Pulang ke Rumah yang Dulu


Oleh Dion DB Putra

TIBA-tiba saya merindukan waktu itu.  Saat di mana tidak banyak bunyi notifikasi SMS, BBM dan WA yang sangat mengganggu dan menghabiskan banyak waktuku. Saya kembali ke buku. Dulu saya bisa lebih dari satu jam membaca buku dan berjam-jam menulis. Hanya sesekali merespons deringan pesawat telepon.  Saya tidak ketagihan menatap layar hape.

Zaman berubah lekas amat. Teknologi komunikasi dan informasi terus perbarui diri. Canggih! Alat bikinan manusia kian pintar dan piawai membantu. Namun. serentak dengan itu dia menciptakan situasi paradoks.

Manusia teralienasi. Waktunya terlalu banyak tersedot untuk berselancar di jagat maya. Berjam-jam berhari-hari.  Doyan pelesiran virtual lalu komat-kamit sendiri,  senyum sendiri. Duduk semeja tapi tak saling sapa. Sama  menanti bus di halte namun enggan bicara satu sama lain. Obrolan manusia menguap entah ke mana. Masing-masing orang asyik sendiri. 

Handphone menjadi candu baru yang super dahsyat dampaknya bagi kehidupan sosial. Relasi antar sesama kering kerontang. Saya pun ikut menjadi korbannya. Mulai lupa refleksi. Lupa menulis dengan otak dan hati yang jernih.  Maka tak ada jalan lain, saya harus pulang ke rumah yang dulu. Kembali ke buku.

Baca buku dan menulis. Menulis dan baca lagi. Beratnya bukan main tuan dan puan. Baru sekitar 30 menit baca buku sudah tergoda menengok layar hape, tergiur tanda pesan WA masuk atau nofikasi akun Facebook dan Instagram. Kecanduan ini sungguh bikin galau. Kalau tidak direm, mungkin tak lama lagi kemampuan menulisku tak tersisa sama sekali karena larut dalam jebakan smartphone yang memabukkan.

Syukurlah. Tahun 2018 ini tiga kali saya menyumbang tulisan buat buku. Satu menulis kata pengantar, satu epilog dan satu artikel. Menulis untuk buku memerlukan konsentrasi dan energi lebih. Tidak asal-asalan. 

Saya menulis Kata Pengantar untuk buku Wasiat Jalan, Menemukan Makna  Hidup, Karya dan Cinta, buah  karya Yahya Ado (Februari 2018). Buku setebal 119 halaman tersebut diterbitkan Institute of Resource Governance and Sosial Change (IRGSC) Publisher Kupang.  Yahya, tokoh muda NTT yang aktif dalam karya sosial kemanusiaan itu mengundang saya ikut dalam acara peluncuran dan diskusi buku di Aula F-Square Fatululi Kupang, Sabtu 14 April 2018.

“Yahya melalui buku Wasiat Jalan mau mengajak generasi milenial, manusia zaman now  yang super sibuk mengejar materi untuk luangkan waktu sejenak. Jeda sesaat,  menarik diri dari keriuhan duniawi. Di sanalah keutamaan buku mungil nan bernas ini.” Demikian cuplikan kata pengantar saya.

Pada bulan Agustus 2018 saya menulis satu artikel untuk buku Mewujudkan Profesionalisme Wartawan, 10 Tahun Margiono Memimpin PWI. Buku ini memang didedikasikan khusus untuk Margiono yang mengakhiri masa pengabdiannya pada  kongres PWI di Kota Solo 27-30 September 2018.

Kongres tersebut selain mengevaluasi kinerja pengurus sebelumnya juga memilih ketua umum PWI pusat yang baru. Atal S Depari terpilih sebagai pengganti Margiono. Dia unggul tiga suara atas calon ketua umum lainnya yaitu Hendri Ch Bangun.

Margiono menorehkan kenangan manis bagi Nusa Tenggara Timur. Pada masa kepemimpinannya, PWI Pusat mempercayakan Kota Kupang sebagai tuan rumah peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2011.
Padahal saat itu Kupang serba terbatas terutama akomodasi perhotelan. Justru dalam kekurangan itu, NTT bisa memberikan pelayanan berkesan bagi lebih dari 1.000 tamu yang datang dari seluruh penjuru Nusantara. Pasca HPN 2011, ekonomi Kota Kupang bergeliat dan percaya diri menjadi tuan rumah event-event berskala nasional berikutnya.

Dalam buku Mewujudkan Profesionalisme Wartawan, 10 Tahun Margiono Memimpin PWI, saya yang menjadi ketua  PWI Provinsi NTT pada periode sama dengan Margiono (2008-2018)  menulis dampak positif yang dipetik daerah ini setelah sukses menjadi tuan rumah HPN tahun 2011.

Buku setebal 413 halaman yang berisi kumpulan tulisan wartawan dari seluruh Indonesia tersebut diterbitkan PWI Pusat. Isinya sungguh kaya  tentang kiprah organisasi PWI karya para jurnalis Indonesia dari Sabang sampai Merauke, Miangas hingga Rote.

Tulisan ketiga yang saya rajut adalah  epilog untuk buku Ringkasan Kegelisahaan Sosial di Aula Sejarah karya Marsel Robot (Oktober 2018).  Buku 260 halaman berisi kumpulan artikel pilihan Marsel Robot dalam dua dekade terakhir. Penerbit Perkumpulan Komunitas Sastra Flobamora.

Saya berterima kasih kepada Yahya Ado, tim buku PWI Pusat dan Dr. Marsel Robot, dosen senior dari Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang yang memberi kesempatan saya menulis.

Setidaknya saya masih berurusan dengan buku. Tidak semata rutin mengedit berita untuk pembaca Harian Pagi Pos Kupang. Rutinitas itu kerap menjadi momok bagi wartawan. Asyik bekerja sehari-hari mereka lupa menulis sesuatu yang lebih berisi. Menulis yang bermakna tak sebatas warta informatif memenuhi unsur 5W + 1H. Menulis untuk buku memerlukan energi lebih dalam mencermati, menganalisis, refleksi dan merangkai kata demi kata.

Benarlah pesan orang bijak bahwa cara terbaik merawat istana ingatan adalah dengan membaca dan menulis.  Luangkan waktu saban hari antara 30 menit sampai 1 jam untuk membaca. Baca informasi apa saja terutama buku-buku yang dapat menambah wawasan dan pengetahuan. 

Satu lagi yang tidak boleh terlewatkan. Jika tuan dan puan punya kebiasaan menulis mestilah disertai ketekunan mendokumentasikannya. Banyak orang hebat menulis tapi cuma sedikit yang telaten menyimpan file. Akibatnya ketika berniat membukukan tulisan itu, misalnya, dia  tidak tahu harus mendapatkan di mana. Pusing sendiri. Rugi besar karena pengalaman saya menunjukkan gagasan bernas jarang  terulang.

Ikhwal konsistensi menulis saya  mengagumi teladan para wartawan kawakan negeri ini. Tiga nama besar patut disebut secara khusus  yaitu Jakob Oetama, Rosihan Anwar dan Dahlan Iskan.

Rosihan Anwar menulis sampai usia sepuh bahkan hingga saat-saat terakhir kembali ke pangkuanNya dia masih merangkai kata, menyumbangkan pikiran demi kemajuan bangsa dan negara yang dia cintai. Pendiri Harian Kompas, Jakob Oetama juga sama. Demikian pula Dahkan Iskan. Dahlan sampai saat ini masih menulis minimal sekali dalam  sepekan. Tulisannya mengalir dalam langgam yang enak dibaca.

Para jurnalis senior itu mengajarkan satu hal bahwa menulis adalah sesuatu yang menyenangkan. Maka setiap ide yang muncul perlu segera dimahkotai dengan kata dan kalimat agar ia bermakna bagi peradaban manusia. Secuil ide laksana air sungai yang terus mengalir sampai jauh  melewati jeram, laguna, muara dan laut biru.  Tak pernah kembali.  (Kolhua  4-11-2018) *

Beranda Kita adalah kolom Dion DB Putra yang pernah hadir di edisi cetak Harian Pos Kupang periode 2008-2011. Kini atas permintaan pembaca, sang penulis  menghadirkan lagi dalam format online minimal seminggu sekali. Semoga berkenan.

Dion DB Putra, wartawan Pos Kupang 1992- sekarang.

Merekan Rintik Hujan


Oleh Dion DB Putra

BERAPA jam dalam sehari tuan dan puan menghabiskan waktu untuk menatap layar handphone atau ponsel di tanganmu? Berapa kali dalam tempo 24 jam jempol dan ujung jarimu menyentuh layar, menggesek ke atas bawah, kiri dan kanan? Mungkin dikau luput menghitung. Lupa mereken lantaran asyik masyuk dan larut!

Ya, hari-hari kita begitu sibuk sendiri. Dulu televisi menjadi tabernakel hidup.  Manusia memujanya lebih dari apapun.  Kini ponsel menyisihkan posisi orang-orang terkasih.  Saat berbicara dengan rekan kerja, pimpinan atau bawahan, tangan tak henti-hentinya memainkan gadget.


Tatkala menemani buah hati mengerjakan PR sekolah, setiap 30 detik hingga satu menit sekali mata melirik layar ponsel guna melihat notifikasi yang masuk. Pada momen makan berdua di restoran dengan istri atau kekasih, ponsel diletakkan sedekat mungkin di sisi kita dan barang itu  mampu menyela  obrolan sepenting atau  seromantis  apapun.

Ketika suara pesan dari medsos atau notifikasi WhatsApp masuk, perhatian tertuju pada ponsel. Duh… kita sungguh ketagihan ponsel cerdas hasil karya manusia yang justru membodohi penciptanya sendiri.

Maka wajarlah bila banyak yang galau lalu berkata lantang marah karena hidup dalam genggaman ponsel seperti ada dan tiada. Bertamu main HP.  Berdoa main HP.  Ibadah main HP.  Terima tamu main HP.  Bekerja main HP.  Belajar main HP.  Sambil makan main HP.  Di tengah keluarga pun main HP.  Kiamatlah duniamu tanpa HP.

Hari-hari ini jamak nian pemandangan dua orang duduk berhadapan, entah di rumah makan,  ruang tunggu keberangkatan bandara, stasiun kereta api, terminal bus, tempat praktik dokter,  namun tidak berkomunikasi sama sekali. Mereka masing-masing asyik main HP. Kalaupun bicara sekadar basa-basi, kadang tidak nyambung dan tidak fokus pada topik.

Dulu saat hari raya seperti Lebaran, Natal dan Tahun baru  orang saling berkunjung ke rumah, bercengkerama, bersalam-salaman, cium pipi kiri dan kanan. Makan bersama. Ngobrol apa saja  sepuasnya.

Kini  jabat erat tangan sahabat telah sirna, sudah berganti gambar-gambar mati atau animasi dalam ponsel. Dan, kita menikmatinya seolah-olah nyata. Duduk sendiri, angguk dan geleng sendiri, senyum dan tawa bahkan menangis sendiri. Dunia makin kering dan sepi. Alienasi. Miris.

Pada tahun 2012 para ahli bahasa, sosiolog  dan budayawan dalam pertemuan di Sidney University Australia menyepakati kosa kata baru dalam tata bahasa Inggris. Kata tersebut adalah phubbing yang maknanya sebuah tindakan seseorang yang sibuk sendiri dengan gadget di tangannya. Dia tidak perhatian lagi kepada orang yang berada di dekatnya.  Kaca diri kita masing-masing. Rasanya tidak berlebihan bila tuan dan puan pun sudah terbiasa phubbing bukan?

Jangan sampai handphone yang kita beli justru memisahkan kita dengan orang-orang yang kita kasihi. Bahkan memisahkan dikau dengan sang empunya pemilik kehidupanmu. Tuhan Yang Maha Kasih.  Sangat dianjurkan untuk menata ulang caramu memanfaatkan ponsel. Butuh tekad  kuat serta konsistensi sikap.

Mari melakoni hidup  sebagaimana laiknya manusia hidup yang dikaruniai Tuhan dengan panca indera.  Saat anak bercerita tentang kegiatannya di sekolah atau luar rumah, dengarkanlah dia. Simak kata-katanya dengan penuh perhatian. Sisihkan HP. Saat ibu atau ayahmu bicara, abaikan ponselmu selama beberapa saat sampai mereka selesai bercakap.

Saat matahari merekah, udara sejuk, angin semilir, burung-burung bersiul, cueklah pada bunyi notifikasi hapemu. Ada saat dalam hidupmu engkau ingin sendiri bersama angin lalu menceritakan kepenatan batinmu. Saat kehidupan di luar sana sengit, riuh dan bising, cobalah kembali mendengar nyanyian dan kicau burung, suara sungai dan bersyukurlah betapa indah karya Tuhan bagi makhluk kesayanganNya.

Sesekali pergilah ke pantai. Pantai itu sama seperti tatapan ibu atau pundak ayah. Tempat pelarian terbaik untuk mendapatkan kesegaran dan semangat hidup baru. Atau dakilah bukit dan gunung, susuri lembah dan ngarai. Hirup aroma genit padi bunting. Jangan dikau lari ke medsos, curhat dan mengumpat di sana. Tuan lupa sosial media  itu panggung liar dan binal dengan hukum rimba sebagai panglimanya. Nyinyir, sinis, doyan memendam dendam…

Berhentilah memuja HP secara berlebihan. Dunia maya itu fatamorgana saudaraku. Mari kita selalu meluangkan waktu menyapa senja, mereken rintik hujan, memahat langit dan mencumbui rembulan. Tanpa HP, tanpa gadget di tangan.  Ayolah!  (*)

Beranda Kita adalah kolom Dion DB Putra yang pernah hadir di edisi cetak Harian Pos Kupang periode 2008-2011. Kini atas permintaan pembaca, sang penulis  menghadirkan lagi dalam format online minimal seminggu sekali. Semoga berkenan.

Dion DB Putra, wartawan Pos Kupang 1992- sekarang.

Habis Manis Sepah Dibuang


Oleh Dion DB Putra

PRESTASI Lalu  Muhammad Zohri merupakan interupsi khas  olahraga paling heboh di negeri ini ketika pusat perhatian sedang tertuju ke pesta Piala Dunia 2018 di Rusia. Pelari nomor bergengsi 100 meter asal Nusa Tenggara Barat itu  meraih juara dunia di bawah usia 20 tahun pada Kejuaraan IAAF di Tempere, Finlandia, Rabu  11 Juli 2018.

Zohri mencatat  waktu 10,18 detik untuk mendapatkan medali emas. Anak dari keluarga miskin ini mengalahkan favorit juara, pelari Amerika Serikat Anthony Schwartz yang merupakan pemegang rekor dunia nomor ini dengan catatan waktu 10,9 detik pada 2 Juni 2018 lalu.


Prestasi Zohri memang mengejutkan.  Untuk pertama kali atlet atletik Indonesia meraih  juara dunia. Kalau di cabang olahraga lain sudah ada juara dunia asal Indonesia. Sebut misalnya bulutangkis, tinju, angkat besi, pencaksilat dan  kempo. Tapi atletik baru kali ini dan juara nomor 100 meter. Manusia tercepat dunia.  Itulah sebabnya nama Zohri langsung populer.

Zohri sebenarnya sudah menjadi juara Asia, Dia merebut medali emas pada kejuaraan atletik junior Asia di Stadion Gifu Nagaragawa, Jepang, 8 Juni 2018. Kala itu dia membukukan waktu 10,27 detik. Namun, prestasi Zohri di Jepang sepi dari pemberitaan. Tidak dianggap sama sekali.

Mengenai prestasi Lalu Muhammad Zohri, beta  mengutip kembali ulasan bernas seniorku di organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Asro Kamal Rokan “Ketika Zohri berhasil, pemerintah gegap gempita menyambutnya. Negara tiba-tiba hadir,” tulis Asro Kamal Rokan sebagaimana dipublikasikan Ceknricek.com.

Tidak banyak yang tahu  Zohri nyaris batal  berangkat ke Finlandia karena kesulitan biaya dan tidak memperoleh visa. Bob Hasan, Ketua Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) mendengar informasi miris ini. Bob menanggung semua biaya sehingga  Zohri bisa berangkat tanpa dukungan pemerintah. Pusat dan daerah!

Nah, ketika Zohri sukses pemerintah menyambut hangat.  Para pejabat dari level kepala kampung sampai kepala negara sontak hadir memberi perhatian. Perhatian makin dalam setelah media massa mengungkap kehidupan Zohri. Atlet kelahiran 1 Juli 2000 di Dusun Karang Pangsor, Kabupaten Lombok Utara, NTB ini lahir dari keluarga papa.

Rumahnya kecil berlantai tanah. Kamar Zohri berdinding  bambu, ditempeli koran bekas untuk menutup lubang di berbagai tempat. Kemiskinan mendera keluarga nelayan ini sejak kecil. Ayah dan ibunya telah tiada.

Rumah buruk Zohri segera berubah wajah. Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI) memberikan sebuah rumah. Presiden Joko Widodo menginstruksikan pula Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat merenovasi rumah Zohri. Tentu baik adanya sebagai apresiasi untuk Zohri.

Mendadak populer dan banjir hadiah bisa jadi madu dan racun bagi Zohri.  Derajat ekonominya  mungkin membaik. Tapi usianya masih muda. Sanjungan bisa menambah semangat untuk berprestasi tapi bisa pula melenakannya. Seperti pisau bermata dua. Salah atur langkah nama Zohri akan meredup dalam sekejap.

Dan, kalau Zohri tidak lagi meraih prestasi pada hari-hari mendatang maka  nasibnya akan sama dengan atlet lainnya. Dilupakan!  Sudah terlalu banyak contoh di negeri ini betapa atlet hebat hidupnya merana setelah masa kejayaannya berakhir. Ironi selalu menyertai jagat olahraga kita. Nasib mantan atlet seperti habis manis sepah dibuang.

Abangku  Asro Kamal Rokan melukiskan secara tepat untuk kita renungkan. Beta kutip kembali kata-katanya bagi tuan dan puan. “Kehidupan para atlet membawa nama negara.  Nasibnya  tidak seberuntung para politisi. Dipilih dengan dana rakyat dan ketika menjabat mengambil uang rakyat. Negara ini lebih tertarik mengeluarkan dana triliunan rupiah untuk mendapatkan politisi daripada membiayai atlet-atlet hebat, para peneliti dan anak-anak berbakat.”

Maka untuk adinda Zohri yang kami kasihi, tak ada jalan pintas. Tetaplah berlatih agar dirimu berlari lebih cepat. Atletik selalu terukur.  Hadiah dan banjir pujian itu sifatnya hanya sementara. Cetaklah terus rekor keabadian.  *

Beranda Kita adalah kolom Dion DB Putra yang pernah hadir di edisi cetak Harian Pos Kupang periode 2008-2011. Kini atas permintaan pembaca, sang penulis  menghadirkan lagi dalam format online minimal seminggu sekali. Semoga berkenan.

Dion DB Putra, wartawan Pos Kupang 1992- sekarang.

Tulisan yang Merindu


Oleh Dion DB Putra

MENJAHIT fakta sosial dalam nada dan langgam yang indah, dalam cara rupawan. Mencubit  tanpa meninggalkan sakit hati. Keras menghela tanpa melukai, mencandai realitas tanpa hujat mempermalukan.

Itulah sosok Marsel Robot. Guru, pendidik dan terutama dia seorang penulis cerdas dan piawai. Pejuang kata sepanjang hidupnya yang menghibur, membesarkan hati dan menawarkan harapan bagi sesama ciptaan Tuhan.

Maka membaca tulisan Marsel Robot selalu menarik rindu. Rindu untuk baca dan baca lagi. Sang penulis jauh dari menggurui. Dia hanya bercerita dan sidang pembaca menikmati cerita itu lalu meresapi dan  memahami pesannya. Pesan renyah gurih yang merasuk jauh hingga ke sumsum, otak dan hati.

Menggerakkan batin  untuk introspeksi dan terus bertanya. Menggugat. Mempertanyakan lagi. Siapakah diriku. Siapakah sesamaku manusia?  Apa dan bagaimana seharusnya bersikap menghadapi fakta sosial budaya agar adab hidup lebih bermartabat, agar tata dunia baru sungguh adil bagi semua.

Coretan tangan Marsel Robot senantiasa telanjang menghentak kesadaran. Gemas menggaruk ingatan bahwa di kolam kehidupan ini janganlah dikau sekadar memancing atau menatap birunya langit, tetapi bergeraklah lebih  dalam untuk menggapai makna kehidupan yang lebih hakiki. Berilah kontribusi, tidak cuma kata manis di bibir.


Buku ini memang hanya menceritakan tentang secuil  kegelisahan sosial di  aula
sejarah. Itu kata sang penulis. Temanya lahir dari situasi tertentu dan dibesarkan dalam konteks-konteks  tertentu pula. Aromanya berganti bersama musim namun senantiasa merajam nalar dan rasa. Marsel Robot membawa pembaca bukunya ke suatu masa, menyajikan pesan galau, gelisah dan ceria dalam selimut kesadaran reflektif, introspektif, aksi.

Buku ini sungguh sebuah aula sejarah nan kaya, setidaknya dalam dua dekade terakhir. Marsel merekam, mencatat dan meramunya dengan apik. Mulai dari masalah  politik, sosial budaya, sastra, pendidikan hingga soal ekonomi dan infrastruktur dasar kebutuhan masyarakat.  Dari Sebutlah Presiden Kita Ini: Ibunda Si Mulut Sunyi  hingga Manggarai Timur, Sepanjang Jalan, Aku Retang Bao.  

Susur sejarah artikel karya Marsel mempertemukan lagi pembaca dengan  Opera Osama Bin Laden, kisruh Ambon Manise, Ambon Menangise, Sidang Tahuan DPR-MPR juga sentilan bagi Pers sebagai Lembaga Politik. Kadang bikin ngakak terkekeh, juga pilu menikmati sentilan nan satir.

Sebut misalnya Tuhan Yesus: Keluar Gereja Naik Bemo, Mengecup Kening Manggarai pada Peristiwa Lonto Leok, Adegan Pembangunan di Tepi Lapangan, Selamat Datang Manggarai Timur, Selamat Datang Kesedihan, Tentang Wajahmu di Tikungan Itu,  Gayus dan Menara Pasir  atau Parodi Kontekstual Ahok.

Hebatnya lagi, Marsel Robot ogah tergoda membuat benang merah. Silakan tuan dan puan menautkan sendiri peristiwa itu dalam konteks waktu tertentu. Begitulah sejatinya sifat buku. Dia hanyalah sebuah undangan kepada sidang pembaca untuk menyusuri parit-parit yang mengalirkan fakta agar dapat menemukan   sumber  kegalauan  sosial,  kemudian menarik simpul sendiri.

Watak buku pun sama dari waktu ke waktu, dari purnama ke purnama. Buku  ibarat jendela  yang memberi ruang kepada siapa saja boleh melongok memandang  dalam langgam kaya perspektif.

Baca buku ini jadinya sungguh asyik. Tuan bebas memilih topik sesuai selera. Marsel Robot tidak meminta pembaca untuk misalnya harus baca dulu artikel M untuk memahami artikel N. Sebab, masing-masing artikel hadir dengan cara dan sejarahnya.

Marsel mewarisi spirit intelektual sejati. Penulis yang rendah hati. Dosen dengan banyak pengagum ini menyadari sungguh tulisannya secara substansial hanya segepok ringkasan kegelisahan sosial yang dipandang amat subjektif dengan horison pengetahuan cuma seluas testa. Antena diskursiflah yang menangkap riuh-rendah di aula sejarah.
Dengan begitu sang penulis mengajak siapa pun untuk berdiskusi, mengkritisi pikiran, gagasan dan argumentasinya.  Berbeda pandangan  adalah lumrah. Justru menjadi humus penyubur daya  kritis yang memang dibutuhkan dalam menyikapi dialektika sosial.  Benar adanya, pembaca pun diuntungkan dari pertengkaran yang merimbunkan pengetahuan tersebut.
Tidak banyak penulis cerdas menghantar makna dalam cara bercanda. Guyonan memukau. Mencumbui realitas tanpa kehilangan selera humor. Marsel Robot adalah pengecualian karena memiliki kemampuan itu.  Masalah politik, ekonomi dan sosial budaya yang pelik dan rumit  diraciknya sedemikian rupa menjadi bahan bacaan yang cair menyegarkan.
Membaca tulisannya tidak membuat dahimu berkerut apalagi sampai pening kepala. Bahasanya selalu bikin kangen. Saya mengenal sejumlah penggemar setianya yang selalu minta informasi manakala Pos Kupang mempublikasikan artikel Marsel Robot. "Tolong beritahu kalau dimuat, saya mau beli Pos Kupang yang ada tulisannya itu. Sejak dulu saya koleksi tulisan-tulisan Pak Marsel," kata seorang fansnya,
Tidak mengherankan memang. Hal ini terjadi karena Marsel Robot merajut  artikel-artikelnya dalam gaya bahasa  gaul. Tulisannya bisa dipahami dengan baik oleh anak milenial hingga opa dan oma. Tuan dan puan tidak hanya boleh melibatkan pikiran tetapi juga melegokan perasaan. Silakan masuk ke lokus logika, mengendap ke dasar  palung rasa, dari testa terus ke rasa. Duhai indahnya!
***
SEBUAH kehormatan bagi saya  ikut berkata-kata sedikit mengenai isi buku di tangan Anda ini. Maklumlah beliau guru saya. Pembimbing yang telaten dan super sabar tatkala kami baru belajar merangkai kata dan kalimat.

Kami mengenalnya sejak penghujung 1980-an, terutama karena pesona tulisannya yang sudah menghiasai berbagai koran dan majalah lokal, regional dan nasional. Sebut di antaranya Mingguan Dian, Mingguan Asas, Simponi,  Swadesi, Harian Bali Post, Harian Nusra dan lainnya.

Ketika saya masih mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, beliau sudah menjadi dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendikan Undana.

Saya dan teman-teman seangkatan seperti Viktus YK Murin, Anton Gelat, Mezra E Pellondou, mengaguminya. Nama besarnya sebagai penulis tak membuatnya jumawa. Dia dengan rendah hati mau berbagi. Mendidik dan mengajarkan kami tentang dunia tulis-menulis.

Dia guru dan pendidik bertangan dingin. Tak sedikit muridnya yang sukses menjadi jurnalis dan penulis dengan reputasi baik. Sebagian menjadi sastrawan, bintang teater dengan karya monumental. Sampai detik ini dia pun masih menjadi guru, pendidik dan sahabat para muridnya.

Terima kasih ka'e (kakak) Marsel Robot. Guru bagi banyak orang. Semangat menulisnya tak pernah padam. Takkan bosan bertengkar dengan kenyataan.

 Spririt luar biasa itu tersembul molek di bagian akhir kata pengantarnya,  "Andalah yang menyuruh saya untuk menghampiri jendela, mengusap senja, mereken gerimis yang menerpa di palkah. Sedangkan  di daratan yang jengang  itu, saya diminta untuk menepi, ambil biola memuja  kenyataan yang tak pernah menyentuh dan  merindu."

Kupang, medio Agustus 2018
Dion  DB Putra
Wartawan Pos Kupang


Info Buku

Judul: Ringkasan Kegelisahan Sosial di Aula Sejarah

Penulis: Marsel Robot

Penerbit: Dusun Flobamora, Oktober 2018

Pesona Tenun Ikat NTT


Tenun ikat NTT
GELIAT ekonomi Kota Kupang tak pernah berhenti bergerak. Perkembangan terbaru yang sungguh menggembirakan adalah semakin menjamurnya butik khusus tenun ikat di ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini. Pemiliknya pun berlomba menghadirkan aneka jenis tenunan berkualitas guna memenuhi kebutuhan konsumen yang terus meningkat.

Pemilik butik mendatangkan tenun ikat dari  berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa Flobamora memang sangat kaya ragam dan corak tenun ikat. Setiap daerah punya keunikan tersendiri.

Menurut pengelola butik, para pembeli lebih suka tenunan asli hasil kerajinan tangan bukan produksi industri. Harga yang relatif mahal bukan masalah bagi penggemar tenun ikat  yang umumnya berasal dari luar Flobamora. Mereka membeli  tenunan utuh (lembaran) atau yang sudah dimodifikasi menjadi aneka busana mengikuti tren mode masa kini semisal gaun, jas, rok dan sebagainya.


Harga busana tenun ikat NTT  bervariasi  dan relatif  terjangkau. Sedangkan kain tenun ikat dalam satu lembaran utuh atau belum dipotong  harganya berkisar antara Rp 350.000 hingga belasan juta rupiah.

Selain motifnya yang kaya, unik serta elegan, tenun ikat NTT sangat diminati karena memiliki diferensiasi yaitu hasil karya tangan para penenun hebat. Kalau sekadar mendapatkan kain bermotif tenun NTT,  tidaklah sulit bagi pembeli  karena dewasa ini sudah banyak produksi pabrikan. Namun, bagi penggemar tenun ikat keaslian itulah yang mereka butuhkan.

Pada  titik ini ada sesuatu yang mesti menjadi perhatian serius. Kita bakal kehilangan generasi penenun andal makanala tidak mempersiapkan sejak dini. Penenun di kampung-kampung umumnya sudah berusia di atas 40 tahun bahkan lebih.

Regenerasi tidak berjalan baik. Kaum muda Flobamora tanpa sadar mulai meninggalkan warisan luhur budayanya sendiri. Mereka tak cakap dan terampil menenun. Malah anggap menenun sebagai 'pekerjaan orang kampung'.

Itulah sebabnya kita sependapat dengan pandangan Kepala  Dinas Kebudayaan Provinsi NTT, Sinun Petrus Manuk. Sinun   memiliki kiat praktis agar aktivitas tenun di NTT tidak punah yaitu tenun harus dimasukkan menjadi muatan lokal (mulok)  kurikulum di sekolah sehingga semua anak berkesempatan untuk belajar menenun sejak usia dini.

Gagasan tersebut kiranya tidak sebatas wacana tetapi segera dijabarkan melalui agenda aksi yang nyata. Sekolah-sekolah  mulai dari tingkat dasar sampai menengah di NTT mesi  memiliki mata pelajaran menenun.

Sekolah SD di provinsi ini jumlahnya kurang lebih 5.000. Sebut misalnya 20 persen saja dari jumlah itu  menerapkan mulok ini, maka kita bisa menyelamatkan tenunan Flobamora dari kepunahan penerus.

Selain mulok, sekolah juga bisa membentuk komunitas tenun. Prinsipnya berbagai cara mesti kita tempuh guna mempertahankan diferensiasi serta pesona  tenun ikat NTT yang kini memikat  dunia. *

Sumber: Pos Kupang 30 Oktober 2018 halaman 4
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes