Pastor Asal Flores Temani SBY Sekeluarga di Vatikan

P Markus Solo (kedua dari kanan)
Kami turun dari mobil  dan saling bersalaman. Mereka semua sangat berantusias, terutama Pak SBY, Ibu Ani dan kedua putera mereka, Mas Agus dan Mas Baskoro.

PRESIDEN  keenam Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  dan keluarga berkunjung ke Vatikan pada hari Minggu 16 Juli 2017. SBY jalan-jalan ke Vatikan bersama  Ibu Ani Yudhoyono,  kedua puteranya Agus  Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas)  masing-masing dengan istri dan anak. 

Singkatnya mantan orang nomor satu di Indonesia itu hadir lengkap bersama istri, anak, menantu dan cucu serta anggota rombongan lainnya.

Kunjungan SBY sekeluarga disambut spesial otoritas Tahta Suci sehingga beliau boleh melihat hampir semua tempat suci dan bersejarah di Vatikan. Yang mengesankan pemandunya adalah pastor asal Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT),  Markus Solo Kewuta, SVD. Pater Markus bertugas di Vatikan sejak sepuluh tahun lalu dan kini menjadi Anggota Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama.

Berikut penuturan  Pater Markus tentang pengalamannya menemati SBY sekeluarga  sebagaimana dikutip dari akun Facebooknya.

Tadi malam (Sabtu malam 15 Juli 2017, Red)  Dubes (duta besar)  RI untuk Tahta Suci Vatikan, Pak Agus Sriyono, menelepon saya meminta untuk bersama-sama menerima Pak SBY, mantan Presiden RI, bersama ibu, kedua putera dan keluarga serta rombongan sebanyak 27 orang yang mau berkunjung ke Vatikan.

Bersama Agus HY dan istrinya
Sekaligus Pak  Dubes meminta saya menjadi guide (pemandu) untuk Pak SBY dan rombongan. Saya menyanggupinya. Segera semua prosedur permohonan tulisan dibuat berserta lobi lisan di Vatikan sehingga dalam waktu relatif singkat semua beres.

Tadi sore (Minggu 16 Juli 2017, Red)  menjelang jam 16.00 Pak SBY dan Ibu Ani serta rombongan, dengan menggunakan empat  mobil Mini-Van hitam berkonvoi menuju Vatikan.

Pak Dubes Agus yang didampingi oleh istri dan Pak Wandry dari Departemen Komsos bersama saya menerima rombongan di pintu masuk lalu beriringan memasuki Vatikan mengikuti mobil KBRI Vatikan yang dikemudi Pak Kahono, hingga ke Porta della Preghiera, pintu khusus Basilika Santo Petrus yang berpapasan dengan rumah tempat tinggal Paus, Domus Santa Marta. Kami turun dari mobil  dan saling bersalaman. Mereka semua sangat berantusias, terutama Pak SBY, Ibu Ani dan kedua putera mereka, Mas Agus dan Mas Baskoro bersama keluarga.

Saya memulai guide dengan memperkenalkan diri, dibantu oleh Pak Dubes, kalau saya juga orang Indonesia dan bertugas di Vatikan sejak 10 tahun pada "Dewan Kepausan seperti sebuah Kementerian Dialog Lintas Agama", kelahiran Flores, NTT. Serta merta Pak SBY dan Ibu Ani menyela, kalau mereka pernah ke Manggarai dan Labuan Bajo. Saya ucapkan terima kasih dan menambah kalau saya berasal dari ujung timur Flores, Larantuka.

Masuk ke dalam Basilika, Pak SBY dan Ibu Ani bersama rombongan berkali-kali mengungkapkan kekaguman yang luar biasa. Ibu Ani, sementara mendengar semua penjelasan saya, sangat gesit memotret.

Pak SBY selalu berjalan di samping saya, kadang memegang tangan saya kalau mau mengungkapkan sesuatu. Saya menjelaskan kepada mereka, apa itu Vatikan dan segala yang penting di dalam Basilika. Kami bersyukur bisa masuk ke dalam wilayah terpagar karena kepala sekuriti Basilika, sahabat dekat saya, sudah berkoordinasi dengan semua pegawainya untuk membuka semua blokiran.

Kami bergerak ke Kuburan Santo Petrus dan wilayah Confessione, altar utama, saya menjelaskan tentang kuburan Santo Petrus di bawah altar itu, tentang peranan Santo Petrus, Baldchin Bernini, Cupola Michelangelo, lalu ke tempat pengakuan dosa di Navata kanan. Mereka sangat kagum ketika saya bercerita bahwa kadang-kadang Paus juga datang mengaku dosa di sini.
Bersama Ibas sekeluarga

Ibu Ani bertanya, kalau di situ ada juga pelayanan pengakuan dosa dalam bahasa Indonesia. Saya tersenyum dan mengatakan: Belum ada secara resmi, tetapi kadang-kadang ada. Dan kalau dibutuhkan, saya juga bersedia. Pak SBY ketawa dan menepuk bahu saya.

Kami berputar bersama segenap rombongan ke makam Paus Pembaharu, Paus dell'Aggiornamento, Paus Johannes ke-23, Paus Konsili Vatikan II. Saya menjelaskan apa itu konsili, apa itu reliqui, apa itu pembaharuan dalam Gereja Katolik termasuk tentang keterbukaan Gereja Katolik terhadap umat beragama lain, memajukan saling menghormati dan saling memahami dalam perbedaan demi perdamaian dan keharmonisan.

Kami berjalan lagi menuju Kapela Santissimo Sacramento, kapela tempat Pentakhtaan Sakramen Maha Kudus. Saya menjelaskan betapa pentingnya kapela itu tempat orang berdoa dan mencari keheningan. Bahwa dari sekian ratus ribu orang yang masuk per hari ke Basilika kepausan ini, ada banyak juga di antara mereka yang mencari sudut hening, karena Gereja adalah tempat berdoa.

Kami masuk bersama-sama ke Kapela Sebastiano tempat dimakamkan Paus Johannes Paulus II. Oleh karena pihak sekuriti selalu membuka jalan dan meminggirkan para turis dan peziarah lain, kami dengan mudah bisa berkumpul di depan Makam Paus Johannes Paulus II, Paus yang sangat simpatik itu dan dicintai seluruh dunia. Pak SBY dan Ibu Ani juga ingat baik, siapa Paus Johannes Paulus II dari Polandia tersebut.

Cerobong Asap Konklav

Seusai melihat makam Paus Johannes Paulus II di dalam Kapela Sebastiano, saya mengajak Presiden keenam Repulik  Indonesia,  Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan keluarga berkunjung ke Pieta, master piece dari Michelangelo.

Pak SBY dan Ibu Ani Yudhoyono bersama rombongan sangat terkesan dengan nilai-nilai universal dari pahatan yang khas Kristiani itu karena menampilkan Bunda Maria yang sedang memangku jasad Yesus yang sudah meninggal. Di situ ibu Ani bertanya kepada saya: Romo, Yesus meninggal pada umur berapa? Begitu saya mau jawab, putra beliau, Pak Agus Harimurti, yang mantan calon Gubernur Jakarta itu, langsung menjawab dengan benar: 33 tahun. Wah.. saya langsung mengucapkan selamat kepada Pak Agus. Semua senyum dan tertawa.

Di depan Pieta, tiba-tiba sekelompok Suster Indonesia dari NTT terkejut melihat Pak SBY. Mereka sangat gembira berjabatan tangan dan sekalian foto bersama Pak SBY dan Ibu Ani. Pak SBY berpesan kepada mereka untuk tetap semangat, menjaga kesehatan selalu dan berkarya demi kebahagiaan banyak orang.

SBY berbincang dengan Dubes Agus Sriyono dan P Markus
Dari sana kami ke ruang tengah Basilika, mengambil beberapa foto bersama. Saat itu pihak sekuriti Vatikan datang menyampaikan kepada saya, kalau mereka sudah berkoordinasi dengan sekuriti Lapangan Santo Petrus bahwa semua siaga menjaga kalau kami keluar menuju Lapangan Santo Petrus. Ketika keluar, mobil polisi Vatikan sudah berjaga, beberapa lagi berkeliaran memantau di antara khalayak.

Kami keluar menuju Lapangan Santo Petrus. Di bawah patung Santo Petrus kami berdiri, saya menjelaskan tentang Istana Kepausan, Lapangan Santo Petrus dan Balkon tempat penampakan Paus terpilih serta Berkat Urbi et Orbi. Pak Agus ingin melihat dari mana asap keluar kalau ada pemilihan Paus saat konklav. Saya mengundang mereka ke Lapangan Santo Petrus supaya bisa melihat bubungan Kapel Sistina tempat asap keluar. Di sana saya menjelaskan kepada mereka tentang konklav dan tentang Obelisk yang menjulang di tengah lapangan.

Cuaca panas. Kami tutup dengan foto-foto lalu bergerak menuju kendaraan-kendaraan yang sedang siap di depan Sant'Ufficio, samping Lapangan Santo Petrus.

Dalam perjalanan pulang, Pak Dubes Agus Sriyono dan saya mengucapkan terima kasih kepada Pak SBY dan Ibu Ani yang sudah mengambil waktu  mampir ke Vatikan dan mengenal Vatikan dari dalam. Pak SBY dan Ibu Ani menjawab: Sebaliknya kamilah yang sangat berterima kasih sudah diterima dan dihantar dengan begitu baik dan dengan penjelasan yang sangat baik pula. Mereka nampak puas.

Di depan mobil-mobil, Pak SBY kembali memanggil saya: Romo, banyak terima kasih, memegang tangan saya erat-erat. Mengulangi apa yang sudah beliau katakan dua kali dalam perjalanan di dalam Basilika: Romo, mari kita bekerjasama untuk kemuliaan Tuhan dan kesejahteraan seluruh umat manusia..

Hal itu beliau sudah singgung di dalam Basilika ketika saya bercerita sepintas tentang Konvensi Diaspora di Jakarta baru-baru ini, dan salah satu tema-nya adalah toleransi, perdamaian dan kerukunan hidup di Indonesia.

Dubes Agus Sriyono (paling kiri)
Pak SBY dan Ibu Ani  berjalan menuju mobil. Tiba-tiba Pak Agus dan istrinya Annisa Pohan  datang mendekat meminta foto bersama. Setelah bertiga, Pak Agus ingin foto berdua saja. Dan setelah itu datanglah Pak Ibas bersama istri dan anak untuk potret bareng dengan saya. Sebuah pertemuan yang sangat menggembirakan, terjadi dalam iklim persahabatan dan persaudaraan.

Terasa begitu akrab sebagai putra-putri sebangsa dan setanah air. Di saat seperti ini, di mana negara kita butuhkan banyak semangat persaudaraan, pertemanan dan pengampunan, kita membuka hati dan pikiran serta kedua tangan selebar-lebarnya untuk menerima dan merangkul semua yang berkehendak baik untuk bekerjasama memajukan dan mensejahterakan bangsa tercinta, rumah kita bersama, NKRI yang ber-Bhineka Tunggal Ika, kebanggaan dan brandmark kita. Mohon dijaga kesantunan dalam berkomentar.

Pejabat Vatikan

Siapakah Markus Solo Kewuta SVD, pastor asal Indonesia yang menjadi pemandu bagi SBY dan keluarga saat berkunjung ke Vatikan, Minggu 16 Juli 2017? Boleh disebut Markus Solo merupakan putera Indonesia yang memangku jabatan penting di Vatikan.

Imam Katolik  kelahiran Lewouran, Kabupaten  Flores Timur, 4 Agustus 1968 tersebut menjabat sebagai Pontifical Council For Interreligious Dialogue (Anggota Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama). Dia merupakan orang Indonesia pertama dalam jabatan itu. Pater Markus, demikian dia akrab disapa sejak sepuluh tahun lalu berkarya di lingkungan Tahta Suci Vatikan. Dalam posisinya sebagai anggota dewan kepausan, Pater Markus selalu berkomunikasi dengan pejabat tinggi Vatikan termasuk Sri Paus, pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia. Dia pun berkeliling ke berbagai belahan dunia menggalang dialog demi perdamaian dan persaudaraan.

Markus Solo adalah anak bungsu dari lima bersaudara buah kasih pasangan  Nikolaus Kewuta dan Getrudis. Markus menyelesaikan pendidikan SD hingga SMA di Flores Timur. Alumni Seminari Menengah San Dominggo, Flores Timur ini sempat belajar filsafat di STFK Ledalero. Pater Markus belajar islamologi di Inssbruck University, Austria. Dia juga belajar budaya Arab dan islamologi di Al Azhar University, Mesir. Pater Markus Solo yang bergelar doktor itu  fasih  bicara dalam enam bahasa asing yaitu Arab, Italia, Inggris, Jerman, Mandarin dan Latin. (osi)

Sumber: Pos Kupang 18-19 Juli 2017 halaman 1

Beringin Soekarno Masih Kokoh di Atambua

Beringin Soekarno di Atambua
ATAMBUA, PK -- Proklamator kemerdekaan yang juga presiden pertama RI, Ir. Soekarno mewariskan jejak bersejarah di Pulau Timor. Satu di antaranya  pohon beringin yang ditanam Bung Karno masih berdiri kokoh dan rimbun menaungi sisi timur lapangan umum Kota Atambua, Kabupaten Belu.

Soekarno berkunjung ke Atambua tahun 1955.  Bung Karno menginap semalam di  kota perbatasan dengan negara Timor Leste  itu dan setelah berpidato di lapangan umum Kota Atambua, dia menanam beringin yang masih tumbuh subur hingga kini.
Agaknya tak banyak warga Atambua yang tahu kalau pohon beringin itu ditanam Bung Karno 62 tahun lalu.

Di bawah naungan beringin itu,  pada siang hari para penjual es kelapa muda menjajakan dagangannya.  Di sekelilingnya dicor semen melingkar sehingga bisa diduduki dan menjadi tempat orang mengaso sambil menikmati es kelapa muda.

Ditemui di Atambua, Sabtu (3/6/2017), sesepuh masyarakat Belu, Jos Agustinus Diaz (84) menyebut pohon beringin  itu memiliki nilai sejarah. Camat pertama Kota Atambua ini menuturkan, kunjungan Presiden Soekarno ke Atambua  setelah pemilu 1955. Soekarno datang ke Atambua melalui Atapupu. Soekarno  menumpang pesawat Amfibi Catalina. Soekarno disambut secara adat dengan bentangan kain adat Belu sepanjang garis pantai hingga ke mobil yang membawanya ke Kota Atambua.

Hanya saja, jelas Jos Diaz, Soekarno menolak berjalan di atas kain adat sebagai bentuk penghormatan kepada adat dan budaya Belu. Di Atambua Bung Karno menginap di rumah jabatan bupati.  Mantan ketua DPRD Belu ini menyaksikan lautan manusia yang mendengar pidato Bung Karno di lapangan umum Kota Atambua kala itu.

"Setelah pidato, presiden langsung menanam beringin yang mungkin sudah disiapkan saat itu oleh Bupati AA Bere Talo. Beringin inilah yang ada sampai sekarang. Tumbuh alamiah sangat rindang dan bentuknya seperti menaungi atau memayungi," ujarnya.

Jos Diaz menjelaskan, Bung Karno menanam beringin sebagai simbol melindungi seluruh rakyat. Kedatangan Soekarno ke Atambua, lanjut Jos Diaz, bukan tanpa alasan. Itu wujud perhatian Soekarno yang mendengar bahwa Belu memiliki orang- orang hebat yang turut memperjuangkan atau merintis kemerdekaan Indonesia.
Sebagai sesepuh masyarakat Belu yang mengetahui sejarah, Jos Diaz  prihatin dan sedih melihat pohon beringin Soekarno dibiarkan begitu saja. Menurut dia, tidak pantas pohon beringin bersejarah ini hanya menjadi tempat jualan es kelapa muda bahkan jadi tempat pembuangan sampah. 

"Harusnya dibuat  pagar keliling atau dibuat pilar keliling untuk menunjukkan bahwa pohon beringin ini pohon bersejarah sehingga orang yang pergi ke sana atau sekadar lewat melihat lalu dalam hatinya ada kesan bersejarah. Sekarang  tidak ada kesan apa-apa," ujarnya.

Bupati Belu, Willy Lay mengaku tidak mengetahui persis apakah pohon beringin di lapangan umum itu ditanam Presiden Soekarno tahun 1955.  Namun, Bupati Willy mengaku masih menyimpan jejak-jejak sejarah kunjungan Soekarno ke Atambua waktu itu berupa foto yang dipajang di rumah jabatan bupati saat ini.

Dihubungi  Sabtu (3/6/2017), Bupati Willy  mengatakan, pada tahun 2015 saat dirinya belum menjadi Bupati Belu,  pohon beringin itu hampir mati karena dicor  pakai semen yang diduga menghambat pertumbuhan akarnya. Semua daun mulai menguning.

Dia bersama teman-temannya mengerahkan operator alat berat escavator mengeruk tanah di sekitar pohon beringin itu lalu menyirami dengan air sehingga  hijau dan subur lagi seperti saat ini. Bupati Willy sependapat jika pohon beringin ini dijadikan ikon Kota Atambua sebagai salah satu kota bersejarah karena pernah dikunjungi Presiden Soekarno setelah pemilu pertama dan menanam pohon beringin.

Tak Merasa Seram
Sejak tahun 2008, Hermansyah asal Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) berjualan es  di sisi jalan di bawah rimbunan pohon beringin yang ditanam Bung Karno  di sisi timur lapangan umum Kota Atambua. Dia menyiapkan dua kereta tang selain menjual es kelapa muda, dijual pula  es teller dan  es pisang hijau.

Dua kereta dijaga Jens (21), Dedi (20) dan Andre. Ketiganya melayani pelanggan secara acak untuk setiap menu yang diminati. Saat ditemui Minggu (4/6/2017), Jens, Dedi dan Andre sedang melayani pelanggan. Meski cuaca sedang mendung, minat pelanggan terhadap es kelapa dan es teller serta es pisang hijau tidak berkurang.

Mereka  bekerja pada Hermansyah yang telah mengantongi izin usaha dari Kantor Perizinan Kabupaten Belu. Mereka berjualan di tempat itu setiap hari mulai pukul 08.00 sampai pukul 17.00 Wita. Untuk bahan baku kelapa muda, mereka membeli dari Timor Tengah Utara (TTU). Dan, dalam sehari mereka bisa menghabiskan lebih dari 100 buah kelapa. "Kami beli dari Kefa. Kalau dari sini (Belu) biasanya mereka bawa kelapa yang belum ada isi makanya kita beli dari luar," kata Dedi.

Tentang keberadaan pohon beringin besar itu, ketiganya mengaku pernah mendengar cerita bahwa pohon beringin ini ditanam oleh Presiden Soekarno. "Orang-orang di sini sering cerita bahwa ini beringin ditanam Soekarno," ujar Dedi. Selama berjualan di tempat itu, mereka tidak merasakan apa-apa seperti kesan mistis atau seram. Mereka merasa biasa saja. "Kami rasa biasa saja. Tidak yang terasa seram. Mungkin kalau malam hari baru terasa,  tapi kami kan  hanya jualan sampai sore," ungkap Dedi. (roy)


Sumber: Pos Kupang 5 Juni 2017 hal 1

Tenun Ikat Sumba yang Memikat Hati



Jokowi dan Ibu Negara di Sumba Barat Daya 12 Juli 2017
Seni tenun adalah budaya tua yang ditekuni manusia untuk menghasilkan busana dan merupakan peradaban yang hampir merata ditemukan di seluruh pelosok bumi.

Pada masa modern ini pun ketika pabrik pemintalan benang mampu menghasilkan ribuan, bahkan jutaan meter tekstil dengan cara yang praktis, tradisi memintal benang untuk membuat kain masih ditekuni di beberapa tempat, tak terkecuali di Pulau Sumba, satu daratan kecil di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang hadir dan mengenakan ikat kepala dan berselempang kain tenun menyaksikan Festival Tenun dan Kuda Sandelwood di Lapangan Galatama, Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), NTT, Rabu (12/7/2017).


Bagi orang Sumba, memiliki dan mengenakan kain serta sarung dari tenun ikat merupakan suatu "keharusan" karena kain tenun adalah busana penting yang dikenakan pada acara adat, seperti menghadiri pesta pernikahan, upacara kematian, dan beribadah.

Menurut Mikhael Molan Keraf, CSsR, Direktur Yayasan Sosial Donders, kaum perempuan di perdesaan menenun kain sebagai ibadah, untuk memuji kebesaran Tuhan yang diwujudkan dalam motif-motif bentuk hewan, alam, dan benda-benda yang lekat dalam kehidupan keseharian.

Sejak mengetahui hal itu, dia lebih menghargai kain tenun dan lebih berhati-hati memakainya. Misalnya, tidak lagi menggunting kain.

Meskipun berasal dari Desa Lamalera, Kabupaten Lembata, Flores Timur, tokoh yang lebih dikenal dengan sapaan Pater Mike Keraf ini sekarang lebih sering berpakaian ala pria Sumba dengan memakai ikat kepala serta kain tenun yang melilit pinggangnya.

Memaknai kain sebagai bagian dari ibadah juga diakui oleh Angela Lele Biri, perempuan Sumba yang bekerja di Kantor Dinas Agama Kabupaten Sumba Barat.

Proses panjang menenun pada masa lalu diawali dengan memilih kapas yang dipintal menjadi benang, kemudian diikat untuk membentuk gambar dan dilanjutkan dengan pencelupan warna sesuai rancangan yang telah dipilih baru terakhir ditenun.

Berdasar pemahamannya, tenun Sumba adalah rajutan hari-hari orang Sumba yang dilukiskan melalui tenun dan merupakan doa pujian yang harus didaraskan setiap hari.

"Ketika memakai kain atau sarung Sumba, kita merenungi makna kehidupan," kata Angela.

Mengenakan sarung pun sebenarnya merupakan cara untuk menjaga martabat diri dengan memakainya secara patut.

Angela menerawang, terkenang akan kakeknya, Yosep Nudu yang selalu marah ketika melihat orang membetulkan sarung yang dipakainya di depan umum, seperti yang saat ini lazim dilakukan banyak orang.

"Membenahi sarung di muka umum menurut kakek Nudu sama dengan memperbaiki rok dalam (tidak patut dilakukan di depan orang banyak)," katanya.

Dikenal mahal

Tenun ikat dari NTT dikenal mahal harganya jika dibanding dengan kain-kain bikinan pabrik. Namun, ada yang setara dengan kain songket dari Jambi, batik tulis yang bermutu tinggi atau kain sutra Sulawesi.

Harga termurah kain tenun sekitar Rp250.000 selembar untuk jenis kain yang terbuat dari benang pabrik dengan memakai celup pewarna buatan pabrik juga. Akan tetapi, ada pula kain yang harganya mencapai sepuluh juta rupiah bila terbuat dari benang kapas yang dipintal tangan dan dicelup dengan pewarna alami.

"Harga kain tidak sama karena dari tangan penenun kain-kain bisa melalui banyak tangan lain sebelum mencapai ke tangan pembeli. Harga bisa berlipat ganda," kata Felicitas Ambukaka, perempuan dari etnis Kodi, Sumba, yang kini merintis usaha pemasaran tenun Sumba.

Felicitas mencoba memangkas harga jual dengan cara berhubungan secara langsung dengan penenun di kampung-kampung sehingga harga dan ongkos bisa ditekan.

Rerata kain yang dipasarkannya berharga antara Rp200 ribu dan Rp2 juta. Dengan harga ini, mampu bersaing dengan harga di tempat penjualan yang lain, bahkan kini relatif banyak toko oleh-oleh yang memesan kain tenun darinya.

"Bagi saya untung sedikit-sedikit tidak apa-apa agar makin banyak laku dan makin banyak orang memakai tenun Sumba," katanya.

Ikat Sumba sangat unik, punya daya tarik tersendiri dari sisi warna dan motif dan juga cocok dimodifikasi untuk busana modern. Dengan demikian, bisa makin melekat di hati.

Adalah jamak terlihat perempuan dan laki-laki Sumba mengenakan kain atau sarung tenun kebanggaan mereka untuk sehari-hari, apalagi pada hari khusus, bahkan anak-anak dan remaja juga sudah memakainya.

Kain-kain dengan pewarna modern terlihat lebih cerah dan warna-warni, sedangkan kain dengan bahan alami memiliki warna yang lembut. Para pencintanya akan memilih sesuai dengan selera dan kemampuan kantong.

"Saya sudah mulai mengenakan kain ikat pada usia 5 tahun dan saat ini saya merasa bangga serta percaya diri bila memakai tenun ikat," kata Anggriani Irwanto, perempuan Sumba yang berdinas sebagai pegawai negeri sipil di Kabupaten Sumba Barat Daya dan pernah lama berkarier di Jakarta.

Sejak kembali ke Sumba beberapa tahun lalu, Anggriani mengaku lebih suka mengenakan sarung Sumba pada peristiwa-peristiwa khusus ketimbang memakai busana pesta modern atau dari daerah lain.

Baginya, memakai tenun ikat Sumba membuatnya tampil lebih menarik sekaligus menunjukkan jati diri etnis.

Sumber kehidupan
Menenun kain, selain perwujudan ibadah juga menjadi sumber nafkah bagi banyak perempuan Sumba meskipun mereka baru bisa merajut helai demi helai benang setelah selesai mengerjakan tugas rumah tangga.

"Pendapatan kami sangat bergantung pada hasil tenun," ujar Debora Kali, penenun asal Desa Weri B, Kecamatan Kodi Timur, Sumba Barat Daya.

Debora sudah mulai menenun sejak usia 8 tahun dengan cara belajar melihat orang-orang dewasa menenun, tahap berikutnya belajar menggulung benang dan dilakukan setiap hari.

Di kampungnya, menenun lebih banyak dilakukan oleh kaum perempuan tetapi tidak tabu bagi pria, seperti yang terlihat siang itu saat sekelompok pengrajin menenun bersama-sama bukan hanya perempuan, melainkan juga pria, ada yang menggulung benang, ada yang mengikat dan ada yang mulai menenun.

Motif-motif yang sering mereka rajut adalah belah ketupat, mamuli yaitu perhiasan lambang kesuburan yang biasa digunakan sebagai mas kawin atau belis, gambar rumah adat dengan atap gaya Marapu yang runcing, gambar-gambar hewan, seperti kuda, ular, ayam, kura-kura, burung.

Debora yang menggantungkan periuknya pada tenun mengatakan bahwa dirinya bisa menghasilkan selembar kain dalam 1 minggu untuk motif yang sederhana.

Ia juga sanggup menerima pesanan untuk pilihan warna dan gambar.

Maria Kaka, penenun lain juga sudah bergelut dengan benang, alat-alat tenun, seperti pakan, lungsing sejak umur 10 tahun, usia yang ideal untuk mulai belajar.

"Bila sudah besar baru belajar biasanya tidak bisa," katanya sambil memperagakan jemari saat memadatkan benang.

Dewasa ini, Debora, Maria, dan Yosefina Piromete dari kampung Kalenarongo lebih memilih menenun dengan benang dan pewarna yang dibeli di took karena prosesnya lebih praktis.

"Saya tidak penah belajar memintal benang, jadi saya memakai benang jadi dan jenis benang ini tidak bisa menyerap pewarna alami sehingga harus memakai pewarna buatan," kata Yosefina.

Penghasilan dari menjual kain tenun menjadi sumber nafkah utama bagi mereka, selain beternak.

Mengenai jumlahnya, mereka hanya menjawab: "Cukup untuk biaya hidup."

Meskipun bagi pendatang, khususnya dari Jawa, harga kain tenun dianggap relatif mahal, para perajin yang setiap bulan menjual hasil karyanya, tetap hidup dalam kesederhanaan. Mereka menempati rumah-rumah panggung dari bambu dan kayu dan nyaris tidak memiliki benda berharga.

Bahan baku untuk membuat selembar kain yang kelak dijual di toko dengan harga sekitar Rp200 ribu rata-rata bernilai Rp100 ribu, belum dihitung ongkos belanja membeli benang, uang lelah, dan ongkos mengirim kain tenun ke pasar.

Kain tenun dengan motif yang lebih rumit dan dijual dengan harga antara Rp500 ribu hingga sejuta rupiah memakai bahan yang lebih banyak untuk variasi sulam dan waktu pengerjaan sekitar 1 bulan.

"Cukup untuk hidup" adalah Bahasa bijak yang mereka sampaikan ketimbang mengungkapkan besaran rupiah yang mereka raup melalui hasil tenun-tenun itu.

Menghormati tamu
Orang Sumba membeli tenun ikat tidak hanya untuk dipakai sendiri, tetapi juga membeli untuk hadiah bagi keluarga dan kerabat pada hari-hari khusus dan juga untuk menghormati tamu.

Hari itu Thomas Iwan, warga kota Mataram sedang berlibur ke Sumba dan mengunjungi rumah Ima Nudu, tokoh perempuan dan penggagas pemekaran kabupaten Sumba Barat Daya.

Thomas bersama istri dan dua anaknya masing-masing disambut di ambang pintu dengan penyelempangan kain tenun.

"Baru datang sudah dapat hadiah indah seperti ini," kata istrinya dengan terharu.

Cara menyambut tamu seperti itu merupakan kelaziman. Bila tidak dilakukan, akan membuat tuan rumah merasa tidak enak hati.

Membawa hantaran berupa tenun ikat juga dilakukan untuk menghadiri pernikahan, melayat ke rumah duka, saat bayi lahir, dan peristiwa penting lain.

"Biasanya kami memiliki persediaan kain. Akan tetapi, bila tidak kain akan mudah dibeli di pasar dan di toko-toko," kata Anggriani.

Ia menambahkan bahwa cara tersebut memang menghabiskan uang, tetapi membuat tenun ikat makin lekat memikat hati orang Sumba.

Menggelar festival tenun yang akan diikuti 2.017 penenun tidaklah sulit karena hampir semua perempuan di desa mempunyai kemampuan menenun. Setidaknya hampir di setiap kampung ada pengrajin tenun.

Tenun ikat yang melekat di hati orang Sumba pun kini memikat orang-orang luar Sumba. (Maria Dian Andriana/Antaranews)


Sumber: Antaranews.com

Kisah tentang Stadion Merdeka Kupang


Pertandingan bola di Stadion Merdeka Kupang
Stadion Merdeka Kupang itu sebuah nama dengan banyak kisah historis heroik. Keberadaannya hampir setua negara bernama Indonesia, bahkan lebih tua dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang baru lahir tahun 1958.

Di sana sudah banyak anak Nusa Tenggara Timur (NTT)  memeras keringat untuk meraih yang terbaik di lapangan bolakaki. Dan, mereka sekaligus  belajar memahami arti olahraga, apa makna fair play serta implikasi dari sportivitas. 

Tidak hanya sepakbola. Stadion Merdeka pun memiliki lapangan bolavoli yang di masa lalu menjadi pusat aktivitas olahraga kaum muda di ibukota provinsi ini. Cukup sering Stadion Merdeka juga berfungsi bagi aktivitas pembinaan kaum muda.

Dalam segala keterbatasan, kerapuhan dan keriput wajahnya yang renta dimakan usia serta kurang terawat, Stadion Merdeka masih berguna sampai sekarang. Hingga kini dia  merupakan lapangan kedua bila Kupang menjadi tuan rumah kejuaraan sepakbola dengan tim peserta lebih dari sepuluh. Kejuaraan El Tari Memorial Cup, misalnya, masih mengandalkan Stadion Merdeka selain Stadion Oepoi Kupang. Sampai Provinsi  NTT berusia lebih dari setengah abad, Stadion Merdeka sudah memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi pembinaan  olahraga daerah ini.

Sejarah panjang stadion itu agak terusik dua bulan lalu ketika  keluarga besar Koroh memasang plang yang isinya mengklaim kepemilikan atas lahan stadion tertua di Kota Kupang tersebut. Plang yang dipasang keluarga Koroh tertulis,  berdasarkan Surat Kuasa 02/B.H/KAP-HFBB/V/2017 Dari Keluarga Besar Koroh, Tanah Stadion Merdeka dalam Pengawasan YBH Anugerah Kupang Advokat/Pengacara dan Konsultan Hukum, Herry FF Battileo, S.H, M.H dan Rekan. Isi tulisan dalam plang tersebut dilengkapi alamat kantor, email dan nomor  handphone.

Hari Jumat 7 Juli 2017, Kabid Penegakan Produk Hukum Daerah, Satuan Polisi Pamong Praja (Pol PP)   Provinsi NTT, Cornelis Wadu memimpin timnya memasang plang yang isinya menyatakan lahan di komplek stadion itu milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT.

 Ternyata anggota keluarga besar  Koroh mencabut kembali plang yang sempat ditanam anggota Satuan Pol PP tersebut. Keluarga Koroh juga bersikukuh menolak rencana Pol PP mencabut plang yang mereka pasang di depan stadion. Suasana tegang sempat tercipta di sana. Pada akhirnya Pol PP mengalah sehingga pemasangan plang milik Pemprov NTT tidak terlaksana atau tertunda. Entah sampai kapan.


Sudah pasti kedua kubu saling mengklaim sebagai pemilik sah atas lahan Stadion Merdeka Kupang. Untuk memastikannya proses hukum merupakan keniscayaan. Keluarga besar Koroh dan pemerintah harus dapat  menunjukkan  kepemilikan itu melalui bukti dokumen yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum yang berlaku di negeri ini.

Kita berharap sengketa lahan ini  berakhir dengan sejuk dan bisa diterima kedua belah pihak.Hindari aksi anarkis serta sikap memaksakan kehendak  yang dapat memicu persoalan baru yang jauh lebih pelik. Waspadai pihak ketiga yang berpotensi mengail di air keruh.*

Sumber: Pos Kupang 11 Juli 2017 hal 4


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes