Rudolf Nggai (berdiri ketiga dari kanan) bersama kru Pos Kupang 1993 |
Selama belasan tahun Sylvia boleh dilukiskan sebagai satu-satunya tempat percetakan dan fotokopi paling representatif di Kota Kupang. Memasuki penghujung tahun 1990-an baru muncul pemain baru di medan yang sama, meskipun kehadiran mereka tidak mengurangi pesona Sylvia sebagai perintis.
Dan, kami para mahasiswa kala itu akrab dengan tokoh di balik nama besar Sylvia. Mereka adalah pasangan suami istri, Rudolf Nggai dan Emiliana Lan atau akrab kami sapa Om Him dan Tanta Lan.
Hari Rabu 15 April 2015 pukul 21.30 Wita, Rudolf Nggai pergi untuk selama- lamanya. Om Him meninggal dunia di Rumah Sakit Prima Medika Denpasar akibat sakit. Almarhum meninggalkan seorang istri, tiga orang anak (Danny, Sylvia dan Richard) dan tiga orang cucu.
Kepergian Om Him pastilah meninggalkan duka mendalam. Namun, bagi kami yang pernah menjadi anak buah sekaligus teman kerjanya di Harian Pos Kupang, Sylvia Group serta siapapun yang mengenal beliau tentu mengakui satu hal bahwa sosok Rudolf Nggai mewariskan keutamaan yang menginspirasi banyak orang.
Putera Nagekeo kelahiran Mauponggo, 29 Desember 1950 ini merupakan pekerja keras yang rendah hati. Dia merintis usaha dari nol. Sebelum hijrah ke Kupang membangun jaringan bisnis Sylvia Group, Om Him menekuni bisnis penggilingan padi di Mbai, ibu kota Kabupaten Nagekeo sekarang. Dari situ beliau beralih lagi ke angkutan laut yakni menyediakan jasa perahu motor Aneka yang melayari rute Ende-Kupang pergi dan pulang (PP).
Rudolf Nggai mulai merintis usahanya di Kupang sejak menetap di kota ini pada tahun 1983. Bisnis yang diliriknya adalah percetakan. Dengan modal pas-pasan, Om Him membeli mesin cetak kecil yang masih menggunakan cetakan timah. Bersamaan dengan itu Sylvia pun menjadi suplier kebutuhan cetak di Kota Kupang dan sekitarnya. Sylvia menerima order cetak blangko, formulir, surat undangan, dan kebutuhan lain dari instansi pemerintah seperti Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda), Kantor Gubernur NTT dan sebagainya. Seiring booming mesin fotokopi, Sylvia pun merambah bidang ini.
Menurut catatan Pemimpin Umum Harian Pos Kupang, Damyan Godho atau akrab kami sapa Om Damy, Rudolf Nggai dan Sylvia-nya merupakan perintis bisnis percetakan di Kota Kupang. "Rudolf juga yang pertama memiliki mesin cetak offset yang bisa mencetak koran atau majalah dalam format tabloid. Juga yang pertama beli mesin yang dapat mencetak koran lebar," kata Om Damy.
Om Him memang punya hoki dalam bisnis percetakan. Hal itu pernah diungkapkan kepada Om Damyan Godho dalam suatu kesempatan. "Om Damy, bisnis saya itu yang berhubungan dengan kertas," katanya.
Begitulah adanya. Selain di Kupang, Sylvia memiliki percetakan di Surabaya, Denpasar dan di Dili, ibu kota negara Timor Leste. Saat bertandang ke Dili tahun 2009, saya melihat sendiri kejayaan percetakan Sylvia di negara baru tersebut yang sehari-hari digawangi orang kepercayaannya, Viktor. Kalau hari ini warga Kupang dan NTT umumnya melihat Sylvia Group merambah bisnis perhotelan dan SPBU, itu merupakan buah dari tangan dingin Rudolf Nggai dan istrinya Emiliana.
"Melahirkan" Pos Kupang
Selain Damyan Godho dan Valens Goa Doy, Rudolf Nggai adalah tokoh penting di balik kehadiran Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang, koran harian pertama di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada akhir tahun 1992. Om Damy menceritakan kembali bagaimana sampai kedua sahabat ini menjalin kerja sama "melahirkan" Pos Kupang di bumi Flobamora.
Sejak tahun 1987, sekurang-kurangnya tiga kali Menteri Penerangan (Menpen) RI kala itu, Harmoko "menantang" rekannya Damyan Godho untuk menerbitkan koran di Kupang. "Aneh, di NTT tak ada koran. Di Jakarta orang NTT ada di berbagai media massa," kata Harmoko kepada Om Damy sambil menjanjikan kemudahan memberikan SIUP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), sesuatu yang disyaratkan bagi penerbitan pers pada masa Orde Baru kala itu.
Tantangan yang sama dari Harmoko kembali diucapkan dua tahun kemudian. Namun, Om Damy kesulitan untuk memulai karena kondisi Kupang serba terbatas. Di kota ini belum ada mesin cetak yang memadai. Untuk menerbitkan koran toh butuh modal tidak sedikit. "Saya ditantang dapat SIUP gratis. Tapi mau bikim koran bagaimana dalam situasi Kupang saat itu? Bikin koran butuh modal, alat kerja terutama mesin cetak," kata Om Damy.
Tantangan ketiga bagi Om Damy disuarakan Harmoko saat mereka bertemu di kota dingin Bajawa, Kabupaten Ngada 12 April 1992. Harmoko yang inginkan semua ibukota provinsi di tanah air punya koran harian, mendesak agar Om Damy mengambil momentum itu. Gayung pun bersambut. Dengan kekuatan modal dan alat kerja berupa mesin cetaknya, Om Him menyatakan siap bergabung ketika diajak Om Damy.
Saat itu Valens Goa Doy (almarhum, meninggal di Denpasar 3 Mei 2005) yang menjadi pimpinan kelompok koran daerah di bawah naungan Kompas sedang giat ekspansi ke daerah. Sebagai orang NTT, Om Valens yang sarat pengalaman melahirkan koran, bersama-sama Om Damy dan Om Him menyiapkan penerbitan koran di Kupang. Jadilah trio ini mewujudkan kerinduan masyarakat NTT memiliki koran harian pertama bernama Pos Kupang yang terbit resmi mulai 1 Desember 1992. Dalam komposisi pengelola, Damyan Godho menjabat Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi sedangkan Rudolf Nggai sebagai Pemimpin Perusahaan.
Tentang pentingnya peran seorang Rudolf Nggai bagi Pos Kupang, Om Damy dalam buku 15 Tahun Pos Kupang (2007), melukiskan dengan kalimat sebagai berikut. "Ucapan terima kasih yang sangat istimewa patut diberikan kepada mantan Menteri Penerangan Harmoko, Om Valens Doy dan Rudolf Nggai yang tanpa ketiganya Pos Kupang sesungguhnya tak pernah lahir."
Sebagai perintis, Rudolf Nggai ikut mengelola bisnis Pos Kupang pada masa-masa sulit hingga tahun 1994. Di penghujung tahun itu, Om Him pamit kepada sahabatnya Om Damy dan Om Valens untuk lebih fokus mengurusi bisnis Sylvia Group. Sebagaimana diketahui pada awal 1995, Pos Kupang akhirnya resmi bergabung dalam manajemen Grup Kompas Gramedia hingga sekarang.
Om Him meninggalkan kesan istimewa bagi mereka yang pernah menjadi anak buahnya di Pos Kupang seperti Benny Dasman, Ferry Jahang, Paul K Burin, Etty Turut, Mariana Dohu, Niko Sine, Bildad Lelan, Kanis Jehola, Marsel Ali, Ferry Ndoen, Eugenius Moa, Nurhayati Tokan dan lainnya.
Om Him dikenal keras dalam urusan pekerjaan tetapi lembut hatinya. "Lihat saya mengantuk di ruang layout, beliau bilang tidur saja dulu beberapa menit. Caranya menegur halus," demikian kesaksian Niko Sine. Om Him yang pada Desember 2012 dibaptis oleh adik iparnya Uskup Denpasar, Mgr. Silvester San, Pr juga menempatkan karyawan-karyawatinya sebagai kolega. Dia makan minum bersama mereka bahkan tinggal di bawah satu atap. Sama merasakan suka dan duka.
Om Him, terima kasih atas jasamu. Kami mengiringi langkahmu dengan doa, maka doakan juga kami yang masih berziarah di dunia ini. Selamat jalan Om Him. Beristirahatlah dalam damai. (dion db putra)
Sumber: Pos Kupang, Jumat 17 April 2015 halaman 1