Kebanggaan Asia

Li Na
Petenis China Li Na (31) mencetak prestasi luar biasa di awal tahun 2014. Dia menjuarai nomor tunggal putri turnamen tenis Grand Slam Australia Terbuka 2014 setelah di final, Sabtu (25/1/2014),  mengalahkan petenis berusia 24 tahun asal Slovakia, Dominika Cibulkova 7-6 (7/3), 6-0.

Setelah tiga kali menjadi finalis, baru tahun ini petenis China yang menjadi unggulan keempat itu meraih trofi. Juara Australia Terbuka 2014 adalah gelar kedua Grand Slam yang diraih petenis kelahiran Wuhan 26 Februari 1982 itu setelah Prancis Terbuka 2011. Sebelum turnamen tahun ini Li Na sudah dua kali mencapai final Australia Terbuka pada 2011 dan 2013.

Beberapa rekor penting dicatat Li Na di Melbourne. Dia menjadi petenis putri tertua yang menjuarai Australia Terbuka yang sebelumnya dipegang Margaret Court yang pada usia 30 menjadi juara turnamen ini pada 1973. Dia pun bergabung dalam daftar tujuh petenis pemenang Grand Slam dalam usia 30 plus, setelah Martina Navratilova, Billie Jean King, Chris Evert dan Serena Williams.

Li Na menjadi kebanggaan Asia. Kemenangannya di Australia Opem 2014 memberikan dorongan semangat untuk dunia tenis Asia Pasifik. Begitulah kurang lebih komentar media massa Asia menyambut kemenangan Li Na atas Cibulkova di grandfinal tersebut. Pers Australia pun antusias merayakan kemenangan Li Na. Sebagai turnamen Grand Slam di wilayah Asia Pasifik,  publik Australia ikut berbangga karena trofi bergengsi itu diraih petenis Asia.

Di jagat tenis profesional,  Asia memang tergolong medioker. Petenis-petenis Asia sangat sulit menembus dominasi petenis asal Eropa dan Amerika. Dalam peringkat 50 top dunia, baik di nomor tunggal putri maupun tunggal putra, dominasi petenis  Eropa dan Amerika sangat kuat. Di kawasan Asia pun, prestasi atlet tenis cenderung melemah dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Negara dengan tradisi tenis yang kuat seperti India, Thailand, Jepang, Indonesia dan Korea melempen. Satu- satunya negara yang masih konsisten menciptakan regenerasi petenis adalah China. 

Selain Li Na yang masuk papan atas, negeri Tirai Bambu tersebut  kini masih punya petenis putri lain di jajaran 50  besar dunia yakni Peng Shuai dan Zhang Shuai.

Prestasi petenis Indonesia bahkan lebih menyedihkan. Sepuluh tahun terakhir tidak ada lagi nama yang menjulang di level internasional. Setelah masa kejayaan Yayuk Basuki memudar akhir tahun 1990-an, Indonesia sempat berharap pada sosok mojang Priangan, Angelique Widjaja. Angelique pada tahun  2001 merebut gelar Juara Wimbledon Junior. Tahun 2002 ia merebut dua gelar lagi, yakni Juara Australia Terbuka di nomor ganda junior bersama Gisela Dulko dan Prancis Terbuka.

Angelique, kelahiran  12 Desember 1984 adalah petenis  yang terjun ke jalur profesional hampir bersamaan dengan Li Na. Namun, prestasinya tidak seperti Li Na yang masih gemerlap hingga sekarang.

Setelah  Angelique pensiun dari tenis, praktis belum ada lagi petenis putri Indonesia yang bermain di level dunia.Kemunduran prestasi cabang tenis merupakan kisah Indonesia hari ini. Semoga spirit  Li Na dari Melbourne memberi inspirasi untuk kebangkitan tenis Asia dan Indonesia pada khususnya. Ayo, Indonesia Bisa! *

Sumber: Tribun Manado 29 Januari 2014 hal 10

Tikus Mati di Lumbung Padi

Ketika pemerintah sibuk menyelidiki impor beras medium sepanjang tahun 2013 lalu, nyatanya beras asal Vietnam tersebut terus saja mengalir ke Indonesia. Pada  bulan pertama tahun ini sudah masuk sebanyak 1.400 ton. Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN)  Dahlan Iskan pun heran mengapa bisa masuk pasaran dengan harga lebih murah pula. Menurut kedua menteri, beras seenak jenis Rojolele ini masuk melalui impor ilegal.  Begitu teras berita Tribun Manado edisi cetak sehari yang lalu.

Beras medium asal Vietnam memiliki rupa, bijih, dan kualitas yang sama dengan jenis beras IR 64-1 lokal. Bedanya, harga beras medium lokal Rp 9.000 per kilogram (kg), sementara beras medium Vietnam dibanderol lebih murah, dijual rata-rata Rp 8.300-Rp 8.500 per kg.

Kedua menteri heran impor beras ilegal masuk pasar Indonesia. Itu jelas lagu lama yang diputar ulang.Pemerintah kalah gesit membendung tindakan melawan hukum dalam urusan pangan rakyat Indonesia bukan hal baru.

Sudah menjadi rahasia umum, selain masuk ke Indonesia melalui jalur resmi, tidak sedikit beras dari luar negeri seperti Vietnam merajai pasaran Indonesia dengan cara "main belakang" alias ilegal.  Merujuk pada hukum ekonomi itu masuk akal. Pedagang memilih beras dari luar ketimbang produksi lokal yang harganya jauh lebih mahal di tingkat petani hingga mengurangi nilai keuntungan mereka.

Indonesia mengimpor beras merupakan masalah klasik yang menghadirkan ironi . Kita memiliki lahan pertanian subur dan maha luas bila perbandingannya sekadar  negara kecil seperti Vietnam atau Thailand. Tapi kita tidak fokus lagi di bidang  itu sehingga untuk memenuhi kebutuhan perut rakyat Indonesia harus membuka kran impor selebar-lebarnya. Ada yang bilang pemerintah cari gampang!  Pemerintah tidak mendorong produksi dalam negeri dan memberi proteksi harga bagi petani. Ketika terdesak kebutuhan, pilihan mudah memang impor agar stok tetap tercukupi.
Untuk urusan pangan khusus beras, Indonesia tidak perlu malu menyandang predikat tikus mati kelaparan di lumbung padi.

Mengapa beras produksi petani lokal lebih mahal? Mudah sekali mencari musababnya. Biaya produksi yang digelontorkan petani Indonesia mahal amat. Kalau tidak dijual dengan harga yang tinggi petani jelas merugi. Benang kusut itu tentu butuh intervensi pemerintah yang berani memproteksi lewat regulasi ekonomi yang memihak kepentingan rakyatnya sendiri.

Bicara tentang impor, negeri ini layak disebut raja impor. Jangankan beras, hampir semua kebutuhan sembako kita bergantung pada impor. Garam, daging sapi, buah- buahan, sayur  bahkan ikan juga impor.  Ada pepatah Latin berbunyi Primum vivere, dei indei philosophare. Artinya penuhi dulu makan, barulah berfilsafat. Penuhi dulu kebutuhan pokok baru urus yang lain. Negara kita tercinta tidur terlalu lama. Salah urus di bidang pangan rakyat ini harus segera dicarikan solusi agar kita tidak bergantung terus dari negara luar. Semoga. *

Sumber:Tribun Manado 30 Januari 2014 hal 10

Jumpa Lagi di Negeri Kuning

ilustrasi saja
KEKALAHAN Squadra Azzurra pada puncak pesta Piala Eropa 2000, Minggu malam (2/7/2000) waktu Belanda atau Senin subuh Wita (3/7/2000), makin meneguhkan mitos bahwa Italia hanya bisa sukses jika ia kembali kepada watak dasarnya  bermain defensif. Italia yang sukses di Piala Dunia 1934, 1938 dan 1982 adalah Italia yang defensif. Italia yang runner up Piala Dunia 1970, 1994 dan juara III 1990 adalah yang memakai sistem grendel (catenaccio). Demikian pula ketika pasukan "Biru Langit" itu memenangkan Euro 1968.

    Dengan pola bertahan yang sangat kokoh, formasi 6 2 1 saat bertahan dan 4 4 2 sewaktu menyerang, Italia memiliki tembok pertahanan paling kokoh di dunia. Filosofi Italia adalah mengutamakan kemenangan bukan seni atau keindahan. Dengan tujuan utama seperti itulah sistem catenaccio dibangun. Segala cara harus ditempuh guna menekan sekecil mungkin risiko kemasukan gol.

    Tetapi Italia menghadapi perkembangan sepakbola dunia yang sangat pesat dengan tuntutan berbeda. Sejak goyang Samba memainkan jogo bonito yang menawan sejak Piala Dunia 1958 lewat kebesaran Pele dan Belanda memperkenalkan aliran total football  dalam Piala Dunia 1974 dan 1978 melalui kepiawaian Johan Cruyff dkk, dunia sepakbola memulai fase baru yakni sepakbola menyerang.

         Sepakbola menyerang    dalam perjalanan sejarahnya    tidak gampang terwujud di bumi Azzurri. Tahun 1982, Dino Zoff adalah salah satu pelaku utama sepakbola ultra defensif yang membawa Italia memenangkan Piala Dunia untuk ketiga kalinya. Pada waktu itu, Italia dipuji sekaligus dihujat dunia. Pujian untuk kekokohan pertahanannya. Namun, lebih dominan kritik pedas kepada negeri ini yang dilukiskan sebagai anti sepakbola menyerang yang telah merebut hati penggemar bola semenjak awal 1970 an.

         Italia tak peduli dengan semua itu. Dan sejarah pun mendukungnya. Cuma tahun 1982 itulah terakhir kalinya ada pesta besar bangsa Italia merayakan kemenangan di ajang paling bergengsi sepakbola dengan senjata grendelnya. Tahun tahun sesudah itu Italia mencoba formula sepakbola menyerang, tapi selalu gagal bahkan cukup sering ketika tinggal beberapa langkah lagi mencapai puncak. Tahun 1990 cuma merebut nomor tiga. Tahun 1994 nomor dua.

         Dalam kompetisi Piala Eropa lebih mengecewakan. Italia terakhir kali menjadi juara 32 tahun silam. Kemarin, di Stadion De Kuip Rotterdam, pesta besar itu sebenarnya  sudah menunggu dalam tempo hanya sekitar 30 detik. Tetapi dalam waktu yang sesingkat  singkatnya itu, Azzurri pingsan melalui gol Wiltord kemudian mati kaku lewat sontekan Trezeguet.

***
         BARANGKALI Anda pun bertanya seperti beta, mengapa Italia harus menelan kekalahan? Rasanya tidak fair kalau menyebut kemenangan Perancis semata mata karena faktor keberuntungan     sekalipun dalam jagat sepakbola faktor itu senantiasa ada dan perlu. Kalau pun kita memakai kaca mata keberuntungan, lalu apa salahnya bila pada musim panas tahun ini Perancis yang mendapatkannya? Toh mereka tidaklah buruk.

    Menyimak pertandingan final Euro 2000, sepertinya ada yang "salah" dalam tubuh tim nasional asuhan Zoff. Zoff sebenarnya hampir saja meraih sukses dengan kemampuannya menjaga harmonisasi pertahanan dan penyerangan sebagaimana telah ia lakukan dengan baik dalam lima penampilan terdahulu.  Meskipun sangat kental warna catenaccio dalam tubuh Italia asuhan Zoff, tetapi tidak berarti ia mengabaikan sepenuhnya attacking foorball yang menjadi tuntutan sepakbola modern. Zoff tetap mengutamakan serangan dalam skema 4 4 2 kesukaannya itu.

         Penampilan Squadra Azzurra selama 89 menit ke Rotterdam justru bertolak belakang dengan permainann defensifnya saat membantai tim Oranye Belanda 3 1 di semifinal. Sejak menit awal, Zoff menurunkan duet striker berkarakter penyerang murni yakni Francesco Totti dan Marco Delvecchio. Dugaan bahwa ia menurunkan duet Del Piero Inzaghi ternyata meleset.

        Italia langsung menyerang pertahanan Perancis. Dalam lima menit pertama, Squadra Azzurra telah mendapat dua kali sepak pojok. Pada menit ke 3, Delvecchio bahkan hampir saja menjebol gawang Fabien Barthez setelah mendapat set piece matang dari Stefano Fiore. Perancis justru bermain sebaliknya. Les Bleus yang biasanya langsung tancap gas dengan agresivitas terkesan lebih hati hati dalam menyerang, sehingga cuma mendapat satu peluang emas selama 45 menit pertama melalui Youri Djorkaeff.

        Babak kedua pun demikian. Italia lebih mendominasi permainan dengan ball possession sekitar 60 persen. Pemain Italia tujuh kali  tertangkap offside (Perancis 6 kali) juga menunjukkan bahwa Italia cukup menyerang, tidak seperti melawan Belanda yang seluruhnya cuma bertahan di daerah permainan sendiri.

         Zoff malah memberi kesan "berani mati" ketika ia menarik keluar Fiore menit ke 53 dan memasukkan Alessandro del Piero. Padahal Fiore adalah gelandang bertahan, sedangkan Del Piero merupakan second striker. Demikian juga sewaktu ia menggantikan Luigi Di Baigio dengan Massimo Ambrosini menit ke 66.

    Semua pemain bugar yang dimasukkan Zoff bertipe penyerang bukan bertahan. Itulah realitas Italia di grandfinal Euro 2000 yang boleh disebut  sebagai "kesalahan" Zoff, karena sejak menit ke 55 Italia sudah unggul 1 0 melalui gol Delvecchio. Memakai logika catenaccio, mestinya Zoff memperkokoh pertahanan lebih rapat agar tidak sampai kecolongan. Untuk itu dibutuhkan pemain bertahan seperti Ciro Ferrara atau Paolo Negro.

         Ketika pertandingan tinggal empat menit, Zoff malah menarik Delvecchio serta memasukkan Montela, sehingga Italia saat itu bermain dengan tiga penyerang: Totti Del Piero Montela. Keberanian Zoff melahirkan malapetaka. Pada 15 menit terakhir, Lemerre justru memasukkan tiga penyerang maut; Sylvain Wiltord, David Trezeguet dan Robert Pires. Pada saat itulah Perancis mulai memainkan serangan agresif dengan lebih apik. Palang pintu Azzurri pun jatuh bangun karena sudah kehabisan bensin.

         Pesta meriah yang sudah disiapkan pun buyar dalam 30 detik. Usai sudah perjuangan Azzurri. Kehormatan itu harus dimulai dari awal lagi    berjuang keras meraih 2004 di Portugal. Dan, untuk Anda semua penggemar Italiano yang kecewa berharaplah agar Italia lolos ke Jepang Korea dua tahun mendatang. Sampai jumpa lagi di negeri kuning. *

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Selasa, 4 Juli 2000. Artikel ini dibuat menanggapi hasil pertandingan final Euro 2000 yang dimenangi Perancis dengan skor 2-1.

Jangan Harap Zoff Berkhianat

MAKIN mendekati puncak, perjalanan Euro 2000 semakin menegangkan juga membosankan. Memang, sampai pertandingan ke 30, Jumat Wita (30/6/2000), banyak warna yang telah ditampilkan para seniman lapangan hijau kepada kita. Ada yang indah, menggemaskan, menyakitkan, menjengkelkan bahkan harus menguras air mata.

         Sampai semifinal sudah tercetak 85 gol. Tetapi pertandingan yang benar benar bersih, artinya berlangsung dalam waktu reguler 2x45 menit cuma 28 partai yakni 24 partai penyisihan grup dan empat partai perempatfinal. Babak semifinal yang kita harapkan berlangsung makin menawan, makin menyerang, makin agresif,  justru seperti mencapai anti klimaks. Baik perang Perancis vs Portugal maupun Belanda vs Italia harus melewati masa perpanjangan waktu 2x15 menit bahkan adu penalti. Penonton dan penggemar bola  dipaksa duduk dengan mata tak berkedip selama  dua jam lebih.

         Sampai pada titik ini  muncul kekhawatiran jangan  jangan sepakbola menyerang agresif yang telah diperlihatkan dengan bagus pada awal kejuaraan Eropa kali ini dikhianati pada saat saat menjelang puncak pesta. Dua pertandingan semifinal, setidaknya telah menunjukkan gejala yang mencemaskan itu. Yang lebih menghibur adalah pertandingan Perancis vs Portugal. Kedua tim meskipun harus menelan waktu selama 117 menit, tetapi menyuguhkan permainan atraktif dan enak ditonton.

         Pertunjukkan terburuk terjadi pada partai paling akhir antara Belanda vs Italia. Dalam kurun waktu 120 menit, kita menyaksikan permainan bola cuma bergulir setengah lapangan. Malah sepertinya si kulit bundar hanya bergulir di daerah pertahanan Squadra Azzurra yang melakukan pertahanan total ala Italia: sistem grendel. Dari pendekatan strategi permainan, agaknya dapat dimaklumi karena Italia sejak menit ke 33 bermain dengan sepuluh orang, sehingga mau tidak mau Dino Zoff menginstruksikan Paolo Maldini dkk bertahan saja.

         Serangan ke jantung pertahanan Belanda cuma dilakukan sesekali jika ada celah memungkinkan. Akibatnya kiper Belanda Edwin van der Sar tidak berkeringat karena cuma menonton rekan rekannya membombardir pertahanan Italia yang bagaikan tembok itu. Pola bertahan total gaya catenaccio Italia menjengkelkan pemuja sepakbola menyerang. Dalam istilah sepakbola, sistem pertahanan ini disebut sepakbola negatif atau anti sepakbola. Sudah banyak kritik terhadap Italia karena sistem pertahanannya itu tetapi karakter dasar sepakbola negeri spaghetti itu tidak gampang berubah.

         Italia di bawah Arigo Sacchi sebenarnya pernah melakukan perubahan yang dapat disebut radikal. Sacchi memperkenalkan sepakbola Italia yang lebih menyerang. Ia memulai eksperimen itu semenjak menangani AC Milan awal 1989 dan meraih sukses besar bersama trio flamboyan Belanda, Marco van Basten, Ruud Gullit dan Frank Rijkaard. Italia yang sukses mencapai final Piala Dunia 1994 adalah Italia yang sangat menyerang. Tetapi Sacchi dihujat habis  habisan ketika Italia gagal merebut juara Piala Dunia keempat kalinya. Di babak final Squadra Azzurra kalah 2 3 melawan Brasil.

         Sacchi terpaksa mundur dengan memikul makian sebagai "pengkhianat" sepakbola ala Italia lalu menyerahkan tongkat estafet kepada Cesare Maldini. Tapi Cesare Maldini ternyata serba tanggung. Tidak jelas, apakah sepakbola menyerang atau mempertahankan karakter Italia yang sangat bertahan itu. Hasilnya Italia gagal total di Piala Eropa 1996 dan Piala Dunia 1998.

         Kini Italia di bawah Dino Zoff seolah olah membenarkan mitos bahwa Azzurra hanya bisa sukses jika kembali ke watak dasarnya, kembali melestarikan warisan leluhurnya. Dino Zoff, kiper Italia yang sukses di Piala Eropa 1968 dan sebagai kapten tim saat Italia memenangkan Piala Dunia 1982 adalah pembela sistem grendel yang menakutkan itu.

         Jika Anda cermat menyimaknya, warna Italia 2000 sangat bertahan. Cuma pada tiga pertandingan penyisihan Grup B Italia sedikit lebih berani menyerang, tapi dengan syarat pertahanannya aman dulu dengan empat pemain yang tak berani naik sampai area pertahanan musuh. Sejak perempatfinal hingga semifinal, Italia benar benar defensif dan gol cuma mengandalkan serangan balik.

    Percaya atau tidak, melawan Perancis malam ini di Rotterdam, Azzurri tak mungkin mengkhianati karakter dasarnya itu. Zoff tak mungkin berjudi melawan Perancis yang sangat agresif dengan permainan terbuka. Jadi Anda sebaiknya menyiapkan kopi panas serta makanan kecil lebih banyak sebab bukan mustahil pertandingan melewati 120 menit atau lebih. *

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Minggu, 2 Juli 2000. Artikel ini ditulis menjelang pertandingan final Euro 2000 antara Perancis melawan Italia. Italia unggul lebih dulu lewat gol Delvecchio menit ke-55. Perancis berbalik  unggul dan meraih juara Eropa berkat gol Wiltord menit ke-90 dan gol Trezeguet pada menit ke-103

Mampus bila Zidane Dikunci!

NYAWA tim Ayam Jantan Perancis ada di kaki dan kepala Zinedine Zidane. Ini kenyataan yang sudah menjadi rahasia umum penggemar sepakbola. Semua orang sudah tahu kepiawaian Zidane sejak tim Les Bleus memenangkan Piala Dunia 1998 di negerinya sendiri.

         Rasanya masih segar dalam ingatan ingat final Piala Dunia 1998 di Stade de France Paris. Kala itu semua orang hampir percaya Brasil akan mempertahankan gelar. Tapi di final, Zidane memporak porandakan pertahanan Samba yang terkenal solid dan rapi. Zidane menistakan Jogo Bonito goyang Samba.  Zidane benar benar berperan sebagai pemain bebas  yang menguasai lini vital lapangan tengah sekaligus penjebol ulung lewat kepalanya yang botak. Dua gol dipersembahkan Zidane ketika itu. Semua orang terpukau. Zidane pun tanpa rival terpilih sebagai pemain terbaik dunia.

      Zidane adalah tipe pemain bebas, sebagaimana dengan elok diperankan jenderal Belanda, Ruud Gullit pada masa emasnya. Playmaker kelahiran 23 Juni 1972 ini memiliki skill yang komplit. Bertahan bagus, menyerang pun bagus. Dribel bolanya aduhai. Memberi umpan terukur, serta pengganggu ulung yang merepotkan pertahanan belakang musuh. Tembakan bola matinya pun cukup kerap menghasilkan gol. Pada masa masa sulit dan terjepit, Zidane biasanya tampil sebagai juru selamat tim. Kepiawaian itulah yang membuat orang Perancis senang dan memuji muji selalu dengan mengatakan, sang maestro Michel Platini lahir kembali.

         Pertanyaan penting ketika Perancis menghadapi Italia di grandfinal Euro 2000  malam ini adalah siapa yang bisa mematikan pergerakan Zidane? Kalau Zidane bergerak bebas, maka ancaman besar bakal menerpa Squadra Azzurra. Apalagi Zidane toh tidak asing dengan gaya permainan Italia, bumi tambun tempat ia mencari makan lebih dari empat tahun terakhir ini.

         Pemain inti Azzurri 2000 juga rekan rekannya seklub di Juventus serta anggota klub Serie A Italia lainnya yang sudah biasa ia hadapi. Malam nanti Zidane menghadapi sobatnya Del Piero, Inzaghi, Iuliano, Pesotto dan Ferrara. Ia juga akan bentrok dengan Luigi Di Biagio, Nesta, Paolo Maldini, Demetrio Albertini, Fabio Cannavaro, Stefano Fiore dan lain lain. Singkat kata, duel Perancis vs Italia seperti menonton semi Serie A jika melihat materi pemain inti kedua kesebelasan.

        Anggota dan mantan anggota Serie A di tim Perancis banyak. Yang masih aktif, Lilian Thuram (Parma), Laurent Blanc (Inter), Zidane (Juventus), Vincent Candela (Roma). Para mantan: Didier Deschamps (Juventus), Marcel Desailly (AC Milan), Youri Djorkaeff (Inter), Christian Karembeu (Sampdoria). Komposisi pemain serupa ini sangat menguntungkan Perancis, karena tipe permainan Azzurri tentunya bukan barang asing.

         Namun, tidak fair juga kalau tidak menyimak sisi lemahnya. Kehebatan Zinedine Zidane bukan hal baru untuk Paolo Maldini dkk. Malah pasukan Italiano sudah tahu kelemahan serta bagaimana cara mengunci atau mematikannya. Dino Zoff hampir pasti menugaskan satu atau dua pemain untuk mengawal Zidane agar pergerakannya bisa direm. Kehilangan Gianluca Zambrotta dan Antonio Conte (rekan Zidane di klub "Nyonya Besar" Juventus) membuat Zoff jadi sulit, tetapi masih ada Demetrio Albertini, Luigi 'gundul' Di Biagio serta Stefano 'anak ganteng' Fiore.

         Albertini, pemain langganan tim nasional sejak tahun 1990 itu agaknya cukup pas bila menjadi pengawal Zidane. Pemain Milan ini terkenal sebagai 'tukang jagal' yang tidak pandang bulu. Cara mentekelnya bersih meskipun dia agak temperamental. Kalau bukan dia, mungkin pemain intel bagi Zidane dipercayakan kepada anak muda yang cemerlang, Stefano Fiore atau Luigi Di Biagio.

    Fiore amat mobil dan tidak takut berduel. Umpan umpannya juga bagus. Kekurangannya mungkin jam terbang serta mental bertanding yang belum teruji dalam partai genting seperti final Piala Eropa. Kalau Zidane bisa dikunci Azzurri, maka Ayam Jantan tak mungkin berkokok nyaring. Les Bleus akan mampus dan frustrasi menghadapi tembok Italia yang begitu solid dibangun Alessandro Nesta, Paolo Maldini, Fabio Cannavaro dan Mark Iuliano atau Pesotto. Selain Zidane, lapangan tengah pasukan Roger Lemerre masih memiliki Emanuel Petit, Robert Pires, Patrick Vieira dan Youri Djorkaeff.  Tetapi kualitasnya masih satu kelas di bawah Zidane.   

         Kualitas pemain lini depan dan belakang kedua finalis ini tidak jauh berbeda. Tapi harus diakui soliditas palang pintu Azzurri lebih baik. Empat pilar Italia di belakang adalah pemain bertahan murni, kecuali sang kapten Paolo Maldini yang sesekali naik untuk mengatur strategi. Kemungkinan besar, Zoff menurunkan komposisi semifinal sebagai starter, dimana Del Piero berduet dengan Inzaghi sejak awal.

         Mengapa memilih Del Piero, bukan Francesco Totti atau Montela? Del Piero adalah pemain lini kedua, bukan striker murni seperti Inzaghi, Totti atau Montela. Zoff memerlukan Del Piero untuk menyusup ke area blind side (ruangan kosong) dengan cepat, jika Inzaghi dihadang Desailly, Blanc, Lizarazu atau Thuram. Del Piero pun dibutuhkan untuk membuat set piece sesering mungkin bagi Inzaghi serta perannya mengambil bola bola mati atau tembakan jarak jauh dari second line. Tembakan dari lini kedua diperkirakan akan sering terjadi dalam duel ini, karena pemain depan Italia pun tidak gampang menembus pertahanan Les Bleus.

         Ujian berat juga bakal dialami pertahanan Italia menghadapi bomber Thierry Henry Nicolas Anelka atau Henry Christophe Dugarry. Tipe ujung tombak Perancis itu mirip yakni berani menerobos pertahanan musuh, tidak takut berduel udara maupun body charge  dengan lawan. Kurang awas dan bijak menjegal di kotak terlarang, bisa menjadi bencana bagi Italia. Tetapi, bila Azzurri lebih dulu mencuri gol, mereka akan mempraktekkan catenaccio dengan baik karena mereka memang ahli di bidang pertahanan ini. Perancis tentunya tak mau kecolongan lebih dulu. *


Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra,
juga Pos Kupang edisi Minggu, 2 Juli 2000. Artikel ini ditulis menjelang pertandingan final Euro 2000 antara Perancis melawan Italia. Perancis akhirnya keluar sebagai juara Eropa setelah menang 2-1.

Meneer Minder


ilustrasi doang
UNTUK penggemar tim Oranye Belanda, beta menyampaikan rasa simpati yang mendalam atas tangisan dan air mata duka. Untuk yang kalah taruhan    menurut kabar burung yang beta dengar banyak yang kalah daripada yang menang    beta cuma bisa mengatakan,  ya itulah aneh dan indahnya sepakbola. Sepakbola senantiasa menawarkan humor tingkat tinggi. Candanya bisa membuat Anda tersenyum, tapi bisa juga sedih hati dalam sekejap.

    Beta ingin mengulangi lagi bahwa dalam jagat sepakbola, batas antara kesuksesan dan kenestapaan begitu tipis. Ada saat untung, ada waktu buntung. Dan Belanda, seolah olah dikhianati nasib baik sebagai tuan rumah serta aroma total football-nya yang sempat  meraih lagi cinta para pemuja bola di seluruh dunia.

        Terus terang, sejak lama beta memang penggemar Oranye, tetapi tidak fanatik. Tatkala tahu bahwa Oranye akan menghadapi Italia di semifinal, beta memegang erat data bahwa Italia unggul dalam hal rekor pertemuan kedua tim.  Rupanya data itu tidak banyak dilirik terutama oleh para penggemar Belanda. Juga peringatan Pelatih Frank Rijkaard 48 jam sebelum laga di Amsterdam,   agar pengagum Belanda jangan terlalu senang dengan keyakinan Belanda akan maju ke final.  Tapi itulah rumitnya psikologi idola yang memegang teguh prinsip tahi kucing pun terasa coklat!

         Sekali Anda jatuh cinta, Anda tak tega menerima hal hal yang buruk dari orang yang Anda kasihi. Anda cuma mau menerima sisi  sisi baiknya saja. Tetapi hari ini sepotong puisi Ebiet G. Ade lewat Camelia II terngiang riuh dalam realitas: Kata orang, cinta mesti berkorban! Anda telah berkorban demi cinta Anda kepada Oranye yang berjalan mulus dalam empat pertandingan Euro 2000, termasuk yang paling menggetarkan hati saat membantai Yugoslavia 6 1. Anda kalah taruhan, Anda meringis atau tak sanggup tidur sampai fajar menyingsing, hingga kokok ayam bersahut sahutan mengawali hari baru dengan sangat mengantuk.

         Adalah wajar bila Anda sulit menerima, mengapa pemain sekaliber Frank de Boer dan Patrick Kluivert gagal mengeksekusi penalti bahkan sampai dua kali, suatu peristiwa langka dalam persepakbolaan dunia. Si "mutiara hitam" dari Brasilia, Pele, yang hadir di Stadion Arena berkali kali menggelengkan kepala seolah tidak percaya. Demikian pula legenda hidup lainnya seperti Johan Cruyff, Eusebio serta Franz Beckenbauer.

         Lantas mengapa Belanda sampai kalah dengan cara menyakitkan demikian? Beta tidak paham seratus persen teknik sepakbola, tetapi yakin bukan masalah teknik musabab keruntuhan tahta Oranye di hadapan ayah, ibu, istri, anak serta orang orang tercintanya sendiri. Omong teknik, Belanda 2000 tidak lebih buruk dari Squadra Azzurra racikan Dino Zoff. Malah bisa disebut satu kelas lebih baik jika indikatornya para pemain internasional yang merumput di semua liga profesional terbaik Eropa. Tim Rijkaard merupakan gabungan pemain dari Liga Italia, Spanyol, Inggris, Skotlandia serta liga domestik Belanda. Mereka juga adalah bintang serta pemain kunci di klubnya masing masing. Suatu kenyataan yang berbeda jauh dengan Italia yang semua pemainnya 'cuma' produk lokal.

         Tim Belanda sangat menyerang, juga beruntung bermain di stadion sendiri. Dalam 2x45 menit, mereka mendapat dua kali penalti. Memegang bola lebih lama. Dalam laga 120 menit itu, 80 persen ball possession ada di kaki dan kepala pemain Oranye. Mereka mengurung Azzurri hingga sesak napas, memiliki 7 kali sepak pojok, sedang Italia hanya 3 kali. Bahkan Italia bermain hanya dengan sepuluh orang sejak menit ke 33.  Apa lagi kekurangan berkat dari sang dewi fortuna? Mengapa kekuasaan dan superioritas selama 87 menit itu sia sia belaka?

          Kalau mau dilitanikan, jawabannya banyak. Sulit termuat penuh dalam ruangan yang terbatas ini. Cuma ada catatanku, boleh percaya boleh juga tidak. Pertama, Belanda kalah karena minder! Pasukan Meneer Rijkaard minder karena rekornya selalu buruk menghadapi Azzurra. Dalam 13 pertemuan sejak 13 Mei 1920 hingga 9 September 1992, Belanda cuma menang 2 kali, seri 5 dan kalah 6 kali. Itulah yang membuat Paolo Maldini optimis. Itulah yang membuat nyali para "Santo" begitu membara, meski bermain di bawah tekanan mental dan teknik lawan yang amat perkasa. Tidak cuma tekanan 11 pemain, tapi lebih dari setengah penonton  yang memadati Arena dan puluhan juta pemirsa yang mengidolakan Belanda.

         Kedua, Belanda keok karena eforia. Psikologi masyarakat Belanda saat ini mirip negeri yang pernah dijajahnya, Nederland Hindie atau Hindia Belanda alias Indonesia, tanahku tercinta. Eforia reformasi Indonesia menuntut terlampau tinggi kepada Gus Dur dan Megawati tersayang. Seolah olah mereka bisa menyulap keterpurukan negeri dalam seluruh dimensi kehidupan dalam sesaat. Eforia reformasi membuat kita kurang sabar, kurang bijak.

        Konteksnya sedikit beda di negeri kincir angin sana. Di Belanda ada eforia kebangkitan kembali sepakbola. Merindukan lahirnya Cruyff muda,  Gullit, Van Basten dan Rijkaard muda. Sampai sampai sapi pun diberi kostum Oranye, dipakaikan kaca mata mirip Edgar Davids. Seorang rekan yang hampir sepuluh tahun cari makan di Amsterdam, pekan lalu menelepon beta. "Eja, seluruh Belanda ini cuma ada satu warna, warna bunga tulip, Oranye. Rumah dan halaman dicat Oranye, pagar, atap Oranye. Bibir dan muka pun Oranye. Mungkin juga (maaf) celana dalam pun Oranye". Begitu kata rekan ini.

         Eforia selalu berwajah ganda. Positif negatif. Positifnya bisa melahirkan kreativitas. Tapi kegembiraan yang meluap luap bisa kebablasan yang membuat orang tidak awas, kurang tanggap, tidak peka lagi terhadap kondisi lingkungannya. Eforia rakyat Belanda yang terlalu yakin kembalinya masa emas sepakbola, akhirnya patah di tengah jalan. Ia menjadi beban mental yang terlalu berat dipikul Frank de Boer dan Kluivert saat menendang bola dari jarak cuma 12 meter. Tuntutan publik Oranye cuma satu: Harus menang dan saat itu keperkasaan de Boer Kluivert sirna.

         Tapi sudahlah. Lupakan semua kekecewaan dan kesedihan hati Anda. Bukankah Belanda sudah memperlihatkan sepakbola indah? Dari zaman nenek moyangnya, Belanda punya watak dasar ini: Selalu bermain indah, urusan menang kalah nomor belakang. Oranye 2000 telah sangat menghibur, telah memanjakan pemuja bola. Oranye 2000 sekali lagi menunjukkan jati dirinya sebagai juara tanpa mahkota, merebut piala tanpa anggur, tetapi ia akan selalu dan selalu...bersemayam anggun di hati penonton! *

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Sabtu, 1 Juli 2000. Artikel ini dibuat ketika Belanda gagal maju ke babak final Piala Eropa 2000.

Selamat Jalan Rijkaard

HARGAILAH Frank  Rijkaard! Itulah kata kata puitik yang ditulis detik.com. Kalimat ini agaknya pas sebab sekalipun Belanda kalah 1 3 dari Italia di semifinal Europees Kampionschaap 2000, Rijkaard mampu menghibur penggemar bola dunia dengan hidangan total football. Pengunduran dirinya sebagai pelatih membuat Belanda kehilangan tokoh penghapus momok perselisihan rasialis yang selalu menggelayut di timnas Belanda. Rijkaard adalah pelatih berkulit hitam yang sukses serta reputasinya bisa disejajarkan dengan pelatih bule lainnya.

    Rijkaard lahir di Amsterdam 30 September 1962 dan memulai musim pertamanya bersama Ajax tahun 1980. Membuat debut untuk Belanda pada 1 September 1981 melawan Swiss sebelum ulang tahunnya yang ke 19. Ia bermain selama 73 kali bersama Belanda. Dia tercatat sebagai pemain Belanda keempat paling banyak main buat tim nasional.

         Tahun 1987 Rijkaard membawa Ajax menggondol Piala Winners dan setahun kemudian ia bergabung dengan anggota La Liga Spanyol,  Real Zaragoza. Baru beberapa bulan di Spanyol ia boyongan ke AC Milan bersama dua rekannya, Marco Van Basten dan Ruud Gullit. Rijkaard ikut membantu AC Milan meraih gelar Piala Champions tahun 1989 dan 1990. Ia juga menjadi tulang punggung Belanda ketika meraih gelar Piala Eropa 1988.

    Tahun 1995 ia mudik ke Ajax dan membantu klub yang dulu bermarkas di De Meer itu membawa gelar Piala Champions 1995. Tahun itu sekaligus menjadi tahun terakhirnya bersama klub profesional. Untuk timnas Belanda, Rijkaard memainkan partai terakhirnya ketika perempatfinal Piala Dunia 1994 ketika ditaklukkan Brasil 3 2.

         Setelah berbisnis pakaian olahraga, tahun 1998 ia menerima tugas negara melatih timnas menggantikan Guss Hiddink. Bersama Johan Neeskens dan Ronald Koeman, Rijkaard sebelumnya membantu Hiddink mengasuh Belanda.

         Bulan Agustus 1998, Koninklijke Nederlandsche Voetbalbound (PSSI nya Belanda) mengangkatnya sebagai pelatih Belanda dengan Neeskens sebagai asisten. Ia membawa Belanda dalam 22 pertandingan dengan rekor menang delapan kali, draw 12 kali dan kalah dua kali. Setelah gagal menekuk Italia di semifinal Euro 2000, Frank Rijkaard mengundurkan diri dari posisinya sebagai pelatih Belanda. Ada kabar, ia bakal melatih klubnya, AC Milan Italia.                             

Menyusul pengunduran diri Rijkaard, Kantor Berita Antara, Jumat (30/6/2000) melaporkan, mantan bos Ajax Amsterdam dan Barcelona, Louis van Gaal difavoritkan untuk menggantikan Frank Rijkaard selaku pelatih tim nasional Belanda.

        Van Gaal yang meninggalkan Barcelona bulan lalu bebas untuk segera mengambil alih tugas itu. Mantan pemain internasional Belanda Arnold Muhren, rekan setim Rijkaard di tim Oranye yang memenangi kejuaraan Eropa 1988    mengatakan Louis van Gaal pantas menggantikan Rijkaard. "Saya pikir dia (Van Gaal) tepat sebagai manajer tim nasional. Dia telah melaksanakan tugas dengan baik di Ajax dan Barcelona," kata Muhren.

         Rijkaard memang gagal membawa Belanda ke final dan mengulangi sejarah emas dua belas tahun silam. Tetapi Rijkaard sangat dihormati para pemainnya. Selamat jalan Frank Rijkaard. Dunia akan tetap mengenang Anda. Sebagai pelatih, perjalanan Anda masih sangat panjang. *

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Sabtu, 1 Juli 2000. Artikel ini dibuat setelah Belanda gagal di semifinal Euro 2000 melawan Italia. Belanda kalah dalam drama adu penalti.

Tak Ada Lagi yang Perawan

ilustrasi saja
BETA harap pikiran Anda jangan terbang ke mana mana dulu membaca ulasan ala kadarnya ini. Perawan yang dimaksudkan di ruangan ini cuma berurusan dengan tembakan bola, bukan 'tembakan' yang lain. Kalau ada yang punya pikiran tidak dalam konteks sepakbola, itu sah sah saja, tapi di luar tanggung jawab beta.
  
      Begini bolamania. Bila Anda cermat mengkaji, betapa langkanya ente (Anda)  mencari gawang yang masih perawan di ajang Piala Eropa 2000. Bukankah gawang perawan tak ada lagi sejak putaran pertama? Enam belas gawang sudah jebol semuanya. Telah tercabik cabik oleh tembakan beragam gaya laki laki berusia produktif (kalau meminjam istilah BKKBN masuk kategori PUS   Pasangan Usia Subur)  yang haus dan lapar sebanyak 78 kali. Duh Gusti, betapa malangnya nasib pengawal terakhir mahkota sebuah tim ini.

        Ya, gawang adalah mahkota seorang goal keeper yang mutlak dijaga dengan segala daya dan upaya. Jebolnya gawang selalu menimbulkan derita batin penjaga gawang. Derita itu bisa sangat panjang, sangat lama, akan terkenang sepanjang hayatnya. Karena dialah palang pintu terakhir. Lebih dari itu dialah ukuran martabat dan kehormatan tim. Tetapi karena martabat itu pula, 11 pemain lawan selalu berusaha merobek robeknya sesering mungkin, sebanyak banyaknya. Tak peduli ada pipi, dada, hidung, mulut, atau bagian tubuh lain yang sampai berdarah ataupun tidak.

         Permainan bola bergulir dalam lapangan berukuran 90 x 120 meter persegi. Tetapi aliran bola itu dimainkan sedemikian rupa, dikelola dengan prinsip prinsip manajemen, diramu dengan meneteskan keringat atau darah, untuk disasarkan pada satu lubang kecil berjaring dengan lebar tak lebih dari 7,3 meter. Letak lubang itu begitu anggun. Dia persis berada di tengah tengah pada dua sisi lapangan. Ke sanalah kulit bundar bergerak dengan usapan lembut ataupun sontekan sekeras kerasnya atau setajam tajamnya. Ahh..!

***

         TUJUH puluh delapan kali sudah Anda menyaksikan gawang jebol selama penyisihan grup Euro 2000 hingga babak perempatfinal yang berakhir Senin Wita (26/6/2000). Setiap kali gawang itu jebol, Anda tertawa riang. Melonjak girang. Anda mereguk puncak kenikmatan. Tapi boleh jadi Anda sedih, meringis bahkan  menangis.

    Sungguh mati, suasana serupa ini jauh berbeda dengan situasi empat tahun silam di Inggris. Waktu itu sampai dengan 24 partai babak penyisihan berakhir, masih ada yang belum terobek 'selaput daranya' yaitu gawang Andreas Koepke dari Jerman yang ujung  ujungnya keluar sebagai juara.

          Sepakbola rupanya makin agresif di ujung abad ke 20 ini. Tidak cukup lagi sekadar menyerang! Sepakbola 2000 dicirikan dengan menyerang agresif. Terminologi ini barangkali salah menurut pakar bahasa Indonesia, tetapi kurang lebih berarti bahwa tak lagi sepakbola menyerang tanpa agresivitas.

         Data statistik menunjukkan, sampai putaran pertama usai, tercipta 65 gol dalam 24 pertandingan atau rata rata 2,7 gol per partai. Grup C yang dihuni Yugo, Spanyol, Norwegia dan Slovenia paling subur yakni 18 gol diikuti Grup  A dan D masing masing 17 gol dan Grup B 13 gol. Dari 24 partai ini, hanya dua pertandingan berakhir 0 0 yakni Slovenia vs Norwegia dan Turki vs Swedia.

         Pada Euro 1996, sampai berakhirnya 24 partai penyisihan grup cuma menghasilkan 55 gol disertai satu gawang yang masih perawan. Data ini memperlihatkan kepada kita Euro 2000 memang lebih menyerang. Lebih agresif. Fakta paling dashyat justru terjadi dalam empat partai perempatfinal, tercipta 13 gol dan semuanya berlangsung dalam duel 2x45 menit. Bila dirata ratakan terjadi 3,2 gol per pertandingan. Kecemasan akan datangnya tragedi sudden death justru tidak terjadi.

         Empat tahun lalu memang tercipta  19 gol di babak perempatfinal, tetapi 15 gol lahir dari adu penalti setelah duel membosankan selama dua jam (120 menit) karena setiap tim takut kebobolan. Yang tercipta dalam 2x45 menit cuma 4 gol yaitu ketika Jerman mengalahkan Kroasia 2 1 dan Republik Ceko menang tipis 1 0 atas Portugal. Partai perempatfinal antara Spanyol v Inggris dan Perancis v Belanda berakhir 0 0. Inggris akhirnya menang adu penalti 4 2 serta Perancis mengalahkan tim Oranye Belanda 5 4.

        Bagi pemuja sepakbola menyerang, penampilan 352 seniman bola musim panas tahun ini patut disyukuri. Mereka telah menyuguhkan pesta yang tidak membosankan, meskipun semuanya berlangsung larut malam untuk sebagian besar penghuni kawasan Kathulistiwa. Pesta meriah yang tak henti hentinya mengajak penonton ikut berdansa karena indahnya gol demi gol yang terukir ke gawang.

         Italia yang terkenal ultra defensif dengan sistem pertahanan grendelnya (cattenacio) pada masa lalu, kini sangat agresif. Dino Zoff ternyata tidak mau mengkhianati Arrigo Sacchi, pendekar sepakbola menyerang Italia yang sukses di USA 1994. Demikian pula Portugal yang sejak lama memang penganut berat aliran Samba dengan sedikit irama Eropa. Salah satu bukti kejantanan Portugal adalah merobek robek gawang Jerman tiga kali tanpa balas.

         Perancis sang juara dunia itu apalagi.  Berintikan pemain kulit berwarna coklat dan hitam manis, Les Bleus bermain sangat terbuka. Sampai sampai pengamat bola bingung, bagaimana membedakannya dengan aroma total football Belanda. Sepakbola menyerang agresif, itulah dambaan generasi milenium ketiga. Hanya dengan semakin menyerang, makin agresif (tentunya dengan tunduk pada norma norma), sepakbola akan tetap menjadi cabang nomor satu sejagat dari sisi jumlah penggemar serta daya pikat ekonomisnya.

        Sepakbola menyerang agresif menganut prinsip, pertahanan terbaik adalah dengan terus menyerang. Karena itu, akan terasa kuno atau ketinggalan zaman jika membanggakan 'keperawanan' gawang dengan cara bertahan total! Sepakbola menyerang tidak anti keperawanan gawang, malah sangat mengagungkannya. Tetapi keperawanan itu harus dipertahankan dalam semangat keterbukaan, kebebasan berpikir dan bertindak. Tidak puritan!

         Ada tuntutan paradoks. Makin sering gawang dijebol, semakin asyik karena di sanalah kenikmatan dan kehormatan itu diraih, tidak cuma bagi pemain tapi juga penonton. Euro 2000 masih menyisakan tiga partai yang kian menegangkan. Beta kok percaya, Belanda, Perancis, Portugal dan Italia tak mungkin mengkhianati agresivitas bola yang telah sangat memanjakan para pemujanya. *

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Rabu, 28 Juni 2000. Artikel ini  dibuat berkaitan dengan rekor gol yang tercipta sejak babak penyisihan hingga babak perempatfinal  Piala Eropa 2000 di Belanda dan Belgia.

Urusan Rekor, Oranye Keok!

MELIHAT penampilannya yang semakin aduhai, semua orang agaknya hampir percaya tuan rumah Belanda akan keluar sebagai juara Piala Eropa di kampung halaman sendiri tahun ini. Tetapi hati hati, dalam hal rekor pertemuan Belanda Italia, tim Oranye benar benar keok, kalah bersaing dengan Azzurri.

    Simak saja catatan sejarah ini.  Dari 13 kali pertemuan keduanya sejak tanggal 13 Mei 1920 dan paling akhir tanggal 9 September 1992, Italia menang sebanyak 6 kali, seri lima kali dan cuma kalah 2 kali. Sebaliknya Belanda kalah 6 kali, seri 5 kali dan menang hanya 2 kali.

     Mengingat kilas balik sejarah itu, ada saran bijak untuk penggemar Oranye. Sebaiknya jangan terlalu dini berpikir bahwa Oranye akan dengan enteng maju ke final kemudian menempati singgasana terindah. Namun, ada satu titik yang sudah pasti pertandingan semifinal Euro 2000 antara pasukan Kincir Angin melawan serdadu Rowawi di Stadion Arena Amsterdam Belanda, Kamis (29/6/2000) bakal seru dan layak ditonton.

         Partai ini menjanjikan kepuasan. Bukan hanya dari sisi kualitas permainan, tetapi juga ajang adu gengsi sebagai negara sepakbola di Eropa. Percayalah, permainan sepakbola kelas dunia akan dipertontonkan oleh kedua kesebelasan. Keduanya sama sama sudah pernah menjadi juara Eropa. Belanda, meskipun belum pernah juara dunia    tetapi prestasinya tidak bisa dikatakan satu kelas di bawah Italia yang sudah tiga kali memegang tropi Piala Dunia.

    Perjalanan Italia dan Belanda menuju babak semifinal Euro 2000 sama sama mulus dan bermutu. Italia meraih hasil bersih di Grup B kemudian mematahkan Rumania    pembunuh raksasa Britania    dengan skor meyakinkan 2 0. Tak disangka, tim asuhan Dino Zoff yang mendapat banyak kritikan bahkan tidak diunggulkan itu meraih hasil sangat menakjubkan.

         Penampilan necis dan rapi parlente pun telah diperagakan tim Oranye. Memimpin Grup D dengan menistakan juara dunia 1998 Perancis 3 2, menumpas tim Dinamit Denmark 3 0 dan menekuk runner up 1996, Repuklik Ceko 1 0. Di perempatfinal, Senin dinihari Wita (26/6/2000), Belanda memperagakan kehebatannya yang fantastik. Membantai singa Balkan, Yugoslavia dengan skor terbesar dalam ajang Euro 2000, 6 1.

            Melihat materi pemain maupun sutradaranya, Belanda saat ini justru diasuh pendekar bola yang selama lima tahun lebih menjadi maskot Serie A Italia, liga profesional nomor satu di dunia. Frank Rijkaard, semua orang tahu betapa luar biasanya dia bersama Ruud Gullit dan Marco van Basten ketika menjadi tridente AC Milan.

         Pikiran enteng akan mengatakan, Belanda seharusnya tidak perlu gentar menghadapi Azzuri 2000. Toh sebagian besar pemain Belanda adalah mantan anggota Serie A bahkan masih ada sejumlah pilar yang kini masih merumput di sana, seperti Edgar Davids dan kiper Edwin van der Sar (Juventus). Sementara Dennis Bergkamp, Aron Winter (mantan Inter Milan), Patrick Kluivert (eks AC Milan), demikian pula Clarence Seedorf.

         Selama bermukin di negeri spaghetti itu, para pemain ini tentunya sudah tahu rahasia kekuatan Italia. Secara makro gaya permainan Italia sudah dihafal oleh tim Oranye Belanda. Sekarang tergantung kepada Frank Rijkaard meramu strategi dan taktik yang yang tepat untuk melumpuhkan Paolo Maldini dkk.

         Banyak sisi lebih menguntungkan tuan rumah. Mereka bermain di kandang sendiri, Stadion Arena Amsterdam. Tapi yang perlu diwaspadai Belanda adalah faktor antiklimaks yang bisa saja menghadang pada partai menentukan ini. Sebab mereka sudah bertarung habis habisan di perempatfinal mengalahkan Yugoslavia. Jangan jangan memasuki babak semifinal, mereka justru kehabisan bensin.

         Melihat materi pemain yang ada, akan terjadi pertarungan sengit di semua lini. Lini tengah akan saling bertarung Edgar Davids vs Demetrio Albertni. Di lini vital tersebut Belanda mungkin yang akan lebih mengusainya karena Italia kehilangan pekerja kerasnya,  Antonio Conte yang cedera enkel kaki diinjak Gheorghe Hagi (Rumania). Memang ada Luigi di Biagio atau Angelo de Livio, tapi mutunya satu kelas di bawah Conte.

         Di lini belakang, kedua tim memiliki kualitas hampir sama, meskipun dari sisi soliditas, Italia lebih baik. Azzurri memiliki Nesta, Cannavaro, Mark Iuliano dan Paolo Maldini (mudah mudahan cederanya sudah pulih). Sementara lini belakang Belanda digalang kapten Frank de Boer, Michael Reiziger, Paul Bosvelt, Jaap Stam serta kiper kurus jangkung, Edwin van der Sar.

         Pola permainan kedua tim tidak berbeda banyak. Italia 2000 adalah Italia yang sangat menyerang. Dino Zoff ternyata tidak lagi fanantik buta terhadap sistem grendel yang telah banyak dikritik itu. Zoff justru piawai meramu harmonisasi, menyerang dan bertahan.

    Sedangkan Belanda, semua orang juga sudah tahu dengan total footballnya yang berprinsip: Pertahanan terbaik adalah dengan terus menyerang lawan sampai kedodoran. Siapa yang beruntung? Anda sebaiknya menjadi saksi dengan langsung menonton via layar kaca. *

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Rabu, 28 Juni 2000. Artikel ini ditulis menjelang pertandingan babak semifinal Euro 2000 antara Belanda melawan Italia. Kedua tim bermain seri 0-0 selama 120 menit.  Italia lolos ke final berkat kemenangan 3-1 lewat adu penalti.

Semua Sudah Tahu Perancis

ilustrasi saja
SIAPA yang tidak mengenal Perancis? Mereka juara dunia terakhir, tahun 1998. Belum genap dua tahun tropi tertinggi dalam kejuaraan sepakbola sedunia itu mereka raih dengan mengesankan di tanah air sendiri. Tim Ayam Jantan mengalahkan juara bertahan Samba Brasil di final sekaligus mengukuhkan diri sebagai negara ketujuh di dunia yang memenangkan World Cup.

            Sejak pesta sebulan penuh pada Juni Juli dua tahun lalu, anak kecil di Kupang pun tahu siapa saja pemain Perancis. Didier Deschamps, Zinedine Zidane, Youri Djorkaeff, Marcel Desailly, Bixente Lizarazu, Christian Karembeu, Lilian Thuram, Fabien Barthez, Laurent Blanc atau Emanuel Petit dan lainnya bukan lagi nama yang asing. Tidak cuma nama, wajah serta aksi aksinya di lapangan hijau pun dikenal dengan mesra dan akrab.

         Jadi wajar saja, ketika Euro 2000 bergulir di Belgia Belanda, Perancis begitu banyak mendapat simpati dunia. Ia menjadi salah satu favorit juara bersama Belanda, Spanyol, Inggris dan Jerman. Ternyata nasib Inggris dan Jerman tak semanis perkiraan banyak orang. Mereka terjungkal dengan cara memalukan. Langsung cium kanvas pada ronde pertama. Yang mengejutkan malah Italia yang diremehkan tapi justru melanglang buana hingga ke semifinal.

    Sebagai favorit, Perancis praktis sendirian melaju bersama tuan rumah Belanda. Bergabung di Grup D, Perancis dan Belanda memperlihatkan superioritasnya dengan memukul Denmark dan Republik Ceko, runner up Euro 1996. Bahwa Perancis akhirnya menyerah 2 3 kepada tim Oranye dalam laga terakhir grup, tim yang ditunjuk Roger Lemerre cumalah pelapis. Ayam Jantan tipe B yang nyatanya cukup merepotkan juga Belanda yang turun paripurna.

    Ayam Jantan berkokok lagi di perempatfinal, Senin Wita (26/6/2000). Tim Matador Spanyol dipatuk 2 1. Menangislah Raul Gonzalez dengan nada getir. Anak anak Antonio Camacho langsung mengemas koper dan pulang ke Spanyol. Tak ada lagi teriakan Espanaaa...Espanaa di Belgia Belanda. Perancis menghancurkan Spanyol dengan gagah berani. Laksana Napoleon Bonaparte menguasai hampir seluruh benua Eropa pada abad yang lampau.

         Hari ini, Perancis    pasukan para cucu Napoleon itu    sudah berada pada etape terakhir menjelang puncak tertinggi. Mereka akan menghadapi Portugal di semifinal yang berlangsung di Stadion King Baudouin, Brussel, Belgia. Sekali lagi, semua orang sudah tahu tentang mereka. Mereka dijagokan, mereka diunggulkan, difavoritkan akan keluar sebagai pemenang!

         Mungkinkah terjadi demikian? Tunggu dulu. Jangan tergesa gesa Anda memberi kesimpulan sebelum Wasit Guenter Benko (Austria) menuip peluit panjang di Baudouin, Kamis dinihari nanti. Benar bahwa sejarah mencatat, dalam 18 pertemuan Perancis vs Portugal sejak 18 April 1926 sampai yang terakhir 22 Januari 1977, Perancis menang 12 kali, seri 1 kali dan cuma kalah 5 kali. Lagipula Portugal terasa begitu asing untuk penggemar bola di sini, kecuali dalam urusan Timtim (mungkin?).

         Portugal memang underdog, tetapi bukan berarti mereka akan mudah menyerah. Hasil sempurna sejak penyisihan Grup A dengan menaklukkan Jerman 3 0, Inggris 3 2, Rumania 1 0 kemudian Turki 2  0, sudah seharusnya ditulis bahwa mutunya tidak lebih buruk dari Perancis atau benarlah kata dunia, mereka merupakan generasi emas.

    Omong sepakbola menyerang, Luis Figo dkk sudah memperlihatkannya dalam empat kali penampilan mereka. Jadi tidak kalah bagus dengan Zinedine Zidane dkk. Soal kolektivitas, justru itulah salah satu kekuatan tim asuhan Humberto Manuel de Jesus Coelho.

         Kalau Perancis mengajak main terbuka, agresif, menyerang, Portugal pun siap. Kekurangan Perancis justru di lini depan yang belum cukup mengilap. Duet Thierry Henry Nicolas Anelka atau Henry Dugarry sejauh ini baru mengoleksi paling banyak dua gol. Perancis masih seperti dua tahun lalu. Yang mencetak gol adalah pemain tengah dan belakang, bukan depan!

         Bagaimana dengan Portugal? Nah, inilah bahaya besar yang harus dapat diantipasi Lemerre. Tim berirama Samba ini punya kekuatan yang sama bagus di semua lini (depan tengah belakang). Kemampuan mencetak gol pun luar biasa. Ada Sergio Conceciao, Nuno Gomez, Sa Pinto, Luis Figo, Couto, Sousa juga Etxeberria. Akan sulit jika Perancis cuma memberi perhatian pada satu atau dua pemain. Duel lapangan tengah pun hampir imbang. Kualitas Figo dan Zidane tidak jauh berbeda sebagai dirigen yang mengatur irama.

         Empat tahun mendatang, Euro 2004 akan berlangsung di Portugal. Negeri Latin Eropa itu akan menjadi tuan rumah. Sanggupkah Vitor Baia saat itu akan disebut sebagai juara bertahan? Semuanya tergantung anak anak Portugal sendiri. Peluang emas itu sudah ada di depan mata. *

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra,
juga Pos Kupang edisi  Rabu, 28 Juni 2000. Artikel ini dibuat ketika Perancis akan menghadapi Portugal di babak semifinal Euro 2000. Perancis akhirnya lolos ke final setelah menang 2-1

Hagi Mengalahkan Rumania

 ITALIA pantas menang dan melaju ke babak semifinal karena konsistensinya terhadap sepakbola menyerang serta mental bertanding yang menjunjung tinggi fair play. Tetapi yang mengalahkan Rumania 2 0 bukan tim Azzurri,  melainkan seorang Gheorghe Hagi. Ini pendapat pribadi beta setelah menyaksikan pertandingan Italia vs Rumania lewat layar kaca RCTI, Sabtu malam 24 Juni 2000 atau Minggu dinihari Wita (25/6/2000).

    Gheorghe Hagi memperagakan tindakan sangat memalukan dengan sengaja jatuh (diving) di kotak penalti Azzurri pada menit ke 59 dengan harapan Wasit Vitor Manuel Melo Pereira menunjuk titik putih. Padahal ia cuma disentuh sangat lembut oleh libero Italia, Alessandro Nesta. Tatkala wasit memperingatkannya, Hagi malah mengeluarkan jurus "mulut besar" seolah olah tidak bersalah. Kepalanya terus menggeleng. Tapi ia harus ke luar lapangan dengan menerima cemoohan penonton yang mengiringinya dengan hujatan.

         Hagi sungguh merusak perjuangan Rumania. Pada menit ke 54 ia menerima kartu kuning pertama karena dengan kasar menginjak tumit pekerja keras Italia di lapangan tengah, Antonio Conte. Conte meringis kesakitan hingga meneteskan air mata. Bahkan saat itu juga harus diganti dengan rekannya, Luigi Di Biagio. Cedera Conte cukup serius dan hal itu diakui Pelatih Italia, Dino Zoff saat jumpa pers setelah pertandingan. Hanya dalam tempo empat menit setelah menginjak Conte, Hagi membuat kesalahan yang lebih gawat sehingga mendapat kartu kuning kedua. Rumania terpaksa merumput dengan sepuluh orang.

    Ah, rasanya Rumania memang lebih baik bermain tanpa Hagi seperti di Charleroi, Rabu lalu ketika mereka menaklukkan Inggris 3 2. Melawan Inggris, Rumania tanpa Hagi tetapi menang meyakinkan. Membuat rakyat Inggris menangis dan sejarah ini akan tetap terkenang di relung hati anak anak Britania. Hagi tidak bisa merumput melawan Inggris karena ia sudah menerima dua kartu kuning saat melawan Jerman dan Portugal.

    Mestinya Hagi yang kini berusia 35 tahun tahu diri dan bijak. Sebab karena perjuangan keras Dorinel Munteanu dan rekan  rekannya, dia masih boleh menunjuk dada dan tampil bergaya "ABG" dengan kepala plontos di perempatfinal. Apalagi masuk perempatfinal Piala Eropa bagi Rumania melalui penantian sangat lama, hampir seumur Hagi sendiri yaitu 28 tahun! Sayang sekali, penantian itu pupus oleh sikap Hagi dalam empat menit.

    Penampilan Rumania tanpa Hagi justru lebih kompak, solid dan menggigit. Hasil 3 2 atas Inggris di Charleroi, Rabu lalu dengan bening memperlihatkan hal itu. Munteanu, Adrian Mutu, Adrian Ilie serta Dan Petrescu bermain lebih kreatif dengan mengeluarkan seluruh kemampuan terbaiknya. Jika ada Hagi, mereka selalu merasa didikte dan diatur, karena Hagi merasa paling hebat di lapangan.

         Fakta paling segar terjadi dalam 31 menit babak kedua melawan Italia, kemarin. Selama 31 menit itu Rumania tanpa Hagi, hanya dengan sepuluh orang, namun Italia tak sanggup menambah gol. Angkat topi buat anak asuhan Emerich Jenei ini. Seandainya Ilie, Contra dan Petrescu tidak mendapat sanksi kartu kuning dan turut bermain, belum tentu Italia tetap unggul 2 0 hingga duel berakhir.

         Mengutip curi ilmu psikologi, fenomena Hagi yang "memalukan" di Euro 2000 ini termasuk post power syndrome. Hagi    sama halnya dengan libero Jerman Lotthar Matthaeus    sebenarnya tak pantas lagi bermain, jika ditilik secara teknis maupun psikis. Usia emasnya sudah lewat. Tetapi Rumania masih mempertahankannya, karena nama besarnya sebagai "Maradona dari Charpathians" yang pada masa lalu membawa sukses untuk negerinya.

         Hagi adalah legenda hidup Rumania. Pemain kelahiran Cacele, Rumania 5 Februari 1965 ini sudah bermain selama 16 tahun untuk negerinya dengan rekor 123 kali dan mencetak 34 gol. Enam kali ia meraih gelar pemain terbaik Rumania. Ikut Piala Eropa sejak 1984, 1996 dan 2000 serta tiga kali Piala Dunia sejak tahun 1990. Belum lama berselang, ia sukses membawa klubnya Galatasaray Turki memegang tropi Piala UEFA. Cinta rakyat Rumania untuk Hagi tak terlukiskan dengan kata kata, sehingga mereka menonomorsekiankan usianya yang telah 35 tahun. Hagi pergi ke Euro 2000 dengan puja dan puji yang mengalir bagai air bah dari seluruh penjuru Rumania.

         Hagi yang dokter gigi itu bagaikan Robin Hood. Dengan kekayaannya ia membangun klinik pengobatan gigi bagi kaum miskin di Rumania. Sebagai ucapan terima kasih buat Hagi, rakyat Rumania memberi nama khusus "kue Hagi". Sejak enam tahun lalu, nama Hagi bahkan sudah diabadikan pada salah satu stadion di Rumania, serta nama jalan di kampung halamannya, Cacele.  Saat pesta rakyat di Bukarest Rabu lalu merayakan lolosnya Rumania ke perempatfinal, bukan nama Dan  Petrescu, Christian Chivu atau Adrian Ilie yang disebut dan dielu elukan. Yang terdengar cuma satu nama: Hagi...Hagi dan Hagi..!

         Hagi sudah ditempatkan pada posisi yang terlampau tinggi oleh seluruh rakyat Rumania. Dia seolah berjalan di awang awang.  Barangkali mereka lupa bahwa Hagi juga seorang manusia biasa, seorang pemain yang sejak lama dikenal masyarakat bola amat temperamental di lapangan. Akhirnya, sejarah hari ini mencatat, Rumania kalah karena Hagi cuma manusia biasa. Ada saat menang, ada waktunya ia kalah! *

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Senin, 26 Juni 2000. Artikel ini ditulis ketika Italia mengalahkan Rumania 2-0 dan maju ke babak semifinal Euro 2000

Rekor Spanyol Lebih Baik

 PERANCIS, juara Dunia 1998 itu lebih difavoritkan keluar sebagai pemenang dalam pertandingan babak perempatfinal Euro 2000 melawan Spanyol di Stadion Jan Breydel Bruges, Belgia, Minggu 25 Juni 2000 atau Senin dinihari Wita (26/6/2000). Tetapi jangan lupa bahwa dari sisi rekor pertemuan kedua tim sebelumnya, Spanyol lebih baik atau unggul satu angka dibanding tim Ayam Jantan.
        
Menurut catatan sejarah, kedua raksasa sepakbola Eropa itu sudah bertemu selama 25 kali di berbagai kejuaraan, seperti kualifikasi Piala Eropa, kualifikasi Piala Dunia, putaran final Piala Eropa, putaran final Piala Dunia maupun pertandingan persahabatan.

         Berikut rincian hasil pertemuan kedua tim sebelumnya (Perancis disebut dahulu): 30 Apr 1922 Bordeaux (skor 0 4), 28 Januari 1923 San Sebastian (0 3), 22  Mei 1927   (Paris: 1 4), 14 April 1929 Zaragoza (1 8), 23 Apr 1933 Paris (1 0), 24 Januari 1935 Madrid (0 2), 15 Maret 1942 Seville (0 4), 19 Juni 1949 Paris (1 5), 17 Mar 1955 Madrid (2 1), 13 Maret 1958 Paris (2 2), 17 Desember 1959 Paris (4 3), 2 April 1961 Madrid (0 2), 10 Desember 1961 Paris (1 1), 9 Januaari 1963 Barcelona (0 0), 17 Oktober 1968 Lyon (1 3), 17 Maret 1971 Valencia (2 2), 8 November 1978  Paris (1 0), 18 Februari 1981 Madrid  (0 1), 5 Oktober 1983 Paris (1 1), 27 Juni 1984 Paris (2 0), 23 Maret 1988 Bordeaux (2 1), 20 Februari 1991 Paris (3 1), 12 Oktober 1991 Seville (2 1), 15 Juni 1996 Leeds (1 1), 28 Januari 1998 Paris (1 0).

         Dari 25 kali pertemuan itu, Spanyol menang 10 kali, seri 6 kali dan 9 kali kalah dengan memasukkan 50 gol dan kemasukan 29. Perancis menang 9 kali, seri 6 kali dan kalah 10 kali dengan memasukkan gol 29 dan kebobolan sebanyak 50 gol! Rekor pertemuan menurut catatan dailysoccer ini mengindikasikan Spanyol secara psikologis tidak akan merasa rendah diri menghadapi Perancis sekalipun Didier Deshamps dkk sedang bagus  bagusnya, baik individu maupun tim. Moral Perancis pun sedang berada di titik puncak sebagai pemegang tropi Piala Dunia.

         Dalam dasawarsa 1990 an, Perancis dan Spanyol bertemu tiga kali dengan skor Perancis menang 2 kali dan sekali seri. Pertemuan paling akhir keduanya dalam pertandingan persahabatan tanggal 28 Januari 1998 di Paris. Ketika itu, Perancis yang sedang mempersiapkan diri ke Piala Dunia menang tipis 1 0.

         Pertandingan yang akan selalu dikenang tim Matador sampai saat ini ialah partai grandfinal Euro 1984, enam belas tahun lalu. Pada final Piala Eropa 1984 tanggal 27 Juni 1984 di Stade de France, Paris, tim Ayam Jantan yang dimotori legenda hidupnya, Michel Platini mengalahkan Spanyol 2 0.

***
         MELIHAT strategi Pelatih Perancis, Roger Lemerre yang cuma menurunkan tim  cadangan  ketika bertemu Belanda dalam laga terakhir Grup D 22 Juni 2000, Perancis tampaknya dengan sengaja memilih Spanyol di babak perempatfinal Euro 2000 ketimbang Yugoslavia (runner up Grup C).

         Pilihan tersebut tentunya sudah dipertimbangkan secara matang oleh Lemerre. Secara tim maupun individu, tim asuhannya tidak mengalami masalah serius kecuali gelandang Emmanuel Petit yang sedikit cedera saat melawan Republik Ceko 16 Juni lalu yang dimenangi Perancis 2 1. Namun, Petit dilaporkan sudah berlatih dengan rekan rekannya sehingga ia kemungkinan besar diturunkan Lemerre malam ini.

         Gelandang asal Arsenal itu akan menjadi tulang punggung lini tengah Perancis bersama playmaker Zinedine Zidane, kapten Didier Deschamps serta Youri Djorkaeff. Lemerre tentunya tetap menampilkan formasi 4 3 2 1, dengan menjadikan Zidane sebagai pemain bebas sekaligus penghubung dengan duet striker Nicolas Anelka Thierry Henry.  Pertahanan Perancis akan digalang kuartet Laurent Blanc, Marcel Desailly, Lilian Thuram dan Bixente Lizarazu. Di bawah mistar pilihan tak akan bergeser dari kiper plontos, Fabien Barthez.

         Di kubu Spanyol, Pelatih Jose Antonio Camacho juga tidak mengalami masalah serius menghadapi perempatfinal ini. Bahkan moral anak asuhnya sedang berada pada top form setelah menaklukkan Yugoslavia 4 3 dalam partai terakhir Grup C 21 Juni lalu. Spanyol yang mengawali turnamen dengan hasil buruk (dikalahkan Norwegia 1  0), kemungkinan menurunkan komposisi tim yang sukses pada laga terakhir melawan Yugoslavia.

    Kalau hal ini menjadi keputusan Pelatih Camacho, maka gelandang asal Valencia, Gaizka Mendieta akan turun sejak menit awal. Demikian pula dengan striker Alfonso Perez yang menjadi pahlawan dengan dua golnya ke gawang Yugoslavia untuk mengantar Spanyol memimpin Grup C. Alfonso akan tandem dengan Raul Gonzalez Blanco.  Sedang Mendieta akan bahu membahu dengan Pep Guardiola, Joseba Etxeberria serta Juan Carlos Valeron di lini tengah. Mungkin pula Mendieta diberi peran lebih sebagai second striker, mengingat pemain kelahiran 23 Maret 1974 ini tergolong haus gol.

         Dengan skema 4 4 2 yang konsisten mereka jalankan di lapangan, Spanyol akan memberikan perlawanan keras dan berimbang kepada tim juara dunia. Posisi sebagai underdog juga lebih menguntungkan Spanyol karena mereka akan bermain lebih bebas. Jika Perancis kurang hati hati bukan mustahil Spanyol yang maju ke semifinal.

    Partai Spanyol vs Perancis pun bisa saja berakhir seri dalam 2x45 menit, sehingga mengharuskan masa perpanjangan waktu 2x15 menit dengan sistem gol emas. Kalau sampai adu penalti, agaknya Spanyol lebih favorit karena memiliki banyak penembak jitu. Persoalan Spanyol hanyalah "nasib sial" yang kerap menyertainya di ajang Piala Eropa. *  

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Minggu, 25 Juni 2000. Artikel ini dibuat menjelang pertandingan babak perempatfinal Euro 2000 antara Perancis melawan Spanyol. Peranis menang 2-1 dan maju ke semifinal

Belanda Terbang di Awang Awang

ilustrasi saja
PSIKOLOGI Belanda serasa di awang awang. Pasukan  Oranye terbang tinggi melewati mega puja dan puji. Semua menjagokannya bakal keluar sebagai juara Eropa 2000. Tetapi berhati hatilah. Tantangan besar sedang mengintai di Rotterdam malam ini. Yugoslavia, singa Balkan yang bangun dari tidur panjang gara gara perang!

         Pertandingan Belanda melawan Yugoslavia so pasti dinanti nantikan banyak pemirsa, teristimewa pemuja sepakbola. Pasar taruhan di berbagai negara Eropa serta belahan dunia lainnya menjagokan Belanda yang bakal keluar sebagai juara. Pertama,  karena Frank de Boer dkk bermain di rumah sendiri. Kedua, secara teknis aroma total football ramuan Pelatih Frank Rijkaard semakin mengasyikkan, kian memberi harapan munculnya Belanda yang perkasa serupa tahun 1974 dan 1978 ketika mereka merebut "Piala Tanpa Mahkota".

         Hasil sempurna tim Oranye di Grup D dengan menaklukkan Denmark 3 0, juara Dunia 1998 Perancis 3 2 serta Republik Ceko 1  0, merupakan data statistik yang memperkuat asumsi bahwa Belanda pantas diunggulkan. Mental juara juga mereka punya. Belanda adalah juara Eropa 1988 ketika Frank Rijkaard yang kini menjadi arsitek Oranye berada pada masa emasnya bersama Ruud Gullit dan Marco Van Basten.

         Menghadapi pertandingan penting yang dipimpin Wasit Spanyol, Jose Maria Garcia Aranda, tim Belanda tidak mememdam masalah serius. Libero Jap Stam yang sempat cedera dalam duel terakhir melawan Perancis sudah pulih dan siap. Demikian pula dengan kiper jangkung asal Juventus, Edwin van der Sar. Bintang berusia 29 tahun itu cedera kaki kiri saat berusaha membendung tembakan penalti Michael Schonberg menit ke 80 ketika tuan rumah menang 3 0 atas Denmark di Rotterdam 17 Juni 2000 lalu. Ronald de Boer, saudara kembar kapten tim, Frank de Boer pun siap diturunkan karena cedera tulang pangkal paha telah membaik.

    Di pilar pertahanan, Rijkaard yang doyan dengan skema 4 4 2 atau 4 3 3 kemungkinan tetap mengandalkan kuartet Michael Reiziger, Jaap Stam, Frank de Boer serta Arthur Numan atau Van Bronckhost. Di blok tengah, di "tukang pukul" Edgar Davids akan didampingi  Ronald de Boer (atau Marc Overmars), Phillip Cocu dan Boudewijn Zenden. Sedangkan lini depan Rijkaard tak mungkin berpaling dari duet Dennis Bergkamp Patrick Kluivert.

     Dennis Bergkamp belum mencetak satu gol pun di Euro 2000, tetapi perannya sebagai pengumpan Kluivert atau pengganggu pemain belakang musuh sangat besar. Dengan dukungan penonton, Belanda diperkirakan bisa meraih impiannya lolos ke semifinal bahkan final. Tetapi kelemahan utama tim Oranye adalah lupa menjaga pertahanan jika sedang asyik melakukan serangan total. Kecolongan pada saat saat akhir merupakan pengalaman buruk yang kerap menyingkirkan Belanda secara menyakitkan. 

***
     MENYIMAK rekor pertemuan kedua tim sebelumnya, dalam delapan kali pertandingan Belanda cuma menang tipis. Belanda menang 4 kali, Yugoslavia unggul 3 kali dan sekali seri dengan total jumlah gol memasukkan dan kemasukan sama yaitu 11. Rekor pertemuan tersebut memperlihatkan bahwa Yugoslavia yang tidak diunggulkan para pengamat bola dan para petaruh, sebenarnya tidak takut meladeni keperkasaan Belanda.

     Penampilan Yugoslavia selama penyisihan Grup C justru menakutkan karena mereka selalu mampu keluar dari tekanan lawan dan balik menyerang habis habisan. Tim asuhan pelatih senior Vujadin Boskov ini tampil sangat menyerang dalam format 4 4 2. Dalam tiga penampilannya di penyisihan Grup C, Savo Milosevic dkk bahkan mampu bertahan dan menang, kendati cuma bermain dengan sepuluh orang. Mereka menahan Slovenia 3 3, meski ketinggalan lebih dulu 0-3. Bahkan dengan sepuluh orang sempat memimpin 3 2 atas Spanyol sebelum dikalahkan 4 3 lewat gol Alfonso Perez.

     Karakter Savo Milosevic yang untuk sementara ini jadi top scorer dengan empat gol maupun rekannya Predrag Mijatovic merupakan penyerang dengan kemampuan berlari sangat cepat sambil mendribel bola. Untuk urusan body charge pun mereka tidak gentar, sehingga blok pertahanan Belanda agaknya perlu ekstra waspada dan bekerja lebih efisien.

     Masalah Yugoslavia menghadapi Belanda malam ini adalah absennya striker Mateja Kezman dan gelandang elegan, Slavisa Jokanovic yang terkena kartu merah. Tetapi bek asal Lazio yang terkenal dengan tendangan bola matinya, Sinisa Mihajlovic sudah boleh bermain lagi sehingga memperkuat blok pertahanan pasukan Boskov yang baru tiga tahun ini bebas dari sanksi UEFA gara gara perang di semenanjung Balkan melawan Serbia.

     Dengan kekuatan mental bertanding anak asuhnya serta sepakbola menyerang khas Balkan itulah, Pelatih Vujadin Boskov yang pernah "cari makan" di Belanda tahun 1970 an sebagai pelatih Den Haag dan Feyenoord itu tidak gentar. Bahkan Boskov terkesan menganggap remeh tim asuhan Rijkaard dengan mengatakan, Belanda 2000 tidak sebagus dua tahun lalu. Pelatih veteran itu mengatakan hal ini setelah diingatkan bahwa Yugoslavia kalah 1 2 dari Belanda pada pertemuan terakhir mereka di Piala Dunia 1998 di Perancis.

    "Saya pikir tim nasional Belanda lebih bagus dua tahun lalu dibanding sekarang," katanya di markas timnya di Kota Edgem, Belgia. Tetapi Boskov mengakui Belanda memiliki nama nama besar dan pemain pemain yang lebih bagus. Sebagai orang yang pernah lama di Belanda, pelatih berusia 69 tahun ini paham benar bagaimana menghadapi sistem total football.

     Nah kalau demikian, tim Oranye Belanda memang jangan sampai terlena karena  berada di awang awang. Bisa jadi kalau kurang siap terbang tinggi,  akan jatuh dengan muka buruk dan sudah pasti menelan pil pahit. Apalagi seorang Johan Cruyff, monumen hidup  sepakbola Belanda sudah memberikan warning bahwa Belanda hasil ramuan Frank  Rijkaard masih memendam banyak kelemahan dan kekurangan. Moga moga saja kritikan pedas Cruyff memompa Edgar Davids tidak asal cerewet dengan mulutnya, tetapi membuktikan melalui kaki dan atau kepalanya. *

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Minggu, 25 Juni 2000. Artikel ini dibuat ketika Belanda akan menghadapi  Yugoslavia di babak perempatfinal Euro 2000. Tim Oranye tampil perkasa. Menang telak 6-1  atas Yugoslavia

Gol Emas yang Mencemaskan

         JERMAN pada Euro 2000 memang mengecewakan karena prestasinya yang sangat buruk dalam sejarah persepakbolaan negeri itu. Tetapi kejuaraan sepakbola antarnegara Eropa tak akan melupakan pemain Jerman yang satu ini, Oliver Bierhoff (32). Nama Oliver Bierhoff masuk Hall of Fame karena dialah manusia pertama yang mencetak gol emas dalam babak yang disebut sudden death.
    
    Bierhoff mencetak gol bersejarah itu pada final Euro 1996 di Stadion Wembley London, Inggris tanggal 30 Juni 1996. Penggemar sepakbola tentu masih mengingatnya dengan baik, betapa sakitnya hati pemain Republik Ceko ketika itu. Mereka sudah berhasil menahan Jerman 1 1 hingga 2x45 menit. Tetapi sistem gol emas membuat mereka menangis ketika masa perpanjangan waktu 2x15 baru bergulir kurang lebih empat menit.

         Pada menit ke 94, umpan panjang Thomas  Helmer dari belakang diberikan kepada kapten Jerman saat itu, Juergen Klinsmann. Klinsmann yang melihat Bierhoff di kotak penalti Ceko, langsung memberikan umpan terukur. Posisi Bierhoff sebenarnya kurang beruntung di mulut gawang lawan karena ia membelakangi gawang dan dikawal ketat libero Ceko, Miroslav Kadlec.

         Namun, dengan kecerdikan dan keterampilannya Bierhoff mampu mencuri ruang tembak yang sangat sempit  dan dengan tendangan kaki kirinya melepaskan bola ke gawang Ceko. Kiper Petr Kouba sempat berusaha menahan, namun bola terlepas dari tangkapannya dan masuk ke dalam gawang yang kosong. Wasit asal Italia, Pierluigi Pairetto mensahkan gol itu. Jerman keluar sebagai juara Euro 1996. Nama Oliver Bierhoff yang kala itu masih merupakan pemain cadangan dielu elukan seluruh penduduk Jerman.

         Bierhoff, striker yang besar di Liga Serie A Italia ini menjadi pahlawan Jerman di final itu melalui dua golnya. Gol pertama dibuat Bierhoff menit ke 72 untuk menyamakan skor 1 1. Ceko unggul lebih dulu melalui gol penalti Patrick Berger pada menit ke 58, namun mereka harus puas sebagai runner up karena gol emas Bierhoff menit ke 94.

***
         TAHUN 1996 merupakan pertama kalinya UEFA dan FIFA menerapkan sistem sudden death atau yang lebih populer gol emas (golden goal). Sistem ini menetapkan, jika pertandingan 2x45 menit berakhir imbang harus dilanjutkan 2x15 menit. Tetapi mada masa 2x15 menit itu, tim mana yang mencetak gol pertama dialah yang menang dan pertandingan langsung dihentikan wasit. Adu tendangan penalti hanya boleh dilakukan apabila skor imbang sampai 120 menit. Peraturan ini berbeda dengan sebelumnya, dimana masa perpanjangan waktu 2x15 dimainkan secara penuh, tak peduli tim mana yang mencetak gol duluan.

         Pertimbangan mendasar FIFA (Federasi Sepakbola Internasional) menetapkan peraturan tersebut mengikuti tuntutan sepakbola menyerang yang menginginkan permainan bola tidak monoton. Dengan sistem yang lama, pada masa perpanjangan waktu 2x15 menit para pemain cenderung bertahan total agar tidak kebobolan atau memainkan strategi ball position untuk sekadar menghabiskan waktu 30 menit kemudian beradu untung lewat tendangan penalti.

         Dengan sistem golden goal, masa perpanjangan waktu justru menjadi kesempatan memperlihatkan taktik dan strategi terbaik. Sedikit saja kelengahan akan membawa bencana bagi tim yang bersangkutan. Karena itu setiap kesebelasan akan senantiasa waspada dan berusaha memanfaatkan peluang sekecil apapun. Dengan kata lain, sekalipun stamina pemain telah terkuras selama satu setengah jam merumput, mereka tak  mungkin cuma menghabiskan waktu 30 menit masa perpanjangan itu. Pemain bola dituntut untuk tetap mengeluarkan segala kemampuan yang masih bisa diandalkan.

         Nah, sistem gol emas itulah yang mulai dipakai dalam pertandingan perempatfinal hingga final Euro 2000 tanggal 3 Juli 2000. Boleh jadi duel antara Portugal vs Turki dan Italia vs Rumania malam ini sudah mengharuskan adanya sudden death.

         Memang,  sistem ini kerap mencemaskan dan menyakitkan karena tim yang bermain bagus bisa saja kalah dan tersingkir dari turnamen hanya karena membuat kesalahan kecil pada masa perpanjangan waktu. Namun, setiap tim dituntut untuk bermain maksimal dan all out sampai wasit meniup peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan.

         Selain gol emas, penggemar bola pun agaknya perlu menyiapkan batin sebab sangat mungkin ada partai yang harus berakhir dengan adu tendangan penalti. Tendangan penalti sering menyakitkan karena pemain bintang sekalipun berpeluang gagal. Tahun 1994, misalnya, bintang sekaliber Roberto Baggio  gagal mengeksekusi penalti di babak final Piala Dunia dan Italia kalah 2 3 atas tim Samba Brasil yang memenangkan Piala Dunia untuk keempat kalinya.

         Untuk penggemar bola, Anda  sebaiknya mendukung tim favorit tidak memakai kaca mata fanatisme buta. Toh bukan mustahil tim kesayangan Anda gagal karena gol emas atau adu tendangan penalti.  Sebab dalam jagat sepakbola    sama juga seperti bidang hidup manusia lainnya    antara kehancuran dan kesuksesan cukup sering sangat tipis batas batasnya. *

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Sabtu, 24 Juni 2000 .  Artikel ini dibuat berkaitan dengan sistem sudden death atau gol emas yang diterapkan dalam kejuaraan Piala Eropa 2000.

Kado Untuk Pangeran

TENTANG Pangeran William, pewaris tahta Kerajaan Inggris akan selalu mengingatkan kita akan figur mendiang Putri Diana. Kecuali karena ia terlahir sebagai pria, senyum malu-malu, bentuk wajah dan terutama sikap persis seperti ibunya Lady Diana Spencer yang sampai detik ini akan selalu dikenang rakyat Inggris dan dunia karena kehidupannya yang berakhir dengan tragedi.

    Kemarin, tanggal 21 Juni 2000, Pangeran William genap berusia 18 tahun. Tetapi usia 18 tahun bagi Raja Inggris masa datang itu tanpa pesta, tanpa keceriaan. Perayaan hari jadinya memasuki usia dewasa berlangsung sederhana. Hal itu sesuai keinginan William sendiri yang sejak bocah tak pernah memuja pesta glamour atau pamer kemewahan sekalipun ia punya segalanya.

    Sang nenek, Ratu Elizabeth II sebenarnya berniat menggelar acara khusus di Istana Buckingham. Tetapi William menolak dengan sangat lembut, khas budaya ningrat Britania bahwa ia harus tetap berada di Eton College, tempat sekolahnya untuk menyiapkan diri mengikuti ujian akhir.

    Publik Inggris agaknya bisa mengerti bila sang pangeran dengan nama lengkap William Arthur Philip Louis Windsor  bersikap seperti itu. Sebab nasib baik seolah-olah tak pernah bersahabat dengan William. Dalam usia 14 tahun, ayah ibunya, Pangeran Charles dan Putri Diana berpisah setelah menjalani 15 tahun perkawinan penuh gonjang-ganjing dan beraroma perselingkuhan.

    Bersama adiknya Henry Charles Albert David (lahir 15 September 1984) atau Pangeran Harry, William hidup tanpa kasih sayang yang penuh dari orangtuanya. Mereka selalu terlihat rapi, ceria dan bercahaya tatkala tampil di muka umum. Padahal tak banyak yang tahu pasti apa yang terjadi di balik tembok tebal Istana Buckingham. Terlebih lebih lagi perasaan yang menggumpal di batin William dan Harry yang saban hari melihat sendiri betapa Charles Diana tak pernah rukun satu sama lainnya.

    Hanya setahun setelah ayah dan ibu mereka bercerai, William dan Harry bahkan menjadi anak yatim. Mereka kehilangan ibu untuk selama lamanya. Putri Diana tewas secara tragis dalam kecelakaan mobil di terowongan Alma, Paris bersama kekasihnya Dody Al Fayed, hari Minggu 31 Agustus 1997.

    Jantung seluruh rakyat Inggris seolah berhenti berdetak mendengar kabar buruk itu. Hampir dua pekan lamanya dunia menangisi Princess of Wales yang mati muda dalam usia 36 tahun. Mereka menyapanya Ratu di Hati Rakyat. Saat upacara pemakamannya di Westminster Abey, 6 September 1997, Elton John melantunkan puisi England Rose bagi Diana. Elton berkata: May you ever grow in our heart. You were the grace that placed it self where lives were torn apart (Biarlah engkau tumbuh di hati kami. Engkau adalah rahmat yang menempatkan dirimu pada kehidupan yang tercabik cabik).

    Inggris kembali menangis dengan lebih histeris mengenang betapa tragisnya kehidupan Diana hingga akhir hayatnya yang otomatis akan berpengaruh juga pada nasib kedua putranya, pewaris tahta Britania Raya.

***

    KABAR buruk hari ini sedang melanda Inggris. Rakyat tanah air sepakbola, leluhur si kulit bundar itu menangis. Warta nestapa kali ini memang bukan datang dari Paris, tetapi Charleroi. Hanya sekitar 12 jam sebelum Pangeran William genap berusia 18 tahun, pasukan The Union Jack takluk 2 3 atas Drakula Rumania dan terlempar dari persaingan di Belanda Belgia. Kepiluan itu terjadi begitu cepat, hanya tinggal dua menit menjelang pertandingan berakhir dan Inggris pasti ke perempatfinal.

    Sebagai bagian dari rakyat Britania yang super modern tetapi masih tunduk dan hormat pada Sri Ratu dan calon raja, betapa " kejamnya" seorang Phil Neville yang mengganjal Viorel Moldovan di kotak terlarang menit ke 88. Kesalahan fatal bek kiri asal tim "Setan Merah" MU yang lebih disebabkan perasaan gugup itu -  membuat Kevin Keegan seolah sengaja mempersembahkan kado "terburuk" untuk William, pangeran yang sangat menyayangi tim nasional St. George Cross.

    Ya, William adalah penggemar berat sepakbola (selain polo dan berburu). Pada waktu luangnya di Eton College, Yang Mulia amat kerap bermain sepakbola dengan rekan rekannya. Bukti bahwa Wiiliam menggemari sepakbola ditunjukkan secara jujur Istana Buckingham. Menjelang ulang tahun ke 18 yang sangat ditunggu tunggu rakyat Inggris itu, pihak Istana mempublikasi foto foto eksklusif serta rekaman video ketika William bermain bola.

    William tentu sempat tersenyum bangga ketika  18 Juni 2000 lalu, Alan Shearer dkk menaklukkan musuh bebuyutannya Jerman setelah menanti selama 34 tahun di Stadion Communal Charleroi, Belgia. Setelah menang dramatis dan kontroversial 4 2 dalam grandfinal Piala Dunia 1966, Inggris tak pernah menang lagi atas tim Panser di kejuaraan Piala Eropa maupun Piala Dunia.

    Kemenangan 1 0 Minggu lalu disambut hangat. Terbersit harapan Inggris akan masuk delapan besar. Toh cuma memerlukan hasil seri melawan Rumania. Harapan itu hampir menjadi kenyataan. Tetapi Neville menghancurkannya dalam sekejap. Ioan Genea membuat Shearer dkk urung menyanyikan God Save the Queen. Pasukan Drakula membuyarkan pesta. Betapa kejamnya Charleroi. Di sana Inggris menaikkan martabatnya dengan menelan Jerman. Di sana pula Inggris tumbang!*

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra,
juga Pos Kupang edisi Kamis, 22 Juni 2000. Artikel ini  ketika Inggris gagal maju ke babak perempatfinal Euro 2000 setelah kalah 2-3 melawan Rumania dalam pertandingan akhir grup. Inggris dan Jerman sama-sama tersingkir di babak penyisihan.

Orang Orang Kalah

ilustrasi
AROMA sepakbola Azzurri hari ini mulai terasa gurih. Mereka tampil sebagai tim pertama Euro 2000 yang meraih hasil sempurna di babak penyisihan grup. Paolo Maldini dkk memimpin Grup B dengan nilai 9 hasil kemenangan mengesankan masing masing dengan skor 2 1 atas Turki, Belgia dan Swedia. Sebanyak 22 pemain Italia 2000 tertawa girang. Warta kegembiraan dari Belanda Belgia  terbang bebas, menembus jauh  ke  relung relung hati seluruh penduduk Italia. Anak negeri spaghetti untuk sementara tak perlu bersedih lagi.

         Ironisnya, kebahagian detik ini cuma milik pendukung tim  Italiano, tidak buat Dino Zoff!  Mantan kiper yang membawa Italia memegang tropi World Cup 1982 itu belum bisa tersenyum. Zoff sadar sungguh bahwa kerinduaan publik Italia cuma satu yakni dia harus  membawa pulang Piala Eropa ke tanah leluhurnya.

         Memakai kaca mata Kupang, harapan ini terlampau kejam karena mengabaikan kemungkinan bahwa Italia kandas. Tapi sungguh mati, sepakbola di Italia hanya kalah populer dengan Sri Paus, pemimpin tahta suci itu sehingga kemenangan merupakan kerinduan mutlak rakyatnya. Kalah berarti dihujat, disepak keluar dari gelanggang.

         Si botak Arrigo Sacchi dan figur kebapaan Cesare Maldini (dua pelatih Italia sebelum Zoff), bisa disebut sebagai contoh tentang kejamnya sepakbola Italia. Sacchi langsung diminta mundur setelah Franco Baresi dkk gagal menjuarai Piala Dunia 1994. Padahal Sacchi saat itu cuma kurang beruntung dibanding tim Samba yang menang 3 2 lewat adu penalti. Dan, Casare Maldini cepat cepat pergi beberapa saat setelah bersama putranya Paolo Maldini gagal di France 1998.

         "Menjadi pelatih Italia sama seperti Anda duduk di atas bara api. Setiap saat Anda hanya merasakan panasnya. Anda tak mungkin tidur nyenyak, karena bangsa kami hanya memikirkan kemenangan dan kejayaan. Kepercayaan Federazione Italiana Gioco Calcio (PSSI nya Italia) sebagai pelatih harus diterima sebagai salib," demikian Sacchi pada suatu kesempatan di tahun 1994 ketika banjir kritik dan hujatan  menerpanya karena ia gagal.

         Kritik merupakan budaya masyarakat negeri bola seperti Italia. Di sana, mereka yang alergi kritik, lari dari hujatan disebut orang orang yang kalah, karena mereka memandang kritik sebagai menu harian yang tak patut disebut tabu, bukan seperti perilaku kebanyakan pemimpin di tanah ini. Banyak memang manfaatnya karena hanya dengan kritik orang bisa mengaca diri.

         Sacchi pernah merasakan manfaat kritik itu  ketika ia meramu Azzurri 1994. Kebiasaannya membongkar pasang pemain dan tidak memanggil Roberto Mancini yang saat itu sedang bersinar    dihujat habis habisan. Pers Italia memakinya. Sacchi kemudian sadar bahwa sebagai manusia ada yang salah dalam pikiran dan tindakannya. Ia berubah. Hasilnya, Italia terseok seok, namun melangkah pasti sampai ke final. Baresi dan Baggio gagal mengeksekusi penalti, tetapi Italia kalah secara terhormat.

         Zoff pergi ke Belanda Belgia pada musim panas 2000 ini  dengan beban psikis mirip Sacchi ketika terbang ke negeri Paman Sam medio 1994. Zoff tidak cuma berat menahkodai kapal Azzurri yang selalu diberi target posisi terbaik,  tetapi dia juga harus mengelola kritik dengan arif. Pergi ke Euro 2000, tim yang diasuhnya sejak 22 Juli 1998 tanpa pujian, bukan tim favorit atau unggulan. Yang ada malah diremehkan, dinistakan, tak dipandang dengan dua mata, justru oleh Italiano sendiri. Menyakitkan!

         Tetapi karena hujatan dan berada dalam kubangan kenistaan itulah jiwa Dino Zoff berontak. Ia mencurahkan segenap kemampuan terbaiknya untuk  meramu Italia menjadi lebih elegan, lebih indah, lebih menyerang! Hasilnya Italia  mengantongi angka sempurna di babak penyisihan. "Kritik membuat kami selalu waspada di lapangan. Kami tidak boleh membuat kesalahan sekecil apapun, tapi harus memanfaatkan peluang secekil apapun untuk menang," demikian Paolo Maldini usai memimpin rekan rekannya mengalahkan tuan rumah Belgia 15 Juni 2000.

         Jalan Italia memang masih panjang dan semakin menanjak, karena lawan di perempatfinal  tidak bertambah ringan. Di sana nanti, mereka bisa saja bertemu Inggris, Jerman atau Rumania yang sampai ulasan ala kadarnya ini ditulis belum bertanding dalam partai hidup dan mati. Entahkah Jerman, Inggris atau Rumania, tetaplah berat bagi Dino Zoff. Tetapi dengan makin  gurihnya Azzurri, senyum Dino Zoff bukan muskil akan terukir hari hari ini. Kalaupun tumbang, rasanya  Zoff masih boleh menegakkan kepala ketika pulang ke tanah airnya karena ia bukan termasuk kelompok delapan yang pulang awal. Dan di balik semua itu, dia tak patut disebut sebagai orang orang yang kalah karena Zoff menyantap kritik dan makian sebagai cerminnya! *

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Rabu, 21 Juni 2000. Artikel ini dibuat menanggapi hasil memuaskan yang diraih tim nasional Italia pada babak penyisihan Grup B Euro 2000

Peluang Tidak Datang Dua Kali

ilustrasi saja
PELUANG tidak pernah datang dua kali. Karena itu setiap peluang harus dimanfaatkan dengan sebaik baiknya. Adagium ini so pasti sangat populer di kalangan para manajer. Beta yakin benar para para manajer perusahaan, kepala di instansi pemerintahan, pemimpin formal dan non formal, administrator atau apapun namanya yang berurusan dengan organisasi dan manajemen memahami dengan baik hal tersebut. Mereka juga tentu tahu dan paham betul bahwa peluang termasuk bagian penting analisis SWOT yang kesohor dan sudah banyak dipakai di mana mana itu.

         Dua puluh empat jam sebelum Inggris merumput melawan Jerman di Stadion Communal Charleroi, stadion paling kuno di Belgia, Sabtu sore atau  Minggu dinihari Wita (18/6/2000), Manajer tim Inggris, Kevin Keegan berkata kepada Alan Shearer dkk demikian.  "Saya berharap banyak pada kalian. Kalau kita kalah, maka habislah sudah dan kita harus pulang lebih awal ke London. Saya minta manfaatkan setiap peluang dengan sebaik baiknya.  Kalau hal itu kamu lakukan, kita masih mampu bangkit."

         Shearer, David Seaman, David Beckham, Michael Owen, Dennis Wise, Garry dan Philip Neville, Paul Scholes dan seluruh 22 pemain Inggris menyimak kata kata Keegan itu dengan baik. Suasana tampak hening saat itu. Maklum, Inggris secara menyakitkan dipecundangi Portugal 3 2, kendati mereka lebih dulu memimpin dua gol.

         Kata kata tersebut terus terngiang di telinga Shearer ketika ia memakai ban kapten untuk memimpin rekan rekannya menghadapi Jerman, raksasa sepakbola yang menurut catatan historis lebih kerap menang atas Inggris. Pasukan St. George Cross dengan formasi 4 4 2 melakukan pembenahan besar besaran. Semangat menyerang kick and rush yang menjadi senjata andalannya dikawinkan dengan harmonisasi. Artinya mengatur irama, kapan harus menyerang dan kapan harus jeli dan waspada memperkuat barisan pertahanan. Mereka tidak lagi mengobral serangan seperti pada waktu menghadapi Portugal 13 Juni silam.

         Dua bersaudara yang menempati posisi bek kiri kanan, Garry dan Philip Neville yang dikritik habis habisan karena bermain buruk melawan Portugal, kali ini tahu diri. Kalau naik membantu serangan, mereka tidak berani melewati teritorinya sendiri. Strategi itu amat jitu, karena konsentrasi mereka mengawal pertahanan tidak terbagi dan konsisten menahan laju Carsten Jancker, Christian Ziege maupun Mehmet Scholl.

         Hasilnya menggembirakan. Serangan serangan Jerman yang memang kurang tajam tanpa kapten tim Oliver Bierhoff dengan mudah patah di zona palang pintu Inggris yang dikoordinir Martin Keown.  Karena cuma menempatkan  Owen di garda terdepan, serangan Inggris pada 45 menit pertama, tidak banyak melahirkan peluang, kecuali melalui si pirang Paul Scholes pada menit ke 33. Tapi tembakannya melenceng di sisi kiri gawang Oliver Kahn.

         Kesan kuat yang ditampilkan Inggris vs Jerman dalam duel klasik itu ialah mempertahankan lini tengah habis habisan. Jadi bisa dimengerti jika peluang gol jarang terlihat di Charleroi. Lalu datanglah peluag pada menit ke 53. Hadiah tendangan bebas dari Wasit Pierluigi Collina di sektor kanan pertahanan Jerman diambil si tukang umpan, David Beckham.

    Beckham memang jeli melihat bahwa Shearer berada dalam satu garis lurus dengan empat pemain belakang lawan di kotak penalti, tetapi posisinya agak bebas di dekat tiang jauh. Maka dia mengirim bola lambung langsung kepada Shearer. Dengan sedikit lompatan, Shearer menyudul dan muluslah kulit bundar ke pojok gawang kapter Jerman, Oliver Kahn.

         Terus terang, menurut pengamatan beta yang bukan pakar bola ini, cuma itulah peluang emas Inggris selama 2x45 menit. Tetapi peluang yang cuma satu itu dimanfaatkan dengan sebaik baiknya, membawa Inggris melumat juara bertahan. Data statistik memang menunjukkan, Jerman menguasai bola sekitar 65 persen dengan 8 kali kesempatan sepak pojok ditambah tiga peluang emas melalui Mehmet Scholl, Paulo Rink dan Christian Ziege. Sedangkan Inggris cuma 35 persen menguasai bola dan 3 kali cornel kick.

         Data data statistik ini jelas menunjukkan betapa cerdik dan pintarnya Inggris menggunakan peluang yang amat sedikit mereka peroleh, sebagaimana penilaian Manajer tim Jerman, Erich Ribbek bahwa Inggris sesungguhnya tidak pantas mengalahkan anak asuhannya. "Kami kalah karena satu satunya peluang yang diperoleh lawan, mereka manfaatkan dengan baik," kata Ribbeck.

         Ribbeck tentunya sadar bahwa dunia sepakbola pun menerapkan analisis SWOT. Sayang sekali, anak asuhannya tidak mau memanfaatkan tiga peluang emas yang tak mungkin hadir dua kali, karena kemarin sejarah dunia sudah mencatat: Inggris mengalahkan juara bertahan Piala Eropa! Euro 2000 masih panjang. Tim mana yang akan keluar sebagai pemenang, dialah yang paling piawai menangkap dan memanfaatkan peluang. *

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Selasa, 20 Juni 2000. Artikel ini dibuat setelah Inggris mengalahkan Jerman 1-0 pada babak penyisihan Grup A Euro 2000. Jerman dan Inggris adalah dua tim besar yang prestasinya buruk selama Euro 2000.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes