Tikus Mati di Lumbung Padi

Ketika pemerintah sibuk menyelidiki impor beras medium sepanjang tahun 2013 lalu, nyatanya beras asal Vietnam tersebut terus saja mengalir ke Indonesia. Pada  bulan pertama tahun ini sudah masuk sebanyak 1.400 ton. Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN)  Dahlan Iskan pun heran mengapa bisa masuk pasaran dengan harga lebih murah pula. Menurut kedua menteri, beras seenak jenis Rojolele ini masuk melalui impor ilegal.  Begitu teras berita Tribun Manado edisi cetak sehari yang lalu.

Beras medium asal Vietnam memiliki rupa, bijih, dan kualitas yang sama dengan jenis beras IR 64-1 lokal. Bedanya, harga beras medium lokal Rp 9.000 per kilogram (kg), sementara beras medium Vietnam dibanderol lebih murah, dijual rata-rata Rp 8.300-Rp 8.500 per kg.

Kedua menteri heran impor beras ilegal masuk pasar Indonesia. Itu jelas lagu lama yang diputar ulang.Pemerintah kalah gesit membendung tindakan melawan hukum dalam urusan pangan rakyat Indonesia bukan hal baru.

Sudah menjadi rahasia umum, selain masuk ke Indonesia melalui jalur resmi, tidak sedikit beras dari luar negeri seperti Vietnam merajai pasaran Indonesia dengan cara "main belakang" alias ilegal.  Merujuk pada hukum ekonomi itu masuk akal. Pedagang memilih beras dari luar ketimbang produksi lokal yang harganya jauh lebih mahal di tingkat petani hingga mengurangi nilai keuntungan mereka.

Indonesia mengimpor beras merupakan masalah klasik yang menghadirkan ironi . Kita memiliki lahan pertanian subur dan maha luas bila perbandingannya sekadar  negara kecil seperti Vietnam atau Thailand. Tapi kita tidak fokus lagi di bidang  itu sehingga untuk memenuhi kebutuhan perut rakyat Indonesia harus membuka kran impor selebar-lebarnya. Ada yang bilang pemerintah cari gampang!  Pemerintah tidak mendorong produksi dalam negeri dan memberi proteksi harga bagi petani. Ketika terdesak kebutuhan, pilihan mudah memang impor agar stok tetap tercukupi.
Untuk urusan pangan khusus beras, Indonesia tidak perlu malu menyandang predikat tikus mati kelaparan di lumbung padi.

Mengapa beras produksi petani lokal lebih mahal? Mudah sekali mencari musababnya. Biaya produksi yang digelontorkan petani Indonesia mahal amat. Kalau tidak dijual dengan harga yang tinggi petani jelas merugi. Benang kusut itu tentu butuh intervensi pemerintah yang berani memproteksi lewat regulasi ekonomi yang memihak kepentingan rakyatnya sendiri.

Bicara tentang impor, negeri ini layak disebut raja impor. Jangankan beras, hampir semua kebutuhan sembako kita bergantung pada impor. Garam, daging sapi, buah- buahan, sayur  bahkan ikan juga impor.  Ada pepatah Latin berbunyi Primum vivere, dei indei philosophare. Artinya penuhi dulu makan, barulah berfilsafat. Penuhi dulu kebutuhan pokok baru urus yang lain. Negara kita tercinta tidur terlalu lama. Salah urus di bidang pangan rakyat ini harus segera dicarikan solusi agar kita tidak bergantung terus dari negara luar. Semoga. *

Sumber:Tribun Manado 30 Januari 2014 hal 10
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes