TIBA-tiba saya merindukan waktu itu. Saat di mana tidak banyak bunyi notifikasi SMS, BBM dan WA yang sangat mengganggu dan menghabiskan banyak waktuku. Saya kembali ke buku. Dulu saya bisa lebih dari satu jam membaca buku dan berjam-jam menulis. Hanya sesekali merespons deringan pesawat telepon. Saya tidak ketagihan menatap layar hape.
Zaman berubah lekas amat. Teknologi komunikasi dan informasi terus perbarui diri. Canggih! Alat bikinan manusia kian pintar dan piawai membantu. Namun. serentak dengan itu dia menciptakan situasi paradoks.
Manusia teralienasi. Waktunya terlalu banyak tersedot untuk berselancar di jagat maya. Berjam-jam berhari-hari. Doyan pelesiran virtual lalu komat-kamit sendiri, senyum sendiri. Duduk semeja tapi tak saling sapa. Sama menanti bus di halte namun enggan bicara satu sama lain. Obrolan manusia menguap entah ke mana. Masing-masing orang asyik sendiri.
Handphone menjadi candu baru yang super dahsyat dampaknya bagi kehidupan sosial. Relasi antar sesama kering kerontang. Saya pun ikut menjadi korbannya. Mulai lupa refleksi. Lupa menulis dengan otak dan hati yang jernih. Maka tak ada jalan lain, saya harus pulang ke rumah yang dulu. Kembali ke buku.
Baca buku dan menulis. Menulis dan baca lagi. Beratnya bukan main tuan dan puan. Baru sekitar 30 menit baca buku sudah tergoda menengok layar hape, tergiur tanda pesan WA masuk atau nofikasi akun Facebook dan Instagram. Kecanduan ini sungguh bikin galau. Kalau tidak direm, mungkin tak lama lagi kemampuan menulisku tak tersisa sama sekali karena larut dalam jebakan smartphone yang memabukkan.
Syukurlah. Tahun 2018 ini tiga kali saya menyumbang tulisan buat buku. Satu menulis kata pengantar, satu epilog dan satu artikel. Menulis untuk buku memerlukan konsentrasi dan energi lebih. Tidak asal-asalan.
Saya menulis Kata Pengantar untuk buku Wasiat Jalan, Menemukan Makna Hidup, Karya dan Cinta, buah karya Yahya Ado (Februari 2018). Buku setebal 119 halaman tersebut diterbitkan Institute of Resource Governance and Sosial Change (IRGSC) Publisher Kupang. Yahya, tokoh muda NTT yang aktif dalam karya sosial kemanusiaan itu mengundang saya ikut dalam acara peluncuran dan diskusi buku di Aula F-Square Fatululi Kupang, Sabtu 14 April 2018.
“Yahya melalui buku Wasiat Jalan mau mengajak generasi milenial, manusia zaman now yang super sibuk mengejar materi untuk luangkan waktu sejenak. Jeda sesaat, menarik diri dari keriuhan duniawi. Di sanalah keutamaan buku mungil nan bernas ini.” Demikian cuplikan kata pengantar saya.
Pada bulan Agustus 2018 saya menulis satu artikel untuk buku Mewujudkan Profesionalisme Wartawan, 10 Tahun Margiono Memimpin PWI. Buku ini memang didedikasikan khusus untuk Margiono yang mengakhiri masa pengabdiannya pada kongres PWI di Kota Solo 27-30 September 2018.
Kongres tersebut selain mengevaluasi kinerja pengurus sebelumnya juga memilih ketua umum PWI pusat yang baru. Atal S Depari terpilih sebagai pengganti Margiono. Dia unggul tiga suara atas calon ketua umum lainnya yaitu Hendri Ch Bangun.
Margiono menorehkan kenangan manis bagi Nusa Tenggara Timur. Pada masa kepemimpinannya, PWI Pusat mempercayakan Kota Kupang sebagai tuan rumah peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2011.
Padahal saat itu Kupang serba terbatas terutama akomodasi perhotelan. Justru dalam kekurangan itu, NTT bisa memberikan pelayanan berkesan bagi lebih dari 1.000 tamu yang datang dari seluruh penjuru Nusantara. Pasca HPN 2011, ekonomi Kota Kupang bergeliat dan percaya diri menjadi tuan rumah event-event berskala nasional berikutnya.
Dalam buku Mewujudkan Profesionalisme Wartawan, 10 Tahun Margiono Memimpin PWI, saya yang menjadi ketua PWI Provinsi NTT pada periode sama dengan Margiono (2008-2018) menulis dampak positif yang dipetik daerah ini setelah sukses menjadi tuan rumah HPN tahun 2011.
Buku setebal 413 halaman yang berisi kumpulan tulisan wartawan dari seluruh Indonesia tersebut diterbitkan PWI Pusat. Isinya sungguh kaya tentang kiprah organisasi PWI karya para jurnalis Indonesia dari Sabang sampai Merauke, Miangas hingga Rote.
Tulisan ketiga yang saya rajut adalah epilog untuk buku Ringkasan Kegelisahaan Sosial di Aula Sejarah karya Marsel Robot (Oktober 2018). Buku 260 halaman berisi kumpulan artikel pilihan Marsel Robot dalam dua dekade terakhir. Penerbit Perkumpulan Komunitas Sastra Flobamora.
Saya berterima kasih kepada Yahya Ado, tim buku PWI Pusat dan Dr. Marsel Robot, dosen senior dari Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang yang memberi kesempatan saya menulis.
Setidaknya saya masih berurusan dengan buku. Tidak semata rutin mengedit berita untuk pembaca Harian Pagi Pos Kupang. Rutinitas itu kerap menjadi momok bagi wartawan. Asyik bekerja sehari-hari mereka lupa menulis sesuatu yang lebih berisi. Menulis yang bermakna tak sebatas warta informatif memenuhi unsur 5W + 1H. Menulis untuk buku memerlukan energi lebih dalam mencermati, menganalisis, refleksi dan merangkai kata demi kata.
Benarlah pesan orang bijak bahwa cara terbaik merawat istana ingatan adalah dengan membaca dan menulis. Luangkan waktu saban hari antara 30 menit sampai 1 jam untuk membaca. Baca informasi apa saja terutama buku-buku yang dapat menambah wawasan dan pengetahuan.
Satu lagi yang tidak boleh terlewatkan. Jika tuan dan puan punya kebiasaan menulis mestilah disertai ketekunan mendokumentasikannya. Banyak orang hebat menulis tapi cuma sedikit yang telaten menyimpan file. Akibatnya ketika berniat membukukan tulisan itu, misalnya, dia tidak tahu harus mendapatkan di mana. Pusing sendiri. Rugi besar karena pengalaman saya menunjukkan gagasan bernas jarang terulang.
Ikhwal konsistensi menulis saya mengagumi teladan para wartawan kawakan negeri ini. Tiga nama besar patut disebut secara khusus yaitu Jakob Oetama, Rosihan Anwar dan Dahlan Iskan.
Rosihan Anwar menulis sampai usia sepuh bahkan hingga saat-saat terakhir kembali ke pangkuanNya dia masih merangkai kata, menyumbangkan pikiran demi kemajuan bangsa dan negara yang dia cintai. Pendiri Harian Kompas, Jakob Oetama juga sama. Demikian pula Dahkan Iskan. Dahlan sampai saat ini masih menulis minimal sekali dalam sepekan. Tulisannya mengalir dalam langgam yang enak dibaca.
Para jurnalis senior itu mengajarkan satu hal bahwa menulis adalah sesuatu yang menyenangkan. Maka setiap ide yang muncul perlu segera dimahkotai dengan kata dan kalimat agar ia bermakna bagi peradaban manusia. Secuil ide laksana air sungai yang terus mengalir sampai jauh melewati jeram, laguna, muara dan laut biru. Tak pernah kembali. (Kolhua 4-11-2018) *
• Beranda Kita adalah kolom Dion DB Putra yang pernah hadir di edisi cetak Harian Pos Kupang periode 2008-2011. Kini atas permintaan pembaca, sang penulis menghadirkan lagi dalam format online minimal seminggu sekali. Semoga berkenan.
• Dion DB Putra, wartawan Pos Kupang 1992- sekarang.