FA Sungkono: Baktinya Untuk Pendidikan

FS Sungkono dan istri Martha Fernandez
RUMAH permanen berteras mungil di Jalan Kelimutu-Ende tampak asri. Rumah ini semakin memanjakan mata karena di halaman depan dihiasi beraneka bunga. Sore itu, Selasa (15/11/2011), seorang kakek berada di taman depan rumah. Dia sedang mengamati bunga satu persatu.

Kakek yang masih awet dan bugar itu mengenakan baju warna putih abu-abu dipadu celana biru. Ketika Pos Kupang menyapanya, pria berusia 81 tahun itu langsung merespon dengan melangkah ke arah pagar. “Damy Godho itu murid saya,” tuturnya spontan ketika Pos Kupang memperkenalkan diri. Kakek ini langsung membuka pintu pagar dan mengajak Pos Kupang ke teras rumah.

“Damy Godho itu murid saya di SGA Ndao. Dia berasal dari Flores tengah, Boawae. Saat Damy tamat SGA, dia ajak saya bersama sejumlah temannya ke kampungnya. Dia potong seekor babi. Kita pesta, makan satu setengah hari tidak habis,” kata Fransiskus Asisi (FA) Sungkono sambil mengumbar tawa.
Suami Maria Martha Fernandez ini kemudian mengisahkan perjalanan hidupnya sebagai guru. Menurut Sungkono, setamat dari Sekolah Guru Atas (SGA) Malang tahun 1951, dia dibujuk pimpinan Frater Bunda Hati Kudus (BHK) untuk berangkat ke tanah misi. Tanah misi yang dimaksud adalah Ende di Pulau Flores, NTT.

Tiba di Ende tahun 1951, pria kelahiran Wonosobo, 4 September 1930 tersebut menjalani tugas sebagai pengajar di SMPK Ndao asuhan Frater BHK. Guru SMP Ndao saat itu adalah frater-frater asal Belanda dan dua guru pribumi, yaitu LE Monteiro dan Hendrikus Frederico. Keduanya tamat dari Muntilan.

Di SMPK Ndao, Sungkono yang baru berusia 21 tahun diberi tugas mengajar sejumlah mata pelajaran, mulai dari palajaran jasmani (olahraga), aljabar, ilmu ukur hingga sejarah. Sungkono terkesan mengajar sejarah karena sejarah Indonesia belum dikenal secara luas di Flores. Sungkono pun piawai mengajarkan lagu-lagu nasional dan lagu kebangsaan Indonesia Raya karya WR Supratman.

Menurut Sungkono, statusnya saat mengajar di SMPK Ndao adalah tenaga subsidi yang diangkat pemerintah Indonesia. Selain SMPK Ndao, Sungkono juga mengajar SGA Ndao yang saat itu baru dibuka. Berbekal ilmu dari perguruan tinggi olahraga di Surabaya, Sungkono muda juga membuka Kantor Inspeksi Pendidikan Jasmani. Pemerintah mengembangkan jadi beberapa bidang, yakni pendidikan masyarakat, pendidikan jasmani dan pendidikan kebudayaan.

Kantor inspeksi selanjutnya berkembang menjadi kantor perwakilan Departemen Olahraga. Tugas Sungkono saat itu membuka Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA) Negeri. Lokasi sekolah di Pasar Senggol atau Pasar Potulando-Ende saat ini. “Pasca gempa ketika itu pemerintah bangun gedung pasar. Karena belum dipakai, kita pakai untuk SMOA,” ungkapnya.

Pendiri SMP Nur Jaya Ende ini juga berperan besar saat mendirikan SMPP (Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan) Ende tahun 1977. Pada tahun 1980-an, SMPP telah berganti nama menjadi SMAN 1 Ende di Jalan Wirajaya.
Setelah malang melintang sebagai seorang praktisi pendidikan yang sarat pengalaman sebagai guru, Sungkono dipercayakan pemerintah menempati posisi struktural yaitu Kepala Kantor Departemen (Kandep) Pendidikan dan Olaharaga Kabupaten Ende pada tahun 1977.

Setelah mengabdikan diri di Ende, FA Sungkono ditarik Pemerintah Propinsi NTT ke Kupang menjadi Koordinator Pengawas (Korwas) pada Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi NTT hingga memasuki masa pensiun tahun 1990.

Sungkono bangga melihat perkembangan dunia pendidikan masa kini. Fasilitas dan sarana pendidikan sudah berkembang maju bahkan sampai di pelosok desa. Namun, di balik kemajuan itu dia melihat ada sesuatu yang perlu dibangun kembali yakni komitmen pelaku pendidikan memfokuskan diri secara total. Pergantian kelewat sering pejabat di bidang pendidikan menjadi masalah tersendiri. Demikian juga godaan bagi seorang guru bermain di area politik.

“Ada yang ingin jadi bupati, ada yang ingin jadi DPR atau DPRD. Mengakibatkan spirit sebagai pendidik yang melekat dalam dirinya menjadi bias,” demikian ayah empat anak ini.

Sungkono mengkritisi peran orangtua. Menurut dia, ada salah kaprah soal perhatian terhadap anak dalam proses belajar. “Saya melihat kebanyakan orang tua kita beri perhatian terhadap anak sekolah dengan mencari duit untuk memenuhi kebutuhan yang anak minta. Bagaimana perkembangan psikologi anak kurang diperhatikan,” jelas Sungkono.

Mengenai program Gong Belajar yang dicanangkan Pemerintah Propinsi NTT, antara lain dengan asramakan anak sekolah, Sungkono mengatakan asrama tidak wajib diterapkan pasa masa sekarang. Kalau dulu diasramakan karena sekolah masih terbatas dan di sekitar sekolah tidak ada kos-kosan seperti saat ini. Program itu bisa sukses jika semua pihak menjalankan perannya secara baik.

Khusus tentang kehadiran Perguruan Tinggi (PT) di Kota Ende yang jumlahnya makin banyak, Sungkono mengatakan, itu tanda kemajuan. Tetapi harus diatur secara baik oleh pemerintah agar kualitasnya terjaga. Legalitas dan akreditasi dari sebuah PT harus diutamakan.

“Intinya banyak perguruan tinggi tidak menjadi masalah, tetapi outputnya harus bisa bersaing dalam dunia begitu kompetitif,” tandasnya. Begitulah pandangan Sungkono. Darma baktinya demi kemajuan pendidikan dan olahraga di Kabupaten Ende tak diragukan oleh siapapun. Sampai hari ini. (okto manehat)

Data Diri
Nama: Fransiskus Asisi Sungkono
Lahir: Wonosobo, 4 September 1930
Isteri: Martha Fernandez
Anak :
1. Nuri Sungkono
2. Ati Sungkono
3. Santi Sungkono
4. Yoyo Sungkono

Pos Kupang, 18 November 2011 halaman 13
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes