KALAU kita membolak-balik buku-buku sejarah pers nasional, mulai dari zaman kolonial sampai era Orde Baru, nyaris tidak disinggung tentang pers Nusa Tenggara Timur. Yang ada hanya sejarah pers di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan di Maluku (Ternate).
Dari ketiadaan informasi ini, orang bisa saja berkesimpulan bahwa tidak ada pers di NTT pada masa itu. Tidak terlalu salah kesimpulan itu. Tetapi, coba kita sedikit memperluas penelitian kita. Artinya, tidak hanya berpusat pada dokumen-dokumen atau buku-buku yang diterbitkan oleh negara atau lembaga swasta nasional.
Cobalah menelusuri sejarah perkembangan gereja di wilayah ini. Mengejutkan, gereja yang sudah masuk ke wilayah ini sejak masa kolonial memiliki dokumentasi yang lengkap mengenai berbagai hal yang terjadi, termasuk kehidupan pers di daerah ini.
Hanya memang harus diakui, penerbitan pers di NTT sejak masa kolonial secara nasional dilihat sebagai pers golongan. Jelasnya, pers yang berhaluan Kristen (Katolik). Media-media tersebut terbit sebagai sarana pewartaan gereja. Pemimpinnya hampir semua dari lembaga gereja.
Kendati demikian, dalam prakteknya tidak semata-mata hal-hal berbau gereja yang menjadi subyek pemberitaannya. Hal-hal umum berkaitan dengan kepentingan profan masyarakat pun menjadi perhatiannya.
Sejak masa kolonial masyarakat NTT sudah bisa membaca koran karena gereja pada waktu itu sudah mendirikan sekolah-sekolah. Di Larantuka sekolah putra dibuka pertama kali pada tahun 1862 diikuti sekolah putri pada tahun 1879. Di Maumere sekolah putra pertama dibuka tahun 1875, diikuti sekolah putri pada tahun 1882. Di Lela sekolah putra pertama tahun 1897 dan sekolah putri 1899. Di Ndona (Ende) sekolah putra dibangun pertama kali pada tahun 1915 dan sekolah putri 1920. Di Todabelu (Ngada) sekolah putra pertama dibangun tahun 1921 dan sekolah putri 1931. Di Ruteng sekolah putra pertama tahun 1921 dan sekolah putri tahun 1943.
Di Lahurus (Belu-Timor) sekolah pertama tahun 1890 dan sekolah putri tahun 1921. Sekolah-sekolah ini antara lain mendidik masyarakat lokal untuk bisa membaca.
Karena itu, sebenarnya tidak ada alasan bagi pers nasional untuk mengabaikan fakta sejarah ini.
***
MAJALAH pertama Bintang Timoer terbit di Ende pada tahun 1925, dengan sub-judul: Soerat Boelanan Katolik yang Bergambar. Majalah ini diterbitkan oleh Serikat Sabda Allah (SVD/Societas Verbi Divini). Ukurannya 19 x 26,5 cm, tebal 16 halaman, bergambar dengan kulit khusus.
Majalah ini memberitakan pokok-pokok keagamaan, masalah-masalah pertanian, pendidikan, keluarga, dan sebagainya. Juga berita-berita daerah dan internasional. Alamat redaksinya: R.K. Missie, Lela-Maumere, di bawah pimpinan P. Fries, SVD, kemudian dilanjutkan oleh P. F. Cornelissen, SVD.
Selama beberapa tahun Bintang Timoer dicetak di Percetakan Kanisius Yogyakarta (mulai 1925). Tapi, sejak tahun 1928 dicetak di Percetakan Arnoldus Ende. Percetakan ini pun milik SVD Ende.
Majalah Bintang Timoer tidak terbit lagi sejak Juni 1937. Faktor-faktor penyebabnya terutama kurangnya minat masyarakat dan sumbangan finansial. Sejak itu sampai dengan Indonesia merdeka nyaris tidak ada penerbitan di NTT.
Baru sesudah Perang Dunia II (1942-1945) diterbitkan dua mingguan Bentara dalam tahun 1946. Ukurannya, 25 x 32 cm, tebal 8 halaman, bergambar, tanpa kulit. Secara garis besar isinya sama seperti Bintang Timoer. Tapi, dalam perkembangannya muncul banyak tulisan mengenai perkembangan negara dan kehidupan masyarakat umum, di samping tulisan-tulisan bersifat agama (renungan-renungan).
Bersamaan dengan terbitnya Bintang Timoer, tahun 1925 terbit dalam bahasa Sikka majalah bulanan Kristus Ratu Itang. Ukurannya, 21 x 14,8 cm. Isinya, soal-soal agama, pokok-pokok sosial ekonomi, pendidikan, budaya dan sebagainya, berita-berita daerah dan juga dunia internasional. KRI lenyap bulan Desember 1938.
Pada tahun 1950-an, terbit majalah Bentara, yang dipimpin P. A. Conterius, SVD, kemudian oleh P. Markus Malar, SVD, dan akhirnya oleh Frans Tan. Sempat mencapai oplah 3.300, Bentara terbit sampai 1959, tak lama setelah terbentuknya Propinsi NTT dan sejumlah kabupaten pada akhir 1958.
Sejalan dengan Bentara diterbitkan majalah bulanan untuk anak-anak, Anak Bentara. Ukurannya, 21 x 14,8 cm, tebal 16 halaman, dihiasi gambar-gambar. Peredarannya mencakup seluruh Indonesia dengan oplah 35.000. Yang banyak berjasa untuk Anak Bentara adalah P. G. Kramer, SVD bersama para siswa Seminari Mataloko. Sejak tahun 1961 Anak Bentara tidak terbit lagi.
Untuk para guru diterbitkan, majalah Pandu Pendidikan sejalan dengan sistem pendidikan Sekolah Pembangunan yang dicetuskan Menteri P dan K waktu, Mashuri. Pemimpin redaksinya berturut-turut, P. Cornelissen, P. Swinkels, P. Lambert Lame Uran. Pandu Pendidikan terbit sampai tahun 1959.
Menjelang pemberontakan Permesta pada tahun 1956/1957, di Ende terbit sebuah majalah Gelisah. Majalah ini dicetak di Percetakan Arnoldus Ende. Bagaimana kelanjutannya dan kapan berakhirnya tidak diketahui. Hampir pasti majalah itu berjalan tidak sampai tahun 1960.
Pada tahun 1960 terbit pula beberapa majalah yang berumur singkat: Ekonomi, Sebuk, Muda Katolik, Serbukin, Pemuda Penjaga (dari Manggarai). Untuk Flores, pemerintah daerah Flores menerbitkan Zaman Baru dan Sinar Sembilan.
Pada tahun 1960-an Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Comite Daerah Besar (CDB) menerbitkan Mingguan Pelopor di Kupang. Pelopor lahir mengikuti Instruksi Presiden ketika itu, supaya setiap partai politik memiliki terbitan sendiri. Mingguan Pelopor terbit dalam bentuk stensilan setebal 12 halaman, karena waktu itu belum ada percetakan di Kupang. Pelopor berhenti terbit pada tahun 1965, sejak penumpasan G30S/PKI.
Untuk mengimbangi Pelopor waktu itu, Petrus Kanisius Pari selaku aktivis Pemuda Katolik menerbitkan Mingguan Pos Kupang pada tahun 1962. Kopnya dicetak di Percetakan Nusa Cendana, selebihnya dalam bentuk stensilan. Majalah ini hanya terbit selama beberapa bulan.
Selanjutnya, pada tahun 1965, Kanis Pari menerbitkan Mingguan Kompas dalam bentuk stensilan. Tapi, umurnya cuma tiga bulan karena tidak mengantongi surat izin terbit (SIT) sendiri. Dia hanya menggunakan izin terbit Harian Kompas Jakarta. Pada akhir tahun 1965, Mingguan Kompas tidak terbit lagi.
SKM Dian
Sejak lahirnya Orde Baru yang sarat dengan tuntutan pembangunan, NTT praktis ketiadaan surat kabar. Informasi terutama berkaitan dengan pembangunan sepi. Terdorong oleh situasi demikian, maka pada tanggal 24 Oktober 1973 surat kabar Dian terbit berdasarkan Surat Izin Terbit (SIT) yang diperoleh melalui Keputusan Menteri Penerangan RI No.
01455/SK/DIRJEN-PG/SIT/1973, tanggal 6 Agustus 1973. Pada waktu itu Dian terbit sebagai majalah dua mingguan dengan ukuran 21 X 29 cm, setebal 12 halaman dan oplah 6.000 eksemplar. Pemimpin umum/pemimpin redaksinya, P. Alex Beding, SVD.
Dian diterbitkan oleh Yayasan St. Paulus di Ende, sebuah badan hukum milik Serikat Sabda Allah (SVD), yang bergerak di berbagai bidang kerasulan serikat tersebut, termasuk kerasulan komunikasi.
Sebagai sebuah surat kabar, Dian mempunyai visi sebagai pedoman bagi arah perjuangannya. Visi itu termaktub dalam motonya Membangun Manusia Pembangun. Dengan motto ini Dian menawarkan dirinya sebagai salah satu agen pembangunan (change agent) sumber daya manusia dalam lingkup pembacanya sekaligus agen pembangunan fisik dan sumber daya alam dalam lingkungan penyebarannya.
Sesuai dengan moto di atas dan searah dengan tujuan pers Indonesia sebagai alat perjuangan nasional dan media yang bersifat aktif, dinamis, kreatif, informatoris dan mempunyai fungsi kemasyarakatan sebagai pendorong dan pemupuk daya pikir kritis dan progresif yang meliputi segala perwujudan kehidupan masyarakat, Dian terbit sebagai upaya gereja setempat (dalam hal ini Serikat Sabda Allah--SVD) untuk melibatkan diri secara langsung dalam upaya pembangunan mental-rohani dan ekonomi masyarakat pembacanya.
Selain itu, Dian secara sadar hadir sebagai alat kontrol sosial dalam upaya pembangunan sikap politik sesuai dengan asas dan semangat Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila demi penegakan hukum, kebenaran dan keadilan serta perdamaian.
Singkatnya, Dian bertujuan untuk menjadi partner pemerintah dan gereja dalam upaya meningkatkan mutu hidup manusia menuju pembangunan manusia seutuhnya (integral human development).
Dalam kerangka itu sejak awal Dian sudah secara konsisten menyebarkan informasi-informasi yang berdampak positif bagi pembangunan manusia seutuhnya itu, yang meliputi bidang politik, ekonomi, keagamaan, hukum, keamanan dan ketertiban, keadilan dan perdamaian, serta hak dan tanggung jawab manusia sebagai warga suatu bangsa dan negara, termasuk tanggung jawab di bidang IPTEK.
Setelah sekian tahun diterbitkan oleh Yayasan St. Paulus, pada tahun 1986 penerbitannya dialihkan kepada Yayasan Dian yang juga mengelola majalah bulanan untuk anak-anak, Kunang-Kunang. Pada akhir tahun 1986, Dian maju selangkah lagi. Ia mulai terbit berdasarkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) No. 218/SK/Menpen/SIUPP/B.1/1986, tertanggal 2 Desember 1986. Oleh karena itu, Dian merasa perlu mengubah bentuk dan wajahnya. Sejak Januari 1987, Majalah Dua Mingguan Dian berubah menjadi Surat Kabar Mingguan (SKM) Dian dalam bentuk tabloid berukuran 29,5 X 43 cm, setebal 12 halaman. Sejak saat itu, SKM Dian selalu terbit secara teratur sekali seminggu. Dalam setahun sesuai dengan jadwal, Dian selalu berhasil terbit sebanyak 48 nomor (edisi). Pada pertengahan tahun 1993, SKM Dian terbit dengan 16 halaman. Tetapi sejak minggu terakhir Juli 1995, akibat melonjaknya harga kertas, Dian kembali terbit dengan 12 halaman.
Dian senantiasa bekerja sama dengan pemerintah dalam upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya. Sikap ini mendapat tanggapan positif dari pemerintah karena pada dasarnya pers merupakan sarana pemerintah dalam menyebarluaskan berbagai gagasan pembangunan.
Pada tahun 1986, Dian dipercayakan oleh pemerintah RI untuk terlibat dalam program nasional Koran Masuk Desa (KMD) dengan tujuan utama membangun dan mengembangkan masyarakat desa lewat jasa pers.
Program KMD ini terwujud dalam bentuk penerbitan lembaran khusus sebanyak empat halaman yang diterbitkan sebagai suplemen dengan kop Dian untuk Desa. Lewat program ini misi Dian untuk membangun manusia pembangun semakin dipertajam oleh penyebaran berbagai informasi pembangunan lewat rubrik-rubrik pedesaannya, seperti teknologi tepat guna, kampanye lingkungan sehat, pendidikan keterampilan dan sebagainya.
Sejalan dengan tujuan Dian, sasaran misi Dian adalah masyarakat desa yang terdiri dari petani/nelayan dan para pejabat desa. Sasaran lain adalah kaum muda yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, dan pemuda remaja lepas sekolah. Kecuali itu, juga para pengusaha kecil dan wiraswasta, para guru dan pegawai dan terutama pemerintah sebagai agen pembangunan dalam jalur formal. Semua pembaca tersebut tersebar di seluruh wilayah NTT dan di tempat-tempat di mana terdapat orang-orang asal NTT. Oplah Dian sempat mencapai 7500 eksemplar per edisinya.
Posisi Dian mulai tergeser sejak lembaga yang sama menerbitkan Harian Flores Pos pada tanggal 9 September 1999, berdasarkan SIUPP No. 169/SK/Menpen/SIUPP/1999, tanggal 19 Agustus 1999. Dian yang biasanya terbit pada setiap hari Jumat bergeser ke hari Minggu sampai sekarang. Penampilan dan penyajiannya pun banyak berubah, nyaris menjadi edisi Minggu-nya Harian Flores Pos. Bedanya hanya ada kop Dian.
Terbitan lain SVD adalah Berita Regio Ende (BRE), Pastoralia dan Vox (Seminari Tinggi Ledalero). Pada tahun 173, Keuskupan Agung Ende juga menerbitkan Penyalur Berita Dioses. Sementara Keuskupan Larantuka menerbitkan Warta Dioses Larantuka.
Mingguan Kupang Post
Atas dorongan Gubernur NTT El Tari, pada tanggal 5 Desember 1977 terbit Mingguan Kupang Post di Kupang. Dicetak di Percetakan Arnoldus Ende setebal empat halaman. Isinya menyangkut hal-hal umum berkaitan dengan kebijakan pemerintah daerah dan kepentingan masyarakat. Kupang Post terbit atas rekomendasi Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Penerangan (Deppen) NTT dan surat izin terbit (SIT) dari Menteri Penerangan RI. Pemimpin redaksinya Damyan Godho yang pada waktu itu juga wartawan Harian Kompas Jakarta untuk wilayah NTT.
Ketika Damyan berhenti sebagai Pemred pada tahun 1978, pengelolaan Kupang Post diteruskan oleh Kanwil Deppen NTT. Namun karena pengelolaan yang tidak profesional, Kupang Post berhenti terbit sekitar tahun 1983/1984.
Pada tahun 1980-an, Yayasan Karya Sosial (YKS) Maumere menerbitkan Majalah Duta Masyarakat sampai awal 1990-an. Sementara di Kupang, sejak matinya Kupang Post, nyaris tidak ada terbitan. Masyarakat hanya bisa membaca Majalah Dian dan sejumlah surat kabar harian terbitan Jakarta, seperti Kompas, Suara Karya, Sinar Harapan, Media Indonesia, Majalah Tempo, Mingguan Hidup dan Bali Post. Media-media ini juga menempatkan wartawannya di NTT, yang secara rutin mengirim berita-berita menyangkut NTT ke kantor redaksinya.
Kendati demikian, pemerintah senantiasa mendorong supaya ada media cetak lokal di Kupang. Maka, pada tahun 1987 Menteri Penerangan RI Harmoko mendirikan Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Kupang. Maksudnya, untuk mendorong tumbuhnya media cetak lokal di Kupang. Harmoko bahkan sempat mendorong Damyan Godho, namun hal itu tidak segera terwujud karena terbatasnya modal dan wartawan.
Sampai pada tahun 1992, NTT tercatat sebagai salah satu dari enam propinsi yang belum memiliki media cetak harian. Karena itu Harmoko sekali lagi mendorong Damyan Godho dengan memberi kemudahan memperoleh SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), sehingga terbitlah Harian Pos Kupang pada tanggal 1 Desember 1992. Harian Pos Kupang didirikan bersama oleh Damyan Godho, Valens Goa Doi dan Rudolf Nggai, berdasarkan SIUPP No: 282/SK/Menpen/SIUPP/A.6/1992, tanggal 6 Oktober 1992.
Sejak itu ketiga orang ini mulai mengumpulkan orang-orang NTT, baik untuk menjadi wartawan maupun menjadi pengelola bisnisnya. Harian Pos Kupang tercatat sebagai harian pertama dalam sejarah NTT dengan peredaran menjangkau semua kabupaten yang ada.
Untuk mengatasi kesulitan distribusi akibat kondisi NTT sebagai daerah kepulauan, pada tahun 1998 Pos Kupang melaksanakan cetak jarak jauh di Percetakan Arnoldus Ende untuk melayani pembaca di seluruh Flores dan Lembata. Namun pada tahun 2000, Pos Kupang berhenti cetak jarak jauh di Ende lalu mulai dengan cetak jarak jauh di Maumere menggunakan mesin cetak sendiri. Hal yang sama dilakukan di Ruteng sejak November 2003 sampai sekarang, untuk melayani pembaca di Manggarai, Manggarai Barat dan Ngada. Sejak tahun 1997, Pos Kupang juga menjadi media elektronik yang bisa dibaca melalui internet di seluruh dunia.
Krisis ekonomi pada tahun 1997 menjadi tantangan tersendiri bagi Pos Kupang. Kenaikan harga material cetak yang sangat tajam ketika itu sempat membuat Pos Kupang seperti kapal yang sedang dihempas gelombang hebat. Tapi, Pos Kupang berhasil melewati tantangan itu, bahkan boleh dibilang tantangan membuat Pos Kupang semakin matang. Pos Kupang semakin maju. Pada tahun 2006 Pos Kupang menerima penghargaan sebagai salah satu dari 10 koran terbaik nasional pada tahun 2005 menurut penilaian Dewan Pers.
***
Eforia yang dialami sebagian besar masyarakat Indonesia sejak kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998 juga dialami pers. Terlebih setelah Menteri Penerangan Junus Josfiah mencabut semua ketentuan era Orde Baru yang menghambat kebebasan pers, diikuti pengesahan Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers.
Meskipun negara sedang dilanda krisis ekonomi, gairah masyarakat untuk mendirikan penerbitan pers tidak surut. Hanya dalam dua pekan sejak ketentuan baru diberlakukan, Deppen sudah mengeluarkan 20 SIUPP baru. Hingga tanggal 15 April 1999 jumlah SIUPP baru meningkat lagi menjadi 852, selanjutnya terus meningkat hingga ribuan penerbitan.
Eforia itu juga menggerakkan orang-orang di NTT untuk mendirikan penerbitan pers. Pada tanggal 29 April 1999, sejumlah wartawan yang hengkang dari Harian Pos Kupang mulai menerbitkan Harian Umum Surya Timor di Kupang. Tebalnya 12 halaman. Eforia reformasi mewarnai kehadiran media ini. Selain terungkap dalam motonya, Suara Masyarakat Indonesia Baru, juga terlihat dalam isi, gaya pemberitaan serta cara-cara memperoleh informasi yang benar-benar bebas.
Harian Surya Timor terbit berdasarkan SIUPP No:1114/SK/Menpen/SIUPP/1999, tanggal 23 Maret 1999. Pemimpin umumnya, Servatius Djaminta, pemimpin redaksi, Wens John Rumung, redaktur eksekutif, Alex Dungkal, dan redaktur pelaksana, Fredy Wahon.
Namun, segera pula terasa bahwa mengelola media baru di era reformasi tidak gampang. Baru berjalan dua tiga tahun Surya Timor tampaknya tidak bisa bertahan di Kupang. Sejumlah wartawan yang diandalkan pun hengkang. Pada tahun 2001, redaksi Surya Timor pindah ke Maumere, Kabupaten Sikka. Namanya pun berubah menjadi Surya Flores, kemudian pindah lagi ke Ruteng, Kabupaten Manggarai. Sekarang Surya Timor/Surya Flores tinggal nama.
Pada saat yang bersamaan Harian Pos Kupang menerbitkan tabloid mingguan Kompak. Tapi juga tidak bertahan lama. Orang-orang yang hengkang dari Surya Timor kemudian ada yang mendirikan Harian Independen NTT Ekspres, ada juga yang mendirikan Harian Suara Timor dan Metro Kupang. NTT Ekspres terbit berdasarkan SIUPP No: 1563/SK/MENPEN/SIUPP/1999, tanggal 3 Agustus 1999, dengan moto, Aktual, akurat dan tuntas berlandaskan kasih. NTT Ekspres diterbitkan oleh Yayasan Lentera Kehidupan. Pemimpin umumnya, Ir. Alex Foenay, pemimpin redaksi: Hans Christian Louk, pemimpin perusahaan, Decky Budianto, redaktur pelaksana, Paul Bolla, dan manajer produksi, Anna Djukana. Terbit dengan 12 halaman tujuh kolom, NTT Ekspres pun menghilang dari peredaran sekitar 2002/2003.
Pada tahun 1999 juga terbit Harian Sasando Pos. Pemimpin redaksinya Pius Rengka dan redaktur pelaksana Yos Lema. Harian ini coba tampil sebagai koran ekonomi bisnis di Kupang, tapi juga tidak bertahan. Dalam satu sampai dua tahun saja, Sasando Pos hilang dari peredaran.
Pada tahun 2000 terbit Harian Umum Radar Timor di Kupang. Terdaftar di Pengadilan Negeri Kupang Nomor 65/AN/YS, tanggal 21 Agustus 2000. Motonya, kritis, objektif dan rasional. Pemimpin umumnya, H. Maria Pinto Soares, pemimpin redaksi Fredy Wahon. Terbit 12 halaman dengan ukuran tabloid. Kehadirannya cukup menyaingi Harian Pos Kupang, tetapi akhirnya menghilang sekitar tahun 2004/2005.
Beberapa staf redaksi yang hengkang dari Radar Timor mendirikan Harian Kupang News pada akhir 2003 atau awal 2004.
Pada tahun 2001/2002 terbit pula Harian Cendana Pos di Kupang. Pemimpin umumnya, Drs. Valentinus Seran, pemimpin redaksi, Cyriakus Kiik, dan koordinator liputan Yesayas Petruzs. Tapi tidak bertahan juga, lalu Cyriakus Kiik mendirikan Harian Suara Masyarakat sekaligus menjadi pemimpin redaksinya.
Ketika Harian NTT Ekspres menghilang pada akhir tahun 2002 atau awal tahun 2003, Ana Djukana langsung beralih dengan mendirikan Harian Kursor sekaligus bertindak sebagai pemimpin umum/pemimpin redaksinya. Kursor terdaftar di PN Kupang No. 1/AN/PMT/LGS/2003/PN Kupang, tanggal 21 Maret 2003, dan mulai terbit 1 April 2003. Kursor masih terbit hingga saat ini. Semboyannya, Untuk Keadilan dan Kesetaraan. Fokus pemberitaannya, Kota Kupang dan kesetaraan jender.
Pada pertengahan tahun 2003 juga di Kupang terbit Harian Pagi Timor Express (Jawa Pos Group). Timor Express terbit 16 halaman berwarna masing-masing pada halaman muka dan belakang. Pada tahun 2007, Timor Express merayakan hari ulang tahun (HUT) keempat dan tampaknya akan terus berkembang dan menjadi penyaing berat Harian Pos Kupang. Pemimpin redaksi/penanggung jawabnya, Yusak Riwu Rohi, dan redaktur pelaksana, Simon Petrus Nilli.
Masih banyak lagi media yang terbit pada masa reformasi. Selain harian, banyak juga yang terbit mingguan dan bulanan, baik di Kupang maupun di daerah-daerah.
Contohnya Mingguan Berita Rote Ndao Pos, yang terdaftar di PN Kupang No. 18/AN/YS/LGS/R001/PN.Kpg, tanggal 14 Maret 2001. Dicetak di PNRI Kupang, mingguan ini terbit mulai 2002 dan masih terbit sampai sekarang. Pemimpin redaksi/penanggung jawabnya, Kanis Mone SP, redaktur pelaksana, Mixcris Seubelan.
Juga pernah terbit tabloid mingguan Swara Lembata (cover depan berwarna) mulai 20 Desember 2001, setebal 12 halaman. Alamat redaksinya di Lewoleba, Kabupaten Lembata. Mulai April 2006 Swara Lembata tidak terbit lagi.
Media cetak lainnya adalah tabloid mingguan Flotim Pos/Asas, mingguan Suara Flobamora (Kupang), Duta Flobamora (Waingapu), Sinar Alor Pos (Kalabahi), Ngada Pos (Kupang), Udik (Kupang), Duta Flobamor (Kupang), Alor Pos (Kalabahi), Saksi (Kupang), Marturia (Kupang), Suara Selatan Daya (Kupang), Media Entete (Kupang), Sabana (Waikabubak), Global (Atambua), Buser Timur, Expo Lamaholot (Kupang), Belu Pos (Atambua), Gelora Info (SoE), Bentara (Kupang), Talenta (Kupang), Solusi (Kefamenanu), Lontar (Kupang), Delegasi (Lewoleba), Start Sport (Kupang), Asmara (Kupang), Wunang Pos (Waingapu), Media Info (Larantuka), Biinmaffo (Kefamenanu), Media Rakyat (Ruteng), Tamsis (Kupang), dan yang terakhir mingguan Spirit NTT, yang merupakan kerja sama Harian Pos Kupang dengan sejumlah Pemda di NTT.
Tabloid yang terbit mingguan di NTT umumya berumur pendek. Selain karena tidak didukung modal yang cukup kuat, media-media ini umumnya kalah bersaing atau kurang diminati pembaca. Setelah satu media berhenti terbit, personelnya menerbitkan media baru dengan pemodal yang baru pula.
Namun, satu hal positif yang bisa diambil dari muncul tenggelamnya usaha media cetak di NTT bahwa ternyata orang memiliki jiwa perintis dan minat besar dalam bidang pers. Semangat ini bukan hal baru dalam lintasan sejarah NTT. Hanya di masa lalu para perintis itu terbentur dengan keterbatasan fasilitas.
Tidak hanya di NTT, wartawan NTT juga banyak merintis penerbitan pers nasional. Gerson Poyk dikenal sebagai perintis berdirinya Harian Sinar Harapan pada tahun 1960-an sekaligus menjadi wartawan andalan. Drs. Frans Seda adalah orang yang berada di balik berdirinya Harian Umum Kompas. Aco Manafe, selain menjadi wartawan Sinar Harapan sejak tahun 1968, juga menjadi perintis berdirinya Harian Sore Suara Pembaruan tahun 1989.
NTT juga masih punya nama-nama seperti Petrus Kanisius Pari (Indonesia Raya, Penabur), Hendrik Ola Hadjon (Asas, terbit di Surabaya), Pius Karo (Harian Kompas), Damyan Godho (Kompas), Louis Taolin (Suara Karya), Marcel Weter Gobang (Suara Karya, Surya, Pos Kupang), Cypri Aoer (Suara Pembaruan).
Saat ini pun sejumlah orang NTT tampil sebagai pemimpin media-media terkemuka di Jakarta: Rikard Bagun (Kompas), Piter Gero (Kompas), Cyrilus Kerong (Bisnis Indonesia), Laurens Tato (Media Indonesia), Hermin Kleden (Tempo), , Claudius Boekan (Metro TV), dan masih banyak lagi.
Kehadiran media dan wartawan di NTT akan terus dibutuhkan untuk mendorong pembangunan. Harus diakui masih banyak keluhan mengenai kualitas wartawan di daerah ini. Menjadi tugas perusahaan media dan para wartawan sendiri untuk membenahi diri sehingga kualitasnya semakin baik.
Tidak hanya di media cetak, orang NTT pun harus mulai melirik media elektronik, seperti radio, televisi dan terlebih internet (media online). Media online diramalkan bakal menggeser posisi media cetak.Untuk itu, tidak ada cara untuk bisa menggapainya, selain belajar dan belajar.* (Agus Sape, wartawan Pos Kupang)
Daftar Pustaka
1. Suryomiharjo, Abdurrachman, dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Januari 2002.
2. Suranto, Hanif, dkk, Pers Indonesia Pasca Soeharto Setelah Tekanan Penguasa Melemah (Laporan Tahunan 1998/1999), LSPP dan AJI, 1999.
3. Haryanto, Ign dan Setiawan, HW, Pers Diterpa Krisis, AJI dan LSPP, April 1998.
4. Daros, Henri, Karya SVD di Bidang Komunikasi dalam Dalam Terang Pelayanan Sabda (Kenangan Tujuh Puluh Lima Tahun Karya SVD di Indonesia, Provinsi SVD Ende, 1990.
5. Sape, Agustinus, Ketidakadilan Dalam Perspektif 'Asal Omong' Dian (Skripsi), STFK Ledalero, 1996.
6. Godho, Damyan, wawancara, Kupang, 18 Juli 2007.
7. Embuiru, Dr. Herman, SVD, Menelusuri Pendidikan di NTT (Refleksi Sejarah dalam Perspektif Katolik) dalam Perspektif Pembangunan, Dinamika dan Tantangan Pembangunan Nusa Tenggara Timur, Yayasan Citra Insan Pembaru Kupang, 1994.
Sumber: Blog Agus Sape