Rasanya baru kemarin air mata tumpah di sini, di Kota Manado yang menjadi kebanggaan warga Sulawesi Utara. Seolah baru kemarin kita meratap dan menangis melepas kepergian para korban tewas akibat tanah longsor dan banjir.
Masih segar dalam ingatan ketika pada 17 Februari 2013, tanah longsor menerjang rumah di kawasan Citraland yang menewaskan enam orang yakni Lady Oroh (30), Rafda Oroh (18), Franky Palit, Elisabeth Kawilarang, Gioklie Palit (3) dan Tommy Maripi (28). Banjir dan longsor kala itu pun menyebabkan puluhan ribu orang mengungsi. Hampir sepekan lamanya Kota Manado lumpuh. Aktivitas pemerintahan dan masyarakat terganggu.
Belum genap setahun bencana yang sama terulang lagi. Setelah hujan semalam suntuk sejak Selasa (14/1/2014), luapan banjir terjadi di mana-mana. Sepanjang hari Rabu 15 Januari 2014, Kota Manado nyaris lumpuh total.
Akses jalan terputus akibat genangan air dengan ketinggian dua hingga tiga meter. Situasi makin parah karena jembatan putus disertai longsoran material tanah. Bencana yang sama juga melanda wilayah Sulawesi Utara lainnya seperti Kabupaten Minahasa Utara, Tomohon, Minahasa dan daerah Bolaang Mongondow.
Peristiwa ini sontak menimbulkan pertanyaan mengapa kita tidak belajar dari kejadian setahun silam untuk menekan risikonya? Mengapa selama satu tahun ini tidak secuil pun langkah antisipasi untuk mengurangi korban banjir dan tanah longsor? Cara kerja kita ternyata tidak berubah dari waktu ke waktu. Kita masih saja bekerja ala pemadam kebakaran. Terbakar dulu baru bergerak memadamkan api. Kita tidak memakai cara kerja yang cerdas dan elegan yakni siap payung sebelum hujan agar tidak basah kuyub dan jatuh sakit.
Mengecapi dampak cuaca ekstrem sebenarnya sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Sulawesi Utara. Hujan dan panas silih berganti melanda Bumi Nyiur Melambai. Berganti dengan cara yang ekstrem. Jika pemimpin daerah kita peduli, jika pemerintah dan segenap stake holder peduli, semestinya dampak banjir dan tanah longsor bisa diminimalisir. Setidaknya jumlah warga yang menjadi korban dapat ditekan sekecil mungkin. Yang terjadi justru sebaliknya. Bencana 17 Februari 2013 dan 15 Februari 2014 masih sama dan sebangun. Bahkan dampak banjir 15 Januari 2014 jauh lebih dahsyat!
Tahun lalu Pemko Manado berjanji membenahi bantaran sungai sebagai salah satu solusi menekan banjir. Hasilnya? Walahualam. Fakta banjir kemarin sudah menjawab pertanyaan itu, bahkan di sekitar kawasan Kantor Wali Kota ketinggian air hampir 3 meter. Dalam bencana 17 Februari 2013, sebanyak 4.200 rumah penduduk rusak dan lebih dari 25 ribu warga Manado mengungsi. Kita belum tahu kerusakan yang terjadi akibat bencana tahun ini karena sedang dalam pendataan dan bencana susulan masih mungkin terjadi. Bencana mestinya menggugah kepedulian. Poinnya, jangan bekerja setengah hati. Semoga! *
Sumber: Tribun Manado 16 Januari 2014 hal 10