kredibilitasnya, karena umat mencari bimbingan dan dukungan dari mereka yang berdoa dan spiritual. Ketika doa ditinggalkan, seorang imam akan dikelilingi oleh godaan dari segala penjuru seperti lebah, ia akan mendambakan kekuasaan dan kedudukan. Dia akan mengumpulkan uang. Alkohol akan menjadi teman tetapnya dan akan terjadi krisis dalam kesuciannya. Ini adalah titik terendah dalam kehidupan imam. Aspek yang menyedihkan dari kehidupan imam saat ini adalah bahwa gaya hidup modern telah menghambat keindahan kehidupan doa. Hal ini membutuhkan kebangkitan dan kebangkitan. Inilah kebutuhan saat ini untuk mencapai keseimbangan antara kenyamanan dan kehidupan spiritual.”

 Tantangan Sosial

 Ada era di mana umat biasa datang berkonsultasi dengan pastor untuk segala urusan. Pastor adalah orang yang paling terpelajar di masyarakat. Seorang pastor dianggap sebagai mercusuar masyarakat. Kini masyarakat sudah lebih berpendidikan. 

Oleh karena itu peran pastor saat ini lebih menantang. Tantangan terhadap panggilan imam secara historis dianggap sebagai tantangan yang muncul dari konsep negatif tentang dunia. Tidak ada yang diharapkan baik atau suci dari dunia ini dan oleh karena itu tradisi budaya, adat istiadat, perilaku, nyanyian, tarian, pemikiran, tulisan dan semuanya terbukti sebagai tantangan yang harus diatasi oleh seorang pastor.

Tantangan Seksual

 Imam Katolik antara lain dikenal dan ditandai dengan kehidupan selibatnya. Karunia selibat adalah landasan bagi seorang imam. Kewajiban selibat sebagai persyaratan untuk menjadi imam merupakan sebuah tantangan. 

Pelecehan seksual yang dilakukan sejumlah 'oknum' imam telah sangat mencoreng citra Gereja. Hal ini juga menyebabkan menurunnya kepercayaan umat terhadap imam. Perilaku seksual yang menyimpang seperti homoseksualitas, pedofilia, pencabulan menciptakan sikap negatif terhadap imamat baik di kalangan umat Kristen maupun non-Kristen. 

Pastor Tony Flannery, pensiunan berusia 76 tahun dari daerah Galway dan anggota pendiri ACP kepada Euronews pernah mengatakan, skandal pelecehan seksual yang terjadi di sekitar gereja adalah salah satu faktor utama yang mendorong orang menjauh dari agama.

Tantangan Psikologis 

 Karena para imam berurusan dengan pribadi manusia dalam pelayanannya, kedewasaan psikologis mereka sangatlah penting. Jika orang yang tertekan atau bermasalah menemui dan berkonsultasi dengan imam yang matang secara psikologis, kemungkinan besar dia akan menjalani kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya bila orang yang bermasalah itu "sharing" dengan pastor yang belum matang secara psikologis, masalahnya bisa menjadi lebih buruk.

 Kematangan psikis yang tangguh akan diiringi dengan kematangan rohani yang kokoh pula. Oleh karena itu kedewasaan psikis seorang imam sangat penting untuk menjadi pribadi yang dewasa secara rohani. Orang yang matang secara psikologis adalah orang yang relasional. Jika seorang imam pertama-tama ingin menjadi efektif dalam pelayanannya, ia harus menjadi orang yang relasional.

 Penutup

 Pater Budi bukan orang asing bagi umat KAE. Sebelum melanjutkan pendidikan calon imam di Austria, Pater Budi (sebagai frater kala itu) masih sempat menjalani masa novisiat dan satu tahun sebagai filosofen (mahasiswa filsafat) di STFK Ledalero. Setelah ditahbiskan menjadi imam di Austria dan mengabdi sebagai pastor paroki di Swiss, Pater Budi kembali berkarya sebagai dosen di STFK Ledalero.

 Sebelum diangkat menjadi Superior General SVD, Pater Budi pernah menjadi anggota dewan Provinsial SVD Ende. Tidak sedikit teman dan mantan anak muridnya yang kini menjadi imam di KAE. Memiliki kecerdasan di atas rata-rata, dengan kepribadian yang rendah hati dan egaliter, Pater Budi diyakini mudah diterima dan bisa bekerja sama dengan semua pihak, terutama dengan sesama imam di KAE.

 Kendati demikian, tantangan akan selalu ada. Sebagai imam, Pater Budi dan para koleganya di KAE ditantang secara intelektual, fisik, emosional, dan spiritual di medan karya. Seorang imam harus selalu sadar akan panggilan pemuridannya, yang meliputi keberpihakan dan kepedulian terhadap fakir miskin dan yang membutuhkan serta pengabdian tanpa pamrih kepada kemanusiaan. 

Seorang imam memerlukan pertobatan dalam cara hidupnya untuk menghadapi tantangan dan untuk bersaksi tentang Kristus, yang hanya dicapai melalui integrasi tubuh, pikiran dan jiwa serta hubungan pribadi yang mendalam dengan Tuhan. 

Proficiat Mgr. Paulus Budi Kleden, selamat berkarya bersama umat KAE. Kami akan selalu mendukungmu lewat doa dan karya. *

Sumber: Akun Facebook Valens Daki Soo

Selamat Datang Mgr. Paul Budi Kleden, SVD

 


Paul Budi Kleden, SVD

Oleh Romo Nani Songkares

Terpilihnya Mgr. Paul Budi Kleden, SVD sebagai Uskup Agung Ende yang baru disambut sangat antusias. Banyak sekali whatsapp group di mana para imam bergabung, dan di sana mengalir rasa syukur penuh kegembiraan atas terpilihnya Bapak Uskup Agung kita.

Pagi ini di paroki-paroki, saya yakin ada doa syukur, karena hanya dalam setengah tahun masa sede vacante, doa-doa umat se-Keuskupan Agung Ende terkabulkan.  Dan bahwa yang terpilih adalah salah satu dari misionaris kita, mungkin ini sejalan dengan dan sekaligus menegaskan arah-dasar Gereja Keuskupan Agung Ende yang mandiri, solider, injili, dan misioner.

 Biasanya para misionaris, SVD khususnya di Keuskupan Agung Ende, mengarahkan perhatiannya ke luar wilayah keuskupan. Dengan terpilihnya Mgr. Paul Budi Kleden, SVD, ada semacam gerak balik, mungkin untuk mengingatkan bahwa setiap medan pastoral adalah medan misioner.

Begitu mendengar nama Mgr. Paul Budi Kleden, SVD, saya teringat sederetan nama para Uskup SVD yang melayani Gereja Keuskupan Agung Ende, dari awal berdirinya. 

Saat umat se-keuskupan berdoa bagi pemilihan Uskup yang baru, nama-nama para Uskup itu disebut satu persatu, dalam satu tarikan napas dengan para Uskup dari kalangan imam diosesan, lengkap dengan moto tahbisan episkopal yang memperkaya. 

Mgr. Petrus Noyen, SVD dengan moto “Mutiara dari Timur”; Mgr. Arnoldus Vestraelen, SVD dengan moto “Bagi Allah dan jiwa-jiwa; Mgr. Henricus Leven memilih moto “Salam, O, Salib, satu-satunya Harapan”; 

Disebutkan juga para uskup dari Jepang, yakni Mgr. Paulus Yamaguchi dan Mgr. Aloysius Ogihara, SJ, yang menjadi perpanjangan tangan Tuhan yang memelihara umat di saat krisis. Lalu disebutkan Mgr. Antonius Thijssen, SVD yang mengusung moto “Di dalam SabdaMu”; Mgr. Gabriel Manek, SVD bermotokan “Bunda Maria, Pelindung segala Bangsa”;

 Mgr. Donatus Djagom, SVD mengambil moto “Mari Kita Wartakan Kristus yang Disalibkan”; Mgr. Abdon Longinus Da Cunha mempunyai moto “Mendengarkan dan Mewartakan”; dan moto Mgr. Vinsensius Sensi Potokota adalah “Beritakanlah Firman, Baik atau Tidak Baik Waktunya”.

Tampak sekali semangat misioner yang universal dan terbuka yang menembus sekat-sekat primordial: pribumi non pribumi, Eropa-Asia, penjajah-jajahan, imam diosesan-imam tarekat. Semangat misioner itu serasa mengalir dari waktu ke waktu dan menggembalakan umat Keuskupan Agung Ende. 

Saat ini, ketika Mgr. Paul Budi Kleden, misionaris SVD,  terpilih menjadi Uskup Agung Ende yang baru, rasanya semangat misioner itu sama sekali tidak hilang dalam lintasan sejarah, bahkan, atas bimbingan Roh, bernyala dengan cemerlang. 

Maka pantas kalau umat bergembira, dan kita semua  merayakan berita ini dengan rasa syukur yang besar, hari ini, persis pada Pesta Tritunggal Mahakudus. Selamat datang Bapak Uskup!

Kalau terpilihnya Mgr. Paul Budi Kleden, SVD dikaitkan dengan kaderisasi para imam, baik imam diosesan maupun imam tarekat, taruhan kaderisasi bukanlah pada terpilihnya seseorang menduduki jabatan tertentu dalam gereja, seakan-akan tidak ada ruang lagi bagi The Invisible Hand yang mengorkestrasi semua ini. Taruhan kaderisasi, bagi saya, letaknya pada kualitas pelayanan sehari-hari dengan semangat misioner yang tidak pudar dalam tugas apa pun yang dipercayakan gereja kepada kita.

Semua kita mengenal Bapak Uskup Agung kita yang baru ini, baik kompetensi intelektualnya, kerohanian, kepribadian, maupun keluasan hatinya. Bagi saya ini berkat yang luarbiasa bagi gereja lokal kita. 

Saya teringat tahun 2018 sesudah Mgr. Budi dipilih jadi Superior General SVD. Dia jalan-jalan ke Mataloko. Saat itu sudah sore. Saya sedang berada di English Room bersama sejumlah anak. Saya terkejut bukan main. Spontan saya peluk dia, dan saya katakan pada anak-anak, “He anak-anak, tahu tidak, ini Pater Superior General SVD yang baru, pemimpin tertinggi SVD sedunia!”

Anak-anak terkesima. Pater Budi, seperti biasa, sangat sederhana, sangat rendah hati. Tidak terasa ada tendensi megalomania pada dirinya, padahal semua orang tahu, dia raksasa. 

Sesudah dia tinggalkan English Room, saya terdiam. Orang besar ini begitu manusiawinya, begitu bersahajanya. Saya merasa seperti temannya, saudaranya, padahal saya tahu, dan anak-anak tahu, betapa saya sering konyol, dan tidak ada model.

Sekarang dia bapak Uskup saya, Mgr. Paul Budi Kleden, SVD. Sebentar lagi saya akan cium tangannya, meletakkan tanganku di dalam genggaman tangannya. Rasanya ini rahmat.

Kadang saya bertanya, apakah spirit misioner itu masih mengalir deras dalam nadiku? 

Mgr. Noyen naik kuda, jalan kaki dari ujung timur Flores sampai ujung barat Labuan Bajo. Mereka pasti capai sekali. Namun itu bukan alasan bagi mereka untuk menimba kekuatan misioner lewat brevir, doa rosasio, baca Kitab Suci, dan terutama Ekaristi.

P. Paul Arndt, SVD, P. Herman Bader, SVD, Pater Glinka, SVD, untuk menyebut beberapa nama, pioner dalam menyelami hati terdalam dari umat. 

Mereka tidak besar karena pewartaan mereka tentang dirinya. Mereka besar karena melalui karya mereka kita lebih mengenal kedalaman diri kita sebagai orang Flores, local wisdom yang ternyata tak ternilai. 

Dan mereka sendiri, dengan kedalaman refleksi dan penguasaan pengetahuan menjadi artikulator dari kebernasan budaya kita. Mereka mengekspresikan teologi kebijaksanaan yang dihayati orang-orang kita.

Pater Hubert Hermens SVD, Pater Mommersteg, SVD, untuk menyebut beberapa, adalah pastor paroki, tapi bau tanah Flores yang mereka hirup membuat para petani, nenek moyang kita, orang-orang kita, berjalan dengan kepala tegak.

Semangat misioner itu tidak pernah hilang dalam lintasan sejarah. 

Namun, terkadang saya pikir, mungkin urat nadi yang mengalirkan darah misioner itu sudah mulai tersumbat oleh berbagai kolestrol, di era invasi teknologi dengan turbulensinya yang tinggi ini. 

Karena itu, mari kita bersatu hati mendoakan Bapak Uskup kita yang baru,  dan karya misioner di Keuskupan Agung Ende. (*)

Sumber: Seminari Todabelu

Makna dan Berkah Pastoral Terpilihnya Mgr Paul Budi Kleden SVD

 

Mgr. Paul Budi Kleden, SVD


Oleh Apolonius Anas, SPd

Direktur LBKP U-Genius Kefamenanu

Mgr Paul Budi Kleden,SVD baru saja dipilih Paus Fransiskus untuk memimpin Keuskupan Agung Ende. Kabar baik itu menyebar begitu cepat di jagat maya akhir pekan lalu. Secara serempak, ucapan syukur bertaburan di berbagai platform digital.

Berbagai pihak menganggap momentum ini sebagai berkat Allah yang luar biasa. Berkat itu bukan hanya diberikan kepada keluarga Besar Serikat Sabda Allah(SVD) di seluruh dunia dan umat Keuskupan Agung Ende tetapi juga umat Katolik seluruh NTT dan Indonesia.

Menurut saya, keterpilihan Mgr. Paul Budi Kleden menjadi Uskup Agung Ende saat ini sangat berbeda dan bernilai spiritualitas yang luar biasa. Karena pengikut St. Arnoldus Jansen ini adalah biarawan/rohaniwan berkharisma yang terkenal di seluruh dunia. 

Foto wajahnya yang terpampang di tiap rumah biara SVD maupun lembaga-lembaga pendidikan dan sosial yang bernaung di bawah Serikat Sabda Allah berada di seluruh dunia.

Pembaca tentu punya pandangan tersendiri tentang aura yang terpancar dari wajah beliau saat melihat fotonya di rumah biara SVD sekitar. Secara kasat mata tentu kita mengamini bahwa ia pantas dan layak dipilih menjadi Uskup Agung Ende.

Selain pandangan pintas di atas, tentu ada berbagai pertimbangan lain beliau dipilih menjadi uskup. Yang paling utama boleh jadi pertimbangan bobot keunikan spiritualitas Serikat Sabda Allah yang dijalankannya selama menjadi biarawan/rohaniwan puluhan tahun dan saat menjadi Superior General SVD di Roma periode 2018-2024. 

Ditambah lagi kepribadian beliau yang bersahaja, rendah hati, cerdas dan telah lama menjadi suri teladan ketaatan bagi segenap konfrater dalam mengarungi hidup di tanah misi dan menjalankan hidup membiara secara benar.

Pertimbangan terakhir tentu saja takhta suci tidak mau melupakan atau menghapus begitu saja jejak dan karya-karya besar Serikat Sabda Allah di tanah Flobamora. 

Karya karya SVD harus dihargai di tanah Flobamora karena fakta menunjukkan bahwa kontribusi besar Serikat Sabda Allah membimbing masyarakat Flobamora melalui karya misi telah membuahkan hasil.

Atas dasar itu maka mutiara terbaik Serikat Sabda Allah seperti Mgr Paul Budi Kleden sangat tepat, pantas dan layak dipilih menjadi uskup. Minimal satu keuskupan. 

Jika merujuk pada preferensi kualitas diri dan jam terbang memimpin sekitar 6.000-an anggota kongregasi Serikat Sabda Allah di seluruh dunia, hampir dipastikan Mgr Paul Budi Kleden ke depan bisa saja menjadi kardinal.

Di sisi lain efek pemilihan beliau secara rohani seperti mengangkat dan memperkuat nilai kekatolikan tanah Flores. Kali ini tampaknya pilihan Allah sama dengan pilihan hati manusia. Doa dan kerinduan akan pemimpin gereja yang tepat didengar Allah. 

Allah telah mendengarkan suara seruan umat akan kehadiran seorang gembala bersahaja yang bisa menjadi jembatan spiritual bagi kelangsungan ziarah jiwa manusia di bumi ini.

Makna Keterpilihan

Panggilan suci Mgr Paul Budi Kleden, SVD menjadi Uskup Agung Ende memperlihatkan bersatunya hubungan yang mendalam antara pilihan Allah dan manusia. Ada empat hal penting dan mendalam memaknai keterpilihan beliau sebagai Uskup Agung Ende.

Pertama, Gereja sejagat saat ini butuh pemimpin yang beriman dan bermoral akibat memanasnya tantangan zaman. 

Di tengah persaingan sengit pencarian pemimpin negara-negara dan daerah di Indonesia khususnya yang mengabaikan aspek iman dan moral, Gereja Katolik tetap konsisten memberi teladan ideal memilih pemimpin hanya bersandar pada kehendak Allah dan berbasis pada prinsip Teokrasi dan Kristokrasi tanpa menginjak-injak iman dan moral.

Legitimasi Teokrasi dan Kristokrasi tentu tidak bergeser dari pemahaman sentral dan hakiki bahwa suara umat tetaplah suara Tuhan. Mekanismenya jelas. 

Umat mempercayakan pelayan terbaik dalam hal ini tahta suci mencari pemimpin sekaligus pelayan menurut ukuran Allah dan ukuran manusia yang kemudian membawa manusia kepada keselamatan dan kemaslahatan rohani dan jasmani.

Tentu saja, Gereja Katolik saat ini "tegas" mencari pemimpin yang mampu memimpin dengan kekuatan iman dan moral. Paus Fransiskus membuktikannya dalam menentukan pemimpin yang bisa merepresentasi kehendak umat. 

Karena pemimpin Gereja dari dahulu telah menjadi teladan bagi umat dan masyarakat luas. Pancaran kepemimpinan dalam gereja harus bisa memberi inspirasi hidup yang berkesan serta mampu mengarahkan umat dan manusia lain mengarungi kehidupan rohani yang benar meneladani sikap kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II.

Ketika pemimpin gereja memiliki kekuatan iman yang kokoh dan ditopang oleh moral yang kuat, maka mereka mampu mengatasi tantangan apa pun seperti yang dialami gereja Katolik saat ini. 

Tentu pemimpin gereja seperti Mgr Paul Budi Kleden SVD bisa mengendalikan situasi gereja lokal dan regional yang terseok-seok akibat gertakan zaman yang menjelma dalam bentuk tantangan dari dalam dan dari luar gereja.

Kedua, pemimpin cerdas. Selain iman dan moral yang kuat, kepemimpinan yang cerdas sangat penting dalam memandu gereja. Visi misi gereja akan terlaksana dengan baik jika pemimpin punya bobot kecerdasan ideal. 

Dalam konteks gereja Katolik, pemimpin yang cerdas tentu saja memahami dinamika sosial, budaya, dan teologi yang berkembang. Sehingga mudah menyelesaikan permasalahan yang ada.

Maraknya persoalan internal yang menghempas kaum klerus belakangan lebih banyak didiamkan begitu saja tanpa menyentuh akar masalah. Hal ini yang kemudian membuat malu gereja dan berdampak secara luas kepada umat. 

Dengan demikian Gereja tentu membutuhkan pemimpin yang cerdas dan tegas mencegah tumbuhnya benalu yang mengganggu kesucian gereja.

Pemimpin yang cerdas dapat merencanakan strategi yang efektif untuk pertumbuhan gereja serta menghadapi berbagai persoalan yang muncul dengan arif dan bijaksana. Dampaknya iman umat akan teguh dan kuat karena ditopang para pemimpin gereja yang handal.

Ketiga, sikap integritas. Kecerdasan saja tidaklah cukup tanpa kekuatan yang berintegritas. Integritas adalah kunci dalam membangun kepercayaan umat dan menghasilkan pengaruh yang positif. 

Pemimpin gereja yang memiliki integritas akan menginspirasi umat dan para rohaniwan untuk mengikuti teladan hidup yang jujur, adil, dan bertanggung jawab. Pemimpin tentu diguguh dan ditiru karena sikap integritasnya.

Pemimpin gereja tidak boleh memiliki "kartu truf keburukan" dalam karya pelayanan karena hal itu menjadi prahara yang tidak terselesaikan dalam mengatasi permasalahan gereja. 

Karena sikap integritas dimiliki uskup, maka dalam membimbing kaum biarawan dan umat tentu tidak pilih kasih dan dilematis dalam menindak tegas hal-hal yang bertentangan dengan ajaran iman dan prinsip hidup bergereja.

Keempat, kekuatan fisik dan mental. Hal ini juga diperlukan dalam kepemimpinan gereja yang efektif. Pemimpin yang kuat dan sehat secara fisik mampu menanggung beban fisik dalam pelayanan gereja. 

Pemimpin harus sehat. Sementara kekuatan mental membantu pemimpin menghadapi tekanan dan tantangan yang kompleks yang berasal dari umat maupun dari para rohaniwan.

Ketika semua elemen ini bersatu dalam kepemimpinan gereja, hasilnya adalah sebuah komunitas gereja yang kuat, bersemangat, dan berdampak positif dalam masyarakat. 

Gereja yang dipimpin oleh pemimpin yang bermoral, beriman, kuat, cerdas, dan berintegritas tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat pengembangan spiritual, pelayanan sosial, dan penyemangat bagi orang-orang di sekitarnya.

Saya yakin gambaran pelayanan Pastoral Keuskupan Agung Ende akan menjadi teladan bagi keuskupan lainnya ketika dipimpin oleh Mgr Paul Budi Kleden, SVD sehingga Keuskupan Agung Ende menjadi sumber belajar bagi keuskupan lainnya dalam menangani berbagai permasalahan yang dihadapi gereja. 

Saya yakin reksa pastoral Keuskupan Agung Ende ke depan sangat berbeda dan tentu reksa pastoral itu dinantikan oleh umat di keuskupan lain. Profisiat Mgr Paul Budi Kleden, SVD. 

Sumber: Pos Kupang


Drama Uang Sekolah



Mirip drama dengan klimaks yang mudah ditebak. Lepas isu panas sekadar tes ombak. Kalau bergolak riuh bos turun tangan. Bila adem ayem ya jalan terus.

Begitulah penggalan cerita tentang kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri. 

Hampir sebulan uang sekolah menjadi buah bibir masyarakat dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote karena angka kenaikannya dipandang tidak wajar. Mencekik leher.

Betapa tidak. Di tengah gejolak ekonomi bangsa ini  yang tak kunjung membaik sejak dihajar pandemi Covid-19, perguruan tinggi negeri ramai-ramai meminta persetujuan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim untuk menaikkan UKT.

Angka kenaikan UKT yang diusulkan bervariasi. Tetapi secara umum mengalami peningkatan signifikan. Setiap perguruan tinggi negeri menyampaikan alasan mereka masing-masing. 

Riuh rendah suara protes di berbagai penjuru negeri. Ada pula yang turun beraksi lewat demo meskipun berskala sedang.

Cukup lama pemerintah diam seribu bahasa. Tak merespons gejolak UKT. Akhir cerita terjadi di hari Senin 27 Mei 2024. Setelah memenuhi panggilan Presiden RI Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Nadiem Makarim mengumumkan kenaikan UKT batal.

"Kami telah mengambil keputusan untuk membatalkan kenaikan UKT di tahun ini dan kami akan merevaluasi semua permintaan kenaikan UKT dari perguruan tinggi negeri," kata Nadiem.

Nadiem mengatakan keputusan membatalkan kenaikan UKT diambil setelah pihaknya mendengar aspirasi masyarakat, mahasiswa, dan keluarga. Menurut Nadiem, kenaikan UKT harus mempertimbangkan asas keadilan. 

"Sekali lagi terima kasih kepada seluruh unsur masyarakat, mahasiswa, para rektor dan lainnya yang memberikan kita berbagai macam masukan," ujarnya.

Kita mengapresiasi keputusan pemerintah meski disertai pertanyaan mengapa sangat lama baru memutuskan? Kuat kesan pemerintah melempar wacana tersebut untuk mengecek reaksi masyarakat. 

Kalau mereka diam-diam saja berarti jalan terus. Padahal pemerintah pun  tahu kondisi ekonomi saat ini. Tega nian.

Setelah Nadiem ketok palu, masyarakat dan para wakil rakyat di Senayan hendaknya tidak tinggal diam. Kawal terus agar tidak muncul drama berikutnya. 

Jangan-jangan hanya soal waktu. Kenaikan UKT akan terjadi juga. Mungkin dalam waktu dekat. Tak ada yang tahu pasti.

Tuan dan puan juga beta prinsipnya tidak menolak kenaikan uang kuliah di perguruan tinggi negeri. Silakan naik asal wajar dan mempertimbangkan asas  keadilan dan kondisi sosial ekomi masyarakat seperti dikatakan Mendikbudristek sendiri. 

Kecemasan terbesar kita adalah komersialisasi pendidikan itu nyata, bung! Bahkan makin menyala di banyak tempat di persada Nusantara.  (dion db putra)

Sumber: Pos Kupang

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes