Menonton Orang-Orang Lapar

ilustrasi doang
MENGAPA 352 pria pilihan dari 16 negara Eropa harus berkumpul di Belgia-Belanda medio tahun 2000 sekadar memainkan bola kecil dengan lingkaran tidak lebih dari 28 inci? Kenapa bola kecil dengan berat cuma 14-16 ons yang disepak ke sana kemari dalam lapangan 120 x 90 meter persegi itu menyedot perhatian jutaan manusia, melahirkan magma nasionalisme, profit berlipat ganda bahkan cukup sering menelan korban manusia yang memujanya?

    Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mungkin menghantui Anda hari-hari ini ketika pesta Euro 2000 berlangsung marak dan bahan pembicaraan banyak orang. Dengan formulasi yang lain, Anda mungkin bertanya apa menariknya sepakbola, sehingga ia menjadi olahraga terpopuler sejagat yang tanpa batas? Ia melampaui sekat negara, perbedaan agama, suku, warna kulit dan sebagainya.

    Sepakbola tanpa batas itu sesungguhnya sepotong episode film kehidupan umat manusia yang bercerita tentang orang-orang lapar. Karena itu, Anda dan saya sebenarnya sedang menonton orang-orang lapar. Lapar akan pengakuan eksistensi dan pemenuhan kebutuhan manusiawinya. Adalah manusiawi bila orang ingin meraih prestasi dengan seluruh implikasinya, mendambakan pujian, menaklukkan tantangan atau sekadar mereguk hiburan dan keindahan.

    Puluhan juta manusia dari sekurang-kurangnya 120 negara (sebagian di antaranya malah harus rela begadang di depan layar kaca), menatap Belgia-Belanda selama 23 hari karena mereka ingin menghapus rasa lapar. Lapar terhadap aksi seniman bola melalui liukan pinggul Luis Figo, gocekan Zinedine Zidane, sundulan Oliver Bierhoff atau gaya terbang David Seaman. Lebih dari satu juta manusia dari berbagai negara di Eropa berbondong-bondong menuju Belgia-Belanda sejak 10 Juni hingga 2 Juli 2000, menghabiskan uang, tenaga, keringat bahkan air mata karena mereka lapar akan tontonan dan hiburan. Mereka membutuhkan pesta bola untuk menghilangkan rutinitas kesehariannya.

    Dan, ketika Norwegia menaklukkan Spanyol 1-0 tiga hari yang lalu, banyak pihak yang termangu dan terkejut karena tidak menduga prajurit “Viking” sanggup membantai “Matador” yang terkenal tangguh. Norwegia bermain dengan rasa lapar tak tertahankan! Lapar akan pengakuan Eropa akan sepakbola dari utara, terlebih pengakuan Spanyol yang favorit Euro 2000. Ole Gunna Solskjaer, Henning Berg, Stefen Iversen, berlari sekuat-kuatnya, berduel udara setinggi-tingginya, bertahan habis-habisan dan menyerang dengan segala kemampuannya. Mereka bermain dengan raga dan jiwa.

    Rasa lapar menyulap semangat mereka menjadi sangat solid di setiap lini, kemudian pada saat yang tampan di menit ke-65, Iversen melepaskan tembakan jarak jauh merobek gawang Canizares. Raul Gonzalez dkk tak sanggup menegakkan kepala. Puluhan ribu pendukung Spanyol di Rotterdam diam. Pelatih Jose Antonio Camacho tak lagi tampil macho di bibir lapangan.

    Karena lapar akan bangkitnya prestise Yugoslavia yang sepuluh tahun terakhir ini babak-belur dilindas perang Balkan dan “kepala keras” Slobodan Milosevic, Savo Milosevic, Vladimir Jugovic, Predrag Mijatovic bekerja sangat keras untuk mengejar ketinggalan 0-3. Dalam enam menit mereka menyamakan skor 3-3 dengan Slovenia, negara yang pernah berintegrasi dengan Yugoslavia selama lebih dari tiga dasawarsa.

    Lapar dalam dunia bola – sama seperti lapar dalam arti harafiah – memang bisa membuat orang bertindak nekat. Milosevic nekat saja menggempur tembok Slovenia meski timnya tinggal sepuluh orang. Hasilnya menakjubkan. Mereka tidak dipermalukan Slovenia yang pada musim semi 1990 mengucapkan sayonara kepada tanah air Yugoslavia melalui referendum.

***
    LAPAR dalam dunia bola sungguh menyembulkan keindahan sekaligus elegan. Untuk meraih prestasi puncak, dihormati dan disegani, seorang pemain harus mengolah bola dengan seelok-eloknya, seanggun-anggunnya, sebagus-bagusnya, dengan sejujur-jujurnya, tanpa selingkuh berlari ke sana kemari, ke depan dan  belakang memeras puluhan liter keringat untuk menjemput bola, harus jatuh bangun bahkan berdarah atau patah kaki dan tangan. Dia harus berkorban agar dapat menghilangkan lapar dan dahaganya!

    Elegannya lapar di dunia bola karena ia tidak menunggu petunjuk, juklak dan juknis. Petunjuk hanya diberikan manajer tim dalam waktu yang sangat singkat, jedah 15 menit. Selebihnya selama satu setengah jam atau lebih, tanggung jawab ada pada para pemain sendiri.

    Lapar di dunia bola tidak menunggu laporan dari bawah berhari-hari, berbulan dan bertahun-tahun, tidak memakai wacana diskusi lama sampai mulut berbusa-busa tentang bagaimana bola seharusnya disepak atau ditendang. Lapar itu harus disirnakan dengan cara menjemput bola, berjibaku dan berkorban dengan ikhlas dan tulus, dengan kearifan, dengan raga dan relung batin yang sudah siap memikul resiko terburuk.

    Itulah sebabnya ‘orang-orang lapar’ di lapangan hijau Belanda-Belgia hari-hari ini tampak dan terasa indah nian.  Sebab itulah bagi saudara-saudariku yang (baru terancam?) kelaparan di Belu Selatan, Kuanfatu dan Amanuban Selatan, karena bantuan tak kunjung datang atau tersendat-sendat lantaran beragam kendala, buat para kekasih tercinta di tanah gersang menawan Sumba, maafkanlah kalau kami mungkin sedang ‘menontonmu’ dengan cara tidak menjemput bola. Soalnya kami masih menunggu dengan gelisah, bak perawan menunggu sang jejaka di malam bulan purnama: Kapankah kau datang... hai laporan dari bawah?*

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra,
juga Pos Kupang edisi Jumat, 16 Juni 2000. Artikel ini dibuat tentang  kejutan yang dibuat tim nasional Norwegia di Piala Eropa 2000. Norwegia yang tidak diunggulkan berhasil mengalahkan Spanyol di penyisihan grup.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes