Hidup di Bumi yang Makin Panas

WARGA Kota Ende menjerit di penghujung November. Suhu kota ini sungguh menikam ubun, membakar kulit dan mendidihkan dada. Di tengah krisis air yang mendera mereka sejak awal September 2011, suhu udara rata-rata 35-37 derajat Celcius sungguh membuat hidup jauh dari rasa nyaman. Tidur tak nyenyak. Makan pun tak berselera.

Ya, mereka hidup di kota yang panas. Bahkan panas luar biasa. Jauh berbeda dibanding kondisi lima atau sepuluh tahun silam. Ende, kota yang diapit empat gunung menjulang, Kengo, Wongge, Iya dan Meja biasanya tidak terlalu panas seperti Kota Maumere atau Kupang. Kota ini bersuhu sedang. Tapi kini justru di akhir November yang mestinya sudah masuk musim baru, suhu udara malah semakin tak bersahabat. Hujan tak kunjung datang. Entah sampai kapan.

Terik mentari menikam ubun kiranya bukan hanya menimpa warga Kota Ende semata. Anda yang berdomisili di Kupang, Maumere, Larantuka, Kalabahi, Atambua, Waingapu dan Ba’a dan kota lainnya pasti merasakan kegerahan yang sama dan sebangun. Kita hidup di bumi makin panas. Bumi yang menjerit krisis air, pangan dan energi tiada henti. Kalau hari ini sudah sepanas itu, bagaimana kondisi dua puluh atau lima puluh tahun ke depan? Kita bisa membayangkan sendiri situasinya. Kasihan anak cucu kita.

Begitulah iklim yang telah berubah drastis. Seperti telah diungkapkan beribu kali oleh banyak tokoh, mulai dari ilmuwan sampai tokoh agama dan pemimpin negeri, iklim yang berubah sangat buruk itu akibat ulah manusia sendiri. Bumi adalah rumah hunian kita, tetapi di antara makhluk hidup di bumi ini, manusia paling rakus dan pongah. Manusia angkuh dan serakah mengeksploitasi sumber daya alam dan lingkungannya.

Dulu negeri kita dikenal sebagai paru-paru dunia karena hutan tropisnya yang maha luas di berbagai pulau besar maupun kecil. Namun, wikipedia Indonesia mencatat berdasarkan data Bank Dunia sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan tinggal sekitar 20 juta hektar hutan produksi yang tersisa.
Hilangnya hutan akibat penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum dan pemutihan kayu di luar kawasan tebangan.

Menurut data Kementerian Kehutanan RI tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia. Laju deforestasi (kerusakan hutan) rata-rata 2,83 juta hektar per tahun. Dan, sebagian besar deforestasi itu akibat sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi.

Menebang pohon adalah pekerjaan enteng. Dengan gergaji mesin cuma butuh beberapa menit untuk menumbangkan sebatang pohon yang telah berusia puluhan bahkan ratusan tahun. Yang sulit adalah menanam kembali. Pemerintah RI lewat Kementerian Kehutanan serta berbagai instansi formal telah berkali-kali menggelorakan gerakan menanam pohon. Beberapa tahun lalu kita kenal Gerakan Nasional Menanam Sejuta Pohon. Tahun ini lagi-lagi kita mendengar gerakan yang lebih heboh yaitu Menanam Satu Miliar Pohon.

Sejuta pohon atau satu miliar pohon hendaknya dimengerti sebagai angka imajiner. Pemerintah memiliki pesan mendalam di balik gerakan tersebut yaitu mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menanam pohon sebagai bagian dari keseharian hidupnya. Anda jangan hanya gesit memotong, tetapi piawai juga menanam kembali. Kalau setiap rumah tangga di negeri ini menanam satu pohon saja di pekarangan rumah atau di lahan yang kosong, maka impian sejuta pohon bukanlah sesuatu yang muskil.

Dua hari yang lalu, Wakil Gubernur NTT, Ir. Esthon L Foenay, M.Si memimpin aparat Pemerintah Propinsi NTT dan Kota Kupang menanam pohon di kawasan Loti, Kelurahan Fatukoa, Kota Kupang. Kegiatan tersebut menandai dimulainya Gerakan Menanam Satu Miliar Pohon tingkat Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Baik adanya melihat aparatur pemerintah memberikan contoh tentang budaya menanam pohon. Cuma kita tidak lupa pengalaman masa lalu. Gebyar menanam hanya pada saat gerakan itu dikumandangkan. Seiring perjalanan waktu, pohon yang ditanam merana mati karena tidak disiram dan dirawat. Kegagalan proyek penghijauan di wilayah NTT bukan kabar baru.

Kita tidak mau pengalaman buruk itu terulang. Menaman mesti diikuti dengan menyiram dan merawat sampai pohon itu tumbuh berkembang. Juga disertai pengawasan agar orang tidak mudah memotong pohon sesuka hati. Kalau kita mendambakan bumi yang lebih adem, suhu udara yang nyaman dan sehat, maka gerakan menanam pohon harus menjadi kebiasaan baru dalam hidup yang bermartabat. Siapa menanam, dia akan menuai. Siapa malas menanam, siap-siaplah untuk hidup di bumi yang makin panas dan gersang. Kira-kira begitulah. *

Pos Kupang, 30 November 2011 hal 4

Mgr. Donatus Djagom, SVD: Masih Semangat Bicara Sepakbola

Uskup Donatus (kiri) di Ndona, 25-11-2011
INGATAN Yang Mulia memang tidak sejernih dulu. Maklum faktor usia serta kondisi kesehatan yang agak menurun setahun terakhir. Untuk menyegarkan ingatannya, mudah saja resepnya. Ajak Yang Mulia bicara soal sepakbola. So pasti dia penuh semangat mengisahkan masa jayanya ketika studi di Belanda serta hobinya bermain bola guna menjaga kebugaran tubuh.

Tokoh yang sangat kuat ingatannya soal sepakbola itu adalah Uskup Emeritus Mgr. Donatus Djagom, SVD. Tahun ini Yang Mulia berusia 93 tahun. “Tak menyangka.” Cuma kalimat itu yang diungkapkan Uskup Donatus Djagom kepada Pos Kupang yang menemuinya di Lembaga Pendidikan Remaja Biara Susteran CIJ di Kawasan Istana Keuskupan Agung Ende di Ndona, Jumat (25/11/2011). Uskup Emeritus ketika itu didampingi Romo Efraim Pea, Pr.

Rm. Efraim Pea mengatakan, Uskup Donatus telah berada di biara tersebut sejak bulan April 2011. Menurut Rm.Efraim Pea, Uskup Donatus sakit sehingga Uskup Agung Ende, Mgr. Vinsensius Sensi Potokota, Pr menjemput beliau dari Ranggu, Manggarai ke Ndona untuk perawatan. Sakit yang diderita telah diobati, namun karena faktor usia Uskup Donatus tidak bisa berjalan normal lagi.

Menurut Rm. Efraim, ingatan Uskup Donatus cenderung melemah, namun beliau penuh semangat berceritera jika ingatannya sesekali muncul. Beliau sangat antusias menceritakan pengalamannya bermain bola di Belanda saat studi di sana. Kaki kanan Uskup Donatus selalu menghasilkan gol, meski tendangan dari jarak jauh. Uskup Donatus juga sering bercerita tentang Vatikan dan pengalaman berkesan setiap kali bertemu Sri Paus di Vatikan. Selama menjadi Uskup Agung Ende, Uskup Donatus bertemu Sri Paus secara langsung di Roma sebanyak lima kali.

Romo Efraim Pea mengatakan, soal resep panjang umur, Uskup Donatus selalu berkata, hal pertama yang tidak dilupakan adalah doa. Kemudian bersikap jujur serta tidak menyusahkan hidup orang lain. Ungkapan lain yang sering disampaikan Uskup Donatus adalah “tak menyangka”. Tak menyangka ia bisa menjadi Uskup Agung Ende dan tak menyangka usianya bisa setua kini.

Seperti disaksikan Pos Kupang, Uskup Donatus duduk di atas kursi roda. Matanya lebih banyak tertutup. Kedua tangannya terus terkatup seperti orang sedang berdoa. Ingatannya muncul-tenggelam. Sesekali merespons pembicaraan orang lain dan mengumbar senyum kebapaan.

Salah seorang anak yang mendampingi Uskup Donatus, Erik Djo mengungkapkan, beliau langsung berdoa setelah bangun tidur pagi. Demikian pula malam hari sebelum tidur. Beliau juga suka berjemur matahari. Menu santapan pagi Uskup Donatus berupa biscuit dengan air putih. Siang makan sedikit nasi, sayur dan lauk. Demikian juga pada malam hari.

Mgr. Donatus Djagom, SVD adalah Uskup Agung Ende selama dua puluh delapan tahun yaitu dari tahun 1968 hingga 1996. Uskup Donatus menggantikan Mgr. Gabriel Wilhelmus Manek, S.V.D. Donatus Djagom memimpin Keuskupan Agung Ende sejak tanggal 19 Desember 1968 hingga pensiun pada 23 Februari 1996. Pemimpin Tahta Suci kemudian mengangkat Mgr. Longinus da Cunha, Pr sebagai pengganti beliau. Uskup Longinus memimpin keuskupan itu sejak 23 Februari 1996 hingga wafat pada 6 April 2006.

Keuskupan Agung Ende meliputi tiga kabupaten yaitu Ende, Ngada dan Nagekeo. Keuskupan Agung Ende merupakan tahta metropolitan dari empat keuskupan sufragan yaitu keuskupan Denpasar, Larantuka, Maumere dan Ruteng.

Kami Memberitakan Kristus yang Disalibkan (1 Kor 1 : 23). Itulah motto Mgr. Donatus Djagom, SVD saat diangkat menjadi Uskup Agung Ende.Uskup Donatus lahir pada tanggal 10 Mei 1919 di Ranggu, sebuah desa kecil dan subur di Manggarai, Flores Barat.

Dalam buku Kenangan 75 tahun Paroki Kristus Raja Ende dikisahkan, setamat dari Seminari Mataloko, Donatus masuk Novisiat SVD dan melanjutkan studi filsafat di Seminari Tinggi Ledalero. Sesudah perang dunia II Donatus melanjutkan studi teologi di Seminari Tinggi SVD di Teteringen, Belanda dan ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 28 Agustus 1949.

Donatus kemudian studi lanjut di Universitas San Carlos, Cebu-Filipina dan sekembali dari sana diangkat menjadi Rektor SMAK Syuradikara-Ende, merangkap sebagai Asisten atau Wakil Regional SVD Ende hingga akhirnya diangkat menjadi Uskup Agung Ende.

Uskup Donatus terhitung sebagai Uskup Agung Ende kedua sejak Gereja Katolik Indonesia berbentuk hirarki sendiri. Uskup Donatus menggantikan Uskup Gabriel Manek, SVD, beliau memimpin pada masa kehidupan menggereja menapaki tahap pengakaran dan pendalaman iman. Dalam masa kepemimpinannya, terjadi perkembangan dan kemajuan yang amat pesat dalam segala bidang, baik iptek, komunikasi dan informasi, ekonomi dan sosial-politik serta pendidikan dan kebudayaan. Semua faktor tersebut memberikan dampak dan sumbangan yang tidak kecil pada pertumbuhan dan pendewasaan iman umat dan kehidupan menggereja umumnya.

Setelah pensiun dari uskup tahun 1996, Uskup Emeritus Donatus Djagom minta kembali ke kampung halamannya di Ranggu, Manggarai. Uskup Donatus menikmati hari tuanya dengan keluarganya di desa kecil yang subur itu. Meski telah pensiun sebagai seorang uskup, namun Yang Mulia tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang gembala umat. (okto manehat)

Pos Kupang, Selasa 29 November 2011 halaman 11

Ikhwal Korupsi di Kabupaten Ende

ilustrasi
TENTANG Kabupaten Ende, ingatan kolektif kita hari-hari ini tidak sekadar keindahan danau Tri Warna Kelimutu, pisang beranga yang gurih atau ubi Nuabosi yang nikmat tiada tara. Dari Kabupaten Ende baru saja kita mengecapi warta penegakan hukum dalam kasus korupsi APBD yang melibatkan mantan pejabat tinggi daerah tersebut.

Hari Selasa, 8 November 2011, mantan Sekretaris Kabupaten (Sekab) Ende, Drs. Iskandar Mberu akhirnya menyerahkan diri kepada aparat Kejaksaan Negeri (Kejari) Ende. Hari itu juga Iskandar masuk Lembaga Pemasyarakatan (LP) Ende.

Iskandar sempat masuk daftar pencarian orang (DPO) Kejari Ende setelah gagal dieksekusi jaksa di rumahnya pada Kamis (3/11/2011). Selama lima hari informasi tentang keberadaan Iskandar Mberu simpang-siur.

Iskandar Mberu mesti masuk penjara karena permohonan kasasinya ditolak Mahkamah Agung (MA) RI. MA memutuskan Mberu terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana secara bersama-sama dan berkelanjutan dalam perkara korupsi dana APBD Kabupaten Ende tahun 2005 dan 2008 sebesar Rp 3,5 miliar. Iskandar dihukum selama 5 tahun 6 bulan, dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Sejak awal proses hukum kasus ini menarik perhatian yang sangat besar dari masyarakat Kabupaten Ende serta NTT karena melibatkan dua mantan pejabat. Selain Iskandar, kasus ini pun melibatkan mantan Bupati Ende, Drs. Paulinus Domi (terakhir menjabat anggota DPRD NTT) dan pengusaha Samuel Matutina. Setelah divonis bersalah di pengadilan negeri, baik Mberu, Domi maupun Matutina mengajukan upaya hukum banding hingga kasasi.
Paulinus Domi yang diputus 2,6 tahun pidana penjara oleh MA telah menjalani hukuman di LP Kupang sejak Juni 2011, sedangkan Samuel yang divonis 4 tahun penjara masih menunggu putusan MA.

Pidana penjara bagi Iskandar Mberu dan Paulinus Domi menebarkan eksptektasi yang tinggi terhadap penegakan hukum kasus korupsi di Kabupaten Ende serta Nusa Tenggara Timur (NTT) pada umumnya. Ya, sudah seharusnya demikian. Hukum tidak memandang bulu. Siapa pun yang bersalah, siapa pun yang mencuri uang negara dia wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.

Saat ini penyidik Polres Ende mengusut kembali kasus dugaan korupsi dana APBD pada dua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Ende, yakni Dinas Perhubungan (Dishub) dan Bagian Umum Setda Ende tahun 2002 dan 2003. Menurut Kapolres Ende, AKBP Musni Arifin, SIK, tiga calon tersangka sudah di kantong polisi. Dugaan korupsi pada dua SKPD tersebut terkait proyek pengadaan alat uji kendaraan bermotor. Menurut hasil audit BPKP, kerugian negara mencapai Rp 374 juta lebih.

Kita tentu saja mendukung langkah kepolisian membuka kembali kasus yang sudah berusia hampir sepuluh tahun itu. Selama masih dimungkinkan pengusutan oleh ketentuan hukum positif di negeri itu, polisi harus jalan terus. Hukum tidak memandang bulu. Pejabat daerah sekelas bupati saja dihukum, apalagi di level berikutnya. Mereka yang dulu bertanggungjawab terhadap proyek bernilai miliaran rupiah tersebut perlu diusut sekalipun telah pensiun sebagai pegawai negeri. Pensiun bukan alasan bebas dari jeratan hukum.

Selain kasus dugaan korupsi di Dinas Perhubungan, aparat Kejaksaan Negeri Ende telah menemukan indikasi korupsi dana penanggulangan bencana alam di Kabupaten Ende tahun 2010. Menurut Kejari Ende, Adianto, S.H, banyak orang penting di Ende yang kebakaran jenggot karena keterlibatan mereka dalam kasus ini. "Saya sudah punya bukti kuat siapa-siapa yang terlibat,” kata Adianto, Selasa (8/11/2011).

Semakin banyak kasus korupsi diproses hukum, semakin baik manfaatnya bagi semua. Kita harapkan aparat penegak hukum di Ende tidak sekadar gertak sambal. Juga tidak memilih strategi tebang pilih. Kalau mau melibas koruptor, libas saja semuanya. Kita tunggu keseriusan polisi dan jaksa memberantas praktik korupsi yang menciptakan penderitaan bagi masyarakat. Sekali lagi hukum tidak memandang bulu!

Pos Kupang, 17 November 2011 halaman 4

FA Sungkono: Baktinya Untuk Pendidikan

FS Sungkono dan istri Martha Fernandez
RUMAH permanen berteras mungil di Jalan Kelimutu-Ende tampak asri. Rumah ini semakin memanjakan mata karena di halaman depan dihiasi beraneka bunga. Sore itu, Selasa (15/11/2011), seorang kakek berada di taman depan rumah. Dia sedang mengamati bunga satu persatu.

Kakek yang masih awet dan bugar itu mengenakan baju warna putih abu-abu dipadu celana biru. Ketika Pos Kupang menyapanya, pria berusia 81 tahun itu langsung merespon dengan melangkah ke arah pagar. “Damy Godho itu murid saya,” tuturnya spontan ketika Pos Kupang memperkenalkan diri. Kakek ini langsung membuka pintu pagar dan mengajak Pos Kupang ke teras rumah.

“Damy Godho itu murid saya di SGA Ndao. Dia berasal dari Flores tengah, Boawae. Saat Damy tamat SGA, dia ajak saya bersama sejumlah temannya ke kampungnya. Dia potong seekor babi. Kita pesta, makan satu setengah hari tidak habis,” kata Fransiskus Asisi (FA) Sungkono sambil mengumbar tawa.
Suami Maria Martha Fernandez ini kemudian mengisahkan perjalanan hidupnya sebagai guru. Menurut Sungkono, setamat dari Sekolah Guru Atas (SGA) Malang tahun 1951, dia dibujuk pimpinan Frater Bunda Hati Kudus (BHK) untuk berangkat ke tanah misi. Tanah misi yang dimaksud adalah Ende di Pulau Flores, NTT.

Tiba di Ende tahun 1951, pria kelahiran Wonosobo, 4 September 1930 tersebut menjalani tugas sebagai pengajar di SMPK Ndao asuhan Frater BHK. Guru SMP Ndao saat itu adalah frater-frater asal Belanda dan dua guru pribumi, yaitu LE Monteiro dan Hendrikus Frederico. Keduanya tamat dari Muntilan.

Di SMPK Ndao, Sungkono yang baru berusia 21 tahun diberi tugas mengajar sejumlah mata pelajaran, mulai dari palajaran jasmani (olahraga), aljabar, ilmu ukur hingga sejarah. Sungkono terkesan mengajar sejarah karena sejarah Indonesia belum dikenal secara luas di Flores. Sungkono pun piawai mengajarkan lagu-lagu nasional dan lagu kebangsaan Indonesia Raya karya WR Supratman.

Menurut Sungkono, statusnya saat mengajar di SMPK Ndao adalah tenaga subsidi yang diangkat pemerintah Indonesia. Selain SMPK Ndao, Sungkono juga mengajar SGA Ndao yang saat itu baru dibuka. Berbekal ilmu dari perguruan tinggi olahraga di Surabaya, Sungkono muda juga membuka Kantor Inspeksi Pendidikan Jasmani. Pemerintah mengembangkan jadi beberapa bidang, yakni pendidikan masyarakat, pendidikan jasmani dan pendidikan kebudayaan.

Kantor inspeksi selanjutnya berkembang menjadi kantor perwakilan Departemen Olahraga. Tugas Sungkono saat itu membuka Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA) Negeri. Lokasi sekolah di Pasar Senggol atau Pasar Potulando-Ende saat ini. “Pasca gempa ketika itu pemerintah bangun gedung pasar. Karena belum dipakai, kita pakai untuk SMOA,” ungkapnya.

Pendiri SMP Nur Jaya Ende ini juga berperan besar saat mendirikan SMPP (Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan) Ende tahun 1977. Pada tahun 1980-an, SMPP telah berganti nama menjadi SMAN 1 Ende di Jalan Wirajaya.
Setelah malang melintang sebagai seorang praktisi pendidikan yang sarat pengalaman sebagai guru, Sungkono dipercayakan pemerintah menempati posisi struktural yaitu Kepala Kantor Departemen (Kandep) Pendidikan dan Olaharaga Kabupaten Ende pada tahun 1977.

Setelah mengabdikan diri di Ende, FA Sungkono ditarik Pemerintah Propinsi NTT ke Kupang menjadi Koordinator Pengawas (Korwas) pada Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi NTT hingga memasuki masa pensiun tahun 1990.

Sungkono bangga melihat perkembangan dunia pendidikan masa kini. Fasilitas dan sarana pendidikan sudah berkembang maju bahkan sampai di pelosok desa. Namun, di balik kemajuan itu dia melihat ada sesuatu yang perlu dibangun kembali yakni komitmen pelaku pendidikan memfokuskan diri secara total. Pergantian kelewat sering pejabat di bidang pendidikan menjadi masalah tersendiri. Demikian juga godaan bagi seorang guru bermain di area politik.

“Ada yang ingin jadi bupati, ada yang ingin jadi DPR atau DPRD. Mengakibatkan spirit sebagai pendidik yang melekat dalam dirinya menjadi bias,” demikian ayah empat anak ini.

Sungkono mengkritisi peran orangtua. Menurut dia, ada salah kaprah soal perhatian terhadap anak dalam proses belajar. “Saya melihat kebanyakan orang tua kita beri perhatian terhadap anak sekolah dengan mencari duit untuk memenuhi kebutuhan yang anak minta. Bagaimana perkembangan psikologi anak kurang diperhatikan,” jelas Sungkono.

Mengenai program Gong Belajar yang dicanangkan Pemerintah Propinsi NTT, antara lain dengan asramakan anak sekolah, Sungkono mengatakan asrama tidak wajib diterapkan pasa masa sekarang. Kalau dulu diasramakan karena sekolah masih terbatas dan di sekitar sekolah tidak ada kos-kosan seperti saat ini. Program itu bisa sukses jika semua pihak menjalankan perannya secara baik.

Khusus tentang kehadiran Perguruan Tinggi (PT) di Kota Ende yang jumlahnya makin banyak, Sungkono mengatakan, itu tanda kemajuan. Tetapi harus diatur secara baik oleh pemerintah agar kualitasnya terjaga. Legalitas dan akreditasi dari sebuah PT harus diutamakan.

“Intinya banyak perguruan tinggi tidak menjadi masalah, tetapi outputnya harus bisa bersaing dalam dunia begitu kompetitif,” tandasnya. Begitulah pandangan Sungkono. Darma baktinya demi kemajuan pendidikan dan olahraga di Kabupaten Ende tak diragukan oleh siapapun. Sampai hari ini. (okto manehat)

Data Diri
Nama: Fransiskus Asisi Sungkono
Lahir: Wonosobo, 4 September 1930
Isteri: Martha Fernandez
Anak :
1. Nuri Sungkono
2. Ati Sungkono
3. Santi Sungkono
4. Yoyo Sungkono

Pos Kupang, 18 November 2011 halaman 13
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes