Ini Baru Budi


Paul Budi Kleden, SVD (kiri)

Oleh: Robert Bala

Penulis buku Homili yang Memikat, Prolog oleh P. Paul Budi Kleden, SVD (Penerbit Ledalero, Maret 2024)

Pengumuman P. Paul Budi Kleden SVD sebagai Uskup Keuskupan Agung Ende mengejutkan. Mengapa?

Karena sebagai pimpinan tertinggi SVD, Budi semestinya meneruskan ‘tradisi’ Provinsi Gerejawi Nusa Tenggara (mencakup keuskupan Larantuka, Ende, Weetebula, Ruteng, Denpasar, Kupang, dan Atambua) untuk hanya memilih imam projo.

Itulah tradisi sejak Uskup Longginus da Cunha (1996), Uskup Turang (1997), Uskup Benyamin Bria (2000), Uskup Frans Kopong Kung (2002), Uskup Visen Sensi (2007), Uskup Domi Saku (2007), Uskup Silvester San (2008), Uskup Sipri (2019) dan yang terakhir Uskup Pakaenoni (2024) semuanya imam projo.

Logikanya, Ende sebagai Keuskupan Agung harusnya meneruskan ‘tradisi’ memilih salah seorang imam projo, apalagi Uskup Longginus dan Sensi sebelumnya juga imam projo.

Umat Gereja Nusa Tenggara rasanya sudah terima kenyataan. Hal ini bukan karena gereja lokal lupa akan SVD sebagai wilayah ‘SVD’. Pada masanya, semua uskup di wilayah ini adalah SVD (bukan yang lain).

Tetapi SVD Nusa Tenggara kemudian menafsir dan menerapkan secara konsekuen konstitusi SVD no 102 yang berbunyi: ... Kita bekerja pertama-tama dan terutama di tempat-tempat Injil belum sama sekali atau belum cukup diwartakan, dan di tempat-tempat Gereja lokal belum sanggup hidup dengan kekuatan sendiri. Tugas-tugas yang lain harus diarahkan kepada tujuan-tujuan utama ini.”

Di sinilah awal ‘minggirnya’ SVD karena merasa gereja lokal sudah bisa hidup dengan kekuatan sendiri oleh telah hadirnya imam projo berkualitas. Jabatan uskup menjadi salah satu konsekuensi.

Lalu mengapa praktik yang sudah diterapkan 37 tahun (sejak penahbisan Mgr Hilarius Moa Nurak, SVD tahun 1987, kini harus kembali lagi? Apakah itu berarti SVD ‘mengambil alih’ jabatan uskup yang selama ini ‘dipinjamkan sementara ’ ke imam projo?

Pendapat seperti ini sah-sah saja. Terpilihnya P. Paul Budi Kleden SVD yang juga superior Jenderal tentu bukan sekadar ‘mengambil jatah yang selama ini sudah ditinggalkan SVD? Apakah hal ini bisa memunculkan ‘kecemburan’ terutama antar imam projo yang merasa jatahnya diambil?

Bisa dipastikan para imam Keuskupan Agung Ende, saat mendengar nama Pater Budi disebutkan, mereka malah bersujud mencium tanah Ende-Lio, Ngada, dan Nagekeo.

Sementara umat terutama dari generasi di atas 50 tahun kalau ada yang bingung pun, mereka pun tidak kehilangan akal karena dengam mudah mengingat figur: Wati, Iwan, dan terutama Budi.

Di sana nama Wati sang kakak dan Iwan sang adik rasanya hanya pelengkap untuk menggambarkan bahwa figur sentral adal di frase ini: Ini Budi, Ini Ibu, Bapak, Kakak, Adik Budi.

Tetapi ada yang jauh lebih penting. Budi adalah sebuah nama yang yang terpilih dari total 5.754 anggota SVD saat ini (Catalogus 2024) di seluruh dunia.

Kalau masih belum lengkap, jumlah itu tersebar di 80 negara dari lima benua. Dengan demikian kalau kini Budi jadi pimpinan tertinggi, maka ia sungguh merupakan ‘personaje’ (karakter) kata orang Spanyol.

Sebuah karakter yang tidak saja tiba-tiba ‘turun dari atas’ tapi bertumbuh dan berkembang dari bawah. Kalau pun ‘ditracing’ (dilacak), kemungkinan menemukan celah hidup pada perjalanan hidup pria kelahiran Waibalun 16 November 1965 itu sangat kecil.

Karena itu keterpilihan Budi menimbulkan kecil kemungkinan untuk ditolak. Malah yang akan terjadi adalah munculnya rasa cemburu dan iri hati, terutama Keuskupan Larantuka yang tentu sedang menyiapkan kadernya menggantikan Uskup Frans Kopong Kung.

Budi’s Effect

Daripada berkutat pada iri hati, pertanyaan yang jauh lebih penting: apa yang menjadi ‘budi’s effect’ atau efek yang bisa hadir dengan terpilihnya doktor Teologi Dogmatik dari Universitas Albert Ludwig Freiburg Jerman ini sebagai Uskup Agung?

Pertama, keterpilihan Superior Jenderal SVD ke-12 menjadi Uskup Agung merupakan sebuah hal baru dari Superior Jenderal SVD selama ini. Dari 12 Superior Jenderal SVD sejak Santo Arnoldus Janssen, baru P. Paul Budi Kleden, SVD yang terpilih langsung menjadi Uskup.

Memang ada anggota Dewan Jenderal seperti Leo Cornelio SVD yang terpilih jadi uskup tahun 1999 di Khandwa dan kemudian Uskup Agung Bhopal, India (2007).

Tetapi Budi Kleden menjadi superior Jenderal pertama terpilih sebagai uskup Agung, Ini sesuatu yang ‘fenomenal’. Di sini terbukti lagi bahwa Keuskupan Agung Ende sangat berbangga memiliki Budi sebagai uskupnya dan bisa berkata: Ini Baru Budi.

Kedua, keterpilihan SVD kembali menduduki jabatan Uskup merupakan tafsiran yang tepat terhadap kemandirian gereja lokal. Semua imam baik projo maupun dari kongregasi yang ada di sebuah keuskupan merupakan elemen konstitutif dari gereja lokal.

Karena itu umat yang ada di wilayah itu berhak untuk mendapatkan kandidat terbaik sebagai uskup, entah imam projo ataupun biarawan dari aneka kongregasi. Figur terbaik, siapapun dia, diharapkan dapat memaknai tantangan gereja yang semakin konmpleks.

Dengan ini juga tidak berarti praktik selama 40 tahun terakhir yang hanya memberi ruang bagi imam projo sebagai praktik tak lazim. Ia bisa disebut sebuah keberanian yang patut diapresiasi.

Namun itu tidak berarti setelah periode tertentu perlu dikoreksi dan secara fleksible membuka tafsiran lain hal mana terjadi dengan penunjukkan Pater Paul Budi Kleden sebagai Uskup Agung kini dan diharapkan akan menjadi peluang baru dalam mencari figur untuk menjadi Uskup Larantuka dan mungkin Labuan Bajo.

Ketiga, keterpilihan P. Budi Kleden, SVD memunculkan efek yang jauh lebih menarik untuk diterawang.

Terlalu berlebihan untuk menilai bahwa penunjukkan Budi sebagai Uskup Agung Ende memiliki target untuk kepemimpinan yang jauh lebih dari itu baik di level KWI, jadi Kardinal, dan mengapa tidak untuk menjadi pemimpin gereja universal kelak?

Ini bisa saja disebut harapan terlalu jauh dan berlebihan. Tetapi kefasihan Budi berbahasa Jerman, Inggris, Spanyol, dan Italia (sepeti bahasa sendiri) bukankah ini menunjukkan bahwa ke depannya Budi akan lebih mudah berkomunikasi di Gereja universal? Ah, ini hanya harapan.

Tapi kalau ingat kata-kata dari Aristoteles bahwa harapan merupakan mimpi yang terjaga (Hope is a waking dream), maka mari kita jaga mimpi ini. Kalau pun terjadi, maka itu hanya tambahan.

Yang pasti, kita menyertai P. Budi untuk memulai langkah ini dari Ende, tempat Sukarno juga memulainya di sini.

Kita pun berharap, jangan-jangan efek Sukarno yang bisa juga jadi efek Budi? Kita doakan saja agar langkah awal ini kemudian mendatangkan decak kagum: Ini (Baru) Budi. (*)

Sumber:  Pos Kupang

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes