Petir Pencabut Nyawa

TENDA duka masih berdiri kokoh di depan rumah permanen Yohanes Dhou, warga Desa Seso, Kecamatan Soa, Kabupaten Ngada, Kamis (13/12/2007).
Tenda itu dibangun karena salah seorang anggota keluarga, Martina Mooy, istri dari Yohanes Dhou, meninggal dunia disambar petir di Pasar Harian Soa, Selasa (11/12/2007) lalu. Martina meninggalkan suami dan lima orang anaknya yang masih butuh perhatian dan kasih seorang ibu. Martina meninggal dunia di saat menjual sayuran untuk menopang kehidupan keluarganya.
Kita prihatin dan ikut berduka cita atas meninggalnya Martina Mooy.Untuk kesekian kalinya korban sambaran petir kembali menjadi warta duka bagi kita di sini. Musibah yang selalu datang bersamaan dengan tibanya musim hujan. Tetapi sikap sebagian besar kita mungkin menganggap sepele peristiwa alam itu. Tak akan lebih menarik perhatian dibandingkan dengan berita kematian lain akibat bencana banjir bandang, tanah longsor, gempa bumi atau tsunami. Padahal petir hampir saban tahun memakan korban jiwa di Propinsi NTT.
Data Pos Kupang menunjukkan fakta tersebut. Dalam waktu sembilan tahun terakhir, sebanyak 14 penduduk NTT tewas disambar petir dan sejumlah orang mengalami cedera. Jumlah tersebut boleh jadi jauh dari angka riil karena kemungkinan ada korban lain yang tidak sempat terpublikasikan media.Beberapa kejadian perlu diungkap kembali.
Pada tanggal 27 Oktober 1998, Anselmus, warga Wora, Desa Semang, Kecamatan Lembor, Manggarai Barat, tewas disambar petir. Peristiwa paling tragis terjadi 5 November 1998 ketika sembilan warga Metang Ndoso, Desa Waebuka, Kabupaten Manggarai tewas disambar petir saat bermain bolavoli. Pada tahun 2006 terjadi tiga peristiwa petir pencabut nyawa.
Pada 12 November 2006, Yohana Peda Lele (40), warga Desa Weepatola, Kecamatan Tanah Righu, Kabupaten Sumba Barat, tewas disambar petir yang datang bersamaan dengan hujan badai. Keesokan harinya, 13 November 2006, Albert Adut (37), warga Kampung Lamba, Desa Poco Rii, Kecamatan Borong, Manggarai Timur juga tewas disambar petir.
Pada 19 Desember 2006, Sebastianus Ujan (49), warga Desa Paubokol, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata tewas disambar petir, sementara dua rekannya Wilhelmus Nara (50) dan Angelbertus Laga (40) sekarat. Korban terakhir pada 11 November 2007 yang menimpa Martina Mooy (57), warga Desa Seso, Kecamatan Soa, Ngada.
Data di atas memberi gambaran kepada kita bahwa hampir tidak ada daerah di NTT yang bebas petir. Namun, kita belum melihat respon serta langkah konkret untuk mengantisipasi kemungkinan jatuhnya korban jiwa. Misalnya semacam peta lokasi rawan petir di NTT. Dengan pemetaan yang baik, aparat pemerintah atau lembaga lainnya dapat memberikan peringatan dini kepada masyarakat saat musim hujan tiba. Masyarakat diingatkan untuk menghindari lokasi rawan petir.
Mereka juga diberi petunjuk praktis untuk menghindari musibah apabila halilintar bergemuruh dan petir pun menyambar apa saja. Masyarakat pedesaan NTT merupakan fokus utama sosialisasi soal ini karena mereka belum memahami bahaya petir dan bagaimana bertindak untuk mencegah jatuhnya korban. Agaknya kita tidak kekurangan ahli dalam bidang ini. Kita memiliki banyak orang yang memahami cara menangkal dan mencegah petir.
Menurut batasan fisika, petir adalah lompatan bunga api raksasa antara dua massa dengan medan listrik berbeda. Prinsipnya mirip dengan lompatan api pada busi. Di alam sekitar kita, petir biasa terjadi pada awan yang membesar menuju awan badai (cumulonimbus). Sedemikian besar sampai ketika petir melesat, tubuh awan akan terang-benderang. Dan, akibat udara yang terbelah, sambarannya yang rata-rata memiliki kecepatan 150.000 km/detik menimbulkan bunyi menggelegar. Bunyi yang kita kenal sebagai guntur atau halilintar. Dalam musim hujan seperti saat ini awan jenis itu banyak terbentuk.
Ketika akumulasi muatan listrik dalam awan membesar dan stabil, lompatan listrik akan merambah massa bermedan listrik lainnya, dalam hal ini Bumi. Penghubung yang disukai petir, merujuk pada Hukum Faraday, tak lain adalah bangunan, pohon atau tiang metal berujung lancip. Itulah sebabnya pada musim hujan kita disarankan jangan berada di wilayah terbuka atau bernaung di bawah pohon. Kita tak dapat memastikan apakah tanah yang kita pijak berpotensi menarik petir atau tidak.
Bila terjadi badai dan ada petir, hindari tempat basah, tempat terbuka, berlindung di bawah pohon tinggi, bangunan tinggi tanpa penangkal petir, tempat yang dekat dengan pembumian penangkal petir, trafo gardu listrik, dekat bahan peledak dan lainnya. Bila berada di tanah lapang, usahakan menunduk serendah mungkin dan jangan merebahkan badan di tanah. Salam Pos Kupang, Sabtu 15 Desember 2007. *

Ada emas di dada Wakil Rakyat



DULU di zaman Orde Baru kita menyebut wakil rakyat sekadar tukang setempel bagi eksekutif. Sekadar menjalankan fungsi 4D (Datang, Duduk, Diam dan dapat Duit). Keterampilan Dewan yang paling menonjol di masa itu adalah menyanyikan koor setuju. Jarang muncul interupsi apalagi perbedaan pendapat dan sikap tegas menolak sesuatu dalam sidang-sidang di gedung wakil rakyat.
Lembaga legislatif tak berdaya. Mereka berada di bawah kontrol eksekutif. Tidak mandiri. Tidak sungguh-sungguh menjadi wakil rakyat. Legislatif tidak lebih dari perpanjangan tangan esekutif. Bukan lembaga yang independen, berwibawa dan terpercaya.
Zaman berubah. Datang era Reformasi 1998. Sudah terselenggara dua kali pemilihan umum (pemilu) pada era Reformasi ini. Dalam Pemilu 2004 bahkan rakyat Indonesia memilih secara langsung pemimpin eksekutif (presiden dan wakil presiden). Diikuti dengan pemilihan langsung kepala daerah (gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota).
Dunia internasional kagum dan memuji. Banyak yang menyebut perubahan itu sebagai kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan sistem demokrasi di Indonesia. Indonesia yang lebih dari 20 tahun gonjang-ganjing di bawah demokrasi terpimpin ala Soekarno dan 32 tahun menerapkan demokrasi sentralistik-militeristik rezim Soeharto berubah lekas menuju demokrasi langsung. Kedaulatan sungguh ada di tangan rakyat.
Muncul harapan besar akan datangnya perubahan dalam manajemen pemerintahan dan pembangunan bangsa. Akan lahir pemimpin terbaik hasil pilihan rakyat secara langsung, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif.
Ternyata perubahan sistem pemilihan umum tidak diikuti dengan perubahan karakter serta perilaku para pemimpin eksekutif dan legislatif yang terpilih. Khusus anggota legislatif (DPR/DPRD), kinerja mereka tidak semakin berkualitas bila dibandingkan dengan legislatif era Orde Baru. Hasil survei berbagai lembaga independen di Indonesia menunjukkan bahwa kinerja wakil rakyat memprihatinkan. Demikian pula dengan pemerintah.
Kekuasaan dan atau kewenangan yang semakin besar di tangan legislatif kini justru disalahgunakan. Kekuasaan itu tidak dipakai demi menghasilkan kebijakan publik yang pro rakyat, melainkan lebih untuk kepentingan para legislator sendiri.
Kita sudah acapkali menyaksikan di berbagai tempat bagaimana anggota DPR/DPRD mengatur anggaran belanja sedemikian rupa yang ujung-ujungnya masuk ke kantong mereka. Mulai dari dana purna bakti, insentif sampai tunjangan ini dan itu yang sungguh mencederasi perasaan masyarakat. Mereka juga mengalokasikan anggaran jalan-jalan ke daerah lain bahkan hingga manca negara berlabel studi banding.
Salah satu soal yang masih segar dalam ingatan kita adalah gonjang-ganjing tentang dana rapelan tunjangan komunikasi dan operasional anggota Dewan. Dana yang sudah masuk ke rekening pribadi anggota Dewan dan sebagian sudah dipakai harus dikembalikan ke kas negara dengan berbagai cara. Presiden membatalkan keputusan tentang ini karena rakyat protes keras. Kepercayaan masyarakat terhadap anggota DPR/DPRD di seluruh Indonesia bisa dilukiskan sangat minim.
Tidak sulit menemukan contoh buruknya kinerja legislatif di daerah ini. Mereka umumnya malas menghadiri sidang Dewan. Tidak disiplin dan patuh pada jadwal persidangan yang telah mereka buat sendiri. Mereka lebih sering bepergiaan untuk urusan pribadi. Sampai pertengahan bulan ini bahkan ada DPRD di NTT yang belum selesai membahas perubahaan anggaran tahun 2007. Padahal tahun berjalan tinggal satu setengah bulan lagi. Sungguh memilukan tetapi mereka sepertinya tidak malu kepada rakyat. Dengan waktu efektif satu setengah bulan, jangan heran bila proyek pembangunan akan memakai sistem penunjukan langsung (PL/PML). Jangan pula terkejut bila kualitas proyek jauh dari harapan masyarakat.
Dalam kontes itulah kita pun tidak terlalu heran ketika 30 anggota DPRD Kabupaten Flores Timur periode 2004-2009 kini memakai emblem emas. Emblem emas 23 karat seberat 6 gram itu mereka pasang di dada. Asesoris itu menambah keanggunan dan kegagahan wakil rakyat terhormat di ujung timur Nusa Bunga. Luar biasa. Potret umum parlemen kita memang masih sebatas itu. Masih suka asesoris-simbolik, bukan substansi. Baru mekar sebagai asesoris demokrasi. Salam Pos Kupang, Rabu 14 November 2007. **

Di lereng Tangkuban Perahu

Kita satu hati. Satu tekad. Jadilah team work!

Di lereng Gunung Tangkuban Perahu
Selasa, Rabu. Tanggal empat dan lima
bulan keduabelas
Tahun 2007.

Para pemimpin Koran daerah KKG
Bertemu, melepas rindu
Berendam hangatnya Sari Ater
Menghirup sejuk Priangan
Membumi negeri Siliwangi.

Mereka punggawa Kompas Gramedia
Berkencan tentang masa depan
Sambut Mega Portal
Kuasai South East Asia!!!

Ah, ada yang the best.
Proficiat. Trip to Hong Kong, Disneyland.
Take care man …
Ada cibiran “Nanti Tuhan Tolong”.
Mengapa harga tak dibayar sama?
Mengapa sapa tak untuk semua?

Khusus vs Umum. Kalah kau!
Unik, ke mana gerangan
Hendak didudukkan?
Uniformitas. Kuterpana….
Tuhan tahu tapi
Dia takkan menyahut.


317, Sari Ater-Ciater.
6 Desember 2007.
Dion Bata
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes