Oleh Dion DB Putra
UNTUK kurun waktu yang cukup panjang, dia selalu disandingkan dengan nama besar sang suami, dr. Ben Mboi. Namun, sejatinya dia pun memiliki jejak tersendiri yang tak kalah mengagumkan.
Sebagaimana suaminya, dr. Andi Nafsiah Walinono-Mboi, SpA, MPH atau lebih dikenal sebagai dr. Nafsiah Mboi, merupakan tokoh yang sungguh bekerja keras memajukan wilayah dan masyarakat.
Pasangan suami istri (pasutri) ini mengabdi untuk masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak daerah ini baru setahun jagung menjadi provinsi otonom.
Totalitas pengabdian keduanya menjadi penuh tatkala Ben Mboi mendapat kepercayaan sebagai gubernur NTT selama dua periode, 1978-1988.
Ketika itu Nafsiah dan Ben Mboi telah membuat Flobamora mencuat di antara provinsi lain karena lonjakan kemajuan warganya.
Prestasi mereka di bidang pelayanan publik diakui tidak hanya di dalam negeri tetapi secara internasional, antara lain berupa penghargaan Ramon Magsaysay Award, Agustus 1986.
Saya baru naik kelas 2 SMA Negeri 1 Ende kala itu. Nama pasangan ini menjadi buah bibir. Siaran radio lokal hingga sekelas RASI dan BBC London berulang menyebut nama mereka. Media nasional tak ketinggalan mengupas.
Majalah bulanan Dian, media kebanggaan kami di Flores dan NTT umumnya, mengulas lengkap dan tuntas. Ende, kampung halamanku, kota pengasingan sang Proklamator RI, Bung Karno (1934-1938) tentu saja spesial buat pasutri dokter tamatan Universitas Indonesia tersebut.
Di Ende mereka sama-sama mengabdi bagi rakyat Indonesia dalam masa yang sulit. NKRI baru merdeka. Di kota mungil ini pula putri sulung mereka lahir.
Almarhum ayahku, Thomas Bata, seorang guru SD di pelosok Lio Timur, Kabupeten Ende punya kenangan tentang Ben dan Nafsiah.
"Dokter Ben dan dokter Nafsiah memang orang hebat. Ramon Magsaysay adalah pengakuan atas kegigihan mereka bekerja untuk rakyat NTT lewat Operasi Nusa Makmur, Operasi Nusa Hijau, dan Operasi Nusa Sehat," kata Thomas.
Nafsiah dan Ben Mboi |
Ya, ketiga program unggulan itu memang tertanam kuat di benak sebagian besar masyarakat NTT. Hingga saat ini. Ben Mboi sungguh pemimpin pendobrak yang menumbuhkan harapan. Ben dan Nafsiah Mboi merupakan kombinasi yang saling mengisi. Seperti dwitunggal.
Peran Nafsiah Mboi jelas tak terkira. Nafsiah memiliki jejak tersendiri yang mengagumkan. Perjalanannya panjang dan berliku sebelum mendapat kepercayaan mengemban tugas sebagai Menteri Kesehatan RI (2012-2014).
Nafsiah Mboi adalah perempuan pertama dari suku Bugis, Makassar yang menjadi dokter dan dokter spesialis anak. Untuk NTT, dia merupakan dokter spesialis anak pertama yang melayani masyarakat Flobamora.
Nafsiah merupakan orang Asia pertama yang menjadi ketua Komite Hak Anak Perserikatan Bangsa-bangsa (CRC) dan perempuan Indonesia pertama yang menduduki posisi direktur pada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Sampai detik ini pun Nafsiah diakui ketokohannya dalam isu HIV/AIDS. Dia memperjuangan pendekatan kemanusiaan dan HAM untuk ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dan memahami pentingnya pemberdayaan populasi kunci dalam penanggulangan HIV/AIDS.
***
Yogyakarta medio 1995. Di tempat novelis terkenal asal Siantar, Bang Ashadi Siregar, pertama kali saya belajar tentang HIV/AIDS bersama sejumlah rekan wartawan dari berbagai daerah di Tanah Air. Mentor kami dr. Nafsiah Mboi.
Ibu Nafsiah mengingatkan kami agar menulis HIV/AIDS dengan hati, penuh empati. Meletakkan nilai kemanusiaan sebagai pertimbangan utama.
Nafsiah Mboi saat menjabat Menkes |
Suatu malam di Yogya yang mendung, saya menitikkan air mata. Tak tahan mendengar curahan hati seorang ODHA yang dikucilkan bahkan oleh keluarganya sendiri.
Menjadi ODHA pada masa awal HIV/AIDS merebak sungguh berat. Hari ini kiranya sudah jauh lebih baik. Nafsiah merupakan satu di antara tokoh di negeri ini yang begitu gigih berjuang agar ODHA tidak diperlakukan semena-mena.
Ketokohannya dalam isu HIV/AIDS hanya satu di antara sederet keutamaan Nafsiah Mboi. Banyak hal tentang dirinya terserak di berbagai media.
Namun, kekaguman terhadap tokoh tersebut tergenapi ketika membaca buku biografi berjudul "Nyanyian Kehidupan Nafsiah Mboi" karya Maria Hartiningsih dan Agung Adiprasetyo (Penerbit Buku Kompas, 2022).
Nafsiah Mboi |
Biografi Nafsiah Mboi diluncurkan di Jakarta, Selasa 14 Juni 2022. Saya beruntung dapat undangan mengikuti acara via zoom. Banyak tokoh penting di negeri ini yang hadir secara offline. Mereka merupakan sahabat, kolega, teman kerja Nafsiah.
Mereka memberikan testimoni yang menyentuh. Saya ingat beberapa di antaranya yang memberikan testimoni. Aburizal Bakrie, Harry Tjan Silalahi, Martha Tilaar, Hasan Wirajuda, Ery Seda, dan Rikard Bagun.
Buku setebal 456 halaman ini mengungkapkan banyak sekali aspek kehidupan Nafsiah Mboi yang belum pernah terpublikasikan beserta mazmur syukur yang senantiasa alumni PMKRI itu daraskan pada setiap langkah hidupnya.
Membaca biografi Nasfiah laksana mendengar nyanyian kehidupan. Mulai dari cerita soal Sengkang, kota kecil di Sulawesi Selatan pada 14 Juli 1940, benih cinta yang bersemi di Jalan Pos Jakarta hingga Nafsiah menapak tangga tertinggi dalam kariernya.
Penulis biografinya keren. Saya mengenal baik. Maria Hartiningsih adalah jurnalis Harian Kompas (1984-2015). Saya selalu suka menikmati tulisan Mbak Maria. Sentuhannya apik berbobot dalam masalah kemanusiaan dan HAM, keadilan, kesetaraan dan keberagaman.
Agung Adiprasetyo adalah pimpinanku. Beliau mantan CEO Kompas Gramedia. Beberapa kali berkunjung ke Kupang, dan Maumere, Ledalero. Tahun 2009 terpilih sebagai satu di antara CEO terbaik.
Agung Adiprasetyo aktif menulis di Kompas, Kontan, majalah Fortune dan lainnya. Diksinya menawan, menukik terukur dan kaya pesan. Biografi Nyanyian Kehidupan Nafsiah Mboi lahir dari tangan dua penulis top ini. Kata pertama hingga akhir mengalir indah. Menggoda untuk terus membaca.
Tepat kiranya Nafsiah Mboi mempercayakan Mbak Maria dan Mas Agung menulis biografinya. Mereka piawai menenun pengalaman Nafsiah Mboi dalam buku yang terbagi dalam 15 bab ini sebagai undangan untuk belajar tentang ketekunan, belajar soal totalitas.
Nafsiah Mboi saat peluncuran biografi |
Tentang kehendak untuk terus belajar yang tak pernah padam, kegigihan dan keberanian mempertahankan prinsip-prinsip kebenaran, kesetaraan dan keadilan. Pun belajar tentang empati dan kerendahan hati.
Lebih dari itu, kita belajar dari Nafsiah yang menjalani semuanya dengan rasa terima kasih dan syukur yang mendalam, detik demi detik.
Buku ini layak dibaca siapapun. Dari mahasiswa, orang kebanyakan, aktivitas sosial hingga para pemimpin pada level dan komunitas manapun.
Mbak Maria dan Mas Agung menulis: Nafsiah Mboi bagai batu karang di tengah samudra. Gelombang yang menghempasnya, ombak dan riak yang mengitarinya ketika angin utara mereda, sayup-sayup membentuk rangkaian nada yang dimainkan oleh orkestra alam, menciptakan nyanyian kehidupan (hal 417).
Tidak sulit kalau tuan dan puan ingin memiliki Nyanyian Kehidupan Nafsiah Mboi. Buku Penerbit Kompas lazimnya tersedia di Toko Buku Gramedia. *
* Dipublikasikan Pos Kupang cetak edisi Rabu 29 Juni 2022 halaman 2, rubrik opini.